This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 1
BAB. I PENDAHULUAN................................................................................... 2
BAB II. ANATOMI, FISIOLOGI DAN HISTOLOGI APPENDIKS................. 3
BAB III. APPENDISITIS AKUT
III.1 DEFINISI ……………………………………………………….. 7
III.2 EPIDEMIOLOGI ……………………………………………….. 7
III.3 ETIOLOGI ……………………………………………………… 8
III.4 KLASIFIKASI ………………………………………………….. 10
III.5 PATOFISIOLOGI ………………………………………………… 12
III.6 MANIFESTASI KLINIS ……………………………………….. 14
III.7 DIAGNOSIS ……………………………………………………. 17
III.8 DIAGNOSIS BANDING ……………………………………….. 26
III.9 KOMPLIKASI ………………………………………………….. 29
III.10 PENATALAKSANAAN ……………………………..….……. 29
III.11 PROGNOSIS ………………………………………………….. 36
BAB IV. KESIMPULAN ……………………………………………………... 37
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 38
2
BAB I
PENDAHULUAN
Apendisitis merupakan kasus gawat bedah abdomen yang tersering dan
memerlukan tindakan bedah segera untuk menghindari komplikasi yang serius.
Apendisitis yang terlambat ditangani akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
penderita. Untuk itu ketepatan diagnosa sangat dibutuhkan dalam pengambilan
keputusan tindakan. Ketepatan diagnosa tergantung dari kemampuan dokter
melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium. (1)
Insiden Apendisitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan tertinggi
diantara kasus-kasus gawat darurat, seperti halnya di negara barat. Walaupun
demikian, diagnosa serta keputusan bedah masih cukup sulit di tegakkan. Pada
beberapa keadaan Apendisitis akut agak sulit didiagnosis, misalnya pada fase awal
dari gejala Apendisitis akut dan tandanya masih sangat samar apalagi bila sudah
diberikan terapi antibiotika. Dengan pemeriksaan yang cermat dan teliti resiko
kesalahan diagnosis sekitar 15-20%. Bahkan pada wanita kesalahan diagnosis ini
mencapai 45-50%. Hal ini dapat disadari mengingat wanita sering timbul gangguan
organ lain dengan gejala yang serupa dengan Apendisitis akut. (1)
Mengingat masalah diatas maka perlu diketahui tanda, gejala, pemeriksaan
laboratoium sederhana mana yang berperan secara bermakna dalan mendiagnosis
Apendisitis akut, serta akurasi dan spesifitas modalitas diagnosa tersebut untuk
memudahkan dokter dalam mendiagnosa dan mengambil keputusan. (1,2)
3
BAB II
ANATOMI, FISIOLOGI DAN HISTOLOGI APPENDIKS
II.1 Anatomi Apperndiks (1)(2)
Gambar 1. Anatomi appendiks
Appendiks merupakan organ dengan struktur tubular yang rudimeter dan tanpa
fungsi yang jelas. Appendiks berkembang dari posteromedial caecum dengan panjang
yang bervariasi namun pada orang dewasa sekitar 5-15 cm dan diameter sekitar 0,5-
0,8 cm. Appendiks merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara
Ileum dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan
apppendiks terlihat pada minggu ke-8 kehamilan yaitu bagian ujung dari protuberans
caecum. Dalam proses perkembangannya, awalnya apendiks berada pada apeks
caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial ekat Plica ileocaecalis.
Lumen apendiks sempit dibagian proksimal dan melebar di bagian distal. Hampir
seluruh permukaan apendiks dikelilingi oleh peritoneum dan mesoapendiks (mesenter
dari appendiks) yang merupakan lipatan peritoneum yang berjalan kontinyu sepanjang
appendiks dan berakhir di ujung appendiks.(1)
Gambar 2. Embriologi appendiks
4
Pada appendiks terdapat 3 taenia coli yang menyatu di persambungan caecum
dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi appendiks. Posisi
apendiks terbanyak adalah retrocaecal 65.28% baik intraperitoneal maupun
retroperitoneal dimana appendiks berputar ke atas di belakng caecum. Selain itu juga
terdapat posisi pelvic (panggul) 31,01% (appendiks menggantung ke arah pelvic
minor), subcaecal ( dibawah caecum) 2,26% retroileal (dibelakang usus halus) 0,4%,
retrokolika, dan pre-ileal. (1)
Gambar 3. Variasi Letak Appendiks
Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendikularis yang berjalan di
sepanjang masoapendiks dan merupakan cabang dari arteri ileocolica dan yang
merupakan cabang trunkus mesenterik superior. Selain dari arteri apendikular yang
memperdarahi hampir seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi dari arteri asesorius.
Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocoli berjalan ke vena
mesentrik superior dan masuk ke sirkulasi portal.
Persarafan parasimpatis dari apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti a. Mesenterica superior dan a. Apendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari n. Thorakalis X.(1)
5
II.2 Fisiologi Appendiks (3)
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.
Awalnya, apendiks dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,
appendiks dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin A (IgA). Walaupun appendiks merupakan komponen integral dari
sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), imunoglobulin ini sangat efektif
sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi
virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,
pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah
jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh
tubuh.
II.3 Histologi
Komposisi histologi serupa dengan usus besar, terdiri dari empat lapisan yakni
mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa. Permukaan dalam atau
mukosa secara umum sama seperti mukosa colon, berwarna kuning muda dengan
gambaran nodular, dan komponen limfoid yang prominen. Komponen limfoid ini
mengakibatkan lumen dari appendiks seringkali berbentuk irreguler (stelata) pada
potongan melintang. Dindingnya berstruktur sebagai berikut :(3)
A. Tunica mucosa
Tidak mempunyai villi intestinalis.
1. Epitel, berbentuk silindris selapis dengan sel piala. Banyak ditemukan
selargentafin dan kadang-kadang sel paneth.
2 . Lamina propria, hampir seluruhnya terisi oleh jaringan limfoid dengan
adanya pula nodulus Lymmphaticus yang tersusun berderet-deret
sekeliling lumen. Diantaranya terdapat crypta lieberkuhn
3. Lamina muscularis mucosa, sangat tipis dan terdesak oleh jaringan
limfoid dan kadang-kadang terputus-putus
B. Tunica submucosa
6
Tebal, biasanya mengandung sel-sel lemak dan infiltrasi limfosit yang merata.
Di dalam jariangan tunica submucosa terdapat anyaman pembuluh darah dan
saraf.
C. Tunica muscularis
Walaupun tipis, tapi masih dapat dibedakan adanya lapisan dua lapisan.
D. Tunica serosa
Tunica serosanya mempunyai struktur yang tidak pada intestinum tenue.
Kadang-kadang pada potongan melintang dapat diikuti pula mesoappendix
yang merupakan alat penggantung sebagai lanjutan peritoneum
viserale.berbeda dengan yang terdapat
Gambar 4. Potongan melintang appendiks vermiformis normal (1)
7
BAB III
APPENDISITIS AKUT
III.1 Definisi Apendisitis (4)
Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau yang
di kenal juga sebagai usus buntu. Diklasifikasikan sebagai suatu kasus medical
emergency dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui.
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendisitis. Erosi membran mukosa
appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris
trichiura, dan Enterobius vermikularis. Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat
pada 3.400 kasus, 50% ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang
disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing
4%, dan sebab lainnya 1%.
Gambar 5. Inflamasi Appendiks
III.2 Epidemiologi Apendisitis (5)
Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun bermakna.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu
8
sehari-hari. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang
dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30
tahun, setelah itu menurun. Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding,
kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens pada lelaki lebih tinggi. Meskipun jarang,
pernah dilaporkan kasus appendiks neonatal dan prenatal. Pasien dengan usia yang
lebih dari 60 tahun dilaporkan sebanyak 50% meninggal akibat apendisitis.
III.3 Etiologi Apendisitis (4) (6)
Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks
sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Appendisitis akut dapat disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh
beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfa, fekalith, tumor
apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat.
Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks, diantaranya :
a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya
apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi
disebabkan oleh hiperplasia jaringan limfoid submukosa,35% karena
stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya
sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh
fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya : 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada
kasus apendisitis akut gangrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus
apendisitis akut dengan ruptur.
b. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks. Pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes
fragilis dan E.coli, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas,
9
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi
adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis
ialah erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histolytica.
Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini.
Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis
yaitu :
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
Escherichia coli
Viridans streptococci
Pesudomonas
aeruginosa
Enterococcus
Bacteroides fragilis
Peptostreptococcus micros
Bilophila species
Lactobacillus species
Tabel 1. Spesies bakteri yang dapat diisolasi
c. Faktor konstipasi dan pemakaian laksatif
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan
pertumbuhan kuman flora kolon biasa sehingga mempermudah
timbulnya apendisitis akut. Penggunaan laksatif yang terus-menerus
dan berlebihan memberikan efek merubah suasan flora usus dan
menyebabkan terjadinya hiperesi usus yang merupakan permulaan dari
proses inflamasi. Pemberian laksatif pada penderita apendisitis akan
merangsang peristaltik dan merupakan predisposisi terjadinya perforasi
dan peritonitis.
d. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang
herediter dari organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi
yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini
10
juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama
denga diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekalith dan
mengakibatkan obstruksi lumen.
e. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan
sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat
mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya
banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit
putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat.
Justru negara berkembang, yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko appendisitis yang
lebih tinggi.
III.4 Klasifikasi/tipe appendisitis (6) (7)
Ada beberapa jenis apendisitis yang memiliki perubahan yang berbeda
berhubungan dengan apendisitis, sehingga ada perbedaan gejala, pengobatan dan
prognosis. Appendisitis diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Appendisitis akut
a. Appendisitis akut sederhana ( Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan
rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, dan demam
ringan. Pada appendisitis cataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat
normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
b. Appendisitis akut purulent (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan
trombosis. Keadaan ini memperberat iskemik dan edema pada apendiks.
11
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding
appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram
karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks
terjadi edema, heperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif
dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut
disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Appendisitis akut gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-
tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu.
Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.
Apada appendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan
cairan peritoneal yang purulen.
2. Appendisitis infiltrat
Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang
lainnya.
3. Appendisitis abses
Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa
iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, sucaecal, dan pelvic.
4. Appendisitis perforasi
Adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus
masuk kedalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding
appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
5. Appendisitis kronis
12
Merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang yang
persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya
obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosis appendisitis kronis baru dapat
ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih
dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik.
Secara histologi, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia
mengalami fibrosis. Terdapat infiltrat sel radang limfosit dan eosinofil pada sub
mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.
III.5 Patofisiologi Apendisitis (4) (6)
Sebagian besar appendiks disebabkan oleh sumbatan yang kemudian diikuti oleh
infeksi. Beberapa hal ini dpat menyebabkan sumbatan, yaitu hiperplasia jaringan