KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan petunjuk-Nya saya dapat menyelesaikan referat berjudul
anestesi umum ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW semoga rahmat dan hidayah-Nya selalu
tercurah kepada kita.
Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepanitraan
klinik di bagian Anestesi RSUD Arjawinangun. Pada kesempatan ini
saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Uus
Rustandi, Sp.An dan dr. Ruby Satya Nugraha, Sp.An, M Kes selaku
dokter pembimbing dalam kepanitraan klinik Anestesi ini dan
rekan-rekan koas yang ikut membantu memberikan semangat dan
dukungan moril.
Saya menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak. Semoga referat ini dapat
bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang Anestesi khususnya
dan bidang kedokteran yang lain pada umumnya.
Arjawinagun, Februari 2015Penulis
BAB I
PENDAHULUANPengelolaan jalan nafas adalah memastikan jalan napas
tetap terbuka. Hal ini menjadi salah satu bagian yang terpenting
dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari
obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi
keadaan jalan napas untuk berjalan dengan baik.
Salah satu penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien
yang buruk yang didata oleh American Society of Anesthesiologist
(ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap episode pernapasan yang
buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi
tersebut. Tiga kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi sebanyak
75% pada saat tatalaksanan jalan napas yaitu : ventilasi yang tidak
adekuat (38%), intubasi esofagus (18%), dan kesulitan intubasi
trakhea (17%). Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari studi
kasus, mengalami kematian dan kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien
(dari 15411 pasien di atas), mengalami masalah sehubungan dengan
tatalaksana jalan napas yang minimal(Guyton, 2007 dan Abhgie,
2009). Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga
kendatipun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik.
Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi tergantung dari deteksi
gejala dini dan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih
buruk. Tulisan ini akan membahas tentang pengelolaan jalan nafas
(airway management) dan kesulitan dalam jalan napas (difficult
airway) dan penanganannya . BAB IITINJAUAN PUSTAKA1. AIR WAY
MANAGEMENT
2. DEFINISI
Airway Management ialah memastikan jalan napas tetap terbuka.
Tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera
melapangkang saluran pernapasan. yaitu dengan cara Triple airway
maneuver.
Pada Triple Airway Manuever terdapat tiga perlakuan yaitu:
3. Kepala ditengadahkan dengan satu tangan berada di bawah
leher, sedangkan tangan yang lain pada dahi. Leher diangkat dengan
satu tangan dan kepala ditengadahkan ke belakang oleh tangan yang
lain
4. Menarik rahang bawah ke depan, atau keduanya, akan mencegah
obtruksi hipofaring oleh dasar lidah. Kedua gerakan ini meregangkan
jaringan antara larings dan rahang bawah.
5. Menarik / mengangkat dasar lidah dari dinding pharyinx
posterior.
1.2 Anatomi Jalan Napas
Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu
hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju
orofaring (pars oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum
pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian
posterior dalam faring (gambar 5-1). Faring berbentuk U dengan
struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju
kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya
terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring,
orofaring dan laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan
dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke posterior.
Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan
orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah
terjadinya aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada
saat menelan. Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh
ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago (gambar 5-2) :
tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata
dan kuneiforme (Morgan, 2006).
Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf
kranial (gambar 5-3). Membran mukosa dari hidung bagian anterior
dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V1) saraf trigeminal (saraf
ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maxila
(V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf
sensori dari saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan
superior dan inferior dari palatum molle dan palatum durum. Saraf
lingual (cabang dari saraf divisi mandibula [V3] saraf trigeminal)
dan saraf glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi
umum pada dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian
posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf
glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf
glosofaringeal juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan
bagian dalam palatum molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk
sensasi jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior
yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf
laringeus eksternal yang bersifat motoris dan saraf laringeus
internal yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan
pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal
rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea
(Morgan, 2006).Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren
(cabang dari saraf laringeal superior) dengan pengecualian otot
krikotiroid, yang dipersarafi oleh saraf laringeal externa
(motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita suara,
seraya otot krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama
(Morgan,2006).2.3 Indikasi Bantuan Jalan Napas
6. Obstruksi jalan napas
7. Sumbatan di atas laring
8. Lidah yang jatuh ke hipofaring:
9. Pasien tidak sadar atau dalam keadaan anastesi posisi
terlentang. Pada pasien tidak sadar, tonus otot penyangga lidah
menurun sehingga lidah jatuh ke arah posterior dan menempel pada
dinding posterior faring dan menyebabkan obstruksi jalan nafas baik
total atau parsial. Terutama pada pasien gemuk, leher pendek, lidah
besar pada bayi.
10. Benda asing
11. Lendir
12. Bekuan darah
13. Gigi palsu yang terlepas
14. Muntahan
15. Makanan
16. Penyakit infeksi atau tumor jalan nafas bagian atas
17. Pembesaran tonsil
18. Polip pada rongga hidung
19. Tumor rongga mulut dan dasar lidah
20. Trauma di daerah muka
21. Trauma kepala yang mengenai daerah maksilo-fasial, yang
dapat merusak anatomi regio tersebut sehingga mengganggu pasase
udara melalui jalan napas atas
22. Sumbatan pada laring
23. Benda asing menyumbat rima glottis
24. Reaksi alergi anafilaktik
25. Tumor laring
26. Trauma laring
27. Paralisis pita suara
28. Spasme laring,yaitu karena pita suara menutup sebagian atau
seluruhnya. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh anastesi ringan
dan mendapat rangasangan sekitar faring. Terapi yang dapat
diberikan :
29. Triple Airway Maneuver
30. Ventilasi positif dengan oksigen 10 %
31. Bila tidak perbaikan diberikan pelumpuh otot suksinil 0,5
mg/kg iv, im deltoid, sublingual 2-4 mg/kg.
32. Sumbatan di bawah laring
33. Tumor mendesak trakea
34. Benda asing bronkus
35. Spasme bronkustumor bronkus
Tanda- tanda obstruksi jalan nafas
36. Stridor (mendengkur)
37. Pernafasan cuping hidung
38. Retraksi trakea
39. Retraksi torak (Latief, 2009).
2. Henti nafas : depresi pusat nafas, kelumpuhan otot
pernafasan
3. Pembedahan: durasi lama, posisi khusus
4. Pencegahan terhadap regurgitasi dan aspirasi 5. Mempermudah
ventilasi positif dan oksigenasi: saat resusitasi 6. Tak terasa ada
udara ekspirasi (latief, 2009). 2.4 Pengelolaan Jalan Nafas Tanpa
Alat1) Membuka jalan nafas dengan metode :- Head Tilt (dorong
kepala ke belakang)
- Chin Lift Manuver (perasat angkat dahu)
- Jaw Thrust Manuver (perasat tolak rahang)
Gambar 4. Teknik Jaw Thrust
Pada pasien yang diduga mengalami cedera leher dan kepala hanya
dilakukan Jaw Thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan
leher.
2) Membersihkan jalan nafas
- Finger Sweep (sapuan jari)
Gambar 5. Finger Sweep
Dilakukan bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing
dalam rongga mulut belakang atau hipofaring (gumpalan darah,
muntahan, benda asing lainnya) dan hembusan napas hilang.-
Abdominal Thrust (Gentakan Abdomen)
Gambar 6. Abdominal Thrust- Chest Thrust (Pijatan Dada)
Gambar 7. Chest Thrust pada bayi
- Back Blow (Tepukan Pada Punggung)
Gambar 8. Back Blow pada bayi2.5Pengelolaan Jalan Nafas Dengan
Alat1. Faringeal airway
Jika manuver triple airway kurang berhasil, maka dapat dipasang
jalan napas mulut-faring lewat mulut dengan Oropharyngeal airway
atau jalan napas hidung-faring lewat hidung denganNasopharyngeal
airway.
Nasopharyngeal airway (NPA) : berbentuk pipa bulat berlubang
tengahnya dibuat dari bahan karet lateks lembut. Pemasangan harus
hati-hati dan menghindari trauma mukosa hidung pipa diolesi dengan
jelly.
Oropharyngeal airway (OPA) : Berbentuk pipa gepeng lengkung
seperti huruf C berlubang ditengahnya dengna salah satu ujungnya
bertangkai dengan dinding lebih keras untuk mencegah kalau pasien
menggigit, lubang tetap paten, sehingga aliran udara tetap
terjamin. OPA juga dipasang bersama pipa trakea atau sungkup laring
untuk menjaga patensi kedua alat tersebut dari gigitan (Latief,
2009).
2. Face mask
Fase mask (sungkup muka) yaitu untuk mengantar udara/gas
anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan napas
pasien. Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung usia dan
pembuatnya. Ukuran 03 untuk bayi baru lahir, ukuran 02,01,1 untuk
anak kecil, ukuran 2 dan 3 untuk anak besar dan ukuran 4 dan 5
untuk dewasa (Latief,2009).
3. Laringeal mask airwayLaringeal mask airway (sungkup laring)
adalah alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea.Dikenal dua
macam sungkup laring :
40. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
41. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar
dan lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan
esofagus (Latief, 2009).
UkuranUsiaBerat (kg)
1.0
1.3
2.0
2.3
3.0
4.0
5.0Neonatus
Bayi
Anak Kecil
Anak
Dewasa kecil
Dewasa normal
Dewasa besar< 3
3-10
10-20
20-30
30-40
40-60
>60
Tabel 1. Ukuran LMA
1. Endotracheal tube
Endotracheal tube yaitu mengantar gas anestetik langsung ke
dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar
polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam
milimeter. Karena penumpang trakea bayi, anak kecil dan dewasa
berbeda, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil dibawah
usia 5 tahun hampir bulat, sedangkan dewasa seperti huruf D, maka
untuk bayi dan anak digunakan tanpa cuff dan untuk dewasa dengan
cuff supaya tidak bocor.
Endotracheal tube dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal
tube) atau melalui hidung ( nasotracheal tube) (Latief, 2009).
2. Laringoskop dan Intubasi
Laringoskop ialah alat yang digunakan untuk melihat laring
secara langsung supaya kita dapat memasukan pipa trakea dengan baik
dan benar
Intubasi
Intubasi adalah memasukan suatu lubang atau pipa trakea melalui
mulut ataupun hidung menuju trakhea dengan tujuan untuk menjaga
jalan napas (Latief, 2009).
Indikasi Intubasi Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk
pasien yang memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur
operasi meliputi rongga perut atau kepala dan leher. Ventilasi
dengan face mask atau LMA biasanya digunakan untuk prosedur operasi
pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan
hernia inguinal dan lain lain Indikasi dibagi menjadi :
42. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun
Kelainan anatomis, bedah khusus, bedah posisi khusus,
pembersihan sekret jalan napas dan lain-lain.
43. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi dan ventilasi jangka panjang.
44. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi (Latief,
2009).
Persiapan Intubasi
Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan
posisi pasien. TT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat
ditest dengan menggembungkan balon dengan menggunakan spuit 10 ml.
Pilih TT dengan ukuran yang sesuai. Laringoskop harus diperiksa,
blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan bola lampu
dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap
walaupun bola lampu bergoyang.
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar.
Kepala pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang
dokter anestesi untuk mencegah ketegangan bagian belakang yang
tidak perlu selama laringoskopi. Rigid laringoskop memindahkan
jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung untuk melihat
dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar
5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint
menempatkan pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian
bawah dari tulang leher adalah fleksi dengan menempatkan kepala
diatas bantal (Morgan, 2006).Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien
terbuka lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring
dengan hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan
masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade. Ujung dari
blade melengkung dimasukkan ke valekula, dan ujung blade lurus
menutupi epiglotis.Handle diangkat menjauhi pasien secara tegak
lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara.
Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade serta pengungkitan dari
gigi harus dihindari. TT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya
dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon TT
harus berada dalam trakea bagian atas tapi dibawah laring.
Langingoskop ditarik dengan hati-hati untuk menghindari kerusakan
gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang dibutuhkan agar
tidak ada kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk
meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakea.
Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk
menentukan tekanan balon yang adekuat (Morgan, 2006).
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera
diauskultasi dan capnograf dimonitor untuk memastikan TT ada di
intratrakeal. Jika ada keragu-raguan tentang apakah pipa dalam
esophagus atau trakea, cabut lagi TT dan ventilasi pasien dengan
face mask. Sebaliknya, jika sudah yakin, pipa dapat diplester atau
diikat untuk mengamankan posisi. Walaupun deteksi kadar CO2 dengan
capnograf merupakan konfirmasi terbaik untuk menentukan letak TT di
trakea, kita tetap tidak dapat mengabaikan terjadinya intubasi
bronkial. Manifestasi dini dari intubasi bronkial adalah
peningkatan tekanan respirasi puncak. Lokasi pipa yang tepat dapat
dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan
pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level
kartilago krikoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat
menyebabkan suara serak pada post operasi dan meningkatkan resiko
ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan
radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU
(Morgan, 2006).Hal yang diuraikan diatas diambil dari pasien tidak
sadar. Intubasi lewat mulut ini biasanya kurang ditoleran pada
pasien yang sadar. Jika perlu, dalam kasus terakhir, sedasi
intravena, penggunaan lokal anestetik spray dalam orofaring,
regional blok saraf akan memperbaiki penerimaan pasien.
Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan intubasi
kembali karena hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan untuk
meningkatkan keberhasilan, seperti mengatur kembali posisi pasien,
penurunan ukuran pipa, pemasangan mandrin, memilih blade yang
berbeda, mencoba lewat hidung atau meminta bantuan dokter anestesi
lainnya. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan face mask,
pilihan pengelolaan jalan nafas yang lain (contoh LMA, combitube,
krikotirotomi dengan jet ventilasi, trakeostomi). Petunjuk yang
dikembangkan oleh ASA untuk penanganan jalan nafas yang sulit,
termasuk algoritma rencana terapi (Morgan, 2006).Intubasi
NasotrakealIntubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa
TT masuk lewat hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum
dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih dan digunakan
adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes
hidung phenylephrine (0,5 0,25%) menyebabkan pembuluh
vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Akan tetapi,
pemberian tetes hidung phenyleprine yang berlebihan dapat
menimbulkan hipertensi, takikardi dan lain lain. Jika pasien sadar,
lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.TT yang
telah dilubrikasi dengan jeli yang larut dalam air, dimasukkan
dipergunakan didasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel TT
disisi lateral jauh dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat di
dasar rongga hidung, ujung proksimal dari TT harus ditarik ke arah
kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya
terlihat di orofaring, dengan laringoskop, digunakan untuk adduksi
pita suara. Seringnya ujung distal dari TT dapat dimasukan pada
trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan memasukkan ujung
pipa menuju pita suara mungkin difasilitasi dengan forcep Magil,
yang dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan balon
(Morgan, 2006).
Komplikasi Intubasi
45. Selama intubasi:
46. Trauma gigi-geligi
47. Laserasi bibir, gusi, laring
48. Merangsang saraf simpatis (hipersekresi dan takikardia)
49. Intubasi bronkus
50. Intubasi esofagus
51. Aspirasi
52. Spasme bronkus
53. Setelah ekstubasi
54. Spasme laring
55. Aspirasi
56. Gangguan fonasi
57. Edema glotis-subglotis
58. Infeksi laring, faring trakea (Latief,2009).
2.5.6Penghisapan Benda Cair (Suctioning)Bila terdapat sumbatan
jalan napas karena benda cair maka dilakukan penghisapan
(suctioning). Penghisapan dilakukan dengan menggunakan alat bantu
pengisap (penghisap manual portabel, pengisap dengan sumber
listrik).
Gambar 9. Teknik Suction
Membersihkan benda asing padat dalam jalan napas: Bila pasien
tidak sadar dan terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaring
yang tidak mungkin diambil dengan sapuan jari, maka digunakan alat
bantuan berupa laringoskop, alat penghisap (suction) dan alat
penjepit (forceps) (Morgan, 2006).1. Trakeostomi Trakeostomi adalah
tindakan membuat lubang pada dinding depan atay anterior trakea
untuk bernapas. Menurut letak stoma, traleostomi dibedakan letak
yang tinggi dan letak yang rendah dan batas letak ini ada;;ah
cincin trakea ketiga. Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan
maka trakeostomi dibagi dalam 1) trakeostomi darurat, 2)
trakeostomi berencana. Syatan kulit trakeostomi dapat vertikal di
garis tengah leher mulai di bawah krikoid sampai fosa suprasternal
ata jika membuat sayatan horizontal dilakuakn pada pertengahan
jarak antara kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau
kira-kira 2 jari dibawah krikoid orang dewasa (Soepardi, 2012). 2.
Krikotirotomi
Merupakan tindakan penyayatan pada pasien dalam keadaan gawat
napas. Dengan cara membelah membran krikotiroid, diantara tulang
rawan tiroid dan kartilago krikoid (Soepardi, 2012). 2. Difficult
Airway
2.6.1 Definisi
Difficult airway (Kesulitan Jalan Napas), menurut The American
Society of Anesthesiology (ASA)2003 adalah adanya situasi klinis
yang menyulitkan baik ventilasi dengan masker atau intubasi yang
dilakukan oleh dokter anestesi yang berpengalaman dan
terampil.2.6.2 Jenis Kesulitan Jalan Napas
Menurut ASA jenis kesulitan jalan napas dibagi menjadi 4 :
59. Kesulitan ventilasi dengan sungkup atau supraglottic airway
(SGA)Ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk
menjaga SO2 > 90 % saat ventilasi dengan menggunakan masker
wajah dan O2 inspirasi 100%, dengan ketentuan bahwa tingkat
saturasi oksigen pra ventilasi masih dalam batas normal.60.
Kesulitan dilakukan laringoskopiKesulitan untuk melihat bagianpita
suara, setelah dicoba beberapa kali dengan laringoskop
sederhana.61. Kesulitan intubasi trakeaDibutuhkannya lebih dari 3
kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang terakhir lebih dari 10
menit62. Kegagalan intubasiPenempatan ETT gagal setelah beberapa
kali percobaan intubasi (ASA, 2013).2.6.3 Etiologi & Faktor
Resiko
Tabel 1. Sindrom yang berperan sebagai penyulit dalam
tatalaksana jalan napas.
Keadaan PatologisKeadaan Klinis yang Mempengaruhi Jalan
Napas
Kongenital
Sindroma Pierre RobinSindroma Treacher Collins (dysostosis
mandibulofacial)
Sindroma Goldenhars (okulo-aurikula-vertebral)
Sindroma DownSindrom Klippel-Feil
Sindrom Alpert
Sindrom Beckwith (infantile
gigantisme)CherubismCretinismusSindrom Cri du ChatSindrom
Meckel
Von Recklinghausen disease
Sindrom Hurler
Sindrom Hunter
Sindrom PompeDIDAPAT
Infeksi
Supraglotis
Croup
Abses (intraoral, retrofaringeal)
PapilomatosisLudwigs AnginaArthritis
Rheumatoid arthritis
Spondilitis ankilosis
Tumor Jinak
Kistik higroma,lipoma, adenoma, goiterTumor Ganas
Karsinoma lidah, laryng, thiroidTrauma
Trauma kepala, wajah, tulang servikalLain-lain
Obesitas
Akromegali
CombustioMicrognasia, makroglossia, glossoptosis, cleft soft
palateDefek telinga dan mata, hipoplasi malar dan mandibula,
mikrostomia, atresia choane
Defek telinga dan matal; hipoplasia malar dan mandibula;
oksipitalisasi tulang atlas
Jembatan hidung tidak terbentuk dengan baik;
makroglosia;mikrosefalus;kelainan tulang servikalPenyatuan tulang
servikal, terbatasnya gerakan leher
Hipoplasia maksila; cleft soft palate; kelainan tulang rawan di
tracheobronchial
MakroglossiaLesi menyerupi tumor di mandibula dan maksila di
rongga mulut
Hilangnya jaringan thiroid; makroglossia; goiter; penekanan pada
trakhea, deviasi laryng atau trakheaAbnormalitas kromosom 5P;
mikrosepal; mikrognathia; laryngomalacia, stridor
Mikorsepalus, mikrognasia, celah pada epiglotis
Meningkatnya kejadian pheochromocytoma; tumor dapat muncul di
laryng dan Kaku sendi, obstruksi saluran napas atas akibat
infiltrasi jaringan limfoid; abnormalitas kartilago trakeobronkial;
ISPA berulangSama dengan sindrom Hurler, tetapi lebih berat;
pneumonia
Deposit otot, makroglossiaEdema laryng
Edema laryng
Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismusInfeksi virus
kronis yang membentuk papiloma yang obstruktif, terutam di
suprlagotis. Perlu pembedahan. Dapat berpindah ke subglotis setelah
trakeostomi.Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus
Ankilosis sendi temporomandibula, artritis krikoarytenoid,
deviasi laryng, terbatasnya gerakan leher
Ankilosis tulang servikal, jarang terjadi di daerah
temporomandibula, terbatasnya gerakan leher.Stenosis atau distorsi
jalan napasStenosis atau distorsi jalan napas; laryng terfiksasi
oleh jaringan fibrosis akibat radiasRhinorrhea, edema saluran
napas, perdarahan, fraktur maksila dan mandibula, kerusakan laryng,
dislokasi vertebra servikalLeher pendek dan tebal, lidah yang
besar
Makroglossia, prognatismus
Edema saluran napas (Morgan, 2006).
2.6.4 Diagnosis63. Anamnesis
Evaluasi preoperatif harus mencakup anamnesa atau riwayat
terutama yang berhubungan dengan jalan napas atau gejala-gejala
yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Bila mungkin,
perlu dilakukan dokumentasi terhadap masalah-masalah yang
berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Tanda dan gejala yang
berhubungan dengan jalan napas harus dijelaskan misalnya snoring
atau mengorok (misalnya pada sleep apnea yang obstruktif), karies
gigi, perubahan suara, disfagi, stridor, nyeri servikal atau
pergerakan leher yang terbatas, neuropathi ekstremitas atas, nyeri
atau disfungsi sendi temporo-mandibular dan nyeri tenggorokan atau
rahang yang berlangsung lama setelah pembiusan. Banyak kelainan
kongenital dan gejala yang didapat , berhubungan dengan penyulit
tatalaksana jalan napas.64. Pemeriksaan Fisik
Penilaian Kesulitan Ventilasi: (OBESE) 65. Over weight (body
mass index > 26 kg/m2)66. Beard67. Elderly (> 55 tahun)68.
Snoring69. Edentulous (Mangku, 2009).
Tanda kegagalan ventilasi:- Tidak adekuat atau tidak adanya
gerakan dinding dada- Berkurangny atau tidak adanya suara napas-
Pada auskultasi ditemukan tanda obstruksi- Sianosis- Dilatasi
lambung atau meningkatnya udara lambung- Berkurangnya atau tidak
adanya saturasi oksigen- Berkrangnya atau tidak adanya pengeluaran
karbondioksida- Berkurangnya atau tidak adanya hembusan udara pada
spirometri- Perubahan hemodinamik, hipoksia atau hiperkarbia (ASA,
2013). Penilaian Kesulitan Intubasi70. Mallampati Klasifikasi
Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan penampakan dari
orofaring(Morgan, 2006).
KlasifikasiKlinis
71. Kelas I
72. Kelas II
73. Kelas III
74. Kelas IVTampak uvula, pilar faring dan palatum mole
Pilar fausial dan palatum mole terlihatPalatum durum dan palatum
mole masih terlihat
Palatum durum sulit terlihat
75. M = Measurements 3-3-2-1 or 1-2-3-3 Fingers3 - Fingers Mouth
Opening3 - Fingers Hypomental Distance. 3 Fingers between the tip
of the jaw and the beginning of the neck (under the chin)2 -
Fingers between the thyroid notch and the floor of the mandible
(top of the neck)1 - Finger Lower Jaw Anterior subluxation 2,3
1. Movement of the neck
Ektensi leher "normal" adalah 35 (The atlanto-oksipital/ A-O
joint). Keterbatasan ektensi sendi terdapat pada spondylosis,
rheumatoid arthritis, halo-jaket fiksasi, pasien dengan gejala yang
menunjukkan kompresi saraf dengan ekstensi servikal.2,32.
Malformation of the Skull (S), Teeth (T), Obstruction (O),
Pathology (P)(STOP
S= Skull (Hydro and Mikrocephalus) T= Teeth (Buck, protruded,
& gigi berlubang, makro dan mikro mandibula) O= Obstruction
(obesitas, leher pendek dan bengkak disekitar kepala and leher)
P=Pathologi (kraniofacial abnormal & Syndromes: Treacher
Collins, Goldenhars, Pierre Robin, Waardenburg syndromes)
Jika score pasien 8 atau lebih, maka memungkinkan difficult
airway
76. Pemeriksaan Penunjang
Radiografi , CT-scan , fluoroskopi dapat mengidentifikasi
berbagai keadaan yang didapat atau bawaan pada pasien dengan
kesulitan jalan napas.2.7Penanganan Difficult Airway
2.71Evaluasi Jalan Napas77. Memperoleh riwayat kesulitan jalan
napas
78. Riwayat penyakit (kesulitan jalan napas) dapat membantu
dalam cara menghadapi kesulitan jalan nafas, riwayat operasi atau
riwayat anestesi, jika ada kemudian tanyakan waktu pelaksanaan(ASA,
2013). 79. Pemeriksaan fisik
80. Ciri-ciri anatomi tertentu (ciri-ciri fisik dari kepala dan
leher) dan kemungkinan dari kesulitan jalan nafas (ASA, 2013).
.
81. Evaluasi tambahan
82. Tes diagnostik tertentu (Radiografi , CT-scan , fluoroskopi
) dapat mengidentifikasi berbagai keadaan yang didapat atau bawaan
pada pasien dengan kesulitan jalan napas (ASA, 2013).
2.7.2Persiapan Standar pada Managemen Kesulitan Jalan Napas83.
Tersedianya peralatan untuk pengelolaan kesulitan jalan napas
84. Laryngoscope dengan beberapa alternatif desain dan ukuran
yang sesuai
85. Endotrakea tube berbagai macam ukuran.
86. Pemandu endotrakeal tube. Contohnya stylets semirigid dengan
atau tanpa lubang tengah untuk jet ventilasi, senter panjang, dan
mangil tang dirancang khusus untuk dapat memanipulasi bagian distal
endotrakeal tube.
87. Peralatan Intubasi fiberoptik.
88. Peralatan Intubasi retrograd.
89. Perangkat ventilasi jalan nafas darurat nonsurgical.
Contohnya sebuah jet transtracheal ventilator, sebuah jet ventilasi
dengan stylet ventilasi, LMA, dan combitube.
90. Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat
(misalnya, cricothyrotomy).
91. Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf).
92. Menginformasikan kepada pasien atau keluarga tentang adanya
atau dugaan kesulitan jalan nafas, prosedur yang berkaitan dengan
pengelolaan kesulitan jalan nafas, dan risiko khusus yang
kemungkinan dapat terjadi
93. Memastikan bahwa setidaknya ada satu orang tambahan sebagai
asisten dalam manajemen kesulitan jalan nafas,
94. Melakukan preoksigenasi dengan sungkup wajah sebelum memulai
manajemen kesulitan jalan nafas,
95. Secara aktif memberikan oksigen tambahan di seluruh proses
manajemen kesulitan jalan nafas. Dapat menggunakan nasal cannule,
facemask, LMA (ASA, 2013).1. Strategi Intubasi pada Kesulitan Jalan
Napas96. Intubasi sadar.
Intubasi endotrakea dalam keadaanpasien sadar dengan anestesi
topikal, pilhan teknik untuk mencegah bahaya aspirasi pada kasus
trauma berat pada muka, leher, perdarahan, serta kesulitan jalan
napas. Intubasi sadar dilakukan dengan pertolongan obat penenang
seperti diazepam, fentanyl atau petidin untuk mempermudah kooperasi
pasien tanpa harus menghilangkan refleks jalan napas atas (yang
harus mencegah apirasi). Boleh spray lidokain 2% pada lidah dan
farings, tetapi jangan kena plika vocalis. Diazepam 0,1- 0,2 mg/kg
iv dapat diberikan untuk mengurangi stres penderita dan memudahkan
intubasi.Pada beberapa penelitian membuktikan bahwa intubasi sadar
pada pasien yang menderita kesulitan jalan napas memberikan hasil
yang memuaskan 88-100%. 97. Laringoskopi dengan bantuan video.
98. Intubasi stylets atau tube-changer.
99. SGA untuk ventilasi (LMA, laringeal tube)
Penggunaan LMA (laringeal mask airway) meningkat untuk
menggantikan pemakaian face mask dan TT selama pemberian anestesi,
untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT pada pasien dengan
jalan nafas yang sulit, dan untuk membantu ventilasi selama
bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki
kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan
nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan:
LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang,
ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik
dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA
yang dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas
yang sulit (Morgan, 2006).
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir
bagian proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor
berukuran 15 mm, dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips
yang dapat dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan dulu,
kemudian diberi pelumas dan masukan secara membuta ke hipofaring,
sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara
laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam
dibandingkan untuk memasukan oral airway. Walaupun pemasangannya
relatif mudah, perhatian yang detil akan memperbaiki keberhasilan.
Posisi ideal dari balon adalah dasar lidah di bagian superior,
sinus pyriforme dilateral, dan spincter oesopagus bagian atas di
inferior. Jika esophagus terletak di rim balon, distensi lambung
atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi anatomi mencegah
fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA
tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih
tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang
ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh
epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan terbanyak,
maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung dengan
laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada
kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian balon digembungkan
sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester seperti
halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak
terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan
pada tempatnya sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini
biasanya ditandai dengan batuk atau membuka mulut sesuai dengan
perintah. LMA yang dapat dipakai lagi, dapat di autoklaf, dibuat
dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai ukuran
(Morgan, 2006).
LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau
TT. Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring
(misalnya abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya
kehamilan, hernia hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya
penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan tekanan inspirasi
puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional, LMA
dihindari pada pasien dengan bronkhospasme aatau resistensi jalan
nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa
karena tidak ditempatkan dalam trakea, penggunaan LMA dihubungkan
dengan kejadian bronkospasme lebih kurang dari pada dengan TT.
Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk trakeal
intubasi, LMA membuktikan sangat membantu terutama pada pasien
dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau
diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka
keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah digunakan sebagai
pipa untuk jalur stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet
stylet, fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm) (Morgan,
2006).100. SGA untuk intubasi (ILMA),
101. Laryngoscopic bilah rigid dari berbagai desain dan
ukuran,
Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk
fasilitas intubasi trakea. Handle biasanya berisi baterai untuk
cahaya bola lampu pada ujung blade, atau untuk energi fiberoptic
bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya dari bundle
fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.
Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan
diruang MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan
bentuk lurus. Pemilihan dari blade tergantung dari kebiasaan
seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena tidak ada blade
yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli
dengan bentuk blade yang beragam.
102. Intubasi dengan bantuan fiberoptik
Dalam beberapa situasi, misalnya pasien dengan tulang servikal
yang tidak stabil, pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular
joint, atau dengan kelainan kongenital atau kelainan didapat pada
jalan nafas atas- laringoskopi langsung dengan penggunakan rigid
laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan atau tidak dimungkinkan.
Suatu FOB yang feksibel mungkin visualisasi tidak langsung dari
laring dalam beberapa kasus atau untuk beberapa situasi dimana
direncanakan intubasi sadar (awake intubation). FOB yang dibuat
dari fiberglass ini mengalirkan cahaya dan gambar oleh refleksi
internal-contohnya sorotan cahaya akan terjebak dalam fiber dan
terlihat tidak berubah pada sisi yang berlawanan. Pemasangan pipa
berisi 2 bundel dari fiber, masing-masing berisi 10.000 15.000
fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya dari sumber cahaya ( sumber
cahaya bundel) yang terdapat diluar alat atau berada dalam handle
yang memberikan gambaran resolusi tinggi (Morgan, 2006).
Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan dengan
kawat yang kaku. Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari
sekresi, insuflasi O2 atau penyemprotan anestesi lokal. Saluran
aspirasi sulit untuk dibersihkan, akan tetapi, sebagai sumber
infeksi sehingga memerlukan kehati-hatian pada pembersihan dan
sterilisasi telah digunakan (Morgan, 2006).Cara intubasi Nasal
Fiberoptik Fleksibel Kedua lubang hidung dipersiapkan dengan
pemberian tetes vasokonstriktor. Identifikasi lubang hidung dimana
pasien bernafas lebih mudah. O2 dapat diinsuflasi melalui ujung
suction dan saluran untuk aspirasi dari FOB untuk memperbaiki
oksigenasi dan membuang sekret dari ujung tip (Morgan,
2006).Pilihan lain, nasal airway ukuran besar (ukuran 36F) dapat
dipasang dalam lubang hidung kolateral. Breathing sirkuit dapat
langsung dihubungkan pada ujung dari nasal airway untuk memberikan
O2 100% selama laringoskopi. Jika pasien tidak sadar dan tidak
bernafas spontan, mulut dapat diplester dan ventilasi dilakukan
melalui nasal airway tunggal. Bila teknik ini digunakan adekuat
ventilasi dan oksigenasi harus di konfirmasi dengan capnograph dan
pulse oximetry. TT yang telah diberi pelumas dan dimasukkan ke
dalam lubang hidung lainnya sepanjang nasal airway. Tangkai dari
FOB yang telah diberi pelicin dimasukan ke dalam lubang TT. Selama
endoskopi, jangan dimajukan jika hanya dinding dari TT atau membran
mukosa yang terlihat. Ini juga penting untuk mempertahankan tangkai
bronkoskop relatif lurus, jadi jika kepala dari bronkhoskop diputar
secara langsung, ujung distal akan bergerak dengan derajat yang
sama. Ketika ujung dari FOB masuk ujung distal dari TT, epiglotis
dan glotis harus tampak. Ujung dari bronchoskop dimanipulasi untuk
melewati pita suara yang telah abduksi (Morgan, 2006).
Ini tidak perlu dilakukan dengan cepat karena pasien sadar dapat
bernafas adekuat dan pada pasien dianestesi, jika ventilasi dan
oksigenasi tidak adekuat, FOB ditarik danlakukan ventilasi dengan
face mask. Minta asisten untuk jaw thrust atau lakukan tekanan pada
krikoid dapat membantu penglihatan pada kasus sulit. Jika pasien
bernafas spontan, tarik lidah dengan klem dapat memfasilitasi
intubasi Morgan, 2006). Sekali dalam trakea, FOB didorong masuk ke
dekat carina. Adanya cincin trakhea dan carina adalah membuktikan
posisi yang tepat. TT di dorong dari FOB. Sudut sekitar cartilago
arytenoid dan epiglotis dapat mencegah mudahnya memasukan pipa.
Penggunaan pipa yang berkawat baja biasanya menurunkan masalah ini
disebabkan lebih besarnya fleksibilitas dan sudut pada bagian
distal lebih tumpul. Posisi TT yang tepat dikonfirmasi dengan
melihat ujung dari pipa diatas karina sebelum FOB ditarik (Morgan,
2006).
103. Stylets menyala atau Ligth Wand (ASA, 2013). 2.7.4Akibat
dari kesulitan jalan napas Akibat yang dapat terjadi dari kesulitan
jalan napas, adalah:
1. kematian,
2. kerusakan otak,
3. cardiac arrest,
4. trauma jalan napas,
5. kerusakan gigi(ASA, 2013). 2.7.5 Algoritma Kesulitan Jalan
Napas
1. Menilai kemungkinan dan dampak klinis dari masalah pada
penanganan dasar: Kesulitan dengan kerjasama atau persetujuan
pasien Kesulitan ventilasi sungkup Kesulitan penempatan
Supraglottic Airway Kesulitan laringoskopi Kesulitan intubasi
Kesulitan akses bedah jalan napas (ASA, 2013). 6. Aktif memberikan
oksigen tambahan selama proses manajemen kesulitan jalan napas
7. Mempertimbangkan manfaat relatif dan kelayakan dari
penanganan dasar : Awake intubation vs intubasi setelah induksi
anestesi umum Teknik non-invasif vs teknik invasif untuk pendekatan
awal untuk intubasi Video laringoskopi sebagai pendekatan awal
untuk intubasi Menjaga Ventilasi spontan vs ablasi ventilasi
spontan (ASA,2013). 8. Mengembangkan strategi primer dan strategi
alternative
Kotak A dipilih bila kesulitan jalan nafas diantisipasi,
sedangkan kotak B untuk situasi dimana kesulitan jalan nafas tidak
diantisipasi. AAA tidak pada retardasi mental, intoksikasi,
kecemasan, penurunan derajat kesadaran, atau usia. Pasien ini
mungkin masih memasuki kotak A, tetapi intubasi awake mungkin
membutuhkan modifikasi teknik yang mempertahankan ventilasi spontan
contoh nys induksi inhalasi (ASA, 2013).
Pemasangan face mask, jika facemask adekuat, masuk jalur
nonemergensi ASA-DAA. Jika face mask gagal, lanjutkan dengan
ventilasi supraglotis dengan LMA. Jika berhasil, dilanjutkan jalur
nonemergensi ASA-DAA dan dilakukan intubasi trakea.
Bila ventilasi LMA gagal, dilanjutkan dengan jalur emergency.
ASA-DAA menyarankan penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube, rigid
bronkoskopi, oksigenasi transtrakeal, atau jalan nafas bedah.
Kegagalan penggunaan LMA, karena; sudut oral-faring sempit,
sumbatan pada level hipofaring, sumbatan di bawah liptan fokal
(ASA, 2013). 2.8 Ekstubasi
Ekstubasi terbaik dilakukan ketika pasien sedang teranestesi
dalam atau bangun. Pasien juga harus pulih sepenuhnya dari pengaruh
obat pelemas otot pada saat sebelum ekstubasi. Jika pelemas otot
digunakan, pernapasan pasien akan menggunakan ventilasi mekanik
terkontrol, maka dari itu pasien harus dilepaskan dari ventilator
sebelumekstubasi (Morgan, 2006).
Ekstubasi selama anestesi ringan (masa antara anestesi dalam dan
bangun) harus dihindari karena meningkatnya risiko laringospasme.
Perbedaan antara anestesi dalam dan ringan biasanya terlihat saat
suction/ penyedotan sekret faring : adanya reaksi pada penyedotan
(tahan napas, batuk) menandakan anestesia ringan, dimana jika tidak
ada reaksi menandakan anestesia dalam. Pasien membuka mata atau
bergerak yang bertujuan menandakan pasien sudah bangun (Morgan,
2006).Mengekstubasi pasien yang sudah bangun biasanya berhubungan
dengan batuk pada TT. Reaksi ini meningkatkan denyut nadi, tekanan
vena sentral, tekanan darah arteri, tekanan intrakranial, dan
tekanan intraokular. Hal ini juga dapat menyebabkan dehisensi luka
dan perdarahan. Adanya TT pada pasien asma yang sudah sadar dapat
memicu bronkospasme. Meskipun konsekuensi ini dapat diturunkan
dengan premedikasi 1,5 mg/kg lidokain intravena 1-2 menit sebelum
suction dan ekstubasi, ekstubasi saat anestesia dalam lebih
dianjurkan pada pasien yang tidak dapat mentolerir hal ini.
Ekstubasi menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki risiko
aspirasi atau yang jalan napasnya sulit untuk dikontrol setelah
pencabutan TT (Morgan, 2006).
Pasien teranestesi dalam atau sudah sadar, faring pasien juga
sebaiknya disuction terlebih dahulu sebelum ekstubasi untuk
mengurangi risiko aspirasi atau laringospasme. Pasien juga harus
diventilasi dengan 100% oksigen sebagai cadangan apabila
sewaktu-waktu terjadi kesulitan untuk mengontrol jalan napas
setelah TT dicabut. Sesaat sebelum ekstubasi, TT dilepas dari
plester dan balon dikempiskan. Pemberian sedikit tekanan positif
pada jalan napas pada kantong anestesia yang dihubungkan dengan TT
dapat membantu meniup sekret yang terkumpul pada ujung balon supaya
ke luar ke arah atas, menuju faring, yang kemudian dapat disuction.
Pencabutan TT pada saat akhir ekspirasi atau akhir inspirasi
mungkin tidak terlalu penting. TT dicabut dengan satu gerakan yang
halus, dan sungkup wajah biasanya digunakan untuk menghantarkan
oksigen 100% sampai pasien menjadi cukup stabil untuk diantar ke
ruang pemulihan. Pada beberapa institusi, oksigen dengan sungkup
wajah dipertahankan selama pengantaran pasien (Morgan, 2006).
5.7 Perawatan Lanjut
104. Mendokumentasikan adanya dan sifat dari kesulitan jalan
napas dalam rekam medis,
105. Menginformasikan pasien atau orang yang bertanggung jawab
dari kesulitan jalan napas yang dihadapi,
106. Mengevaluasi dan mengawasi pasien tentang kemungkinan
komplikasi yang terjadi pada manajemen kesulitan jalan nafas (ASA,
2013 ).BAB III
KESIMPULAN
Airway Management ialah memastikan jalan napas tetap terbuka.
Tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera
melapangkang saluran pernapasan.
Indikasi Bantuan Jalan Napas :
1. Obstruksi jalan napas
2. Henti nafas : depresi pusat nafas, kelumpuhan otot
pernafasan
3. Pembedahan: durasi lama, posisi khusus
4. Pencegahan terhadap regurgitasi aspirasi dan regurgitasi
5. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi: saat resusitasi
6. Tak terasa ada udara ekspirasi (latief, 2009).
Pengelolaan jalan nafas ( airway management ) terdiri atas :
107. Airway management tanpa alat
108. Airway management dengan memakai alat
Difficult airway (Kesulitan Jalan Napas), menurut The American
Society of Anesthesiology (ASA)2003 adalah adanya situasi klinis
yang menyulitkan baik ventilasi dengan masker atau intubasi yang
dilakukan oleh dokter anestesi yang berpengalaman dan terampil.
Penilaian difficult airway yaitu dengan menilai : anamnesis,
pemeriksaan fisik :menilai kesulitan ventilasi dan menilai
kesulitan intubasi.Penanganan Difficult Airway dapat menggunakan
algoritma penanganan difficult airway menurut ASA.
Dampak dari kegagalan jalan nafas dapat menyebabkan kerusakan
otak bahkan mencapai kematian, karena itu penilaian secara dini
terhadap adanya obstruksi jalan nafas dengan penilaian keadaan
pasien secara baik. DAFTAR PUSTAKA109. Guyton. Fisiologi
Kedokteran. EGC. Jakarta, 2007.
110. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New
York: Lange Medical Book. 2006111. Latief S, Suryadi K, Dachlan M.
Petunjuk Praktis Anestesologi. FKUI, Jakarta, 2009.112. Soepardi E,
Iskandar M, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. FK UI, Jakarta,
2012.113. Mangku G, Senapathi T. Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Indeks, Jakarta, 2009.114. ASA. 2013. Practice Guidelines for
Management of the Difficult Airway. The American Society of
Anesthesiology. V 118. No. 2. P. 1-20Pilihan lain termasuk: operasi
menggunakan masker wajah atau supraglottic airway (SGA) (Misalnya,
LMA, ILMA, laringeal tube), infiltrasi anestesi lokal atau blokade
saraf regional.
Akses jalan napas invasif meliputi bedah atau jalan napas
percutaneous, jet ventilation, dan intubasi retrograde.
Pendekatan alternatif : laringoskopi dengan video, bilah
laringoskop alternatif, SGA (LMA atau ILMA) sebagai saluran
intubasi (dengan atau tanpa bimbingan serat optik), intubasi dengan
serat optik , intubasi dengan stylet atau tabung changer, light
wand, dan blind oral or nasal intubation.
Pertimbangkan kembali persiapan pasien untuk intubasi sadar atau
membatalkan operasi.
Ventilasi jalan nafas non-invasif darurat terdiri dari SGA.
21