BAB IPENDAHULUAN
Sepsis adalah sindrom klinis yang disebabkan respon infl amasi
terhadap infeksi. Sepsis merupakan salah satu penyebab kemati an
terbesar di USA sehingga penatalaksanaan yang baik sesuai dengan
pedoman SSC diperlukan untuk menurunkan angka morbiditas dan
mortalitasSepsis adalah penyakit yang umum di perawatan intensif
dimana hampir 1/3 pasien yang masuk ICU adalah sepsis. Sepsis
merupakan satu di antara sepuluh penyebab kemati an di Amerika
Serikat. Angka kejadian sepsis meningkat secara bermakna dalam
dekade lalu. Telah dilaporkan angka kejadian sepsis meningkat dari
82,7 menjadi 240,4 pasien per 100.000 populasi antara tahun 1979
2000 di Amerika Serikat dimana kejadian Severe sepsis berkisar
antara 51 dan 95 pasien per 100.000 populasi.1 Dalam waktu yang
bersamaan angka kematian sepsis turun dari 27,8% menjadi 17,9%.
Jenis kelamin, penyakit kronis, keadaan imunosupresi, infeksi HIV
dan keganasan merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya sepsis. Beberapa kondisi tertentu seperti gangguan organ
secara progresif, infeksi nosokomial dan umur yang lanjut juga
berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian. Angka kematian
syok sepi berkurang dari 61,6% menjadi 53,1%. Turunnya angka
kematian yang diamati selama dekade ini dapat disebabkan karena
adanya kemajuan dalam perawatan dan menghindari komplikasi
iatrogenik. Seperti contoh pengembangan protokol early goal
resuscitation tidak bertujuan untuk mencapai target supranormal
untuk curah jantung dan pengangkutan oksigen.1,2 Sejak 2002 The
Surviving Sepsis Campaign telah diperkenalkan dengan tujuan awal
meningkatkan kesadaran dokter tentang mortalitas Severe sepsis dan
memperbaiki hasil pengobatan. Hal ini dilanjutkan untuk
menghasilkan perubahan dalam standar pelayanan yang akhirnya dapat
menurunkan angka kemati an secara bermakna.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
Sepsis didefi nisikan sebagai respon tubuh terhadap infeksi.
Isti lah lainnya, sepsis adalah sindrom klinis yang berasal dari
respon infl amasi terhadap infeksi. Dalam klinis, sepsis
didiagnosis bila adanya infeksi nyata atau curiga infeksi dengan
respon sistemik yang disebut Systemic Infl ammatory Response
Syndrome (SIRS). Sesuai dengan North American Consensus Conference
tahun 1991, SIRS didefi nisikan dengan adanya paling sedikit 2 dari
gejala dibawah ini. Suhu >38OC atau < 36OC 2. HR > 90x/m
3. RR > 20x/m (PaCO2 < 30 torr) 4. Lekosit >12.000 atau
< 3000/mm3 Severe sepsis berhubungan dengan adanya sepsis dan
satu atau lebih gangguan organ. Syok septi k didiagnosis dengan
adanya Severe sepsis dan adanya gagal sirkulasi akut walaupun telah
dilakukan resusitasi cairan.Kriteria Sepsis
Terdapat banyak istilah-istilah yang terkait sepsis yang perlu
dipahami: 1. Inflamasi: respon lokal yang dipicu oleh jejas atau
kerusakan jaringan, bertujuan untuk menghancurkan, melarutkan bahan
penyebab jejas ataupun jaringan yang mengalami jejas, yang ditandai
dengan gejala klasik dolor, kalor, rubor, tumor dan functio
laesa.2. Infeksi: ditemukannya organisme pada tempat yang normal
steril, yang biasanya disertai dengan respon inflamasi tubuh.3.
Bakteremia: ditemukan bakteri di dalam darah, dibuktikan dengan
biakan. 4. Septikemia: bakterimia disertai dengan gejala klinik
yang bermakna.5. Systemic Inflamatory Response Syndrome
(SIRS).Istilah ini menggambarkan respon inflamasi sistemik yang
disebabkan oleh berbagai kondisi seperti trauma, luka bakar,
aspirasi, kontusio pulmonal dan pankreatitis, termasuk infeksi. 6.
Sepsis: respon sistemik terhadap infeksi. Manifestasinya sama
dengan SIRS tetapi selalu dihubungkan dengan adanya proses infeksi.
Jadi sepsis = SIRS yang disebabkan oleh infeksi.Respon sistemik:
respon sistemik tersebut ditandai dengan 2 atau Iebih tanda:
-temperatur > 38C atau kurang dari 36C -denyut jantung >
90/menit -respirasi > 20/menit atau PaC02 < 32 mmHg (
12.000/mm3, atau > 10% bentuk immature/band. 7. Sindrom Sepsis:
klinis infeksi dengan respon sistemik yang menyebabkan gangguan
organ berupa: insufisiensi respirasi, disfungsi renal, asidosis
atau gejala mental.8. Sepsis berat : kondisi sepsis disertai adanya
disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi. Manifestasi
hipoperfusi dan gangguan perfusi antara lain dapat berupa asidosis
laktat, oliguri atau penurunan kesadaran.9. Syok septik: terjadi
pada pasien dengan sepsis berat, dengan manifestasi hipotensi yang
menetap meskipun telah mendapatkan resusitasi cairan yang adekuat,
disertai dengan penurunan perfusi jaringan dan gangguan fungsi
organ-organ.10. Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS):Gangguan
fungsi organ pada pasien akut yang sedemikian rupa sehingga
homeostatis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Kondisi ini
ditandai dengan adanya perubahan kontinyu pada lebih dari 1 organ
tubuh. Disfungsi dapat berupa kegagalan total suatu organ tubuh
(misal: gagal ginjal, oliguri) atau hanya berupa kegagalan kimiawi
baik yang menimbulkan gejala klinis ataupun tidak (misal:
peningkatan kadar kreatinin serum). (Suharto,
2000)PATOGENESISFaktor mikrobial dan faktor penjamuSelama ini
diterima pendapat bahwa sepsis dan syok sepsis erat kaitannya
dengan faktor mikrobial dan faktor penjamu. Faktor mikrobial
penting peranannya sebagai pencetus segala perubahan patogenesis
dan patofisiologi yang terjadi, dan juga terkait dengan pemilihan
antiibiotik yang sesuai. Faktor penjamu merupakan faktor penentu
mudah/sukarnya mikroorganisme masuk dan berkembang biak, di samping
bagaimana responnya (Suharto, 2000; Light, 1998).Proses kejadian
sepsisSebagian besar penderita sepsis menunjukkan adanya fokus
infeksi jaringan sebagai sumber bakteremia (bakteremia sekunder).
Kuman gram negatif merupakan komensal normal dalam GIT, yang
kemudian menyebar ke struktur yang berdekatan, seperti dalam
peritonitis perforasi. Sepsis juga bisa ditimbulkan oleh kuman gram
positif biasanya timbul dari infeksi kulit atau saluran respirasi,
juga bisa dari luka terbuka misalnya pada luka bakar. Penyebab yang
lebih jarang adalah: jamur terutama Candida dan virus (Baxter,
1997; Light, 1998). Toksin bakteri memegang kunci dalam kejadian
sepsis bahkan cukup dengan toxin bakteri tanpa kehadiran bakteri
secara sistemik secara klinik dapat menimbulkan syok
sepsis.Peradangan yang tercetus sebenarnya berfungsi untuk
membatasi, melawan proses penyebarannya, menghilangkan dan
eradikasi organisme penyebab. Tapi bila respon peradangan ini
berkepanjangan dan berlebihan akan merugikan. Demam dan radang
berlangsung diperantarai oleh mediator inflamasi termasuk berbagai
sitokin. Di antara semua sitokin, TNF- dianggap sebagai mediator
yang paling poten dalam patofisiologi sindrom sepsis gram negatif.
Secara umum perubahan ini meliputi: perubahan endotel, kebocoran
kapiler, tachikardi, hipotensi dan depresi myokard. Perubahan yang
terjadi berakibat perubahan aliran darah dimikrosirkulasi dan
kerusakan yang progresif pada endotel kapiler dan jaringan
(Patrick, 2006).TNF- memicu timbulnya demam, tachikardi, tachypnea,
myalgia, leukositosis dan somnolensi. Pemberian infus TNF- dalam
dosis besar pada binatang percobaan, dapat menyebabkan syok, DIC
dan kematian. TNF- menstimulasi leukosit dan endotel vaskuler
melepaskan sitokin-sitokin lain (selain TNF- sendiri), dan
meningkatkan perubahan asam arakhidonat (Suharto, 2000; Carcille,
2005). Asam arakhidonat yang dibebaskan dari fosfolipid oleh
phospholipase A2 akan diubah dalam jalur siklooksigenase menjadi
prostaglandin dan tromboksan. Prostaglandin dan prostasiklin dapat
menyebabkan vasodilatasi perifer, sedangkan tromboksan menyebabkan
vasokonstriksi dan memacu agregrasi trombosit. Leukotrien juga
merupakan mediator yang kuat pada iskemia dan syok. Bahan
fosfolipid yang lain adalah PAF yang dapat menyebabkan agregasi
leukosit serta jejas jaringan (Carcille, 2005).Pada pasien sepsis
terdapat gangguan keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis
yang berakibat adanya keadaan prokoagulan, yang ikut berperan dalam
timbulnya kegagalan organ dan kematian. Deposisi fibrin
intravaskuler, trombosis dan DIC merupakan gambaran penting yang
dijumpai pada sepsis. TNF- memicu terjadinya koagulasi intra
vaskuler dengan cara menginduksi ekspresi faktor jaringan monosit.
Bila faktor jaringan diekspresikan oleh monosit, ia akan mengikat F
VIIa untuk membentuk kompleks aktif yang akan mengubah F X dan XI
menjadi enzim aktif. Akibatnya adalah akan terjadi aktifasi
koagulasi dengan hasil akhir terbentuknya fibrin (Carcille,
2005).Komplemen C5a dan produk lain hasil aktivasi komplemen akan
meningkatkan aktifasi reaksi neutrofil misalnya kemotaksis,
agregrasi, degranulasi dan produksi radikal oksigen. Bila diberikan
pada binatang, terbukti akan menginduksi terjadinya vasokontriksi
pulmoner, neutropenia dan kebocoran vaskuler karena kerusakan
endotel.Banyak alat tubuh mengalami kerusakan akibat sepsis.
Mekanisme yang mendasari sangat mungkin adalah terjadinya jejas
endotel vaskuler yang sangat luas, di samping ekstravasasi cairan
dan mikrotrombi yang akan menurunkan penggunaan oksigen dan bahan
lain oleh jaringan yang bersangkutan. Integritas kapiler akan rusak
oleh pengaruh enzim neutropil (misalnya elastase) dan bahan
metabolit toksik lainnya, sehingga timbul perdarahan lokal
(Carcille, 2005).Perubahan hemodinamik dimana dikeluarkan
nitrooksida yang menyebabkan vaskuler sistemik resistensi (SVR)
menurun, peningkatan permeabilitas kapiler akibat gangguan pada
endotel berakibat ekstravasasi, udema interstitiel bahkan udema
intraseluler. Udema pada dua kompartemen tersebut berakibat
terjadinya gangguan metabolisme sel, oksigen yang tersedia menurun
di bawah level kritis, kegagalan penggunaan oksigen, jaringan
melakukan metabolisme anaerob, terjadi akumulasi laktat, asidosis
metabolik dan pada gilirannya menyebabkan Multiple Organ
Dysfunction Syndrome (MODS) (Suharto, 2000; Patrick,
2006).Diagnosis dan Penilaian klinis Pengenalan dini dan teliti
dari tanda dan gejala sepsis diharuskan dalam penerimaan pasien.
Faktor risiko seperti umur, jenis kelamin, ras, status
imunocompromised dan pemakaian alat-alat invasif atau kondisi lain
yang dapat menyebabkan kolonisasi bakteri. Temuan klinis dan
laboratorium sangat penti ng. Demam adalah salah satu tanda infeksi
walaupun hipotermia dapat terjadi pada pasien-pasien tertentu.
Tanda-tanda nonspesifik lainnya seperti takipneu dan hipotensi
sebaiknya juga diperiksa. Penyebab infeksi juga dicari dengan
pemeriksaan klinis yang cermat dan dapat dilengkapi dengan
pemeriksaan x-ray, CT scan, USG atau yang lainnya. Adanya gangguan
organ dan beratnya gangguan juga harus diperiksa. Acute Lung Injury
atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ALI/ARDS) ALI tampak pada
60%-70% pasien dengan Severe sepsis. Hal ini ditandai dengan adanya
infi ltrat paru pada rontgen tanpa adanya gagal jantung kiri
(PaWP< 300 untuk ALI atau < 200 untuk ARDS. Tingkat keparahan
ALI/ARDS menentukan venti lasi mekanik. Venti lasi mekanik akan
memulihkan pertukaran gas paru dan mengurangi kebutuhan metabolik.
Efek merugikan sebaiknya dihindarkan dengan Protecti ve Venti
latory Strategies. Gangguan sistem saraf pusat : ensefalopati septi
k Jika sumber infeksi diluar CNS, gangguan neurologik dapat
dianggap sebagai ensefalopati septi k. Beberapa kondisi lainnya
dapat menambah efek sekunder seperti hipoksemia, gangguan metabolik
dan elektrolit, dan hipoperfusi serebral selama keadaan syok.
Gejala dapat bervariasi mulai dari agitasi,confussion,delirium dan
koma. Walaupun ti dak terlihat defi sit neurologis tetapi dapat
terjadi mioklonus dan kejang. Gangguan CNS berat memerlukan
proteksi jalan napas dan support ventilasi. Gangguan Hati :
Gangguan hati ditandai dengan adanya hepatomegali dan total
bilirubin > 2mg/dl. Adanya peningkatan bilirubin tergonjugasi
dan peningkatan GGT sering terjadi. Gangguan hematologi dan
koagulasi Penurunan sel darah merah tanpa adanya perdarahan dan
penurunan trombosit < 100.000/mm3 sering ditemukan. Sepsis
menambah koagulasi dan menurunkan fi brinolisis. Endogenous- acti
vated Protein C yang mencegah trombosis mikrovaskular juga turun
selama sepsis. Ketika terjadi penyumbatan pembuluh darah kecil
dapat terjadi gangguan mikrosirkulasi yang akan menyebabkan dysoxia
jaringan. Dalam sepsis berat, pemberian rhAPC dapat membantu
memperbaiki gangguan koagulasi.1 Gangguan ginjal : Gangguan fungsi
ginjal dapat terjadi dengan produksi urin yang normal maupun
berkurang. Peningkatan kreati nin > 0,3mg/dl dari nilai
sebelumnya atau peningkatan > 50% atau oliguri < 0,5
cc/kgbb/jam lebih dari 6 jam menandakan gangguan ginjal akut dan
dapat mempengaruhi keluaran yang buruk. Traktus gastrointestinal :
Iskemia splanchnic dan asidosis intramukosa terjadi selama sepsis.
Tanda klinis mencakup perubahan fungsi otot halus usus dan terjadi
diare. Perdarahan GIT disebabkan stress ulcer gastritis akut yang
juga manifestasi sepsis. Monitoring pH intramukosa lambung
digunakan untuk mengenali dan petunjuk terapi resusitasi.
Peningkatan pCO2 intraluminal dikaitkan dengan adanya iskemia
jaringan dan asidosis mukosa. Gangguan neuromuscular : Otot
skeletal juga dipengaruhi oleh mediator infl amasi dan oksigen
reaktif yang secara simultan menurunkan sintesa protein dan
proteolisis. Faktor faktor ini dapat menurunkan kekuatan otot
termasuk otot pernapasan yang dapat mempengaruhi atau menyebabkan
gagal napas akut. Identifikasi sumber infeksi dan agen microbial
penti ng selama sepsis. Pemeriksaan mikrobiologi sangat diperlukan
dan pemberian terapi anti biotik yang adekuat harus dimulai
sesegera mungkin. Kecurigaan sepsis harus diikuti dengan
pemeriksaan kultur yang diambil dari darah dan fokus lain yang
dicurigai. Pemeriksaan lainnya ti dak boleh tertunda dan dapat
melengkapi informasi. Kultur darah yang positi f hanya didapat pada
50% penderita. 20-30% penderita sepsis ti dak ditemukan penyebab
bakterial. Infeksi secara umum dapat disebabkan oleh bakteri, virus
dan jamur. Penatalaksanaan klinis Severe sepsis berdasarkan
evidence-based Penanganan Severe sepsis dan syok septik saat ini
bertujuan untuk mangatasi infeksi, mencapai hemodinamik yang
stabil, meningkatkan respon imunitas, dan memberikan support untuk
organ dan metabolisme. Surviving Sepsis Campaign (SSC) adalah
prakarsa global yang terdiri dari organisasi internasional dengan
tujuan membuat pedoman yang terperinci berdasarkan evidence-based
dan rekomendasi untuk penanganan Severe sepsis dan syok septi k.
Penanganan berdasarkan SSC: 1. Sepsis Resuscitati on Bundle (initi
al 6 h) Resusitasi awal pasien sepsis harus dikerjakan dalam waktu
6 jam setelah pasien didiagnosis sepsis. Hal ini dapat dilakukan di
ruang emergensi sebelum pasien masuk di ICU. Identifikasi awal dan
resusitasi yang menyeluruh sangat mempengaruhi outcome. Dalam 6 jam
pertama Golden hours merupakan kesempatan yang kritis pada pasien.
Resusitasi segera diberikan bila terjadi hipotensi atau peningkatan
serum laktat > 4mmol/l. Resusitasi awal ti dak hanya stabilisasi
hemodinamik tetapi juga mencakup pemberian anti bioti k empirik dan
mengendalikan penyebab infeksi. Resusitasi Hemodinamik Resusitasi
awal dengan pemberian cairan yang agresif. Bila terapi cairan ti
dak dapat memperbaiki tekanan darah atau laktat tetap meningkat
maka dapat diberikan vasopressor. Target terapi CVP 8-12mmHg, MAP
65mmHg, produksi urin 0,5 cc/kg/jam, oksigen saturasi vena kava
superior 70% atau saturasi mixed vein 65% Terapi inotropik dan
Pemberian PRC Jika saturasi vena sentral < 180mg/ dl menurunkan
mortalitas daripada target antara 80- 108mg/dl. Banyaknya episode
hipoglikemia ditemukan pada kontrol GD yang ketat. Rekomendasi SSC
adalah mempertahankan gula darah < 150 mg/dl. Recombinant
Human-Acti vated Protein C (rhAPC) Pemberian rhAPC ti dak
dianjurkan pada pasien dengan risiko kemati an yang rendah atau
pada anakanak. SSC merekomendasikan pemberian rhAPC pada pasien
dengan risiko kemati an ti nggi (APACHE II25 atau gagal organ multi
pel) Pemberian Produk darah Pemberian PRC dilakukan bila Hb turun
dibawah 7.0 g/dl. Direkomendasikan target Hb antara 7-9 g/ dl pada
pasien sepsis dewasa. Tidak menggunakan FFP untuk memperbaiki hasil
laboratorium dengan masa pembekuan yang abnormal kecuali ditemukan
adanya perdarahan atau direncanakan prosedur invasif. Pemberian
trombosit dilakukan bila hitung trombosit < 5000/mm3 tanpa
memperhatikan perdarahan.
PRINSIP DASAR PENATALAKSAAN SEPSISA. Resusitasi Awal1 Resusitasi
pada pasien sepsis berat atau hipoperfusi jaringan yang diinduksi
sepsis (hipotensi atau asidosis laktat) harusnya dimulai sesegera
mungkin setelah sindrom tersebut diketahui dan tidak seharusnya
tertunda karena menunggu masuk ICU. Peningkatan kadar laktat serum
menunjukkan hipoperfusi jaringan pada pasien yang tidak hipotensif.
Selama 6 jam pertama, tujuan resusitasi awal pada hipoperfusi yang
terinduksi sepsis termasuk semua kriteria dibawah ini sebagai satu
bagian dari protokol penatalaksanaan :1. Tekanan vena sentral :
8-12 mmHg2. Tekanan arteri rata-rata > 65 mmHg3. Produksi urin
> 0,5 mm/kgBB/jam4. Saturasi oksigen 70 %Penatalaksanaan awal
tersebut menunjukkan perbaikan harapan hidup pasien UGD yang
menderita sepsis. Resusitasi yang bertujuan pada kriteria tersebut
diatas pada periode 6 jam pertama resusitasi mampu menurunkan angka
mortalitas hari-28. Meskipun pengukuran laktat mungkin berguna,
presisinya sebagai pengukur status metabolisme jaringan masih
kurang. Pada pasien yang menggunakan ventilator mekanik, target CVP
direkomendasikan 12-15 mmHg sebagai kompensasi peningkatan tekanan
intrathorakal. Meskipun penyebab takikardi pada pasien sepsis
bersifat multifaktorial, penurunan frekuensi nadi setelah
resusitasi cairan merupakan petunjuk penting perbaikan pengisian
intravaskuler.
2. Selama 6 jam pertama resusitasi, jika saturasi 70 % tidak
tercapai dengan resusitasi cairan yang menunjukkan CVP 8-12 mmHg,
diperlukan tranfusi PRC untuk mencapai hematokrit 30 % dan/atau
pemberian dobutamin infus (sampai maksimal 20 g/kg/menit) untuk
mencapai tujuan ini.
B. Diagnosis1. Kultur seharusnya selalu dilakukan sebelum
dimulai terapi anbtimikrobial. Diperlukan setidaknya 2 kultur darah
yang diambil salah satunya lewat perkutan dan satunya lagi diambil
melalui peralatan akses vaskuler yang ada, kecuali jika alat
tersebut dipasang kurang dari 48 jam. Kultur dari tempat lainnya
seperti urin, LCS, luka, sekret respirasi, atau cairan tubuh
lainnya harus diambil sebelum dimulai terapi antibiotik. 2.
Pemeriksaan diagnostik seharusnya dilakukan secepatnya untuk
menentukan sumber infeksi dan organisme penyebab. Pemeriksaan
radiografis seharusnya juga dilakukan, meskipun terkadang pasien
tidak stabil untuk menjalani prosedur invasif tertentu atau
ditransport keluar dari ICU.
C. Terapi Antibiotik1. Terapi antibiotik intravena seharusnya
dimulai dalam 1 jam pertama setelah diketahui terjadinya sepsis
berat, setelah kultur diambil.2. Terapi antibiotik awal secara
empiris seharusnya termasuk 1 atau lebih obat yang mempunyai
aktifitas melawan patogen yang dicurigai (bakterial atau fungal)
dan memungkinkan menembus kedalam sumber sepsis yang dicurigai.
Pemilihan obat seharusnya berdasarkan pola kuman di masyarakat dan
di rumah sakit.3. Pemberian antimikrobial seharusnya selalu
ditinjau kembali setelah 4872 jam yang tujuannya dapat dipilihnya
antibiotik spektrum sempit untuk mencegah terjadinya resistensi,
mengurangi toksisitas, dan mengurangi biaya. Apabila patogen
penyebab telah teridentifikasi, tidak ada bukti yang menunjukkan
terapi kombinasi lebih efektif dibandingkan monoterapi. Durasi
terapi antibiotik seharusnya berjalan selama 7-10 hari dan
berdasarkan respon klinis. Banyak klinisi menggunakan terapi
kombinasi untuk pasien sepsis berat atau syok septik dengan
netropenia. Pada kasus ini terapi antibiotik berlanjut sepanjang
terjadinya netropenia.4. Apabila sindrom klinis menunjukkan
penyebabnya adalah non infeksi, terapi antimikroba seharusnya
dihentikan secepatnya untuk meminimalkan terjadinya patogen
resisten dan superinfeksi oleh organisme patogen lainya.D. Kontrol
Sumber Infeksi1. Setiap pasien sepsis seharusnya dievaluasi
terdapatnya fokus infeksi, terutama dari drainase abses atau fokus
infeksi lokal, debridement jaringan nekrotik terinfeksi, pelepasan
peralatan yang memungkinkan terinfeksi, atau kontrol definitif
sumber kontaminasi mikroba yang masih ada.2. Pemilihan cara
mengontrol sumber infeksi harus memperhatikan untung ruginya.
Intervensi kontrol sumber infeksi dapat menyebabkan komplikasi
seperti perdarahan, fistula, atau cedera jaringan yang tidak
dikehendaki.3. Apabila sumber infeksi ternyata seperti abses
intrabdomen, perforasi gastrointestinal, kolangitis, atau iskemia
intestinal, pengontrolan sumber infeksi tetap harus secepatnya
dilakukan setelah resusitasi awal.4. Apabila peralatan akses
intravena dicurigai sebagai sumber infeksi, maka harus secepatnya
dilepas setelah dipasang akses vaskular lainnya.
Tindakan untuk mengontrol sumber infeksiE. Terapi Cairan1.
Resusitasi cairan dapat berupa koloid alami atau buatan, atau
kristaloid. Tidak ditemukan bukti bahwa suatu jenis cairan lebih
baik dari jenis cairan lainnya.2. Uji cairan pada pasien yang
dicurigai hipovolemia (dicurigai terdapat sirkulasi arterial yang
tidak adekuat) dapat diberikan 500-1000 cc kristaloid atau 300-500
cc koloid dalam 30 menit dan diulang berdasarkan respon klinis
(peningkatan tekanan darah dan produksi urin), dan dimonitor adanya
kelebihan cairan intravaskuler.
F. Vasopresor1. Apabila uji cairan tidak mampu menghasilkan
tekanan darah dan perfusi organ yang adekuat, terapi dengan obat
vasopresor harus segera dimulai. Terapi vasopresor dapat juga
diperlukan untuk memelihara perfusi pada kasus hipotensi yang
mengancam jiwa, meskipun uji cairan sedang berlangsung dan
hipovolemia dapat dikoreksi.2. Norepinefrin atau dopamin (melalui
CVC yang sesegera mungkin dipasang) merupakan obat vasopresor
pilihan utama untuk mengatasi hipotensi pada syok septik.3. Dopamin
dosis rendah tidak seharusnya digunakan untuk proteksi renal
sebagai bagian pengobatan sepsis berat.4. Semua pasien yang
memerlukan vasopresor seharusnya dipasang kateter arterial sesegera
mungkin.5. Penggunaan vasopresin dapat dipertimbangkan diberikan
pada pasien dengan syok refrakter setelah pemberian resusitasi
cairan dan penggunaan vasopresor konvensional dosis tinggi.
G. Terapi Inotropik1. Pada pasien dengan curah jantung rendah
meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat, dobutamin
dapat digunakan untuk meningkatkan curah jantung. Jika digunakan
pada kondisi tekanan darah yang rendah, dobutamin seharusnya
dikombinasi dengan terapi vasopresor.2. Strategi meningkatkan
indeks kardial untuk memperoleh level yang lebih tinggi tidak
direkomendasikan.
H. Steroid1. Kortikosteroid intravena (hidrokortison 200-300
mg/hari, selama 7 hari dalam 3-4 dosis terbagi atau dengan infus
kontinyu) direkomendasikan pada pasien dengan syok septik yang
memerlukan terapi vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah
yang adekuat setelah penggantian cairan yang adekuat.a) Beberapa
penelitian menggunakan tes stimulasi ACTH 250 g untuk
mengidentifikasi pasien yang responsif (peningkatan > 9 g/dL
kortisol setelah 30-60 menit pemberian ACTH) dan menghentikan
terapi pada pasien tersebut. Klinisi tidak harus menunggu hasil
stimulasi ACTH untuk memberikan kortikosteroidb) Beberapa ahli
menurunkan dosis steroid setelah pebaikan syok septik.c) Beberapa
ahli mempertimbangkan menurunkan secara bertahap dosis
kortikosteroid pada akhir terapi.d) Beberapa ahli menambahkan
fludrokortison ( 50 g peroral 4 kali sehari) pada terapi steroid
tersebut.2. Dosis kortikosteroid hidrokortison > 300 mg dalam
sehari tidak boleh digunakan pada sepsis berat atau syok septik,
jika tujuannya untuk memperbaiki syok septik.3. Kortikosteroid
tidak boleh diberikan pada penatalaksanaan sepsis jika tidak
terdapat syok septik. Tidak ada kontraindikasi untuk melanjutkan
terapi steroid pemeliharaan atau menggunakan steroid dosis tertentu
jika pasien mempunyai riwayat pemberian kortikosterid atau riwayat
gangguan endokrin.
I. Recombinant Human Activated Protein C (rhAPC)rhAPC
direkomendasikan pada pasien yang beresiko tinggi meninggal (APACHE
II > 25, gagal organ multipel terinduksi sepsis, syok septik,
atau ARDS terinduksi sepsis) dan tidak ada kontraindikasi absolut
atau kontraindikasi relatif yang berhubungan dengan resiko
perdarahan.
Tabel 2. Kontraindikasi penggunaan rhAPC
J. Pemberian Produk Darah1. Apabila hipoperfusi jaringan
ditemukan dan tidak terdapat penyakit arteri koroner, perdarahan
akut, atau asidosis laktat, tranfusi sel darah merah harus
diberikan hanya jika hemoglobin turun kurang dari 7 gr/dL untuk
mencapai target hemoglobin 7-9 gr/dL.2. Eritropoetin tidak
direkomendasikan sebagai terapi spesifik untuk anemia yang
berhubungan dengan sepsis berat, tapi mungkin bisa diberikan
apabila pasien sepsis mempunyai alasan kuat pemberian eritropoetin
seperti gagal ginjal disertai produksi sel darah merah yang
kurang.3. Tidak direkomendasikan pemberian rutin plasma segar yang
dibekukan untuk mengkoreksi abnormalitas pembekuan darah tanpa
disertai perdarahan atau direncanakan tindakan invasif. 4.
Pemberian antitrombin tidak direkomendasikan dalam pengobatan
sepsis berat atau syok septik.5. Trombosit seharusnya diberikan
apabila AT < 50000 /mm3 meskipun tidak muncul perdarahan.
Tranfusi trombosit dipertimbangkan apabila AT 5000-30000/mm3 dan
terdapat resiko perdarahan. Angka trombosit yang lebih tinggi
(>50000 /mm3 ) diperlukan untuk operasi atau tindakan
invasif.
K. Ventilasi Mekanik pada ARDS/ ALI Terinduksi Sepsis.1. Volume
tidal yang tinggi dengan tekanan tinggi harus dihindari pada
ARDS/ALI. Titik awalnya adalah pengurangan volume tidal dalam 1-2
jam sampai volume tidal rendah ( 6 ml/kg) bersamaan dengan
mempertahankan tekanan akhir ekspirasi < 30 cmH2O .2.
Hiperkapnia dapat ditoleransi pada pasien ARDS/ALI jika diperlukan
untuk meminimalkan volume tidal dan tekanan plateu.3. PEEP dapat
diberikan untuk mencegah menutupnya alveoli pada akhir ekspirasi.
Pengaturan PEEP berdasarkan derajat defisit oksigenasi dan
ditentukan oleh FiO2 yang diperlukan untuk mempertahankan
oksigenasi.4. Pada fasilitas ICU yang berpengalaman dapat
dipertimbangkan penggunaan posisi tengkurap pada pasien ARDS untuk
mendapatkan perbaikan Fi O2 atau tekanan plateu yang tidak memiliki
resiko tinggi untuk perubahan posisi tersebut. 5. Jika tidak
dikontraindikasikan, pasien dengan ventilasi mekanis dipertahankan
pada posisi semirecumbent, dengan kepala tempat tidur dinaikkan
sampai 45o untuk mencegah pneumonia terkait ventilator (VAP).6.
Protokol penyapihan ventilasi mekanis dilakukan sampai pernafasan
spontan untuk menilai kemampuan penghentian ventilasi mekanis
apabila menunjukkan kriteria:a. dapat dibangunkanb. hemodinamik
stabil (tanpa vasopresor)c. tanpa kondisi yang berpotensial
seriusd. kebutuhan ventilasi dan tekanan akhir ekspirasi yang
rendahe. memerlukan FiO2 yang dapat diberikan secara baik dengan
sungkup muka atau nasal kanul.Jika nafas spontan berhasil,
dipertimbangkan untuk ekstubasi. Pilihan pernafasan spontan
termasuk bantuan tekanan level rendah dengan CPAP 5 cm H2O atau
dengan T-piece.
Manajemen ventilator ARDSNET
L. Sedasi, Analgesi, dan Pelumpuh Otot pada Sepsis1. Sedasi
diperlukan pada pasien dengan ventilasi mekanis berdasarkan skala
sedasi subyektif yang terstandarisasi.2. Sedasi dengan bolus
intermiten atau infus kontinyu diberikan dengan interupsi atau
pengurangan sedasi setiap hari dengan disertai membangunkan pasien
dan titrasi kembali (jika diperlukan) merupakan metode yang
direkomendasikan untuk pemberian sedasi.3. Pelumpuh otot dihindari
jika memungkinkan pada pasien sepsis karena resiko pemanjangan efek
pelumpuh otot. Jika pelumpuh otot harus diberikan harus diberikan
lebih lama dari pada 1 jam pertama ventilasi mekanis diperlukan
dosis bolus intermiten atau infus kontinyu.
M. Kontrol Glukosa1. Dipertahankan kadar glukosa darah kurang
dari 150 mg/dL (8,3 mmol/L) pada stabilisasi awal pasien sepsis
berat. Penelitian yang bertujuan mengendalikan glukosa menggunakan
infus kontinyu insulin dan glukosa. Berdasarkan protokol ini
glukosa harus dimonitor secara ketat pada awal pemberian (setiap
30-60 menit) dan kemudian monitor secara teratur setiap 4 jam
apabila konsentrasi gula darah telah stabil.2. Pada pasien sepsis
berat pengendalian glukosa harus disertai pemberian nutrisi yang
diprioritaskan melalui jalur enteral.
N. Penggantian GinjalPada gagal ginjal akut tanpa disertai
stabilitas hemodinamik, hemofiltrasi veno-venosa kontinyu sama
baiknya dengan hemodialisis intermiten. Hemofiltrasi kontinyu
memudahkan management keseimbangan cairan pada pasien sepsis yang
hemodinamiknya tidak stabil.
O. Terapi BikarbonatTerapi bikarbonat yang bertujuan memperbaiki
hemodinamik atau menurunkan kebutuhan vasopresor tidak
direkomendasikan untuk mengobati asidosis laktat terinduksi
hipoperfusi dengan pH > 7,15.P. Pencegahan Trombosis Vena Dalam
(DVT)Pasien sepsis berat seharusnya mendapatkan profilaksis DVT
dengan heparin dosis rendah atau heparin dengan berat molekul
rendah. Pada pasien sepsis dengan kontraindikasi penggunaan heparin
(misalnya trombositopenia, koagulopati berat, perdarahan aktif,
perdarahan intraserebral yang masih baru), dianjurkan menggunakan
pencegahan secara mekanis (stocking) yang menekan secara bertahap
atau alat yang menekan secara intermiten, kecuali apabila terdapat
kontraindikasi seperti penyakit vaskuler perifer. Pada pasien yang
beresiko tinggi seperti sepsis berat dan memiliki riwayat DVT,
direkomendasikan menggunakan terapi farmakologis yang dikombinasi
dengan terapi mekanis.Q. Pencegahan Stress UlcerPencegahan stress
ulcer seharusnya diberikan pada semua pasien dengan sepsis berat.
Inhibitor reseptor H2 lebih bermanfaat bila dibandingkan dengan
sukralfat. Inhibitor pompa proton belum pernah dibandingkan dengan
antagonis reseptor H2, sehingga efikasinya masih belum diketahui.
(Dellinger, et. al., 2004)
DAFTAR PUSTAKA
Napitulu, H. 2010. Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3
September 2010
Patrick J.N, 2006. Infectious Disease and Bioterrorism dalam
Anaesthesia and Uncommon Disease, 5th ed; 377-410; Philadhelpia;
Saunder Elsevier.Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving
Sepsis Campaign Guidelines for Management of Severe Sepsis and
Septic Shock. Crit Care Med 2004; 32:858-873.Eissa, D. ,et all.
2010. Anaesthetic management of patients with severe sepsis.
British Journal of Anaesthesia 105 (6): 73443