Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Bahasa adalah fungsi luhur yang paling utama bagi manusia selain fungsi daya mengingat, persepsi, kognisi, dan emosi. Kerusakan atau kelainan di otak dapat menimbulkan gangguan kemampuan berbahasa yang disebut afasia. Afasia adalah gangguan kemampuan berbahasa seseorang (baik lisan maupun tulis) yang disebabkan oleh gangguan atau kerusakan di otak (Kusumoputro, 1999:22). Kerusakan otak itu sendiri dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit, tetapi yang paling sering oleh penyakit gangguan peredaran darah di otak dan cedera otak (strok dan trauma). Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan otak dimana gangguan tersebut bukan merupakan penyakit yang herediter, tidak disebabkan oleh gangguan pendengaran, gangguan penglihatan atau kelemahan motorik. Afasia tidak meliputi kelainan perkembangan berbahasa atau disfasia, gangguan motorik berbahasa seperti gagap, apraksia berbahasa, atau disartria, dan bukan gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh gangguan berpikir seperti pada pasien skizofrenia. Di Amerika, afasia banyak dijumpai pada 20% penderita stroke. Namun tidak menutup kemungkinan, 1
39

Referat Afasia

Jul 07, 2016

Download

Documents

nuggalih

edukasi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Referat Afasia

BAB I

PENDAHULUAN

Bahasa adalah fungsi luhur yang paling utama bagi manusia selain fungsi

daya mengingat, persepsi, kognisi, dan emosi. Kerusakan atau kelainan di otak

dapat menimbulkan gangguan kemampuan berbahasa yang disebut afasia. Afasia

adalah gangguan kemampuan berbahasa seseorang (baik lisan maupun tulis) yang

disebabkan oleh gangguan atau kerusakan di otak (Kusumoputro, 1999:22).

Kerusakan otak itu sendiri dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit, tetapi

yang paling sering oleh penyakit gangguan peredaran darah di otak dan cedera

otak (strok dan trauma).

Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan

otak dimana gangguan tersebut bukan merupakan penyakit yang herediter, tidak

disebabkan oleh gangguan pendengaran, gangguan penglihatan atau kelemahan

motorik. Afasia tidak meliputi kelainan perkembangan berbahasa atau disfasia,

gangguan motorik berbahasa seperti gagap, apraksia berbahasa, atau disartria, dan

bukan gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh gangguan berpikir seperti pada

pasien skizofrenia.

Di Amerika, afasia banyak dijumpai pada 20% penderita stroke. Namun

tidak menutup kemungkinan, afasia juga terjadi pada mereka yang mengalami

cedera otak, tumor, dan terutama pasien neurodegeneratif. Afasia seringkali masih

salah diagnosis atau dianggap remeh, karena afasia seringkali hanya merupakan

penyakit penyerta dari sebuah penyakit yang lebih nyata. Padahal, diagnosis afasia

merupakan hal yang penting karena membutuhkan terapi yang khusus.

Afasia dapat memperburuk kualitas hidup pasien karena pada afasia pasien

menjadi kesulitan untuk memahami lingkungan sekitarnya dan pasien tidak dapat

mengekspresikan dirinya, membuat pasien seolah terisolasi dari lingkungannya.

Pasien dengan ketidakmampuan untuk mengerti lingkungan dan mengekspresikan

diri juga memberikan sebuah waspada kepada dokter yang menangani karena

setiap penyakit yang terdapat pada pasien menjadi tidak dapat terdiagnosis dengan

baik dan dokter tidak dapat mengedukasi pasien dalam proses terapi. Untuk itu,

1

Page 2: Referat Afasia

pemahaman akan afasia adalah poin yang penting bagi setiap tenaga medis.

Melalui tulisan ini diharapkan kewaspadaan masyarakat terhadap afasia dapat

meningkat dan penderita afasia dapat diterapi spesifik sedini mungkin.

2

Page 3: Referat Afasia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Afasia adalah gangguan atau ketidakmampuan dalam berbahasa yang

disebabkan oleh gangguan pada otak, dimana gangguan tersebut bukan

merupakan penyakit yang herediter, tidak disebabkan oleh gangguan

pendengaran, gangguan penglihatan, atau kelemahan motorik. Afasia tidak

meliputi kelainan perkembangan berbahasa atau disfasia, gangguan motorik

berbahasa seperti gagap, apraksia berbahasa, atau disartria, dan bukan gangguan

berbahasa yang diakibatkan oleh gangguan berpikir seperti pada pasien

skizofrenia.

2.2 Fisiologi berbicara

Gambar 1. Speech pathway

3

Page 4: Referat Afasia

Pada korteks serebri ada beberapa daerah luas yang tidak termasuk dalam

pembagian area sensorik-motorik primer dan sekunder pada umumnya. Area

tersebut dinamakan area asosiasi karena menerima dan menganalisis sinyal-sinyal

secara bersamaan dari berbagai regio baik dari korteks motorik maupun korteks

sensorik dan juga dari struktur subkortikal. Area asosiasi yang paling penting

diantaranya area asosiasi parieto-oksipito-temporal, area asosiasi prefrontal, dan

area asosiasi limbik.

Area asosiasi parieto-oksipito-temporal terletak dalam ruang kortikal

parietal dan oksipital yang besar yang dibatasi oleh korteks somatosensorik bagian

anterior, korteks pengelihatan bagian posterior, dan korteks pendengaran bagian

lateral. Area ini memberi tafsiran derajat tinggi untuk mengartikan sinyal-sinyal

dari seluruh area sensorik sekitarnya. Area asosiasi parieto-oksipito-temporal ini

memiliki sub area fungsionalnya sendiri.

Area utama untuk pemahaman bahasa disebut area Wernicke dan terletak

di belakang korteks auditorik primer pada bagian posterior girus temporalis di

lobus temporalis. Regio ini merupakan regio yang paling penting di seluruh otak

untuk fungsi intelektual yang lebih tinggi karena hampir semuanya didasarkan

pada bahasa.

Pada bagian posterior area pemahaman bahasa, terutama terletak di regio

anterolateral pada lobus oksipitalis, terdapat area asosiasi pengelihatan yang

mencerna informasi pengelihatan dari kata-kata yang dibaca ke dalam area

Wernicke, yakni area pemahaman bahasa. Girus yang disebut girus angularis

diperlukan untuk mengartikan kata-kata yang diterima secara visual. Bila area ini

tidak ada, seseorang masih dapat memiliki pemahaman bahasa yang sangat baik

dengan cara mendengar tetapi tidak dengan cara membaca.

Di daerah paling lateral dari lobus oksipitalis anterior dan lobus temporalis

posterior terdapat area untuk memberi nama suatu objek. Nama-nama ini terutama

dipelajari melalui input pendengaran sedangkan sifat fisik suatu objek dipelajari

terutama melalui input visual. Selanjutnya nama-nama penting untuk pemahaman

bahasa visual dan pendengaran dimana fungsi yang dilakukan oleh area Wernicke

4

Page 5: Referat Afasia

terletak tepat di superior regio penamaan auditoris dan di anterior dari area

pemrosesan kata visual.

Area asosiasi prefrontal fungsinya berkaitan erat dengan korteks motorik

untuk merencanakan pola-pola yang kompleks dan berurutan dari gerakan

motorik. Untuk membantu fungsi tersebut, area ini menerima input melalui berkas

subkortikal masif dari serabut-serabut saraf yang menghubungkan area asosiasi

parieto-oksipito-temporal dengan area asosiasi prefrontal. Melalui berkas ini,

korteks prefrontal menerima banyak informasi sensorik yang belum dianalisis,

khususnya informasi mengenai keserasian tubuh secara spasial yang diperlukan

untuk merencanakan gerakan-gerakan yang efektif. Kebanyakan output dari area

prefrontal ini masuk ke dalam sistem pengatur motorik yang berjalan melalui

bagian kaudatus dari lintasan umpan balik ganglia basalis-talamus guna

melakukan perencanaan motorik yang menghasilkan banyak komponen

rangsangan gerakan yang berurutan dan bersifat paralel.

Regio khusus pada korteks frontalis yang disebut area Broca memiliki

lintasan saraf untuk pembentukan kata. Area ini sebagian terletak di korteks

prefrontal bagian posterior lateral dan sebagian lagi terletak di area premotorik. Di

area ini rancangan dan pola motorik untuk menyatakan kata-kata atau bahkan

kalimat pendek dicetuskan dan dilaksanakan. Area ini bekerja sama dengan area

Wernicke di korteks asosiasi temporal.

Area asosiasi somatik, visual, dan auditorik semuanya saling bertemu satu

sama lain di bagian posterior lobus temporalis superior. Daerah pertemuan dari

berbagai area interpretasi sensorik ini terutama berkembang pada sisi otak yang

dominan (sisi kiri pada hampir semua orang yang bertangan kanan). Area ini

sangat berperan pada fungsi pemahaman otak yang lebih tinggi (fungsi luhur)

dalam setiap bagian korteks serebri. Fungsi ini disebut intelegensia. Oleh karena

itu, daerah ini sering disebut dengan berbagai nama yang menyatakan bahwa area

tersebut memiliki kepentingan menyeluruh. Namun area ini lebih dikenal dengan

nama area Wernicke sesuai dengan nama penemunya.

Perangsangan listrik area Wernicke pada seseorang yang sadar kadang-

kadang menimbulkan pikiran yang sangat kompleks. Hal ini terutama terjadi

5

Page 6: Referat Afasia

apabila elektroda perangsangnya dimasukkan cukup dalam di otak sehingga

mencapai area talamus yang berkaitan dengan area Wernicke. Dengan alasan ini

dianggap bahwa aktivasi area Wernicke dapat memanggil kembali pola ingatan

yang rumit, yang melibatkan lebih dari satu modalitas sensorik, walaupun

sebagian besar ingatan individual disimpan di daerah mana saja. Hal ini dianggap

sesuai dengan kepentingan area Wernicke dalam menginterpretasikan arti yang

rumit dari bermacam-macam pengalaman sensorik.

Girus angularis merupakan bagian lobus parietalis posterior yang paling

inferior, terletak tepat di belakang area Wernicke dan di sebelah posterior

bergabung dengan area visual lobus oksipitalis. Bila daerah ini mengalami

kerusakan sedangkan area Wernicke di lobus temporalis tetap utuh, pasien masih

dapat menginterpretasikan pengalaman auditoriknya namun rangkaian

pengalaman visual yang berjalan dari korteks visual ke area Wernicke benar-benar

terhambat. Oleh karena itu pasien mungkin masih mampu melihat kata-kata dan

bahkan tahu mengenai kata-kata itu tetapi tidak dapat menginterpretasikan arti

dari kata-kata itu. Keadaan ini disebut disleksia atau buta kata-kata (word

blindness)

2.3 Etiopatofisiologi

Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada

manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak

pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang

dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar

lesi terletak pada hemisfer kiri.

Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau

penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur

kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke. Area Broca atau area

44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas pelaksanaan motorik berbicara.

Lesi pada area ini akan mengakibatkan kersulitan dalam artikulasi tetapi penderita

bisa memahami bahasa dan tulisan.

6

Page 7: Referat Afasia

Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik

penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan

penurunan hebat kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa. Secara

umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di atas. Selain

itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal. Afasia

juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara

area Broca dan area Wernicke.

Gambar 2. Synopsis of the areas delineated by syndrome-, modality- and specific symptom-based

analyses. Note that there is no substantial overlap between anterior (Broca) and

posterior (Wernicke) syndromes, pointing to the vascular origin of this differentiation.

On the contrary areas corresponding to modality- or symptom-specific impairment

show substantial overlap and are not clearly confined to either vascular territory.

Afasia dapat terjadi karena degenerasi atau kerusakan pada otak yang

melibatkan hemisfer serebri kiri. Kebanyakan afasia dan kelainan yang berkaitan

diakibatkan oleh stroke, kerusakan pada bagian kepala, tumor serebri, atau

penyakit degeneratif. Neuroanatomi dari komprehensi dan produksi bahasa

merupakan proses yang kompleks meliputi input auditori dan pengkodean bahasa

di lobus temporalis superior, analisis di lobus parietalis, dan ekspresi di lobus

frontalis, turun melalui traktus kortikobulbaris menuju kapsula interna dan batang

otak, dengan efek modulasi dari basal ganglia dan serebelum.

7

Page 8: Referat Afasia

2.4 Epidemiologi

Di Indonesia, data epidemiologi penduduk yang menderita afasia tidak

diketahui. Data insidensi di Amerika Serikat pun terbatas. Namun berdasarkan

data tersebut, stroke merupakan penyebab tersering dari afasia. Dikatakan dari

20% pasien stroke terdapat pula afasia. Di setiap tahunnya, terdapat sekitar

170.000 kasus afasia baru yang berkaitan dengan stroke. Jumlah pasien dengan

gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh trauma otak, tumor otak, maupun lesi

lain pada otak tidak sepenuhnya diketahui. Penyebab tersering kedua dari afasia

ialah penyakit degeneratif seperti alzeimer atau demensia dengan prevalensi

alzeimer per tahun di Amerika ialah 5.000.000 kasus.

2.5 Klasifikasi

Afasia diklasifikasikan beragam, diantaranya ada yang berdasarkan :

1. Manifestasi Klinis (alur bicara)

2. Distribusi dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek

3. Jenis Kemampuan

Pada klasifikasi berdasarkan manifestasi klinik, dibagi berdasarkan

lancarnya berbicara. Pada klasifikasi ini didapatkan afasia yang berbentuk :

8

Page 9: Referat Afasia

1. Lancar

Pada afasia ini penderita bicara lancar, artikulasi dan irama baik, tetapi isi

bicara tidak bermakna dan tidak dapat dimengerti artinya. Penderita tidak dapat

mengerti bahasa sehingga tidak dapat berbicara kembali. Gambaran klinisnya

ialah:

Keluaran bicara yang lancar

Panjang kalimat normal

Artikulasi dan irama bicara baik

Terdapat parafasia

Kemampuan memahami pendengaran dan membaca buruk

Repetisi terganggu

Menulis lancar tadi tidak ada arti

Seorang afasia yang non-fluen mungkin akan mengatakan dengan tidak

lancar dan tertegun-tegun: “mana… rokok… beli.” Sedangkan seorang afasia

fluen mungkin akan mengatakan dengan lancar: “rokok beli tembakau kemana

situ tadi gimana dia toko jalan.”

9

Page 10: Referat Afasia

2. Tidak lancar

Pada afasia ini, output atau keluaran bicara terbatas. Penderita

menggunakan kalimat pendek dan bicara dalam bentuk sederhana. Sering disertai

artikulasi dan irama bicara yang buruk.

Gambaran klinisnya ialah:

Pasien tampak sulit memulai bicara

Panjang kalimat sedikit (5 kata atau kurang per kalimat)

Gramatika bahasa berkurang dan tidak kompleks

Artikulasi umumnya terganggu

Irama bicara terganggu

Pemahaman cukup baik, tapi sulit memahami kalimat yang lebih kompleks

Pengulanan (repetisi) buruk

Kemampuan menamai, menyebut nama benda buruk

10

Page 11: Referat Afasia

11

Page 12: Referat Afasia

Berdasarkan distribusi anatomi dari lesinya, afasia dibedakan menjadi :

1. Afasia wernicke

Pemahaman terganggu terutama pada bahasa yang didengar dan dilihat,

baik untuk 1 kata maupun pada 1 kalimat utuh. Bahasa dapat diucapkan dengan

lancar namun sangat parafasik dan sirkumlokusius. Kecenderungan kesalahan

parafasik sangat tinggi hingga terkadang disebut neologisme, yang disebut juga

jargon afasia. Pembicaraan biasanya mengandung banyak kata sifat namun

sedikit mengandung kata benda atau kata kerja. Pembicaraan banyak, namun

tanpa arti.

Penggunaan bahasa tubuh tidak banyak membantu komunikasi. Pasien

tampak mengerti bahwa pembicaraannya tidak dapat dimengerti oleh orang lain

sehingga pasien tampak marah dan tidak sabar ketika pemeriksa tidak dapat

mengerti maksud dari pembicaraannya. Pada pasien dengan afasia wernicke

dapat disertai dengan agitasi motorik dan perilaku paranoid. Pasien dengan afasia

wernicke tidak dapat mengekspresikan pemikiran mereka melalui kata-kata yang

sesuai dan tidak dapat memahami arti dari setiap kata yang masuk. Lesi ini

terletak di area wernicke

Bila area Wernicke pada hemisfer dominan seorang dewasa mengalami

kerusakan, normalnya pasien akan kehilangan hampir seluruh fungi intelektual

yang berhubungan dengan bahasa atau imbolisme verbal seperti kemampuan

membaca, kemampuan memecahkan perhitungan matematika, dan bahkan

kemampuan untuk berpikir melalui problem yang logis. Bila area Wernicke

mengalami kerusakan yang parah, pasien mungkin masih dapat mendengar

dengan sempurna dan bahkan masih dapat mengenali kata-kata namun tetap tak

mampu menyusun kata-kata ini menjadi suatu pikiran yang logis. Demikian juga,

pasien masih mampu membaca kata-kata tertulis namun tidak mampu mengenali

gagasan yang disampaikan.

Oleh karena itu pasien yang mengalami afasia Wernicke atau afasia global

tidak mampu memformulasikan buah pikirannya untuk dikomuikasikan. Atau

bila lesinya tidak terlalu parah, pasien masih mampu memformulasikan

12

Page 13: Referat Afasia

pikirannya namun tak mampu menyusun kata-kata yang sesuai secara berurutan

dan bersama-sama untuk mengekspresikan pikirannya.

Etiologi paling sering dari afasia wernicke adalah emboli dari arteri serebri

media. Etiologi lain bisa berasal dari perdarahan intraserebral, trauma kepala

berat, dan tumor. Adanya hemianopia kanan atau quadrantanopia superior dan

pendataran sudut nasolabial kanan dapat mempertegas adanya lesi di area

wernicke.

2. Afasia broca

Pembicaraan tidak lancar, memerlukan usaha, dan banyak diinterupsi oleh

jeda yang dibuat pasien dalam rangka mencari kata-kata, serta seringkali pasien

juga menderita disartria. Pengeluaran kata-kata sangat terbatas sehingga

terkadang pasien hanya mau menjawab dengan kata “ya” atau “tidak. Penamaan

benda dan kemampuan merepetisi terganggu. Meski begitu, pemahaman bahasa

masih intak kecuali untuk kalimat yang sulit yang diucapkan dengan suara yang

pelan atau tanpa intonasi. Kemampuan membaca juga dipertahankan namun

seskali pasien kesulitan membaca kata imbuhan atau tata bahasa yang rumit.

Kadang pasien mampu menentukan apa yang ingin dikatakannya namun tak

dapat mengatur sistem vokalnya untuk menghasilkan kata-kata selain suara ribut.

Efek ini disebut afasia motorik yang disebabkan oleh kerusakan pada area bicara

Broca di regio fasial prefrontal dan premotorik korteks serebri. Oleh karena itu,

pola keterampilan motorik yang dipakai untuk mengatur laring, bibir, mulut,

sistem respirasi, dan otot-otot lainnya yang dipakai untuk bicara dimulai dari

daerah ini. Terkadang, sekalipun pasien menderita disartria, pasien dapat

bernyanyi dengan baik. Hal inilah yang sedang diuji coba dalam terapi afasia

broca.

Defisit neurologis yang sering menyertai meliputi kelemahan pada wajah

bagian kanan, hemiparesis atau hemiplegia, dan buccofasial apraksia. Penyebab

paling sering ialah infark yang disebabkan oleh sumbatan pada arteri serebri

media.

13

Page 14: Referat Afasia

3. Afasia global

Pengeluaran kata tidak lancar dan pemahaman juga terganggu. Penamaan,

repetisi, membaca, dan menulis juga terganggu. Sindrom ini menyatakan adanya

disfungsi dari broca dan wernicke. Sindrom ini juga dapat menjadi gejala awal

dari afasia wernicke yang kemudian berkembang menjadi afasia wernicke yang

klasik.

4. Afasia Konduktif

Pengeluaran kata-kata lancar namun parafasik, pemahaman bahasa masih

baik, namun repetisi sangat terganggu. Penamaan dan penulisan juga sangat

terganggu. Jika pasien diminta untuk membaca dengan suara keras, pasien akan

mengalami kesulitan, namun pasien dapat mengerti apa yang dibacanya.

5. Afasia Anomik

Pada afasia jenis ini, fungsi yang terganggu yakni penamaan. Artikulasi,

pemahaman, dan repetisi masih baik namun pasien tidak dapat menyebutkan

nama dari benda-benda dan pasien kesulitan dalam mengeja kata-kata. Seringkali

output bahasa pasien parafasik, sirkumlokusius, dan tidak bermakna. Kelancaran

bahasa terganggu ketika pasien berusahan menyebutkan nama benda-benda.

Afasia anomik banyak ditemui pada kasus trauma kepala, ensefalopati metabolik,

dan penyakit alzheimer.

Berdasarkan jenis kemampuannya, afasia dibedakan menjadi :

1. Afasia Motorik

2. Afasia Sensorik

a) Afasia Korteks

b) Afasia Subkorteks

c) Afasia Transkortikal

Afasia transkortikal motorik

Ciri-ciri yang nampak pada afasia transkortikal motorik menyerupai afasia

broca namun repetisi masih baik dan pasien cenderung menghindari

14

Page 15: Referat Afasia

penggunaan tata bahasa. Pemeriksaan neurologis lain biasanya normal. Lesi

pada afasia transkortikal motorik biasanya melibatkan area perbatasan antara

arteri serebri anterior dan media.

Afasia transkortikal sensori

Afasia transkortikal sensori dicirikan dengan gejala yang menyerupai

afasia wernicke namun repetisi masih dapat dilakukan dengan baik. Pada

afasia ini lesi memutuskan area bahasa dari area asosiasi temporoparietal

selain area khusus bahasa.

Jenis Sensorik Afasia Motorik Afasia SensorikGangguan Ekspresif PerseptifKorteks Gangguan verbal dan isyarat

totalis Gangguan verbal dan isyarat totalis

Subkorteks Murni gangguan verbalPure word dumbness

Murni gangguan verbalWord deafness

Transkortikal Membeo Gangguan verbal dan isyaratWord deafnessAgrafia, akalkulia, aleksia

2.6 Gejala Afasia

Tipe Afasia Pembicaraan Komprehensia Repetisi Gejala yang berkaitan

Lokasi lesi

Broca Tidak lancar, butuh banyak usaha dalam berbicara, kurangnya suku kata, kurangnya output namun dapat mencetuskan ide

Tetap baik Terganggu Kelemahan pada tangan dan wajah bagian kanan

Frontal suprasylvian

Wernicke Lancar, fasih berbicara, artikulasi baik, tapi tanpa arti

Sangat terganggu

Tidak dapat dilakukan

Hemi- atau quadrantanopia, tidak ada paresis

Temporal, infrasylvian termasuk girus angular dan supramarginal

15

Page 16: Referat Afasia

Tipe Afasia Pembicaraan Komprehensia Repetisi Gejala yang berkaitan

Lokasi lesi

Konduksi Lancar Baik Tidak dapat dilakukan

Biasanya tidak dapat dilakukan

Supramarginal gyrus atau insula

Global Sedikit, tidak lancar

Sangat terganggu

Tidak dapat dilakukan

Hemiplegia Sebagian besar perisylvian atau lesi terpisah pada frontal dan temporal

Transkortikal motorik

Tidak lancar Baik Sangat baik

Bervariasi Anterior atau superior area Broca

Transkortikal sensori

Lancar Tidak dapat dilakukan seperti halnya pada Wernicke

Sangat baik

Bervariasi Area di sekitar Wernicke

Tuli kata murni

Sedikit parafasik atau normal

Terganggu Terganggu Quadrantanopia atau tidak ada sama sekali

Bilateral (atau bagian kiri saja) bagian tengah superior temporal gyrus

Buta kata murni (aleksia tanpa agrafia)

Normal tapi tidak dapat bersuara keras

Normal Normal Hemianopia kanan; tidak dapat membaca tulisan tangan sendiri

Girus kalkarina dan girus angularis

Mutisme kata (afemia)

Tak bersuara tapi mampu menulis

Normal Tidak ada Tidak ada Sebagian dari area Broca

Anomic afasia

Kesulitan mencari kata-kata

Normal Normal Bervariasi Lobus temporalis bagian dalam

16

Page 17: Referat Afasia

Afasia

Karakteristik respon dari pasien dengan afasia pada lokasi lesi yang spesifik

(Pasien diminta menyebutkan kata “chair”)

Tipe afasia dan lokasi lesi Gejala pada pasien

Afasia motorik (Area Broca) "Tssair"

Afasia sensori (area Wernicke) "Stool" atau "choss" (neologisme)

Afasia sensori (area 40, 41, and 42; Afasia konduktif)

"Flair . . . err, swair . . . tair."

Anomik (Girus angularis) "Saya tahu apa itu . . . saya punya banyak di rumah."

2.7 Diagnosis

a. Anamnesis

Afasia muncul secara mendadak pada pasien dengan stroke atau cedera

kepala. Pasien dengan penyakit neurodegeneratif atau lesi tumor dapat menderita

afasia secara perlahan. Tanda-tanda awal yang mencirikan lesi atau defisit yang

berasal dari area korteks atau jaras yang berdekatan dengan posisi area berbahasa

harus diwaspadai. Tanda-tanda tersebut meliputi hemianopia, defisit dari fungsi

motorik maupun sensori, atau defisit neurobehavioral seperti alexia, agrafia,

akalkulia, atau apraksia. Pada pasien harus ditanyakan riwayat kejang atau

episode afasia sebelumnya. Terkadang, sekalipun insidensinya rendah, afasia

dapat diakibatkan oleh ensefalitis herpes simpleks. Ciri dari penyakit ini meliputi

riwayat demam, kejang, nyeri kepala, dan perubahan perilaku.

Riwayat nyeri kepala baik akut maupun kronik dapat menjadi petunjuk

penting untuk mendiagnosa kondisi tertentu seperti tumor otak maupun

malformasi arteri vena. Pada pasien harus ditanyakan tentang riwayat gangguan

pada memori atau riwayat gangguan dalam melakukan kegiatan sehari-hari

17

Page 18: Referat Afasia

karena gangguan berbahasa bisa hanya merupakan satu bagian dari kondisi

neurodegeneratif yang menyeluruh seperti demensia. Perlu ditanyakan juga

apakah pasien kidal atau tidak, riwayat hipertensi, perdarahan otak sebelumnya,

penyakit jantung, penyakit vaskular otak, atau amiloid angiopati.

b. Pemeriksaan berbicara spontan

Langkah pertama dalam menilai berbahasa adalah mendengarkan

bagaimana pasien berbicara spontan atau bercerita. Pasien dapat diminta untuk

menceritakan hal-hal yang terjadi dalam waktu dekat, misalnya bagaimana ia

sampai dirawat di rumah sakit. Yang dinilai ialah apakah bicaranya pelo, cadel,

tertegun, diprosodik (irama, ritme, intonasi terganggu) dan apakah ada afasia,

kesalahan sintaks, salah menggunakan kata, dan perseverasi.

Parafasia ialah kegiatan mensubstitusi kata. Ada dua jenis parafasia.

Parafasia semantik atau verbal berarti mensubstitusi satu kata dengan kata yang

lainnya. Parafasia fonemik berarti mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi lain

yang biasanya berbunyi cukup mirip.

c. Pemeriksaan kelancaran berbicara

Seseorang disebut lancar berbicara bila bicara spontannya lancar, tanpa

terbata-bata. Kelancaran berbcara verbal ini merupakan refleksi dari efisiensi

menemukan kata. Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus dapat dideteksi

masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang ringan atau demensia dini.

Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes kelancaran, menemukan kata yaitu

jumlah kata tertentu yang dapat diproduksi selama jangka waktu yang terbatas.

Sebagai contoh pasien diminta untuk menyebutkan sebanyak-banyaknya nama

jenis hewan atau menyebutkan kata-kata yang dimulai dengan huruf tertentu

selama jangka waktu satu menit. Tidak lupa pula kesalahan yang timbul dicatat

untuk melihat adanya parafasia atau tidak.

Usia merupakan salah satu faktor yang berpengaruh secara bermakna

dalam pemeriksaan ini. Orang normal di bawah usia 69 tahun mampu

menyebutkan kira-kira 20 nama hewan dengan baik. Kemampuan ini menurun

pada orang berusia sekitar 70 tahun (±17 nama) dan terus menurun seiring dengan

bertambahnya usia. Pada usia 85 tahun, skor 10 mungkin merupakan batas normal

18

Page 19: Referat Afasia

bawah. Orang normal umumnya dapat menyebutkan 36-60 kata yang berawalan

dengan huruf tertentu, tergantung dari tingkat intelegensi, usia, dan tingkat

pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk setiap

huruf merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara verbal namun

perlu diperhatikan pada pasien dengan tingkat pendidikan yang tidak lebih dari

sekolah menengah pertama.

d. Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan

Pemeriksaan pemahaman bahasa lisan seringkali sulit dinilai. Pemeriksaan

klinis pada pasien rawat inap yang biasa dilakukan di samping tempat tidur pasien

dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah yang digunakan untuk

mengevaluasi pemahaman secara klinis meliputi cara konversasi, suruhan,

pertanyaan tertutup (ya atau tidak), dan menunjuk.

Konversasi

Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai kemampuannya

dalam memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan olh pemeriksa.

Suruhan : Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (satu langkah)

sampai pada yang sulit dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien

dalam memahami perintah. Mula-mula pasien dapat disuruh bertepuk

tangan, kemudian tingkat kesulitan dinaikkan misalnya mengambil benda

dan meletakkan benda tersebut pada lokasi yang lain. Perlu diperhatikan

bahwa perintah tipe ini tidak dapat dilakukan pada pasien dengan

kelemahan motorik dan apraksia. Pasien juga dapat diminta untuk

menunjuk ke beberapa benda, mula-mula satu benda dan ditingkatkan

menjadi sebuah perintah berantai untuk menunjuk ke beberapa benda

secara berurutan. Pasien dengan afasia mungkin hanya mampu menunjuk

sampai 1-2 objek saja.

Ya atau Tidak : Kepada pasien dapat juga diberikan pertanyaan tertutup

dengan bentuk jawaban “ya” atau “tidak”. Mengingat kemungkinan salah

adalah 50%, jumlah pertanyaan yang diberikan minimal 6 pertanyaan

misalnya “Apakah anda bernama Budi?”, “Apakah AC di ruangan ini

19

Page 20: Referat Afasia

mati?”, “Apakah ini Rumah Sakit?”, “Apakah di luar sedang hujan?”,

“Apakah saat ini malam hari?”.

Menunjuk : Pasien diminta untuk menunjuk mulai dari benda yang mudah

dipahami kemudian berlanjut ke benda yang lebih sulit. Contohnya :

“tunjukkan lampu” kemudian “tunjukkan gelas yang ada di samping

televisi”. Pemeriksaan sederhana ini dapat dilakukan di samping tempat

tidur pasien. Sekalipun kurang mampu menilai kemampuan pemahaman

dengan baik sekali, pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran kasar

mengenai gangguan serta beratnya.

e. Pemeriksaan repetisi

Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang

mula-mula kata yang sederhana (satu patah kata) kemudian ditingkatkan menjadi

banyak (satu kalimat). Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi

ini didapatkan parafasia, salah tatabahasa, kelupaan, atau penambahan. Orang

normal umumnya dapat mengulang kalimat yang mengandung 19 suku kata.

Banyak pasien afasia mengalami kesulitan dalam mengulang, namun ada juga

yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam mengulang, bahkan lebih baik

daripada berbicara spontan. Bila kemampuan mengulang terpelihara, maka

kelainan patologis sangat mungkin tidak berada di area perisylvii. Umumnya

daerah ekstrasylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa defek repetisi terletak

di daerah perbatasan vaskuler (watershed area)

f. Pemeriksaan menamai dan menemukan kata

Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi berbahasa.

Hal ini sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian,

semua tes yang dilakukan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap

kemampuan ini. Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan

menyebut nama (menamai) atau disebut anomia.

Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek,

bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol

matematik, atau nama dari suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan benda-

benda yang sering digunakan sampai ke benda-benda yang jarang ditemui atau

20

Page 21: Referat Afasia

digunakan. Banyak penderita afasia yang masih mampu menamai objek yang

sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan

tertegun dengan melukiskan kegunaannya atau parafasia pada objek yang jarang

dijumpainya. Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, dapat dibantu dengan

memberikan suku kata pemula atau dengan menggunakan kalimat penuntun. Yang

penting ialah sampainya pasien kepada kata yang dibutuhkan, yakni kita nilai

kemampuan pasien dalam menamai objek. Ada pula pasien yang mengenal objek

dan mampu melukiskan kegunaannya namun tidak dapat menamainya.

Pertama-tama terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh

menyebutkan nama beberapa objek juga warna dan bagian dari objek tersebut.

Kita dapat menilai dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata,

kemudian bagian dari arloji, lensa kaca mata. Objek atau gambar yang dapat

digunakan misalnya meja, kursi, lampu, pintu, jendela. Bagian dari tubuh

misalnya mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut. Warna misalnya merah, biru, hijau,

kuning, kelabu. Bagian dari objek contohnya jarum jam, sol sepatu, kepala ikat

pinggang, bingkai kaca mata. Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan

nama objek dengan cepat atau lamban, atau tertegun, atau menggunakan

sirkumlokusi, parafasia, neologisme, dan apakah ada perseverasi. Di samping

menggunakan objek, dapat pula digunakan gambar objek.

Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, perlu diperhatikan

apakah pasien dapat memilih nama objek tersebut dari beberapa pilihan nama

objek. Pada pemeriksaan ini perlu digunakan kurang lebih 20 nama objek sebelum

menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.

g. Pemeriksaan sistem bahasa

Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu

diperhatikan bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi, repetisi, maupun

menamai. Selain itu kemampuan membaca dan menulis harus dinilai pula. Tidak

lupa evaluasi dilakukan untuk memeriksa sisi otak mana yang dominan dengan

melihat penggunaan tangan.

Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang

singkat dapat diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu

21

Page 22: Referat Afasia

agrafia dan sering aleksia, untuk itu pemeriksaan membaca dan menulis dapat

dipersingkat. Namun pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan membaca dan

menulis harus dilakukan sepenuhnya karena aleksia, agrafia, atau keduanya dapat

terjadi secara terpisah.

h. Pemeriksaan penggunaan tangan

Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang

erat. Sebelum menilai bahasa perlu ditanyakan pada pasien apakah ia kidal atau

menggunakan tangan kanan. Banyak orang kidal telah diajarkan untuk menulis

dengan tangan kanan, oleh karena itu observasi cara menulis saja tidak cukup

untuk mennetukan apakah ia seorang yang kidal atau kandal. Pasien dapat juga

diminta memperagakan gerakan tangan yang digunakan untuk memegang pisau,

melempar bola, dan sebagainya.

2.1 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien afasia bergantung pada penyebab dari

sindrom afasia itu sendiri. Penanganan terhadap stroke akut seperti pemberian

rPA pada pasien stroke iskemik, terapi intervensi intra-arterial, stenting dan

endarterectomy karotid, atau kontrol dari tekanan darah dapat meringankan defisit

yang dialami. Pembedahan pada subdural hematoma atau tumor serebri juga

memberikan hasil yang cukup memuaskan. Pada afasia yang disebabkan oleh

infeksi seperti herpes simpleks dapat diberikan terapi antivirus.

Terapi berbicara dan berbahasa merupakan terapi utama dalam afasia.

Waktu dan teknik pelaksanaan intervensi pada pasien afasia bervariasi luas karena

penelitian yang dilakukan sangat minim. Namun dalam beberapa penelitian telah

terbukti bahwa teapi berbicara dan berbahasa dapat meningkatkan prognosis

pasien afasia. Kesulitan yang dialami pasien dalam menjalani terapi ini sangat

beragam karena berbeda dari individu ke individu.

Beberapa hal yang harus diperhatikan saat melakukan terapi pada pasien

afasia :

22

Page 23: Referat Afasia

Banyak pasien afasia menderita depresi oleh karena itu pasien afasia

memerlukan dukungan psikologis. Ketepatan diagnosis, terapi, dan

dukungan emosional dapat sangat berguna bagi pasien.

Terdapat beberapa teknik terapi khusus untuk pasien dengan masalah

artikulasi, masalah kosa kata, minimnya ilmu kalimat, dan kurangnya

intonasi. Dalam kata lain, terapi pada pasien afasia dapat divariasi agar

sesuai dengan kebutuhan pasien

Terapi farmaka pada afasia masih bersifat eksperimental. Penggunaan

dopaminerjik, cholinerjik, dan obat-obatan stimulan belum memberikan

hasil yang jelas. Namun penggunaan terapi farmaka sebagai pendamping

dari terapi berbicara telah menunjukkan hasil yang baik.

Teknologi baru yang dinamakan stimulasi magnetik transkranial sedang

diuji coba pada pasien afasia dan sejauh ini menunjukkan hasil yang baik.

23

Page 24: Referat Afasia

2.2 Prognosis

Prognosis pada pasien afasia sangat bergantung pada penyebabnya. Pada

afasia yang disebabkan oleh stroke, penanganan utama stroke dan kesembuhannya

sangat berpengaruh terhadap kesembuhan dari afasia itu sendiri. Mengingat

penyembuhan dari stroke memakan waktu lama dan biasanya meninggalkan bekas

defisit neurologis, kesembuhan afasia dari pasien stroke sangat tidak menentu.

Pada pasien afasia yang disebabkan oleh infeksi herpes simpleks misalnya,

kesembuhan dapat segera terjadi dengan memberikan terapi antiviral yang sesuai.

Prognosis kesembuhan kemampuan berbahasa bervariasi, tergantung pada

ukuran lesi dan umur serta keadaan umum pasien. Secara umum, pasien

dengan tanda klinis yang lebih ringan memiliki kemungkinan sembuh yang lebih

baik. Afasia Broca secara fungsional memiliki prognosis yang lebih baik

daripada afasia Wernicke. Terakhir, afasia akibat penyakit yang tidak dapat atau

sulit disembuhkan, misalnya tumor otak, memiliki tingkat prognosis yang buruk.

24

Page 25: Referat Afasia

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Afasia merupakan penyakit penyerta dari berbagai penyakit neurologis

lain seperti stroke, cedera kepala, tumor otak, dan penyakit neurodegeneratif.

Dengan gejala kurangnya pemahaman bahasa dan ketidakmampuan dalam

mengungkapkan kata-kata, afasia sangat berpengaruh bagi kualitas hidup pasien.

Afasia dapat mempersulit baik diagnosis maupun terapi dari berbagai penyakit

lain karena minimnya komunikasi yang dapat dilakukan bagi pasien.

Diagnosis dini dari afasia sangat penting untuk memulai terapi afasia baik

bagi pasien maupun pendamping pasien agar defisit yang dialami tidak makin

berat. Untuk itu, seorang dokter harus dapat mendiagnosa afasia dengan tepat,

baik dari segi pembuatan diagnosis afasia maupun dari segi mengklasifikasikan

afasia tersebut karena setiap jenis afasia dapat membutuhkan penatalaksanaan

yang berbeda. Sebelum itu, seorang dokter harus dapat melakukan pemeriksaan

diagnosis afasia dengan tepat, yakni meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang untuk melihat penyebab dan lokasi lesi afasia.

Terapi utama dari afasia adalah terapi berbicara. Terapi ini biasa dilakukan

oleh tenaga rehabilitasi medik dan dipantau oleh ahli syaraf. Tingkat kebrhasilan

dari terapi ini sangat bergantung kepada penyebab dari afasia itu sendiri. Oleh

karena itu, afasia tidak boleh dibiarkan serta tidak boleh diterapi tunggal

melainkan biasanya digunakan terapi kombinasi.

25

Page 26: Referat Afasia

DAFTAR PUSTAKA

American Speech Language Hearing Association (2012). http://www.asha.org/PRPSpecificTopic.aspx?folderid=8589934663 (diakses April 7, 2016)

Barrett, Kim E, Susan M Barman, Scott Boitano, dan Heddwen Brooks. Ganong's Review of Medical Physiology. United States of America: McGraw Hill, 2010.

Guyton, Arthur C, dan John E Hall. Textbook of Medical Physiology. Singapore: Elsevier, 2008.

Howard, Kirshner dan Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialties: Aphasia. 2012. http://emedicine.medscape.com/article/1135944-clinical#showall (diakses April 7, 2016).

Longo, Dan L, Anthony S Fauci, Dennis L Kasper, dan Stephen L Hauser.

Harrison's Principles of Internal Medicine. United States of America:

McGraw Hill, 2012.

Lumbantobing, S M. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2010.

Ropper, Allan H, dan Martin A Samuels. Adams and Victor's Principles of Neurology. United States of America : McGraw Hill, 2009.

Simon, Roger P, A David Greenberg, dan J Michael Aminoff. Lange : Clinical Neurology 7e. United States of America: McGraw Hill, 2009.

26