BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Abses retrofaring merupakan suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring, dan sinus paranasalis yang menyebar ke kelenjar limfe retrofaring. 1 Abses retrofaring biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan – 6 tahun dengan puncak insiden pada usia 3 tahun. 2 Insidens abses retrofaring di Amerika Serikat tahun 2003 yaitu sebanyak 1321 kasus. Di Taiwan, dari 50 kasus infeksi leher bagian dalam, 9 kasus diantaranya merupakan abses retrofaring, 17 kasus abses parafaring, 21 kasus abses peritonsilar, dan 3 kasus lainnya campuran. 3 Kasus abses retrofaring saat ini sudah mulai menurun karena penggunaan antibiotik yang luas untuk keadaan infeksi saluran napas bagian atas. 2,3 Angka mortalitas dari komplikasi yang timbul akibat abses retrofaring masih cukup tinggi, sehingga diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan. 1 I.2 Tujuan Penulisan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Abses retrofaring merupakan suatu peradangan yang disertai pembentukan
pus pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher
bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang
retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring, dan sinus
paranasalis yang menyebar ke kelenjar limfe retrofaring.1
Abses retrofaring biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan – 6 tahun dengan
puncak insiden pada usia 3 tahun.2 Insidens abses retrofaring di Amerika Serikat
tahun 2003 yaitu sebanyak 1321 kasus. Di Taiwan, dari 50 kasus infeksi leher
bagian dalam, 9 kasus diantaranya merupakan abses retrofaring, 17 kasus abses
parafaring, 21 kasus abses peritonsilar, dan 3 kasus lainnya campuran.3 Kasus abses
retrofaring saat ini sudah mulai menurun karena penggunaan antibiotik yang luas
untuk keadaan infeksi saluran napas bagian atas.2,3
Angka mortalitas dari komplikasi yang timbul akibat abses retrofaring masih
cukup tinggi, sehingga diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat sangat
dibutuhkan.1
I.2 Tujuan Penulisan
I.2.1. Tujuan Umum:
Mengetahui perjalanan penyakit abses retrofaring.
I.2.2. Tujuan Khusus:
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi faring.
2. Mengetahui etiologi, patogenesis, gejala, penatalaksanaan dan komplikasi
abses retrofaring.
3. Menambah pengetahuan tentang abses retrofaring sebagai salah satu
penyakit di bidang Telinga, Hidung, dan Tenggorok, sehingga dapat
melakukan diagnosis dini untuk menentukan terapi yang adekuat bagi
pasien.
1
I.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi rumusan masalah adalah
kurangnya informasi tentang perjalanan penyakit abses retrofaring.
I.4. Manfaat
1.4.1. Bagi Penulis
Menambah wawasan, pengetahuan yang lebih mendalam bagi penulis.
1.4.2. Bagi Institusi Rumah Sakit
Tulisan ini dapat digunakan sebagai informasi bagi Rumah Sakit Tk.II AK Gani
Palembang
1.4.3. Bagi Penulis Selanjutnya
Sebagai referensi untuk penulis berikutnya dalam penulisan lebih lanjut
mengenai Abses Retrofaring.
1.4.4. Bagi Institusi Pendidikan
Menjadi bahan bacaan bagi Instansi dalam kegiatan proses belajar.
1.4.5. Bagi Masyarakat
Untuk memberikan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan bagi masyarakat
khususnya tentang Abses Retrofaring.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Definisi
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah retrofaring dan merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam
(deep neck infection).1,2
II. 2. Anatomi
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus
organ, otot, saraf, dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang
potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis
superfisialis dan fasia servikalis profunda.2
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat di bawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah
ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara
fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe
superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.1,2
Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu:2
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak
sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah
dan melekat pada klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.
trapezius, m. maseter, kelenjar parotis dan kelenjar submaksila. Lapisan ini
disebut juga lapisan eksternal, investing layer, lapisan pembungkus, dan lapisan
anterior.1,2
2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan visera. Divisi
muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan
membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Di
bagian superior melekat pada os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior
melekat pada sternum, klavikula dan scapula.1
3
Divisi visera membungkus organ – organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid,
trakea dan esofagus. Di sebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak
bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat
pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke
thoraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia
bukofaringeal merupakan bagian dari divisi visera yang berada pada bagian
posterior faring dan menutupi m. konstriktor faringeal dan m. buccinators.1
Gambar 2.1. Potongan axial servikal setinggi level T1 menunjukan fascia superfisial dan profunda.2
3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi
alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi
prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan
bersatu dengan divisi visera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar
melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding
anterior dari danger space.1
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral
meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot di daerah tersebut.
Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding
posterior dari danger space dan dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga
lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis (carotid
4
sheath) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris
sampai ke toraks.
5
Gambar 2.2. Potongan melintang fasia servikalis profunda.2
Gambar 2.3. Ruang pada servikalis tampak lateral.2
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi
oleh: 1,2
1. anterior: fasia bukofaringeal (divisi visera lapisan media fasia servikalis
profunda) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid;
palpasi pada anak) Demam (64%) Stridor (3%) Tortikolis (18%) Kaku leher (64%) Drooling (22%) Agitasi (43%) Massa pada leher (55%) Letargis (42%) Distres pernapasan (4%) Tanda-tanda terkait termasuk tonsilitis,
peritonsilitis, faringitis, dan otitis media.
Anamnesis yang baik sangat penting karena kondisi serius lain merupakan
diagnosis banding dari abses retrofaring. Abses retrofaring seringkali merupakan
12
sekuele dari infeksi saluran napas atas (misalnya faringitis, tonsilitis, sinusitis, infeksi
gigi) dan lebih sering terjadi pada anak sehingga riwayat tertelan benda asing harus
ditanyakan.7
Pada anak manifestasi klinis dapat tidak jelas dan bergantung pada tingkat
penyakit tetapi gejala khas termasuk demam tinggi, nyeri leher (terutama pada saat
digerakkan) atau tortikolis, disfagia, iritabilitas, malaise, dan odinofagia. Odinofagia
menyebabkan drooling, intake oral yang buruk, dan anoreksia. Gejala minor lain
misalnya trismus, disfonia, stridor, dan sleep apnea. Anak dapat terlihat menarik-narik
telinga atau tenggorokan yang menunjukkan adanya nyeri.7
Pada orang dewasa manifestasi klinis lebih spesifik dengan drooling dan disfagia
tetapi dengan onset perlahan. Penting untuk menanyakan komorbiditas seperti diabetes
mellitus dan melakukan kontrol glukosa darah apabila ditemukan. Hampir sepertiga
pasien dengan abses leher dalam memiliki diabetes mellitus.7
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan rongga mulut dan leher untuk
mencari edema tonsil, edema orofaring, dan limfadenopati. Observasi penting lain
dilakukan terhadap drooling, dispneu, tortikolis, dan massa atau pembengkakan pada
leher. Pada anak-anak pemeriksaan mungkin terbatas bergantung pada usia dan
kooperasi dari anak dan orang tua. 7
Gangguan terhadap jalan napas biasanya tampak dengan gejala dispneu, distres
pernapasan, dan fatigue. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda seperti
takipneu, sianosis, tracheal thug, atau retraksi interkosta. Laju pernapasan yang cepat
dan saturasi oksigen membantu diagnosis gangguan jalan napas. 7
Abses retrofaring kronik yang disebabkan oleh infeksi tuberkulosis biasanya
timbul dengan gejala kaku pada leher dan nyeri pada belakang leher. Diagnosis
ditunjang dengan riwayat menderita tuberkulosis paru dan spondilitis tuberkulosis
(khusus untuk tipe sentral). Pada pemeriksaan fisik ditemukan pembengkakan pada
garis tengah (tipe sentral) dan lateral korpus vertebra (tipe lateral) yang berfluktuasi
dengan tanda inflamasi yang minimal.10
13
Gambar 2.7. Abses retrofaring kronik tipe lateral (kiri) dan sentral (kanan) 10
II. 7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang awal yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis
abses retrofaring dijelaskan dalam tabel berikut: 7
Tabel 2.3.Pemeriksaan penunjang awal untuk diagnosis abses retrofaring.7
Pemeriksaan Hasil
Darah lengkap Leukosistosis (terutama netrofil)
Laju endap darah menentukan derajat penyakit inflamasi apabila tidak
ditemukan netrofilia yang signifikan.
Meningkat
CT scan leher dengan kontras pemeriksaan definitif. mengkonfirmasi adanya abses dan membantu dalam
merencanakan approach tindakan bedah. Adanya udara di dalam atau di sebelah akumulasi cairan atau udara bebas yang berlebih diantara fascia leher sangat prediktif untuk abses.
Lesi hipodens dikelilingi cincin pada rongga retrofaring
Foto polos servikal soft tissue lateral dilakukan apabila terdapat kecurigaan tetapi tidak tersedia CT
scan tetapi dapat dilakukan sebelum CT scan apabila kecurigaan tinggi terhadap abses retrofaring.
Pembengkakan pada ruang prevertebra (> 7mm pada C2 dan > 14 mm pada C6)
Pemeriksaan dengan anestesi dilakukan apabila kecurigaan tinggi dan terdapat gangguan
jalan napas atau apabila tidak terdapat fasilitas CT scan. juga dapat dilakukan apabila kecurigaan tinggi tetapi hasil
pencitraan tidak konsisten dengan abses retrofaring. Pemeriksaan ini dapat mengkonfirmasi diagnosis dan langsung dilakukan insisi transoral dan drainase serta pengambilan pus untuk kultur.
Bulging pada dinding posterior orofaring.
Kultur pus pus yang didapatkan dari drainase dilakukan kultur dan uji
sensitivitas antibiotik.
Positif terhadap organisme penyebab.
14
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain foto polos dada
yang diindikasikan apabila terdapat kecurigaan timbulnya komplikasi berupa
pneumonia aspirasi atau mediastinitis.3 Kultur darah tidak rutin dilakukan kecuali pada
kecurigaan terjadinya sepsis.7
Untuk abses retrofaring kronis pemeriksaan penunjang yang mendukung
diagnosis adalah leukositosis, peningkatan laju endap darah, dan tes Mantoux yang
positif. Foto polos servikal lateral menunjukkan destruksi korpus vertebra dengan
peningkatan ruang retrofaring dan bayangan udara di dalamnya. CT scan dapat lebih
mengkonfirmasi temuan tersebut.10
Gambar 2.8. Gambar radiologis abses retrofaring
II. 8. Diagnosis Banding
Penyakit-penyakit lain dengan manifestasi klinis yang menyerupai abses
retrofaring dijelaskan pada tabel berikut:
15
Tabel 2.4. Berbagai kelainan yang menjadi diagnosis banding abses retrofaring.7
Kondisi Tanda/Gejala yang BerbedaPemeriksaan Penunjang
untuk Membedakan
Epiglotitis akut Sulit untuk dibedakan dengan abses retrofaring tetapi secara umum memiliki onset yang lebih akut.
Kesulitan bernapas.
CT scan tidak ditemukan gambaran abses retrofaring.
Foto polos servikal soft tissue menunjukkan bayangan radio opak atau epiglotis yang meradang.
Laringotrakeobronkitis (croup)
Batuk menggonggong. CT scan daerah retrofaring normal.
Meningitis Nyeri kepala, ruam purpura dapat ditemukan pada beberapa kasus.
Aspirasi atau insisi drainase lesi mengkonfirmasi diagnosis.
Limfadenopati retrofaring
Edema tanpa fluktuasi pada dinding posterior faring.
CT scan dengan kontras dapat membedakan limfadenopati dengan abses.
Infeksi virus Epstein-Barr
Dapat ditemukan hepatosplenomegali dan limfadenopati generalisata.
Tes Paul-Bunnel atau monospot positif
Retropharyngeal calcific tendonitis
Gejala dan tanda serupa dengan abses retrofaring.
Bersifat self-limiting dan biasanya reda setelah 2 minggu.
CT scan menunjukkan kalsifikasi anterior terhadap korpus vertebra C1 dan/atau C2 dengan akumulasi cairan yang non-ring-enhanced pada ruang prevertebra.
Penyakit Kawasaki Dapat menunjukkan gejala dan tanda seperti abses retrofaring tetapi limfadenopati jarang ditemukan pada awal penyakit.
Diagnosis penyakit Kawasaki termasuk demam > 5 hari dengan 4 dari 5 kriteria klinis: konjungtivitis bulbar non-purulen, perubahan pada bibir atau kavum oris, eksantem polimorfik, eritema pada ekstremitas yang kemudian mengalami deskuamasi, dan minimal 1 limfonodi servikal dengan diameter > 1,5 cm.
CT scan menunjukkan temuan yang serupa dengan abses retrofaring sehingga klinisi harus berpegang pada temuan klinis.
II. 9. Penatalaksanaan
16
II.9.1 Tindakan pra-hospital
Pemberian oksigen dan tindakan untuk memastikan patensi jalan napas
merupakan komponen penting perawatan pra-hospital pada pasien dengan kecurigaan
abses retrofaring. Apabila anak menunjukkan tanda distres pernapasan posisikan dalam
sniffing position. Kadang-kadang intubasi endotrakeal atau krikotirotomi dibutuhkan
apabila pasien menunjukkan tanda obstruksi jalan napas atas.3
II.9.2 Tindakan di ruang emergensi
Manajemen emergensi abses retrofaring termasuk patensi jalan napas, resusitasi
cairan apabila dibutuhkan, antibiotik, dan persiapan operasi emergensi. Monitoring
tanda vital dan saturasi oksigen penting untuk dilakukan.3
Manajemen jalan napas
o berikan tambahan oksigen;
o intubasi endotrakeal dibutuhkan apabila pasien menunjukkan tanda obstruksi
jalan napas atas. Intubasi dapat sulit untuk dilakukan akibat edema;
o krikotirotomi (surgical atau needle) dapat dibutuhkan pada pasien dengan
obstruksi jalan napas atas yang tidak dapat diintubasi. Trakeostomi dapat
dibutuhkan untuk manajemen jalan napas definitif.
Cairan intravena dibutuhkan apabila pasien mengalami dehidrasi akibat demam dan
intake oral yang buruk.
II.9.3 Tindakan definitif
1) Medikamentosa
Pemberian antibiotik secara parenteral diberikan secepatnya tanpa menunggu
hasil kultur pus. Antibiotik yang diberikan harus mencakup terhadap kuman aerob
dan anaerob, Gram positif dan Gram negatif. Pilihan antibiotik lini pertama adalah
Clindamycin dengan Aminoglikosida atau penicilli-nase-resistant penicillin seperti
Ticarcillin/Clavulanate, Piperacillin/Tazobactam, dan Ampicillin/Sulbactam
dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ketiga dan Metronidazole.
Clindamycin dan Metronidazole tidak boleh digunakan sebagai terapi tunggal.
Terapi antibiotik dapat diberikan selama sekitar 10 hari.11 Untuk abses retrofaring
17
kronik pasien diberikan terapi antituberkulosis selain dilakukan tindakan operatif
seperti aspirasi atau insisi dan drainase abses.10
2) Operatif
Tindakan operatif yang dapat dilakukan yaitu aspirasi pus (needle aspiration)
atau insisi drainase. Insisi drainase dapat dilakukan melalui dua pendekatan:
a) Pendekatan internal atau transoral
Dilakukan untuk abses yang kecil dan terlokalisir. Pasien diletakkan pada
posisi Trendelenburg dimana leher dalam keadaan hiperekstensi dan kepala
lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang paling
berfluktuasi dan pus yang keluar harus segera diisap dengan alat penghisap
untuk menghindari aspirasi pus. Insisi diperlebar dengan forsep atau klem arteri
untuk memudahkan evakuasi pus. Kekurangan dari pendekatan ini terkait
dengan risiko aspirasi isi abses. Pendekatan intraoral dapat sulit dilakukan untuk
abses yang letaknya superior atau lateral.11
b) Pendekatan eksternal atau transervikal
Pendekatan eksternal baik secara anterior atau posterior dilakukan untuk
abses yang besar dan meluas ke arah hipofaring. Kelemahan dari teknik ini
adalah waktu pemulihan yang lebih lama dan terdapat kemungkinan komplikasi
cidera terhadap nervus kranialis dan pembuluh darah besar.11
Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat insisi secara horizontal
mengikuti garis kulit setingkat krikoid atau pertengahan antara os hyoid dan
klavikula. Kulit dan subkutis dielevasi untuk memperluas pandangan sampai
terlihat m. sternokleidomastoideus. Dilakukan insisi pada batas anterior m.
sternokleidomastoideus. Dengan menggunakan klem arteri bengkok, m.
sternokleidomastoideus dan selubung karotis disisihkan ke arah lateral. Setelah
abses terpapar dengan cunam tumpul, abses dibuka dan pus dikeluarkan. Bila
diperlukan insisi dapat diperluas dan selanjutnya dipasang drain (Penrose
drain).11
Pendekatan posterior dibuat dengan melakukan insisi pada batas posterior
m. sternokleidomastoideus. Kepala diputar ke arah yang berlawanan dari abses.
18
Selanjutnya fasia dibelakang m. sternokleidomastoideus diatas abses dipisahkan.
Dengan diseksi tumpul pus dikeluarkan dari belakang selubung karotis.11
Gambar 2.9. Aspirasi abses retrofaring
II. 10. Komplikasi
Komplikasi pada abses retrofaring dapat terjadi akibat:7
1) efek desak massa (abses): obstruksi jalan napas;
posterior : osteomielitis dan erosi kolumna spinalis;
4) proses infeksi: necrotizing fasciitis, sepsis dan kematian.
II. 11. Prognosis
Prognosis baik apabila abses retrofaring diidentifikasi dini. Meskipun demikian
tingkat mortalitas mencapai 40-50% apabila timbul komplikasi serius (misalnya
meningitis) meskipun komplikasi jarang terjadi dan secara umum akibat penyebaran
inferior ke arah inferior atau superior. Rekurensi terjadi pada 1-5% pasien.7
19
BAB III
KESIMPULAN
Abses retrofaring paling sering dijumpai pada anak-anak, terutama disebabkan
oleh infeksi saluran nafas atas yang menjalar ke ruang retrofaring. Pada orang dewasa
biasanya disebabkan oleh trauma, benda asing, atau infeksi tuberkulosis pada korpus
vertebra.
Gejala klinis yang ditimbulkan dapat berupa gejala yang ringan seperti demam,
sulit dan sakit menelan sampai timbul gejala yang berat seperti obstruksi jalan nafas dan
dapat menimbulkan kematian.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis disertai aspirasi
dan pemeriksaan radiologis.Penatalaksanaan dapat dilakukan secara medikamentosa dan
operatif bergantung dari luasnya abses. Prognosis bergantung dari penanganan yang
cepat dan tepat sehingga komplikasi yang membahayakan jiwa tidak terjadi.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Rambe, A.Y. 2003. Abses Retrofaring. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Villa, E.K. Anaesthetic Management of Retropharyngeal Abscess in Children. Anaesthesia Tutorial of The Week. 2011; 211: 1-9.
3. Kahn JH. 2012. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine. (Online) http://emedicine.medscape.com/article/764421-overview, diakses pada 3 Juli 2012.
4. Gadre, A.K, Gadre, K.C. 2006. Infections of the Deep Spaces of the Neck. In: Head & Neck Surgery – Otolararyngology fourth edition. Editor: Bailey, B.J. Lippincott Williams & Wilkins: 665 – 682.
5. Fachruddin, D. 2007. Abses Leher Dalam. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Editor: Soepardi, E.A. FKUI: Jakarta. 226-230.
6. Brook, I. Microbiology and Management of Peritonsillar, Retropharyngeal, and Parapharyngeal Abscesses. J Oral Maxillofac Surg 62:1545-1550. 2004.
7. British Medical Journal (BMJ). 2011. Best Practice-Retropharyngeal Abscess. (Online). http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/599/diagnosis/guidelines.html, diakses pada 3 Juli 2012.
8. Marin J, Baren J. Pediatric Upper Airway Infectious Disease Emergencies. Pediatric Emergency Medicine Practice. 2007;4(11):7-12.
9. Chu FKC. Retropharyngeal abscess. Hong Kong j. emerg. med. 2002;9(3): 165-7.
10. Velankar HK. 2001. Retropharyngeal abscess. (Online). http://www.bhj.org, diakses pada 3 Juli 2012.
11. Stewart C. A "Killer" Sore Throat: Inflammatory Disorders Of The Pediatric Airway. Pediatric Emergency Medicine Practice 2006;3(9):1-30.