BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit jantung yang disebabkan karena kelainan pembuluh darah koroner. Terminologi sindrom koroner akut berkembang selama 10 tahun terakhir dan telah digunakan secara luas. Hal ini berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang diketahui berhubungan dengan kebanyakan kasus angina tidak stabil dan infark miokard. Sebagai respon terhadap injury dinding pembuluh, terjadi agregasi platelet lebih lanjut, vasokonstriksi dan akhirnya pembentukan trombus. Pada infark miokard unstable angina pectoris / Non ST Elevation Myocardial Infarction ( NSTEMI ) disamping nyeri dada dan perubahan EKG ( ST elevasi pada STEMI, dan ST depresi, T inversi atau normal pada NSTEMI ) disertai tes cardiac status ( kualitatif ) atau tes cardiac reader ( kuantitatif ). Pada angina biasa tidak ada perubahan EKG dan tidak terdapat kenaikan enzim jantung. Menurut badan kesehatan dunia ( WHO ) tercatat bahwa lebih dari 7 juta orang meninggal akibat PJK 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit jantung yang disebabkan
karena kelainan pembuluh darah koroner. Terminologi sindrom koroner akut
berkembang selama 10 tahun terakhir dan telah digunakan secara luas. Hal ini
berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang diketahui berhubungan dengan
kebanyakan kasus angina tidak stabil dan infark miokard. Sebagai respon terhadap
injury dinding pembuluh, terjadi agregasi platelet lebih lanjut, vasokonstriksi dan
akhirnya pembentukan trombus.
Pada infark miokard unstable angina pectoris / Non ST Elevation
Myocardial Infarction ( NSTEMI ) disamping nyeri dada dan perubahan EKG
( ST elevasi pada STEMI, dan ST depresi, T inversi atau normal pada NSTEMI )
disertai tes cardiac status ( kualitatif ) atau tes cardiac reader ( kuantitatif ). Pada
angina biasa tidak ada perubahan EKG dan tidak terdapat kenaikan enzim jantung.
Menurut badan kesehatan dunia ( WHO ) tercatat bahwa lebih dari 7 juta
orang meninggal akibat PJK diseluruh dunia pada tahun 2002, angka ini
diperkirakan meningkat hingga 11 juta orang pada tahun 2020. Di Indonesia,
berdasarkan data survei dari badan kesehatan nasional tahun 2001 menunjukan
tiga dari 1000 penduduk indonesia menderita PJK, pada tahun 2007 terdapat
sekitar 400ribu penderita PJK dan pada saat ini penyakit jantung koroner menjadi
pembunuh nomor satu di dalam negeri dengan tingkat kematian mencapai 26%.
American Heart Association pada tahun 2004 memperkirakan prevalensi
PJK di Amerika Serikat sekitar 13.200.000 angka kematian karena PJK di seluruh
dunia tiap tahun didapatkan 50 juta, sedangkan di negara berkembang terdapat 39
juta.
1
Menurut ESC ( European Society of Cardiology) sekurang – kurangnya 15
juta penderita gagal jantung di 51 negara Eropa. Prevalensi gagal jantung
asimptomatik sekitar 4% dari jumlah populasi. Prevalensi gagal jantung pada usia
lebih tua ( 70 – 80 tahun ) juga lebih tinggi sekitar 10 – 20 %. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan di berbagai tempat di Indonesia, penyakit jantung
koroner merupakan penyebab utama dari gagal jantung.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang Non-ST Elevasi Miocard Infarction
1.2.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui manifestasi klinis Non-ST elevasi miocard infarction
2. Untuk mengetahui penatalaksaan Non-ST Elevasi miocard infarction
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Non – ST Elevasi Miokardial Infark ( NSTEMI ) adalah oklusi sebagian
dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga
tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.
2.2 Epidemiologi
Menurut Raharjoe ( 2011 ) penyakit kardiovaskuler adalah penyebab
mortalitas tertinggi di dunia dimana pun, dilaporkan sebanyak 30% dari mortalitas
global. Pada tahun 2010, penyakit kardiovaskular kira – kira telah membunuh 18
juta orang, 80% terdapat di negara berkembang, seperti Indonesia. Penyakit
kardiovaskular yang paling sering salah satunya adalah PJK ( penyakit jantung
koroner ). Data statistik menunjukan bahwa pada tahun 1992 persentase penderita
PJK di Indonesia adalah 16,5% dan pada tahun 2000 melonjak menjadi 26,4%
( suyono, 2010 ). Sedangkan di Inggris, penyakit kardiovaskular membunuh satu
dari dua penduduk dalam populasi, dan menyebabkan hampir sebesar 250.000
kematian pada tahun 1998.
PJK tidak hanya menyerang laki – laki saja, wanita juga berisiko terkena
PJK meskipun kasusnya tidak sebesar pada laki – laki. Pada orang berumur 65
tahun keatas, ditemukan 20% PJK pada laki – laki dan 12% pada wanita. Pada
tahun 2001, WHO memperkirakan bahwa sekitar 17 juta orang meninggal akibat
penyakit kardiovaskular, terutama PJK ( 7,2 juta ) dan stroke ( 5,5 juta )
( soeharto, 2004 ). Tanda dan gejala PJK banyak dijumpai pada individu –
individu dengan usia yang lebih tua, secara patogenesis permulaan terjadinya PJK
terjadi sejak usia muda namun kejadian ini sulit untuk diestimasi. Diperkirakan
sekitar 2% - 6% dari semua kejadian PJK terjadi pada individu dibawah usia 45
3
tahun. Berdasarkan suyono ( 2010 ) dan raharjoe ( 2011 ) dapat disimpulkan
bahwa akan terjadi peningkatan yang signifikan setiap tahunnya.
Gejala yang paling sering dikeluhkan pasien dengan NSTEMI adalah nyeri
dada, yang menjadi salah satu gejala yang paling sering didapatkan pada pasien
yang datang ke IGD, diperkirakan 5,3juta kunjungan / tahun. Kira – kira 1/3
darinya disebabkan oleh unstable angina / NSTEMI dan merupakan penyebab
tersering kunjungan ke rumah sakit pada penyakit jantung. Angka kunjungan
untuk pasien unstable angina / NSTEMI semakin meningkat sementara angka
STEMI menurun ( sjaharuddin, 2006 )
2.3 Etiologi
NSTEMI disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI
terjadi karena trombosis akut atau vasokonstriksi koroner, sehingga terjadi
iskemia miokard dan dapat menyebabkan nekrosis jaringan miokard dengan
derajat lebih kecil, biasanya terbatas pada subendokardium. Keadaan ini tidak
dapat menyebabkan elevasi segmen ST namun menyebabkan pelepasan penanda
nekrosis.
Penyebab paling umum adalah penurunan perfusi miokard yang dihasilkan
dari penyempitan arteri koroner disebabkan oleh trombus nonocclusive yang telah
dikembangkan pada plak aterosklerotik terganggu. Penyempitan abnormal dari
arteri koroner mungkin juga bertanggung jawab. Faktor resiko terjadi NSTEMI
adalah :
1. Yang tidak dapat diubah
a. Umur
b. Jenis kelamin : insiden pada pria lebih tinggi, sedangkan pada
wanita kejadian akan meningkat saat setelah menopause
c. Riwayat penyakit jantung coroner pada anggota keluarga di usia
muda ( anggota keluarga laki – laki muda dari 55 tahun atau
anggota keluarga perempuan yang lebih muda dari usia 65 tahun )
4
d. Hereditas
e. Ras : kejadian ini lebih tinggi pada kulit hitam
2. Yang dapat diubah
a. Mayor :
- Hiperlipidemia
- Hipertensi
- Merokok
- Diabetes
- Obesitas
- Diet tinggi lemak jenuh
- Kalori
b. Minor
- Inaktifitas fisik
- Emosional
- Agresif
- Ambisius
- Kompetitif
- Stres fisiologis berlebihan
c. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
Penyebab paling sering SKA adalah penurunan perfusi
miokard oleh karena penyempitan arteri koroner sebagai akibat
dari trombus yang ada pada plak aterosklerosis yang robek /
pecah dan biasanya tidak sampai menyumbat, mikroemboli
( emboli kecil ) dari agregasi trombosit beserta komponennya
dari plak yang ruptur, yang mengakibatkan infark kecil di
distal, merupakan penyebab keluarnya petanda kerusakan
miokard pada banyak pasien.
d. Obstruksi dinamik
5
Penyebab agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang
mungkin diakibatkan oleh spasme fokal yang terus menerus
pada segmen arteri koroner epikardium ( angina prinzmetal ).
Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos
pembuluh darah dan atau akibat disfungsi endotel. Obstruksi
dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh konstriksi
abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil.
e. Obstruksi mekanik yang progresif
Penyebab SKA adalah penyempitan yang hebat namun bukan
karena spasme atau trombus, hal ini terjadi pada sejumlah
pasien dengan aterosklerotik progressif atau dengan stenosis
ulang setelah intervensi koroner perkutan ( PCI )
f. Inflamasi dan atau infeksi
Inflamasi disebabkan oleh yang berhubungan dengan infeksi,
yang mungkin menyebabkan penyempitan arteri, destabilisasi
plak, ruptur dan trombogenesis. Makrofag dan limfosit T di
dinding plak meningkatkan ekspresi enzim seperti
metaloproteinase, yang dapat mengakibatkan penipisan dan
ruptur plak, sehingga selanjutnya dapat mengakibatkan
sindroma koroner akut.
2.4 Patofisiologi
Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh
penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang
diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau
proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan
adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tak stabil ini biasanya mempunyai
inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan
konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur
mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh
yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfosit T
6
yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel sel ini akan mengeluarkan sitokin
proinflamasi seperti TNF α, dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akan merangsang
pengeluaran hsCRP dihati.
2.5 Gejala klinis
a. Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau
b. kadangkala di epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti
diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan
menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI.
Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang
memiliki gejala dengan onset baru angina berat/terakselerasi memiliki
prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri pada waktu
istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak enak didada iskemia pada NSTEMI
telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti: dispneu, mual,
diaforesis, sinkop atau nyeri dilengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga
terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari
65 tahun.
2.6 Diagnosa
A. Dari anamnesa ditemukan
1. Nyeri dada
Nyeri dada yang lama yaitu minimal 30 menit, sedangkan pada angina
kurang dari itu. Disamping itu pada angina akan hilang dengan istirahat
akan tetapi pada infark tidak. Nyeri dan rasa tertekan pada dada itu bisa
disertai dengan keluarnya keringat dingin atau perasaan takut. Biasanya
nyeri dada menjalar kelengan kiri, bahu, leher sampai ke epigastrium, akan
tetapi pada orang tertentu nyeri yang terasa hanya sedikit. Hal tersebut
biasanya terjadi pada manula, atau penderita DM berkaitan dengan
neuropathy.
2. Gejala gastrointestinal
Pada epigastrium ditemukan gejala khas sebagai berikut:
7
a. Perasaan seperti diikat, Perasaan terbakar, Perasaan seperti diperas,
Rasa penuh, Terasa berat atau tertekan.
b. Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual, muntah dan
biasanya lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma
pada infark inferior juga bisa menyebabkan cegukan.
3. Sesak nafas
Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir
diastolik ventrrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan
hioperventilasi. Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak nafas
merupakan tanda adanya disfungsi ventrikelkiri bermakna.
4. Gejala lain
Termasuk palpitasi, rasa pusing atau sinkop dari aritmia ventrikel dan
gelisah.
B. Pemeriksaan Penunjang ditemukan
1. EKG
Pada pemeriksaan EKG dijumpai adanya gambaran T inverted dan ST
depresi yang menunjukkan adanya iskemia pada arteri koroner. Jika terjadi
iskemia, gelombang T menjadi terbalik (inversi), simetris, dan biasanya
bersifat sementara (saat pasien simtomatik).
Gambaran elektrokardiogram (EKG), secara spesifik berupa deviasi
segmen ST merupakan hal penting yang menentukan risiko pada pasien.
Pada Trombolysis In Myocardial (TIMI) III Registry, adanya depresi
segmen ST baru sebanyak 0,05 Mv merupakan prediktor outcome yang
buruk. Kaul et al. Menunjukkan peningkatan resiko outcome yang buruk
meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST, dan
baik depresi segmen ST maupun perubahan troponin T keduanya
memberikan tambahan informasi prognosis pasien pasien dengan
NSTEMI.
2. Biomarker kerusakan miokard
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang
lebih disukai, karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional
8
seperti CK dan CKMB (creatine kinase-myoglobin). Pada pasien dengan
IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan
dapat menetap sampai 2 minggu. Pada gambar 1 dapat dilihat pada kinetik
biomarker jantung seperti mioglobin, CKMB dan troponin.
Petanda biokimia troponin T dan troponin I mempunyai peranan yang
sangat penting pada diagnostik, stratifikasi dan pengobatan penderita
sindrom koroner akut (SKA). Troponin T mempunyai sensitifitas 97% dan
spesitifitas 99% dalam mendeteksi kerusakan sel miokard bahkan yang
minimal sekalipun (mikro infark). Sedangkan troponin I memiliki nilai
normal 0,1.
Perbedaan troponin T dengan troponin I:
a. Troponin T (TnT)
Dengan berat molekul 24.000 dalton, suatu komponen inhibitorik yang
berfungsi mengikat aktin.
b. Troponin I (TnI)
Dengan berat molekul 37.000 dalton yang berfungsi mengikat
tropomiosin
3. Stratifikasi risiko
Penilaian klinis dan EKG merupakan parameter utama dalam pengenalan
dan penilaian risisko NSTEMI. Jika ditemuka risiko tinggi, maka keadaan
ini memerlukan terapi awal yang segera. Penatalaksanaanya sebaiknya
terkait dengan faktor risiko.
4. Skor risiko TIMI
Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana untuk stratifikasi
risiko. Insidens outcome yang buruk (kematian, (re) infark miokard, atau
iskemia berat rekuren) pada 14 hari berkisar antara 5% dengan skor risiko
0-1, sampai 41% dengan skor risiko 6-7 skor risiko ini berasal dari analisis
pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah divalidasi pada 4
penelitian tambahan dan satu registry. Dengan meningkatnya skor risiko,
telah diobservasi manfaat yang lebih besar secara pogresif pada terapi
9
dengan LMWH versus UFH, dengan platelet GP IIb/IIIa receptor bloker
tirifiban versus plasebo, dan strategi invasif versus konservatif.
Pada pasien untuk ssemua level skor risiko TIMI, penggunaan
klopidogrel menunjukkan penurunan outcome yang buruk relatif sama.
Skor risiko juga efektif dalam memprediksi outcome yang buruk pada
pasien setelah puylang.
Skor Risiko TIMI untuk UA/NSTEMI
a. Usia ≥65 tahun
b. ≥ 3 faktor risiko PJK
c. Stenosis sebelumnya ≥ 50%
d. Deviasi ST
e. ≥ 2 kejadian angina ≤ 24 jam
f. Aspirin dalam 7 hari terakhir
g. Peningkatan petanda jantung
5. Serum kreatinin
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan disfungsi ginjal
berhubungan dengan peningkatan risiko outcome yang buruk. Beberapa
peneitian seperti platelet receptor inhibition in iskhemic syndrome
management in patients limited by unstable sign and symptom (PRISM-
PLUS), treat angina with agastat and determine cost of therapy with
invasive or conservative strategy (TACTICS)-TIMI 18, dan global use
strategies to open occluded coronary arterier (GUSTO) IV-ACS.
Kesemuanya menunjukkan pasien-pasien dengan kadar klirens kreatinin
yang lebih rendah memiliki gambaran risiko tinggi yang lebih besar dan
outcome yang kurang baik. Walaupun strategi invasif banyak bermanfaat
pada pasien dengan disfungsi ginjal, namun mempunyai risiko perdarahan
yang lebih banyak. Karena “molekul kecil” inhibitor GP IIb/IIIa dan
LMWH dieksresikan lewat ginjal, terapi ini seharusnya diberikan dengan
perhatian khusus pada pasien dengan gangguan fungsii ginjal. Walaupun
10
disfungsi ginjal dapat mengganggu klirens troponin, namun tetap
merupakan prediktor keluaran yang bernilai pada pasien.
6. Petanda Biologis (BIOMARKER) Multiple Untuk Penilaian Risiko
Newby et.al mendemonstrasikan bahwa strategi bedside menggunakan
mioglobin, creatinin kinase-MB dan troponin I menunjukkan stratifikasi
risiko yang lebih akurat dibandingkan jika menggunakan petanda tunggal
berbasis laboratorium. Sabatine et.al mempertimbangkan 3 faktor
patofisiologi yang terjadi pada UA/NSTEMI yaitu:
a. Ketidakstabilan plak dan nekrosis otot yang terjadi akibat
mikroembolisasi
b. Inflamasi vaskular
c. Kerusakan ventrikel kiri
Masing-masing dapat menilai secara independen berdasarkan penilaian
terhadap petanda-petanda seperti cardiac-spesific troponin, C-creative
protein dan brain natriutetic peptide, berturut-turut. Pada penelitian
TAC-TICS-TIMI 18, dimana risiko relatif, mortalitas 30 hari pasien-
pasien dengan biomarker 0, 1, 2 dan 3 semakin meningkat berkali lipat
1; 2,1 ; 5,7 dan 13,0 berturu-turut.
Pendekatan dengan berbagai petanda laboratorium ini sebaiknya
tidak digunakan sendiri-sendiri tapi seharusnya dapat memperjelas
penemuan klinis.
2.7 Penatalaksanaan
Pasien NSTEMI harus istirahat ditempat tidur dengan pemantauan EKG
untuk deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama
terapi harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:
1. Terapi antiiskemia
Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada berulang,
dapat diberikan terapi awal mencakup nitratdan penyekat beta. Terapi
anti iskemia terdiri dari nitrogliserin sub lingual dan dapat dilanjutkan
dengan intravena, dan penyekat beta oral ( pada keadaan tertentu dapat
11
diberikan intravena). Antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan
pada pasien dengan iskemia refrakter atau yang tidak toleran dengan
obat penyekat beta.
a. Nitrat
Nitrat pertama kali harus diberikan sublingual atau spray bukal jika
mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri menetap setelah
diberikan nitrat sublingual 3 kali dengan interval 5 ment,