EUTHANASIA I. Pendahuluan Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu berarti baik, tanpa penderitaan, sedangkan tanathos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan.Sedangkan menurut Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia, euthanasia dapat di artikan dalam tiga hal, yaitu : a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan. b. Waktu hidup akan berakhir, penderitaan pasien diperingan dengan memberi obat penenang. c. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. 1,2 Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hipocrates (400-300 SM). Masalah ini telah ditulis dan diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau didapatnya kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan, sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama. Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
EUTHANASIA
I. Pendahuluan
Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu berarti baik, tanpa
penderitaan, sedangkan tanathos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat
diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan.Sedangkan menurut Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia, euthanasia dapat di
artikan dalam tiga hal, yaitu :
a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan.
b. Waktu hidup akan berakhir, penderitaan pasien diperingan dengan memberi
obat penenang.
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya. 1,2
Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hipocrates (400-300 SM). Masalah
ini telah ditulis dan diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan
dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau didapatnya
kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan euthanasia
pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan, sementara di lain pihak tindakan
ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama. Mengenai
masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan masalahnya sudah ada
sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan, sementara
pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian, tidak jarang
pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang
hidupnya lagi atau dilain keadaan pada pasien yang sudah tidak sabar, keluarga orang
sakit juga tidak tega melihat pasien yang penuh penderitaan menjelang ajalnya dan
minta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan
obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas
kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan, atau mati secara baik (mati enak).
Masalah ini makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena semakin
banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat terutama setelah
ditemukannya tindakan di dalam dunia pengobatan dengan mempergunakan teknologi
canggih dalam mengatasi keadaan-keadaan gawat dan mengancam kelangsungan hidup.
1
Banyak kasus-kasusj di pusat pelayanan kesehatan terutama di bagian gawat darurat dan
di bagian unit perawatan intensif yang pada masa lalu sudah merupakan kasus yang
tidak dapat dibantu lagi. Dengan demikian, pada kasus-kasus tertentu tetap saja muncul
persoalan dasar kembali, yaitu dilema meneruskan atau tidak tindakan medis yang
memperpanjang kehidupan. Apa yang harus dilakukan dokter menghadapi korban yang
telah mati otak atau mati batang otak ini, karena belum ada kasus yang dapat keluar dari
keadaan ini, sebab kerusakan jaringan otak sudah irreversible. Atau pada kasus kanker
stadium terminal dengan penderitaan sakit yang hebat, sementara obat untuk itu belum
ada. Begitu juga pada pasien gagal ginjal kronis yang memerlukan pencucian darah,
sementara dana untuk tindakan ini ditanggung passien/keluarga dan lain-lain. Sesuai
dengan makin meningkatnya kesadaran akan hak untuk menentukan nasib sendiri (self
determination) dibanyak negara mulai timbul gerakan dan penghargaan atas seseorang
untuk mengakhiri hidup. Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap
negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun
ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, euthanasia dianggap
legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum.1,3,4
Negara Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat menghindari adanya
kemajuan dan perkembangan di bidang kedokteran khusunya di bidang teknologi pada
umumnya. Dengan perkembangan suatu diagnosa suatu penyakit dapat lebih sempurna
dilakukan dan pengobatan penyakitpun dapat berlangsung dengan cepat. Dengan
peralatan, rasa sakit seorang pasien diharapkan dapat diperingan agar kehidungan
harapan agar dokter diberikan kesempatan untunk mengobati pasien sebagai upaya bagi
si pasien untuk sembuh menjadi lebih besar, namun ada kalanya menimbulkna kesulitan
bagi seorang dokter itu sendiri seperti penggunaan alat respirator yang dipasang untuk
menolong pasien, dimana jantung pasien berdenyut namaun otaknya tidak berfungsi
dengan baik. pan seseorang dapat diperpanjang dalam jangka waktu tertentu
menguunakan respirator. Perkembangan teknologi dibidang medis ini dengan baik. 5,6
2
Selain kasus di atas banyak lagi masalah yang dihadapi dokter dalam mengobati
pasien, seperti halnya pasien yang tidak mungkin lagi diharapkan sembuh atau hidup
sehat karena belum ditemukan obatnya, sehingga pasien merasakan sakit yang terus
menerus, dalam hal ini apakah dokter harus menghilangkan nyawa pasien atau
euthanasia dengan teknik yang ada atau membiarkan pasien begitu saja atau menyuruh
pulang kembali bersama keluarganya. Menyadari hal itu kewajiban dokter adalah
menghormati dan melindungi setiap insan dengan menjalankan tugasnya semata-mata
untuk menyembuhkan dan mengurangi penderitaan pasien dengan ilmu pengetahuan
yang dimilikinya dan berdasarkan sumpah jabatan dan kode etik kedokteran.2,5,6
BAB II
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang medik, kehidupan
seseorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter
dihadapkan pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika
sudah terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan. Berdasarkan pada cara terjadinya,
ilmu pengetahuan membedakan kematian dalam tiga jenis :5
a. Orthonasia, yaiutu kematian yang terjadi karena prosese alamiah
b. Dysthanasia, yaitu kemtian yang terjadi secara tidak wajar
c. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan
pertolongan dokter.
Pengertian euthanasia adalah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa mengurangi rasa sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan
penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif, dan biasanya tindakan ini
dilakukan oleh kalangan medis. 5
Konsep euthansia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian
yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh
penderitaan dan tak tersembuhkan”. Sedangkan dalam kamus kedokteran Dorland
euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau
tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan
seseorang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan sangat
menyakitkan secara hati-hati dan disengaja. 5
3
Dewasa ini orang menilai euthansia terarah pada campur tangan ilmu
kedokteran yang meringankan penderitaan orang sakit atau orang yang
berada di sakaratul maut. Kadang-kadang proses “meringankan penderitaan”
ini disertai dengan bahaya mengakhiri hidup sebelum waktunya. Dalam arti
yang lebih sempit, euthanasia dipahami sebagai mercy killing, membunuh
karena belas kasihan, entah untuk mengurangi penderitaan, entah terhadap
anak cacat, orang sakit jiwa, atau orang sakit tak tersembuhkan. Tindakan
itu dilakukan agar janganlah hidup yang dianggap tidak bahagia itu
diperpanjang dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat. 3
Akhir-akhir ini banyak terdengar sebutan lain lagi: assisted suicide
atau “bunuh diri yang dibantu dokter”. Maksudnya adalah dokter membantu
pasien terminal untuk membunuh dirinya jika ia memilih mengakhiri
penderitaannya. Hal ini biasanya dilakukan dengan menulis resep untuk obat
yang mematikan dalam dosis besar. Perbedaan dengan euthanasia adalah
bahwa pasien terminal membunuh dirinya sendiri, ia tidak “dibunuh” oleh
dokternya. Karena alasan itu, secara psikologis, bunuh diri dengan bantuan
seperti itu barangkali tidak membebani hati nurani profesi medis daripada
euthanasia langsung, tetapi secara etis tidak ada banyak perbedaan.5
II. Jenis-jenis Euthanasia
1. Berdasarkan cara pelaksanaannya, euthanasia dapat dibedakan dalam :1,3,7
a. Euthanasia Aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui
intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri manusia.
Euthanasia aktif dibagi menjadi euthanasia aktif langsung dan tidak langsung.
Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan medik secara terarah
yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup
pasien. Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagai mercy killing. Euthanasia aktif
tidak langsung adalah dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan
medik untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko
tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
4
b. Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif, artinya memutuskan untuk tidak mengambil
tindakan atau tidak melakukan terapi. Dokter atau tenaga kesehatan
lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup kepada pasien. Misalnya, terapi dihentikan atau
tidak dilanjutkan karena tidak ada biaya, tidak ada alat ataupun terapi
tidak berguna lagi. Pokoknya menghentikan terapi yang telah dimulai
dan sedang berlangsung.
c. auto-euthanasia, artinya pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk
menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia
membuat sebuah codicil (pertanyaan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada
dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
2. Berdasarkan permintaan, euthanasia dibedakan atas :1,3,7
a. Euthanasia voluntir atau euthanasia sukarela
Euthanasia voluntir adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien
sendiri dan dilakukan secara sadar.
b. Euthanasia involuntir
Euthanasia involuntir adalah euthanasia yang dilakukan tanpa permintaan atau
persetujuan dari pasien, melainkan dilakukan atas permintaan keluarga pasien.
3. Dari segi otonom penderita jenis euthanasia dapat dilihat dalam tiga
jenis:1,3,7
a. Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak sadar dan
tidak dapatmenyatakan kehendak (incompetent).
b. Penderita tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili
oleh orang lain (transmitted judgement).
c. Penderita tidak sadar tetapi kehendaknya diduga oleh orang lain
(substituted judgement).
4. Dari sudut motif dan prakarsa, euthanasia dibedakan menjadi dua :1,3,7
5
a. Prakarsa dari penderita sendiri, artinya penderita sendiri yang meminta
agar hidupnya dihentikan entah karena penyakit yang tak tersembuhkan atau karena
sebab lain.
b. Prakarsa dari pihak luar; artinya orang lain yang meminta agar seorang
pasiendihentikan kehidupannya karena berbagai sebab. Pihak lain itu misalnya
keluarganyadengan motivasi untuk menghentikan beban atau belas kasih. Bisa juga,
prakarsa itudatang dari pemerintah karena ideologi tertentu atau kepentingan yang lain.
III. Obat-obat Yang Biasa Digunakan Untuk Euthanasia 8
Obat euthanasia menyebabkan kematian dengan tiga mekanisme dasar:
a. Hipoksia langsung atau tidak langsung.
b. Depresi langsung pada saraf-saraf yang penting untuk fungsi kehidupan.
c. Mengganggu aktivitas otak dan merusak saraf-saraf yang penting untuk
kehidupan.
Obat-obat yang menginduksi kematian dengan hipoksia secara langsung ataupun
tidak langsung, dapat bekerja pada berbagai tempat dan menyebabkan hilangnya
kesadaran. Untuk kematian tanpa rasa sakit, hilangnya kesadaran harus mendahului
hilangnya aktivitas motorik (pergerakan otot). Namun, hilangnya aktivitas motorik tidak
dapat disamakan dengan hilangnya kesadaran dan tidak ada penderitaan. Obat yang
menginduksi paralisis otot tanpa hilangnya kesadaran tidak diterima sebagai satu-
satunya obat euthanasia, misalnya relaksan otot depolarisasi dan nondepolarisasi,
striknin, nikotin, dan garam magnesium.
Obat-obat anestesi yang menekan sel saraf otak, menyebabkan hilangnya
kesadaran kemudian dapat berlanjut ke kematian. Beberapa obat-obat ini melepaskan
inhibisi ke aktivitas motorik selama stadium awal anestesi, menyebabkan yang disebut
fase delirium atau eksitasi, dimana mungkin terdapat vokalisasi dan beberapa kontraksi
otot. Kematian mengikuti hilangnya kesadaran diakibatkan oleh henti jantung dan/atau
hipoksemia akibat depresi pusat pernapasan.
Kerusakan fisik pada aktivitas otak disebabkan oleh gegar otak sedangkan
kerusakan langsung pada otak atau depolarisasi elektrik pada saraf menyebabkan
hilangnya kesadaran dengan cepat. Kematian terjadi karena kerusakan pusat otak bagian
6
tengah yang mengontrol aktivitas jantung dan pernapasan. Aktivitas otot yang
berlebihan dapat mengikuti hilangnya kesadaran namun tidak terasa menyakitkan.
1. Obat Inhalasi
Obat yang diinhalasi harus mencapai konsentrasi tertentu pada alveolus untuk
menimbulkan efek, sehingga euthanasia dengan obat inhalasi membutuhkan beberapa
waktu. Euthanasia dengan inhalasi membutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk
mempercepat hilangnya kesadaran. Kecocokan beberapa obat bergantung pada ada
tidaknya kesulitan saat awal inhalasi dengan saat hilangnya kesadaran. Beberapa obat
dapat menyebabkan konvulsi, tetapi umumnya diikuti oleh hilangnya kesadaran. Obat
yang lebih menyebabkan konvulsi tidak dipergunakan untuk euthanasia. Yang patut
diperhatikan adalah peningkatan konsentrasi obat alveolar melambat pada pernapasan
yang menurun, sehingga diperlukan metode euthanasia yang lain (misalnya dengan
injeksi).
Obat-obat inhalasi yang digunakan untuk anastesi (misalnya eter, halotan,
metoksifluran, isofluran, sevofluran, desfluran, dan enfluran) telah banyak digunakan
untuk euthanasia. Halotan menginduksi anestesi dengan cepat dan merupakan anestesi
inhalasi paling efektif untuk euthanasia. Enfluran lebih kurang larut dalam darah
dibandingkan halotan, tetapi karena tekanan uap dan potensinya yang lebih rendah, laju
induksi dapat sama dengan halotan. Dalam kondisi anestesi yang dalam, enfluran dapat
menyebabkan kejang. Isofluran lebih kurang larut dibanding halotan dan dapat
menginduksi anestesi lebih cepat. Namun, memiliki aroma yang tajam dan
menyebabkan napas agak tertahan, sehingga memperlambat onset hilangnya kesadaran.
Isofluran juga mungkin membutuhkan obat yang lebih untuk membunuh seseorang,
dibandingkan dengan halotan. Halotan lebih disukai untuk euthanasia dibandingkan
dengan isofluran. Sevofluran kurang larut dibandingkan dengan halotan dan tidak
memiliki bau yang tidak menyenangkan. Potensinya lebih kurang dibandingkan
isofluran dan halotan dan memiliki tekanan uap yang lebih rendah. Konsentrasi anestesi
dapat dicapai dan dipertahankan dengan cepat. Desfluran saat ini merupakan anestesi
inhalasi dengan kelarutan paling rendah tetapi uapnya berbau sangat tajam yang dapat
memperlambat induksi. Obat ini sangat bersifat volatil sehingga dapat menggantikan
oksigen dan menginduksi hipoksemia selama induksi jika oksigen tambahan tidak
7
tersedia. Metoksifluran bersifat sangat larut dan memperlambat induksi anestesi dengan
penggunaannya yang dapat disertai dengan agitasi. Eter memiliki kelarutan yang tinggi
dalam darah dan menginduksi anestesi dengan lambat. Eter mengiritasi mata dan
hidung, menyebabkan risiko yang tinggi sehubungan dengan sifatnya yang mudah
terbakar dan meledak.
Anestesi inhalasi dapat diberikan dengan kasa yang dibasahkan denga jumlah
anestesi yang sesuai, atau dapat dengan menggunakan vaporizer. Penggunaan vaporizer
dihubungkan dengan waktu induksi yang lebih lambat, dimana uapnya di inhalasi
hingga pernapasan berhenti dan kematian tiba. Karena hampir semua anestesi inhalasi
yang berada pada fase cair menyebabkan iritasi, maka penggunaan vaporizer lebih
disukai. Oksigen yang cukup harus tersedia selama periode induksi untuk mencegah
hipoksemia. Nitrous oksida (N2O) dapat digunakan dengan obat inhalasi lain untuk
mempercepat onset anestesi. Jika hanya menggunakan N2O, bahkan pada konsentrasi
100%, tidak dapat menginduksi anestesi, dan dapat menyebabkan henti jantung dan
henti napas, sehingga menyebabkan penderitaan sebelum hilangnya kesadaran.
Contoh lain dapat digunakan untuk euthanasia adalah penggunaan zat karbon
dioksiada secara inhalasi. Udara dalam ruangan mengandung 0.04% karbon dioksida
(CO2). Inhalasi CO2 pada konsentrasi 7.5% meningkatkan ambang batas rangsang nyeri,
dan pada konsentrasi yang lebih tinggi, CO2 memiliki efek anestesi yang cepat. Leake
and Waters melaporkan bahwa pada konsentrasi 30% hingga 40% CO2 dalam O2,
anestesi terinduksi dalam 1 hingga 2 menit, biasanya tanpa kesusahan, dan muntah.
Tanda anestesi CO2 yang efektif dihubungkan dengan anestesi yang dalam pada
pembedahan. Waktu untuk hilangnya kesadaran semakin cepat pada konsentrasi CO2
yang lebih tinggi. Waktu untuk hilangnya kesadaran akan lebih lama jika konsentrasi
gas dinaikkan secara perlahan dibandingkan langsung memberikan konsentrasi penuh.
Beberapa ilmuan telah melaporkan bahwa inhalasi CO2 berkonsentrasi tinggi dapat
menyebabkan rasa sakit, karena gas terbagi pada mukosa hidung. Produk yang
dihasilkan, asam karbonat, dapat merangsang nosireseptor pada mukosa nasal.
2. Obat Non inhalasi
8
Penggunaan obat injeksi untuk euthanasia merupakan metode yang paling cepat
dan dapat diandalkan untuk euthanasia. Metode ini dapat dilakukan tanpa menimbulkan
rasa takut atau rasa tertekan.
a. Asam Barbiturat
Barbiturat menekan sistem saraf pusat dengan pola yang menurun, mulai
dari korteks serebral, dengan hilangnya kesadaran berlanjut ke anestesi. Dengan
dosis yang berlebih, anestesi yang dalam berlanjut ke apneu menunjukkan
penekanan pusat pernapasan, yang diikuti oleh henti jantung. Semua turunan asam
barbiturat yang digunakan unuk anestesi diberikan secara intravena. Onset kerja
yang cepat dan hilangnya kesadaran yang diinduksi oleh barbiturat menghasilan
nyeri minimal atau transies yang dihubungkan dengan venipuncture. Barbiturat yang
dibutuhkan adalah mereka yang poten, dgn waktu kerja yang lama, stabil dalam
larutan, dan murah. Natrium pentobarbital sangat sesuai dengan kriteria ini dan
paling banyak digunakan secara luas, meskipun yang lainnya seperti sekobarbital
juga dapat digunakan. Keuntungan barbiturat yang terutama adalah onset kerja yang
cepat, menginduksi euthanasia dengan lembut, dan tidak mahal dibandingkan obat
euthanasia yang lain.
b. Kombinasi Pentobarbital
Beberapa produk euthanasia diformulasi untuk mencakup turunan asam
barbiturat (biasanya natrium pentobarbital), dengan penambahan agen anestesi lokal.
Kombinasi ini tercantum oleh DEA sebagai obat golongan III, membuat mereka
lebih mudah untuk didapatkan, dibeli, dan digunakan dibanding obat golongan II
misalnya natrium pentobarbital. Sifat farmakologi dan penggunaan produk
kombinasi yang direkomendasikan, yang mengkombinasikan natrium pentobarbital
dengan lidokain atau fenitoin dapat digantikan dengan turunan asam barbiturat
murni.
c. Kloral hidrat
Kloral hidrat menekan serebrum dengan lambat. Kematian disebabkan oleh
hipoksemia yang disebabkan dari penekanan progresif pada pusat pernapasan dan
dapat didahului oleh megap-megap, spasme otot, dan vokalisassi
9
IV. PANDANGAN MENGENAI EUTHANASIA
1. Beberapa aspek euthanasia 5,9,13
Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari dokter sebagai pelaku
utama euthansia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan
berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Dalam aspek hukum,
dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat
latar belakang yang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan
tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi
penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum
diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi
seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan
menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat
oleh pasal-pasal dalam undang-undang yang terdapat dalam KUHP pidana. Beberapa
pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344, 345, dan 359.
hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal
1313, 1314,1315, dan 1319 KUH Perdata. Secara formal tindakan euthanasia di
Indonesia belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan
terjadinya penuntutan hukum terhadap euthanasia yang dilakukan.
Aspek hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya.
Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati justru
dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum
euthansai, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya
dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung
seharusnya tersersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri
dari segala ketidanyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
Aspek ilmu pengetahuan
pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya
tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien.
Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan
10
kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh
mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang
dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan sebagai suatu kebohongan,
karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan
terseret dalam pengurasan dana.
Aspek agama
kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorang pun di
dunia ini yang memiliki hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya
sendiri. Pernyataan ahli-ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun
alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak
Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun
dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat, dapat
dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan
hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak
ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan
pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur,
sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain.
Mengapa orang harus ke dokter dan dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau
memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau memang belum waktunya, tidak akan
mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnyamaka dapat pula diartikan
sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis
pun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal-hal seperti ini
manusia sering menggunakan standar ganda. Hal-hal yang menurutnya baik, tidak perlu
melihat pada hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung
pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan
hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai cara untuk menopangnya.
11
Cara-cara Euthanasia Tindakan euthanasia dapat dilakukan melalui beberapa cara,
yakni:
a. Langsung dan sukarela: memberi jalan kematian dengan cara yang
dipilih pasien. Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri.
b. Sukarela tetapi tidak langsung: pasien diberitahu bahwa harapan untuk
hidupkecil sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang
dapat mengakhiri penderitaan dan hidupnya.
c. Langsung tetapi tidak sukarela: dilakukan tanpa sepengetahuan
pasien,misalnya dengan memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat.
d. Tidak langsung dan tidak sukarela: merupakan tindakan euthanasia pasif
yangdianggap paling mendekati moral.
IV. Euthanasia Menurut Hukum Berbagai Negara
Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda dan Belgia serta
ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika dan Swiss dan ada yang menyatakan
sebagai kejahatan seperti Indonesia.
a. Indonesia
Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu
bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu
sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344
KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun”.
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa
pembunuhan atas permintaan korban sekalipun, tetap diancam pidana bagi pelakunya.
Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap
sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di
Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas
permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak
pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar
larangan tersebut. Di dalam himpunan peraturan tentang Majelis Kehormatan Disiplin
12
Kedokteran Indonesia (Konsil Kedokteran Indonesia) Bab III tentang bentuk
pelanggaran disiplin kedokteran, nomor 12 yang dibuat berdasarkan fatwa IDI nomor
231/PB/4/7/1990 dan World Medical Association : Declaration of Euthanasia (Madrid,
1987) yang menyatakan bahwa :
“Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan
sendiri dan atau keluarganya”
Bertolak dari peraturan konsil kedokteran Indonesia tersebut, setiap dokter tidak
dibenarkan melakukan perbuatan yang bertujuan mengakhiri kehidupan manusia,
karena selain bertentangan dengan sumpah kedokteran dan atau etika kedokteran dan
atau tujuan profesi kedokteran, juga bertentangan dengan aturan hukum pidana. Pada
kondisi sakit mencapai keadaan terminal, dimana upaya kedokteran kepada pasien
merupakan kesia-siaan (futile) menurut state of the art (SOTA) ilmu kedokteran, maka
dengan persetujuan pasien dan atau keluarga dekatnya, dokter dapat menghentikan
pengobatan, akan tetapi dengan tetap memberikan perawatan yang layak (ordinary
care). Dalam keadaan tersebut, dokter dianjurkan untuk berkonsultasi dengan
sejawatnya atau komite etik rumah sakit bersangkutan.
Permasalahan euthanasia di Indonesia mencuat setelah Hasan Kesuma
menyampaikan permohonannya di hadapan pimpinan sementara DPRD Bogor untuk
diizinkan melakukan euthanasia atas istrinya Agian Isna Nauli, Istri Hasan, telah 56 hari
tidak sadarkan diri setelah melahirkan anak melalui operasi Caesar yang dipimpin oleh
dokter Gunawan Muhammad,SpOg di Rumah Sakit Islam (RSI) Bogor. Setelah operasi
Caesar Ny. Agian dirawat di Rumah Bersalin Yuliana dan memeriksakan
perkembangannya kepada dokter Gunawan. Pada 21 Juli sekitar pukul 08.00 Ny. Agian
mendadak gelisah dan tekanan darahnya naik, lalu dibawa ke RSI Ny. Agian langsung
ditangani dokter Gunawan, tetapi Ny. Again mendadak tak sadarkan diri. Karena
keterbatasan peralatan, Ny. Agian dirujuk ke RS PMI Bogor. Sekitar pukul 18.30 Ny.
Agian dirawat di RS PMI. Setelah lebih dua minggu dirawat di RS PMI, Ny. Agian
yang tak sadarkan diri itu atas anjuran dokter spesialis syaraf di RS PMI, dokter
Yoeswar, lalu dilakukan CT Scan di RS Pusat Pertamina Jakarta untuk mendapatkan
hasil akhir kondisi kerusakan syaraf otak yang lebih akurat. Sehari kemudian diperoleh
hasil CT Scan yang menyatakan ada kerusakan permanen di pusat syaraf otak yang
mengakibatkan Ny. Agian tidak dapat kembali normal seperti semula karena organ-
13
organ tubuhnya sudah mengalami putus hubungan (disconnecting) syaraf otak. Sejak
saat itu Ny. Agian terbaring tidak sadarkan diri di RS PMI kemudian LBH Kesehatan
turun tangan karena adanya dugaan malapraktik. Selanjutnya pada 27 Agustus, oleh
Direktur LBH Kesehatan Iskandar Sitorus, Ny. Agian dipindahkan ke RSCM Jakarta.
Secara Universal, kewajiban dokter tersebut telah tercantum dalam Declaration of
Genewa yang merupakan hasil musyawarah Ikatan Dokter se-dunia di Genewa bulan
September 1948 didalam deklarasi antara dinyatakan sebagai berikut :
Khusus untuk Indonesia, pernyataan semacam ini secara tegas telah dicantumkan dalam
kode etik Kedokteran Indonesia, yang mulai berlaku sejak tanggal 29 Oktober 1968.
Berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan RI tentang : pernyataan berlakunya
kode etik kedokteran Indonesia, tertanggal 23 Oktober 1969. Kode etik kedokteran
Indonesia ini dibuat berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI tanggal 30 agustus
1969 No. 55/WSKN/1969. Dalam bab II pasal 9 dari kode etik kedokteran Indonesia
tersebut, dinyatakan bahwa :
“Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani”.
Atau dalam kode etik kedokteran Indonesia,tertanggal 19 April 2002, pasal 7d
yang berbunyi :
“Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makluk
insani.”
Karena naluri terkuat dari manusia adalah mempertahankan hiudpnya dan ini juga
termasuk salah satu tugas seorang dokter, maka menurut kode etik kedokteran, dokter
tidak diperbolehkan :
1. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)
2. Mengakhiri hidup seseorang pasien, yang menurut ilmu dan pengalaman
tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Dengan demikian berarti dinegara manapun didunia ini seorang dokter
mempunyai kewajiban untuk “menghormati setiap insan mulai saat terjadinya
pembuahan”, sesuai yang diatur didalam lafal sumpah dokter. Dalam hal ini berarti pula
bahwa bagaimanapun gawatnya sakit seorang pasien, setiap dokter tetap harus
melindungi dan mempertahankan pasien itu sebenarnya sudah tidak dapat disembuhkan
lagi atau sudah dalam keadaan sekarat berbulan bulan lamanya. Oleh sebab itu, para
14
dokter di Indonesia yang terhimpun dalam Ikatan Kedokteran Indonesia, menganut
paham bahwa hidup dan mati tidak merupakan hak daripada manusia, melainkan hak
dari Tuhan yang Maha Esa. Oleh sebab itu, para dokter di Indonesia tidak menganut
prinsip euthanasia, sebab disamping masalah mati itu merupakan hak daripada Tuhan
yang Maha Esa, juga melanggar sumpah Hipocrates yang pernah diucapkan para
dokter.2,5,6,9,10
b. Belanda
Pada April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan
eutanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002,
yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik
eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi
hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab
Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih
dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Sebuah karangan berjudul "The Slippery
Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report
Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap
dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di
pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur
tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang
spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. Sejak akhir
tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor
semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan
menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20
tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang
melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.4,11,12
c. Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia
dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini
tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut
"Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru
ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat
Australia, sehingga harus ditarik kembali.13,14
15
d. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002.
Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan euthanasia setiap
tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia di negara ini,
namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga
timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".Belgia kini
menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan negara bagian
Oregon di Amerika). Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan
salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang
pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang
memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat
akhir hidupnya.11
e. Amerika Serikat
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat ini
satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan
pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya
adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan
dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas
(Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh
diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana
pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika
mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus
diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu
15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu
saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien
dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum
juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya
tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi
kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.1,7
f. Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya
16
(Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah
proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar
dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat
(disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi
euthanasia di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara
saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktek
kedokteran. Namun hingga saat ini euthanasia masih merupakan suatu tindakan
melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical
Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.17
g. Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang euthanasia
demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah
mengatur mengenai eutanasia tersebut. Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di
Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia
pasif". Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada
tahun 1995 yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif ". Keputusan hakim dalam
kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu alasan
pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal.
Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut adalah
tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya akan dianggap
bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan
pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan tersebut
belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun
demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan
eutanasia.15
h. India
Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai
larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal
300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun
1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya
dinyatakan bersalah atas kelalaian mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan
17
yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah
diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang
menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia
tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan
orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman
berdasarkan pasal 92 IPC.1
i. Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang euthanasia di
Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal
dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa
mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita
sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan
berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter
tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan
relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata eutanasia aktif. Pada akhirnya
pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari penghentian penanganan
medis (hospital treatment) termasuk tindakan euthanasia pasif, dapat diperkenankan
apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.16
KESIMPULAN
hal yang dibutuhkan kemudian adalah perawatan dan pendampingan, baik bagi si pasien
maupun bagi pihak keluarga. Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan bagi
18
penderita sakit terminal, bukan lagi kebutuhan fisik, tetapi lebih pada kebutuhan psikis
dan emosional , sehingga baik secara langsung maupun tidak kita dapat membantu si
pasien menyelesaikan persoalan-persoalan pribadinya dan kemudian siap menerima
kematian penuh penyerahan kepada penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa.
Bagfaimanapun si pasien adalah manusia yang masih hidup, maka perlakuan yang
seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi kepadanya.
Jelas bahwa hukum (pidana) memberikan ruang bagi positif di Indonesia belum
memberikan ruang bagi euthanasia baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
Tanpa harus mengesampingkan pendapat lain, kesimpulan normatif ini urgen untuk
disampaikan mengingat berbagai hal. Pertama, munculnya tindakan medis euthanasia
hakikatnya menjadi indikasi, betapa masyarakat mengalami pergeseran nilai kultural.
Kelompok pro-euthanasia mungkin akan menentangpendapat ini dengan menggunakan
argumen quality of life, autonomi dan inkonsistensi hukum.
(euthanasia perspektif medis dan hukum pidana indonesia)
DAFTAR PUSTAKA
1. Bansal,R.K.et all. Death Wish. In: Medicolegal Notes. JK Science. 2005. p.169-171.
2. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran
Indonesia. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia.
Jakarta. 2002.
3. Darji,JA,Dr.et all. Euthanasia : Most controversial and debatable topic. NJIRM.
2011.p.94-97.
4. Naudts,K. dkk. Euthanasia : The Role Of The Psychiatris. In: The British Journal of
Psychiatris. Royal Colage of Psychiatris. 2006. p.405-409.
19
5. Rohim,Abdal. Euthanasia Perspektif Medis dan Hukum Pidana
Indonesia.
6. Almatsier,Merdias.dkk. Himpunan Peraturan Tentang Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Konsil Kedokteran
Indonesia. Jakarta. 2006.
7. Sanbar,S,S,MD,Ph.D,JD,FCLM. Clasification of euthanasia. p.1-2.
8. Modes of action euthanatizing agenst. In: AVMA Guiddelines on Euthanasia.
AVMA. 2007. p.5-11.
9. Euthanasia Ditinjau Dari UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan
Ditinjau Dari Segi Medis. Universitas Sumatra Utara.
10. Lafal Sumpah Dokter. Peraturan Pemerintah 26/1960. Jakarta. 1960.
11. Cohen,R,A. Belgian euthanasia law: a critical analysis. Medical Ethics. 2009.
p.436-439.
12. Jochemsen,H. Euthanasia in Hollad: an ethical critique of the new law. Medical
Ethics. 1994. p.212-217.
13. Dickens,Elizabeth.et all. Psychologikal perspectives on euthanasia and the
terminally ill. The Australian Psychologikal Society. 2008. p.2,12-13.
14. Voluntary Euthanasia and New Zealand. Parlementary Library. 2003.p.15.
15. Hayashi,M. Kitamura,T. Euthanasia Trials in Japan: Implication For Legal and
Medical Practice. In: International Journal of Law and Psyciatri. Pergamon.
2002.p.557-569.
16. Shin,Dong Cun. Perspectives on death: Korea’s first court decision supporting death
with dignity,its meaning ang future prospect. In: International Journal
Commmunity. JMAJ. 2009.p.132-133.
17. Smith, Alexander McCall. Euthanasia: the law in the United Kingdom. British