Data lingkungan dan hidrologi untuk kajian hidro lingkungan rawa
peningRawa Pening 10 Tahun Lagi Jadi DaratanAmanda Putri
Nugrahanti|yuli|Selasa, 15 Maret 2011 | 00:49 WIB
indotravelers.comWaduk Rawa Pening di Kabupaten Semarang, Jawa
TengahSEMARANG, KOMPAS.com -Jika kondisi danau Rawa Pening di
Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, dibiarkan seperti sekarang, dalam
jangka waktu 10 tahun ke depan, danau alami itu segera menjadi
daratan.
Dengan kondisi demikian, pada tahun 2021, atau 10 tahun lagi,
Rawa Pening diprediksi menjadi daratan. Jika tidak ingin hal itu
terjadi, aksi harus dilakukan.-- Tri Retnaningsih Soeprobowati,
peneliti Undip Semarang
Karena itu, konservasi danau penyangga lingkungan itu harus
dilakukan serius. Peneliti dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup
Universitas Diponegoro Semarang Tri Retnaningsih Soeprobowati
mengungkapkan hal itu di Bandungan, Kabupaten Semarang, Jateng,
Senin (14/3/2011).Retnaningsih dalam rapat revitalisasi Rawa Pening
yang diadakan Kementerian Lingkungan Hidup, menyebutkan, endapan di
danau itu mencapai 270-880 kilogram per hari, atau 780 ton per
tahun.Padahal, hampir 70 persen dari danau seluas 2.500 hektar itu
kini ditutupi tumbuhan air enceng. Volume air juga sudah berkurang
hingga 30 persen. Belum lagi, pertumbuhan daratan apung yang setiap
tahun bertambah lima persen. "Dengan kondisi demikian, pada tahun
2021, atau 10 tahun lagi, Rawa Pening diprediksi menjadi daratan.
Jika tidak ingin hal itu terjadi, aksi harus dilakukan," ujar
Retnaningsih.Ia mengatakan, selama ini sudah banyak penelitian yang
dilakukan mengenai Rawa Pening. Namun, tidak banyak yang dapat
dilakukan untuk menyelamatkan danau itu.Danau yang volume airnya
mencapai 65 juta meter kubik itu kini tercemar dengan laju endapan
yang sangat tinggi. Padahal, Rawa Pening menjadi tumpuan irigasi
pertanian di sekitarnya.Saat ini saja, PLTA Jelok tidak lagi dapat
memanfaatkan air danau sepanjang waktu karena volume air yang
tinggi hanya pada waktu tertentu.Untuk mengatasi berbagai
permasalahan tersebut, Retnaningsih mengungkapkan, perlu ada
rencana besar untuk mengonservasi danau tersebut. Terutama,
mengendalikan populasi enceng gondok.Ia mengusulkan, enceng gondok
dijadikan sabuk hijau di pinggiran danau, dengan bagian tengah
danau bersih dari enceng gondok. Dengan begitu, diharapkan, masalah
sedimentasi dapat teratasi.Pengurangan enceng gondok juga dapat
dilakukan dengan alternativ lain, yaitu memberibiocontrol,seperti
memberi ikangrass capryang memakan enceng gondok.Pelaksana Tugas
Sekretaris Daerah Kabupaten Semarang A Hudaya mengatakan, Kabupaten
Semarang saja tidak akan mampu mengatasi permasalahan Rawa Pening.
"Ini sudah selayaknya menjadi perhatian pemerintah pusat,"
katanya.Deputi III Pengendalian Kawasan Lingkungan dan Perubahan
Iklim Kementerian Lingkungan Hidup Arief Yuwono mengatakan, Rawa
Pening masuk dalam 15 danau yang menjadi prioritas untuk
dikonservasi. Upaya konservasi Rawa Pening diharapkan menjadi
proyek percontohan bagi danau-danau lain di Indonesia. "Dari kasus
Rawa Pening, kami akan bahas bagaimana cara penanganannya, siapa
penanggung jawabnya, hingga dana yang dibutuhkan. Setelah itu,
danau yang lain akan mengikuti," kata
Arief.http://nasional.kompas.com/read/2011/03/15/00494155/Rawa.Pening.10.Tahun.Lagi.Jadi.Daratan
Danau Rawa Pening Perlu DiselamatkanWritten By GLOBAL POST on
Sabtu, 19 Maret 2011 | 02:45
Semarang, Global Post
Anggota Komisi VII DPR RI Daryatmo sangat mendukung dibentuknya
Panja (Panitia Kerja) untuk mendukung program penyelamatan
Rawapening. Terpenting dibuat metrik intansi mana saja yang
memiliki kewenangan menangani Rawapening. Jadi, nanti jelas
terlihat intansi apa mengerjakan apa, untuk mendapatkan kesesuaian
program agar efektif, kata Daryatmo, dalam rapat kerja Lingkungan
Hidup, di Hotel Amanda Hill, Bandungan, Semarang, baru-baru
ini.
Sementara Tri Retnoningsih Suprobowati peneliti lingkungan hidup
dari UNDIP menegaskan belum adanya Grand Design penyelamatan
Rawapening menjadi masalah utama yang belum terpecahkan.
Kalau dalam masalah batas pengelolaan Rawapening tidak sama
dengan batas administrasi, akhirnya berakibat penanganan antar
instansi kurang optimal.
Menurutnya, program penyelamatan Rawapenging setidaknya harus
melaksanakan 3 hal yakitu. Pertama Aplikasi Sains dan Tehnologi
untuk remidiasi Rawapening (ekoteknologi) dan pengembangan
kelembagaan untuk peningkatan pengelolaan Rawa Pening. Tak kalah
pentingnya adalah Meningkatkan peran serta masyarakat sekitar
Rawapening dalam kegiatan konservasi, jelas Retno.Di lain pihak,
Joko Sutrisno Kep. Lingkungan Hidup Jawa Tengah mengungkapkan
mengenai eceng gondok perlu diisolasi di kawasan khusus, supaya
tidak menyebar. Seharusnya Eceng gondok di angkat dan di bersihkan
dari Rawapening. Tapi mengingat banyaknya pengrajin yang
membutuhkan eceng gondok sebagai bahan baku, mungkin cukup
diisolasi saja, agar tidak tersebar kemana-mana. terang Joko.
Joko juga mengapresiasi adanya masyarakat yang mengambil gambut
di Rawapening. Meskipun kegiatan tersebut tidak mengurangi
endapan-endapan Rawapening secara signivikan , namun cukup membantu
memperlambat proses pendangkalan Rawapening.Ketika ditanya apakah
Rawapening akan menjadi daratan dalam waktu dekat, Joko menyanggah.
Rawapening masih bisa diselamatkan, pungkasnya.
(Sis)http://skuglobalpost.blogspot.com/2011/03/danau-rawa-pening-perlu-diselamatkan.htmlPendangkalan
Rawa Pening Kian ParahUngaran, CyberNews.Penanganan masalah
sedimentasi danau Rawa Pening diharapkan segera direalisasikan.
Sejumlah kalangan masyarakat sekitar danau tersebut telah sampai
pada titik jenuh, menunggu langkah riil pemerintah yang terkesan
ditunda-tunda.Ketua Paguyuban Kelompok Tani dan Nelayan Sedyo Rukun
Kasiyan mengatakan, danau seluas 2.667 hektare itu itu, kini
kedalamannya hanya sekitar tujuh meter. Rawa Pening, menurutnya,
tidak lagi dapat dinikmati seperti 20 tahun silam. "Tumbuh suburnya
tanaman enceng gondok terlihat membentang seperti permadani hijau
di permukaan Rawa Pening. Itu juga memicu semakin parahnya
sedimentasi di danau tersebut," ungkapnya, ditemui di sekitar Danau
Rawa Pening, Minggu (20/3).Disebutkan, pada masa mudanya dulu,
kedalaman Rawa Pening masih mencapai sekitar 20 meter. Menurutnya,
enceng gondok telah menjadikan air danau tersebut keruh dan bau.
Hal itu karena batang enceng gondok dan gulma yang mati, akhirnya
menjadi endapan di dasar Rawa Pening. Kondisi tersebut menyebabkan
luasan tangkapan ikan para nelayan menjadi semakin sempit.
"Kandungan oksigen lebih banyak diserap eceng gondok, sehingga
populasi ikannya makin berkurang," jelasnya.Ketua Fraksi PDIP DPRD
Kabupaten Semarang, The Hok Hiong mengatakan, penelitian terkait
penanganan Rawa Pening sudah dilakukan berkali-kali. Sebab itu, dia
menyarankan pemerintah segera melakukan langkah riil untuk
menangani masalah di Rawa Pening. "Kajian sudah cukup, jangan
diulang-ulang. Sekarang saatnya melangkah secara riil,"
tegasnya.http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/03/20/80766
SEKILAS DANAU RAWA PENING
Rabu, 04 Januari 2012 11:11
Rawa Pening ("pening" berasal dari "bening") adalah danau
sekaligus tempat wisata air di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Dengan luas 2.770 hektare ia menempati wilayah Kecamatan Ambarawa,
Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Rawa Pening terletak di cekungan
terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung
Ungaran.Danau ini mengalami pendangkalan yang pesat. Pernah menjadi
tempat mencari ikan, kini hampir seluruh permukaan rawa ini
tertutup eceng gondok. Gulma ini juga sudah menutupi Sungai
Tuntang, terutama di bagian hulu. Usaha mengatasi spesies invasif
ini dilakukan dengan melakukan pembersihan serta pelatihan
pemanfaatan eceng gondok dalam kerajinan, namun tekanan populasi
tumbuhan ini sangat tinggi..Salah satu pemanfaatan Rawa Pening
adalah untuk PLTA, dengan daya terpasang 4x5,12 MW dan 3 x 4 MW
dengan kemampuan maksimum 15 MW dan 10,5 MW, dikelola oleh PT. PLN
(Persero).Selain dari itu Rawa Pening juga memiliki fungsi
penyediaan air irigasi untuk 20.067 ha sawah, air baku air minum
sebesar 750 lt/dt, budi daya perikanan dan pariwisata. Rawa Pening
juga berfungsi untuk mereduksi debit banjir yang melanda Kabupaten
Grobogan dan Kabupaten Demak melalui pintu pengatur Bendung
Tuntang. Masyarakat setempat juga memanfaatkan Gambut dari Rawa
Pening untuk kompos dengan rata rata produksi 11.500 m3/th.Selain
berfungsi sebagai PLTA, kawasan Rawa Pening memiliki banyak
fasilitas rekreasi yang memadai, seperi hotel dan bungalow, bar dan
restaurant, perkemahan, kolam renang dengan water slide, sarana
rekreasi dan olahraga air, playground dan fasilitas lainnya.Di
perairan Danau Rawa Pening ini juga terdapat budidaya ikan keramba
jaring apung, yang menjadi daya tarik tersendiri. Di waktu siang
atau dalam keheningan malam kita dapat memancing penuh ketenangan
sambil menikmati ikan bakar.
Usia Rawa Pening Tinggal Lima TahunLagiPosted onMay 9, 2010by
m3sultraKompas, Nusantara 2010-05-09 / Halaman 3Usia waduk alami
Rawa Pening di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, semakin pendek
akibat akumulasi tingginya sedimentasi dan pencemaran air. Tanpa
ada upaya terpadu, danau seluas 2.600 hekter itu diperkirakan
mengering dan berubah menjadi daratan pada tahun 2015 atau
2020.Akibatnya, 18.784 hekter sawah irigasi di Kabupaten Grobogan
dan demak akan kesulitan air. Selain itu, Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA) Jelok dan Timo di Kabupaten Semarang dengan kapasitas 25
megawatt tidak dapat beroperasi. Pengambilan air untuk industri dan
PDAM juga tersendat, sementara perikanan rakyat seluas 500 hekter
bakal terhenti.Peneliti Pusat Studi Pengembangan Kawasan Rawa
Pening. Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Royke R
siahainenia, mengatakan itu di Salatiga, Sabtu (8/5). Prediksi
pesimistis terhadap kelangsungan Rawa Pening didasarkan pada hasil
citra satelit tahun 2001-2007 yang menunjukan makin menyempitnya
waduk itu.Waduk berupa cekungan alami itu, kata Royke, semakin
susut akibat tingginya sedimentasi dan lahan kritis di daerah
tangkapan air. Dari sembilan subdaerah aliran sungai yang bermuara
ke Rawa Bening dengan luas 25.079 hekter, potensi sedimentasi
mencapai 778 ton per bulan.Kondisi itu diperparah pencemaran air di
Rawa Pening yang semakin tinggi. Dari hasil uji coba laboratorium
Badan Lingkungan hidup Jawa Tengah tahun 2008 terhadap air
disebagian basar Sub-DAS Rawa Pening didapati kandungan oksigen
terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD), dan kebutuhan
oksigen kimia (COD) di sejumlah sub-DAS melebihi ambang
baku.Artinya, kebutuhan oksigen untuk mengolah bahan organik dalam
air semakin tinggi. Akibatnya, mahluk hidup di dalam Rawa Pening
akan berebut oksigen. Bila terus berlangsung ikan dalam waduk ini
juga tidak bisa hidup, kata Ketua Program Magister Biologi UKSW
Salatiga Ferry Karwur.Tingginya bahan organik juga mendorong
pertumbuhan eceng gondok lebih pesat karena zat organik yang
dibutuhkan untuk hidup berlimpah. Eceng gondok yang mati akan
menjadi sedimentasi sekaligus menambah kadar pencemaran organik air
Rawa Pening. Tutupan eceng gondok saat ini diperkirakan sekitar 30
persen, melebihi batas aman 5 persen dari luas genangan.Menurut
Royke, pemerintah Kabupaten dan provinsi masih saling lempar
tanggung jawab dalam mengatasi persoalan Rawa Pening. Padahal,
pengerukan untuk mengatasi eceng gondok dan membuat rencana tata
ruang wilayah Rawa Pening mendesak
dilakukan.http://m3sultra.wordpress.com/2010/05/09/usia-rawa-pening-tinggal-lima-tahun-lagi/Daerah
Aliran Sungai Jadi Pantauan
UNGARAN, suaramerdeka.com -Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
Semarang secara resmi mengeluarkan Surat Keputusan Bupati guna
menghadapi permasalahan perubahan iklim.Dalam surat bernomor
050/0487/2010 tersebut didalamnya mengatur tentang pembentukan
Forum Peduli Perubahan Iklim (FPPI) Kabupaten Semarang. Keberadaan
FPPI didalamnya terdapat unsur Pemkab, masyarakat, pemerhati
lingkungan, swasta, dan media tersebut telah memetakan permasalahan
lingkungan. Salah satunya melalui kegiatan pengelolaan lingkungan
hidup di Kabupaten Semarang pada Daerah Aliran Sungai (DAS)
Garang.Adanya produksi pertanian hortikultur di area Kopeng dan dan
Getasan menyebabkan lahan tidak dapat menyerap air dengan baik.
Akibatnya terjadi longsor, banjir, sedimentasi di Rawa Pening.
Fokus penanganan pada DAS yang titikberatkan diharapkan dapat
membantu mengurangi dampak yang ada, kata Bupati Kabupaten
Semarang, Dr H Mundjirin, Jumat (23/3).Beberapa perusahaan yang
terletak di Kabupaten Semarang telah aktif di dalam kegiatan FPPI,
salah satunya adalah PT Bina Guna Kimia yang memberikan bantuan
melalui FPPI untuk masyarakat berupa tanaman buah-buahan. Selain PT
Guna Kimia, PT SidoMuncul juga diketahui telah memberikan bantuan
bibit jahe dan pupuk cair kepada masyarakat di sekitar DAS yang
mengalir ke Rawa Pening.Kiprah semua kalangan sudah terlihat,
termasuk dari Green Fund dan ERCA Jepang. Ini membuktikan bahwa
kepedulian akan perubahan iklim harus dimulai sejak sekarang,
lanjutnya.Perwakilan dari Yayasan Bina Karta Lestari (Bintari),
Amalia Wulansari menuturkan, selain fokus pada pengelolaan DAS,
melalui FPPI pihaknya juga berusaha melakukan pendampingan pada
masyarakat dalam mengelola lingkungan. Dengan melibatkan lima desa,
FPPI bergerak untuk menjadikan desa tersebut menjadi desa
percontohan dalam menerapkan wanatani, sebuah metode olah lahan
yang beradaptasi terhadap perubahan iklim.Perubahan iklim itu bukan
terjadi pada angin, dan suhu saja, melainkan semuanya akan terkena
dampak terutama kebutuhan air. Langkah ini diharapkan dapat
dilanjutkan ke area lain yang notabene merupakan area kritis dan
butuh penanganan,
tuturnya.http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/03/23/113325/Daerah-Aliran-Sungai-Jadi-PantauanRawapening
Tercemar Limbah HotelCARI IKAN:Seorang warga terlihat mencari ikan
dengan menggunakan sampan di danau Rawapening yang banyak ditumbuhi
enceng gondok, Minggu (3/6). (suaramerdeka.com / Ranin
Agung)UNGARAN, suaramerdeka.com -Pencemaran limbah hotel dari
Kabupaten Semarang yang masuk ke aliran sungai menuju danau
Rawapening cukup mengkhawatirkan. Hal tersebut merupakan imbas dari
buruknya pengelolaan limbah di masing-masing hotel, dan restoran.
Terutama pada hotel dan restoran yang belum memiliki instalasi
pengolahan air limbah (IPAL)."Kami mencatat ada pencemaran di
Rawapening. Pencemaran tersebut semakin parah setelah masing-masing
hotel dan restoran tidak memiliki IPAL, sehingga limbah yang ada
langsung masuk ke aliran sungai dan bermuara di Rawapening," jelas
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kab. Semarang, Supramono,
Minggu (3/6).Menurutnya, jika mengacu pada ketentuan Undang-undang
Nomor 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang izin lingkungan sebenarnya
sudah jelas, di mana penerapan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan sudah sedemikian ketat.Termasuk dalam mengatur limbah
yang mengancam lingkungan hidup termasuk manusia serta makhluk
hidup lainnya. Dalam Upaya Pengelolaan lingkungan (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan (UPL) pihak BLH Kabupaten Semarang mewajibkan
pengusaha untuk membuat sumur resapan air, melakukan reboisasi, dan
melakukan pengolahan limbah cair maupun padat termasuk
sampah."Petugas menemukan senyawa fenol yang masuk kategori bahan
berbahaya beracun (B3) pada air Rawapening. Bila terakumulasi
terus-menerus, senyawa fenol justru akan bersifat sebagai penyubur
tumbuhan enceng gondok. Dari temuan itu, kami akan melakukan
penelusuran dan kajian pada aliran sungai. Siapa yang terbukti
melanggar tentu akan mendapatkan teguran untuk memperbaiki atau
membangun IPAL," ujarnya.Terpisah, Ketua Perhimpunan Hotel dan
Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Semarang, Edi Djatmiko
menjelaskan, temuan di lapangan memang benar, tidak semua hotel di
Kabupaten Semarang belum mempunyai UKL dan UPL. Terlepas dari itu,
pihaknya beranggapan syarat wajib UKL dan UPL baru saja dikeluarkan
setelah penerbitan Peratuan serta Undang-undang yang mengatur
lingkungan.http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news_smg/2012/06/03/120221/Rawapening-Tercemar-Limbah-Hotel~
Pemerintah Percepat Revitalisasi RawapeningKumpulan Artikel-105 -
Energi Sungai PLTA / Waduk / Bendungan
Percepatan Revitalisasi RawapeningPemerintah Kabupaten Semarang
mendorong pemerintah pusat dan Provinsi Jawa Tengah untuk
mempercepat revitalisasi Rawapening yang daya tampungnya terus
turun karena tingginya sedimentasi. Waduk alami itu untuk mengairi
sekitar 20.000 hektar lahan persawahan dan Pembangkit Listrik
Tenaga Air Jelok dan Timo."Persoalan sedimentasi itu berat karena
berasal dari sembilan subdaerah aliran sungai dan dari dalam
Rawapening, yaitu dari endapan eceng gondok yang mati," kata
Sekretaris Daerah Kabupaten Semarang Warnadi Kamis (7/8), di
Ungaran, Kabupaten Semarang.Menurutnya, sempat ada sosialisasi dari
Balai Besar Wilayah Sungai Pemali-Juana, Rabu siang, tentang adanya
pengerukan dan pemusnahan sebagian eceng gondok dengan anggaran Rp
8 miliar. Warnadi berharap ada upaya lebih lanjut mengingat
pengerukan dengan dana itu bersifat sementara karena luas
Rawapening 2.000 hektar.Tingkat sedimentasi per tahun, menurut data
dari Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan, dan Energi Kabupaten
Semarang, sebesar 1.189 ton per tahun. Volume tampung maksimal
Rawapening kini kurang dari 49 juta meter kubik. Padahal, tahun
2000 masih mencapai 65 juta meter kubik.Penurunan daya tampung ini
menyebabkan daerah sekitar Rawapening sering kebanjiran saat musim
hujan dan kekurangan air saat kemarau. Dampaknya, menurut manajemen
PLTA Jelok, tiap tahun terjadi penurunan produksi karena aliran air
dari Rawapening berkurang. Tahun 2001, produksi PLTA 186 gigawatt
(GW), 2002 turun menjadi 126 GW, dan 2007 hanya menyumbang 79 GW
untuk interkoneksi jaringan Jawa- Bali."Kami memperkirakan usia
PLTA itu tidak akan sampai 10 tahun lagi karena Rawapening semakin
parah jika tidak ada revitalisasi," kata Pengawas Senior PLTA Jelok
dan Timo, Unit Bisnis Pembangkitan Mrica, PT Indonesia Power Bibit
Sugiono.
(GAL)http://www.alpensteel.com/article/66-105-energi-sungai-plta--waduk--bendungan/1830--pemerintah-percepat-revitalisasi-rawapening.htmlLokalisasi
Eceng Gondok Mendesak|Kamis, 23 Desember 2010 | 05:02 WIB
Dibaca:47
Komentar:2|
Share:Semarang, Kompas -Lokalisasi eceng gondok dalam satu
lokasi tertentu dengan jumlah terbatas di waduk alami Rawa Pening,
mendesak untuk dilakukan. Selain bertujuan mengendalikan populasi,
lokalisasi itu juga penting untuk mencegah kerugian di bidang
pertanian akibat hama tikus.Demikian disampaikan Kepala Bidang
Pertanian pada Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten
Semarang Fadjar Eko di Ungaran, Rabu (22/12). Menurut dia, eceng
gondok menjadi sarang tikus karena menyediakan makanan cadangan
sekaligus aman dari manusia.Begitu eceng gondok terbawa arus menepi
ke lahan pertanian di sekitar Rawa Pening, mereka langsung memakan
tanaman padi. Selama tahun 2010, sekitar 100 hektar tanaman padi di
sekitar Rawa Pening, terserang tikus, meski tidak semuanya puso,
ujarnya.Selain itu, eceng gondok juga menyebabkan puluhan hektar
lahan pertanian padi di Rowoboni, Tegaron, Banyubiru, Kebumen,
Kebondowo, dan Ngapah di Kecamatan Banyubiru, sempat tidak bisa
ditanami. Pasalnya, eceng gondok yang terbawa arus, mengendap di
sawah saat genangan air menyurut.Dari sisi estetika juga akan lebih
baik jika eceng gondok itu dikumpulkan di satu sisi Rawa Pening.
Hanya saja, lokasinya harus dikaji terlebih dahulu, di mana paling
tepat, ujarnya.Eceng gondok di Rawa Pening mencapai luasan 30
persen dari luas Rawa Pening, lebih kurang 2.000 hektar, melebihi
batas aman 5 persen dari luas genangan. Eceng gondok berkembang
pesat akibat kondisi air yang tercemar, sedangkan eceng gondok yang
mati menurunkan kualitas air, sekaligus menjadi sedimentasi.Kendati
demikian, eceng gondok itu juga memberi penghidupan kepada ratusan
perajin eceng gondok. Mutiah (54), pengepul eceng gondok di Desa
Kebondowo, Banyubiru, berharap eceng gondok tidak sepenuhnya
dimusnahkan dari Rawa Pening. Kalau dimusnahkan semuanya sama saja
mematikan pencaharian perajin di sini. Kalau hanya dikurangi tidak
apa-apa, ujar Mutiah.Mutiah mengaku menampung sekitar 100 perajin
yang menyetorkan eceng gondok dalam kondisi basah, sudah kering,
atau yang sudah dijalin menjadi tali. Setiap hari, dia bisa
mengirimkan 150-200 kilogram eceng gondok kering ke Solo dengan
harga Rp 5.200-Rp 5.500 per
kilogram.http://nasional.kompas.com/read/2010/12/23/05023862/Lokalisasi.Eceng.Gondok.MendesakKehidupan
Rawa Pening Sebagai Sumber Kehidupan
REP| 05 September 2011 | 11:32Dibaca:218Komentar:31 dari 2
Kompasianer menilai menarik
Waktu menunjukan pukul 05:30, tanggal 1 September 2011 disaat
mata luas memandang hamparan danau dengan kabut tipisnya. Rawa
Pening di Kabupate Semarang, Jawa Tengah menjadi tujuan perjalanan
kali ini. Udara dingin dan kabut yang berangsur melayang, menjebak
mata akan eksotisme danau yang diapit gunung-gunung dari segala
penjuru. Sinar mentari dari ufuk timur mulai menghangatkan
permukaan danau dan menyinari organisme yang ada. Geliat kehidupuan
mulai berdenyut seiring naiknya Sang Surya. Hamparan Eceng Gondong
yang terhampar luas dan sebagian besar menutupi permukaan danau,
seolah tak mengurangi rasa kagung Rawa Pening. Ada banyak sisi
keindahan yang bisa dinikmati pagi ini.
Bergerak dari dermaga di dekat jembatan rel, pandangan mata
tertuju pada sisi timur dan tenggara danau. Bukit-bukit yang
membendung Rawa Pening mulai terlihat yang tersamar kabut tipis.
Lapisan bukit-demi bukit yang disekat oleh uap air, terlihat indah.
Sisi eksotik Rawa Pening mulai terlihat seiring Sang Surya yang
semakin meninggi. Kabut mulai terkuak dan temaram cahaya matahari
menghijaukan perbukitan. Lapis demi lapis mulai terpisah dan
terlihat jelas. Warna-warni kehidupan mulai menampakan diri dan
beberapa burung sudah berkeliaran untuk mencari makan.
Geliat masarakat di sekitar Rawa Pening mulai nampak. Sampan dan
perahu-perahu motor mulai mengombang-ambingkan permukaan danau yang
semula tenang. Riak-riak air dari mesin perahu tempel memecah
lembutnya air danau menjadi gelombang yang serentak menggoyang
hamparan Eceng Gondok. Nelayan mulai sibuk dengan aktivitasnya
masing-maasing, baik memancing, menjala hingga memberi pakan ikan
di karamba apung yang di tanam di pinggir danau. Hari semakin
siang, semakin banyak orang yang mulai memasuki perairan danau yang
dijadikan pegangan dalam mencari nafkah kehidupan. Rawa Pening
mulai hidup untuk memberikan kehidupan untuk nelayan dan keindahan
untuk penikmatnya.
Potensi sumber daya alam yang luar biasa untuk danau alam ini.
Pengelolaan potensi danau akan berdampak pada kemajuan atau
kerusakan Rawa Pening. Saat ini, fenomena eutrofikasi terjadi
akibat akumulasi limbah rumah tangga dan pertanian yang benyak
mengandung phospat. Ledakan alga, Eceng Gondong akibat kandungan
phospat yang melimpah akan memperngaruhi ekosistem danau. Rawa
Pening ibarat tempat penampungan limbah cari dari segala penjuru
tempat, dan disaat daya dukung mulai goyah maka benih-benih bencana
berkecambah. Dibalik kerusakan alam yang mulai semakin mengancam,
maka keindahan seolah lah tak bergeming dan tetap memancarkan
pesonanya. tak ada habisnya menikmati Rawa Pening dari beberapa
sisi dan sudut pandang. Tugas kita yang mengerti dan paham akan
potensi besar ini untuk tetap menjaga danau alam ini agar tetap
memiliki daya dukung yang
baik.http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2011/09/05/kehidupan-rawa-pening-sebagai-sumber-kehidupan/Langkah
Konkret untuk Rawa Pening|Rabu, 22 Desember 2010 | 05:31 WIB
Dibaca:92
Komentar:0|
Share:Semarang, Kompas -Komisi VII DPR akan mengawal komitmen
pemerintah memulihkan Danau Rawa Pening di Kabupaten Semarang, yang
masuk Rencana Aksi Nasional Terpadu 15 Danau Prioritas 2010-2015.
Karenanya pemerintah diminta segera mengambil langkah konkret
mengatasi persoalan kerusakan Rawa Pening.Demikian disampaikan
Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsya saat mengunjungi Rawa
Pening di Kecamatan Tuntang, Selasa (21/12). Riefky hadir bersama
sejumlah anggota Komisi VII dan didampingi Deputi Bidang
Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim pada
Kementerian Lingkungan Hidup Arif Yuwono, serta Bupati Semarang
Mundjirin.Kami harapkan ada program nyata dari pemerintah, tidak
hanya untuk danau ini (Rawa Pening), tetapi 15 danau prioritas.
Dalam persidangan (DPR) berikutnya dengan Kementerian LH, kami akan
minta dikonkretkan, ujar Riefky.Untuk Rawa Pening, penanganan
lintas kementerian antara lain berupa penataan ruang,
mempertahankan luas wilayah hutan minimal 30 persen dari wilayah
daerah tangkapan air Rawa Pening, pengendalian pencemaran limbah,
penataan sempadan sungai, serta pengendalian sedimentasi dan
pengendalian pertumbuhan eceng gondok maksimal 1 persen.Sejak dulu
tantangannya untuk bisa bekerja sama. Siapa tahu (kerja sama
pemulihan) Rawa Pening bisa menjadi contoh bagi daerah lainnya,
ujar Arif Yuwono. Namun, Arif belum bisa menyebutkan komitmen
pendanaan. Kondisi Rawa Pening diakui semakin parah, antara lain
ditandai dengan keberadaan gulma air yang meluas.Penelitian dari
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga menunjukkan, tutupan
eceng gondok di Rawa Pening mencapai 30 persen dari total luas
danau sekitar 2.000 hektar. Sejumlah indikator kualitas air
menunjukkan Rawa Pening sudah tercemar. Padahal, air Rawa Pening
menjadi sumber penggerak turbin Pembangkit Listrik Tenaga Air Jelok
dan Timo di Kabupaten Semarang, irigasi 20.000 hektar sawah di
Demak dan Grobogan, serta tempat mencari nafkah ribuan
nelayan.Harus ada pendanaan yang jelas dari pusat untuk memulihkan
Rawa Pening, yang semula berupa mangkuk sudah menjadi piring akibat
sedimentasi. Pemkab Semarang dan Pemprov Jateng tidak sanggup, ujar
The Hok Hiong, Wakil Ketua Komisi B DPRD Kabupaten Semarang.
(GAL)http://nasional.kompas.com/read/2010/12/22/05315289/Langkah.Konkret.untuk.Rawa.PeningLuapan
Air Rawa Pening Genangi Permukiman Warga|Kamis, 20 Mei 2010 | 11:48
WIB
Dibaca:34
Komentar:1|
Share:SEMARANG, KOMPAS - Luapan air waduk alami Rawa Pening
menggenangi sekitar 200 rumah warga di Dusun Rowoganjar (Rowoboni),
Ngrapah (Banyubiru), dan Tegalwuni di Kecamatan Banyubiru,
Kabupaten Semarang. Hal ini menyebabkan kondisi sosial dan ekonomi
warga di daerah tersebut semakin terganggu.Dalam pantauan Kompas di
Dusun Rowoganjar, Selasa (18/5), ketinggian air berkisar 15-40
sentimeter. Di dusun ini terdapat sekitar 150 rumah warga. Air
masuk ke rumah sebagian warga hingga mereka menyingkirkan sebagian
besar perabot rumah tangganya. Namun, ada pula warga yang
memanfaatkan luapan air tersebut untuk mencuci pakaian."Airnya
sudah sempat agak surut, tetapi dua hari terakhir ini meluap.
Sebetulnya sudah dua bulan terakhir air meluap dan surut sebentar,"
kata Salbiah (50), warga Dusun Rowoganjar.Selain mengganggu
aktivitas sehari-hari, ia juga kehilangan tanaman padi seluas 7.500
meter persegi dari lahan garapannya. Salbiah hanya mendapat gabah
sekitar 50 kilogram, tetapi itu pun masih harus dibagi dua karena
ia menggarap tanah orang lain dengan sistem bagi hasil. Seharusnya
bila panen baik, ia bisa mendapat satu ton gabah kering
panen.Kondisi ini juga cukup menyulitkan warga mendapat air bersih.
Menurut Sarmi (65), air di sumur terganggu luapan air itu sehingga
warga hanya bisa bergantung dari aliran air yang diambil dari
sumber Muncul di Banyubiru.Setiap tahun, kata Sarmi, kondisi ini
semakin parah. Saat ia masih berusia belasan tahun, Rowoganjar
masih belum terkena dampak luapan Rawa Pening. Namun, saat ia
berusia sekitar 30 tahun, air mulai menggenangi perkampungan.
Beberapa tahun terakhir, air sampai masuk ke dalam rumah.Menurut
sejumlah warga, tempat tinggal mereka bukan daerah genangan Rawa
Pening, tetapi lahan bersertifikat. Camat Banyubiru Lalu Muhammad
Maladi mengatakan, selain di Rowoganjar, sekitar 50 rumah warga
juga terkena genangan air di Ngrapah dan Tegalwuni."Tetapi yang
berat itu akibat luapan air dari Rawa Pening, eceng gondok menepi
dan menutupi sawah warga. Setelah banjir ini surut, warga akan
kesulitan mengolah lahan karena harus memindahkan kerumunan eceng
gondok," ujar Maladi.
(GAL)http://nasional.kompas.com/read/2010/05/20/11480346/Luapan.Air.Rawa.Pening.Genangi.Permukiman.WargaTak
Ada Anggaran Rawa Pening|Rabu, 12 Mei 2010 | 13:23 WIBSEMARANG,
KOMPAS - Meski ancaman kerusakan Rawa Pening semakin parah,
Pemerintah Kabupaten Semarang tidak menyediakan alokasi khusus
untuk penanganan waduk alami tersebut. Pemerintah Kabupaten
Semarang menilai hal tersebut merupakan kewenangan Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah.Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Kabupaten Semarang Ririh S Rahardjo, di Ungaran, Kabupaten
Semarang, Selasa (11/5), dalam 3-4 tahun terakhir tidak ada
anggaran khusus yang disediakan dari APBD Kabupaten Semarang untuk
penanganan fisik Rawa Pening.Pemkab Semarang, kata dia, hanya
mendampingi program dari Pemprov Jateng atau pemerintah pusat untuk
penanganan Rawa Pening. Program Pemkab terhadap Rawa Pening lebih
mengarah pada pembinaan perajin eceng gondok dan nelayan, tidak
bersentuhan langsung dengan penanganan fisik Rawa Pening."Status
Rawa Pening itu secara kelembagaan berada di bawah Pemprov Jateng.
Artinya, segala sesuatu bersangkutan keberadaan Rawa Pening,
diharapkan ada konsep penanganan dari pemprov," ujarnya.Peran
sentralRawa Pening memiliki peran sentral. Sekitar 18.000 hektar
sawah di Kabupaten Demak dan Grobogan bergantung pada air irigasi
Rawa Pening. Sementara 500 hektar perikanan rakyat ada di waduk
tersebut. Hal ini belum termasuk pengambilan air untuk Perusahaan
Daerah Air Minum Kabupaten Semarang, maupun pemanfaatan untuk
Pembangkit Listrik Tenaga Air Jelok dan Timo.Kajian pesimistis dari
citra satelit, menyebutkan waduk alami ini terus mendangkal dan
menyempit, sehingga diprediksi bakal menjadi "daratan" pada tahun
2015-2020. Hal ini disebabkan tingginya sedimentasi, gulma air,
serta pencemaran air di waduk tersebut. Sementara itu, penanganan
yang dilakukan masih terbatas, misalnya pengangkatan sebagian eceng
gondok."Tidak bisa hanya Kabupaten Semarang (yang menangani
permasalahan Rawa Pening). Di samping kemampuan anggaran tidak
mungkin (terbatas), jika anggaran diarahkan ke sana, masyarakat
lain tidak akan bisa menikmati pelayanan pembangunan," kata Asisten
III, Sekretariat Daerah Kabupaten Semarang Supardjo.Menurut
Supardjo, untuk merehabilitasi total Rawa Pening, paling tidak
memerlukan dana Rp 5 triliun. Dana ini digunakan untuk membiayai
mulai dari membangun dam di sekeliling waduk ini, hingga pengerukan
dan penanganan sembilan sub-daerah aliran sungai yang bermuara ke
Rawa Pening. Sementara APBD Kabupaten Semarang dalam setahun hanya
sekitar Rp 700 miliar, yang 60-70 persen di antaranya untuk biaya
aparatur.Wakil Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Semarang The Hok
Hiong, menilai belum ada keseriusan Pemkab Semarang menangani Rawa
Pening. Hal ini terlihat dari ketiadaan program Rawa Pening pada
rencana kerja perangkat daerah dalam kebijakan umum anggaran maupun
prioritas dan plafon anggaran sementara."Padahal, ini sudah menjadi
masalah karena (Rawa Pening) semakin dangkal. Kalau kemarau PLTA
terganggu. Kalau hujan merugikan petani karena sawah kebanjiran
akibat air tidak tertampung. Seharusnya pemkab intens meminta
dukungan dana alokasi khusus dengan jumlah yang sesuai untuk
menghadapi persoalan ini," katanya.
(GAL)http://nasional.kompas.com/read/2010/05/12/13232728/Tak.Ada.Anggaran.Rawa.Pening
PENGGUNAAN TEKNIK INDERAJA UNTUK KAJIAN PERKEMBANGAN DANAU DAN
KERAPATAN VEGETASINYA (Studi Kasus di DTA Rawapening Kabupaten
Semarang)PENGGUNAAN TEKNIK INDERAJA UNTUK KAJIANPERKEMBANGAN DANAU
DAN KERAPATAN VEGETASINYA(Studi Kasus di DTA Rawapening Kabupaten
Semarang)
Oleh:Tjaturahono Budi SanjotoDosen Jurusan Geografi FIS
[email protected]
INTISARI
Penelitian ini dilakukan di Daerah Tangkapan Air Rawapening
Kabupaten Semarang. Tujuannya untuk mengetahui perkembangan danau
Rawapening mulai tahun 1994, 1998, 2002 dan 2007. Alat dan Software
utama yang digunakan meliputi adalah (1) Citra Satelit Landsat 5
pemotretan tahun 1994, 1998, Citra Landsat 7 tahun 2002 dan citra
SPOT 4 tahun 2007. (2) Global Positioning System (GPS) dan (5)
Software Image Proccesing dengan program ERMapper versi 7.0, dan
Software Arcview versi 3.2.Berdasarkan hasil penelitian dapat
diketahui bahwa pada tahun 1994 dan tahun 2002 pada kondisi musim
yang sama luasan kerapatan vegetasi pada kategori Sangat Rapat
mengalami pengurangan 3611,97 hektar. Pada kategori kelas Rapat
mengalami pengurangan 3315,33 hektar. Pada kategori kelas Cukup
Rapat mengalami penambahan 3950,10 hektar. Pada kategori kelas
Tidak Rapat mengalami pengurahan seluas 2743,25 hektar.Berdasarkan
hasil penelitian dapat diketahui bahwa pada tahun 1998 dan tahun
2007 pada kondisi musim yang sama, luasan kerapatan vegetasi pada
kategori Sangat Rapat mengalami pengurangan 1398,22 hektar. Pada
kategori kelas Rapat mengalami pengurangan 590 hektar. Pada
kategori kelas Cukup Rapat mengalami penambahan 2142,05 hektar.
Pada kategori kelas Tidak Rapat mengalami pengurahan seluas 659,31
hektar.Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini
adalah: (1) dalam kurun waktu 9 tahun pada kondisi musim yang sama
DTA Rawapening mengalami perubahan kerapatan vegetasi yang
cenderung lebih rendah, sehingga perlu monitoring dan pengawasan
yang ketat agar kualitas DTA Rawapening tetap terjaga dengan baik.
(2) Penggunaan citra penginderaan jauh sistem satelit dapat
membantu dalam kegiatan monitoring tersebut.Saran yang diajukan
adalah perlunya dibuat perencanaan tataguna lahan yang di DTA
Rawapening yang mempunyai kekuatan hukum, sehingga setiap aktifitas
yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan harus melalui
persyaratan yang ketat.
Kata kunci: Citra Satelit, Kerapatan Vegetasi, Daerah Tangkapan
Air
Dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatam Geografi
Indonesia (PIT IGI)Tanggal 22-23 Nopember 2008 di Padang Sumatera
BaratPENDAHULUANRawapening merupakan danau alam yang terletak di
Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah, kurang lebih 40 km ke
arah selatan Kota Semarang. Kawasan Rawapening merupakan salah satu
kawasan prioritas di Jawa Tengah dan memiliki keunggulan komparatif
yang tidak dimiliki oleh kawasan lainnya, sehingga berpotensi untuk
dikembangkan menjadi salah satu kawasan andalan. Danau alam
Rawapening mempunyai banyak fungsi diantaranya sebagai sumber
irigasi pertanian bagi Kabupaten Semarang, Kabupaten Grobogan dan
Kabupaten Demak. pengendali banjir bagian hilir, sumber pembangkit
listrik, tempat usaha perikanan darat, penyedia air baku, dan
tempat wisata. Namun kondisi Rawapening saat ini mengalami
penurunan dalam hal daya dukung dan fungsi utama sebagai akibat
sedimentasi dan pendangkalan akibat enceng gondok yang mati dan
hasil erosi dari air sungai yang masuk. Eceng gondok selain
mengakibatkan sedimentasi, secara tidak langsung juga menyebabkan
kapasitas air waduk menurun.Selain itu masuknya muatan hasil erosi
yang masuk melalui sungai yang bermuara di waduk ini, mempercepat
menurunnya kapasistas air, yang berarti makin dangkal kedalaman
waduk tersebut. Erosi ini diakibatkan karena adanya penggundulan
hutan dan berubahnya penggunaan tanah menjadi permukiman. Makin
dangkal waduk berakibat daya tampung semakin sedikit, sehingga pada
saat datang hujan, kemungkinan banjir tidak terelakkan lagi.
Kemudian fungsi waduk sebagai sumber bagi PLTA dan irigasi pun ikut
menurun. Seterusnya akan menurunkan pula potensi perikanan,
perkebunan, dan pertanian yang akhirmya berpengaruh menurunnya
tingkat kemampuan ekonomi masyarakat di sana (Dinas PSDA,
2003).Selain itu, permasalahan peningkatan aktifitas manusia juga
memicu percepatan proses degradasi lingkungan Rawapening.
Peningkatan berbagai aktifitas manusia, selain mengganggu
keseimbangan alam juga tidak mustahil dapat menimbulkan berbagai
macam konflik. Hal ini bertambah rumit ketika dihadapkan dengan
siapa yang bertanggung jawab dalam pengelolaan wilayah Rawapening.
Guna mengatasi permasalahan di atas, maka perlu diadakan penelahaan
secara komperhensif meliputi daerah hilir hingga hulu. Salah
satunya adalah dengan mengkaji faktor yang mempengaruhi
perkembangan danau rawa pening yaitu berkaitan dengan bagaimana
kondisi penggunaan lahan dan tingkat kerapatan vegetasi di Daerah
Tangkapan Air (DTA) Rawapening.Rawapening sebagai wilayah yang
dapat diunggulkan secara komparatif, perlu didayagunakan secara
optimal dan berkelanjutan. Salah satu upayanya adalah dengan
mencegah Rawapening menjadi daratan sebagai dampak sedimentasi yang
sangat berat. Proses sedimentasi yang berat ini berlangsung karena
adanya terjadinya perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali
terutama pada daerah atas (hulu).Tujuan kajian ini adalah ingin
mengetahui pola perkembangan danau Rawapening dan tingkat kerapatan
vegetasi DTAnya melalui interpretasi citra satelit seri waktu yaitu
citra satelit tahun 1994, tahun 1998, tahun 2002, dan tahun
2007.
KAJIAN PUSTAKACitra penginderaan jauh merupakan sarana yang
paling efektif dan effisien untuk memperoleh informasi tentang
penutup lahan, termasuk tingkat kerapatan vegetasinya. Citra
penginderaan jauh menggambarkan keadaan muka bumi seperti ujud
aslinya, dengan menggunakan alat yang disebut sensor untuk merekam
energi pantulan ataupun gelombang pancaran obyek di permukaan bumi
dengan berbagai spectrum panjang gelombang. Setiap obyek di muka
bumi mempunyai karakteristik tersendiri dalam menyerap,
memantulkan, dan meneruskan obyek tenaga yang diterima (Lillesand
dan Kiefer, 1990). Pada citra digital informasi yang direkam
disajikan dalam bentuk nilai piksel. Setiap piksel merupakan
presentasi dari nilai pantulan atau pancaran obyek di muka bumi
seukuran resolusi spasial citra satelit. Untuk obyek mempunyai
ukuran lebih kecil dari resolusi spasialnya, maka nilai kecerahan
piksel merupakan gabungan dari berbagai pantulan atau pancaran
obyek.Nilai kecerahan piksel tersebut juga akan bervariasi sesuai
dengan spektrum yang digunakan untuk merekam. Untuk obyek lahan
terbuka kering, maka akan mempunyai nilai kecerahan piksel tinggi
pada citra saluran hijau atau merah. Vegetasi akan mempunyai nilai
piksel tinggi pada citra saluran inframerah dekat. Dengan cara
memadukan antara berbagai saluran citra yang mempunyai tanggap
spectral yang bervariasi diharapkan dapat diperoleh suatu formula
yang merupakan gabungan dari berbagai pantulan atau pancaran
obyek.Citra satelit Landsat-5, Landsat-7 dan SPOT-XS merupakan
citra satelit sumberdaya alam yang mempunyai resolusi spasial 30 m
dan x 30 meter (Landsat) dan 20 m x 20 m (SPOT-XS) dan merekam
dalam multi spektral. Masing-masing saluran citra satelit peka
terhadap respons atau tanggapan spektral obyek pada julat panjang
gelombang tertentu, dan hal ini yang menyebabkan nilai piksel pada
berbagai saluran spectral sebagai cerminan nilai tanggapan spectral
pun bervariasi. Adanya variasi tanggapan spectral pada setiap
saluran merupakan salah satu kelebihan dari citra satelit Landsat ,
sebab dengan memadukan berbagai saluran tersebut dapat diperoleh
citra baru dengan informasi baru pula. Berdasarkan citra satelit
Landsat saluran hijau dan inframerah tengah (TM2 dan TM5), dapat
diturunkan informasi kerapatan vegetasi (Suharyadi, 2000)Indeks
vegetasi merupakan suatu algoritma yang diterapkan citra
multisaluran, untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun
aspek lainnya yang berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomassa
konsentrasi klorophyl (Projo Danoedoro,1989), dan lainnya. Secara
praktis indeks vegetasi ini merupakan suatu transformasi matematis
yang melibatkan beberapa saluran sekaligus, dan menghasilkan citra
baru yang lebih representative dalam menyajikan fenomena
vegetasi.James (1996, dalam Hartono, dkk, 2005) menyatakan indeks
vegetasi merupakan suatu ukuran kuantitatif berdasarkan nilai
digital citra satelit untuk mengukur biomasa suatu vegetasi. Salah
satu indeks vegetasi adalah Normalized Difference Vegetation Index
(NDVI) yang merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dengan
teknik pengurangan citra.Berbagai penelitian mengenai perubahan
liputan vegetasi di berbagai tempat banyak menggunakan transformasi
ini. Foster (1991) mengadakan penelitian pemanfaatan citra Landsat
TM untuk memantau perubahan lahan di daerah pinggiran kota Sidney,
Australia. Teknik pengolahan citra yang digunakan untuk
transformasi spectral adalah dengan pendekatan indeks vegetasi,
digabungkan dengan analisis temporal terhadap tutupan lahannya.
Dasar pertimbangan pemanfaatan transformasi indeks vegetasi, karena
nilai indeks vegetasi menunjukkan kerapatan vegetasinya, nilai
indeks vegetasi +1 menunjukkan vegetasi rapat dan -1 untuk lahan
sangat jarang vegetasinya. Area yang berkembang menjadi daerah
terbangun diasumsikan liputan vegetasinya berkurang. Formula indeks
vegetasi yang digunakan adalah Normalized Difference Vegetation
Index (NDVI). Kesimpulan yang dihasilkan dari pemanfaatan indeks
vegetasi adalah formula NDVI dapat digunakan untuk memantau
perubahan penggunaan lahan pada area yang sempit dan kepadatan
rendah.
PROSEDUR PENELITIANUntuk mengetahui kerapatan vegetasi pada
daerah penelitian digunakan citra Landsat 5 TM Landsat-7 dan citra
SPOT XS. Ke tiga citra ini diolah dengan menggunakan software ER
Mapper 7.0 dan Arc View 3.2. Langkah-langkah pengolahan data dapat
dijelaskan secara singkat sebagai berikut.1. Koreksi Radiometrik
citra satelit Landsat dan SPOT XSSecara sederhana teknik koreksi
radiometrik adalah melakukan koreksi nilai kecerahan piksel hasil
rekaman sensor dengan nilai kecerahan akibat penyimpangan pantulan.
Besarnya nilai penyimpangan dihitung berdasarkan nilai terendahnya.
Teknik ni dilakukan dengan asumsi, nilai pancaran piksel tertentu
seharusnya mempunyai nilai nol, tetapi karena adanya gangguan
atmosfer nilai tersebut bergeser menjadi lebih besar dari nol
(Jensen, 1986). Algoritme untuk memperbaiki nilai kecerahan piksel
setiap saluran citra inderaja adalah, sebagai berikut.output BV
i,j,k = input BV i,j,k - biasdimana : output BV i,j,k = nilai
kecerahan piksel pada baris I, kolom j, dan saluran k setelah
terkoreksiinput BV i,j,k = nilai kecerahan piksel pada baris I,
kolom j, dan saluran k sebelum terkoreksi.2. Koreksi Geometrik
citra satelit Landsat dan SPOT XSKoreksi geometrik pada citra
Landsat maupun SPOT-XS merupakan upaya memperbaiki kesalahan
perekaman secara geometrik agar citra yang dihasilkan mempunyai
sistem koordinat dan skala yang seragam, dan dilakukan dengan cara
translasi, rotasi, atau pergeseran skala.3. Cropping Area of
InterestCropping berarti melakukan pemotongan citra sesuai denan
daerah yang dikehendaki. Pemotongan dilakukan karena setiap satu
scene citra Landsat mengkover daerah seluas 185 km x 185 km
sedangkan SPOT-4 seluas 60 km x 60 km, sehingga perlu pemotongan
sesuai dengan daerah kita teliti. Dengan memotong citra berarti
daerahnya menjadi lebih sempit dan hal ini akan lebih meringankan
beban komputer dalam mengolah citra.4. Analisis Kerapatan Vegetasi
(NDVI)Setelah kegiatan koreksi radiometrik dan geometrik dilakukan,
maka secara citra siap untuk diolah lebih lanjut yaitu melakukan
ekstraksi kerapatan vegetasi daerah penelitan. Analisis kerapatan
vegetasi daerah penelitian dengan menggunakan formula NDVI
(Normalized Difference Vegetation Indexs), yaitu:IM - MNDVI =IM +
MDimana :NDVI : Normalized Difference Vegetation IndexIM : Citra
satelit saluran inframerah dekatM : Citra satelit saluran merah
5. Uji LapanganPeta tingkat keRapatan vegetasi yang diperoleh
dari hasil transformasi NDVI dan pengolahan citra Landsat TM
digital. Hasil pemetaan NDVI melalui interpretasi citra secara
digital tersebut perlu dilakukan uji akurasinya. Pada dasarnya uji
akurasi dilakukan dengan cara membandingkan antara peta hasil
interpretasi dengan data acuan yang telah diketahui kualitasnya
melalui pengukuran lapangan.Diagram alir penelitian dapat
ditunjukkan pada gambar 1.
Citra Satelit Rawapening multi temporalthn 1994, 1998, 2002 dan
thn 2007
Koreksi:Radiometrikgeometrik
Citra Satelit Rawapeningterkoreksi
Interpretasi
Klas keRapatan Vegetasi 1994 Danau Rawapening tahun1994Klas
keRapatan Vegetasi 1998 Danau Rawapening tahun1998Klas keRapatan
Vegetasi 2002 Danau Rawapening tahun2002Klas keRapatan Vegetasi
2007 Danau Rawapening tahun2007
Hubungan Kondisi Danau denganKerapatan vegetasi DTAHASIL DAN
PEMBAHASANa. Gambaran Umum daerah PenelitianDaerah penelitian
merupakan Daerah Tangkapan Air Rawapening. Sebagai danau alami,
input airnya (inlet) berasal dari sembilan sungai kecil yang ada di
perbukitan yang mengelilingi rawa tersebut yaitu sungai
Kedungringin, sungai Ringis, sungai Sraten, sungai Parat, sungai
Legi, sungai Galer, sungai Torong, dan sungai Panjang. Sedangkan
outlet waduk Rawapening mencakup sungai Tuntang di bagian timur dan
sungai Progo di bagian Barat.
Gambar 1. Peta Lokasi Daerah penelitianb. Citra Satelit DTA
Rawapening Tahun 1994 2007Citra satelit yang digunakan untuk
analisis kerapatan vegetasi DTA Rawapening tahun 1994, 1998 adalah
citra LANDSAT-5, tahun 2002 LANDSAT-7 yang mempunyai mempunyai
resolusi spasial mencapai 30 meter dan tahun 2007citra SPOT XS yang
mempunyai resolusi 20 m. Waktu pengambilan gambar (akuisisi) secara
berturut turut adalah tanggal 20-06-1994, 23-02-1998, 21-08-2002,
dan 13-01-2007. Dari keterangan tanggal akuisis tersebut dapat
diperkirakan bahwa citra tahun 1994 dan 2002 di ambil pada saat
kondisi musim kemarau, sedangkan citra tahun 1998 dan 2007 saat
musim penghujan. Kualitas citra tahun 1994 adalah yang paling baik
dengan hampir tidak ada liputan awan, sebaliknya citra tahun 2007
adalah yang terjelek karena di beberapa tempat tertutup oleh awan.
Untuk lebih jelas kondisi ke empat citra tersebut dapat dilihat
pada gambat berikut.
Gambar 2. Perbandingan keadaan citra satelit tahun 1994 2007 DTA
Rawapening
Melihat kondisi citra tersebut maka perbandingan kondisi danau
Rawapening dan Kerapatan Vegetasi diakukan dengan memperhatikan
kondisi musim, yaitu untuk musim penghujan digunakan citra tahun
1998 dan tahun 2007, sedangkan untuk musim kemarau digunakan citra
tahun 1994 dan tahun 2002. Berikut deskripsi hasil kajian
perkembangan Danau Rawa pening berdasarkan hasil interpretasi
secara visual, disusul hasil analisis kerapatan vegetasi
berdasarkan perhitungan indek vegetasi NDVI.
b. Kondisi Danau RawapeningKondisi Rawapening dari tahun ke
tahun mengalami pendangkalan dan penyempitan luasannya. Bertambah
dangkalnya Waduk Rawapening disebabkan karena adanya sedimentasi
yang dihasilkan oleh tanaman eceng gondok yang mati dan limbah yang
masuk melalui sungai berupa muatan hasil dari erosi. Menurut sumber
dari BAPPEDA Semarang laju sedimentasi sampai 780 ton per tahun.
Dari beberapa penyebab terjadinya sedimentasi di atas, eceng gondok
memberikan sumbangan yang cukup berarti. Apalagi dari data Landsat
menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun pertambahan eceng gondok di
Rawapening mempunyai laju yang cukup tinggi, selain itu terlihat
pula bahwa luas danau mengalami penurunan. Lihat tabel
berikut.Tabel 1. Luas Area Danau Rawa Pening Berdasarkan Analisis
Citra (dalam Ha)Tahun Enceng gondok Danau/Perairan Area Total1994
495.921 1215.227 1711.1481998 774.356 872.545 1646.9012002 549.114
1001.134 1550.2482007 819.373 775.085 1594.458Dari tabel di atas
terlihat bahwa pada musim kemarau (citra tahun 1994 dan 2002) luas
total danau Rawapening mengalami penyempitan sekitar 160,90
hektar.. Pada saat yang sama tanaman enceng gondok juga mengalami
perkembangan luasan sebesar 53,193 ha. Sebaliknya luas permukaan
air danau Rawapening mengalami penyempitan 214,093 ha.Kemudian pada
musim penghujan (citra tahun 1998 dan 2007) luas total danau
Rawapening mengalami penyempitan sekitar 52,443 hektar.. Pada saat
yang sama tanaman enceng gondok juga mengalami perkembangan luasan
sebesar 45,017 ha. Sebaliknya luas permukaan air danau Rawapening
mengalami penyempitan 97,46 ha.Terus bertambahnya eceng gondok,
tentu membawa akibat yang tidak menguntungkan. Kapasitas air yang
terus menurun menyebabkan daya PLTA dan jangkauan air irigasi untuk
mengairi sawah di sekitarnya menurun pula. Selain itu dengan
bertambahnya eceng gondok, tikus yang bersarang di dalamnya makin
bertambah sehingga bisa merusak sawah-sawah di sekitar Rawapening
yang berakibat produksi pertanian menurun. Produksi pertanian
menurun menyebabkan penghasilan para petani menurun pula.Eceng
gondok selain mengakibatkan sedimentasi, secara tidak langsung juga
menyebabkan kapasitas air waduk menurun. Selain itu masuknya muatan
hasil erosi yang masuk melalui sungai yang bermuara di waduk ini,
mempercepat menurunnya kapasistas air, yang berarti makin dangkal
kedalaman waduk tersebut. Erosi ini diakibatkan karena adanya
penggundulan hutan dan berubahnya penggunaan tanah menjadi
permukiman.1994 1998 2002 2007
Gambar 3. Perkembangan Danau Rawapening dari tahun 1994 -
2007
c. Kerapatan Vegetasi DTA Rawapening Tahun 1994 dan Tahun 2002
(musim kemarau)Dari hasil pengolahan data citra satelit tahun 1994
dan 2002, daerah penelitian mempunyai tingkat kerapatan yang
bervariasi mulai dari sangat rapat (hijau tua), rapat (hijau),
cukup rapat (hijau muda) hingga tidak rapat (kuning). Adapun
sebaran setiap kelas kerapatan dapat dilihat pada gambar peta
kerapatan vegetasi yang ada gambar 5 di bawah ini.Gambar 4. Peta
Klasifikasi Kerapatan Vegetasi (NDVI) Daerah Penelitian Tahun 1994
dan 2002
Pada kurun waktu 8 tahun dengan kondisi musim yang relatif sama
(kemarau), tingkat kerapatan vegetasi di DTA Rawapening mengalami
perubahan yang cukup luas pada semua kelas. Pada kelas Sangat Rapat
terjadi perubahan yang semula pada tahun 1994 seluas 6800.22 ha
menjadi seluas 3188.25 hektar pada tahun 2002, atau terjadi
pengurangan luas daerah yang sangat rapat sebesar 3611,97 hektar
(53%).. Pada kelas Rapat terjadi perubahan yang semula pada tahun
1994 seluas 14463.45 ha menjadi seluas 11148.30 hektar tahun 2002,
atau terjadi pengurangan luas daerah yang Rapat sebesar 3315,33
hektar (23%). Pada kelas Cukup Rapat terjadi perubahan yang semula
pada tahun 1994 seluas 4230.63 ha menjadi seluas 8180.73 hektar
tahun 2002, atau terjadi penambahan luas daerah yang cukup rapat
sebesar 3950,1 hektar (93%). Pada kelas Tidak Rapat terjadi
perubahan yang semula pada tahun 1994 seluas 2307.15 ha menjadi
seluas 5054.40 hektar tahun 2002, atau terjadi pengurangan luas
daerah yang tidak rapat sebesar 2747,25 hektar (119%).Dari uraian
di atas maka berkurangnya luas lahan pada kelas Sangat Rapat, dan
Rapat mempunyai pengertian/bermakna negatif, yaitu terjadinya
peningkatan lahan yang terbuka yang dapat menjadi penyebab
meningkatnya erosi dan sedimentasi di wilayah Danau Rawapening.
Sebaliknya berkurangnya luas lahan pada kelas Tidak Rapat justru
mempunyai makna yang positif.Berbeda dengan kelas tersebut di atas,
maka pada kelas Cukup Rapat terjadi penambahan luas wilayah menjadi
8180.73 hektar atau bertambah 93%. Penambahan jumlah wilayah yang
cukup banyak ini oleh karena adanya akumulasi perubahan kerapatan
vegetasi dari kelas Sangat Rapat, kelas Rapat, dan juga dari kelas
yang Tidak Rapat. Untuk lebih jelasnya perubahan kerapatan dari
tahun 1994 ke tahun 2002 Daerah tangkapan Air Rawapening dapat
dilihat pada tabel berikut dan grafik perbandingan antar tahun di
bawahnya.Tabel 7. Perubahan Kerapatan Vegetasi Tahun 1998 dan Tahun
2002 di DTA RawapeningTahun Sangat Rapat Rapat CukupRapat Tidak
Rapat Jumlah Total(ha)Jumlah th 1994 6800.22 14463.45 4230.63
2307.15 27801.45Jumlah th 2007 3188.25 11148.30 8180.73 5054.40
27571.68Sumber : Hasi analisis
c. Kerapatan Vegetasi DTA Rawapening Tahun 1998 dan Tahun 2007
(musim hujan).Dari hasil pengolahan data citra satelit tahun 1998
dan 2007, daerah penelitian mempunyai tingkat kerapatan yang
bervariasi mulai dari sangat rapat (hijau tua), rapat (hijau),
cukup rapat (hijau muda) hingga tidak rapat (kuning). Adapun
sebaran setiap kelas kerapatan dapat dilihat pada gambar peta
kerapatan vegetasi yang ada gambar 5 di bawah ini.
Gambar 5. Peta Klasifikasi Kerapatan Vegetasi (NDVI) Daerah
Penelitian Tahun 1998 dan 2007
Pada kurun waktu 9 tahun dengan kondisi musim yang relatif sama
(hujan), tingkat kerapatan vegetasi di DTA Rawapening mengalami
perubahan yang cukup luas pada semua kelas. Pada kelas Sangat Rapat
terjadi perubahan yang semula pada tahun 1998 seluas 13026,78 ha
menjadi seluas 11628,56 hektar, atau terjadi pengurangan luas
daerah yang sangat rapat sebesar 1398,22 hektar (10,73%).. Pada
kelas Rapat terjadi perubahan yang semula pada tahun 1998 seluas
9025,02 ha menjadi seluas 8435,60 hektar, atau terjadi pengurangan
luas daerah yang Rapat sebesar 590 hektar (6,54%). Pada kelas Cukup
Rapat terjadi perubahan yang semula pada tahun 1998 seluas 3250,89
ha menjadi seluas 5392,84 hektar, atau terjadi penambahan luas
daerah yang cukup rapat sebesar 2142,05 hektar (65,91%). Pada kelas
Tidak Rapat terjadi perubahan yang semula pada tahun 1998 seluas
2345,67 ha menjadi seluas 1686,36 hektar, atau terjadi pengurangan
luas daerah yang tidak rapat sebesar 659,31 hektar (28,10%).Dari
uraian di atas maka berkurangnya luas lahan pada kelas Sangat
Rapat, dan Rapat mempunyai pengertian/bermakna negatif, yaitu
terjadinya peningkatan lahan yang terbuka yang dapat menjadi
penyebab meningkatnya erosi dan sedimentasi di wilayah Danau
Rawapening. Sebaliknya berkurangnya luas lahan pada kelas Tidak
Rapat justru mempunyai makna yang positif.Berbeda dengan kelas
tersebut di atas, maka pada kelas Cukup Rapat terjadi penambahan
luas wilayah menjadi 5392 hektar atau bertambah 65,91%. Penambahan
jumlah wilayah yang cukup banyak ini oleh karena adanya akumulasi
perubahan kerapatan vegetasi dari kelas Sangat Rapat, kelas Rapat,
dan juga dari kelas yang Tidak Rapat. Untuk lebih jelasnya
perubahan kerapatan dari tahun 1998 ke tahun 2007 Daerah tangkapan
Air Rawapening dapat dilihat pada tabel berikut dan grafik
perbandingan antar tahun di bawahnya.
Tabel 7. Perubahan Kerapatan Vegetasi Tahun 1998 dan Tahun 2002
di DTA RawapeningTahun Sangat rapat Rapat Cukup rapat Tidak Rapat
Luas (Ha)Tahun 1998 13026.78 9025.02 3250.89 2345.67 27648.36Tahun
2007 11628.56 8435.60 5392.84 1686.36 27143.36Sumber: Hasil
Analisis
KESIMPULAN dan SARANBerdasarkan hasil penelitian, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:1. Bahwa dalam kurun waktu
9 tahun DTA Rawapening mengalami perubahan kerapatan vegetasi yang
cenderung lebih rendah, sehingga perlu monitoring dan pengawasan
yang ketat agar kualitas DTA Rawapening tetap terjaga dengan
baik.2. Penggunaan citra penginderaan jauh sistem satelit dapat
membantu dalam kegiatan monitoring tersebut.Kemudian saran yang
diajukan adalah perlunya dibuat perencanaan tataguna lahan yang di
DTA Rawapening yang mempunyai hukum, sehingga setiap aktifitas yang
berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan harus melalui
persyaratan yang ketat.
DAFTAR PUSTAKA
Aronoff, S. 1989. Geographic Information Sistem: A. Management
Perspective. Canada : WDL Publications, Ottawa.Burrough, PA. 1990.
Methods of Spatial Analysis in GIS. International Journal of GIS.
Vol 4.Congalton, R.G., 1991. A review of assessing the accuracy of
classification of remotely sensed data. American Society for
Photogrammetry and Remote Sensing, MarylandDanoedoro, Projo
(editor). 2004. Sains Informasi Geografis. Joyakarta: Jurusan
Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGMDinas PSDA,
Sistem Pengelolaan Air Rawapening, 2003ESSRI, 1988, Understanding
GIS, New York: REDLANDElmaadi, A.R., 1999. Pemodelan
Interpretabilitas Citra Berdasarkan Pengolahan Secara Dijital untuk
Wilayah Perkotaan. Skripsi. Fakultas Geografi UGM,
Yogyakarta.Forster, B., 1991. Aplication of Normalized Vegetation
Index forUrban Change Monitoring. Asian Association on Remote
SensingHartono, dkk. 2005. Analisis Data Penginderaan Jauh dan SIG
Untuk Studi Sumberdaya Air Permukaan DAS Rawa Biru Merauke Papua.
Seminar Nasional FMIPA UI.Kusumowidagdo, M., Tjaturahono, Eva B,
Dewi LS., 2007. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Kerjasama
Pusdata Inderaja LAPAN dan Jurusan Geografi UNNES.Lillesand, T.M.,
dan R.W. Kiefer, 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra
(terjemahan) Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.Suharyadi.
2000. Transformasi spektral citra dijital Landsat TM untuk pemetaan
kepadatan bangunan di Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UGM