TUGAS RANKUMAN BAHASA INDONESIA FAJRUL SIYAM ANSAR 10542 0212 10 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
TUGAS RANKUMAN
BAHASA INDONESIA
FAJRUL SIYAM ANSAR
10542 0212 10
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2010
Kata Pengantar
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmatnya, sehingga
kami dapat menyelesaikan laporan individu ini sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan.
Pada kesempatan ini, kami ucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
membantu kami secara tidak langsung dalam menyelesaikan laporan ini. Kami
menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, karena
kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan pembuatan makalah
selanjutnya.
Kami berharap laporan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pendidik,
peneliti, akademisi, praktisi, dan calon pendidik serta mahasiswa baik
kependidikan maupun non kependidikan. Akhir kata, semoga Allah SWT berkenan
menerima amal bakti yang diabdikan oleh kita semua. Amin.
Makassar, Maret 2010
BAB I
PERENCANAAN PENDIDIKAN BAHASA DI INDONESIA
1. PENDAHULUAN
Indonesia didiami oleh berbagai suku bangsa dengan aneka ragam bahasa dan
kebudayaannya. Secara etnis ia beraneka, ada 30 kelompok bahasa yang pokok dan 400
dialek setempat (Oteng Sutisna, 1977 : 64-65).
Sumpah Pemuda tahun 1928 mengikrarkannya hanya ada satu bahasa nasional, yakni
bahasa Indonesia, namun Undang-Undang Dasar 1945 Bab XV, Pasal 36 dan penjelasannya,
menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa negara dan bahasa daerah. Ketetapan
Majelis Permusyarawatan Rakyat No. 4/MPR/1978 bahwa pembinaan dan pengembangan
bahasa Indonesia dilaksanakan dengan mewajibkan penggunaannya.
Pertimbangan politik yang pokok yang bertalian dengan pendidikan dan kebudayaan
adalah bahasa nasional. System pendidikan telah menjadi lembaga yang paling berpengaruh
dalam mempersatukan kebudayaan-kebudayaan local tradisional ke dalam suatu kebudayaan
Indonesia modern yang sedang tumbuh.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai
(1) bahasa resmi kenegaraan,
(2) bahasa pengantar dalam dunia pendidikan,
(3) alat perhubungan pada tingkat nasional,
(4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi
(Halim, 1976 : 5)
Sementara di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, yaitu
(1) lambang kebanggan kebangsaan,
(2) lambang identitas nasional,
(3) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai-bagai,
(4) alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya
(Halim, 1976 : 4).
Bahasa yang diapakai di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi bahasa daerah, bahasa
nasional (bahasa Indonesia), dan bahasa asing. Bahasa daerah dipakai untuk komunikasi
intrasuku, bahasa nasional dipakai untuk komunikasi antarsuku, dan bahasa asing dipakai
dalam komunikasi antarbangsa.
2. PERENCANAAN BAHASA
Perencanaan bahasa pertama kali digunakan oleh Haugen (1959). Perencanaan bahasa
merupakan usaha untuk menuntun perkembangan bahasa kea rah perkembangan bahasa
yang diinginkan oleh para perencana. Usaha perencanaan itu berupa pembuatan kamus, tata
ejaan yang normative, penyusunan tata bahasa yang akan menjadi acuan bagi pemakai
bahasa.
Beberapa ahli mengatakan mengenai perencanaan bahasa masa kini, Ray (1961)
mengatakan bahwa tujuan perencanaan bahasa terbatas pada rekomendasi yang aktif untuk
mengatasi masalah penggunaan bahasa dengan cara yang paling baik. Tauli (1964)
mendefinisikan perencanaan bahasa yaitu mencari norma yang ideal yang didasarkan atas
prinsip kejelasan, kehematan, dan keindahan. Haugen (1971) berpendapat bahwa bahasa
merupakan alat ekspresi kepribadian dan lambing identitas yang tidak otomatis takluk pada
hokum logika dan matematika.
Usaha menangani masalah kebahasaan diusulkan dalam dua cara yakni pendekatan
kebijakan (policy approach) dan pendekatan pembinaan (cultivation approach). Rubin dan
Jernud (1971) mengadopsi pendekatan kebijakan dan pembinaan dalam konsep perencanaan
bahasa yang dilakukan oleh badan yang khusus. Garvin (1973) mengatakan bahwa dalam
perencanaan bahasa sebaiknya dibedakan dua hal yakni pemilihan bahasa untuk tujuan dan
maksud yang direncanakan. Kloos (1969) membedakan dua hal dalam perencanaan status
bahasa dan korpus bahasa. Gorman (1973) membedakan perencanaan bahasa dari alokasi
bahasa yang berhubungan dengan pendekatan kebijakan kebahasaan. Haugen menganjurkan
agar perencanaan bahasa dimulai dengan pengetahuan keadaan bahasa lalu disusun program
kegiatan yang mencakup sasaran, penetapan pendekatan kebijakan untuk mencapai sasaran
dan pelaksanaan program, dan langkah terakhir yaitu penyebaran secara aktif norma yang
telah disulkan sehingga diterima oleh khalayak sasaran atau masyarakat pemakai bahasa.
Moeliono (1981) menyimpulkan bahwa perencanaan bahasa, seperti juga perencanaan di
bidang ekonomi pembangunan, bertujuan dalam waktu satu dua generasi, mencapai suatu
taraf pengembangan yang di dalam masyarakat.
3. PENGEMBANGAN BAHASA DAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Oleh Moeliono (1981), hopitesis Ferguson dan Dil diikhtisarkan sebagai berikut:
1) proses pembangunan masyarakat penggunaan bahasa pembangunan seperti di bidang
pemerintah, pendidikan, dan dunia usaha,
2) proses pembangunan cenderung pada pengutamaan penggunaan satu bahasa
pembangunan di dalam Negara,
3) proses pembangunan cenderung menciptakan jaringan komunikasi berdasarkan satu
bahasa demi penghindaran ketegangan social yang dapat menghambat proses itu,
4) proses pembangunan menjurus ke pembakuan bahasa pembangunan dan bahasa yang
secara resmi digunakan untuk komunikasi pada tingkat nasional,
5) bahasa menjadi sarana utama bagi penemuan cara baru di bidang teknik dan di dalam
pengambilan putusan kemanajemenan lambat-laun akan menjadi bahasa
pembangunan yang dominan,
6) ragam bahasa yang merupakan saran utama bagi penemuan cara baru di bidang teknik
dan di dalam pengambilan putusan kemanajemenan cenderung mengalami perluasan
kosakata,
7) bahasa yang dominan cenderung menjadi bahasa komunikasi pada taraf nasional,
8) ragam bahasa yang dominan memilki kecondongan untuk menjai patokan bagi ragam
bahasa lain di Negara itu,
9) proses pembangunan menjurus ke arah pemekaran fungsional bahasa yang
menghasilkan perluasan kosakata teknis dan berjenis-jenis ragm wacana,
10) proses pembangunan cenderung meningkatkan pemakaian bahasa klasik,
11) proses pembangunan cenderung menciptakan ketegangan social antara kalangan
pemakai bahasa tradisional dan bahasa modern,
12) pembangunan yang dipertalikan dengan identitas keetnisan yang cenderung
meningkatkan status bahasa etnis kelompok tersebut,
13) proses pembangunan cenderung meningkatkan laju kegiatan pengembangan dan
pembinaan bahasa,
14) proses pembangunan cenderung menghasilkan orang yang mampu menggunakan
laras (register) bahasa.
4. PEMBAKUAN BAHASA
a. Variasi Bahasa Indonesia
Secara umum variasi suatu bahasa dapat dilihat dalam 3 dimensi yakni dimensi
regional, dimensi social, dan dimensi temporal. Berdasar dimensi ini maka variasi
suatu bahasa dibagi atas tiga jenos, yakni variasi regional, variasi social, dan variasi
temporal. Masyarakat bahasa dan variasinya benar-benar secara keseluruhannya
merupakan suatu system yang saling berhubungan. Variasi bahasa merupakan
seperangkat butir-butir kebahsaan distribusi social yang sama. Variasi itu meliputi
bahasa, dialek, dan register.
Perilaku kebahasaan anggota suatu masyarakat bahasa ditentukan oleh berbagai factor
social, yakni umur, jenis kelamin, hubungan kekeluargaan, kedudukan, status
ekonomi, pendidikan, peristiwa social, tempat, waktu, topic, tujuan, dan tingkat
keakraban.
b. Variasi Baku Bahasa Indonesia
Bahasa baku adalah……………………………………. Proses yang dilalui bahasa
baku adalah seleksi, kodifikasi, elaborasi fungsi, dan keberterimaan. Usaha
pembakuan yang dilakukan oleh pemerintah melalui pusat bahasa telah menghasilkan
pembakuan di bidang ejaan (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan, 1972), di bidang tata bahasa (Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia,
1988), dan di bidang kosakata (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988).
Oleh Baradja (1975) dikemukakan bahwa ada lima cara yang dapat dipakai
pembakuan bahasa yakni otorita, bahasa penulis-penulis terkenal, demokrasi, logika,
dan bahasa orang-orang yang dianggap terkemuka oleh masyarakat.
5. IMPLIKASI DALAM PENGAJARAN BAHASA INDONESIA
Bahasa Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah umumnya adalah variasi
baku. Kemahiran dan kemampuan menggunakan variasi baku bahasa Indonesia, baik
lisan maupun tulisan diharapkan dapat dilakukan oleh murid, pelajar, dan mahasiswa.
Mereka perlu menyadari bahwa bahasa yang baik dan benar adalah bahasa baku.
6. PENUTUP
Dari uraian di atas jelaslah bahwa perencanaan pendidikan bahasa di Indonesia,
sasaran utamanya ialah pembakuan bahasa. Perencanaan pendidikan bahasa di Indonesia
sebaiknya dilandasi oleh hasil-hasil penelitian. Dan setiap perencanaan pendidikan harus
dikaitkan dengan perencanaan ekonomi, social, dan politik.
BAB II
PEMORDENAN BAHASA INDONESIA DAN
PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
MENYONGSONG ERA GLOBALISASI
1.Pendahuluan
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi Negara, bahasa Indonesia adalah bahasa
resmi pemerintahan, bahasa pengantar, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk
kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, serta alat pengembangan
kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bangsa Indonesia memiliki nilai politik
yang sangat penting karena telah menjadi lambing kebulatan semangat kebangsaan Indonesia,
alat penyatuan berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan,
dan kesukuannya kedalam suatu masyarakat nasional Indonesia, dan alat perhubungan antarsuku,
antardaerah, serta budaya .
Berikut ini akan diuraikan upaya pemordenan bahasa Indonesia dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi menyongsong era globalisasi.
2. Era Globalisasi dan Pemordenan Bahasa Indonesia
Era informasi dan teknologi canggih ini kian mempercepat pergaulan tingkat global.
Komunikasi dan transportasi telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa.
Kebudayaan setiap etnis dan setiap bangsa, yang semula terbatas pada etnis dan bansa itu sendiri,
cenderung mengarah kepada globalisai dan menjadi peradaban dunia, yang melibatkan seluruh
umat manusia. Sehubungan dengan itu, kita ditantang untuk memberikan kontribusi yang
signifikan dalam perspektif interaksi dan interelasi masyarakat global itu. Pengembangan
kualitas SDM menjadi sangat penting karena kemampuan kompetitif suatu bangsa bergantung
pada kualitas SDM dan bukan semata-mata pada SDA.
Kualitas sumber daya manusia yang prima ditandai oleh kecekatan berfikir dan
menggunakan bahasakarena berfikir dan berbahasa merupakan dua sisi mata uang yang tidak
terpisahkan. Untuk itu, peningkatan kualitas SDM Indonesia tidak terpisahkan dengan
pemordenan bahasa Indonesia.
3. Korelasi Pengembangan Bahasa dan Pengembangan Nasional
Ferguson dan Dil (1979) (dalam Moeliono, 1981:158-161) mengemukakan 14 hipotesis
tentang hubungan dan pengembangan bahasa, sebagai berikutt :
a. Proses pembangunan mensyaratkan penggunaan bahasa pembangunan, seperti di
bidang pemerintahan, pendidikan, dan dunia usaha, dapat ditunjukkan dengan
semakin banyaknya kosakata di bidang tersebut.
b. Proses pembangunan cenderung pada pengutamaan satu bahasa pembangunan di
dalam Negara, dapat ditunjukkan dengan berkurangnya penggunaan bahasa daerah di
Indonesia.
c. Proses pembangunan cenderung menciptakan jaringan komunikasi berdasarkan satu
bahasa demi penghindaran ketegangan sosial, dapat ditunjukkan dengan semakin
banyaknya penggunaan bahasa Indonesia yang menyebabkan berkurangnya
ketegangan social antaretnis yang ada di Indonesia.
d. Proses pembangunan menjurus kepembakuan bahasa pembangunan dan bahasa yang
secara resmi digunakan untuk komunikasi pada tingkat nasional, dapat ditunjukkan
dengan semakin mantapnya pembakuan bahasa Indonesia dan penggunaan bahasa
Indonesia baku, baik lisan maupun tulisan.
e. Bahasa yang menjadi sraana utama bagi penemuan cara baru di bidang teknik akan
menjadi bahasa pembangunanyang dominan, ditunjukkan dengan semakin banyaknya
kosakata teknik yang diserap oleh bahasa Indonesia.
f. Ragam bahasa teknik pada mulanya mengalami perluasan kosakata. Ditunjukkan
pada bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, yang secara historis merupakan satu
bahasa yaitu bahasa melayu karena terjadi dua pusat pembangunan dalam dua
Negara yaiu Negara Indonesia dan Malaysia maka terdapat kosakata teknis yang
berbeda pula.
g. Bahasa yang dominan di pusat pembangunan cenderung menjadi bahasa resmi yang
dominan untuk komunikasi pada tarf nasional, ditunjukkan dengan pengaruh dialek
Betawi dan bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia.
h. Ragam bahasa yang dominan di pusat pembangunan memiliki kecondongan untuk
menjadi patokan bagi ragam lain di Negara itu, ditunjukkan dengan pemakaian
bahasa Indonesia di kota-kota besar.
i. Proses pembangunan menjurus ke arah pemekaran fungsional bahasa, yang
menghasilkan perluasan kosakata teknis dan berjenis-jenis ragam bahasa.
j. Proses pembangunan cenderung meningkatkan pemakain bahasa klasik, yang
dirasakan menjadi penanda identitas keetnisan atau kepribadian nasional yang kuat,
ditunjukkan dengan mengalirnya kosakata Sansekerta dan Kawi ke dalam bahasa
Indonesia.
k. Proses pembangunan cenderung menciptakan ketegangan sosial diantara kalangan
penutur yang lebih suka menggunakan bahasa nasional dan bahasa modern.
l. Pembangunan yang bertalian dengan keetnisan cenderung meningkatkan status
bahasa kelompok etnis itu, ditunjukkan semakin banyaknya kosakata bahasa Jawa
yang masuk ke dalam bahasa Indonesia karena pusat pembangunan berada di Jawa.
m. Proses pembangunan cenderung meningkatkan laju kegiatan pengembangan dan
pembinaan bahasa, ditunjukkan dengan digalakkannya melalui Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
n. Proses pembangunan cenderung menghasilkan orang yang tergolong dwibahasawan
atau orang yang mampu menggunakan berbagai laras bahasa, ditunjukkan dengan
banyaknya orang yang dapat menggunakan bahasa Indonesia disamping orang yang
menggunakan bahasa daerah.
4. Pemordenan Bahasa Indonesia dan Pengembanagan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Michael Halliday (1973) mengemukakan fungsi bahasa, yakni :
1) Fungsi Instrumental, yaitu melayani pengelolaan lingkungan, menyebabkan beberapa
peristiwa terjadi.
2) Fungsi Pengaturan / Regulasi, yaitu mengendalikan peristiwa, tingkah laku, hokum &
kaidah.
3) Fungsi Repsentasional, yaitu membuat pernyataan, meliput kejadian dan peristiwa,
member pengetahuan, menjelaskan, dan melaporkan.
4) Fungsi Interaksional, yaitu memantapkan ketahanan dan memelihara komunikasi social.
5) Fungsi Personal, yaitu memungkinkan seseorang mengemukakan perasaan dan
kepribadian.
6) Fungsi Heuristik, digunakan untuk memperoleh pengetahuan dan belajar tentang
lingkungan.
7) Fungsi Imaginatif, digunakan berimajinasi dan mengembangkan gagasan seperti dalam
bahasa sastra.
Bahasa Indonesia perlu dimutakhirkan sehingga mampu dipakai sebagai sarana komunikasi
dalam segala bidang kehidupan dunia modern, yang ditandai oleh kepesatan ilmu dan teknologi.
Upaya yang menonjol dalam proses pemordenan bahasa Indonesia telah dilakukan dengan
cara pemekaran kosakata dan pengembangan laras-laras bahasa.
Pemekaran kosakata dapat dilakukan dengan cara memilih kata dalam bahasa Indonesia
sendiri dan memberinya makna baru melalui proses perluasan atau penyempitan makna asalnya
dan menghidupkan kembali unsur lesikal lama dengan makna yang sama atau makna yang baru.
Cara lain pemekaran kosakata ialah mengambil kosakata bahasa serumpun yang
pemakaiannya berdampingan denga bahasa Indonesia. Pemungutan unsure leksikal dalam bahasa
serumpun mempunyai kemiripan dalam bidang fonologi, morfologi, dan semantik sehingga
medan makna leksikal yang dipungut digunakan (Moeliono 1981).
Sumber lain dalam perluasan kosakata bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Dalam tradisi
bahsa melayu telah berabad-abad lamanya menyerap kosakata asing misalnya: kosakata
Sansekerta, Arab, Belanda, Inggris, Tamil, Persia, dan lain-lain.
Bahasa Indonesia yang memiliki kosakata dan laras-laras bahasa yang kaya dapat mengantar
bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmiah yang menghendaki bentuk penyajian yang padat,
singkat, tetapi lugas, dan tidak bermakna ganda. Bahasa Indonesia yang dimutakhirkan ini
mampu dipakai sebagai sarana komunikasi dalam segala bidang kehidupan modern yang ditandai
oleh kepesatan ilmi pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi.
5. Penutup
Bahasa sebagai wahana komunikasi dapat berperan secara mangkus dan sangkil apabila
bersungguh- sungguh mencerminkan perasaan dan pikiran para pemakainya.
Upaya untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmiah dilakukan dengan cara
memodernkan dan mencendikiakannya melalui pengembangan kosakata teknis dan pemekaran
laras-laras bahasa. Pemordenan dan pencendikiaan bahasa Indonesia dalam era globalisasi ini
merupakan prasyarat yang utama dalam memacu pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
BAB III
KAIDAH BAHASA INDONESIA BAKU DALAM
PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH
1. Pendahuluan
Ragam baku tidak saja ditelaah dan diberikan, tetapi juga di ajarkan disekolah.
Ragam itulah yang dijadikan toalk pembanding bagi pemakaian bahsa yang benar. Ciri
pertama ragam bahasa baku memiliki sifat kemantapan dinamis, yang berupa kaidah
dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat berubah setiiap saat. Ciri kedua yang
menandai bahasa baku adalah sifat kecendiakannya. Perwujudan dalam kalimat,
paragraph, dan satuan bahasa lain yang lebih besar mengungkapkan penalaran yang
teratur, terautur, logis, dan masuk akal. Cara ketiga pembakuan bahasa ialah adanya
penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa atau penyeragaman variasi
bahasa.
2. Fungsi Bahasa Baku
Bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga diantaranya bersifat pelambang atau
simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi
pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa kewibawaan , dan (4) fungsi sebagai kerangka
acuan.
Bahasa baku memperhubungkan semua penutur berbagai dialek bahasa itu. Jadi,
bahasa baku ,mempersatukan mereka menjadi suatu masyarakat bahasa dan
meningkatkan proses identifikasi penutur orang seorang dengan seluruh masyarakat itu.
Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku memperkuat perasaan
kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Pemilikan bahasa baku membawa serta wibawa atau prestise. Fungsi pembawa
wibawa bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan perdaban lain
yang dikagumi lewat pemerolehan bahasa baku sendiri. Bahasa baku berfungsi sebagai
kerangka acuan bagi pemakain bahasa dengan adanya norma dan kaidah (yang
dikodifikasi) yang jelas. Norma dan kaidah itu menjadi tolak ukur bagi betul tidaknya
pemkaian bahsa orang seorang atau golongan.
3. Ciri Bahasa Indonesia Baku
a. Pemakaian prefiks me- dan her- bila ada secara eksplisit dan konsisten.
Contoh :
Penyakit menyerang kampung itu (baku)
Penykit serang kampung itu (non baku)
b. Pemakaian fungsi gramatikal (subjek, predikat, dan sebagainya) secara eksplisit dan
konsisiten.
Contoh :
Ia pergi ke kantor (baku)
Ia ke kantor (non baku)
c. Terbatasnya unsure-unsur leksikal dan gramatikal dari dialek-dialek regional dan
bahasa-bahasa daerah yang belum dianggap unsure bahasa Indonesia.
d. Pemakaian konjungsi bahwa dan karena –bila dan ada- secara eksplisit dan konsisten.
Contoh :
Engkau tidak mempercayainya karena ia penipu (baku)
Engkau tidak mempercayainya, ia penipu (non baku)
e. Pemakaian pola frase verbal aspek + agen + verba bila ada – secara konsisten.
Contoh :
Sudah engkau baca surat itu (baku)
Engkau sudah baca surat itu (non baku)
f. Pemkaian konstruksi sintesis
Contoh :
Membersihkan (baku)
Bikin bersih (non baku)
g. Pemakain partikel –kah dan pun- bila ada secara konsisten.
Contoh :
Mereka pun pergi (baku)
Mereka pergi (non baku)
h. Pemkaian unsure-unsure leksikal berikut berbeda dari unsure-unsur yang menandai
bahasa Indonesia.
i. Pemakaian polaritas tutur sapa yang konsisten seperti saya – tuan, saya – saudara, dan
sebagianya.
j. Pemakaian istilah resmi.
k. Pemakaian Ejaan yang disempurnakan (EYD).
Batas antara ragam baku dan non baku tidak selalu tegas. Ciri-ciri bahasa Indonesia
yang baku sperty yang dijelaskan diatas, lebih menandai ragam tulis dari pada ragam
lisan. Ragam lisan, di samping memiliki cirri-ciri gramatikal dan laksikal juga
memiliki cirri-ciri paralinguistic dan ciri-ciri pronology. Bahasa Indonesia sebagai
bahhasa yang hidup mempunyai banyak ragam, yang masing-maisng berfungsi dalam
proses komunikasi.
4. Sifat Bahasa Tulis
Bahasa tulis tidak dapat mewujudkan suluruh aspek bahasa lisan secara sempurna.
Walaupun dalam bahasa tulis telah diusahakan berbagai macam tanda baca misalnya
tanda tanya, tanda seru, tanda koma, tanda titik, dan sebagainya yang mewujudkan
keseluruhan aspek bahasa lisan. Tekanan nada, dan lagu kalimat sering tidak dinyatakan
dalam tulisan. Bahasa tulisn memiliki kelebihan, bentuk grafis kata-kata yang
dirangkaikan dalam kalimat secara gramatikal terlihat sebagai suatu yang tetap stabil.
Dibandingkan dengan bunyi, bentuk-bentuk graffis itu lebih cocok menerangkan
kesatuan bahasa sepanjang masa.
Pemakaian bentuk bahasa pada tingkatan morfologis, sintaksis, dan semantic
dalam bahasa tulis dapat lebih cermat dikontrol oleh penulis sehingga pemakaian bentuk
bahasa tersebut sesuai dengan kaidah gramtikal. Hal ini dapat dilakukan oleh penulis
berkat adanya waktu dan kesempatan untuk membaca dan membetulkan kalimat-
kalimatnya.
5. Sifat Bahasa Ilmiah
Bahsa yang digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan mempunyai sifat
pemakaian yang khas sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa dalam bidang ilmu
pengetahuan merupakan ragam bahsa sendiri, yang berbeda dengan ragam bahsa yang
lain. Sifat tersebut ada yang merupakan sifat yang umum sebagai bahasa ilmiah dan ada
yang merupakan sifat khusus yang berhubungan dengan pemakaian kosakata dan bentuk
gramatikal.
Sifat bahsa ilmiah, yang merupakan sifat yang umum berhubungan dengan fungsi
sebagai alat untuk menyampaikan informasi dalam peristiwa komunikasi. Dalam hal ini,
fungsi bahasa ilmiah menyampaikan informasi pada peristiwa komunikasi yang terjadi
antara penulis dengan pembaca atau pembicara dengan pendengar.
Sifat bahsa ilmiah yang khusus, terliahat dalam pemilihan dan pemakaian kata
serta bentuk-bentuk garmatika, terutama dalam tataran sintaksis. Kosakata dalam bahasa
ilmiah bersifat denotative, artinya setiap kata hanya mempunyai satu makna yang paling
sesuai dengan konsep yang disampaikan. Apabila kosakata tersebut telah yang paling
sesuai dengan konsep yang disampaikan. Apabila kosakata tersebut telah merupakan
istilah, maka dalam pemakaian bahasa ilmiah, kosakata itu bersifat monosemantis, bebas
konteks, dan universal. Kalimat-kalimat dalam bahasa ilmiah bersifat logis. Hubungan
antara bagian-bagian kalimat dalam kalimat tunggal atau hubungan antara klausa-klausa
dalam kalimat kompleks mengikuti pola-pola bentuk hubungan logis.
6. Jenis Wacana Tulis
a. Wacana Narasi
Wacana narasi menyajikan peristiwa-peristiwa dalam suatu rangkaian kesatuan
dalam urutan waktu tertentu. Dalam wacana narasi, penulis menyajikan jalinan suatu
peristiwa yang dapat disebut sebagai ceritera. Tujuan utamnya bukan untuk
memberikan gambaran tentang maslah atau objek menurut pengamatan penulis,
melainkan memberikan suatu kisah yang terjadi dalam suatu rangkaiann waktu.
Penuulis dapat menggunakan berbagai macam tekhnik bercerita. Yang penting dalam
narasi ialah uraian tentang kejadian, yang disajikan tidak selalu mulai dari awal, tetapi
dapat pula dimualai kisahnya dari bagian kejadian yang penting menarik
perhatiannya.
Ada tiga prinsip penting dalam narasi yakni keutuhan, koherensi, dan penekanan.
Keutuhan ceritera pada narasi dibangun dengan mengarahkan rincian setiap bagian
ceritera pada suatu ide yang membangun keseluruhan ceritera.
b. Wacana Deskripsi
Wacana deskripsi memberikan gambaran hasil pengamatan penulis tehadap
sesuatu objek. Oleh karena itu, wacana deskripsi bersifat objectif. Wacana deskripsi
memberikan gambaran objek seperti apa adanya, maka maka wacana deskriptif
bersifat statis.
Wacana deskripsi dapat dibedakan dua macam, yakni deskripsi ekspositori dan
deskripsi literer. Deskripsi ekspositori mempunyai ciri-ciri yang hampir sama dengan
wacana eksposisi. Tujuan wacana ekspositori adalah memberikan gambaran yang
mendalam tentang suatu masalah atau objek namun tetap mengemukakan gamabran
yang bersifat konkret saja. Uraiannya bersifat analitis dan tidak memberikan kesan
emosional.
c. Wacana Eksposisi
Wacana eksposisi memberikan penjelasan mengenai suatu masalah atau objek
secara mendalam. Tujuannya supaya pembaca memperoleh pengertian yang jelas
terhadap masalah yang disajikan. Dalam eksposisi, penjelasan suatu ,masalah tidak
hanya berhenti pada suatu penjelasan secara factual. Wacana eksposisi membahas
hakikat masalah serta hubungan- hubungannya, baik hubungan antara bagian-bagian
masalah itu sendiri maupun hubungan- hubungannya dengan masalah yang lain. Oleh
karena itu, wacana eksposisi banyak digunakan dalam karangan ilmiah.
Dalam wacana eksposisi dikenal beberapa jenis pembagian, antara lain definisi,
dan analisis. Definisi merupakan jenis eksposisi yang sering digunakan karena
mendasari penjelasan yang disajikan dalam suatu karangan. Dapat atau tidaknya
pembaca memahami penjelasan yang disajikan dlam suatu karangan, antara lain
bergantung pada dapat atau tidaknya penulis mengemukakan defenisi yang memadai.
analisis merupakan wacana eksposisi yang menjelaskan suatu masalah dengan
mengemukakan uraian keseluruhan masalah menjadi bagian- bagian sehingga
pembaca dapat memahami masalah tersebut.
d. Wacana Argumentasi
Wacana argumentasi mengarahkan pembaca kepada suatu sikap tetentu terhadap
suatu masalah atau objek yang dikehendaki oleh penulis. Dalam mengarahkan sikap
tersebut wacana argumentasi menyajikan bukti yang dikemukakan dengan cara yang
meyakinkan sehingga pembaca dapat menarik kesimpulannya sendiri secara logis dan
mengakui kebenaran pandangan yang dikemukakan pengarang.
Wacana argumentasi berdasar pada pikiran yang kritis dan logis. Dalam
menyajikan fakta dan bukti yang lain, penulis harus senantiasa memperhatikan
apakah semuanya itu memang dapat digunakan sebagai bukti yang benar.
7. Kegiatan Keterampilan Menulis
Menulis karangan adalam kegiatan yang dilakukan melalui proses yang berawal
dari timbulnya ide untuk menulis sampai dengan terwujudnya karangan yang disusun.
Proses itu berlangganan dalam tiga tahapan utama yakni, perencanaan, penulisan, dan
perbaikan. Dari tahapan pertama sampai tahapan kedua wujud kegiatan itu ialah
penyajian masalah, pengorganisasian karangan, ppenyusunan dan pemakaian ejaan.
a. Pemilihan Kata
Kata menduduki posisi yang penting dalam setiap bahasa. Oleh karena itu,
pembahasan pengertian tentang kata menarik perahtian para ahli bahasa. Salah satu
defenisi tentang kata adalah bentuk minimal yang bebasyang kecil.
Dalam tata bahasa traditional kata dipandang sebagai unit dasar sintaktik dan
semantic. Dilihat dari wujudnya, kata adalah tanda yang terdiri atas dua komponen
(bentuk dan arti).
Dilihat dari keseluruhan karangan, kata merupakan unsure terkecil yang bersama-
sama dengan unsur yang lain mendukung isi karangan. Oleh karena itu, pemilihan
dan pemakaian kata merupakan masalah yang sangat penting dalam mengarang.
Untuk itu, pemilihan dan pemakaian kata seharusnya memperhatikan aspek-aspek
kebenaran kata yang dipakai, kejelasan, keefektifan, kesesuaian kata, dan ragam
bahasa yang digunakan.
b. Penyusunan Kalimat
Wujud karangan secara fisik dapat dilihat sebagai rangkaian wujud kalimat yang
membentuk paragraph yang menyajikan pikiran utama dan tambahan sehingga
terbentuk suatu karangan yang utuh. Setiap kalimat merupakan pendukung arti
keseluruhan ide yang disajikan dalam paragraph. Kejelasan kalimat dalam karangan
sangat diperlukan untuk menyajikan gagasan dalam karangan.
Pengertian kalimat
Dalam tata bahasa tradisonal pengertian kalimat dinyatakan sebagai suatu
pernyataan pikiran yang utuh. Dalam ilmu bahasa structural, pengertian kalimat
dinyatakan sebagai bentuk bahasa yang bebas, yang tidak merupakan bagian dari
konstruksi gramatikal yang lain, yang lebih besar. Dilihat dari aspek strukturnya,
kalimat yang digunakan dalam karangan haruslah benar. Suatu klimat dikatakan
benar strukturnya apabila kalimat tersebut dibangkitkan dengan menggunakan kaidah
bahasa yang bersangkutan, baik kaidah strukturnya frasa maupun kaidah struktur
trnsformasi.
Kebenaran kalimat yang dipakai oleh seorang pengarang dapat terganggu karena
adanya keslahan, yakni kalimat yang fragmentaris dan kekacauan konstruksi kalimat.
Kalmia fragmentasi merupakan kalimat yang tidak dapat dipahami maksudnya karena
kalimat tersebut secara structural merupakan bagian dari kalimat lain.
c. Penyusunan dan pengembangan paragraph
Pengertian paragraph dapat dilihat dari dua segi, yakni isi dan struktur. Dilihat
dari isi, paragraph adalah suatu pernyataan tentang suatu pokok pikiran yang
dinyatakan secara lengkap dan merupakan suatu kesatuan. Dilihat dari struktur,
paragraph adalah sekelompok pernyataan kalimat yang saling berhubungan,
dirangkaiakan dalam urutan teratur dan jelas kaitanya. Dalam hal yang bersifat
khusus, paragraph dapat terdiri atas satu kalimat.
Dilihat dari isinya suatu paragraph mengemukakan isi yang lengkap dan
merupakan suatu kesatuan. Paragraph dikatakan lengkap apabila menyatakan hal
yang seharusnya disampaikan agar pikiran utama dalam paragraph itu menjadi lebih
jelas. Hal yang dinyatakan untuk kelengkapan isi paragraph itu harus relevan dengan
pikiran utama sehingga keseluruhan isi paragraph tetap merupakan satu keasatuan.
BAB IV
PENDEKATAN, METODE, DAN TEKNIK PENGAJARAN BAHASA
1. Pendahuluan
Para ahli bahasa sering membicarakan dan menulis tantang pendekatan aural
(aural approach), metode audio lingual, pendekatan terjemahan, metode langsung,
metode tata bahasa, dan metode alamiah.
2. Pendekatan, Metode, dan Teknik Pengajaran Bahasa
Jika dilihat dari suatu perangkat asumsi yang berhubungan dengan hakikat belajar
mengajar bahasa, maka suatu pendekatan adalah bersifat aksiomatkia digambarkan
sebagai hakikat pokok masalah tentang apa-apa yang diajarkan. Dari sudut pandang
tertentu, pendekatan adalah suatu filsafat , suatu keyakinan, namun tidak perlu di uji
kebenarannya.
Asumsi linguistik yang perlu dikemukakan, yakni
a. Bahasa adalah human, aural-oral, bersifat simbolik dan penuh dengan makna
b. Suatu bahasa tersusun secara unik dan dapat dikatakan bahwa tidak ada dua bahasa
yang mempunyai struktur yang sama
c. Struktur suatu bahasa dapat diketahui dan dapat digambarkan secara sistematik,
meskipun deskripsi yang ada akan berbeda-beda menurut tingkatan dan tujuan.
Jika bahasa itu diterima sebagai aural-oral maka hal itu adalah akibat yang wajar
dari asumsi yang di berikan. Aspek utama pendekatan aural-oral yakni menyimak dan
berbicara, yang harus diajarkan terlebih dahulu sebelum membaca dan menulis. Aspek
membaca dan menulis yang menurut urutannya sebaiknya didahulukan sebelum
pengajaran menulis dilaksanakan karena simbol –simbol grafik harus dilihat terlebih
dahulu sebelum dihafalkan. Aspek penutur bahasa lain yang dalam hal pengajaran sastra
dan seni, dan secara padagogik sebaiknya di tunda.
Asumsi yang perlu diperhatikan : bahasa adalah pembiasan-pembiasan, kebiasaan
tertanam melalui ulangan, bahasa harus diajarkan melalui ulangan melalui dengan
berbagai cara.
Dalam pendekatan Community Language Learning (CLL) pelajar tidak diberikan
kesempatan mendengarkan contoh ucapan atau kalimat sebelum ia disuruh berbicara.
Pendekatan Total Physical Response (TPR), Silent Way (SW), Audio Visual
Lingual (AVL), dan Communicative Competence Approach (CCA) memberi kesempatan
pelajar untuk mendengarkan terlebih dahulu dengan sebaik-baiknya contoh yang
diberikan oleh guru.
Pendekatan alamiah yang dipelopori oleh Teller (1977) memberikan kesempatan
yang lama pada pelajar untuk mendengarkan. Pada pendekatan suggestopedia, situasi
kelas dibuat sedemikian rupa sehingga pelajar merasa santai dan nyaman dalam
menerima pelajaran. Pendekatan CCL tidak menggunakan guru, tetapi menggunakan
konselor.
Tugas konselor adalah pendamping dalam belajar, konselor pada mulanya dekat
pada pelajar dan mengetahui apa yang sedang dipelajari oleh pelajar.
Pendekatan TPR yang dipopuleri oleh Asher (1966) memberikan pelajaran dengan teknik
yang berbeda pula, Asher mengatakan bahwa duduk, mendengarkan, menirukan, dan
menghafalkan saja pelajaran bahasa di kelas tidak memberikan perangsang yang
memadai untuk menguasai bahasa yang sedang dipelajari.
Kelemahan pendekatan TPR ini apabila ditinjau dari sudut lain, misalnya
neurofisiologi, tidak diragukan lagi bahwa semua gerakan itu dikendalikan oleh otak,
tetapi pengendalian alat-alat motoris ini jauh lebih berbeda dengan pengendalian alat-alat
suara.
Pendekatan SW yang dipelopori Gattegno (1963) tidak menggunakan teknik
gerak badan seperti pada TPR, pada minggu pertama, SW banyak menggunakan alat
peraga yang mempunyai ukuran, bentuk, dan warna yang berlain-lain.
Penyajian bahan-bahan pelajaran yang diberikan oleh guru-guru secara bertahap, yakni
dari kata dan frase, dan dari frase ke kalimat, pelajar mendengarkan terlebih dahulu, lalu
menirukan dan memanipulasikan bahan pelajaran yang baru diterima, tugas guru hanya
mengangguk dan mengggelengkan kepala untuk mengiakan dan menolak apa yang
diucapkan oleh pelajar, karena itulah maka apa yang di perkenalkan oleh Gettegno
disebut juga pendekatan silent way.
Pendekatan SW, di samping memanfaatkan daerah wernicke juga mencoba
mengaktifkan daerak osipital (bagian belakang otak sebelah kiri), yakni daerah tempat
indera penglihatan pertama-tama dianggapi.
Pendekatan AVL memanfaatkan daerah pendengaran dan penglihatan pada saat
belajar mengajar bahasa. Urutan pendengaran yang diikuti oleh pengucapan merupakan
urutan normal dalam proses berbicara.
Sehubungan dengan penggunaan istilah pendekatan, metode dan teknik, maka di perlukan
satu kesatuan pengertian tentang istilah-istilah pendekatan, metode, dan teknik akan di
tempatkan dalam satu skema definisi. Susunannya bersifat hierarkik.
BAB V
METODE PENGAJARAN BAHASA INDONESIA
DISEKOLAH DASAR
1. Pendahuluan
Dalam proses belajar-mengajar, termasuk proses belajar-mengajar bahasa Indonesia, salh
satu aspek yang sering mendapat perhatian adalah segi metode. Para guru perlu memahami
bahwa dalam proses belaja-mengajar banyak aspek yang terlibat dan semua aspek tersebut turut
menentukan keberhasilan dalam proses belajar-mengajar.
2. Pendekatan Metode dan Tekhnik Mengajar
Istilah-istilah yang digunakan dalam konsep-konsep pengajaran bahasa sebaiknya tepat
dan disetujui oleh semua pihak yang berprofesi dalam bidang pengajar bahasa. Sekaitan dengan
pemahaman yang sama tentang istilah-istilah yang digunakan dalam pengajaran bahasa, maka
dianggap perlu diadakan pembedaan penggunaan istilah pendekatan, metode, dan teknik. Ketiga
istilah tersebut mempunyai hubungan hierarkik, yakni teknik adalah penjabaran dari metode,
sedangkan metode merupakan penjabaran dari pendekatan, bersifat aksiomatik. Metode
mengajar bahasa mengutamakan penguasaan bahasa lisan, seperti metode langsung, metode
Mimicry Memorization, dan metode Audio-lingual.
Di kalangan para guru bahasa dikenal pendekatan tradisional. Pendekatan tradisional
beranggapan bahwa bahasa adalah seperangkat kaidah, system atau aturan dan bahasa
digambarkan sebagai tulisan. Atas dasar asumsi tersebut dikembangkanlah Metode Gramatika,
Metode Gramatika-Terjemahan, yang menggunakan bahasa tulisan dan menjelaskan secara rinci
kaidah-kaidah tata bahasa dan penerjemahan.
Keterampilan berbahasa terwujud melalui latihan yang berkali-kali atau repetisi. Satu
metode dapat dibedakan dengan metode lainnya dengan seleksi, gradasi, presentasi, dan repetisi.
Pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan pengajaran bahasa Indonesia sebagai
bahasa kedua atau bahasa asing akan berbeda secara metodologik. Usia subjek didik, latar
belakang sosiokulturalnya, dan pengalaman bahasa yang diperoleh sebelumnya merupakan
faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan metode belajar-mengajar bahasa. Perbedaan
pemerian bahasa dan perbedaan tentang pemerolehan bahasa juga perlu mendapat perhatian
dalam menentukan metode. Perbedaan pemerian bahasa (language description) akan melahirkan
analisis fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantic yang berbeda. Dengan memahami konse-
konsep tentang pendekatan, metode, dan teknik, maka dapatlah dipahami mengapa metode yang
sama dapat berhasil di tangan guru A dan gagal di tangan guru B padahal mereka mengajar
dengan bahasa yang sama dan kurikulum yang sama pula.
3. Asumsi-asumsi tentang Bahasa
Dalam memilih dan menentukan sebuah metode belajar-mengajar bahasa, tentu perlu
diketahui asumsi-asumsi berikut :
a. Bahasa hanya dimiliki oleh manusia, bersifat aural-oral, dan secara simbolis mempunyai
makna
b. Setiap bahasa memiliki strukturnya sendiri-sendiri dan tidak ada dua bahasa yang
memiliki struktur yang sama.
c. Struktur suatu bahasa dapat dikenal, digunakan, dan diuraikan secara sistematik,
walaupun penguraiannya berbeda-beda sesuai tujuannya.
4. Konsep Dasar Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar
Konsep dasar bahasa Indonesia di sekolah dasar sebagai berikut :
a. Bahasa Indonesia, bahasa pertama atau bahasa kedua bagi sebagian subjek didik
Bahasa Indonesia dan bahasa daerah hidup berdampingan. Pada waktu subjek didik
memasuki sekolah dasar (SD) sebagian belum menguasai bahasa Indonesia karena
sebagian subjek didik menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu.
b. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
Pengajaran bahasa Indonesia dapat menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa
Indonesia. Menyadari bahwa bahasa Indonesia alat pemersatu dan kesatuan bangsa, dan
menjadikan bahasa Indonesia sebagai salah satu identitas bangsa.
c. Bahasa Indinesia sebagai bahasa resmi Negara
Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi “Bahasa Negara ialah Bahasa
Indonesia ”. Pasal ini mengisyaratkan bahwa dalam setiap kegiatan kenegaraan, bahasa
Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar.
d. Pengajaran bahasa Indonesia menunjang mata pelajaran lain
Guru perlu memahami, bahwa pengajaran bahasa Indonesia menunjang mata
pelajaran lainnya. Dalam kedudukannya sebagai alat komunikasi, materi pengajaran
bahasa Indonesia dapat berupa pengetahuan social, eksakta, agama, dan lain-lain.
e. Tujuan pengajaran bahasa Indonesia adalah keterampilan berbahasa
Sebelum Kurikulum 1975 tujuan pengajaran bahasa Indonesia dititikberatkan pada
pengetahuan tentang bahasa, sedangkan pada kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984
dititkberatkan pada keterampilan berbahasa. Apabila diteliti tujuan berbahasa Indonesia
di SD maka ada dua hal yang perlu mendapat perhatian, yakni ʻkemampuan berbahasa
Indonesia’ dan ‘menghayati bahasa dan sastra Indonesia.
5. Fungsi bahasa
Bahasa sebagai alat komunikasi penting. Sekaitan dengan itu, pengajaran bahasa hendaknya
lebih menekankan fungsi-fungsi bahasa sebagai berikut :
A. Fungsi instrumental
Fungsi instrumental bahasa mengendalikan dan melayani pengelolaan lingkungan
dan menyebabkan peristiwa tertentu terjadi. Misalnya, ‘jangan mencuri uang itu’.
B. Fungsi regulasi
Fungsi regulasi bahasa mengendalikan peristiwa. Fungsi regulasi bahasa
mempertemukan manusia setuju,mengendlikan tingkah laku, dan menentukan hokum /
kaidah. Misalnya, ‘kalau engkau merokok, maka engkau mudah terserang penyakit
kanker paru-paru’.
C. Fungsi representasional
Fungsi represetasioal bahasa digunakan membuat pernyataan, meliput peristiwa,
dan pengetahuan, menjelaskan dan melaporkan. Misalnya, ‘Matahari panas’, ‘Presiden
Soeharto membuka KTT X GNB’, dan lain-lain.
D. Fungsi interaksioanal
Fungsi interaksional bahasa memantapkan ketahanan dan kelangsungan
komunikasi social. Fungsi bahasa ini memelihara kontrak antara anggota masyarkat dan
membuka seluruh komunikasi. Fungsi interaksiaonal bahasa menuntut penguasaan
bahasa slang, jargon lawak, kesopan santunan, dan semua kunci hubungan pertukaran
social.
E. Fungsi personal
Fungsi personal bahasa memungkinkan pembicara atau penulis mengemukakan perasan,
emosi, kepribadian, dan reaksi yang mendalam.
F. Fungsi heuristik
Fungsi heuristik bahasa mencakup bahasa yang digunakan untuk memperoleh dan
mengembangkan pengetahuan dan belajar tentang alam sekitar. Fungsi heuristik bahasa
diwujudkan dalam bentuk pertanyaan yang memerlukan jawaban.
G. Fungsi imaginatif
Fungsi imaginatif bahasa menghadirkan daya cipta imaginasi dan gagasan. Berita,
berlelucon, dan menulis novel menyatakan praktik fungsi imaginatif bahasa sehingga
dapat diciptakan mimpi yang indah atau hal-hal belum dan mugkin / tidak terjadi.
Ketujuh fungsi bahasa ini saling isi dan tidak saling membedakan, dan berfungsi
agar seseorang dapat menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi.
6. Hakikat meode pengajaran bahasa
Metode mencakup pemilihan bahan, urutan bahan, penyajian bahan, dan pengulangan bahan.
Apabia bahasa dianalisis maka dikemukakan adanya bunyi-bunyi : bunyi bahasa ini mempunyai
arti; bunyi-bunyi bahasa yang berarti muncul bersama-sama dalam kesatuan tertentu dan
perubahan tertentu; adanya bentuk yang berarti.
Analisis bahasa yang dilakukan ini merupakan dasar untuk menyusun suatu metode bahasa.
7. Metode-metode pengajaran bahasa
Metode mengajar adalah cara mengajar yang telah disusun berdasarkan prinsip dan sistem
tertentu. Hekikat metode pengajaran bahasa tidak lain persoalan pemilihan bahan yang akan
diajarkan, penentuan urutan bahan, penentuan cara penyajian, dan cara evaluasi. Kesemuanya
harus bermuara kepada tujuan pengajaran yang telah ditentukan lebih dahulu.
8. Metode pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar
Dari sekian banyak metode pengajaran bahasa, pada dasarnya semuanya dapat digunakan dalam
pengajaran bahasa indoesia di sekolah dasar.
Metode linguistik dan metode berbahsa dapa dipertimbangkan untuk diangkat menjadi metode
pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar.
9. Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Dalam proses belajar-mengajar bahasa, metode bukanlah satu-satunya aspek yang
menentukan keberhasilan pengajaran bahasa.
b. Pendekatan, metode, dan tekhik perlu dipahami sehingga istilah tersebut tidak
dikacaukan penggunaannya.
c. Kensep dasar penganjaran bahasa Indonesia di sekolah dasar mencakup bahasa
Indonesia sebagai bahasa pertama, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa
resmi Negara, pengajaran bahasa Indonesia adalah keterampilan berbahasa.
d. Fungsi berbahasa, yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsi representasional,
fungsi interaksional, f ungsi personal, fungsi heuristic, dan fungsi imaginatif perlu
mendapat perhatian dalam pegajaran bahasa.
e. Lusinan metode pengajaran bahasa yang perlu diketahui oleh seorang guru bahasa.
Beberapa diantara metode tersebut dapat dipakai untuk pengajaran bahasa Indonesia
di sekolah dasar.
BAB VI
METODE LINGUISTIK KONTRASTIF
1. Pendahuluan
2. Beberapa Pengertian tentang Analisis Kontrasif
a. Penyebab lahirnya analisis kontrasif
Hal-hal yang mendorong lahirnya analisis kontrastif antara lain berkembangnya ilmu
bahasa deskriptif-sinkronik dan kajian-kajian kedwibahasaan bahasa serta
berkembangnya teori pemindahan belajar (transfer of learning).
Dalam karyanya Sapir menekankan bahwa seorang penutur asli menguasai sistem
pola yang tersusun secara teratur dan bukan menguasai butir-butir secara lepas, serta
pengertian fonem (point in pattern) berbeda dengan suara-suara biasa (phonetic
entities). Kemudian idenya ini dikembangkan lagi oleh Fries yang menghasilkan
sebuah gagasan yang dikenal dengan nama contrastive analysis (analisis kontrastif).
Perkembangan linguistik-sinkronik dibarengi dengan perkembangan kajian
kedwibahasaan, dimana kedua kajian tersebut memberikan sumbangan dalam bentuk
intervensi. Hal ini didukung pula oleh teori pemindahan belajar (transfer of learning),
yang mencari cara belajar efektif dan efisien.
b. Kelemahan analisis kontrasif
Seiring berjalannya waktu, analisis kontrastif mulai mendapat kritikan dan mulai
diragukan oleh beberapa ahli karena menganggap memiliki kekurangan. Kekurangan
itu antara lain : adanya anggapan bahwa dapat meramalkan semua kesulitan si belajar
dalam proses belajar bahasa; semua kesulitan dan kesalahan dalam belajar B2
bersumber pada B1; dan hasilnya dapat dibuat urutan kesulitan belajar bahasa B2.
c. Asumsi yang melandasi analisis kontrasif
Namun, ada beberapa asumsi yang mendasari analisis kontrastif antara lain: unsur-
unsur yang sama antara B1 dan B2 tidak akan menimbulkan interferensi; unsur-unsur
yang berbeda antara B1 dan B2 akan menyebabkan kesukaran bagi si belajar dan
dapat menimbulkan interferensi; kesalahan si belajar dalam proses belajar disebabkan
oleh sebahagian besar oleh adanya interferensi yang datang dari B1; unsur-unsur yang
serupa dan yang berbeda antara B1 dan B2 dapat ditemukan dari usaha
membandingkan antara sistem B1 dengan B2.
Ada beberapa ahli yang tidak menerima analisis kontrastif sebagai peramal
kesalahan-kesalahan yang dibuat si belajar. Misalnya, Catford yang berpendapat
bahwa para peneliti bahasa yang menganut teori analisis kontrastif jangan hanya
mendasarkan analisis kontrastif sebagai teori belajar bahasa belaka, tetapi juga para
peneliti bahasa sebaiknya mengumpulkan data kesalahan yang dibuat oleh si belajar
dan dikelompokkan kesalahan itu dengan tehnik yang biasa digunakan oleh analisis
kesalahan (error analysis), kemudian membandingkannya.
d. Manfaat teori analisis kontrasif dalam buku teks pelajaran
Data akurat yang ditemukan dalam teori analisis kontrastif dapat dimanfaatkan dalam
menyusun buku teks pelajaran, dapat membantu guru memecahkan kesulitan yang
dialami oleh siswa, dan guru dapat menyiapkan buku teks yang dapat menggantikan
buku-buku paket.
3. Metode Pengajaran Bahasa Indonesia dan Analisis Kontrasif
a. Masalah Bahasa di Indonesia
Metode pengajaran bahasa Indonesia dan analisis ini mendapat beberapa masalah
dalam penerapannya karena Indonesia yang didiami berbagai suku dengan berbagai
bahasa dan budaya pula. Hal ini dapat menguntungkan namun dapat juga merugikan,
misalnya dalam Sumpah Pemuda telah mengikrarkan hanya ada satu bahasa nasional
yakni bahasa Indonesia.
Namun hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar yang menyatakan bahwa
bahasa Indonesia adalah bahasa negara, dan bahasa daerah yang dipakai sebagai alat
perhubungan dan dipelihara oleh masyarakat pemakainya, dipelihara juga oleh negara
sebagai bagian kebudayaan nasional yang hidup. Dan diperjelas oleh Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, menggariskan bahwa pembinaan dan
pengembangan bahasa Indonesia dilaksanakan dengan mewajibkan pengunaannya
secara baik dan benar dan bahwa pembinaan bahasa daerah dilakukan dalam rangka
pengembangan bahasa Indonesia sebagai salah satu sarana identitas nasional.
Bahasa yang dipakai di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi : bahasa daerah,
bahasa nasional, dan bahasa asing. Penggunaan bahasa ini juga berbeda-beda
misalnya bahasa daerah yang dipakai untuk komunikasi intrasuku, yakni percakapan,
sedangkan bahasa asing digunakan dalam komunikasi antar bangsa.
b. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengajaran bahasa
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengajaran bahasa yakni perbedaan teori bahasa
yang dijadikan tumpuan pengajaran bahasa memengaruhi pengajaran bahasa dalam
analisis bahasa yang di jadikan tumpuan dalam pemilihan bahan dan pemilihan teknik
pengajaran dan penyajian. Hal ini akan berpengaruh atas luas dan sempitnya bahan
yang di ajarkan dalam pengajaran bahasa. Dalam suatu metode perlu diperhatikan
beberapa banyak dari bahagian bahan yang disajikan dalam metode itu benar-benar
dapat disajikan oleh metode itu sendiri dan berapa banyak yang dapat disajikan .
Belajar dan mengajar adalah hal yang berbeda, sehingga belajar yang baik belumlah
merupakan jaminan mengajar yang baik karena belajar dilaksanakan oleh murid.
Belajar yang buruk memengaruhi kebaikan mengajar yang baik, sama halnya
mengajar yang buruk dapat mengurangi kebaikan atau keunggulan suatu metode.
Mengajar yang baik seharusnya memperhitungkan belajar yang dilakukan oleh murid
karena pada hakikatnya tujuan dari mengajar yang baik dan belajar yang baik. Perlu
diingat bahwa mengajar yang baik dan belajar yang baik dapat saja terjadi secara
sendiri-sendiri tanpa ada hubungan satu dengan yang lainnya.
c. Keadaan pengajaran bahasa Indonesia
Keadaan pengajaran bahasa Indonesia mulai dari masalah pengajaran tidak dapat
hanya ditinjau secara mikro tapi juga pendekatan makro. Pengajaran bahasa
merupakan suatu sistem yang berarti setiap unsur yang membentuknya mempunyai
fungsi dan peranan masing-masing dalam mencapai tujuan. Untuk itu diperlukan
perubahan atau penyesuaian terhadap unsur-unsur tersebut. Sehingga dapat
disesuaikan dengan perubahan yang terjadi untuk mencapai tujuan tersebut.
d. Metode pengajaran bahasa Indonesia
Metode pengajaran bahasa Indonesia sering disoroti sebab keberhasilan atau
kegagalan suatu program pengajaran bahasa sering dilihat dari segi metode mengajar.
Ada pula yang menganggap bahwa metode mengajar itu tidak penting dan semuanya
tergantung dari gurunya. Untuk itu konsep-konsep pengajaran bahasa perlu
dinyatakan dalam istilah yang tepat agar tidak terjadi kesimpangsiuran dan disetujui
oleh semua pihak.
Faktor kedudukan bahasa yang diajarkan turut pula memengaruhi metode sehingga
pengajaran bahasa Indonesia untuk murid Indonesia berbeda dengan murid yang
menggunakan bahasa asing. Dengan demikian berkembanglah bermacam-macam
metode pengajaran bahasa Indonesia dan jelaslah bahwa amat sulit menentukan suatu
metode. Untuk mempermudah hal ini dipilihlah metode linguistik kontrastif (analisis
kontrastif), dengan asumsi sebagai berikut :
1) Bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bagi sebahagian besar murid sekolah di
Indonesia.
2) Murid yang ada di Indonesia di samping memakai bahasa ibunya juga memahami
bahasa Indonesia (bilingual/dwibahasa)
3) Bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang ada di Indonesia adalah serumpun. Dengan
demikian sistem bahasa Indonesia dan bahasa daerah mempunyai kesamaan.
4) Metode pengajaran bahasa Indonesia bagi murid yang berbahasa ibu bahasa Indonesia
berbeda dengan yang berbahasa daerah.
5) Lingkungan murid turut berpengaruh dalam proses belajar-mengajar. Untuk itu buku-
buku yang digunakan perlu bervariasi.
6) Buku pelajaran bahasa Indonesia untuk sekolah dasar seharusnya mengindahkan dan
memperhatikan masalah interferensi yang ditimbulkan oleh pengaruh bahasa daerah
dan dialek.
Dengan asumsi tersebut diatas, murid yang berbahasa ibu bahasa daerah atau bahasa
Indonesia sebagai bahasa kedua sebaiknya menggunakan metode linguistik kontrastif.
Sedangkan yang berbahasa ibu bahasa Indonesia menggunakan metode lain. Metode
linguistik kontrastif didasarkan atas analisis kontrastif.
Untuk melaksanakan metode ini terlebih dahulu harus dipelajari bahasa ibu murid dan
bahasa Indonesia, sehingga diketahui perbedaan dan persamaan kedua bahasa tersebut.
Hampir semua kesalahan yang dibuat oleh murid akibat interferensi dari kedua bahasa itu
serta mereka tidak mengatahui persamaan dan perbedaan antara bahasa ibu dan bahasa
Indonesia.
Seperti di awal, masih ada kelemahan-kelemahan dari metode ini. Sehingga metode ini
dan metode lainnya yang ingin digunakan dalam bahasa Indonesia sebaiknya terlebih
dahulu harus diadakan penelitian karena tanpa penelitian metode apa pun yang digunakan
pasti tidak dapat diaandalkan kesahihan dan kebenarannya.
4. Penutup
Untuk menyukseskan pengajaran bahasa Indonesia, perlu diperhatikan hal-hal berikut :
1) Pengajaran bahasa Indonesia jangan hanya dilihat dari segi mikro, yakni hanya
membatasi perhatian pada masalah belajar-mengajar disekolah, tetapi juga dari segi
makro yakni memperbaiki dan meningkatkan pengajaran bahasa Indonesia dalam konteks
yang lebih luas.
2) Tugas guru bahasa Indonesia ialah meningkatkan motivasi murid untuk belajar bahasa
Indonesia dalam semua kesempatan yang ada dan melengkapi murid dengan pengetahuan
kebahasaan menurut teori-teori linguistik, teori pendidikan, dan psikologi.
3) Semua guru harus berusaha memakai bahasa memakai bahasa Indonesia yang baik dan
benar yang patut dicontoh oleh murid karena pada hakikatnya semua guru di kelas adalah
guru bahasa Indonesia.
4) Metode pengajaran bahasa Indonesia bagi murid yang berbahasa ibu bahasa daerah dan
bahasa ibu bahasa Indonesia harus berbeda.
5) Metode pengajaran bahasa Indonesia bagi murid yang berbahasa ibu bahasa daerah
disarankan menggunakan metode linguistik kontrastif, dan bagi yang berbahasa ibu
bahasa Indonesia disarankan menggunakan menggunakan metode lain.
6) Buku-buku pelajaran untuk sekolah dasar perlu bervariasi sesuai dengan lingkungan
sosial/kebudayaan.
7) Para penulis buku teks pelajaran sebaiknya memperhatikan pengaruh interfensi dan
dialek setempat.
8) Semua buku teks pelajaran perlu diteliti ketepatan dalam penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar.
9) Perlu dilakukan penelitian untuk menentukan metode apa yang cocok dalam pengajaran
bahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun sebagai bahasa kedua.
BAB VII
PRAGMATIK
1. Pendahuluan
Penyemprnaan Kurikulum 1975 telah melahirkan Kurikulum 1984. Dalam
Kurikulum 1984 mata pelajaran bahasa Indonesia dipilih menjadi enam pokok bahsaba,
yakni (1) membaca, (2) kosakata, (3) struktur, (4) menulis, (5) pragmatic, dan (6)
apresiasi bahasa dan sastra.
Ada beberapa konsep dasar dalam Kurikulum 1975 yang dikembangkan dalam
Kurikulun 1984 tapi ada pula yang tetap dipertahankan. Konsep yang tetap dipertahankan
ialah konsep yang menganut pendekatan berorientasi pada tujuan, pendekatan integrative,
pendekatan spiral, dan pendekatan pengembangan rana kognitif, afektif, dan psikomotor.
Konsep dsar yang baru mencakup pendekatan keterampilan proses, pendekatan lintas
materi, dan pendekatan komunikatif.
2. Pragmatik Sebagai Suatu Teori
Pragmatic telah banyak dibicarakan namun kajian ini belum jelas sehingga
dimasukkan dalam kajian aspek penggunaan bahasa, analisis wacana, filsafat bahasa,
teori tindak tutur, dan lain-lain. Karena ketidakjelasan istilah pragmatic ini ada pulapara
pakar yang memasukkannya sebagai kajian sosiolinguistik.
Suatu hal yang disepakati oleh para pakar ialah bahwa pragmatic berkembang
sebagai reaksi terhadap cara penelitian bahasa yang berdasarkan aliran Chomsky yang
menganggap bahasa sebagai suatu yang abstrak, suatu kemampuan mental, yang terpisah
dari pemakaian dan fungsi bahasa.
3. Pragmatik Sebagai Pendekatan Pengajaran
Dengan pendekatan pengajaran bahasa yang bersifat komunikatif atau fungsional,
para ahli pengajaran bahasa berusaha membawa pandangan prinsip pemakaian bahasa ke
dalam pengajaran bahasa.
Pendekatan komunikatif tidak lain daripada mengajar siswa untuk berbahasa dan
bukan untuk mengajrakan tentang bahasa. Dengan pendekatan komunikatif diinginkan
agar siswa dapat menggunakan bahasa yang baik dan benar.pendekatan komunikatif
disebut juga pendekatan pragmatic dalam pengajaran bahasa.
Kalimat ‘Sudah pukul dua belas’, dapat dianalisis dari berbagai sudut pandangan.
Dari sudut pandangan structural kalimat itu disebut kalimat yang tidak memiliki subjek
dan jenis kalimatnya disebut kalimat berita (deklaratif). Dari sudut pandangan pragmatic,
yang ditelusuri dari kalimat itu ialah segi penggunaannya di dalam komunikasi yang
nyata. Factor penentu ialah siapa yang berbicara dengan siapa, untuk tujuan apa, dalam
situasi apa, dalam konteks apa, dengan jalur mana, media apa, dan dalam peristiwa apa.
4. Pragmatik Sebagai Bahasa Pengajaran
Dalam kurikulum 1975 praktik pengajaran bahasa sering dilupakan fungsi
komunikasi bahasa, yakni menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Yang diajarkan
ialah pengetahuan tentang bahasa dan bukan keterampilan menggunakan bahasa untuk
tujuan komunikasi. Kurikulum 1984 ingin memperbaiki pengajaran bahsa dengan
memperhatikan fungsi komunikasi.
James R. Hurford dan Brenden Heasley (1983) membagi makna atas dua bagian,
yakni makna kalimat (sentence meaning) dan makna tutur (utterance meaning). Makna
kalimat adalah makna bebas konteks dan makna tutur adalah makna yang tergantung
pada konteks. Dalam hubungan ini makna kalimat adalah bagian kajian semantic,
sedangkan makna tutur adalah kajian pragmatic.
Pengajaran bahasa perlu dipusatkan pada keterampilan menggunakan bahasa dan
bukan pengetahuan tentang bahasa. Pemasukan pragmatic dalam Kurikulum 1984 dinilai
sebagai satu upaya memperbaiki proses belajar-mengajar bahasa Indonesia.
Untuk mencapai keterampilan pragmatic itu dipersyaratkan pengetahuan dan
keterampilan unsure bahasa yang mencakup unsure-unsur bahasa dan kegiatan berbahasa
sesuai dengan tingkat dan sekolahnya.
1) Unsure-unsur bahasa:
a. Lafal/ejaan, megajarkan lafal yang baik ejaan yang disempurnakan
b. Struktur, mengajarkan bentuk-bentuk kata, frase, dan kalimat yang baik dan
berterima
c. Kosakata, mengajarkan kata-kata dari berbagai rana kebahasaan dalam jumlah
yang diperlukan
2) Kegiatan berbahasa
a. Membaca, mengajarkan kemampuan pemahaman dengan tepat dan cepat berbagai
macam wacana, seperti narasi, persuasi, eksposisi, khayal, dan sebagainya
b. Menulis/mengarang, mengajarkan kemampuan membuat kalimta-kalimat yang
baik, benar dan sesuai, dan merakitnya menjadi paragraph dan berbagai macam
wacana (surat, cerita, laporan, dan sebagainya
c. Berbicara, mengajarkan berbagai macam kemampuan menggunakan bahasa lisan
dalam berbagai peristiwa berbahasa
d. Pragmatic, mengajrkan kemampuan memilih bentuk bahasa secara lisan dan
tulisan yang sesuai dengan keadaan berbahasa, dan kemampuan memahami
bentuk bahasa dan situasi.
Bahan pragmatic melatih siswa agar terampil menggunakan bahasa secara lisan
(dan tulisan) sesuai dengan situasi. Latihan ditekankan pada penggunaan bahsa dalam
situasi takzim (tata karma, sopan-santun)
5. Penutup
Dalam Kurikulum bahasa Indonesia yang direncanakan, pengajaran pragmatic
sebaiknya tidak merupakan satu pokok bahasan, tetapi bagian yang tidak terpisahkan
dengan semua pokok bahasan lainnya dalam kurikulum bahasa Indonesia. Cara yang
paling tepat untuk mencapai tujuan pengajaran bahasa Indonesia ialah dengan
menggunakan prinsip-prinsip pragmatic, baik sebagai pendekatan maupun sebagai pokok
bahasan untuk seluruh jenjang pendidikan mulai dari SD sampai SMA.
BAB VIII
MEMASYARAKATKAN PENGGUNAAN KAMUS
1. Pendahuluan
Tanpa ada bahasa sebagai alat komunikasi, maka tidaklah mungkin IPTEKS itu dapat
bertumbuh dan berkembang dengan baik. Oleh karena itu, bahasa dan IPTEKS dapat
bertumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang
memilikinya. Untuk itu, perlu adanya sarana bahasa yang berupa kamus yang dapat dijadikan
sumber acuan bagi pertumbuhan dan perkembangan bahasa dan IPTEKS.
Apabila seorang pembaca ingin memahami apa yang dibacanya sebaiknya ia memahami
makna leksikal kata tersebut. Karena dalam memahami makna referensial, ia terlebih dahulu
harus memahami makna leksikal.
2. Tugas Leksikograf
Leksikograf merupakan terapan leksikologi. Untuk keperluan praktis dalam penyusunan
kamus, prinsip-prinsip leksikologi tidak dilaksanakan sepenuhnya.
Seorang leksikograf apabila ia ingin membuat suatu kamus maka tahap-tahap yang perlu
dipersiakan dalam penyusunan kamus tersebut ialah :
1. Persiapan
2. Penetapan korpus data
3. Pengumpulan data
4. Penyeleksian data
5. Pengaturan data
6. Klasifikasi data (penetapan label)
7. Pemberian definisi
8. Penyuntingan hasil pemberian definisi
9. Pengetikan kartu induk
10. Penyusunan kartotek
11. Pengetikan naskah
12. Koreksi naskah
13. Cetak coba
14. Koreksi cetak coba
15. Produksi kamus
Dalam menyusun kamus (khususnya kamus bahasa baku), leksikograf sebaiknya
memperhatikan hal-hal berikut :
a. Entri yang dibuat dalam kamus adalah kosakata bahasa yang memiliki ciri-ciri
kebakuan
b. Label-label, seperti label kelas kata, label pembidangan kata dan label lain hendaknya
menunjang pembinaan, pengembangan, dan pembakuan bahasa.
c. Batasan setiap entri hendaknya memberikan kejelasan makna.
d. Batasan terhadap entri yang dibuat hendaknya memiliki kesejajaran kategori
gramatikal dengan entri yang diberi batasan.
e. Batasan entri hendaknya menunjukkan ketepatan makna.
f. Batasan entri hendaknya dapat menggantikan kedudukan entri di dalam contoh
pemakaian tanpa mengganggu struktur yang ada.
g. Contoh kalimat hendaknya mendukung makna entri.
h. Kaidah ejaan hendaknya diterapkan dalam penyusunan kamus.
i. Kaidah gramatikal hendaknya mendapat perhatian.
j. Petunjuk pemakaian kamus hendaknya dibuatkan pengantar dalam menggunakan
kamus.
3. Jenis (Tipe) Kamus
Seorang pembaca yang ingin mengetahui makna sebuah kata sebaiknya mengetahui jenis
(tipe) kamus apa saja yang perlu dibaca bila ingin mencari makna kata tersebut. Jenis (tipe)
kamus dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Berdasarkan bahasa
Berdasarkan bahasnya, kamus dapat digolongkan ke dalam kamus ekabahasa, kamus
dwibahasa, dan kamus multibahasa.
b. Berdasarkan usia pemakai
Berdasarkan usia pemakainya, kamus dapat digolongkan ke dalam kamus anak-anak
(kamus SD) dan kamus orang dewasa.
c. Berdasarkan penggunaan atau tujuannya
Berdasarkan penggunaan atau tujuannya, kamus dapat digolongkan ke dalam kamus
ucapan, kamus sinonim, kamus antonim, dan kamus ungkapan.
d. Berdasarkan bidang ilmu
Berdasarkan bidang ilmunya, kamus dapat digolongkan ke dalam kamus istilah-istilah,
misalnya kamus linguistik, kamus kedokteran, kamus psikologi, dan lain-lain.
e. Berdasarkan ukuran
Berdasarkan ukuranny, kamus dapat digolongkan ke dalam saku dan kamus besar.
4. Fungsi Dan Peran Kamus
Kamus yang baik hendaknya berfungsi dan berperan sebagai :
1. Buku petunjuk mengenai cara penulisan penyukuan kata.
2. Buku petunjuk mengenai kata.
3. Buku petunjuk mengenai pelafalan kata.
4. Buku tata bahasa sederhana.
5. Buku petunjuk mengenai pemakaian kata dalam kalimat dan pemakaian kata tingkat,
bidang, daerah tertentu.
6. Buku sumber data yang dipilih untuk dimanfaatkan.
7. Kamus sinonim dan antonim.
8. Kamus frasa, ungkapan, dan pribahasa.
9. Kamus istilah.
10. Buku sumber ilmu pengetahuan yang sederhana.
Pada dasarnya seseorang yang ingin menggunakan kamus ia terlebih dahulu harus
memahami petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam pendahuluan kamus tersebut. Kamus
yang baik biasanya memberikan petunjuk sebagai berikut :
a. Kata kepala dan ejaannya
b. Petunjuk pelafalannya
c. Rincian penggolongan kata
d. Morfologi : kata jadian menimbulkan kesulitan
e. Sintaksis : potensi sintaksis kata kepala yang membatasinya
f. Keterangan tentang kata kepala
g. Kiasan, pemakaian bahasa, termasuk kata majemuk dan ungkapan baku
h. Daftar kata jadian dan kata kepala
i. Acuan silang
j. Semantik (pembatasan selektif), yang merujuk makna khusus
k. Stilistik
l. Bahan-bahan pemakaian bahasa, bahasa untuk menjelaskan padanan dan perbedaan
makna kata
m. Etimologi, bila dianggap perlu
BAB IX
PERANAN VARIABEL AFEKTIF DALAM PROSES
BELAJAR MENGAJAR BAHASA
( suatu Kajian tentang Mentalitas Masyarakat Pengguna Bahasa )
1. Pendahuluan
Periode inovasi teknologi yang mempesona, peluang ekonomi yang tidak pernah
terjadi sebelumnya, reformasi politik yang menakjubkan, dan kelahiran kembali kultur
besar ( Naisbitt dan Abuderne, 1990:1 ). Hal tersebut merupakan salah satu refleksi
globalisasi dunia yang terjadi, yang tidak terhindarkan, yang mempercepat proses
pembangunan dunia yang sedang menghadapi berbagai tantangan, yang memerlukan
respons kehati-hatian.
Kalau kita mencermati sejarah maka globalisasi itu telah mulai berkembang
dengan terjadinya revolusi dalam komunikasi dan meningkat ketika teknologi canggih
berkembang secara meleset dalam bentuk teknologi perkembangan dan ruang angkasa,
teknologi energy alternatif, bioteknologi, teknologi elektronika, dan informasi.
Kemajuan teknologi canggih yang menata dan mewujudkan masyarakat global,
masyarakat pascaindustri, masyarakat dengan peradaban informasi yaknio masyarakat
yang diadabi oleh pengguna elektronika, komputer, robot, sinar laser, serat optic,
komunikasi, genetika, energi alternatif, ilmu samudra, manufaktur di angkasa luar,
rekayasa ekologi, pertanian ekosistem, yang merefleksikan loncatan kualitatif
pengetahuan manusia, yang diejawnatahkan ke dalam penghematan waktu, tempat,
tenaga, dan bahan (M. Ide Said D.M., 1996:27 )
Faktor yang mempercepat era globalisasi ialah ‘bahasa’, yang digunakan
berkomunikasi. Bahasa adalah agen homogenesasi yang hebat. Bahasa adalah frekuensi
dimana kultur ditransmisikan. Bila bahasa inggris memperoleh kunci pada era global
implikasinya jeala.
2. Bahasa dan Masyarakat
Bahasa tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat pengguna bahasa. Masyarakat
dalam mengatur warganya berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat menyediakan
berbagai pedoman, yang berupa adat kebiasaan, norma, nilai, dan berbagai peraturan
yang ditetapkan bersama oleh anggota masyarakat yang saling bersangkutan untuk
dipergunakan dan dipatuhi bersama. Kecuali peraturan yang biasanya ditetapkan oleh
lembaga yang tumbuh dan terus hidup di dalam masyarakat, pedoman-pedoman itu
biasanya tidak tertulis.
Tingkah laku berbahasa yang telah tertanam itu membentuk kebiasaan dalam
berbahasa. Hakikat bahasa adalah pemerolehan dan pembelajaran. Aturan-aturan dan
kebiasaan-kebiasaan manusia ini diwariskan dalam kegiatan belajar-mengajar, dan bukan
melalui gen-gen yang dibawa lahir ( Subyakto-N., 1988:5 ). Kebiasaan inilah yang
membentuk variaebel ranah afektif, yang berupa sikap dan motivasi, yang membentuk
mentalitas masyarakat pengguna bahasa.
3. Variable Afektif dalam Proses Belajar-Mengajar Bahasa
Variable afektif memegang peranan dalam belajar. Variable afektif
mempengaruhi perilaku manusia dalam belajar termasuk proses belajar-mengajar bahasa.
Hilgard ( 1963:267 ) mengatakan “ purely cognitive theories of learning will be rejected
unless a role is assigned to affectivity”. Teori belajar-mengajar bahasa harus melihat
berbagai variabel, baik variabel afektif, variabel kognitif, maupun variabel psikomotorik.
Teori belajar-mengajar bahasa yang melihat variabel afektif, inteligensi, dan
psikomotorik lebih komprehensif dibandingkan dengan teori belajar-mengajar bahasa
yang melihat salah satu variabel.
Dalam tiga dasawarsa terakhir ini banyak dilakukan penelitian tentang belajar-
mengajar bahasa, yang dikaitkan dengan konsep kepribadian, misalnya tentang rasa
warga diri ( self-esteem ), empati (emphaty ), dan penerawangan diri-aku
(egopermeability ).
Guiro, dkk : (1967 ; 1972a ; 1972b) meneliti hubungan konsep kepribadian dan
belajar-mengajar bahasa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa larangan dapat
menghambat dalam proses belajar-mengajar bahasa. Pendapat Guirora, dkk. Di benarkan
oleh schumann (1974:225-226). Ia mengatakan bahwa kapasitas empati mencakup semua
aspek dalam belajar-mengajar bahasa, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, dan kosakata.
4. Faktor Sikap
Sikap merupakan hasil proses sosialisasi yang sangat berpengaruh pada respons
seseorang terhadap objek. Sikap, situasi, dan bakat seseorang dapat digunakan untuk
menjelaskan reaksi seseorang pada sesuatu objek.
a. Definisi Sikap
Definisi sikap ( attitude) menurut Oppenheim (1966:105) adalah suatu keadaan
kesiapan ( a state of readiness), suatu kecenderungan bertindak atau bereaksi dengan
cara tertentu bila dihadapkan dengan rangsangan tertentu. Ada teori yang melihat
sikap sebagai sifat umum seseorang. Teori lainnya melihat bahwa sikap memiliki
referensi yang khusus pada objek tertentu. Krech, dkk. (1962 ) dan Brown (1966)
mengatakan bahwa sikap itu terdiri atas tiga komponen, yaitu afektif, kognitif, dan
perilaku. Triandis (1972:2-4) mengatakan bahwa pada umumnya yang terdapat dalam
batasan sikap itu adalah kesiapan bereaksi terhadap sesuatu keadaan Allport (1955:2)
mengatakan bahwa sikap adalah kesiapan mental yang dibentuk melalui pengalaman
yang memberikan pengaruh yang dinamis pada reaksi seseorang terhadap semua
objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu.
b. Konsep Sikap
Konsep sikap dapat dijelaskan dengan mengemukakan ciri-cirinya, yakni sikap
memiliki sifat kognitif dan referensinya spesifik, yang berbeda dengan kebanyakan
konsep kepribadian lainnya. Sikap lebih berpengaruh sebagai keadaan yang mudah
terpengaruh oleh rangsangan dan sikap adalah satu faktor yang berpengaruh dan
mendasari tingkah laku. Sikap hanya dapat diukur secara tidak langsung.
Newcomb (1950) mengatakan bahwa konsep sikap tidak ditandai oleh dorongan,
tetapi hanya mengacu kepada kemungkinan bahwa sesuatu dorongan tertentu dapat
mewarnai sikap. Sikap menimbulkan motivasi. Motivasi yang berinteraksi dengan
ciri-ciri situasional dan keadaan lainnya yang mudah terpengaruh, menentukan
tingkah laku yang dapat diamati.
Skala yang digunakan untuk menaksir sikap dapat mengukur satu dimensi afektif
yang mencerminkan sikap yang mengevaluasi objek secara negative dan positif.
Hovland, dkk (1953) mengatakan bahwa perbedaan pendapat dan sikap adalah bahwa
pendapat dapat dikemukakan secara lisan atau tertulis, sedangkan sikap kadang-
kadang diantarai oleh proses nonverbal dan sering tidak disadari. ‘ Pendapat’ adalah
respons, sedangkan ‘sikap’ adalah keadaan yang mudah berpengaruh pada respons.
Thurstone (1927, dalam M. Ide Said D.M. 1987:53) mengartikan konsep pendapat
sebagai ekspresi verbal sikap. Dari segi ‘pengukuran pendapat’ tidak dicari skor total
(Sumadi Suryabrata, 1979:10). Sikap yang terletak pada satu sisi kontinum negatif
menunjukkan reaksi afektif yang negatif, yang menimbulkan respons negatif.
Sabaliknya, sikap yang terrletak pada sisi kontinum positif menimbulkan reaksi
afektif positif, yang menimbulkan respons positif. Titik netral agak sukar
diinterprestasi karena menunjukkan keseimbangan antara positif dan negatif.
Sikap banyak diperoleh melalui proses belajar atau hasil proses perkembangan
atau kematangan (McGrath, 1964). Sikap memiliki referensi spesifik yang dapat
berbentuk konkret atau abstrak. Sikap lebih stabil dan tahan lama. Sikap dapat
merupakan kontak langsung dengan objek dan situasi melalui hubungan langsung
dengan orang lain (Sherif dan Sherif, 1956). Sikap saling berhubungan dengan satu
terhadap yang lain dalam taraf yang kekuatannya yang berbeda atau bervariasi
(Krech, dkk,:1962 ; McGrath, 1956). Sikap dapat menduduki periferik dan sentral,
yang bervariasi dalam subsitemnya. Sikap yang interelasinya kuat memiliki stabilitas
maksimum. Sikap yang memiliki stabilitas maksimum melibatkan banyak perubahan
sikap periferik dan memiliki nilai yang penting dalam tingkah-laku.
c. Sikap Bahasa
Sikap bahasa merupakan salah satu di antara berbagai sikap yang ada. Anderson
(1974:47) membagi sikap atas dua jenis yakni sikap bahasa dan nonbahasa. Sikap
nonbahasa adalah sikap politik, sikap sosial, dan sikap estetis. Baik bahasa maupun
sikap nonbahasa dapat menyangkut keyakinan atau kognisi terhadap bahasa.
Anderson mengatakan bahwa sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang
relative panjang, sebagaian mengenai bahasa dan sebagian lagi mengenai objek
bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk bereaksi menurut gayanya
sendiri.
Sikap memiliki beberapa komponen yakni komponen kognitif, afektif, dan motif.
Komponen kognitif menyangkut pengetahuan yang biasanya digunakan dalam proses
berfikir. Komponen afektif menyangkut perasaan dan emosi, yang mewarnai
pengetahuan dan gagasan kita yang terdapat dalam komponen kognitif. Komponen
afektif ini menyangkut nilai rasa, baik dan tidak baik, dan suka atau tidak suka.
Perilaku berbahasa dilakukan dalm pendidikan bahasa karena orang yang terbiasa
menggunakan bahasa yang baik dan benar akan menimbulkan kedisiplinan dalam
menggunakan bahasa. Factor yang memengaruhi penggunaan bahasa Indonesia,
bahasa daerah, dan bahasa asing bukan hanya ditentukan oleh pengetahuan tentang
bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, melainkan jug ditentukan oleh
kebiasaan menggunakan bahasa yang baik dan benar. Perilaku berbahasa, yakni
adanya kedisiplinan menggunakan bahasayang baik dan benar merupakan hal yang
sebaiknya dtumbuhkan dalam masyarakat bahasa.
Triandis (1971:6-16) mengatakan bahwa asumsi yang selama ini dipegang bahwa
sikap merupakan factor perbuatan seseorang, tidaklah benar. Ia berpendapat bahwa
hubungan antara perbuatan dan sikap lemah. Menurut Triandis, yang mengutip hasil
penelitian La Piere (1934, dalam M. Ide Said D.M., 1987:57), mengatakan bahwa
tidak ada hubungan apa pun antara sikap dengan perbuatan (Halim, 1978:15).
Triandis sendiri tidak sependapat dengan La Piere. Ia masih mengakui adanya
hubungan antara sikap dengan perbuatan, walaupun hubungan itu lemah. Sikap
menyangkut apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh seseorang, sedangkan perbuatan
adalah fungsi sikap, norma, sosial, kebiasaan, dan akibat yang mungkin terjadi. Factor
terbesar pengaruhnya pada perbuatan adalah kebiasaan dan factor yang paling kecil
ialah sikap (Halim, 1978:15).
Penelitian Sugar (1967, dalam M. Ide Said D.M., 1987:58) membuktikan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara sikap dan perbuatan dalam hubungannya
kegemaran merokok di kalangan mahasiswa. Lambert (1967) mengemukakan bahwa
kegiatan dan keberhasilan belajar bahasa sangat terpengaruh oleh motivasi si belajar
yang bersangkutan, dan motivasinya ditentukan oleh pandangan dan sikapnya
mengenai belajar bahasa.
Sikap bahasa yang dikemukakan oleh Garvin dan Mathiot (1972) adalah kesetiaan
bahasa yang mendorong suatu masyarakat bahasa mempertahankan bahasanya,
kebanggaan bahasa yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan santun
merupakan factor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yakni kegiatan
penggunaan bahasa (Halim, 1978:6)
Gardner, dkk (1974). Menemukan bahwa motivasi sebagai konstruk (construct)
ditentukan oleg variabel sikap tertentu. Para penelitian tersebut mengembangkan
baterai tes, yang digunakan untuk menentukan peranan yang dimainkan oleh variabel-
variabel sikap dalam hubungannya dengan variabel motif integrative dalam proses
belajar mengajar bahasa prancis.
Schumann (1974:128) mengatakan bahwa ada sejumlah sikap yang berperan
dalam proses belajar-mengajar bahasa, yakni apa yang disebut kelompok sokap
khusus (specific attitudes) dan kelompok sikap umum generalized attitudes). Sikap
umum adalah sikap yang secara tidak langsung berhubungan dengan masyarakat
bahasa yang menggunakan bahasa sasaran, namun variabel tersebut tetap disebutkan
variabel sikap. Variabel adalah etnosentrisitas (etnocentricity), autoritarianisme
( authoritarianism), anomie, dan hasrat untuk maju (need achievement). Para peneliti
menyimpulkan bahwa si belajar bahasa yang nonetnosentrik dan nonautoritariabisne
lebih baik penguasaan bahasanya daripada si belajar yang memiliki sifat etnosentrik
dan autoritarianisme terhadap kebudayaan sasaran.
5. Factor motivasi
Motivasi adalah salah satu variabel yang menentukan keberhasilan proses belajar-
mengajar.
a. Definisi motivasi
Para ahli pernah memberikan definisi motivasi antara lain ialah Hebb (1955) dan
Young (1961). Hebb mendefinisikan motivasi sebagai “a general drive state…the
drive is an energizer” (Hebb, 1955:249). Motivasi menurut Hebb adalah suatu kemudi
yang berupa energy atau tenaga yang dapat menggerakkan sesuatu tindakan.
Young (1961:24) member definisi motivasi sebagai “the energetic aspect and ….
animal activity …..”. ia mengatak bahwa motivasi adalah semua factor yang
menentukan (all determinants) aktivitas manusia dan bintang, suatu proses yang
memacu tindakan untuk mencapai suatu kemajuan, dan mengatur pola-pola tindakan.
Dari definisi Hebb dan Young dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu
tenaga atau kekuatan yang mendorong suatu tindakan. Motivasi memacu, menopang,
dan mengatur pola-pola tindakan sehingga terjadi keaktifan dalam bertindak.
b. Motivasi bahasa
Motivasi dibagi atas dua tipe yakni motivasi intrinsic dan motivasi ekstrinsik.
Motivasi intrinsik adalah keinginan seseorang untuk mencapai tujuan yang bukan
pemberian atau ganjaran dari luar (no external reward). Ganjaran adalah kepuasan
seseorang karena kemampuan melakukan sesuatu. Motivasi ekstrinsik adalah
motivasi yang ditimbulkan oleh factor eksternal.
Pada hakikatnya motivasi adalah dikotomi, yakni motivasi integrative dan
motivasi instrumental. Motivasi integrative adalah kemauan yang dimilikinya untuk
mempelajari bahasa sasaran karena ia berkomunikasi dengan masyarakat pemakai
bahasa sasaran dan menjadi anggota yang dihargai dalam kelompok etnolinguistik
bahasa itu. Motivasi instrumental adalah suatu ciri khas yang berupa keinginan untuk
mempelajari bahasa kedua, semata-mata karena suatu tujuan yang bermanfaat.
Penelitian Gardner dan Lambert menunjukkan bahwa orientasi integrative
merupakan predictor yang sangat kuat dalam keberhasilan belajar mengajar bahasa.
Kesimpilan yang dilakukan oleh Spolsky (1969:281-282). Ia mengatakan bahwa
seseorang yang belajar bahasa kedua akan lebih baik penguasaannya apabila ia ingin
menjadi pengikut kelompok tersebut, yang menjadi factor penting daalam proses
belajar-mengajar bahasa.
Penelitian yang dilakukan oleg Gardner dam Lambert (1972) di Maine (Amerika
Serikat), Feenstra dan Santos (1970) serta Gardner dan Santos (1972) di pilipina,
Lukmani (1972) di india, dan Jayatilaka (1982) di Malaysia menunjukkan bahwa
orientasi instrumental lebih banyak berperan dalam proses belajar-mengajar bahasa
kedua apabila dibandingkan dengan orientasi integratif.
6. Penutup
Simpulan
a. Variabel ranah kognitif, afekti, dan psikomotor memegang peranan dalam mentalitas
masyarakat pengguna bahasa.
b. Era globalisasi pada hakikatnya merupakan era informasi dan informasi adalah
komunikasi yang wahana utamanya adalah bahasa.
c. Dalam proses belajar mengajar bahasa diperlukan suatu kiat yang dapat
mempermudah keberhasilan dalam belajar. Kiat tersebut ialah memahami peranan
ranah afektif yang didalamnya tercakup factor sikap dan motivasi.
d. Sikap dan motivasi berperan dalam proses belajar mengajar bahasa. Orang yang
memiliki sikap positif dalam proses belajar mengajar bahasa, yakni orang yang
memiliki sifat empati, kurang memiliki sifat etnosentrisitas, autoritarianisme, dan
anomi lebih berhasil dalam proses belajar mengajar bahasa.
e. Orang yang memiliki motif integrative dan instrumental lebih berhasil dalam proses
belajar mengajar bahasa daripada orang yang tidak memiliki motif tersebut.
f. Sikap dan motif bahasa yang positif mendorong kebanggaan berbahasa dan
penggunaan bahasa yang baik dan benar.
Saran
a. Bahasa sebaiknya memperhatikan pelajaran bahasa dalam era globalisasi karena siapa
yang menguasai informasi harus menguasai bahasa.
b. Bahasa sebaiknya memanfaatkan ranah afektif dalam proses belajar mengajar bahasa.
c. Sikap empati, etnosentrisitas, autoritarianisme, dan anomi perlu mendapat perhatian
karena sifat-sifat sangat berpengaruh dalam keberhasilan prose belajar mengajar
bahasa.
d. Penguasaan bahasa-bahasa daerah dan bahasa Indonesia perlu mendapat perhatian
dalam proses belajar mengajar bahasa karena bahasa-bahasa tersebut adalah jati diri
bangsa yang merupakan bahagian kebudayaan yang perlu ditumbuh kembangkan.
e. Bahasa asing (khususnya bahasa Inggris), harus dipelajari dan dikuasai karena
merupakan kunci era globalisasi, dimana kultur Negara-negara berbahasa Inggris
tersebut mendominasi kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dewasa ini.
BAB X
PERANAN INTELEGENSI DALAM BELAJAR BAHASA
1. Pendahuluan
Peranan intelegensi dalam belajar bahsa belum banyak diketahui. Untuk itu,
dalam tulisan ini diuraikan tentang konsep intelegensi, hakikat intelegensi, dan kaitan
intelegensi dengan bahasa.
2. Konsep Intelegensi
Moskowitz dan Orgel (1969:246) menyatakan bahwa intelegensi bukanlah
perkataan yang menyatakan sebuah substansi, melainkan suatu kualitas tingkah laku
perorangan pada suatu waktu. Suatu perbuatan dapat dikatakan intelegen apabila
perbuatan itu dapat dilakukan dengan cepat, tepat, dan mudah apabila dibandingkan
dengan orang lain.
Vernon (dalam Chauhan, 1978 : 276-278; Baharuddin, 1982 : 64)
mendeskripsikan intelegensi atas tiga pendekatan.
a. Pendekatan Biologis
Pendekatan biologis ini melihat manusia sebagai suatu makhluk hidup di antara
makhluk hidup lainnya sehingga apabila psikologi dianggap sebagai salah satu
disiplin ilmu pengetahuan biologi, intelegensi juga dapat dikatakan sebagai adaptasi
dari lingkungannya.
b. Pendekatan Psikologis
Hebb menytakan adanya dua macam intelegensi, yakni intelegensi tipe A dan
intelegensi tipe B. Intelegensi tipe A adalah potensi atau kapasitas untuk
perkembangan, sdangkan intelegensi tipe B adalah fungsi otak yang telah diwarnai
oleh pengalaman.
c. Pendekatan Operasional
Suatu defenisi disebut operasional apabila menyatakan kondisi yang dapat
diamati. Misalnya, untuk menciptakan IQ seseorang, ia harus diberi tes IQ dan
kemudian dihitung hasilnya. Hal ini memberikan batasan tentang arti IQ yang
terkandung dalam sebuah kalimat: “Si Muhammad Ide Said D. M. memiliki IQ 140”.
Definisi operasional ini penting untuk mengetahui apa yang disebut konsep
intelegensi.
Freeman mendefinisikan intelegensi sebagai
a) Kemampuan Beradaptasi
b) Kemampuan Belajar
c) Kemampuan Berpikir Abstrak
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa intelegensi adlah
kemampuan dasar yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan segala tindakan dan
mampu mengantisipasi dirinya m,enghadapi tantangan lingkungannya.
Charles Spearman mengatakan bahwa tiap orang memiliki factor intelegensi
umum yang disebut factor “g” dan kemampuan-kemampuan khusus disebut factor “s”.
oleh karena itu, teori Spearman disebut teori ua factor.
Thurstone mengatakan bahwa intelegensi dapat dipecah menjadi sejumlah
kemampuan primer. Dengan menggunakan analisis factor pada sejumlah tes, Thurstone
mendapatkan 7 faktor kemampuan primer dalam intelegensi, yakni:
1) Komprehensi verbal (kemampuan memahami arti kata)
2) Kefasihan kata (kemampuan memikirkan kata secara tepat)
3) Memori (kemampuan mengingat kembali rangsangan verbal)
4) Kemampuan bekerja dalam bilangan
5) Kemampuan melakukan visualisasi hubungan antara bentuk dan ruang
6) Kecepatan perceptual (kemampuan memahami visual secara terinci dengan cepat
dan melihat persamaan dan perbedaan antara objek yang digambarkan)
7) Kemampuan menyusun batasan umum berdasarkan contoh yang diberikan
Guilford mengatakan bahwa bentuk fungsi intelektual dapat dimasukan ke dalam
salah satu bahagian dimensi intelek, yakni operasi, isi, dan produk. Untuk itu, tes
intelegensi harus mencakup ketiga dimensi tersebut. Model struktur intelek
meperlihatkan 4 isi (figural, simbolik, semantic, dan behavioral), 5 operasi (kognisi,
memori, berpikir konvergen, dan evaluasi), dan 6 produk (unit, kelas, relasi, system,
transformasi, dan implikasi).
3. Kaitan Intelegensi dengan Bahasa
Berbicara dalam berpikir adalh dua hal yang independen. Sebaliknya, ada
pendapat yang mengatakan bahwa berpikir dan berbahasa merupakan dua hal yang
berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan. Tidak ada bahasa tanpa pikiran dan tidak ada
pikiran tanpa bahasa. Frei (dalam Tallei, 1983) mengatakan bahwa bahasa adalah
manifestasi pikiran dan kegiatan berbicara adalah manifestasi bahasa. Kemampuan-
kemampuan yang menjadi atribut intelegensi yang penting dalam bahasa, yaitu: (1)
kemampuan berpikir abstrak (kemampuan menggunakan symbol-simbol dan konsep-
konsep), (2) komprehensi verbal (kemampuan memahami arti atau makna kata-kata), (3)
kemampuan analogi (kemampuan argument dengan cara analogi)
4. Penutup
Dapat disimpulkan bahwa intelegensi mempunyai peranan yang penting dalam
belajar bahasa. Untuk itu, para guru bahasa perlu mengetahui tingkat intelegensi siswa-
siswanya agar pengajaran bahasa lebih berhasil sebagaimana yang diharapkan.s