BAB I PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % Tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16 %), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah. Daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2500 kasus baru pertahun untuk provinsi Guang-Dong (Kwantung) atau prevalensi 39,84/100.000 penduduk. Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-viru EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipan. Namun, virus ini bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak, geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman, dan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % Tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma
nasofaring, kemudian diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16 %), dan
tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah. Daerah Cina bagian
selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2500 kasus baru pertahun untuk provinsi
Guang-Dong (Kwantung) atau prevalensi 39,84/100.000 penduduk. Di Indonesia frekuensi
pasien ini hampir merata di setiap daerah. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya
kanker nasofaring, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan,
Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia.
Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-viru EB yang cukup
tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya,
tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipan. Namun, virus
ini bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi
kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak, geografis, rasial, jenis kelamin, genetik,
pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman, dan parasit.
Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki daripada perempuan.
Diagnosis karsinoma nasofaring dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik hingga
pemeriksaan penunjang radiologis. Pemeriksaan radiologis yang disarankan PET-CT yang
memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi dibandingkan MRI.
Pengelolaan pada karsinoma nasofaring dengan menggunakan kemoterapi, radiasi, dan
terapi suportif. Dosis kemoterapi dan radiasi akan bergantung pada stadium karsinoma
nasofaring yang diderita pasien tersebut.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % Tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma
nasofaring, kemudian diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16 %), dan
tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah. Berdasarkan data
Laboratorium Patologi Anatomik tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam kedudukan
lima besar dari tumor ganas tubuh, manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara,
tumor getah bening dan tumor kulit.1,2
Daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2500 kasus
baru pertahun untuk provinsi Guang-Dong (Kwantung) atau prevalensi 39,84/100.000 penduduk.
Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin
Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di
Denpasar, 11 Kasus di Padang, dan Bukittinggi. Demikian pula angka-angka yang didapatkan di
Medan , Semarang, Surabaya, dan lain-lain menunjukan bahwa tumor ganas ini terdapat merata
di Indonesia. 1,2
2.2 Anatomi Nasofaring
Nasopharing berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya
dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle.
Batas nasopharing:
Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif
karena tergantung dari palatum durum.
Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
Posterior : - vertebra cervicalis I dan II
- Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar
2
- Mukosa lanjutan dari mukosa atas
Lateral : - Mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang
- Muara tuba eustachii
- Fossa rosenmulleri
2.3 Faktor Resiko
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehingga
kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand,
Malaysia, Singapura dan Indonesia. Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika
bagian utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo dan Alaska dan Tanah Hijau yang
diduga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam musim
dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamine. 2
Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah Virus
Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-viru EB yang cukup
tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya,
tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipan. Banyak
penyelidikan mengenai perangai dari virus ini dikemukakan, tetapi virus ini bukan satu-satunya
faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini,
seperti letak, geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup,
kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman, dan parasit. Tumor ini lebih sering ditemukan pada
laki-laki dan sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya
dengan faktor genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Faktor lingkungan yang
berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak
dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas.
Kebiasaan penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging dan ikan) terutama
pada musim dingin menyebabkan tingginya kejadian karsinoma ini. 1,2
Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter dari pasien karsinoma
nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu contoh terkenal di Cina Selatan, satu
keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien karsinoma nasofaring dan 1
menderita tumor keganasan organ lain. Pengaruh genetik terhadap karsinoma nasofaring sedang
dalam pembuktian dengan mempelajari cell-mediated immunity dari virus EB dan tumor
3
associated antigens pada karsinoma nasofaring. Sebagian besar pasien adalah golongan sosial
ekonomi rendah dan hal ini menyangkut pula dengan keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup.
Pengaruh infeksi dapat dilihat dengan menurunnya kejadian malaria akan diikuti oleh
menurunnya pula Limfoma Burkitt, suatu keganasan yang disebabkan oleh virus yang sama.4
2.4. Histopatologi
Terdapat tiga subtipe yang dikenal menurut klasifikasi WHO yaitu :
1. Tipe 1: Squamous cell carcinoma, biasanya ditemukan pada populasi orang tua
2. Tipe 2: Non-keratinizing carcinoma
3. Tipe 3: undifferentiated carcinoma
Kebanyakan kasus pada masa kanak-kanak dan remaja adalah tipe 3, dengan beberapa kasus
tipe 2. Tipe 2 dan tipe 3 sering dihubungkan dengan kenaikan titer virus Epstein-Barr,
sedangkan tipe 1 tidak. 7
.
2.5 Gejala dan Tanda
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring
sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala
nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus
diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada
sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawah
mukosa (creeping tumor). 3,5
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor
dekat muara tuba Eustachius (fossa Rossenmuller). Gangguan dapat berupa tinnitus, rasa tidak
nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien dengan gangguan
pendengaran ini baru kemudian disadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring. 3,4
Karsinoma nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini.
Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke II, IV, VI , dan dapat pula ke
4
V, sehingga tidak jarang gejala diplopia yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata,
neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan ahli saraf jika belum terdapat
keluhan lain yang berarti.3
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring.
Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak
disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah
terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk. Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk
benjolan di leher yang mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat
keluhan lain.4
2.5 Stadium
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (2002): 8
T Tumor Primer
T0 Tidak tampak tumor
T1 Tumor Terbatas di Nasofaring
T2 Tumor meluas ke jaringan Lunak
T2a Perluasan tumor ke orofaring dan / atau rongga hidung tanpa perluasan ke
parafaring
T2b Disertai perluasan ke parafaring
T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan/ atau sinus paranasal
T4 Tumor dengan perluasan intracranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf cranial, fossa
infratemporal, hipofaring,, orbita atau ruang masticator
N Pembesaran kelenjar getah bening regional
NX Pembesaran Kelenjar Getah Bening tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada Pembesaran
N1 Metastasis kelenjar getah bening unilateral dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula
N2 Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
5
N3 Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau
terletak dalam fossa supraklavikula
N3a Ukuran lebih dari 6cm
N3b Di dalam fossa supraklavikula
M Metastasis jauh
Mx Metastasis tidak dapat dinilai
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
Tabel Penentuan stadium karsinoma nasofaring
Stadium Tumor Nodul Metastasis
Stadium 0 T1s N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0,N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0
T3 N2 M0
T4 N0,N1,N2 M0
Stadium Iva T4 N0,N1,N2 M0
Stadium IVb Semua T N3 M0
Stadium IVc Semua T Semua N M1
2.6 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis : dari anamnesis yang baik maka dapat diketahui gejala-gejala yang muncul,
faktor risiko yang dimiliki, riwayat kanker dalam keluarga.
6
2. Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik meliputi inpeksi dan palpasi daerah wajah dan leher
(limfadenopati), pemeriksaan penglihatan (diplopia, gerak bola mata), pemeriksaan
pendengaran, pemeriksaan hidung (rhinoskopi anterior), dan pemeriksaan saraf kranial.
3. Pemeriksaan rhinoskopi posterior : dengan menggunakan cermin kecil dengan pegangan
yang panjang untuk melihat nasofaring.
4. Biopsi dan pemeriksaan patologi anatomi : merupakan gold standard untuk penegakkan
diagnosis, dengan mengambil sedikit sampel jaringan sel kanker yang kemudian dilihat di
bawah mikroskop. Ada 2 cara biopsi yang bisa dilakukan yaitu endoscopic biopsi atau fine
needle aspiration (FNA) biopsi.
5. Pemeriksaan Radiologi9
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang diagnostic
yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada daerah
nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.
a) Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkina
adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
- Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue technique)
- Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
- Tomogram Lateral daerah nasofaring
- Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
b) CT Scan
Pada umumnya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos adalah
jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan
terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan
sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke
jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam
mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan dibandingkan dengan foto polos ialah
kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring,
7
baik itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, gengan criteria
tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih
akurat dapat dinilai pakah sudah ada perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada
tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial.
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkina
adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
- Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue technique)
- Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
- Tomogram Lateral daerah nasofaring
- Tomogram Antero-posterior daerah nasofaring
c) MRI
Pada MRI akan didapatkan gambaran yang rinci, maka dapat pula digunakan untuk
mencari penyebaran kanker di leher maupun pada bagian tubuh lain.
d) PET scan
Dengan pemeriksaan ini lewat suatu bahan radioaktif yang disuntikkan ke dalam darah,
maka sel-sel kanker di tubuh yang berkembang pesat akan menyerap sejumlah besar zat
radioaktif tersebut. Gambaran mungkin tidak serinci CT maupun MRI tetapi dapat
memberikan informasi kemungkinan penyebaran sel kanker pada seluruh tubuh.
Pemeriksaan dengan menggunakan MRI dan PET-CT memiliki keakuratan diagnosis
yang hampir sama yaitu 90,5% dan 87,8% pada penelitian yang melibatkan 150 pasien.
Namun, penelitian lain yang melibatkan 78 pasien menunjukkan bahwa PET-CT lebih
akurat dan spesifik dibandingkan MRI. 7
6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang,
maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini.
7. Pemeriksaan serologi4
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen) untuk
infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring.
Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium
8
lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan
titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya
100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk
menetukan prognosis pengobatan, titer yang didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan
terbanyak 160.
Perlu ditekankan adanya pemeriksaan secara regional untuk melihat adanya pendesakkan
pada daerah retrofaring, parafaring, spatium pterigomaxillaris, fossa infratemporal, dan sinus
paranasal. Disamping itu perlu pemeriksaan intracranial, jika ada ekspansi tumor ke intracranial
sampai parenkim otak atau sinus kavernosus. Penyebaran intracranial dapat terjadi melalui
beberapa foramen, yaitu foramen ovale, foramen lacerum, foramen spinosum, canalis carotis,
dan foramina jugulare. 3
2.7 Pengelolaan
Rencana pengelolaan pada semua stadium terlebih dahulu harus dirundingkan oleh ahli
multidisiplin yaitu bagian THT / bedah, onkologi radiasi, onkologi medis. Radioterapi masih
merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan megavoltage dan pengaturan
dengan computer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian
tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus.
Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih
tetap terbaik sebagai terapi adjuvant (tambahan). Bebagai macam kombinasi dikembangkan,
yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti. Pemberian
adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil saat ini sedang dikembangkan
dengan hasil sementara yang cukup memuaskan.
Beberapa pasien dengan tahap lanjut atau dengan adanya metastasis mungkin membutuhkan
pengobatan tambahan (diseksi leher atau radiasi) tergantung pada respon pasien terhadap
pengobatan lini pertama.10 Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap
benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah
penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh (residif)
diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi.
a. Persiapan / perencanaan sebelum radioterapi
9
Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis histopatologik,
sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita juga dipersiapkan secara
mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya diberikan penerangan
mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin timbul
selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai
adalah mutlak. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak
diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita, seperti
obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil
memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh kurang
dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000
per uL.
b. Penentuan batas-batas lapangan radiasi
Tindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin berhasilnya
suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan sekitarnya /
potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah bening regional. Untuk
tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari :
1. Seluruh nasofaring
2. Seluruh sphenoid dan basis oksiput
3. Sinus kavernosus
4. Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus dan
foramen jugularis lateral.
5. Setengah belakang kavum nasi
6. Sinus etmoid posterior
7. 1/3 posterior orbit
8. 1/3 posterior sinus maksila
9. Fossa pterygoidea
10. Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar
11. Kelenjar retrofaringeal
10
12. Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan
supraklavikular.
Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum nasi dan orofaring
harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui dasar tengkorak sudah
mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi terletak di atas fossa pituitari.
Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid dan maksila atau orbit, seluruh sinus
atau orbit harus disinari. Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk,
kecuali apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase ke
kelenjar sub maksila.
c. Teknik Radioterapi
Ada 3 cara utama pemberian radioterapi, yaitu :
1. Radiasi Eksterna/Teleterapi
Sumber sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar tubuh.
Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Besar energi yang diserap oleh suatu
tumor tergantung dari :
a. Besarnya energi yang dipancarkan oleh sumber energi
b. Jarak antara sumber energi dan tumor
c. Kepadatan massa tumor.
Teleterapi umumnya diberikan secara fraksional dengan dosis 150-250 rad per
kali, dalam 2-3 seri. Diantara seri 1-2 atau 2-3 diberi istirahat 1-2 minggu untuk
pemulihan keadaan penderita sehingga radioterapi memerlukan waktu 4-6 minggu.
2. Radiasi Interna / Brachiterapi
Sumber energi ditaruh di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di dalam rongga
tubuh. Ada beberapa jenis radiasi interna :
1) Interstitial
Radioisotop yang berupa jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya jarum radium
atau jarum irridium.
2) Intracavitair
Pemberian radiasi dapat dilakukan dengan :
11
- After loading
Suatu aplikator kosong dimasukkan ke dalam rongga tubuh ke tempat tumor.
Setelah aplikator letaknya tepat, baru dimasukkan radioisotop ke dalam aplikator
itu.
- Instalasi
Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh, misal : pleura atau
peritoneum.
3) Intravena
Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam vena. Misalnya I131 yang disuntikkan IV
akan diserap oleh tiroid untuk mengobati kanker tiroid.14
d. Dosis radiasi
Ada 2 jenis radiasi, yaitu :
1. Radiasi Kuratif
Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita dengan metastasis
jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher dan supra klavikular. Dosis total
radiasi yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan fraksi 200 rad, 5 x pemberian per
minggu. Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan
penyinaran supraklavikular dikeluarkan.
2. Radiasi Paliatif
Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radiasi untuk
metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu. Untuk kekambuhan
lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.12
e. Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon
dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di
nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
12
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membersar 25% atau lebih.
f. Terapi radiasi dan kemoterapi untuk kanker nasofaring
Terlokalisir atau tahap awal/ stadium I
Pada kasus tumor terlokalisir atau pada tahap awal penyakit, pasien mungkin hanya
membutuhkan terapi radiasi definitif pada nasofaring.
Dosis radiasi: 66-70 Gy (2.0 Gy / fraksi; setiap hari senin-jumat selama 7 minggu)
Kemoterapi dengan terapi radiasi untuk kanker nasofaring tahap lanjut terlokalisir/
stadium II-IVB
Pasien dengan kanker nasofaring stadium II-IVB membutuhkan kemoterapi bersamaan
dengan radiasi. Diikuti dengan kemoterapi ajuvan (tambahan). Regimen kemoterapi yang
dapat diterima untuk kanker nasofaring lanjut (stadium II-IVB):
- Cisplatin 100 mg/m2 diberikan secara intravena pada hari ke 1, 22, dan 43 disertai
radiasi, dan cisplatin 80 mg/m2 secara intravena pada hari pertama ditambah
fluorouracil (5-FU) 1000 mg/m2/hari secara kontinu secara intravena melalui
cairan infuse pada hari ke 1-4 setiap 4 minggu selama 3 siklus.
- Dosis radiasi selama kemoradiasi tambahan adalah 70 Gy (2.0 Gy/fraksi)
Kemoterapi lini pertama untuk kanker nasofaring rekuren atau dengan metastasis
Stadium IVC
Pasien kanker nasofaring rekuren atau dengan metastasis (setelah terapi lini pertama)
perlu diterapi dengan kemoterapi berdasar platinum (platinum-based) standar.
Regimen kemoterapi yang dapat diterima pasien dengan kanker nasofaring dalam
progress atau rekuren (target adalah mencapai 4-6 siklus) :
- Cisplatin 75 mg/m2 secara intravena pada hari pertama ditambah docetaxel 75
mg/m2 secara intravena pada hari pertama setiap 3 minggu, atau
- Cisplatin 75 mg/m2 secara intravena pada hari pertama ditambah paclitaxel 175
mg/m2 secara intravena pada hari pertama setiap 3 minggu, atau
- Carboplatin area under the curve (AUC) 6 secara intravena pada hari pertama
ditambah docetaxel 65mg/m2 secara intravena pada hari pertama setiap 3 minggu,
atau
13
- Carboplatin AUC 6 IV pada hari pertama ditambah paclitaxel 200 mg/m2 secara
intravena pada hari pertam setiap 3 minggu, atau
- Cisplatin 100 mg/m2 secara intravena pada hari pertama ditambah 5-FU 1000
mg/m2/hari dengan secara tetes intravena kontinyu pada hari 1-4 setiap 3 minggu,
atau
- Cisplatin 50-70 mg/m2 secara intravena pada hari pertama ditambah gemcitabine
1000 mg/m2 secara intravena pada hari ke 1, 8, dan 15 setiap 4 minggu, atau
- Gemcitabine 1000 mg/m2 secara intravena pada hari ke 1, 8, dan 15 setiap 4
minggu, atau
- Gemcitabine 1250 mg/m2 secara intravena pada hari 1 dan 8 setiap 3 minggu, atau
- Methotrexate 40 mg/m2 secara intravena setiap minggu (1 siklus adalah 3 minggu
pengobatan), atau
- Paclitaxel 200 mg/m2 secara intravena setiap 3 minggu, atau
- Docetaxel 75 mg/m2 secara intravena setiap 3 minggu.
Kemoterapi lini kedua dan ketiga untuk kanker nasofaring dengan metastasis atau
rekuren / stadium IVC
- Kemoterapi lini kedua diberikan jika terdapat progresi atau rekurensi setelah
melengkapi terapi lini pertama.
- Terapi lini ketiga diberikan jika terdapat progresi atau rekurensi setelah melengkapi
terapi lini pertama dan kedua.
- Regimen lini kedua dan ketiga serupa dengan regimen yang digunakan pada terapi lini
pertama tetapi biasanya dengan rerata respon yang lebih rendah dan angka ketahanan
hidup lebih baik.
- Pasien diterapi dengan kemoterapi berdasar platinum jika belum pernah diberikan
obat-obat berdasar platinum.
- Beberapa regimen secara umum digunakan khusus untuk kanker kepala dan leher, dan
regimen lainnya telah secara spesifik diteliti untuk pengobatan kanker nasofaring.
Regimen kemoterapi yang dapat diterima pasien kanker nasofaring dengan progress atau
rekuren setelah lengkap terapi lini pertama :
- Cisplatin 75 mg/m2 secara intravena pada hari pertama ditambah docetaxel 75
mg/m2 secara intravena pada hari pertama setiap 3 minggu, atau
14
- Cisplatin 75 mg/m2 secara intravena pada hari pertama ditambah paclitaxel 175
mg/m2 secara intravena pada hari pertama setiap 3 minggu, atau
- Carboplatin AUC 6 secara intravena pada hari pertama ditambah docetaxel 65
mg/m2 secara intravena pada hari pertama setiap 3 minggu, atau
- Carboplatin AUC 6 secara intravena pada hari pertama ditambah paclitaxel 200
mg/m2 secara intravena pada hari pertama setiap 3 minggu, atau
- Cisplatin 100 mg/m2 secara intravena pada hari pertama ditambah 5-FU 1000
mg/m2/hari secara intravena kontinu melalui cairan infuse pada hari 1-4 setiap 3
minggu, atau
- Cisplatin 50-70 mg/m2 secara intravena pada hari pertama ditambah gemcitabine 1000
mg/m2 secara intravena pada hari ke 1, 8 dan 14 setiap 4 minggu, atau
- Gemcitabine 1000 mg/m2 secara intravena pda hari ke 1, 8, dan 15 setiap 4 minggu,
atau
- Gemcitabine 1250 mg/m2 secara intravena pda hari ke 1 dan 8 setiap 3 minggu, atau
- Methotrexate 40 mg/m2 secara intravena setiap minggu (1 siklus setara pengobatan 3
minggu), atau
- Paclitaxel 200 mg/m2 secara intravena setiap 3 minggu, atau
- Paclitaxel 200 mg/m2 secara intravena setiap 3 minggu, atau
- Docetaxel 75 mg/m2 secara intravena setiap 3 minggu.
2.8 Pemantauan Radiasi
Pemantauan selama pelaksanaan radiasi
- pemeriksaan klinis sekurang-kurangnya setelah 5 kali radiasi atau setiap kali pasien
mengalami keluhan baru yang timbul setelah radiasi.
- catat keluhan pasien, bila perlu diberi terapi medikamentosa
- periksa Hb, Leukosit, Trombosit setiap setelah 5 kali radiasi. Syarat dilakukan radiasi:
Hb > dari 10 gr %, Leukosit > dari 3000, Trombosit > dari 80.000
Pemantauan setelah selesai radiasi
- Dilakukan setiap bulan sekali selama 6 bulan kedua dan setiap 3 bulan selama 6 bulan
ketiga dan seterusnya.
- Nilai keadaan umum, tanda-tanda metastasis ke hati, tulang atau paru-paru
15
- Nilai tumor primer dan kelenjar-kelenjar, ada tidaknya residu tumor / kelenjar dilakukan
paling sedikit 8 minggu setelah radiasi selesai. Harus dibedakan antara jaringan tumor
dan fibrosis pasca radiasi. 7
16
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. S
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sindurejo, Toroh, Grobogan
Agama : Islam
Pekerjaan : -
Masuk RSDK : 24 September 2012
No. CM : C335951
3.2. DATA DASAR
Anamnesis ( 24 September 2012)
Data dasar diperoleh dari autoanamnesis, alloanamnesis, dan catatan medis pasien.
Keluhan utama : melanjutkan pengobatan
Riwayat penyakit sekarang :
± 3 tahun sebelum masuk rumah sakit pasien merasakan sering mimisan dari kedua hidung,
hilang timbul, sehari sebanyak 3 – 4 kali, kira – kira sebanyak satu sendok makan setiap kali
mimisan, mimisan dapat darah berhenti sendiri. Kurang pendengaran (-), telinga gemrebeg
(-), hidung buntu (-), pilek (-), melihat dobel (-), pandangan kabur (-), nyeri kepala (-),
demam (-), timbul benjolan (-).
+ 1 tahun sebelum masuk rumah sakit, mimisan dari kedua hidung menjadi semakin sering
dan timbul benjolan di leher kanan, sebesar kelereng, keras, nyeri (-), yang semakin lama
semakin membesar. Telinga kiri kurang pendengaran (+), gemrebeg (+), hidung buntu (-),
melihat dobel (-), pandangan kabur (-), nyeri kepala (-), demam (-), makan-minum tidak
tersedak.
17
+ 7 bulan sebelum masuk rumah sakit, benjolan dirasakan membesar menjadi sebesar telur
ayam, keras, nyeri (-), telinga kiri kurang pendengaran (+), gemrebeg (+), hidung buntu (-),
melihat dobel (-), pandangan kabur (-), nyeri kepala (-), demam (-). Karena dirasakan
mengganggu pasien kemudian memeriksakan diri ke RSUD Purwodadi. Oleh dokter bedah
dilakukan biopsi benjolan leher, dikatakan terdapat radang kronik. Kemudian pasien dirujuk
ke RS. Dr. Kariadi. Di RSDK dilakukan pemeriksaan teropong hidung dan biopsi, didapatkan
hasil tumor ganas nasofaring. Setelah itu pasien menjalani pengobatan kemoterapi dan
radioterapi.
Saat ini pasien datang untuk melakukan pemeriksaan CT Scan untuk evaluasi setelah
pengobatan kemoterapi. Sampai saat ini pasien sudah menjalani kemoterapi sebanyak 8 kali
dan radioterapi (ER) sebanyak 27 kali. Keluhan saat ini mimisan (-), hidung tersumbat (-),
nyeri kepala (+), penglihatan dobel (-), telinga kiri kurang pendengaran (-), telinga gemrebeg