AL-QUR’AN TENTANG KEMAJEMUKAN UMAT MANUSIA 1 Dr. Zulkarnaini Abdullah اء: ي ب نالأ( ن مي ل عا ل ل مة ح لأ ر ا اك ي سل ر ا وما107 ) Kami tidak mengutusmu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (Al-Anbiya’: 107) A. Pendahuluan Kemajemukan atau pluralitas adalah istilah yang kerap terdengar namun jarang disadari keberadaannya, terutama sekali ketika kemajemukan itu terkait dengan kepentingan- kepentingan tertentu. Kemajemukan adalah sifat alam semesta, termasuk manusia, pandangan, gagasan dan keyakinannya. Dunia ini penuh dengan keragaman, dan itulah yang membuat ia terlihat indah dan kaya raya. Memaksakan keseragaman pada dunia ini akan menimbulkan kebosanan dan bahkan kecacatan. 1 Makalah (revisi) ini pernah disampaikan pada acara Dialog Publik Nurcholish Madjid Memorial Lecture di IAIN Ar-Raniry, 11 Juli 2007. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam)Al-Anbiya’: 107(
A. Pendahuluan
Kemajemukan atau pluralitas adalah istilah yang kerap terdengar namun jarang disadari
keberadaannya, terutama sekali ketika kemajemukan itu terkait dengan kepentingan-
kepentingan tertentu. Kemajemukan adalah sifat alam semesta, termasuk manusia,
pandangan, gagasan dan keyakinannya. Dunia ini penuh dengan keragaman, dan itulah
yang membuat ia terlihat indah dan kaya raya. Memaksakan keseragaman pada dunia
ini akan menimbulkan kebosanan dan bahkan kecacatan.
Kemajemukan secara umum mungkin tidak ada masalah, tetapi ketika ia
dikaitkan dengan pikiran, pandangan dan keyakinan, maka manusia mulai merasa
tersinggung. “Kita” menginginkan semua orang lain berpikiran, berpandangan dan
berkeyakinan seperti yang “kita” miliki. Dalam kenyataannya, hal ini tidak mungkin,
walaupun kita sangat menginginkannya.2 Kemajemukan dalam berkreativitas dan
beragama telah menjadi fakta tidak terbantahkan dalam sejarah.
Persoalannya adalah satu: manusia cenderung ingin menang dan berkuasa.
Sementara itu, kemajemukan meniscayakan kita bertenggang rasa, egaliter, bersikap
1Makalah )revisi( ini pernah disampaikan pada acara Dialog Publik Nurcholish Madjid Memorial Lecture di IAIN Ar-Raniry, 11 Juli 2007.
2Bandingkan Q. S. Yusuf: 103.
1
terbuka dan bahkan mengalah. Bagi sebagian orang, hal ini mungkin menyakitkan.
Tetapi, sesungguhnya dunia tidak pernah sempurna, dan manusia akan terus menerus
dalam pertikaian jika selalu memaksakan kehendaknya sendiri. Untuk itu, negosiasi
barangkali perlu dihidupkan. Negosiasi dapat memberikan kita sedikit kelenturan dan
menghilangkan ketegangan-ketegangan. Negosiasi artinya bersikap saling terbuka dan
berbagi untuk kepentingan dan keuntungan yang lebih besar nilainya dibandingkan hasil
yang akan diperoleh dari pertikaian dan permusuhan.
Tulisan ini bukan tentang negosiasi, tetapi tentang isu-isu yang terkait dengan
pesan-pesan al-Qur’an mengenai kemajemukan umat manusia, yang mengisyaratkan
akan kebutuhan kita kepada negosiasi itu.
Fakta Sejarah
Kita hari ini dilahirkan ke dalam dunia yang kaya dengan keragaman budaya, ras,
bahasa dan agama. Kita berbeda dari nenek moyang kita di zaman dahulu kala, ketika
dunia ini amat luas bagi mereka. Dunia hari ini amat sempit dan kita semakin
berdesakan. Semakin banyak penghuni bumi ini, semakin banyak pula keragaman yang
mereka hasilkan, dan kita dituntut untuk semakin dapat bertenggang rasa. Memaksakan
keseragaman adalah hal yang sia-sia. Al-Qur’an mengingatkan bahwa Tuhan pun lebih
suka membiarkan kemajemukan itu, meskipun pada dasarnya kalau memang Tuhan
menginginkan Ia dapat saja menyeragamkan segalanya.3
Sejarah manusia dimulai dengan kehidupan yang amat sederhana. Gagasan,
pemikiran, pakaian dan peralatan yang dimiliki oleh manusia purba atau manusia
3Q. S. Al-Maidah: 48.
2
generasi awal – dapat dibayangkan – pasti amat sedikit, simpel dan terbatas. Dunia ini
pun amat luas bagi mereka. Ketika manusia telah membentuk komunitas-komunitas
yang banyak, mereka mulai menghuni dunia ini pada wilayah-wilayah berbeda. Akan
tetapi mereka tetap saja jarang atau bahkan tidak memiliki kontak sama sekali antara
satu komunitas dengan yang lain. Mereka hidup dan membangun peradaban secara
terpisah-pisah. Karena itu, keyakinan-keyakinan atau konsep-konsep tentang agama
atau aturan hukum yang mereka anut dipahami sebagai kebenaran tunggal.
Pandangan-pandangan dari komunitas asing sering dianggap keliru dan jahat.
Hal ini dikarenakan suatu masyarakat biasanya hidup secara harmonis di bawah
bimbingan sebuah otoritas suci dan jarang menerima konsep-konsep dari luar. Di
samping itu tidak jarang kehadiran orang asing dalam kehidupan mereka membawa
malapetaka atau hal-hal yang tidak diinginkan. Lebih jauh, kehadiran kelompok asing
acap kali dengan tujuan perampasan dan kolonialisasi. Pada akhirnya, setiap kelompok
masyarakat membangun self image tersendiri dan memusuhi setiap orang luar dan
segala sesuatu yang asing dianggap negatif dan berbahaya.
Pandangan-pandangan keagamaan juga dipengaruhi oleh sikap masyarakat
seperti itu. Agama menjadi sebuah “kebenaran” yang berada pada pihak “kita”,
sementara apa yang dianut oleh “orang lain” yang berbeda adalah “kebatilan”. Maka
pemeluk-pemeluk agama yang berbeda sering kali terlibat dalam konflik dan bahkan
perang. Mereka saling memusuhi lebih disebabkan oleh karena mereka tidak saling
mengenal. Karena itu, untuk mengembangkan nilai-nilai persaudaraan umat manusia,
konsep ta‘ārafū sangat ditekankan al-Qur’an.4
4Q. S. Al-Hujurat: 13.
3
Al-Qur’an, Sejarah dan Pesan Moral
Kita perlu bercermin pada sejarah.5 Sejarah adalah masa lalu yang telah dilintasi
manusia. Tidak seorang pun dapat kembali ke masa lalu, tetapi masa lalu itu dapat
menjadi cermin bagi umat manusia yang hidup di masa kini. Sebab itu, siapa pun tidak
dapat melupakan masa lalunya bila ia ingin membangun kehidupan masa kini yang
lebih baik dan proporsional. Dalam pandangan Islam, sejarah selalu menampilkan sisi
edukasi yang mengingatkan manusia akan kebesaran Tuhan dan kelemahan manusia di
hadapan mahkamah waktu. Dalam al-Qur’an pesan-pesan moral dari berbagai peristiwa
sejarah selalu ditekankan: Manusia-manusia zalim tidak pernah menang melawan
hukum sejarah; hanya komunitas yang tunduk pada Tuhan, berlaku adil dan jujur, yang
pada akhirnya diselamatkan.6
Menurut Islam, pertikaian di antara umat manusia tidak seharusnya terjadi atas
nama agama. Tuhan itu satu dan umat manusia juga satu. Konsekuensinya adalah
bahwa agama yang diturunkan Tuhan juga satu; tidak mungkin ada pertentangan di
antara agama Tuhan. Menurut al-Qur’an, Tuhan telah mewasiatkan pesan keagamaan
yang sama kepada setiap Nabi, dan pertikaian di antara umat penerima wasiat-wasiat
tersebut hanya disebabkan oleh kedengkian semata.7 Al-Qur’an, dan juga para Nabi,
menentang mereka yang sombong, yang menuhankan diri sendiri atau menuhankan
makhluk untuk kepentingan komersial dan kekuasaan. Karena itu para nabi selalu
berhadapan dengan para penguasa korup dan para elit yang rakus di zamannya.
5Q. S. Al-Hasyr: 18.6Lihat misalnya kisah-kisah dalam Q. S. Al-Qashash dan Q. S. Yusuf.7Q. S. Al-Baqarah: 213.
4
Kenyataan Masa Kini
Kemajuan dalam bidang teknologi telah menjadikan dunia ini bagaikan sebuah
perkampungan sempit yang mudah sekali terjangkau ke segala penjuru dan menjadikan
interaksi antar umat manusia yang berasal dari latar budaya dan agama yang sangat
beragam semakin mudah. Manusia yang berbeda pandangan dan berbeda kepentingan
dapat saling berhubungan dan berkomunikasi dengan lancar di belahan dunia mana pun
mereka berada. Berbagai ideologi dan konsep-konsep kehidupan berkembang dengan
cepat dari satu kelompok manusia kepada yang lainnya.
Kenyataan ini pada satu sisi membawa dampak positif bagi mereka yang
berhasrat untuk menciptakan kehidupan harmonis antar umat manusia di dunia ini.
Keragaman atau pluralitas semakin tampak sebagai sebuah kenyataan kehidupan yang
tidak perlu dipungkiri. Manusia memiliki latar belakang pengalaman sejarah dan budaya
berbeda, dan ini telah melahirkan cara pandang terhadap berbagai masalah dengan
metode berbeda-beda pula. Keragaman pada akhirnya bukan lagi sesuatu yang harus
ditakuti, tetapi semakin terlihat sebagai sebuah kekayaan visi manusia untuk
membentuk dinamika kehidupan yang lebih indah dan dapat saling mengisi.
Namun demikian, dalam bidang teologi, agama masih menyisakan persoalan
yang sangat rumit dan memerlukan kepada telaah yang lebih dalam. Agama telah
memasuki wilayah mentalitas manusia yang cukup dalam; agama juga sampai hari ini
masih menyisakan berbagai misteri dan fenomena yang sangat kompleks dan bahkan
kadang-kadang tidak terjelaskan. Orang masih saja saling membunuh dan
menghancurkan demi agama. Beberapa tahun lalu, beberapa orang anak sekolah di
Poso, misalnya, pernah disembelih oleh orang-orang tertentu; para pelakunya
5
menganggap itu termasuk di antara tugas suci dalam agama mereka. Ini amat
mengerikan dan ini adalah sisi yang sangat mengkhawatirkan dari ideologi agama. Oleh
sebab itu kajian ulang secara serius dan secara sungguh-sungguh terhadap interpretasi
ajaran-ajaran agama benar-benar sangat diperlukan.
Dunia telah menghadirkan jalan yang sangat mudah bagi umat manusia yang
hidup di zaman ini untuk saling berkomunikasi dan berdialog. Tapi amat disayangkan,
fasilitas ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Hubungan antar umat manusia yang
berbeda-beda kini sudah sangat dekat secara fisik, namun mereka masih sangat
berjauhan dari sisi spiritualitas.8 Kita belum mampu untuk sedikit merendah hati dan
belajar tentang orang lain; malah kita lebih senang bila dapat mengalahkan dan
menghancurkan orang lain. Padahal setiap agama mengajarkan untuk saling berdamai
dan bersaudara.
***
Abad ini memperlihatkan kesadaran baru umat manusia. Dengan teknologi dan ilmu
pengetahuan kontemporer yang memperkenalkan berbagai kemudahan bagi manusia
dalam beraktivitas, mata manusia menjadi semakin terbuka terhadap berbagai misteri
mengenai dirinya. Berbagai cabang ilmu pengetahuan dan hasil-hasil penelitian
memberi tahu kita berbagai aspek dari kehidupan manusia dan mempersiapkan kita
menghadapi berbagai tantangan yang mungkin tiba, meski kelihatan tidak akan pernah
berakhir. Namun, setidak-tidaknya, manusia semakin sadar betapa tidak ada batasnya
cakrawala, imajinasi dan ilmu pengetahuan; dan betapa kecil dirinya di tengah-tengah
segala eksistensi.
8Lihat “Pendahuluan” buku Reuven Firestone, Children of Abraham: An Introduction to Judaism for Muslims, )Hoboken: Ktav Publishing House, 2001(.
6
Kesadaran ini meniscayakan manusia melihat dirinya sebagai makhluk yang
terbatas dan tidak pernah berhenti berproses untuk mencapai yang lebih baik.
Kebenaran tidak lagi berhenti pada sebuah titik, tetapi bergerak dan dinamis. Kebenaran
tidak dapat lagi dianggap absolut dan monopoli orang atau kelompok tertentu;
kebenaran harus selalu diuji dalam konteks, tempat dan waktu yang berbeda. Jika
kesadaran ini benar telah tumbuh dengan baik, maka manusia akan enggan menciptakan
permusuhan dan amat malu bersikap arogan; manusia akan selalu berpikir tentang
dirinya sebagai makhluk yang mungkin saja bersalah dan enggan membuat klaim-klaim
kebenaran dengan cara-cara yang merendahkan orang lain. Dengan demikian,
persaudaraan kemanusiaan menjadi sesuatu yang amat mungkin.
Kesadaran Historis
Sejarah mengingatkan manusia akan kekayaan khazanah peradaban yang luar biasa.
Sejarah juga menyadarkan manusia akan keragaman warna hidup yang mereka jalani
dari waktu ke waktu, perubahan-perubahan yang mereka alami dan diversitas
lingkungan sosial yang telah terbentuk sepanjang lintasan waktu yang pernah mereka
kenal. Sejarah adalah masa lalu yang tidak mungkin lagi diubah, tetapi ia dapat menjadi
pelajaran berharga bagi manusia yang menyadarinya. Sejarah adalah Mahaguru, dan
waktu adalah Universitasnya. Tidak ada orang yang dapat melawan waktu; dan tidak
ada orang yang mengabaikan sejarah melainkan ia juga akan diabaikan. Karena itu
sejarah amat penting untuk membangun kesadaran bahwa manusia hidup dengan cara
yang sangat beragam dan mereka tidak pernah berhenti berubah. Kesadaran historis
inilah yang mengawali konsep pluralisme.
7
Kesadaran historis ditekankan karena history berperan amat penting dalam
menampilkan wajah peradaban dan agama manusia yang sangat variatif. Orang yang
mengenal sejarah akan mengenal dengan baik posisi dirinya di tengah-tengah perubahan
dan ia akan sadar bahwa ternyata waktu telah menghapus banyak hal, menimbulkan
banyak hal dan mengubah arah kehidupan. Sebagai contoh, kita dapat belajar dari
kenyataan, bahwa banyak tokoh atau pemikir )Muhammad Abduh, misalnya( yang
dibenci, dicela dan dimusuhi pada suatu zaman, kemudian namanya menjadi harum dan
pikiran-pikirannya dikagumi di zaman yang lain. Fakta ini kiranya menjadikan kita
bersikap hati-hati ketika berhadapan dengan pikiran-pikiran para pemikir yang
melampaui zamannya. Mereka seharusnya diberikan apresiasi, bukan malah dituduh
dengan tuduhan-tuduhan yang tidak layak serta dimusuhi.
Orang yang membaca sejarah Islam dengan baik, akan mampu melihat dirinya
beserta segala keyakinan, paham dan lingkungan sosial yang ikut bersamanya sebagai
bagian dari kekayaan peradaban Islam yang sangat luas, beragam dan tidak satu warna.
Sejarah adalah sebuah kesaksian betapa manusia telah menempuh jalan yang sangat
banyak untuk mencapai tujuan yang sama yaitu kebaikan dan kesejahteraan; sejarah
juga menjadi saksi betapa banyak manusia atau generasi yang menyesal karena
kebodohannya.
Konsep Pluralisme
Pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan satu fakta kemanusiaan, yaitu
keragaman dan kemajemukan. Pluralisme meniscayakan sikap lapang dada dan
pengakuan yang tulus akan segala perbedaan kemanusiaan sebagai fakta yang harus
8
dipelihara dan tidak perlu diubah. Dalam pluralisme, keragaman dan perbedaan itu
diakui dan tidak untuk dileburkan supaya menjadi satu, mono atau tunggal.
Pluralisme menolak segala bentuk absolutisme, pembenaran terhadap diri sendiri
dan penafian terhadap orang lain. Pluralisme melampaui segala penghalang
kemajemukan, sebab pluralisme berangkat dari pengakuan akan keterbatasan segenap
pencerapan, penafsiran dan penggapaian manusia. Manusia tidak dapat sepenuhnya
melepaskan diri dari subjektivitas, emosi, kepentingan, keterbatasan nalar, keterbatasan
perspektif dan daya cakup. Karena itu pluralisme merupakan ketulusan menerima
keyakinan, paham, pandangan dan tafsiran orang lain tidak pada tingkat inferior. Semua
keyakinan keagamaan, misalnya, adalah setaraf dalam sisi kemanusiaannya, meskipun
tidak sama – setaraf dalam pengertian tidak ada yang superior dan tidak ada yang
inferior. Pluralisme tidak berarti memandang semua agama sama, seperti dipersepsikan
kebanyakan orang; pluralisme adalah kesadaran yang menghindarkan seseorang dari
sikap gegabah menjustifikasi orang lain sebagai keliru, sesat, bodoh atau apa pun yang
bersifat merendahkan. Seorang pluralis adalah orang yang selalu membuka diri kepada
kebenaran dan tidak berhenti belajar.
Karena itu, pluralisme mensyaratkan relativisme: kebenaran, sejauh menyangkut
penalaran manusia, tidak ada yang absolut. “Kebenaran” selalu terkait dengan berbagai
konteks dan kebutuhan kesejahteraan umat manusia. Relativisme soal kebenaran tidak
berarti relativisme yang tidak terkendali, sehingga segala sesuatu menjadi tidak jelas
dan tidak ada yang dapat disepakati. Relativisme di sini memberi makna bahwa
kebenaran )dalam konteks manusia( selalu dapat berkembang dan dapat dikoreksi;
kebenaran selalu terbuka dan berproses menuju tingkat yang lebih tinggi.
9
Dengan pandangan seperti itu, pluralisme membuka ruang yang longgar untuk
dialog dan persaudaraan kemanusiaan. Pluralisme bukan sekedar toleransi dalam
pengertian membiarkan setiap orang bebas dengan keyakinannya “asal tidak ribut-
ribut”, tetapi lebih jauh dari itu, pluralisme menghendaki seseorang menghargai dan
bahkan tidak pernah segan belajar dari orang lain atau dari umat lain. Oleh sebab itu,
pluralisme kadang-kadang amat menyakitkan bagi sebagian orang, ketika ia bersikap
fanatik dan arogan.
Kemunculan Pluralisme Agama
Sejarah agama penuh dengan berbagai perdebatan, konflik dan permusuhan. Sering kali
sebuah agama bukan hanya memusuhi dan membenci agama lain, tetapi juga memiliki
konflik di dalam dirinya sendiri. Pertentangan dan bahkan perang di antara kelompok-
kelompok dalam satu agama bukanlah cerita yang mengejutkan. Sejarah umat Yahudi,
Kristen dan Islam penuh dengan lumuran darah saudaranya sendiri. Umat Kristen di
Eropa sebelum zaman pencerahan saling berperang di antara mazhab-mazhab yang
berbeda. Dalam Islam, tidak lama )hanya dalam hitungan tahun( setelah Nabi
Muhammad wafat, umatnya saling membunuh karena persoalan kepemimpinan.
Lebih jauh lagi, dalam agama-agama telah muncul pula apa yang disebut oleh
orang-orang Kristen dengan Inkuisisi, yaitu pengadilan agama terhadap kaum bid’ah
dan sesat. Ketika dalam sebuah agama muncul otoritas tertentu dalam memberi makna
atas teks ajaran agama, maka segala tafsiran yang berbeda akan dituduh sesat dan
bahkan kafir serta dianggap halal darahnya. Banyak ilmuwan telah dibunuh karena hal
tersebut. Mereka digantung atau dipancung, hanya karena mengeluarkan opini berbeda
10
dalam memberikan tafsiran terhadap masalah tertentu yang terkait dengan agama atau
apa yang mereka yakini sebagai bagian dari agama.
“Muak” terhadap konflik dan permusuhan yang bukan hanya menyedihkan
tetapi juga mengerikan itulah yang telah melahirkan gagasan dari sejumlah para pemikir
untuk mewacanakan hidup damai tanpa permusuhan atas dasar perbedaan agama dan
mazhab. Dalam masyarakat Kristen Eropa, perkembangan ini terjadi secara sistematis,
sehingga telah melahirkan tokoh-tokoh, pemikir atau filosof yang melakukan kritik
terhadap agama. Mereka adalah para pendeta atau agamawan yang kemudian
melakukan kritik keras terhadap keyakinan mereka sendiri. Perkembangan tersebut
menjadi semakin jelas dalam wacana-wacana berikutnya di abad 19 dan 20 ketika John
Hick berbicara mengenai berbagai model pluralisme agama. Hick pernah
mempertanyakan: bukankah lebih dari 90 % penganut agama menganut agama yang
diwariskan orangtua atau masyarakatnya? Lalu bagaimana kita dapat mengklaim
kebenaran absolut dari agama tertentu yang kita anut? Berangkat dari kenyataan
tersebut Hick mencoba memformulasikan paradigma baru dalam memahami agama.
Pandangan Kristen yang percaya keselamatan hanya ada melalui Kristus atau ajaran
Gereja dikritiknya dengan tajam. Akhirnya, di abad 21, dialog antar agama terutama
antara Kristen dan Islam dalam bentuk yang lebih sehat dan terbuka menjadi semakin
mendapat penguatan.
Peran Teologi
Teologi adalah interpretasi atas keyakinan keagamaan. Teologi berarti pemaknaan
terhadap Tuhan atas dasar pemahaman dan pengetahuan manusia. Teologi merupakan
interpretasi manusia. Akan tetapi, penggagas-penggagas teologi begitu berani, dan
11
bahkan dengan sikap arogan, mengklaim kebenaran dirinya dan menolak setiap
pemahaman yang berbeda sebagai bidah, sesat dan bahkan kufur. Teologi inilah yang
telah memainkan peran penting pembentukan sikap keberagamaan kebanyakan umat
manusia. Teologilah yang telah menentukan bagaimana kita bersikap terhadap orang
lain. Teologi pula yang telah “memasukkan orang ke surga dan ke neraka.”
Karena itu seharusnya teologi perlu dicermati kembali dengan baik dan
direkonstruksi untuk mewadahi kebenaran yang lebih tercerahkan. Teologi perlu dikaji
kembali dengan melihat konteks di mana ia tumbuh dan dirujuk kembali secara lebih
proporsional kepada teks ajaran agama yang asli. Dalam Islam, teologi telah menjadi
sumber perpecahan yang amat dahsyat dan bahkan perang yang mengerikan. Perdebatan
teologis bukan hanya menciptakan permusuhan dengan non Muslim, tetapi juga sesama
Muslim – tidak berbeda dengan apa yang dialami masyarakat Kristen di seluruh dunia.
Namun sekarang, dengan kesadaran baru, masyarakat agama akan melihat teologi
dengan pandangan yang berbeda. Kesadaran baru inilah yang harus terus menerus
diwacanakan dan diperkaya agar menjadi semakin solid dalam melahirkan teologi yang
lebih manusiawi dan bersaudara.
Kemajemukan dalam Beragama
Al-Qur’an diturunkan di negeri Arab melalui lisan seorang Arab dengan bahasa Arab
yang fasih, namun membawa pesan-pesan universal menyangkut moralitas dan tatanan
kehidupan spiritual dan sosial umat manusia. Pada masa awal, ketika ayat-ayat al-
Qur’an diturunkan di Mekkah, pesan-pesannya sangat menekankan aspek keimanan dan
konsekuensi moral dari iman tersebut. Manusia diajak untuk menyadari bahwa mereka
12
dan alam semesta tidaklah terjadi dengan sendirinya, secara tiba-tiba dan tanpa tujuan;
Tuhanlah yang telah menciptakan mereka dan berbagai fasilitas kehidupan yang dapat
mereka nikmati, supaya mereka bertanggung jawab dan bersyukur, tidak berbuat aniaya
dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Di Mekkah al-Qur’an berhadapan dengan
penduduk kota itu yang korup, terutama kaum elit yang arogan, materialistis dan
mementingkan diri sendiri. Mereka terpecah belah oleh fanatisme kesukuan, saling
berperang dan tidak peduli kepada kaum lemah, perempuan dan anak-anak yatim.
Mereka menyembah atau mengagung-agungkan berhala )karya mereka sendiri( dan
menjadikan agama sebagai alat mencapai keuntungan materi dan kepuasan pribadi.
Dalam konteks situasi kota Mekkah seperti itulah al-Qur’an turun melakukan berbagai
koreksi, di antaranya yaitu mengingatkan kaum Mekkah bahwa meskipun mereka
beragam dalam suku dan kabilah, di hadapan Allah adalah sama; kemuliaan itu diraih
melalui ketulusan hati dan kebaikan amal. Kepada mereka diajarkan bahwa agama yang
benar adalah agama yang datang dari Tuhan, dan dalam kehidupan sesama mereka
harus bertenggang rasa dan saling mengasihi.
Pada periode Madinah, setelah Nabi Muhammad berhijrah meninggalkan
Mekkah, al-Qur’an berhadapan bukan hanya dengan keragaman etnis dan suku bangsa,
tetapi juga dengan keragaman keyakinan atau agama. Orang-orang Yahudi telah cukup
lama berdomisili di Madinah, dan ajaran agama mereka telah membawa pengaruh
terhadap masyarakat. Mereka bahkan telah meninggalkan kesan kebanggaan yang
mendalam terhadap agama dan tradisi mereka sendiri. Orang-orang Arab penduduk
Madinah mengagumi mereka, karena berbagai kelebihan yang mereka miliki. Mereka
mendominasi pasar dan bekerja secara profesional. Mereka dikenal dengan nama Ahli
Kitab – sebuah nama yang prestisius.
13
Nabi Muhammad mengambil inisiatif untuk bersahabat dengan bekerja sama
dan bahkan Nabi menaruh harapan yang besar pada mereka kiranya akan menjadi
pendukungnya,9 walaupun Nabi kemudian justru menjadi kecewa. Al-Qur’an pada
awalnya mengajak mereka mengikuti wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad,
namun karena mereka enggan, al-Qur’an memberikan otonomi kepada mereka untuk
menjalankan agama berdasarkan pedoman kitab suci mereka sendiri )karena al-Qur’an
pada prinsipnya membenarkan kitab-kitab terdahulu(.10 Ketegangan-ketegangan yang
terjadi antara Nabi dan orang-orang Yahudi telah menyebabkan turunnya ayat-ayat yang
mengingatkan kaum Bani Israil itu agar melihat masa lalunya untuk dijadikan
pelajaran.11 Akan tetapi orang-orang Yahudi itu tidak mengambil iktibar, bahkan
mereka melakukan pengkhianatan dan Nabi kemudian mengusir mereka dari Madinah;
al-Qur’an turun menegaskan permusuhan mereka yang tiada hentinya itu.12
Kemajemukan beragama menjadi ternoda oleh pengkhianatan tersebut, sebab
mereka membawa bersamanya nama agama. Al-Qur’an sangat concern mengenai hal
ini, karena itu berulang kali manusia diperingatkan agar tidak terjebak dalam fanatisme
dan eksklusivisme. Al-Qur’an melarang manusia mengikuti sebuah keyakinan tanpa
sikap kritis13 dan mencela orang yang gegabah mengklaim dirinya sebagai yang paling
bersih dan benar14 serta menyalahkan dan menghina orang lain. Orang mukmin sendiri
9Q. S. Al-Baqarah: 41.10Q. S. Al-Maidah: 46-47. 11Q. S. Al-Baqarah: 40-74.12Q. S. Al-Baqarah: 120.13Q. S. Al-Bqarah: 170.14Q. S. Al-Najm: 32.
14
dilarang oleh al-Qur’an mencela orang kafir sekalipun, sebab tindakan tersebut akan
menimbulkan reaksi yang tidak sehat dan memperparah suasana.15
Kemajemukan adalah bagian dari fakta kehidupan manusia, karena itu al-Qur’an
tidak pernah memaksa siapa pun untuk mengikuti kebenaran yang ditawarkannya.16 Al-
Qur’an lebih banyak bersikap keras dan memaksa dalam hal-hal yang menyangkut
pembelaan bagi nilai-nilai kemanusiaan. Orang-orang yang dizalimi dan terus menerus
diperangi, diizinkan oleh al-Qur’an untuk melakukan bela diri dan berperang.17 Perang
atas nama agama atau untuk membela kebenaran agama tidak pernah ditawarkan oleh
al-Qur’an.
Kemajemukan Budaya
Dalam al-Qur’an Surat al-Hujurat: 10-13 disebutkan:
ترحمون لعلكم الله واتقوا أخويكم بين فأصلحوا إخوة المؤمنون * إنما
نساء وال منهم خيرا يكونوا أن عسى قوم من قوم يسخر ال آمنوا الذين أيها يا
باأللقاب تنابزوا وال أنفسكم تلمزوا وال منهن خيرا يكن أن عسى نساء من
الظالمون هم فأولئك يتب لم ومن اإليمان بعد الفسوق االسم * بئس
وال تجسسوا وال إثم الظن بعض إن الظن من كثيرا اجتنبوا آمنوا الذين أيها يا
الله واتقوا فكرهتموه ميتا أخيه لحم يأكل أن أحدكم أيحب بعضا بعضكم يغتب
رحيم تواب الله * إن
15Q. S. Al-An‘am: 108.16Q. S. Al-Baqarah: 256.17Q. S. Al-Hajj: 39-40.
15
إن لتعارفوا وقبائل شعوبا وجعلناكم وأنثى ذكر من خلقناكم إنا الناس أيها يا
خبير عليم الله إن أتقاكم الله عند * أكرمكم
Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat-ayat di atas dikutip untuk memperlihatkan beberapa tingkatan konflik yang
mungkin terjadi di antara sesama manusia. Sesama orang mukmin bisa saja terjadi
konflik, karena itu diperlukan kesiapan sosial untuk mendamaikan mereka. Konflik
sesama mukmin bukan saja terjadi antar perorangan tetapi mungkin juga antara
kelompok-kelompok tertentu. Semua itu bermula dari prasangka-prasangka yang tidak
benar, isu-isu yang tidak diuji kebenarannya, pembicaraan di belakang dan juga sikap
yang arogan.
Pada ayat 13 disebutkan soal pentingnya saling mengenal antara sesama umat
manusia yang berbeda latar belakang budaya. Konflik dan pertikaian biasanya terjadi
16
karena saling salah pengertian, dan hal ini biasanya muncul karena tidak atau kurangnya
komunikasi. Komunikasi saja sebenarnya kurang memadai jika tidak dilanjutkan
dengan kajian-kajian yang lebih mendalam. Dalam konteks kehidupan dunia sekarang
ini, saling kenal mengenal harus dilakukan dengan serius melalui telaah atau penelitian
budaya. Kita sering mengabaikan “orang asing” dan menganggap segala yang asing itu
bukan kebutuhan kita, atau bahkan mengancam diri kita. Jika dunia ini telah menjadi a
global village, maka asumsi seperti itu hanya akan memperburuk atmosfer kehidupan.
Pada ujung ayat di atas terdapat isyarat bahwasanya tidak ada guna melihat orang lain
dengan penuh cela; yang penting adalah sama-sama memperbaiki diri dan bertanggung
jawab.
Penutup: Dialog dan Negosiasi
Al-Qur’an adalah teks kitab suci. Teks selalu tidak sempurna dan memerlukan
interpretasi untuk dapat dimaknai secara baik dan diterapkan secara praktis dalam
kehidupan nyata. Al-Qur’an telah ditafsirkan dengan metodologi yang beragam dan
telah menghasilkan karya-karya yang luar biasa banyaknya dengan tafsiran yang
beragam pula. Kita yang hidup dalam kekayaan makna al-Qur’an hari ini mungkin
merasa bingung untuk memilih tafsir mana yang terbaik untuk diikuti. Sebenarnya hal
ini tidak perlu dikhawatirkan sebab orang mukmin disuruh mengikuti al-Qur’an, bukan
tafsir.
Tafsir adalah hak semua orang sejauh ia yakin dapat melakukannya, baik dengan
bantuan atau tanpa bantuan orang lain. Untuk itu ada beberapa tawaran prinsip yang
membantu seseorang bernegosiasi dengan diversitas tafsir yang ada di sekitar dirinya, di
17
antara lain: Pertama, seseorang perlu menyadari bahwa ia tidak berangkat dari awal.
We all “start in the middle.” Banyak orang mengatakan bahwa menafsirkan kitab suci
haruslah dengan sikap yang netral. Dalam tradisi Islam sudah dikenal luas bahwa di
antara syarat seorang mufassir adalah tidak fanatik kepada suatu mazhab atau aliran.
Seorang mufassir harus dapat memosisikan dirinya sebagai seorang peneliti yang
independent, tidak memihak dan jujur secara akademik. Ini sepertinya telah menjadi
mitos yang menyenangkan untuk didengar dan mungkin orang mengira amat mudah
melakukannya. Namun, sesungguhnya manusia tidak terlepas dari dunia dalam dirinya.
Pada saat membaca sebuah teks, seseorang acap kali membacanya dengan paradigma
yang telah terbentuk dalam dirinya; seseorang adakala membuat teks itu masuk akal
atau menjadikannya sebagai nonsense, sesuai dengan keyakinannya tentang kebenaran.
Pada saat memahami sebuah teks, orang lalu cenderung memahaminya sejalan dengan
warisan tradisi dan budaya yang dimilikinya: prasuposisi, pradisposisi dan
prapemahaman selalu mempengaruhi cara pikir dan kecenderungan nalar dirinya. Jadi
dengan menyadari hal ini, orang dapat lebih berhati-hati dalam memosisikan diri
berhadapan dengan teks. Sikap seperti ini tidak mesti mengubah pandangan seseorang
mengenai otoritas teks, tetapi dapat mengubah cara seseorang menemukan makna yang
diungkapkan oleh teks.
Kedua, berdialog dengan orang-orang yang tidak sepaham. Adalah awal dari
kesalahan ketika orang menganggap dirinya tidak pernah bersalah dan amat sempit
pemikiran orang yang menganggap dirinya berpikiran sangat luas. Dunia dan
pengetahuan tidak ada batas. Manusia tidak akan mampu melihat segala sesuatu
sekaligus; manusia penuh dengan keterbatasan. Ketika orang melihat ke satu arah,
pandangannya tertutup untuk arah yang lain. Orientasi menghalangi seseorang untuk
18
menggapai segalanya. Inilah yang oleh Mikhail Bakhtin )w. 1975(, seorang filosof
Bahasa dan teoritikus sastra Rusia, disebut dengan law of placement.18 Ruang dan waktu
menghalangi manusia mengusai segalanya. Karena itu setiap orang membutuhkan orang
lain yang bahkan berbeda orientasi dan pandangan darinya; karena itu, juga sangat
penting bagi seseorang untuk mengakui bahwa hanya karena ia tidak dapat melihat
sesuatu yang orang lain dapat melihatnya, tidak berarti sesuatu itu tidak eksis. Dengan
berdialog dengan “orang lain,” seseorang akan mendapatkan a new “surplus of
seeing.”19 Dialog tidak mesti membawa seseorang kepada sebuah kesimpulan yang
harus diambil, tetapi dialog dapat memperkaya dunia setiap orang yang terlibat di
dalamnya.
Ketiga, melakukan pergantian pemaknaan, antara diam dan berjuang.
Perjuangan ini tentu saja tampak tidak akan berujung ketika ia terus menerus
didialogkan. Poin kedua di atas membawa seseorang pada perputaran dialog yang tidak
berkesudahan. Ini akan membingungkan. It is thus writ in heaven that any critic who
has not given up will remain to some degree confused.20 Tidak akan ada manusia yang
dapat menyelesaikan dialog ini dengan tuntas. Lalu mengapa berdialog? Karena
manusia telah memulainya; mereka sedang berada di tengah jalan. Jadi pertanyaannya
bukan mengapa berdialog, tetapi bagaimana seseorang harus menyikapinya21 Dalam hal
memahami teks kitab suci, seseorang memang harus berjuang untuk mendapatkan
pemahaman yang benar, tetapi tidak berarti bahwa ketika dialog tidak berhenti maka
18Michael Holquist, Dialogism: Bakhtin and His World, )London and New York: Routledge, 1990(, 21.
19Ibid., 36.20Wayne C. Booth, Critical Understanding: The Power and Limits of Pluralism,
)Chicago: University of Chicago Press, 1979(, 340.21Douglas Jacobsen, “Multicultural Evangelical Hermeneutics and Ecumenical
Dialogue”, Journal of Ecumenical Studies, Vol. 37, No. 2, Spring 2000, 135.
19
kebenaran juga tidak pernah diterapkan dalam kehidupan. Orang perlu “beristirahat”
sejenak untuk mengamalkan “kebenaran” yang telah dicapainya, untuk kemudian
bergumul kembali dengan pemahaman dan makna-makna kehidupan yang tiada
habisnya. Inilah barangkali makna taqarrub dalam tradisi Islam: bahwa kebenaran
hanya dapat didekati, tidak dapat ditangkap hakikatnya.
Wallāhu a‘lam
20
BIBLIOGRAFI
Al-Qur’an
Firestone, Reuven )2001(. Children of Abraham: An Introduction to Judaism for Muslims. Hoboken: Ktav Publishing House, 2001.
Holquist, Michael )1990(. Dialogism: Bakhtin and His World. London and New York: Routledge.
Booth, Wayne C. )1979(. Critical Understanding: The Power and Limits of Pluralism. Chicago: University of Chicago Press.
Jacobsen, Douglas. “Multicultural Evangelical Hermeneutics and Ecumenical Dialogue” dalam Journal of Ecumenical Studies, Vol. 37, No. 2, Spring 2000.