AL-QUR’AN DAN JIMAT (Studi Living Qur’an pada Masyarakat Adat Wewengkon Lebak Banten) TESIS Diajukan Kepada Program Magister Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag) Oleh: Yadi Mulyadi NIM: 21150340000013 PRODI KONSENTRASI TAFSIR PROGRAM MAGISTER FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017
209
Embed
AL-QUR'AN DAN JIMAT (Studi Living Qur'an pada Masyarakat Adat Wewengkon Lebak Banten)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
AL-QUR’AN DAN JIMAT
(Studi Living Qur’an pada Masyarakat Adat Wewengkon Lebak Banten)
TESIS
Diajukan Kepada Program Magister Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Memenuhi
Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag)
Oleh:
Yadi Mulyadi
NIM: 21150340000013
PRODI KONSENTRASI TAFSIR
PROGRAM MAGISTER FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
i
ABSTRAK
Yadi Mulyadi, “Al-Qur’an dan Jimat (Studi Living Qur’an pada Masyarakat
Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten),” konsetrasi Tafsir Program
Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.
Penelitian ini bermula dari permasalahan bagaimana masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten menggunakan al-Qur’an sebagai jimat.
Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan meyakini jimat sebagai jalan alternatif
secara praktis untuk mencapai sebuah tujuan dalam memecahkan pelbagai
masalah. Al-Qur’an, pada dasarnya berfungsi sebagai petunjuk bagi seluruh
manusia dan khususnya umat Islam. Oleh sebagian manusia, al-Qur’an juga dapat
difungsikan sebagai jimat, karena diyakini bahwa ayat-ayat bahkan huruf-huruf
al-Qur’an mengandung kekuatan magis yang dapat digunakan untuk tujuan-tujuan
tertentu seperti pengobatan, kekebalan, karismatik, keselamatan, dan penglaris.
Seperti yang telah dikatakan Bruce Lawrence, sebagian orang-orang Islam
memilih al-Qur’an untuk mengambil ayat-ayat tertentu dan mengeluarkannya dari
konteks secara keseluruhan ketika mereka akan membuat pernyataan tentang
sebuah pandangan normatif dunia Islam. Sebagian umat muslim menganggap al-
Qur’an sebagai mukjizat yang magis, menggunakan kata-katanya dengan cara
berbisik, menciumnya, atau meminumnya yang dapat digunakan sebagai
kesembuhan dan harapan-harapan tertentu.
enelitian ini, menggunakan metode etnografi ames . Spradley yang
bersifat deskriptif kualitatif. Tujuan dari etnografi, untuk memahami cara-cara
kehidupan lain dari sudut pandang masyarakat. Adapun studi pengumpulan data
dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi dengan
menggunakan pendekatan antropologi. Pendekatan ini digunakan berusaha untuk
memotret apa adanya tentang dimensi-dimensi kepercayaan, keyakinan, ritual dan
tradisi secara holistik.
Adapun makna dari mempraktikan jimat al-Qur’an itu bagian dari
penghormatan, pemuliaan dan pelestarian masyarakat terhadap al-Qur’an. Motif
dan tujuan masyarakat Kasepuhan dalam menggunakan jimat karena memiliki
beragam manfaat, antara lain: Pertama, jimat dapat menyelamatkan diri dan
memberikan kepercayaan/ketenangan dalam menyelesaikan berbagai persoalan
hidup. Kedua, dapat berfungsi sebagai karismatik yang tinggi dalam pandangan
setiap manusia demi mempertahankan eksistensi kekuasaan. Ketiga, digunakan
sebagai penglaris dalam perdagangan untuk kepentingan stabilitas ekonomi.
Keempat, sebagai penyembuh dari berbagai penyakit untuk kepentingan
masyarakat luas baik yang mengendap penyakit yang tak kunjung sembuh dan
lain sebagainya. Dalam prosesi penggunaan jimat mesti dalam keadaan suci, tidak
digunakan dalam keangkuhan dan kesemobongan serta mematuhi petunjuk kyai.
Adapun ketika mempergunakannya, jimat diletakan pada bagian ambang pintu
dan lemari, mengenakan jimat pada bagian sabuk, meletakan jimat ke dalam
dompet, dan mencampurkan jimat yang berukuran kecil ke dalam parfum.
ii
ABSTRACT
Yadi Mulyadi, “Al-Quran and Jimat (Study Living Qor’an on Adat
Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten Community),” concentration
Qur’anic interpretation Graduate Program, Faculty of Ushuluddin Syarif
Hedayatullah State Islamic University Jakarta 2017.
This research beginning how the Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak
Banten community used the Qor’an as a talisman. The community believes the
talisman as a practical alternative way to achieve a goal in solving various
problems. The Qor’an, serves as a guide for all humans and especially Muslims.
The Qor’an can also function as a talisman, because it is believed that the verses
even the letters of the Koran contain magical powers that can be used for certain
purposes such as medication, immunity, charismatic, salvation, and a ruler.
As has been said Bruce Lawrence, some Muslims choose Qor’an to take
certain verses and take it out of context as a whole when they will make a
statement about a normative view of the Islamic world. Most Muslims consider
the Qor'an as a miracle of magic, using the words in a whisper, kissing, or drink
that can be used as a healing and certain expectations.
This study uses the method of ethnography James P. Spradley which is
descriptive qualitative. The purpose of ethnography, to understand other ways of
life from the point of view of community. The study of data collection is done by
observation, interview, and documentation by using anthropology approach. his
approach is used to photographing what it is about belief dimensions, confidences,
rituals and traditions holistically.
As for the meaning of practicing the talisman is part of the honor,
breeding, and preservation of society against Qor’an. The motives of Wewengkon
Kasepuhan Lebak community in using talisman because is has various benefits,
among others: The first, a talisman can save themselves and provide confidence or
calm in solving various problems of life. The second, a talisman can function as a
high charismatic in the looking of every human being in order to maintain the
existence of power. Third, the talisman is used as the trade-marker for the sake of
economic stability. Fourth, talisman as a healer of various diseases for the benefit
of the wider community that settles the disease that never healed and so forth. In
the procession of the use of talisman even under holy circumstances, is not used in
arrogance and pride and obeys the religious leader. While using it talisman placed
on door sills and cabinets, wearing a talisman on the belt, putting the talisman into
the wallet, and mixing a small talisman into the perfume.
iii
الملخص
(" تركز كاسبوهان لباك باوتهادي مولادي "القرأن ولعزمت )الذراست الحاة القرأن على المجتمع ل
7102التفسر ف كلت أصول الذه ف جامعت شرف هذات الله ف جاكرتا, سىت
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang selalu
memberikan karunia rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu
menyelesaikan penyusunan tesis ini. Tanpa rahmat dan hidayah-Nya, mungkin
Tesis ini tidak akan selesai. Ṣhalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan
kepada Nabi Muhammad saw. para keluarganya, sahabat-sahabatnya, para tabi’
tabi`in serta kita semua selaku umatnya sampai akhir zaman.
Secara didaktis, penulis sangat sadar bahwa penyusunan tesis ini tidak
akan selesai tanpa adanya bantuan dan dukungan dari pihak lain. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan
yang setingi-tingginya kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
menyelesaikan penelitian ini. Karena itu, pertama-tama saya menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosem Pembimbing I, Prof. Dr. Masri
Mansoer, MA yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berdialektika dan
membimbing secara intensif kepada penulis di tengah-tengah kesibukannya
sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin hingga akhirnya penelitian ini selesai.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Dosen Pembimbing II, Dr. Lilik
Umi Kaltsum, MA yang sudah rela dan ikhlas menyempatkan diri untuk
membimbing dengan penuh kehati-hatian, ketelitian, dan kesabaran.
Tidak lupa pula kepada para penguji: Dr. Bustamin, M.Si, Dr. Yusuf
Rahman, MA, Kusmana, P.hD dan Prof. Muhammad Ali, P.hD yang telah
bersedia membimbing dan memberikan masukan-masukan demi tercapainya
kesempurnaan penelitian ini. Para Dosen Program Magister Ushuluddin,
v
Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama (PU) Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ), dan Dr. Atiyatul
Ulya, MA selaku Ketua Program Magister dan Drs. Maulana, M.Ag selaku
Sekretaris Program Magister Fakultas Ushuluddin.
Kedua orang tuaku tercinta, Ibunda Marnah binti Aman dan Ayahanda
Emad bin Rastim yang selalu memberikan kasih sayang, motivasi, dukungan,
dan tiada henti mendoakanku siang dan malam tanpa lelah dan putus asa hingga
penulis dapat menyelesaikan persyaratan dalam memperoleh gelar Magisteri.
Istriku tercinta, Zuhrotul Uyun, S.Pd yang selalu setia berada disampingku dalam
situasi dan kondisi suka, duka, nestapa, dan bahagia hingga tidak pernah putus-
putus untuk mendoakan kesuksesan suaminya. Mertua tercinta yang insyallah
sebentar lagi menunaikan rukun Islam yang terakhir, Hasan Mufti, S.Pd.I dan Icih
Kurniasih yang tiada henti-hentinya mendoakan kami. Adiku-adiku tercinta
Nurmalasari dan adik ipar Halwati Nufus dan Husnul Fahri yang selalu
mendoakan agar kakak-kakaknya menjadi publik figur dalam lingkungan
keluarga.
Seluruh masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten
khususnya Kyai Sarku, Olot Umar, Olot Sariman, Mulyadi Sugiansar, Jaro Asid
Rosidin, Jaro Jajang selaku anggota AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nasional),
K.H. Mahmud, Suryani, Ustadz Mukhtar al-Khoiri dan K.H. Rumdani yang telah
memberikan informasi dan keterbukaannya mengenai jimat, hingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini.
PUSLITPEN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan BAZIS Jakarta yang
vi
telah memberikan Beasiswa penelitiani, hingga dapat membantu dalam proses
finishing penelitian. Kawan-kawan seperjuangan mahasiswa Pascasarjana studi
Tafsir-Hadis Program Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta angkatan 2015 khususnya pak Muqhti Ali, abah Aris, Kholis, Idham, K.H.
Umam, Hasrul, Fahmi, dan Arif. Dan tidak lupa pula pada keluarga Ciputat Uwa
Aming, Om Fatah, dan abah Dr. Rusdi,Sp, M.Si.
Semoga tesis ini dapat memberikan sumbangsih dan manfaat dalam
khazanah keislaman, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca
yang budiman. Semoga Allah Swt. senantiasa membukakan samudera ilmu-Nya
kepada kita semua, Amin.
Jakarta, 04 Desember 2017
Penulis
Yadi Mulyadi
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI1
A. Konsonan
q = ق z = ص Tidak Dilambangkan = ا
k = ن s = ط b = ة
l = ي sy = ػ t = د
ṣ = m = ص ṡ = ث
ḍ = n = ض j = د
ṭ = w = غ ḫ = س
ẓ = h = ظ kh = ط
` = ء ‘ = ع d = د
g = y = ؽ ż = ر
f = ف r = س
B. Vokal dan Diftong
Vokal Pendek Vokal Panjang Diftong
◌ = a ا—◌ = ā ◌ = ai
◌ = I —◌ = ī ◌ = aw
◌ = u —◌ = ū
C. Keterangan Tambahan
1Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
158 tahun 1987 dan No. 0543 tahun 1987.
viii
1. Kata sandang لا (alif lam ma’rifah) ditransliterasi dengan al-,
misalnya (ازض٠خ) al-jizyah, ( لاحبسا ) al-âthâr dan ( از خ) al-dhimmah.
Kata sandang ini menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada
awal kalimat.
2. Tashdîd atau shaddah dilambangkan dengan huruf ganda,
misalnya al- muwaṭṭa’.
3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia,
ditulis sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, hadis dan
lainnya.
D. Singkatan
swt = Subḥānahu wa ta’ālā
as = ‘Alaihi al-Salām
M = Masehi
Qs = al-Qur’an Surah
saw = Ṣalla Allāh ‘alaihi wa sallam
H = Hijriyah
ra = Raḍiya Allāh ‘anhu
w = Wafat
h = Halaman
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………………………...i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...iv
PEDOMAN TRANSLITERASI……………………………………………….vii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………......ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………...1
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah………………………………………………….10
2. Pembatasan Masalah…………………………………………………11
3. Perumusan Masalah………………………………………………….11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………………..12
D. Penelitian Terdahulu yang Masih Relevan……………………………13
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian……………………………………………………….20
2. Sumber Data………………………………………………………….21
3. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………...22
x
4. Teknik Analisis Data…………………………………………………24
5. Teknik Penulisan……………………………………………………..25
F. Sistematika Penulisan…………………………………………………..26
BAB II LIVING QUR’AN DAN JIMAT
A. Living Qur’an.…………………………………………….......................29
B. Living Qur’an dalam Tatanan Praktis………………………………...32
1. Al-Qur’an dan Pengobatan…………………………………………...35
2. Al-Qur’an dan Tradisi Masyarakat………………………………….43
a. Rebo Wekasan……………………………………………………45
b. Tradisi Tingkeban atau Mitoni…………………………………...49
C. Living Qur’an dan Jimat
1. Al-Qur’an dan Kekuatan Magis……………………………………...53
a. Jimat……………………………………………………………...54
b. Debus Banten…………………………………………………….62
D. Agama dan Jimat……………………………………………………….68
BAB III SEJARAH JIMAT MASYARAKAT ADAT WEWENGKON
KASEPUHAN LEBAK BANTEN
xi
A. Sosial Kemasyarakatan Adat Wewengkon Kasepuhan
1. Letak Geografis & Sejarah Kasepuhan………………………………73
2. Tatanan dan Filosofi Hidup Masyarakat Kasepuhan………………...77
3. Tradisi Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek
a. Tradisi Lokal……………………………………………………..82
b. Tradisi Keagamaan……………………………………………….86
c. Tradisi Keseharian Anak-anak Wewengkon Kasepuhan………...87
B. Aspek Sejarah Kepercayaan Masyarakat adat Wewengkon
Kasepuhan Terhadap Jimat……………………………………………89
C. Perkembangan Jimat di Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek Lebak-Banten
1. Pondok Pesantren Tradisional............................................................100
2. Adat Kasepuhan…………………………………………………….103
D. Pemahaman Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Terhadap
Jimat
1. Masyarakat Umum………………………………………………….106
2. Tokoh Adat Kasepuhan……………………………………………..109
3. Tokoh Agama……………………………………………………….111
xii
BAB IV PENGGUNAAN JIMAT MASYARAKAT ADAT WEWENGKON
KASEPUHAN LEBAK BANTEN
A. Bentuk-bentuk azimat/jimat
1. Ayat dan Surat Magis................…………………………………….118
2. Huruf-huruf Hijāiyyah………...……………………………………..134
3. Jimat Non al-Qur’an………………………………………………...140
B. Ritual Masyarakat Adat Wewengkon dalam Menggunakan Jimatt
1. Menempelkan Jimat pada Bagian Ambang intu dan Lemari……...147
2. Mengenakan Jimat ada Bagian Sabuk…………………………….150
3. Meletakan Jimat dalam Dompet…………………….........................151
4. Mencampurkan Jimat ke dalam Minyak……………………………154
5. Manfaat dalam Menggunakan Jimat
1. Pengasihan (Penglaris)……………………………………………...157
2. Karismatik (Pangabaran)……………………………………………159
3. Penyelamat Jiwa dan Raga………………………………………….161
4. Penyembuh………………………………………………………….163
xiii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………….165
B. Saran…………………………………………………………………....166
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….167
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. Dokumentasi Photo-photo………………………………………………..i
B. Interview Guide………………………………………………………….vii
C. Observation Guide………………………………………………………..ix
D. Daftar Informan………………………………………………………...xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur‟an merupakan sebuah pedoman umat manusia. Di dalamnya
terdapat petunjuk1 dan beragam fungsi yang mampu merespon masalah-masalah
yang terjadi dalam sosial kemasyarakatan. Salah satunya, al-Qur‟an bisa dijadikan
sebagai penyembuh (Syifā‟) berbagai penyakit,2 baik penyakit fisik maupun non
fisik dan dapat digunakan sebagai mediator yang mempunyai kekuatan magis,
dalam bentuk jimat al-Qur‟an.3
Azimat atau jimat ini mempunyai makna yang sama, yaitu suatu barang
(tulisan) yang dianggap mempunyai kesaktian dan dapat melindungi pemiliknya,
yang dapat digunakan sebagai pangkal penyakit, roh-roh jahat, maupun
pangabaran (karismatik).4 Penggunaan jimat terdapat di seluruh wilayah muslim.
Benda magis itu sebagai halnya, telah dipraktikkan di wilayah Afrika Utara dan
1 Diturunkannya al-Qr‟an sebagai petunjuk umat manusia yang membedakan antara yang
haq maupun yang baṯil (al-Baqarah: 185). Lihat, Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‟an,
terjemahan Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1996), cet. Ke II, h. 1. 2 Bahkan di dalam al-Qur‟an menggambarkan beberapa penyakit, antara lain Saqīm (Qs.
24: 61 dan 2: 185), al-Akmah (Qs. 3: 49), al-Abraṣ (Qs. 3: 9), haradḁ (Qs. 12: 85), untuk penyakit
fisik. Sedangkan Jinnah (Qs. 23: 27 dan 70) dan al-Massy (Qs. 2: 275) hanya untuk penyakit
psikis. Oleh karena itu, al-Qur‟an dapat digunakan sebagai penyembuh (shifā‟). Lihat Qs. At-
Sebagai Penyembuh Penyakit (Analisis Kitab Khazīnat al-Asrār Karya Muhammad Haqqi al-
Nāzilī 1993), (Ciputat Tangerang Selatan: Young Progressive Muslim, 2013), h. 32. 3 Chairunnisa Ahsana AS, Pesona Azimat: Antara Tradisi dan Agama, (Bandung: Pustaka
Aura Semesta, 2014), h. 40. Sebagaimana dikutip dari Zuriati, Azimat Minangkabau Kritik Teks
dan Edisi Kritis, (Disertasi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Ilmu Sastra,
2013), h. 12. 4Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia V1.1.offline, dapat diakses juga di
Barat di Sahara dan Indonesia. Sebagian besar jimat menggunakan tulisan ayat-
ayat al-Qur‟an dan huruf-huruf hijāiyyah yang diletakkan dalam sebuah
bungkusan untuk dikenakan sebagai kalung, sabuk, gelang maupun digunakan
pada bagaian yang sangat privasi, yaitu saku maupun dompet.5
Oleh karena itu, produk budaya demikian banyak terdapat dalam
masyarakat Islam Indonesia khususnya di Provinsi Banten. Inilah yang
menjadikan Muslim Indonesia berbeda dengan masyarakat Islam pada umumnya
di Dunia. Bentuk dan sistem kebudayaannya menyelaraskan dengan etik ajaran al-
Qur‟an, kemudian menjadi hal yang unik di dalam masyarakat karena telah
berakulturasi antara budaya dan agama.6 Hal ini seperti tradisi pelaksanaan halal
bihalal sesudah idul fitri,7 memperingati hari-hari penting nabi Muhammad Saw.
misalnya, hijrah, isra mi‟raj, dan memperingati kelahirannya nabi Saw. dan
memperingati haul8 syaikh-syaikh Islam berpengaruh di Dunia maupun di
5 Chirl Glasse, Ensiklopedi Islam, terjemahan Ghufron A. Mas‟adi (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1999), cet. Ke-II, h. 196. Adapun azimat atau jimat sebagaimana dijelaskan
dalam buku „Pesona Azimat‟ dalam bahasa Arab „al-Irādāt al mu‟akkadah yang bermakna,
keinginan yang kuat, tekad, „azam/azimat yang bermakna azimat, hal ini didasarkan pada Hadis
Nabi dan terminologi Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa azimat atau jimat dalam tradisi
Arab dinamakan hijab, hama‟il. Hama‟il berasal dari kata ḫamā-yaḫmī-ḫimyatan yang artinya
membela karena menjaga dari hal-hal yang mengancam atau mempertahankan lantaran menjaga
eksistensinya. Lihat, M. Quraish Shihab, “Ensikolopedia Al-Qur‟an Kajian Kosakata,” dalam
Nasaruddin Umar ed., Ensiklopedia, vol. I (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 277. 6 Maksudnya adalah kebudayaan Islam yang sesuai dengan kebudayaan qur‟ani baik dari
sistem politik qur‟ani, sistem ekonomi qur‟ani, dan seni qur‟ani, artinya sistem kebudayaan dan
unsur-unsur kebudayaan yang selaras dengan etika sebagaimana dikhendaki al-Qur‟an. Lihat,
Suwito, ed., Kajian Tematik Al-Qur‟ans Tentang Konstruksi Sosial (Bandung: Angkasa Bandung,
2008), h. 62. 7 Halal bihalal merupakan sebuah tradisi yang dilaksanakan setahun sekali pada saat umat
Islam di Indonesia sesudah melaksanakan puasa Ramdhan dan Idul Fitri. Lihat, Muhammad
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Mizan, 1996), h. 235. 8 Haul adalah peringatan hari wafat seseorang yg diadakan setahun sekali (biasanya
disertai selamatan arwah). Lihat, Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia V1.1.offline,
dapat diakses juga di http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/
Living Qur‟an merupakan gabungan dari dua kata yang berbeda, yaitu living yang
berarti hidup, sedangkan Qur‟an adalah kitab yang dijadikan pedoman atau sumber umat Islam.
Lihat, Sahiron Syamsuddin, ed., Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis (Yogyakarta:
TH-Press, 2007), h. xiv-5. Living Qur‟an pada hakikatnya bermula dari fenomena Qur‟an in
Everyday life, yakni makna dan fungsi al-Qur‟an yang riil dan dialami dalam kehidupan
masyarakat Muslim. Lihat, Didi Junaedi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian
al-Qur‟an (Studi Kasus di Pondok Pesantren as-Siroj al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan
Kab. Cirebon)” Journal of Qur‟an and Hadis Stidies Volume 4, No. 2, 2015: h. 177. Kajian
Living Qur‟an (dan Living Hadis) artinya mengkaji al-Qur‟an dan/atau hadis sebagai teks-teks
yang hidup, bukan teks-teks yang mati. Pendekatan Living Qur‟an ini menekankan pada aspek
fungsi al-Qur‟an sebagai petunjuk dan rahmat bagi manusia dan orang-orang yang beriman, tapi
20
kultural (everyday life of the Qur‟an atau al-Qur‟an hidup dalam tatanan praktis
masyarakat) ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yang menggunakan metode
etnografi. Metode ini menurut James P. Spradley, ilmu yang mempelajari tentang
budaya dan bertujuan untuk memahami cara-cara kehidupan lain dari sudut
pandang masyarakat sendiri.46
Teori etnogtrafi James P. Spradley digunakan
mulai dari memilih lokasi penelitian sampai pada tingkat penulisan. Akan tetapi,
dalam tataran analisisnya, praktik yang dilakukan masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Lebak dalam menggunakan jimat hanya sebatas pada tataran etnografi
deskriptif, bukan analisis.47
Adapun etnografi48
yang bersifat deskriptif kualitatif, yang mana proses
kerjanya mengkonstruksi realitas sosial hingga mengeksplorasi praktik
ini juga bisa memasukkan peranan al-Qur‟an dan hadis dalam berbagai kepentingan dan konteks
kehidupan, baik yang beriman maupun yang tidak beriman. Kajian Living Qur‟an yang
berorientasi akademis ilmiah, tidak terlalu memperhatikan perdebatan otentisitas al-Qur‟an,
perdebatan perbedaan metode, kaidah, dan produk tafsir zaman klasik, pertengahan, dan modern,
dan perdebatan pemaksaan atau bukan pemaksaan. Living Qur‟an dalam corak ini menunjukkan
bahwa setiap penafsiran atau pemahaman terhadap al-Qur‟an benar menurut manusia
pemahamnya. Kajian ini lebih memfokuskan pada peran praktis al-Qur‟an dalam pemahaman,
sikap, perilaku, aktifitas manusia sebagai individu ataupun masyarakat, terlepas apakah
pemahaman, sikap, perilaku, dan aktifitas itu berdasarkan pengetahuan akan kaidah tafsir ataupun
tidak sama sekali. Lihat, Muhammad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living
Hadis” Volume 4, Nomor 2, Tahun 2015: h. 152-153. 46
James P. Spradley, The Ethnographic Interview (United States of America: Waveland
Press, 2016), 9-10. 47
James P. Spradley, Participant Observation (United States of America: Waveland
Press, 2016), h. 34. 48
Menurut Lexy J. Moleong, etnografi atau pun Ethnometodologi adalah penelitian
ethnografi yang berupaya memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan, dan
menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Lihat, Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif,
h. 25. Istilah etnografi berasal dari kata ethno (bahasa) dan graphy (menguraikan). Etnografi yang
akarnya antropologi pada dasarnya adalah kegiatan penelitian untuk memahami cara orang-orang
21
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan ketika prosesi mengaktualisasikan jimat
pada kehidupan praktis dengan pernyataan-pernyataan yang tidak harus
dibuktikan secara nyata.49
Selain bersifat deskriptif kualitatif, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan antropologis,50
karena berusaha memotret apa adanya tentang
dimensi-dimensi kepercayaan, keyakinan, ritual dan tradisi secara holistik yang
ada di masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua jenis data, yaitu data
utama dan data pendukung. Adapun data utama yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kata-kata atau pemahaman, sikap tindakan, dan perilaku yang dilakukan
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten dalam
menggunakan al-Qur‟an sebagai jimat yang dipraktikkn guna sebagai pengobatan,
kekebalan, pengasihan, karismatik, keselamatan dan lain sebagainya.
Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten terdiri
dari 5 Desa, di antaranya Desa Citorek Timur, Desa Citorek Barat, Desa Citorek
Tengah, Desa Citorek Sabrang, dan Desa Citorek Kidul yang kesemuanya
dijadikan populasi dan sampel. Adapun populasi yang digunakan, seluruh
berinteraksi dan bekerja sama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari. Lihat, Deddy
Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 161. 49
Metode kulitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Lihat, Lexy J. Moleong,
Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Rosda Karya, 2007), h. 4. 50
Pendekatan Antropologi merupakan pendekatan yang concern pada praktik-praktik
sosial baik berupa tradisi, pertanian, kekeluargaan dan politik, magis dan pengobatan. Lihat, Peter
Connolly, ed., Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKis, 2002), h. 34.
22
penduduk yang tinggal di wilayah Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten.
Sedangkan teknik dalam pengambilan sampel dengan cara snowball sampling,
dimana sampel diperoleh melalui proses bergulir dari satu responden ke
responden yang lain.
Alasan peneliti mengambil masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Lebak Banten sebagai objek penelitian, karena bentuk keagamaannya masih
kental dengan tradisi adat lokal yang mengintegrasikan dengan agama. Selain itu,
masyarakat sudah mempraktikkan jimat sejak pra Islam, maksudnya lafal
syahadat maupun basmallah tidak seperti pada umumnya, melainkan pelafalannya
bercampur baur dengan bahasa Sunda. Di samping itu, penulis memilih lokasi ini
karena berdomisili di Provinsi Banten Kabupaten Lebak tepatnya di wilayah Adat
Wewngkon Kasepuhan Desa Citorek Tengah.
Sedangkan data pendukung, penulis mengumpulkan berupa data-data
dokumen seperti journal, photo, laporan penelitian, maupun buku-buku yang
menggambarkan sebuah teks al-Qur‟an yang mengejawantahkan menjadi praktik
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten sesuai dengan
pemahaman mereka masing-masing.
3. Tenik Pengumpulan Data
Langkah selanjutnya, agar mendapatkan data-data yang valid dan
berkualitas, maka peneliti menggunakan beberapa teknik dalam pengumpulan data
dengan macam cara:
a. Pengamatan (Observation)
23
Observasi merupakan suatu proses yang kompleks atau proses yang
tersusun dari pelbagi proses bilogis dan psikologis. Adapun pengamatan yang
dilakukan peneliti adalah untuk memhami situasi-situasi praktik masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten dalam mempersepsi al-Qur‟an yang
diadopsi menjadi sebuah jimat.
Dengan demikian, jika suatu data yang diperoleh kurang meyakinkan,
maka peneliti menanyakan kembali kepada pihak subjek (konfirmasi data), yaitu
pada masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten. Dalam penelitian
ini penulis berperanserata secara lengkap, yaitu menjadi anggota penuh dari
kelompok masayrakat Adat Wewengkon Kasepuhan51
atau dapat disebut juga
dengan observasi partisipan (participant observation), yaitu pengamatan yang
dilakukan terhadap objek di tempat berlangsungnya peristiwa terjadi, sehingga
observer ikut serta dengan objek yang ditelitinya secara berlangsung.52
b. Wawancara (Interview)
Wawancara merupakan cara pengumpulan data yang berdasarkan pada
laporan tentang diri sendiri atau self-report,53
yaitu percakapan yang dilakukan
oleh dua pihak, pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.54
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan wawancara terstruktur dan wawancara
51
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 176. 52
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1983), h. 100-101. 53
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D (Bandung: Alfabeta,
2011), cet. Ke-14, h. 138. 54
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 186.
24
tidak terstruktur. Penulis melakukan wawancara terstruktur dengan bertanya
jawab secara langsung dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah dipersiapkan
sesuai dengan tujuan penelitian.
Adapun sumber yang penulis wawancarai adalah tokoh politik
(jaro/kepala Desa), tokoh agama, tokoh pendekar/jawara, tokoh adat, pedagang
dan masyarakat biasa yang menggunakan lafaẓ al-Qur‟an yang dijadikan jimat
atau pegangan dalam kehidupan sehari-hari (teteungeur hate). Mereka berasumsi
bahwa jimat dapat digunakan sebagai penangkal dari roh jahat atau orang yang
hendak mendengki melalui ilmu halus (ilmu hitam), sebagai
pangabaran/karismatik, sebagai pengasihan, sebagai obat (syifā‟) sebagai
kekebalan tubuh, dan sebagai kesuksesan dalam kehidupan di dunia maupun
diakhirat nanti.
4. Teknik Analisis Data
Adapun teknik pengolahan data, yaitu mengumpulkan data-data,
memilah-milah data, kemudian mengklasifikasikan serta berpikir dengan jalan
membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan
pola dan hubungan-hubungan, dan membuat temuan-temuan umum (inductive
logic).55
Adapun setelah data-data itu terkumpul, penulis melakukan catatan-
catatan dan kategorisasi dari hasil wawancara maupun observasi pada
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten dalam mempraktikkan
jimat al-Qur‟an.
55
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 248.
25
Kemudian penulis melakukan penafsiran terhadap data-data dengan
menggunakan deskripsi semata-mata dan deskripsi analitik.56
Tujuan deskripsi
semata-mata, yaitu analis menafsirkan data-data tersebut dengan jalan
menemukan kategori-kategori (calsses) dalam data. Atas dasar inilah, penulis
menyusunnya dengan jalan menghubungkan kategori-kategorinya ke dalam
kerangka sistem kategori yang diperoleh dari data itu sendiri.
Sedangkan deskripsi analitik, menganalisis data yang telah
dideskripsikan semata-mata hingga membangun dan mengembangkan dari
kategori-kategori yang ditemukan dan hubungan-hubungan yang disarankan atau
yang muncul dari data yang sudah terkumpul.57
Oleh karena itu, dalam konteks penelitian al-Qur‟an dan jimat, penulis
menguraikan beberapa data yang sudah terkumpul dari hasil berupa obeservasi,
wawancara, gambar maupun pustaka. Kemudian mengkategorisasi pemahaman
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten dalam menggunakan
jimat al-Qur‟an dalam kehidupan sehari-hari.
5. Teknik Penulisan
Adapun cara penulisan penelitian ini, mengacu pada pedoman penulisan
tesis dalam bentuk buku “Pedoman Akademik Program Magister Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012”58
yang
56
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 257. 57
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 278. 58
M. Ikhsan Tanggok, Pedoman Akademik Program Magister Fakultas Ushuluddin
Universita Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2012 (Jakarta: Program Magister
Fakultas Ushuluddin, 2012), h. 71-84.
26
dipertanggungjawabkan oleh Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, yaitu
Prof. Dr. Masri Mansoer, MA dkk. Sedangkan transliterasi mengacu pada
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
No. 158 Tahun 1978 dan No. 0543 Tahun 1978.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini secara sistematis akan diuraikan dalam bentuk lima bab,
yang terdiri dari:
BAB Pertama, secara keseluruhan berisi pendahuluan penelitian
merupakan penjelasan-penjelasan yang erat hubungannya dengan dasar
pemikiran dalam penelitian ini, memuat dari latar belakang, mengklasifikasikan
beberapa permasalahan; identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan rumusan
masalah. Kemudian, tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB Kedua, berisi tentang al-Qur‟an yang hidup di masyarakat. Pada
bagian ini, al-Qur‟an dijadikan sebuah tradisi masyarakat baik yang berkaitan
dengan seputar magis seperti jimat, pengobatan, dan debus maupun kegitan
tradisi: Rebo Wekasan, memperingati empat bulan dan tujuh bulan ketika masa
kehamilan atau tingkeban. Di mana pada kegitan itu sering ditemukan lantunan
ayat-ayat al-Qur‟an baik secara oral maupun tekstual. Pada tradisi demikian,
agama dan kepercayaan masyarakat mengisi satu sama lain (akulturasi),
sehingga menjadi sebuah keharusan.
27
BAB Ketiga, berisi tentang sejarah jimat masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Citorek Lebak Banten. Pada bab ini menggambarkan sosial
kemasyarakatan Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten seperti
tradisi Kasepuhan sehari-hari, budaya adat Kasepuhan dan agama serta tradisi
keseharian anak-anak. Selain itu, jimat berkembang melalui pondok pesantren
tradisional dan adat Kasepuhan. Tatanan kehidupan dan filosofi hidup tentang
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan turut mewarnai. Dalam sub bab ini
juga berisi bagaimana masyarakat umum, tokoh Kasepuhan dan tokoh agama
memandang jimat.
BAB Keempat, merupakan inti dari pembahasan Living Qur‟an di
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten. Pada bab ini
menguraikan praktik dan implikasi jimat terhadap kehidupan masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten. Selain itu, sub bab ini
menguraikan ayat-ayat al-Qur‟an yang ditafsirkan secara konvensional oleh
masyarakat dan mengkonfirmasi kembali bagaimana pandangan para mufassir
mengenai ayat-ayat jimat.
Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan meyakini atas pemahaman
yang mereka lakukan dapat dijadikan sebagai penglaris dalam perdagangan,
pangabaran atau karismatik yang tinggi di hadapan semua manusia, pengasihan,
mengebalkan tubuh, dan jembar rezeki, keselamatan dalam hidup dan lain
sebagainya.
28
BAB Kelima, penutup. Bagian ini merupakan kesimpulan dan saran.
Kesimpulan merupakan hasil dari keseluruhan data, kemudian ditarik menjadi
sebuah jawaban dari rumusan masalah. Adapun saran berisi rekomendasi guna
memberikan informasi pada peneliti selanjutnya dan masyarakat Wewengkon
Kasepuhan Lebak Banten.
29
BAB II
LIVING QUR’AN DAN JIMAT
Fenomena penghidupan al-Qur‟an dalam masyarakat Muslim sangatlah
beragam modeling yang berbeda-beda. Al-Qur‟an dapat digunakan sebagai
pengobatan, jimat (praktik magis), jembar rezeki, ketenangan hati, dan lain
sebagainya. Hal ini tergantung pada latar belakang sosial-kultural suatu wilayah.1
A. Living Qur’an
Secara kontekstual, al-Qur‟an diturunkan secara berangsur-angsur dengan
dua fase, yaitu fase makkiyyah dan fase madaniyyah. Kitab al-Furqān itu sebagai
jawaban umat ketika dihadapkan pada suatu persoalan. Ini terlihat jelas ketika
umat Islam (ṣaḫabat) terganggu konsentrasinya mengenai makna orang-orang
yang mencampuradukan antara iman dan aniaya (ẓhulm) tidak akan memperoleh
keimanan dan petunjuk Allah.2
Mereka menafsirkan bahwa keimanan mereka seakan-akan percuma
karena tidak akan terbebas dari azab padahal mereka percaya bahwa tak seorang
pun dari mereka yang tidak pernah melakukan aniaya atau kezaliman. Setelah
nabi Muhammad Saw. menyampaikan penafsiran tentang kata ẓhulm pada ayat di
atas merupakan perbuatan syirik (tindakan menyekutukan Allah) dengan
1 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur‟an; Kritik Terhadap Ulumul Qur‟an,
terjemahan Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta, LKis, 2005), h. v. 2 Lihat Qs. Al-An‟ām: 82
30
mengutip ayat 13 Surat Luqman, mereka pun merasakan tenang dan puas.3
“Janganlah kamu menyekutukkan Allah, sesungguhnya menyekutukkan (Allah) itu
benar-benar kezhaliman yang besar”.4 Al-Qur‟an menjadi fondasi dan sumber
utama ajaran agama Islam yang dijadikan sebagai pedoman di setiap aspek
kehidupan, baik aspek spiritual, hukum, politik, ekonomi, budaya maupun tradisi
serta kehidupan sosial.5
Oleh karena itu, ketika Siti Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw.
maka beliau menjawab akhlak nabi Saw. adalah al-Qur‟an. Hal ini sama halnya
dengan al-Qur‟an yang sedang berjalan atau hidup (Living Qur‟an)6.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh „Ā‟id „Abdullah al Qarnī dalam bukunya, “Al-
Qur‟an Berjalan; Potret Keagungan Manusia Agung”, ia menjelaskan sosok
kepribadian dan akhlaknya Rasulullah Saw. betapapun tingginya derajat
seseorang, betapapun luasnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya, jika semua itu
tidak dipadupadankan dengan akhlak dan perilaku manusia, maka akan menyeret
pemiliknya kepada kehinaan dan kesengsaraaan. Kesuksesan Rasulullah Saw.
dalam menyampaikan tugas-tugas mulia yang dibebankan Tuhan kepadanya,
3 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2011), Cet. Ke-III, h. 100.
4 Lihat, Qs. Luqman ayat 13.
5 Ridwan, Kontekstualisasi Etika Muslim terhadap The Others; Aplikasi Pendekatan
Historis-Kritis Atas al-Qur‟an (Purwokerto: IAIN Salatiga, 2016), h. 3. Dikutip dari Abdullah
Saeed, Islamic Thought; An Introduction (New York: Routledge, 2006), h. 15. Lihat, Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1985), h. 1-5. 6 Living Qur‟an merupakan gabungan dari dua kata yang berbeda, yaitu living yang
berarti hidup, sedangkan Qur‟an adalah kitab yang dijadikan pedoman atau sumber umat Islam.
Lihat, Sahiron Syamsuddin, ed., Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis (Yogyakarta:
TH-Press, 2007), h. xiv-5.
31
tidak terlepas dari memerankan dirinya sebagai sosok manusia yang berakhlak
mulia sesuai panduan al-Qur‟an.7
Selain itu, living Qur‟an dipraktikkan ketika Sahabat pernah mengobati
kepala suku yang tersengat hewan berbisa, kalajengking dengan membacakan al-
Fātiḫah, hingga Rasulullah Saw. membenarkannya. nabi Saw. pun pernah
mengobati dirinya ketika beliau terbaring sakit dengan membaca Surat al-Falaq
dan Surat al-Nās.8
Dari dua praktik interaksi umat Islam masa awal di atas, dapat dipahami
jika kemudian hari berkembang pemahaman di masyarakat tentang keutamaan
dan khasiat surat-surat tertentu atau ayat-ayat tertentu di dalam al-Qur‟an sebagai
solusi dalam menyelesaikan berbagai masalah. Living Qur‟an pada hakikatnya
bermula dari fenomena Qur‟an in Everyday life, yakni makna dan fungsi al-
Qur‟an yang riil dan dialami dalam kehidupan masyarakat Muslim.9
Dengan demikian, penelitian living Qur‟an yang dilakukan oleh Ibrahim
Eldeeb mengenai petunjuk praktis dalam penerapan ayat-ayat al-Qur‟an dalam
kehidupan sehari-hari, muali dari kajian teoritis Ulumul Qur‟an samapai kepada
7 „Ā‟id „Abdullah al Qarnī, Al-Qur‟an Berjalan; Potret Keagungan Manusia Agung,
terjemahan Abad Badruzzaman (Jakarta: PT Sahra intisains, 2006), h. 5 dan 153. 8 „Ā‟id „Abdullah al Qarnī, Al-Qur‟an Berjalan; Potret Keagungan Manusia Agung, h.
154. 9 Didi Junaedi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-Qur‟an (Studi
Kasus di Pondok Pesantren as-Siroj al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)”
Journal of Qur‟an and Hadis Stidies Volume 4, No. 2, 2015: h. 177.
32
penggunaan al-Qur‟an dalam tatanan praktis sudah dijelaskan dalam be a Living
Qur‟an secara komprehensif.10
Dengan kata lain, memfungsikan al-Qur‟an dalam kehidupan praktis di
luar kondisi tekstual al-Qur‟an. Pemfungsian seperti ini muncul karena adanya
praktik pemaknaan al-Qur‟an yang tidak mengacu pada pemahaman atas pesan
tekstualnya, tetapi berlandaskan pada anggapan adanya “faḍilah” dari unit-unit
tertentu teks al-Qur‟an, bagi kepentingan praksis dalam kehidupan masyarakat.11
B. Living Qur’an dalam Tatanan Praktis
Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang dijadikan sebagai pedoman hidup
umat Muslim dari berbagai aspek kehidupan, mulai dari ibadah (fiqih), hukum
(syariat), politik (asiyasah), ekonomi (muamalah), maupun fenomena sosial (al-
mujtama‟). Oleh karena itu, nilai-nilai al-Qur‟an masuk kedalam kehidupan
masyarakat sehari-hari merupakan sebuah keniscayaan.
Membumikan al-Qur‟an sesungguhnya tidak lain adalah melakukan
upaya-upaya terarah dan sistematis di dalam masyarakat agar nilai-nilai al-Qur‟an
hidup dan dipertahankan sebagai faktor kebutuhan di dalamnya, serta bagaimana
menjadikan nilai-nilai al-Qur‟an sebagai bagian dari perbendaharaan nilai-nilai
10
Ibrahim Eldeeb, Be a Living Qur‟an terjemahan Faruq Zaini (Ciputat, Tangerang
Selatan: Lentera Hati, 2009), h. 91 dan 175. 11
Didi Junaedi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-Qur‟an,” h.
172.
33
lokal dan universal di dalamnya. Hal ini, al-Qur‟an berupaya untuk menyusup ke
dalam kehidupan masyarakat dengan pesan-pesan ilahi yang universal.12
Menurut Farid Easack, ada sebagian orang yang memfungsikan ayat-ayat
suci al-Qur‟an tertentu sebagai jimat untuk menjauhkan diri dari penyakit atau
penangkal dari kekuatan jahat (ilmu hitam). Farid Esack mempraktikkan ayat
tertentu, yaitu menempelkan doa nabi Nuh as.13
pada bagian depan kaca mobil
ketika melakukan perjalanan dari Chicago ke Jakarta dengan tujuan untuk
memberikan perlindungan bagi pengemudi dan para penumpangnya. Selain itu, di
rumah-rumah Negara Muslim juga dipajang ayat-ayat al-Qur‟an seperti ayat kursi
dengan maksud agar rumahnya aman.14
Dalam pendahuluan Bruce Lawrence di „The Quran A Biography‟,
menyebutkan sebagian orang-orang Islam menganggap al-Qur‟an sebagai otoritas
ritual, petunjuk sehari-hari, tema yang artistik, atau bahkan “mukjizat”. Dalam
kehidupan bernapaskan Islam, beberapa orang menghafal al-Qur‟an sejak masih
kecil guna menghargai tradisi untuk menghasilkan bacaan (qira‟ah) sebagai
landasan kebenaran.
Bagi orang yang tidak mampu menghapal 6000 lebih ayat al-Qur‟an, kata-
katanya tetap mendapatkan tempat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bisa
meletakkan ayat-ayat al-Qur‟an pada bagian leher, kalung yang melingkarinya,
berurutan didominasi oleh: magis, agama, dan sains.89
Fase kedua, agama
sebagai suatu institusi yang terdiri dari interaksi yang dipola secara kultural.
Agama juga mengajarkan bagaimana pentingnya sebuah ritual, karena sistem
simbol yang berperan untuk mengukuhkan motivasi dan suasana hati yang kuat,
dirasakan dan hadir di mana pun dan kekal dalam diri seseorang,
memformulasikan konsepsi tentang keteraturan eksistensi dan membungkus
konsepsi itu dengan pancaran faktualitas, di mana suasana hati dan motivasi itu
secara khas dan tampak realistis.90
Menurut Frazer, keajaiban magis sudah ada
sejak zaman dahulu. Kemudian, berproses dimana roh-roh diasumsikan dapat
membantu atas dukungan mereka dengan doa dan pengorbanan manusia.
Dengan demikian, praktik tersebut memberikan perubahan yang signifikan,
karena mereka menunjukkan bahwa magis telah diwarnai dan dicampur dengan
agama.91
Oleh karena itu, dengan agama, masyarakat memahami pendamaian atau
konsiliasi kekuasaan yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercaya untuk
mengarahkan atau mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia.
Kekuatan agama lebih tinggi dari manusia dan berusaha untuk mendamaikan atau
menyenangkan.92
Jiwa-jiwa manusia adalah satu di dalam satu spesies (rumpun
manusia). Namun berbeda-beda jika dilihat dari segi kualitas khususnya jiwa ada
bermacam-macam jenis, dan setiap jenisnya dibedakan oleh suatu kualitas khusus
yang tidak terdapat pada jenis jiwa lainnya. Kualitas-kualitas itu muncul menjadi
89
Peter Connolly, ed., Aneka Pendekatan Studi Agama, h. 17. 90
Peter Connolly, ed., Aneka Pendekatan Studi Agama, h. 55. 91
Sir James Frazer, The Golden Bough, h. 51-52. 92
Sir James Frazer, The Golden Bough, h. 54.
70
suatu watak alami yang eksklusif melekat pada jenis jiwanya tersendiri. Perbedaan
jiwa di atas berdasarkan kualitas, terdapat pada jiwa-jiwa para nabi yang memiliki
pengetahuan rabbani. Begitu pun jiwa-jiwa orang yang mengenakan jimat pun
memiliki kualitas (kemampuan) untuk memberikan pengaruh terhadap manusia.93
Adapaun prinsip-prinsip dari praktik magis; pertama, melakukan
pengaruhnya melalui kekuatan mental tanpa alat ataupun bantuan. Kedua,
melakukan pengaruh magis dengan bantuan watak gambar atau benda. Dan
ketiga, melakukan magis dengan menggunakan kekuatan-kekuatan imajinasi.94
Namun, kekuatan magis dan penggunaan jimat dilarang oleh syari‟at agama
karena mengandung bahaya dan mengharuskan orang-orang mempraktikkannya
untuk menghubungkan dirinya dengan benda-benda selain Allah Swt. seperti
bintang-bintang dan lainnya.95
Sejak zaman masyarakat primitif, memang telah ada dan bersemi
kepercayaan-kepercayaan kepada hal-hal yang aneh, ganjil dan roh-roh, maupun
magis. Setelah agama berkembang, dengan diutusnya para rasul-rasul Allah
Swt. lambat laun umat disetiap zaman berangsur-angsur memisahkan antara
kepercayaan kepada hal yang aneh-aneh dengan agama. Menurut Quraish
Shihab, akibat dari minimnya pemahaman terhadap batas pemisah antara
93
Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 683. 94
Sir James Frazer, The Golden Bough, h. 19 95
Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 683.
71
agama dan kepercayaan, maka sangat sering terjadi percampuran antara
keduanya, yakni kepercayaan dengan agama.96
96
Najmil Husna, “Wawasan Sihir dalam Tafsir al-Kabīr”, (Tesis S2 Sekolah Pasca
Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 1427 H/2007 M), h. 84-85. Dikutip dari M. Quraish
Shihab, Yang Tersembunyi, (Jakarta : Lentera Hati, 1999), h. 165.
72
BAB III
SEJARAH JIMAT MASYARAKAT ADAT WEWENGKON KASEPUHAN
LEBAK BANTEN
Islam masuk ke Indonesia karena dibawa oleh orang-orang yang
berdagang melalui jalur India Indonesia yang disebut Gujarat.1 Menurut
Pijnapel, orang-orang Arab yang bermazhab Syafi‟i yang bermigrasi dan
menetap di wilayah India kemudian membawa Islam ke Indonesia. Hal itu
dibuktikan adanya batu nisan di makam Maulana Malik Ibrahim (w. 1822/1419)
di Gersik Jawa Timur.2
Muslim Indonesia telah terasimilasi oleh budaya gujarat, tasawuf, dan
animisme dan dinamisme masyarakat melayu itu sendiri, kemudian hal itu
tertanam sebagai sebuah komponen integral dalam kehidupan keagamaan dan
spiritual bangsa melayu, Indonesia yang berlanjut hingga hari ini.3 Penulis
berpendapat, sangatlah wajar jika Islam Indonesia mempunyai perbedaan yang
mencolok dengan Islam pada umumnya di dunia. Karena sebagian umat Muslim
di Indonesia masih banyak mempercayai kekuatan gaib yang disebut dengan
mana, yaitu tuah atau sakti.
1 Aceng Abdul Azis Dy dkk, Islam Ahlusunnah Waljama‟ah di Indonesia; Sejarah,
Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Pustaka Ma‟arif NU, 2006), cet. ke-I, h. 1. 2 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII (Bandung: Mizan, 1998), cet. ke-4, h. 24. 3 Seyyed Hossein Nasr, ed., Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, terjemahan: M
Solihin Arianto dkk, (Bandung: Mizan, 2003), cet. Ke-I, h. 353.
73
Dalam masyarakat Indonesia orang masih menghargai barang-barang
yang dianggap sakti dan bertuah, seperti golok wafaq,4 keris, batu cincin, dan
jimat al-Qur‟an. Dengan memakai benda serupa ini, orang menganggap akan
dapat terpelihara dari penyakit, kecelakaan, bencana, dan lain-lain. Hal tersebut
tergantung khasiat pada barang-barang yang mereka anggap mempunyai mana, 5
yaitu kekuatan gaib yang dapat memelihara pemiliknya.
Dengan demikian, disadari atau pun tidak, masyarakat yang mempersepsi
pada benda yang bertuliskan ayat-ayat suci al-Qur‟an telah hadir di tengah-
tengah kehidupan masyarakat. Hal ini, seperti yang akan dijelaskan di bawah ini,
tentang hiruk pikuk al-Qur‟an yang hidup dalam masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Citorek Lebak Banten yang menggunakan al-Qur‟an sebagai jimat.
A. Sosial Kemasyarakatan Adat Wewengkon Kasepuhan
1. Letak Geografis dan Sejarah Kasepuhan
Warga Kasepuhan yang bertempat tinggal di daerah Lebak (Banten
Selatan) tinggal di sekitar kawasan Gunung Halimun. Mereka berasal dari satu
kesatuan sosial, sejarah, ekonomi, dan budaya yang sama dengan warga
Kasepuhan yang tinggal di kawasan lain, kompleks Gunung Halimun di wilayah
Bogor Selatan dan Sukabumi.6 Di Banten Selatan (Banten Kidul) warga
4 Golok wafaq merupakan golok yang bertuliskan arab dan dianggap mempunyai
kekuatan magis. 5 Mana dalam bahasa ilmiah kekuatan gaib itu disebut mana dan dalam bahasa Indonesia
mempunyai arti tuah atau sakti. Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya
Jilid I (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985), cet. ke-5, h. 4-5. 6 Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak (Rangkasbitung: Pemerintah Daerah
Kabupaten Lebak bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan
Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, 2006), h. 132.
74
Kasepuhan yang terdiri dari incu putu (keturunan) bermukim di sekitar
Kecamatan Bayah, Cibeber, dan Cipanas. Di Kecamatan Cibeber antara lain
terkonsentrasi di Kampung Tegal Lumbu, Cicarucub, Cisungsang, Cicemet, dan
Simangalih.
Adapun Kasepuhan yang menetap di perkampungan sekitar Desa
Mekarsari, Simagalih, Sukamulya, Neglasari, Hegarmanah, Warung Banten,
Cihambali, Cikadu, dan Citorek. Sedangkan Kasepuhan di wilayah Kecamatan
Cipanas mereka tinggal menyebar di kampung Gajrug, Sajira, dan Guradog.
Sisanya, Kasepuahan yang tinggal di daerah Bogor Selatan adalah Kasepuhan
kampung Urug, kampung Pabuaran, dan Cipatat Kolot Kecamatan Cigudeg.
Selain itu, Kasepuhan yang bermukim di Sukabumi Selatan, mereka menyebar di
sepanjang sungai Cibareno, Kecamatan Cisolok. Warga Kasepuhan menamakan
diri warga „kasatuan‟ (kesatuan adat) dalam tata cara kehidupan mereka masih
kuat dalam menjalankan tatali paranti karuhun, yaitu masyarakat adat kasepuhan
yang masih memegang teguh dan terikat kuat oleh nilai-nilai dan aturan adat
istiadat tradisional yang diwariskan secara turun temurun.7
Pola perilaku sosial budaya masyarakat adat Kasepuhan hingga kini masih
menunjukkan karakteristik budaya Sunda abad ke-16. Walaupun dalam
beraktivitas mereka tidak menutup diri dalam pergaulan dengan masyarakat Desa
pada umumnya. Sikap terbuka yang ditunjukkan oleh masyarakat Kasepuhan yang
membedakan mereka dengan masyarakat Baduy yang bermukim di sekitar
7 Lukman Hakim, Ed., Moh. Ali Fadillah, Banten Dalam Perjalanan Jurnalistik
(Pandeglang: Banten Heritage, 2006), h. 194.
75
kawasan Gunung Kendeng yang terletak tidak jauh dari kawasan Gunung
Halimun.8
Dengan demikian, yang menjadi concern dari letak Geografis di atas
adalah masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten. Di mana,
masyarakat Kasepuhan ini terletak di Kecamatan Cibeber dari sebelah Utara
berbatasan dengan Kecamatan Muncang dan Kecamatan Sobang. Sedangkan
sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Bayah, sebelah Barat berbatasan
dengan Kecamatan Panggarangan dan di sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Sukabumi.9 Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak
Banten berjumlah 5 Desa. Keseluruhan Desa tersebut dinamakan „se-
Wewengkon‟ yang terdiri dari Desa Citorek Tengah, Desa Citorek Timur, Desa
Citorek Barat, Desa Citorek Sabrang, dan Desa Citorek Kidul (Ciusul).10
Sedangkan untuk mencapai ke lokasi masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Citorek Lebak Banten dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu
Rangkasbitung ke Citorek melalui Kecamatan Cipanas-Ciparasi Sobang,
kemudian Kecamatan Muncang +/- 50 Km dan berjalan kaki sekitar 12 Km.
Adapun dari sebelah Rangkasbitung-Cikotok-Warung Banten-Citorek Kecamatan
8 Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, h. 133.
9 Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Parawisata Kabupaten Lebak, Membuka
Tabir Kehidupan Tradisi Budaya Masyarakat Baduy dan Cisungsang Serta Peninggalan Sejarah
Situs Lebak Sibedug (Rangkasbitung: Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Parawisata
Kabupaten Lebak, 2004), h. 77. 10
Badan Pusat Statistik, Kecamatan Cibeber Dalam Angka; Cibeber Subdistrict In
Figures 2016 (Kabupaten Lebak: Badan Pusat Statistik, 2016), h. 5-6.
76
Cibeber bisa ditempuh melalui Malingping-Bayah sekitar 170 Km dan berjalan
kaki sekitar 12 Km.11
Adapun asal-usul warga Kasepuhan masih memiliki hubungan yang erat
kaitannya dengan Kerajaan Sunda terakhir di Jawa Barat yang berkedudukan di
Bogor. Hal ini ditunjukkan ketika Kerajaan Sunda diserang oleh tentara Banten
pada tahun 1579, banyak anggota kerajaan Prabu Siliwangi melarikan diri ke
sekitar kawasan Gunung Halimun, lereng Gunung Cibodas, dan Gunung Palasari
ke Jasinga (Jayanga) dan Bayah, ke pertapaan Sanghyang Sirah dan Borosngoro12
di Jengkulon (Ujung Kulon), bahkan ada yang bergabung dengan penghuni
parahyang (Baduy) di Pegunungan Kendeng.13
Menurut cerita para “baris kokolot” atau tokoh adat di berbagai tempat di
kalangan warga Kasepuhan, silsilah Kasepuhan Banten Selatan terdiri dari dua,
yaitu Pancer Mandiri dan Pancer Pangawinan. Pancer Mandiri merupakan
keturunan sisa-sisa laskar Cirebon yang tinggal di kawasan Bayah. Salah seorang
pemimpin utamanya bernama “Ama Putra”. Pada waktu Siliwangi akan
ngahyang, ia menitipkan keturunan Pancer Pangawinan kepada Pancer Mandiri.
Perhatikan bagan silsilah Adat Kasepuahan di bawah ini.
11
Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Parawisata Kabupaten Lebak,
Membuka Tabir Kehidupan Tradisi Budaya Masyarakat Baduy dan Cisungsang Serta
Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug, 78. 12
Ini merupakan salah satu tempat pertama persinggahan dari keturunan Pancer
Pangawinan. 13
Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, h. 133-134.
77
2. Tatanan dan Filosofi Hidup Masyarakat Kasepuhan
Di kalangan masyarakat Kasepuhan Banten Selatan terdapat suatu filosofi
tentang hidup dan kaitannya dengan alam semesta (makrokosmos) sebagai suatu
sistem yang teratur dan seimbang. Alam semesta akan tetap ada selama elemen-
elemennya masih terlihat dan terkontrol oleh hukum keteraturan dan
keseimbangan yang dikendalikan oleh pusat kosmiknya.14
Dalam kehidupan sehari-hari, filosofi tersebut tampak jelas dalam kegiatan
pengelolaan sumber daya alam. Hal ini seperti yang mereka lakukan dalam
14
Lukman Hakim, Ed., Moh. Ali Fadillah, Banten Dalam Perjalanan Jurnalistik, h. 196-
197.
Kasepuhan Adat
Pancer Mandiri Pancer Pangawinan
Ki Demang Haur Tangtu Guru Alas Luminang Kendungan Puun Buluh Panuh
Ki Buyut Mar (dari Guradog ke Lebak Binong)
Nini Buyut Tundasara
?
Kasepuhan Citorek Kasepuhan Bayah Ki Buyut Mas (dari Lebak
Binong ke Cipatat)
Ki Buyut Sak (Ki Buyut
Sukma Sambung Jaya) Ki Buyut Boa Ros (Ki Buyut Sukma Kalang Dewa)
Nini Buyut Kas (Lebak Larang)
Aki Buyut ij
?
Kaepsuhan Cisungsang
Aki Buyut War (dari Cipatat ke Lebak Larang)
Aki Buyut Ros Nini Buyut Sam (Cibeber)
?
Kasepuhan Cicarucub
Genealogi (silsilah) adat Kasepuhan
Banten Selatan
(Sumber: Doc. Pemda Lebak)
78
mengelola sumber daya hutan dan pertanian, kegiatan ekonomi, kesehatan dan
kehidupan keagamaan berpegang teguh pada tatali paranti karuhun.
Dalam upaya melaksanaka doktrin tatali paranti karuhun di atas,
masyarakat Citorek yang berketurunan pancer pangawinan mengembangkan
ajaran dasar pembinaan moral yang disebut ngaji diri (intropeksi diri) untuk
mencapai kondisi yang seimbang antara makrokosmos dan mikrokosmos. Konsep
ajaran tersebut yang bermakna sebagai mawas diri atau mengintrospeksi kembali
kepada jiwa (muḫasabatul nafsī). Prinsip tersebut dilakukan agar manusia
terhindar dari perbuatan iri dan dengki pada sesama. Dalam istilah kasepuhan
disebut dengan sirik pidik iren panastren.15
Praktik kehidupan masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Citorek
memberikan petuah (al-ḫikmah) dalam kehidupan sehari-hari. Dalam upaya
melawan sifat sirik pidik iren panastren, dilakukan melalui meditasi (tafaḵur atau
nyepi). Gunanya adalah untuk mencapai ketertiban dan keselarasan dalam
kehidupan sosial di Dunia, sebagai bekal di kemudian hari untuk kehidupan di
Akhirat nanti.
Agar tercapai kehidupan yang selaras, tertib, aman, dan tentram dalam diri
manusia, warga Kasepuhan berpegang pada prinsip ucap jeung lampah yang
berarti antar ucapan dan perbuatan harus seimbang, tidak bertentangan satu sama
lain. Hal ini digambarkan dalam mipit kudu amit, ngala kudu menta, 16
nganggo
15
Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, h. 137. 16
mipit kudu amit, ngala kudu menta merupakan setiap kali akan memetik atau menuai
hasil pertanian, warga kasepuhan harus memohon izin kepada para karuhun dengan berpegang
teguh pada tatali paranti karuhun. Do‟a tersebut diucapkan oleh sesepuh sesepuh Girang
79
kudu suci, dahar kudu halal, kalawan ucap kudu sabenerna,17
mupakat kudu
sarerea, 18
ngahulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara.19
Isi dari kesusasteraan
Sunda tersebut merupakan ajaran keagamaan atau etika bermasyarakat atau
tentang hal-hal yang bertalian dengan hidup orang Sunda.20
Kemudian, selain itu, apabila mempunyai tujuan hidup (cita-cita) harus
diimbangi dengan ukuran tertentu, yaitu ukuran posisi tengah. Hal itu tampak dari
berbagai ungkapan seperti hareup bisi tijongklok, tukang teuing bisi tijengkang.21
Sebuah ungkapan yang dimiliki orang Sunda pada masa lampau, seperti
diungkapkan dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian: dahar tamba
lapar, nginum tamba hanaang.22
(Guradog) atau tokoh adat lainnya pada setiap awal kegiatan sosial masyarakat Kasepuhan. Lihat,
Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak (Rangkasbitung: Pemerintah Daerah
Kabupaten Lebak bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan
Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, 2006), h. 138. 17
nganggo kudu suci, dahar kudu halal, kalawan ucap kudu sabenerna merupakan dalam
setiap tingkah laku seahri-hari, masyarakat Kasepuhan harus jujur, dan bentuk apapun yang
mereka peroleh harus dibenarkan oleh aturan adat serta dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Kasepuhan tidak diperkenankan untuk berbuat bohong, berbicara apa adanya. Lihat, Nina Herlina
Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, h. 138. 18
mupakat kudu sarerea, ngahulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara adalah dalam setiap
musyawarah, baik resmi atau pun tidak harus berdasarkan keputusan bersama. Hal ini ditunjukan
oleh semua masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten dalam pembangunan
rumah, semuanya menghadap ke Timur dan Barat. Referensi ini didapat ketika wawancara dengan
tokoh agama, yaitu Rustandi, warga Babakan Cicurug Desa Citorek Tengah Lebak-Banten, 29
Maret 2017. 19
ngahulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara adalah dalam kehidupan sehari-hari,
masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten harus taat dan berpedoman pada
hukum yang berlaku dan berlindung pada hukum Negara. Lihat, Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah
Kabupaten Lebak, h. 139. 20
Ajip Rosidi, Sastera dan Budaya Kedaerahan dalam Keindonesiaan, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1995), h. 378.
21 hareup bisi tijongklok, tukang teuing bisi tijengkang bermakna terlalu depan bisa
tersungkur, terlalu belakang bisa tertelentang. Lihat, Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten
Lebak (Rangkasbitung: Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak bekerja sama dengan Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, 2006),
h. 139. 22
Sanghyang Siksakandang Karesian: dahar tamba lapar, nginum tamba hanaang adalah
ajaran masyarakat Kasepuhan dalam hal terkecil pun seperti makan harus seimbang, yaitu makan
80
Filosofi kehidupan yang dijadikan konsep dasar ideal masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten merupakan prinsip moral dalam
kehidupan sehari-hari, agar tercipta masyarakat Kasepuahan yang selaras, tertib,
aman, tentram, dan bersahabat dengan alam. Sebagaimana yang diajarkan oleh
tatali paranti karuhun. Sebaliknya, apabila dalam setiap langkah kehidupan tidak
sesuai dengan tatali paranti karuhun akan mendatangkan bencana (kabendoan).
Adapun dalam perspektif sistem pemerintahan masyarakat Kasepuhan
mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional dan sistem adat. Sistem
nasional mengacu pada aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan
sistem adat mengacu pada adat istiadat Kasepuhan. Kedua sistem tersebut
disatupadukan atau berasimilasi sedemikian rupa agar tidak berbenturan satu sama
lain. Secara nasional, masyarakat Kasepuhan dipimpin oleh Kepala Desa yang
kedudukannya di bawah Camat, dan dalam sistem adat ia tunduk kepada kaolotan
atau adat Kasepuhan.23
Akan tetapi, Kepala Desa atau lurah masyarakat Kasepuhan menyebutnya
dengan istilah Jaro/kajaroan.24
Term tersebut sudah populer dan dikenal hampir di
sekedar menghilangkan rasa lapar, dan minum pun hanya sekedar menghilangkan rasa haus. Lihat,
Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, h. 139. 23
Olot adalah pemimpin yang menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan
masyarakat. Olot ditetapkan berdasarkan garis keturunan langsung (putra) dari olot terdahulu
melalui wangsit yang diperoleh dari sesepuh. Selain itu, ia juga harus berwibawa dan menjalani
berbagai ritual semedi (bermeditasi) dan tidak boleh melanggar aturan adat yang ditetapkan tatali
paranti karuhun. Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, h. 145. 24
Menurut HMA, Tihami Jaro berasal dari bahasa Arab yaitu al-Jaru yang artinya
tetangga. Kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi Jaro. Term Jaro merupakan
mengadaptasi aspek semantik, kemudian terbentuknya entitas Kajaroan dimulai dari keberadaan
pemukiman/rumah tempat tinggal satu keluarga. Pemukiman ini, secara alamiah kemudian
bertumbuh-kembang dengan melahirkan tetangga-tetanga (al-Jaru). Di dalam pemukiman
ketetanggaan yang terus bertumbuh dan semakin banyak jumlahnya itu kemudian lahir sistem
pengetahuan bersama yang mengatur penyelenggaraan tata kehidupan masyarakat yang disebut
81
seluruh wilayah Banten sampai hari ini. Kecuali di beberapa daerah di sekitar
Kabupaten Tangerang, dimana istilah Jaro dipergunakan untuk menyebut Kepala
Kampung/RW maupun RT.25
Di tanah kajaroan terdapat beberapa bentuk kearifan lokal, di antaranya;
Pengelolaan sawah tangtu, tradisi kuriak atau babad jalan (gotong royong),
kewajiban bayar pancen sehabis panen satu tahun satu kali, pengelolaan leuit
Kasepuhan, dan tradisi liliuran (saling membantu satu sama lain).26
Adapun struktur Pemerintahan Kasepuhan terdiri dari olot yang sejajar
dengan Bupati. Akan tetapi, garis atau hubungannya tidak langsung. Di dalam
praktik pelaksanaannya dunia kaolotan atau Kasepuhan dibantu langsung oleh
sekretaris dan penasihat, serta sejumlah sesepuh adat lainnya disebut Rendangan.
Tugas sehari-harinya, Kasepuhan dibantu oleh pangampih (dukun), bengkong
(juru khitan), amil (pengurus keagamaan), paraji (dukun persalinan dan pranata
yang menyertainya), dan panday (pengurus pertanian dan peralatannnya). Selain
itu, olot juga dibantu oleh olot lembur (wilayah) yang berperan sebagai
perwakilan langsung olot di setiap wilayah.27
dengan pemimpin, yaitu Jaro. Lihat, Agus Sutisna, Revitalisasi Kajaroan; Jalan Alternatif Menuju
Otonomi Desa di Banten (Rangkasbitung Banten: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi La Tansa Mashiro Rangkasbitung, 2003), h. 27-28. 25
Agus Sutisna, Revitalisasi Kajaroan; Jalan Alternatif Menuju Otonomi Desa di Banten,
h. 3. 26
Wawancara dengan Mulyadi Sugiansar, tokoh budayawan adat wewengkon Kasepuhan
Citorek pada tanggal 19 April 2017. 27
Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, h. 146.
82
3. Tradisi Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek
a. Tradisi Lokal
Mata pencaharian mayoritas masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek Lebak Banten dalam bidang pertanian. Hal ini sudah dilansir oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Lebak pada Tahun 2016 dimana masyarakat
Adat Kasepuhan Citorek Tengah memiliki lahan panen padi seluas 307,0 Ha,
Citorek Timur 145,0 Ha, Citorek Kidul 218,0 Ha, Citorek Barat 320,0 Ha, dan
Citorek Sabrang 347,0 Ha. Dalam satu kali panen (satu tahun satu kali)
masyarakat Adat Kasepuhan Citorek Tengah berproduksi 1.627 Ton, Citorek
Timur 783 Ton, Citorek Kidul 1.199 Ton, Citorek Barat 1.760 Ton, dan Citorek
Sabrang 1.672 Ton.28
Sehingga, kegiatan sosial di atas yang menjadikan tali ikatan bagi
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten bagi mereka
dimana pun berada adalah upacara Seren Tahun.29
Budaya tersebut warisan dari
zaman kerajaan Sunda dan terus bertahan hingga kini.30
Hal itu dilakukan karena
rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan Allah Swt. hasil panen yang
dilaksanakan pada tahun terdahulu, disertai harapan agar tahun selanjutnya
kehidupan pertanian akan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
28
Badan Pusat Statistik, Kecamatan Cibeber Dalam Angka; Cibeber Subdistrict In
Figures 2016 (Kabupaten Lebak: Badan Pusat Statistik, 2016), h. 67-68. 29
Seren Tahun merupakan upacara ritual sedekah bumi dilaksanakan setiap tahun setelah
panen padi usai. Kegiatan ini menggambarkan ucapan syukur masyarakat kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas rezeki yang telah diberikan dengan selametan. Upacara adat ini langsung dipimpin
oleh Kasepuahan Pusat. Pada upacara adat tersebut biasanya hadir semua sanak family dari
berbagai daerah dan kota, sehingga suasananya sangat meriah dan ramai. Lihat, Lukman Hakim,
Ed., Moh. Ali Fadillah, Banten Dalam Perjalanan Jurnalistik (Pandeglang: Banten Heritage,
2006), h. 197. 30
Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, h. 139-140.
83
Dalam prosesi kegiatan pertanian khususnya tanaman padi melalui upacara
adat ke dalam beberapa tahap, yaitu nandur, upacara selamatan awal menanam
padi (dari mulai padi disemaikan), salametan mapag pare beukah, yaitu upacara
selamatan padi mulai berisi atau mulai berbuah, salamet mipit pare, yaitu upacara
selamatan memetik padi, salametan nganyaran, yaitu upacara selamatan makan
padi baru, dan seren tahun, yaitu upaca rasa syukur yang dilakukan Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten atas hasil panen yang telah didapat
dan diiringi dengan menampilkan berbagai macam kesenian daerah.31
Sebelum bercocok tanam padi (nandur) di atas, masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek bercocok tanam padi di daratan terlebih dahulu,
yang disebut ngahuma. Ketika masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan hendak
melakukan nandur, pusat Kasepuhan menginstruksikan agar pelaksanaannya tidak
random, melainkan harus bersama-sama seluruh incu putu Wewengkon Citorek.
Kemudian, apabila setelah padi merunduk dan berisi. Tata cara
pengambilan padi di sawah harus diawali dengan sawah tangtu32
terlebih dahulu.
Selain itu, Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek memerintahkan agar
melaksanakan nandur (menanam padi) atau pun salamet mipit pare (menjelang
panen padi) harus bersama-sama dan pelaksanaannya satu tahun sekali
mempunyai makna filosofis, yaitu memutus mata rantai generasi hama seperti
31
Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Parawisata Kabupaten Lebak,
Membuka Tabir Kehidupan Tradisi Budaya Masyarakat Baduy dan Cisungsang Serta
Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug (Rangkasbitung: Dinas Informasi, Komunikasi, Seni
Budaya dan Parawisata Kabupaten Lebak, 2004), h. 84. 32
sawah tangtu adalah sawah milik adat Kasepuhan yang dikerjakannya secara gotong
royong oleh semua incu putu, masyarakat adat wewengkon Citorek. Hasil wawancara dengan
Budayawan Citorek, Mulyadi Sugiansar pada tanggal 19 April 2017 pukul 13.54 WIB.
84
tikus maupun burung, karena letak pertanian Wewengkon Citorek dikelilingi
hutan rimba.33
Menurut Jaro Jajang, tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek mempunyai makna yang sama dengan nilai-nilai
Islam. Salah satunya adalah pelaksanaan panen padi yang diselenggarakan satu
tahun secara gotong royong, seren tahun yang diselenggarakan di pusat Adat
Wewengkon Kasepuhan dan semua incu putu ikut serta menyukseskan dalam
prosesi tersebut, serta kuriak (gotong royong) dalam memberesihkan jalan
mempunyai makna persatuan dan kesatuan. Sebagaimana firman Allah Swt. “Dan
berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
bercerai-berai.”34
Dalam perspektif kaolotan Kampung Babakan Cicurug Kasepuhan Citorek
Tengah, menurut olot Sariman tradisi masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek mulai dari mula sara tutup bulan sani tahun, yaitu mengadakan ziarah
kubur akbar seluruh masyarakat Adat Wewengkon untuk mendoakan orang-orang
yang telah wafat. Selain itu, sebelum acara seren tahun ditentutakan jatuh pada
tanggal berapa? Semua pengurus Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Terlebih
dahulu mengadakan beberes yaitu musyawarah mufakat dalam menentukan acara
tersebut.
33
Hasil wawancara dengan Budayawan Citorek, Mulyadi Sugiansar pada tanggal 19
April 2017 pukul 13.54 WIB. 34
Lihat, Qs. „Ali-Imrān: 103. Hasil wawancara dengan pengurus AMAN (Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara), Jaro Jajang pada tanggal 21 April 2017 pukul 14.11 WIB.
85
Pada prosesi acara ini, semua sanak family dimana pun berada baik di kota
maupun di luar kota pulang ke kampung halaman (nyaba). Istilah tersebut dalam
pandangan dunia adat Kasepuhan disebut balik tahun, layaknya seperti pulang
kampung pada saat Bulan Puasa menjelang hari raya umat Islam yang jatuh pada
tanggal 1 Syawal, yaitu Idul Fitri.35
Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek mempunyai tradisi yang
hampir sama dengan wilayah masyarakat adat Kasepuhan Banten Selatan, yaitu
dalam setiap tahunnya dilaksanakan nyawah (bercocok tanam/pertanian), ternak
ikan mas, kemudian ditutup dengan syukuran geude (selamatan akbar) yang
diselenggarakan di pusat Kasepuhan Citorek, yaitu di Rumah Timur (Pusat
Kasepuhan Citorek).
Selain itu, di tengah-tengah seren tahun dilaksanaan khitanan masal yang
disebut heularan. Hal ini tergantung masyarakatnya yang meminta kepada tokoh
Kasepuhan. Dalam heularan terdapat tradisi yang unik, salah satunya adalah
menghantarkan anak-anak yang dikhitan secara beriring-iringan menggunakan
35
Hasil wawancara dengan Tokoh Kasepuhan Kampung Babakan Cicurug Desa Citorek
Tengah, Olot Sariman pada tanggal 19 April 2017 pukul 19.02 WIB.
kawasa yen (yang berkuasa untuk menyembuhkan) hanya Allah Swt. yang telah
memberikan magis (kesembuhan) pada air tersebut, bukan malah sebaliknya.
Adapun dasar atau motive (alasan) yang membolehkan dalam membuat
atau pun menggunakan benda-benda bertuah (magis) adalah ustadz al Khoiri
berpegang teguh pada pengalamannya ketika berijazah langsung di Pasuruan,
Kediri Jawa Tengah, dan Cirebon Jawa Barat pada saat nyantri.
Fenomena jimat yang dipraktikan masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan, menurut Ustadz Mukhtar sudah ada sejak zaman nabi Muhammad
Saw. ketika beliau tercengang mendengar keistimewaan salah seorang pemuda
yang dapat menyembukan setiap orang yang mengalami sakit kepala dengan
pecinya. Maka Rasulullah Saw. pun berkeinginan mengetahui rahasia
keistimewaan dari benda itu. Ketika Rasulullah Sawt. berkunjung dan melihatnya,
dalam peci pemuda terdapat doa-doa yang berbahasa Persia, maka nabi
Muhammad Saw. menggantikannya dengan lafaẓ al-Qur‟an.115
Adapun jimat berbentuk lafaẓ al-Qur‟an berupa ayat-ayat yang dipotong-
potong terdapat pada kertas, golok, kulit binatang, seperti kulit harimau dan kulit
muncak (kijang), kemudian dibungkus dengan rapih. Benda-benda tersebut dapat
memberikan keberkahan (ziyadatu al-khoir) dalam kehidupan sehari-hari baik
pada pembuat maupun pengguna, karena terdapat nilai-nilai ibadah (doa).116
115
Wawancara dengan tokoh agama Citorek Kidul, Ust. Mukhtar al Khoiri pada tanggal
23 April pukul 11.12 WIB. 116
Wawancara dengan tokoh agama Citorek Barat, Ust. Harjat pada tanggal 20 April
2017 pukul 17.37 WIB.
115
Menurut tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa
Citorek Tengah, kyai Sarku, penggunaan al-Qur‟an sebagai barang yang bertuah
dalam bentuk jimat al-Qur‟an wajar dilestarikan, karena Imam al Ghazali pun
mempraktikannya.117
Kitab yang menjadi rujukan dalam pembuatan jimat al-
Qur‟an adalah kitab al-aufāq dan ijazah. “Imam al-Ghazali bae geh makekeun
kana eta wafaq anu imam alim sareng hujatul Islam, nah urang selaku generasi
ayeuna kudu nyonto kanu hal seperti kitu” ujar tokoh agama Desa Citorek
Tengah.118
Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek yang mempersepsi dan
mempraktikkan al-Qur‟an sebagai jimat dalam bentuk wafaq maupun lafaz al-
Qur‟an merupakan syariat atau ikhtiar (usaha) untuk menyelesaikan masalah
kesehatan, kelancaran usaha, dan keselametan karena bentuk pengharapan mereka
atas keutamaan al-Qur‟an.
Fenomena yang dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek sama halnya seperti orang sakit meminta saran kepada dokter, kemudian
117
Hasil wawancara mendalam dengan tokoh agama Desa Citorek Tengah, Kiyai Sarku
pada tanggal 19 April 2017 pukul 22.30 WIB.
118
Imam al-Ghazali bae geh makekeun kana eta wafaq anu imam alim sareng hujatul
Islam, nah urang selaku generasi ayeuna kudu nyonto kanu hal seperti kitu merupakan penisbahan
kepada Imam al-Ghazali yang pernah mempraktikkan potongan-potongan huruf hijaiyyah maupun
lafaz al-Qur‟an yang mempunyai kekuatan magis. Maka, generasi abad sekrang pun harus
mencontoh apa yang sudah dipraktikkan Imam al-Ghazali dan para ulama mutaqqadimin maupun
ulama muta‟akhirin. Hasil wawancara mendalam dengan tokoh agama Desa Citorek Tengah, Kiyai
Sarku pada tanggal 19 April 2017.
116
pasien mendapatkan resep obat. Hakikat dari dua fenomena tersebut adalah sama.
Perbedaannya terletak pada kedudukannya saja.119
Tradisi praktik yang biasa dilakukan masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Citorek dalam memaknai al-Qur‟an sebagai barang bertuah. Tidak
hanya itu, masyarakat Wewengkon Citorek mencintai barang-barang yang
bertuliskan ayat al-Qur‟an seperti cincin, golok wafaq, maupun ditulis langsung di
atas punggung pasien dengan minyak zafa‟ran. Ini merupakan sebuah ekspresi
kecintaan masyarakat terhadap al-Qur‟an. Pemilihan minyak zafa‟ran sebagai
salah satu media jimat al-Qur‟an dipercaya dapat membangkitkan daya
metafisika. Oleh karena itu, minyak zafa‟ran dianggap sangat cocok untuk
dijadikan jimat.120
119
Wawancara dengan tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa
Citorek Timur, K.H. Mahmud pada tanggal 21. 120
Wawancara dengan tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa
Citorek Timur, K.H. Mahmud pada tanggal 21 April pukul 10.04.
Gambar III.6 Minyak zafa‟ran
yang biasa digunakan bahan
pembuatan Jimat tokoh agama
wewengkon Citorek.
(Sumber:https://www.google.co
m/imgres Diakses pada tanggal
5 Mei 2017.)
117
BAB IV
PENGGUNAAN JIMAT MASYARAKAT ADAT WEWENGKON
KASEPUHAN LEBAK BANTEN
A. Bentuk-bentuk Jimat
Dalam persepsi masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek, jimat
merupakan benda yang mempunyai tuah atau mana. Tidak sedikit dari mereka
mempraktikkan benda-benda magis guna sebagai pangabaran (karismatik) yang
tinggi di setiap mata manusia, kekebalan tubuh, teteungeur hate (pegangan),
keselamatan, dan keberkahan hidup dalam keseharian.1
Jimat yang digunakan masyarakat Kasepuhan beragam bentuknya; berupa
jimat yang diambil dari ayat-ayat suci al-Qur‟an hingga dipotong-potong menjadi
huruf-huruf hijāiyyah, ayat-ayat tertentu dan surat-surat tertentu, keris, golok,
tombak, pisau, jangjawokan,2 minyak za‟faran, cincin, kemenyan, sepaheun,
3
hingga kunyit panglai dipersepsi oleh masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
mempunyai makna tertentu.
1 Praktik magis yang dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan atas persepsi
mereka terhadap al-Qur‟an guna sebagai jimat dalam antropologi lebih dikenal (populer) dengan
supranatural beings, merupakan inti dari kepercayaan keagamaan. Lihat, Bustanuddin Agus,
Agama Dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2006), h. 61. Fenomena praktik magis pada masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
merupakan hasil dari bagaimana masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan membentuk pandangan
mereka tentang dunia (world view) yang ada di sekelilingnya. Hal ini sebagaimana antropolog
seperti Clifford Geertz dan Victor Turner mendefinisikan demikian. Lihat, Ridwan Lubis,
Sosiologi Agama; Memahami Perkembangan Agama dalam Interaksi sosial (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), h. 7. 2 Jangjawokan merupakan mantra atau doa-doa berasal dari bahasa Sunda kuno/bahasa
buhun (kolot buhun baheula). 3 Sepaheun merupakan menu ketika hendak menyepah yang terdiri dari gambir, yaitu
endapan rebusan daun gambir yang airnya diuapkan, dicetak bulat atau persegi, dipakai sebagai
campuran makan sirih, apu, yaitu kapur yang sudah diendapkan untuk ramuan makan sirih
dicampur dengan gambir, kapulaga, cengkih, dan biji buah pinang .
118
1. Ayat dan Surat Magis4
Fenomena yang telah dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek Lebak Banten dalam mempraktikkan jimat ayat-ayat suci al-Qur‟an
berupa wafaq5 yang terdiri dari huruf-huruf hijāiyyah dan ayat-ayat tertentu
maupun surat-surat tertentu dalam kehidupan keseharian, dibenarkan oleh tokoh
agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Kampung Babakan Cicurug
Desa Citorek Tengah, kyai Sarku. Karena ia, setiap harinya kedatangan dari
berbagai kalangan untuk nyareat.6 Baik dari kalangan pengusaha, kalangan
pemuda, kalangan kejawaraan, dan kalangan politikus.
Oleh karena itu, pembuatan jimat jimat al-Qur‟an, menurut kyai Sarku
suatu perkara mudah, tiga puluh menit atau pun satu jam lamanya penulisan wafaq
itu dapat diselesaikan. Perkara yang menyebabkan lama dan sulit dalam
pembuatannya dari ayat-ayat suci al-Qur‟an adalah memasukkan khadam
(kekuatan magis) pada jimat tersebut dengan melalui puasa dan salat istikharah.7
4 Maksudnya adalah surat-surat yang mempunyai watak yang inheren atau rahasia
aktifitas yang terdapat dalam surat-surat yang digunakan sebagai praktik magis (jimat). Lihat, Ibnu
Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, h. 695-696. 5 Wafaq adalah salah satu sarana ataupun media yang biasa digunakan oleh para
pengguna, seperti jawara, pedagang, politisi, dan lain sebagainya dalam mengolah kekuatan ilmu
magis. Adapun kegunaannya bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan, agar memiliki karisma
atau wibawa (pangabaran) yang tinggi, pengasihan, tidak mempan dibacok, kebal, bahkan sebagai
media dalam menarik keuntungan dalam berbisnis dan kontestasi politik. Lihat, Fahmi Irfani,
Jawara Banten; Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 69-70. 6 Nyareat adalah usaha yang dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek
agar diberikan petunjuk, kelancaran dan doa kepada Kyai. Nyareat dalam perspektif Imam al-
Ghazali merupakan usaha yang dilakukan manusia agar mendapatkan pancaran cahaya (petunjuk)
dari ahli hikmah (kyai). Lihat, al-Ghazali, Tafsir Ayat Cahaya dan Telaah Kritis Pakar, terjemahan
Hasan Abrori dan Mashur Abadi, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h. 45-46. 7 Wawancara dengan tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Kampung
Babakan Cicurug Desa Citorek Tengah, Kyai Sarku pada tanggal 19 April 2017.
119
Apabila kedatangan dari salah satu pengguna jimat al-Qur‟an yang
mengharapkan, agar seluruh badannya tidak mempan untuk dibacok (kekebalan).
Menurutnya, syarat utamanya adalah harus meyakini lafaẓ-lafaẓ al-Qur‟an yang
ada di dalam jimat itu mempunyai sisi magis khadam di luar nalar manusia yang
dapat melindunginya.
Pembuatan jimat al-Qur‟an diambil dari ayat-ayat suci al-Qur‟an berupa
lafaẓ. Kemudian, lafaẓ-lafaẓ al-Qur‟an dipotong-potong (al qata‟) hingga menjadi
huruf hijāiyyah yang dielaborasikan dengan numerik-numerik Arab, lafaẓ Allah,
nama Nabi Muhammad Saw, nama-nama malaikat, dan nama-nama Khulafaur
Rasyidin. Ayat-ayat al-Qur‟an yang biasa digunakan dalam pembuatan jimat
diantaranya yaitu lafaẓ basmallah, ayat kursi, asmul husna,8 Surat al-ikhlāṣ,
maupun kalimat-kalimat tauḫid, seperti lāḫaula walā quuata illā billāhi. Adapun
kegunaan dari ayat-ayat di atas, tergantung dari permintaan dan kebutuhan
pengguna yang ditujukkan langsung pembuat, ahli hikmah yaitu kyai.
Jimat yang sudah selesai tidak langsung digunakan penggguna, melainkan
dipraktikan terlebih dahulu oleh pembuat, kyai. “Si azimat/jimat dijajal heula
jeung urangna dibacok ku golok apakah mempan apa hanteu? Nah mun tos
8 Asmaul Husna merupakan nama-nama terbaik bagi Allah swt yang berjumlah 99 nama.
Sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah Saw. “Aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama-
Mu, yang Engkau gunakan untuk menyebut diri-Mu, atau yang Engkau wahyukan dalam kitab-
Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada siapa pun dari makhluk-Mu, atau yang Engkau layakkan
bagi diri-Mu dalam pengetahuanm-Mu mengenai hal-hal yang gaib.” Makna dari 99 nama ini,
Seperti Raja yang memiliki seribu abdi: orang dapat mengatakan bahwa raja memiliki Sembilan
puluh Sembilan abdi, dan kalau mereka dimintai bantuannya, maka tidak ada musuh yang dapat
melawannya. Yang ditetapkan adalah bilangan yang diperlukan untuk mendapatkan bantuan yang
diperlukan orang dari mereka, disebabkan oleh tambahan kekuatan mereka, atau karena bilangan
itu akan cukup untuk memukul mundur musuh tanpa memerlukan tambahan. Itu tidak menetapkan
bahwa hanya sejumlah itu adanya. Lihat, Al-Ghazali, Al-Asma‟ Al-Husna terjemahan Ilyas Hasan
(Bandung: Mizan, 2000), h. 209-210.
120
sukses karak dipasihkeun ka anu ngabtuhken.”9 Kemudian, ketika jimat al-Qur‟an
itu sudah diisi doa-doa khusus, maka jimat tidak boleh dipergunakan dalam
keangkuhan dan kesombongan. Di dalam prosesi menggunakannya harus
mengusahakan agar semua anggota badan dalam keadaan suci, lantaran di dalam
jimat terdapat ayat-ayat suci al-Qur‟an. Selain itu, perlu ditekankan dalam hati
dengan penuh keyakinan dan penyerahan diri kepada Allah bahwa segala sesuatu
berada di bawah kekuasaan-Nya dan dibarengi dengan ketaqwaan.
Jimat di atas berfungsi sebagai daya tahan tubuh dari orang yang hendak
menembak maupun membacok. Penulis menemukan beberapa ayat-ayat tertentu
dan surat-surat tertentu. Salah satunya adalah ayat tentang pemeliharaan manusia
9 Maksudnya adalah jimat yang sudah dibuat tidak langsung diberikan kepada pengguna,
melainkan jimat tersebut digunakan terlebih dahulu si pembuat, sekaligus dicoba dengan
menggunakan golok apakah ada khasiatnya atau tidak? Kemudian, apabila jimat itu sudah ada
khasiatnya (khadam) barulah dikasihkan kepada pengguna.
Gambar IV.1 Jimat al-Qur‟an
berfungsi sebagai kekebalan
yaitu tidak mempan dibacok
maupun ditembak.
121
yang dilakukan para malaikat atas perintah Allah Swt. dari gangguan berbagai
makhluk.10
Selain itu, istilah pemeliharaan dalam al-Qur‟an sangat beragam makna.
Hal ini sesuai dengan teks maupun konteks yang mengitarinya dari ayat-ayat yang
terdapat dalam jimat kekebalan di atas. Pemeliharaan baik berupa yang dilakukan
oleh Allah Swt.11
secara langsung maupun pemeliharaan terhadap Nabi Yūsuf as.
dari saudara-saudaranya yang hendak mencelakakannya,12
hingga pemeliharaan-
pemeliharaan lain yang tersurat maupun tersirat dalam al-Qur‟an. Sehingga, ayat-
ayat tentang pemeliharaan itu dinisbahkan kepada pengguna.
Dalam hal ini, jimat di atas terdapat 17 Surat. Tapi, ada dua ayat yang
sama dalam jimat itu, yaitu Surat Hūd: 57, guna sebagai mediator tidak mempan
dibacok maupun anti peluru. Ayat-ayat di bawah ini dipergunakan sebagai bahan
dasar jimat, dikarenakan ayat-ayat tersebut termasuk dalam kategori ayat al-
muḫafaḍah (pemeliharaan).
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. (Qs: al-Fātiḫah: 1).
Menurut Syaikh Muhammad Mutawalī al-Sya‟rāwī manakala orang
mukmin mengucapkan “Aku berlindung kepada Allah dari gangguan setan yang
terkutuk,” berarti dirinya telah masuk dalam kebersamaan Allah, dan ketika itulah
10
Lihat, Q.S. Al-An‟ām: 61.
11 Lihat, Q.S. Huud: 57.
12 Lihat, Q.S. Yusuf : 64.
122
Setan tidak menemukan jalan untuk menjangkaunya. Inilah yang dimaksud
dengan ( مه الشيطان السجيمالله فإذاقسأت القسءان فاستعر ب ).
Selain itu, manakala kita hendak beraktivitas apa pun wajib mengucapkan
sebab, al-Qur‟an ketika turunnya telah mengandung perintah (بسم الله السحمه السحيم)
penyebutan nama Allah Swt. Kalimat basmallah dilihat dari dua sudut: Pertama,
dari sudut manusia. Jika kita berbicara dengan orang lain dalam urusan tertentu,
lalu kita ingin meyakinkannya tentang urusan itu agar ia melaksanakannya,
biasanya orang tersebut bertanya; Atas nama siapa saudara berbicara dengan aku?
Kita selaku yang punya gagasan dan ingin meyakinkan orang yang kita hadapi itu
biasanya mengatakan: “Aku berbicara atas nama Pemerintah, atau atas nama
Wakil Rakyat”. Kalau persoalannya demikian, apalagi dengan kedudukan al-
Qur‟an yang diturunkan dari Allah, Tuhan yang telah menyerahkan seluruhnya
kepada kita, lalu kita diberi keleluasaan mengkelolanya sebagai khalifah-Nya di
muka bumi.13
Menurut Syaikh Muhammad Ghazali, bacaan basmallah dapat berfungsi
sebagai proteksi dari segala bahaya dan kejahatan. Selain itu, orang yang hendak
melakukan aktivitas dan sebelumnya membaca basmallah dapat memberikan
manfaat berupa kesehatan jiwa.14
Sementara menurut Jalāluddīn as-Suyūṭhī, surat
al-Fātiḫah dapat digunakan sebagai obat bagi semua penyakit dan ar-Ruqyah.15
13
Syaikh Mohamad Motawalli As-Sya‟rawi, Meniti Jalan Menuju Al-Qur‟an, terjemahan
Usman Hatim (Jakarta: Yayasan Alumni Timur Tengah, 2010), h. 228 dan 232. 14
Syaikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik Dalam Al-Qur‟an, terjemahan Qodirun
Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 1 dan 4. 15