Top Banner
Hal. 1 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR PUTUSAN NOMOR 106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA; Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang mengadili perkara-perkara pidana dalam peradilan tingkat banding, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dibawah ini dalam perkara atas nama Terdakwa : Nama lengkap : JOHANNESSITORUS. Tempat lahir : Porsea (Sumatera Utara). Umur/tgl. lahir : 62 tahun/16 April 1955. Jenis kelamin : Laki-laki. Kebangsaan : Indonesia. Tempat tinggal : Jl. Jend. Sudirman No. 453, Jalan Kavling I No. 6.D. Tangkerang, Kota Pekanbaru. Agama : Kristen. Pekerjaan : Wiraswasta (Pimpinan Perkebunan Kelapa Sawit Lubuk Sakat, Desa Buluh Nipis, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar). Pendidikan : S1 (Tidak Tamat). Terdakwa ditahan berdasarkan surat perintah/penetapan penahanan sebagai berikut : 1. Penyidik sejak tanggal 01 Desember 2004 sampai dengan tanggal 15 Desember 2004; 2. Ditangguhkan penahanan oleh Penyidik sejak tanggal 15 Desember 2004; 3. Ditahan oleh Penuntut Umum sejak tanggal 13 Maret 2017 sampai dengan tanggal 22 Maret 2017; 4. Hakim Pengadilan Negeri Bangkinang sejak tanggal 23 Maret 2017 sampai dengan tanggal 21 April 2017 ; PENGADILAN TINGGI TERSEBUT; Telah membaca : 1. Surat Penetapan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Pekanbaru tanggal 30 Mei 2017 Nomor : 106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR, tentang penunjukan
76

PUTUSAN NOMOR 106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR DEMI …simkara.pt-pekanbaru.go.id/files_pidana/0a5c79b1eaf15445da252ad… · telah mengambil 4 (empat) titik koordinat dilokasi perkebunan

Feb 11, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • Hal. 1 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    PUTUSAN NOMOR 106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA; Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang mengadili perkara-perkara pidana

    dalam peradilan tingkat banding, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut

    dibawah ini dalam perkara atas nama Terdakwa :

    Nama lengkap : JOHANNESSITORUS. Tempat lahir : Porsea (Sumatera Utara).

    Umur/tgl. lahir : 62 tahun/16 April 1955.

    Jenis kelamin : Laki-laki.

    Kebangsaan : Indonesia.

    Tempat tinggal : Jl. Jend. Sudirman No. 453, Jalan Kavling I No.

    6.D. Tangkerang, Kota Pekanbaru.

    Agama : Kristen.

    Pekerjaan : Wiraswasta (Pimpinan Perkebunan Kelapa

    Sawit Lubuk Sakat, Desa Buluh Nipis,

    Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar).

    Pendidikan : S1 (Tidak Tamat).

    Terdakwa ditahan berdasarkan surat perintah/penetapan penahanan sebagai

    berikut :

    1. Penyidik sejak tanggal 01 Desember 2004 sampai dengan tanggal 15

    Desember 2004;

    2. Ditangguhkan penahanan oleh Penyidik sejak tanggal 15 Desember 2004;

    3. Ditahan oleh Penuntut Umum sejak tanggal 13 Maret 2017 sampai dengan

    tanggal 22 Maret 2017;

    4. Hakim Pengadilan Negeri Bangkinang sejak tanggal 23 Maret 2017 sampai

    dengan tanggal 21 April 2017 ;

    PENGADILAN TINGGI TERSEBUT; Telah membaca :

    1. Surat Penetapan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Pekanbaru tanggal 30

    Mei 2017 Nomor : 106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR, tentang penunjukan

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 2 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    Majelis Hakim yang mengadili perkara atas nama Terdakwa tersebut

    diatas dalam tingkat banding ;

    2. Surat dakwaan Penuntut Umum Nomor : Reg.Perk: PDM-114/KPR/03/

    2017 tertanggal 23 Maret 2017, atas nama Terdakwa yang pada pokoknya

    sebagai berikut :

    Bahwa ia terdakwa JOHANNES SITORUS, pada hari, tanggal dan bulan yang sudah tidak dapat diingat lagi akan tetapi masih dalam tahun

    2000 sampai dengan sekarang, bertempat di Lahan perkebunan Kelapa

    Sawit seluas ± 550,16 ha. yang dahulu terletak di Desa Buluh Nipis,

    Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar dan sekarang berlokasi di Desa

    Kepau Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar atau setidak

    tidaknya masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri

    Bangkinang, mengerjakan dan atau menggunakan, dan atau menduduki

    kawasan hutan secara tidak syah. Perbuatan tersebut terdakwa lakukan

    dengan cara-cara sebagai berikut :

    Bahwa didalam Daerah Administratif Pemerintahan Kabupaten

    Kampar terdapat Kawasan Hutan Tesso Nilo dengan Fungsi Hutan Produksi

    Terbatas (HPT). Kawasan HPT. Kelompok Tesso Nilo sebagai kawasan

    hutan sudah ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI No. :

    173/Kpts-II/1986, tanggal 6 Juni 1986 Tentang Penunjukan Areal Hutan di

    Wilayah Propinsi Dati I Riau, sebagai Kawasan Hutan;

    Bahwa terhadap Kawasan HPT. Kelompok Tesso Nilo tersebut secara

    bertahap telah dilakukan 3 kali Pengesahan Berita Acara Tata Batas (BATB),

    yakni :

    a. Tanggal 18 Maret 1988 yang disahkan oleh Menteri Kehutanan RI. tanggal

    20 Pebruari 1990.

    b. Tanggal 24 Maret 1990 yang disahkan oleh Menteri Kehutanan RI. tanggal

    26 Pebruari 1992.

    c. Tanggal 21 Pebruari 1987 yang disahkan oleh Menteri Kehutanan RI.

    tanggal 29 Nopember 1996.

    Semua BATB tersebut telah ditanda-tangani oleh seluruh Anggota

    Panitia Tata Batas Kawasan Hutan, diantaranya oleh Kepala Kantor Agraria

    Daerah Tingkat II Kampar, serta oleh Bupati Kampar sebagai Ketua Panitia

    Tata Batas Kawasan Hutan dan terhadap BATB ini telah pula dilengkapi

    dengan lampiran petanya sebanyak 7 blad (lembar);

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 3 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    Bahwa terhadap bagian dari luas kawasan HPT. Kelompok Tesso Nilo,

    yakni seluas ± 1.027 ha. telah ditunjuk menjadi Kawasan Penelitian dan

    Pengembangan Kehutanan Lubuk Sakat oleh Kepala Kantor Wilayah

    Departemen Kehutanan Propinsi Riau sebagaimana suratnya No. : 666/Kwl-

    4/1993, tanggal 25 Mei 1993. Penunjukan areal seluas ± 1.027 ha. untuk

    Kawasan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan berfungsi sebagai ;

    a. Plasma nutfah, yakni tersedianya genetik-genetik (sumber bibit tanaman

    hutan) ;

    b. Habitat satwa yang dilindungi ;

    c. Konservasi Ekosistem kawasan hutan dataran rendah rawa gambut dan ;

    d. Pengembangan jenis-jenis pohon penghasil pakan lebah.

    Bahwa terhadap Kawasan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

    Lubuk Sakat seluas ± 1.027 ha telah dilakukan pengukuran dan tata batas

    pada tanggal 6 Pebruari 1994 oleh Tim Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan (BIPHUT) Pekanbaru. Pada waktu pengukuran dilakukan

    diareal Hutan Litbang Lubuk Sakat, keadaan kawasan masih hutan belukar yang ditumbuhi pepohonan besar-besar berbagai jenis dan belum ada kegiatan perladangan ataupun perkebunan masyarakat. Ketika itu Tim Sub BIPHUT Pekanbaru melakukan pemancangan pal batas setiap jarak 100

    meter dengan patok bahan semen permanen dengan ukuran 10 x 10 x 130

    cm, sehingga patok tersebut terlihat dari permukaan tanah dengan ketinggian

    70 cm yang ditanam sepanjang 15 Km;

    Bahwa meskipun terhadap kawasan Hutan Litbang Lubuk Sakat tersebut

    telah ditata batas ditahun 1994 dan menjadi bagian dari luas kawasan HPT.

    Kelompok Tesso Nilo, namun diareal tersebut sering terjadi pembalakan liar

    sehinganya menyisakan tunggul-tungul pohon bekas tebangan chain saw.

    Selanjutnya pada sekira antara tahun 1995 s/d tahun 1996, masyarakat Desa

    Buluh Nipis Dusun IV melakukan kegiatan gotong royong merintis kawasan

    Hutan Litbang Lubuk Sakat tersebut untuk dijadikan lahan perladangan

    mereka. Kemudian pada tahun 1998 masyarakat yang telah melakukan

    kegiatan penanaman perkebunan kelapa sawit dan karet dilokasi itu

    berkumpul di SD Negeri 007 Dusun IV Kepau Desa Buluh Nipis untuk

    dibuatkan Surat Keterangan Tanah (SKT) oleh perangkat desa Buluh Nipis

    Dusun IV Kepau, dengan ketentuan 1 SKT dengan luas areal 2 ha. sehingga

    ketika itu diterbitkan 271 eksemplar SKT dengan luas lahan ± 500 ha, namun

    keseluruh SKT itu tidak diserahkan kepada masing-masing nama yaag tertera

    pada tiap SKT, dan tetap disimpan oleh Kepala Dusun IV Kepau.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 4 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    Bahwa pada hari dan tanggal yang tidak diingat lagi tetapi masih dalam

    tahun 2000, terdakwa JOHANNES SITORUS membeli lahan masyarakat

    sekira seluas 500 ha itu dengan mengganti kerugian kepada setiap pemilik

    SKT tersebut dengan harga Rp.2.000.000 tiap SKT yang langsung dibayar

    terdakwa. Proses pengganti kerugian itu dilakukan dengan menerbitkan Surat

    Keterangan Ganti Kerugian (SKGR) yang dilakukan dirumah NAWILIS mulai

    dari sekira pukul 09.00 WIB dan selesai hari itu juga sekira pukul 17.00 WIB.

    Dari beberapa masyarakat yang menerima penganti kerugian dari terdakwa,

    hanya ada menanda-tangani kwitansi penerimaan uang sedangkan mengenai

    penanda-tanganan blangko pada SKGR, seperti Surat Kesaksian Sempadan

    dan Scheet-Kaart serta Sket Tanah tidak pernah ditanda-tangani sehingga

    tanda-tangannya yang tertera pada SKGR itu diduga dipalsukan. Bahkan ada

    warga masyarakat yang menerima uang pengganti-rugian tersebut tetapi tidak

    mengetahui dimana posisi tanah yang dijualnya itu kepada terdakwa;

    Bahwa dengan telah dibayarnya uang pengganti kerugian oleh

    terdakwa kepada masyarakat ditahun 2000 tersebut, maka terhadap 271

    eksemplar SKGR itu menjadi milik terdakwa, yang penerbitan masing-masing

    SKGR itu selain atas nama terdakwa ada juga dengan menggunakan atas

    nama keluarga terdakwa, dan orang-orang lain dan sejak itu terdakwa selaku

    Direktur PT. Sinar Siak Dian Permai (PT. SSDP) memerintahkan AHMAD

    ZAMRUD ST. (Asisten Lapangan PT. SSDP) untuk mengawasi pekerja

    lapangan yang melakukan steking/rumput jalur menggunakan alat berat

    excavator diatas areal lahan ± 500 ha. yang merupakan kawasan HPT.

    Kelompok Tesso Nilo tersebut;

    Bahwa sekira awal tahun 2001 terdakwa selaku Direktur PT. SSDP

    dengan Surat No. : 23/SSDP/PKU/III/2001 mengajukan Permohonan Ijin

    Prinsip Pembangunan Kebun Kelapa Sawit seluas ± 500 ha yang berlokasi di

    Desa Buluh Nipis, Kec. Siak Hulu, Kab. Kampar kepada Bupati Kabupaten

    Kampar. Atas Surat Permohonan itu Bupati Kampar dengan Surat Perintah

    No. : 300/TP/III/2001/255, memerintahkan Tim 9, yaitu :

    - Kakan. BPN Kab. Kampar

    - Kadis Kehutanan Kab. Kampar

    - Kadis Perkebunan Kab. Kampar

    - Kabag Tata Pemerintahan Setda Kab. Kampar

    - Camat Siak Hulu

    - Kasubag Pemerintahan Umum

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 5 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    - Kades Buluh Nipis

    - Staf Pol PP Setda Kab. Kampar dan

    - Pimpinan PT. Sinar Siak Dian Permai (terdakwa)

    Untuk melaksanakan peninjauan lokasi yang dimohonkan oleh PT. Sinar Siak

    Dian Permai Pekanbaru tersebut;

    Bahwa dari hasil peninjauan lokasi tersebut, Tim 9 dalam laporan hasil

    peninjauan lokasi pada bagian VI. KESIMPULAN menyatakan : Lokasi yang

    dimohon oleh PT. SSDP bardasarkan Perda Kab. Kampar No. 11 Tahun 1999

    tanggal 15 Juli 1999 tentang Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Kampar

    (RTRWK) bahwa lokasi yang dimohonkan berada didalam kawasan

    perkebunan. Namun pada bagian VII. SARAN ; disebutkan : Berdasarkan dari

    data-data diatas, Tim menyarankan kepada Bapak (maksudnya Bupati

    Kampar) agar pihak Pemohon mengkoordinasikan kepada Dinas Kehutanan Tingkat I Riau “MASALAH PELEPASAN KAWASAN HUTAN.”

    Bahwa setelah diketahuinya lokasi yang dimohonkan terdakwa selaku

    Direktur PT. SSDP. tersebut beradasarkan Perda No. 11 Tahun 1999 tanggal

    15 Juli 1999 Tentang Peta RTRWK adalah berada didalam kawasan

    Perkebunan, selanjutnya Terdakwa selaku Direktur PT. SSDP tanpa

    mengkoordinasikannya terlebih dahulu kepada Dinas Kehutanan Tingkat I

    Riau mengenai “Masalah Pelepasan Kawasan Hutan,” sebagaimana

    rekomendasi SARAN dalam laporan hasil peninjauan lokasi Tim 9 diatas,

    mulai melakukan penyemaian bibit kelapa sawit dan dalam bulan Januari

    2002 diatas lahan areal ± 500 ha itu dilakukan penanaman bibit kelapa sawit

    dan mendirikan rumah karyawan dilokasi tersebut;

    Bahwa meskipun beradasarkan Perda No. 11 Tahun 1999 tanggal 15

    Juli 1999 Tentang Peta RTRWK itu dinyatakan lokasi yang dikerjakan

    terdakwa berada didalam kawasan Perkebunan, namun berdasarkan Perda

    Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Riau (RTRWP) No. 10 Tahun 1994

    lokasi dimaksud berada di dalam arahan Pengembangan Kawasan

    Kehutanan. Mengacu kepada ketentuan pasal 25 ayat (1) UU RI No. 26

    Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang diatur bahwa Penyusunan Tata Ruang

    Wilayah Kabupaten mempedomani Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi,

    sehingga menyikapi terhadap ketidak sesuaian ini, berdasarkan ketentuan

    diatas tetap mempedomani Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Perda No.

    10 Tahun 1994, dan seharusnya terdakwa sebelum memulai kegiatan diatas

    lahan areal yang telah dikerjakannya itu terlebih dahulu harus mendapatkan

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 6 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan RI. akan tetapi hal itu

    tidak pernah dikordinasikan dan diurus terdakwa;

    Bahwa pada masa penanaman bibit kelapa sawit dalam bulan Oktober

    2002, terdakwa memisahkan diri dari PT. SSDP dan lahan areal perkebunan ±

    500 ha berdasarkan 271 SKGR tersebut menjadi atas nama perorangan

    (kelompok) yang langsung dipimpin dan dikelola oleh terdakwa;

    Bahwa selanjutnya dalam tahun 2003 terdakwa dengan mewakili nama-

    nama yang tertera pada 271 eksemplar SKGR tersebut, dengan dasar SKGR-

    SKGR itu mengajukan permohonan penerbitan Sertifikat Tanah (Tanda Bukti

    Hak) kepada Kantor BPN Kab. Kampar. Kemudian Kepala Kantor BPN

    Kampar dengan dasar 271 SKGR, Perda No. 11 Tahun 1999 tanggal 15 Juli

    1999 Tentang Peta RTRWK dan hasil pelaksanaan tugas Tim 9, tanpa

    memperhatikan Klausul SARAN dalam Laporan peninjauan lokasi Tim 9, yang

    meminta kepada terdakwa mengkoordinasikan kepada Dinas Kehutanan

    Tingkat I Riau “MASALAH PELEPASAN KAWASAN HUTAN,” memproses

    permohonan terdakwa tersebut, sehingga BPN Kab. Kampar Menerbitkan

    271 Buku Sertifikat secara bertahap dengan luas lahan areal seluruhnya 510,

    4 ha;

    Bahwa seharusnya Kepala Kantor BPN Kab. Kampar menolak

    permohonan terdakwa dan tidak menerbitkan 271 Buku Sertifikat, karena

    selain terdakwa tidak memenuhi klausul yang disarankan dalam Laporan

    Peninjauan Lokasi Tim 9, yang memintanya untuk mengkoordinasikan kepada

    Dinas Kehutanan Tingkat I Riau “Masalah Pelepasan Kawasan Hutan”

    tersebut, BPN Kab. Kampar jauh sebelumnya juga telah pula

    menandatangani Berita Acara Tata Batas (BATB) Kawasan HPT Kelompok

    Tesso Nilo yang lahan areal milik terdakwa seluas 550,16 ha yang diterbitkan

    buku sertifkat tersebut senyatanya masuk kedalam Kawasan HPT Kelompok

    Tesso Nilo tersebut;

    Bahwa kemudian terhadap Kawasan Hutan Litbang Lubuk Sakat seluas

    ± 1.027 ha di Desa Kepau Jaya, Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar

    yang merupakan bagian Kawasan (HPT) Kelompok Tesso Nilo ditunjuk oleh

    Menteri Kehutanan RI sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus

    (KHDTK) Untuk Hutan Penelitian Pakan Lebah Kepau Jaya, sebagaimana

    Keputusan Menteri Kehutanan No. : SK. 74/Menhut-II/2005 tanggal 29 Maret

    2005 yang lahan perkebunan kelapa sawit milik terdakwa seluas ± 550,16 ha

    itu masuk didalam luas ± 1.027 ha KHDTK tersebut;

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 7 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    Bahwa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan TKP tanggal 15 Agustus

    2008, Ahli Pengukuran dan Pemetaan BPKH Wilayah XII Tanjung Pinang ;

    SELAMAT SEMBIRING, yang didampingi oleh Penyidik dari BBKSDA Riau,

    telah mengambil 4 (empat) titik koordinat dilokasi perkebunan kelapa sawit

    yang telah berumur sekira 12 tahun dan dilokasi itu juga terdapat 34 unit

    rumah karyawan milik terdakwa JOHANNES SITORUS. Dari ke 4 (empat) titik

    koordinat yang diambil tersebut, kemudian diplotingkan ke Peta Tata Batas

    HPT Tesso Nilo Blad 5 skala 1 : 25.000, sehingga diketahui lokasi itu berada

    didalam Kawasan HPT Kelompok Tesso Nilo;

    Bahwa terdakwa dalam mengerjakan dan atau menggunakan, dan atau

    menduduki kawasan HPT Kelompok Tesso Nilo tersebut, tanpa dilengkapi izin

    pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan RI;

    Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam

    Pasal 50 Ayat (3) huruf (a) jo Pasal 78 Ayat (2) UU. RI No. : 41 Tahun 1999

    tentang Kehutanan;

    Menimbang, bahwa terhadap surat dakwaan Penuntut Umum tersebut

    terdakwa melalui Penasihat Hukumnya telah mengajukan keberatan tanggal 04

    April 2017 yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :

    Majelis Hakim Yang terhormat,

    Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati,

    Dengan mengucapkan syukur ke Khadirat ALLAH SWT , yang merupakan

    sumber dari segala ilmu dan berkat Karunia serta RakhmatNYA jualah maka

    kami dapat mengajukan keberatan ini.

    Terima kasih kami sampaikan kepada Majelis Hakim yang telah memberikan

    kesempatan kepada kami untuk mempergunakan hak kami sesuai pasal 156

    KUHAP dimaksud untuk menyampaikan keberatan ini.

    Pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan Pasal 156 KUHAP Terdakwa berhak

    untuk mengajukan Eksepsi (Keberatan) apabila dalam suatu Surat Dakwaan

    terdapat kekurangan atau kekeliruan yang bersifat Yuridis. Berdasarkan

    Ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP tersebut sekarang tiba saatnya bagi kami

    Tim Penasihat Hukum untuk mengajukan Eksepsi (Keberatan) terhadap Surat

    Dakwaan yang di bacakan Penuntut Umum pada persidangan hari ini Selasa

    tanggal 4 April 2017.

    Berdasarkan sejumlah pengalaman, pengajuan suatu Keberatan oleh

    Terdakwa atau Penasihat Hukum sering dinilai atau dikritik orang sebagai

    upaya yang mengada-ada, seakan-akan bertujuan untuk mengulur-ulur

    waktu persidangan. Adapula sementara orang yang menilai bahwa

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 8 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    pengajuan Keberatan sebagai suatu kebodohan dari Terdakwa atau

    Penasihat Hukumnya, karena menurut mereka hal itu dapat memberikan

    peluang kepada Penuntut Umum untuk memperkuat strategi guna

    menguatkan Surat Dakwaannya.

    Terlepas dari segala penilaian tersebut, untuk tidak mengurangi semangat

    Terdakwa dan Penasihat Hukum dalam perkara ini untuk mengajukan

    keberatan, kami Penasihat Hukum dalam hal ini berkeyakinan bahwa

    ketentuan Pasal 156 KUHAP yang memberikan kesempatan bagi Terdakwa

    atau Penasihat Hukum untuk mengajukan keberatan apabila dalam suatu

    Surat Dakwaan terdapat kekurangan-kekurangan atau kekeliruan yang

    bersifat yuridis yang akan menyebabkan Terdakwa tidak dapat membela

    dirinya atau di bela oleh Penasihat Hukumnya dengan sebaik-baiknya dan

    seadil-adilnya di depan Pengadilan.

    Kami Penasihat Hukum Terdakwa merasa Majelis Hakim akan Bijaksana

    dalam menilai positif dan akan memperhatikan dengan serius secara bijak

    dan objektif keberatan kami ini.

    Karena menurut prinsip kami, peradilan yang baik, jujur, dan adil itu harus

    ditunjang oleh upaya optimal dari seluruh unsur aparat dan pilar penegak

    hukum yang berperan di Pengadilan. Substansi Keberatan adalah mengenai

    masalah apakah cukup atau tidak cukup alasan suatu Surat Dakwaan yang

    diajukan oleh Penuntut Umum yang di dakwakan kepada Terdakwa dalam

    kedudukannya sebagai seorang manusia ciptaan Tuhan yang memiliki

    harkat, martabat dan kehormatan seperti semua orang.

    Keberatan pada hakekatnya tidak hanya merupakan suatu keberatan untuk

    kepentingan Si Terdakwa yang kedudukannya pada posisi lemah di depan

    Pengadilan, melainkan merupakan “keberatan” untuk kepentingan manusia

    dan kemanusiaan yang lebih luas termasuk untuk kita semua yang ada di

    ruangan Sidang ini.

    Karena pada hakekatnya sebuah dakwaan pidana bagi seseorang yang

    merasa tidak bersalah adalah serangan resmi terhadap martabat dan

    kehormatan manusia pada umumnya, Sehingga apabila ada suatu Putusan

    Sela dari Majelis Hakim yang menyatakan suatu dakwaan Penuntut Umum

    “tidak dapat diterima”, hal itu pada hakekatnya merupakan suatu

    kemenangan bagi semua para penegak hukum di Pengadilan yang

    bersangkutan yang berhasil menegakkan “martabat, kehormatan dan

    kemanusiaan”.

    Majelis Hakim Yang terhormat,

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 9 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati,

    Keberatan atas Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum lebih dikenal dengan

    istilah “Eksepsi” memilki arti dan makna sebuah keberatan dapat diketahui

    dan dipahami dalam Pasal 156 KUHAP. Menurut hemat kami, Eksepsi

    mempunyai multi makna terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum.

    Makna langsung adalah guna mengoreksi tata aturan penyusunan dakwaan

    yang tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap dengan implikasi yuridis

    berupa batalnya

    sebuah dakwaan tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 143

    ayat (3) KUHAP, dan sekaligus membahas berwenang atau tidak

    berwenangnya suatu Pengadilan mengadili suatu kasus, diterima atau tidak

    diterimanya surat dakwaan dan apakah telah memenuhi persyaratan hukum

    sebagai kasus pidana atau bukan.

    Selain itu, walaupun Keberatan itu tidak diterima, tetapi tentunya

    mempunyai makna yaitu dapat dijadikan sebagai pembuka tabir

    permasalahan kasus yang tertuang dalam dakwaan tersebut, atau setidak-

    tidaknya sejak awal telah dapat dilihat warna yuridis yang profesional atau

    tidak dari Jaksa Penuntut Umum dalam meneliti dan menyimak kasus yang

    tertuang dalam dakwaan tersebut.

    Keberatan ini kami sampaikan terhadap Surat Dakwaan Sdr. Jaksa Penuntut Umum

    No. Reg. Perk. PDM-114/KPR/03/2017.tanggal Maret 2017 yang tadi telah

    dibacakan dipersidangan ini, dimana pada pokoknya Terdakwa didakwa melakukan

    tindak pidana dengan Dakwaan Tunggal melakukan tindak pidana yang diatur dalam

    Pasal 50 ayat (3) huruf (a) jo Pasal 78 ayat (2) UU RI No.41 Tahun 1999 tentang

    Kehutanan.

    Majelis Hakim yang terhormat,

    Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati.

    Adapun keberatan yang kami sampaikan adalah mengenai ;

    I. MENGENAI KEWENANGAN MENGADILI. II. DAKWAAN TIDAK DAPAT DITERIMA. III. EXCEPTIO IN TEMPORES (KEWENANGAN MENUNTUT PIDANA

    TELAH LEWAT TENGGANG WAKTU ATAU DALUWARSA) IV. DAKWAAN TIDAK CERMAT, TIDAK JELAS DAN TIDAK LENGKAP. V. DAKWAAN PREMATUR.

    Dengan uraian sebagai berikut ;

    I. MENGENAI KEWENANGAN MENGADILI

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 10 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    1. Bahwa Terdakwa JOHANNES SITORUS memiliki Sertifikat Hak Milik

    sebanyak 271 (dua ratus tujuh puluh satu) yang diterbitkan sekitar

    tahun 2003 – tahun 2004 untuk tanah seluas 550,16 Ha dan diatas

    tanah tersebut dijadikan perkebunan kelapa sawit, yang menurut

    Dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya menyatakan

    “….tanah perkebunan kelapa sawit seluas 550,16 Ha milik Terdakwa

    JOHANNES SITORUS tersebut termasuk sebagaimana Keputusan

    Menteri Kehutanan No.SK.74/Menhut-II/2005 tanggal 29 Maret 2005

    tentang Penunjukan Kawasan Hutan Produksi Tetap Tesso Nilo

    seluas 1.027 (seribu dua puluh tujuh) Hektar di Desa Kepau Jaya

    Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau sebagai

    Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus untuk hutan penelitian pakan

    lebah kepau jaya, yang merupakan bagian dari Kawasan Hutan yang

    sudah ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan R.I.

    No.173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang Penunjukan Areal

    Hutan di Wilayah Provinsi Dati I Riau sebagai Kawasan Hutan ….”

    sehingga Terdakwa didakwa telah mengerjakan dan atau

    menggunakan dan atau menduduki Kawasan Hutan secara tidak

    syah dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat (3) huruf (a) jo Pasal

    78 ayat (2) UU RI No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

    2. Bahwa Pasal 1 ayat (3) dari UU No.41 Tahun 1999 tentang

    Kehutanan menyatakan “ Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atauditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap “.

    Dan berdasarkan Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No.

    45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012, yang amar putusannya

    berbunyi ;

    a. Frasa “ ditunjuk dan atau “ dalam Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana

    telah diubah dengan Undang Undang Nomor 19 tahun 2004

    tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang

    Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang

    Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi

    Undang Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

    2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

    Nomor 4412) bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 11 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    b. Frasa “ ditunjuk dan atau “ dalam Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana

    telah diubah dengan Undang Undang Nomor 19 tahun 2004

    tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang

    Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang

    Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi

    Undang Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

    2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

    Nomor 4412) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    Bahwa dari uraian diatas mengenai adanya norma hukum Pasal 1

    ayat (3) UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu frasa “

    ditunjuk dan atau “ yang dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indoensia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012 tersebut, maka bunyi

    Pasal 1 ayat (3) UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

    seharusnya menjadi berbunyi “ Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap “ . Hal ini sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang menyatakan “Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yangditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap “ Jadiyang disebut Kawasan Hutan adalahbukan dari Penunjukan kawasan hutanmelainkanharus dari Penetapan Kawasan Hutan.

    3. Bahwa Pasal 16 Peraturan Pemerintah R.I. No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutananmengatakan ; (1) Berdasarkan hasil inventarisasi hutan, Menteri

    menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah.

    (2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan proses ; a. Penunjukan kawasan hutan ;

    b. Penataan batas kawasan hutan ;

    c. Pemetaan kawasan hutan ; dan

    d. Penetapan kawasan hutan.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 12 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    Bahwa Pasal 17 Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan mengatakan “ Penunjukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (2) huruf a dilaksanakan sebagai proses awal suatu wilayah tertentu menjadi kawasan hutan “.

    4. Bahwa sebelum adanya Penetapan Kawasan Hutan untuk dikukuhkan sebagai Kawasan Hutan, harus terlebih dahulu menyelesaikan hak-hak atas tanah yang akan dijadikan Kawasan Hutan tersebut, sebagaimana dengan tegas telah diatur dalam Pasal 19, 20 dan 22 Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan yaitu ; Pasal 19 Peraturan Pemerintah R.I. No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutananmengatakan ; 1. Berdasarkan penunjukan kawasan hutan, dilakukan penataan

    batas kawasan hutan. 2. Tahapan pelaksanaan penataan batas sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) mencakup kegiatan ;

    a. Pemancangan patok batas sementara ;

    b. Pengumuman hasil pemancangan patok batas sementara ;

    c. Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada disepanjang trayek batas dan didalam kawasan hutan.

    d. Penyusunan Berita Acara Pengakuan oleh masyarakat disekitar trayek batas atas hasil pemancangan patok batas sementara.

    e. Pemasangan pal batas yang dilengkapi dengan lorong

    batas;

    f. Pemetaan hasil penataan batas ;

    g. Pembuatan dan penandatanganan Berita Acara Tata Batas

    dan Peta Tata Batas ; dan

    h. Pelaporan kepada Menteri dengan tembusan kepada

    Gubernur.

    3. Berdasarkan criteria dan standard pengukuhan kawasan hutan

    sebagimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (3) Gubernur

    menetapkan pedoman penyelenggaraan penataan batas.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 13 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    4. Berdasarkan pedoman penyelenggaraan penataan batas

    sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati/Walikota

    menetapkan petunjuk pelaksanaan penataan batas.

    5. Bupati/Walikota bertanggung jawab atas penyelenggaraan

    penataan batas kawasan hutan diwilayahnya.

    Pasal 20 Peraturan Pemerintah R.I. No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan mengatakan ; 1. Pelaksanaan penataan batas kawasan hutan sebagaimana

    dimaksud pada Pasal 19 ayat (3) dilakukan oleh Panitia Tata

    Batas Kawasan Hutan.

    2. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) dibentuk oleh Bupati/Walikota.

    3. Unsur keanggotaan, tugas dan fungsi, prosedur dan tata kerja

    Panitia Tata Batas kawasan hutan diatur dengan Keputusan

    Menteri.

    4. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain bertugas ;

    a. Melakukan persiapan pelaksanaan penataan batas dan

    pekerjaan pelaksanaan dilapangan ;

    b. Menyelesaikan masalah-masalah ; 1. hak-hak atas lahan/tanah disepanjang trayek

    batas; 2. hak-hak atas lahan/tanah didalam kawasan hutan ;

    c. Memantau pekerjaan dan memeriksa hasil-hasil pelaksanaan

    pekerjaan tata batas dilapangan ;

    d. Membuat dan menanda-tangani Berita Acara Tata Batas

    Kawasan Huitan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan.

    5. Hasil penataan batas kawasan hutan sebagaimana dimaksud

    pada ayat (4) dituangkan dalam Berita Acara Tata Batas Kawasan

    Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan yang ditanda tangani

    oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan dan diketahui oleh

    Bupati/Walikota.

    6. Hasil penataan batas kawasan hutan sebagaimana dimaksud

    pada ayat (5) disahkan oleh Menteri.

    Bahwa Pasal 22 Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan mengatakan ;

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 14 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    1. Menteri menetapkan Kawasan Hutan didasarkan atas Berita

    Acara Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan

    Hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (6) yang telah

    temu gelang.

    2. Dalam hal penataan batas kawasan hutan temu gelang tetapi masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, makakawasan hutan tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak-hak yang ada didalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas yang bersangkutan.

    3. Hasil Penetapan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1), terbuka untuk diketahui oleh masyarakat.

    5. Bahwa kepemilikan Terdakwa JOHANES SITORUS terhadap tanah perkebunan kelapa sawit seluas 550, 16 Hektar dengan Sertifikat Hak Milik sebanyak 271 (dua ratus tujuh puluh satu),

    adalahSAH SECARA HUKUM, dan TETAP DINYATAKAN BERLAKU berdasarkan Pasal 22 butir (c) Peraturan Bersama

    Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Kehutanan

    Republik Indonesia dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

    Indonesia No. 79 Tahun 2014, No.PB.3/Menhut-11/2014, No.17/

    PRT/M/2014, No.8/SKB/X/2014 tanggal 17 Oktober 2014, tentang

    Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada didalam

    Kawasan Hutan, menyatakan ; “Pada saat Peraturan Bersama ini

    mulai berlaku, terhadap hak atas tanah yang telah diterbitkan tanda bukti haknya secara sporadic kepada orang perorangan, badan social/keagamaan dan instansi pemerintah sesuai ketentuan

    dibidang pertanahan yang berada didalam kawasan hutan sebelum berlakunya peraturan ini dinyatakan tetap berlaku“. Apalagi Terdakwa JOHANNES SITORUS selama ini selalu patuh membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas yang dimiliki

    oleh Terdakwa tersebut.

    6. Bahwa seharusnya Jaksa Penuntut Umum sebelum mengajukan Terdakwa JOHANNES SITORUS ke Peradilan Pidana dengan Dakwaan melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf (a) jo Pasal 78 ayat (2)

    UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Jaksa Penuntut Umum

    harus terlebih dahulumenyelesaikan hak-hak atas tanah kepemilikan Terdakwa JOHANNES SITORUS, atau Jaksa Penuntut

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 15 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    Umum harus terlebih dahulu mengajukan Pembatalan terhadap

    271 (dua ratus tujuh puluh satu) Sertifikat Hak Milik Terdakwa

    JOHANNES SITORUS tersebut ke Peradilan Tata Usaha Negara

    atau ke Peradilan Perdata.

    Berdasarkan uraian diatas, maka seharusnya perkara Terdakwa

    JOHANNES SITORUS ini termasuk dalam kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara atau kewenangan Peradilan Perdata dan bukan merupakan Kewenangan Peradilan Pidana.

    II. DAKWAAN TIDAK DAPAT DITERIMA atau BATAL DEMI HUKUM.

    Bahwa Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang menyebutkan

    Terdakwa JOHANNES SITORUS melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf (a) jo

    Pasal 78 ayat (2) UU RI No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

    adalahDakwaan yang tidak dapat diterimaataubatal demi hukum,

    karena Jaksa Penuntut Umum yang mendakwakan kepada Terdakwa

    JOHANNES SITORUS terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf (a) jo Pasal 78

    ayat (2) UU RI No.41 Tahun 1999 yang TELAH DICABUT dan DINYATAKAN TIDAK BERLAKU LAGI,berdasarkan Pasal 112 UU No.

    18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

    Hutan, yang menyatakan :

    Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku ;

    a. Ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g,

    huruf h, huruf j serta huruf k, dan

    b. Ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap

    Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap

    Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9) dan

    ayat (10)

    Dalam Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah

    diubah dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang

    Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1

    Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 41 Tahun

    1999 tentang Kehutanan menjadi Undang Undang (Lembaran Negara

    Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 4412) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

    Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

    Pemberantasan Perusakan Hutan ini dapat diberlakukan terhadap perkara

    Terdakwa Johannes Sitorus sebagaimana dimaksud :

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 16 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    1. Dalam Pasal 110 huruf b Undang-Undang No. 18 Tahun 2013

    menyatakan “perkara tindak pidana perusakan hutan dalam kawasan

    hutan yang telah ditunjuk oleh Pemerintah sebelum Putusan

    Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011. Tanggal 12 Februari

    2012 tentang Pengujian Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang

    Kehutanan, berlaku dalam UU ini”. 2. Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHPidana yang menyatakan “bilamana

    ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan maka terhadap Terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan”.

    Oleh karenanya Jaksa Penuntut Umum dalam Dakwaannya telah tidak

    cermat dan tidak teliti mengenai Undang Undang yang mengatur tindak

    pidana yang didakwakan tersebut, sehingga bertentangan dengan Pasal

    143 ayat (2) huruf (b) KUHAP dan berdasarkan Pasal 143 ayat (3)

    KUHAP, maka dakwaan Jaksa Penuntut Umum haruslah dinyatakan

    BATAL DEMI HUKUM atau setidak tidaknya DAKWAAN DINYATAKAN TIDAK DAPAT DITERIMA.

    III. EXCEPTIO IN TEMPORES KEWENANGAN MENUNTUT PIDANA DALUWARSA atau Penuntutan tindak pidana yang diajukan kepada Terdakwa telah melampaui tenggang batas waktu yang ditentukan oleh Undang Undang (That the time priscribed by law for bringing such action or offence has expired). Pasal 78 ayat (1) KUHPidana menyatakan ; Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa ;

    1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan

    percetakan sesudah satu tahun ;

    2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana

    kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam

    tahun;

    3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah duabelas tahun ;

    4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana

    penjara seumur hidup, sesudah delapanbelas tahun.

    Pasal 79 KUHPidana, menyatakan ; Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal hal berikut ; ……dan seterusnya.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 17 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    Pasal 85 ayat (3) menyatakan ;

    Tenggang daluwarsa tertuduh selama perjalanan pidana ditunda menurut

    perintah dalam suatu peraturan umum, dan juga selama terpidana

    dirampas kemerdekaannya, meskipun perampasan kemerdekaan itu

    berhubungan dengan pemidanaan lain.

    Bahwa Terdakwa didakwa telah melakukan tindak pidana melanggar

    Pasal 50 ayat (3) huruf a jo Pasal 78 ayat (2) UU RI No.41 Tahun 1999

    tentang Kehutanan

    Pasal 50 ayat (3) huruf a , berbunyi ;

    (3) setiap orang dilarang ;

    a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan

    hutan secara tidak sah.

    Pasal 78 ayat (2) berbunyi ;

    (2) barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c,

    diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

    denda paling banyak Rp.5.000.000.000.- (lima milyar rupiah).

    Bahwa dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut, maka Terdakwa

    diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun, sehingga

    berdasarkan Pasal 78 ayat (1) angka 3 KUHPidana, daluwarsa kewenangan menuntut pidanaadalahsesudah 12 (duabelas) tahun. Bahwa didalam menghitung sejak kapan tenggang waktu daluwarsa dimulai berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 KUHPidana yang mengatakan “Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal hal berikut ; ……dan seterusnya. Terdapat 2(dua) pendapat baik yang dikemukakan ahli

    maupun dari berbagai putusan pengadilan yaitu ;

    - Pendapat Pertama mengatakan “ Tenggang waktu mulai dihitung pada hari sesudah perbuatan dilakukan “

    - Pendapat Kedua mengatakan “ Tenggang waktu mulai dihitung sejak waktu diketahuinya perbuatan itu “.

    Bahwa oleh karena itu untuk menghitung sejak kapan tenggang waktu

    daluwarsa dimulai berlaku terhadap perbuatan Terdakwa, maka dapat

    dihitung dari :

    1. Bahwa apabila penghitungan tenggang wakru mulai dihitung sesudah perbuatan dilakukan, adalah berdasarkan Surat Dakwaan Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan pada pokoknya “ ….Terdakwa

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 18 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    Johannes Sitorus pada hari, tanggal dan bulan yang sudah tidak dapat

    diingat lagi akan tetapi masih dalam tahun 2000 sampai sekarang bertempat lahan perkebunan kelapa sawit seluas + 550,16 Ha yang

    dahulu terletak di Desa Buluh Nipis Kecamatan Siak Hulu Kabupaten

    Kampar dan sekarang berlokasi di Desa Kepau Jaya, Kecamatan Siak

    Hulu Kabupaten Kampar atau setidak tidaknya masih termasuk dalam

    daerah hukum Pengadilan Negeri Bangkinang, mengerjakan dan atau

    menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak

    syah….dan seterusnya ”.

    Maka penghitungan masa tenggang waktu daluwarsa, adalahdimulai sejak tahun 2000 dan terhenti setelah Tersangka dilakukan penahanan oleh Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 13 Maret 2017, yaitu16 (enambelas) tahun 3 (tiga) bulan 12 (duabelas) hari.

    2. Bahwa apabila penghitungan tenggang waktu sejak diketahuinya perbuatanadalah berdasarkan Laporan Kejadian No.LK.01/IV-K.5/P1/2004 tanggal 30 Nopember 2004 dan kemudian diterbitkan

    Surat Perintah Penyidikan No.SPP.02/IV-K.5/P2/2004 tanggal 1

    Desember 2004, dimana Terdakwa diduga telah melakukan perbuatan

    mengerjakan dan atau menduduki dan atau menggunakan kawasan

    hutan secara tidak sah.

    Maka dimulai penghitungan masa tenggang waktu daluarsa

    adalahsejak adanya laporan kejadian tanggal 30 Nopember 2004atau

    sejak diterbitkannya

    Surat Perintah Penyidikan tanggal 1 Desember 2004, mulai

    penghitungan masa tenggang daluwarsa, dan terhenti setelah

    Tersangka dilakukan penahanan oleh Jaksa Penuntut Umum pada

    tanggal 13 Maret 2017, yaitu12 (duabelas) tahun 3 (tiga) bulan 12 (duabelas) hari.

    Bahwa selama 16 (enambelas) tahun 3 (tiga) bulan 12 (duabelas) hariatauselama 12 (duabelas) tahun 3 (tiga) bulan 12 (duabelas) hari tersebut tidak ada hal-hal yang menghentikan daluarsa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 80 KUHPidana dan juga tidak ada perselisihan prayudisial yang menunda daluwarsa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 81 KUHPidana, karena dakwaan atau penuntutan pidana pun baru

    dilakukan pada hari ini.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 19 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    Oleh karena itu berdasarkan Pasal 78 ayat (1) angka 3 KUHPidana,

    KEWENANGAN MENUNTUT PIDANA yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah HAPUS KARENA DALUWARSA.

    IV. DAKWAAN TIDAK CERMAT, TIDAK JELAS DAN TIDAK LENGKAP. Pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP memerintahkan supaya Surat

    Dakwaan Jaksa Penuntut Umum harus cermat, jelas dan lengkap uraian

    mengenai tindak pidana yang didakwakan.

    M. Yahya Harahap, dalam buku Pembahasan Permasalahan dan

    Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi

    dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Tahun 2000, Hal.127-128,

    mengatakan pada pokoknya ;

    Bahwa Jaksa Penuntut Umum harus menguraikan secara lengkap dan

    jelas mengenai :

    1. Semua unsur delik yang dirumuskan dalam pasal pidana yang

    didakwakan harus cermat disebutkan satu persatu.

    2. Menyebut dengan cermat, lengkap dan jelas cara tindak pidana

    dilakukan.

    3. Menyebut keadaan-keadaan (CIRCUMSTANCES) yang melekat pada tindak pidana, keadaan-keadaan yang melekat pada tindak pidana terutama “keadaan khusus” (Particular Circumstances) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tindak pidana yang terjadi,

    Selain itu, seperti kita ketahui, bahwa Jaksa Penuntut Umum mempunyai

    KEWAJIBAN HUKUM untuk melindungi Hak Asasi Manusia, termasuk dalam hal ini melindungi Hak Asasi Manusia dari Terdakwa JOHANNES SITORUS agar tidak dilanggar didalam Penegakan Hukum yang dilakukannya, dan seperti yang kita ketahui pula bahwa KEADILAN adalah MILIK SEMUA (Aequitas Agit In Persenam), juga Keadilan milik Terdakwa JOHANNES SITORUS. Oleh karena itu atas dasar adanya Kewajiban Hukum yang melekat pada

    Jaksa Penuntut Umum untuk melindungi Hak Asasi Manusia termasuk

    Hak Asasi Terdakwa JOHANNES SITORUS dan guna mendapatkan KEADILAN, maka seharusnya Jaksa Penuntut Umum didalam menguraikan fakta hukum pada surat dakwaannya HARUS dan WAJIB memasukkan semua fakta hukum yang ada dan menerapkan Peraturan Perundang undangan yang ada, termasukmenyebut keadaan-keadaan (CIRCUMSTANCES) yang melekat pada tindak

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 20 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    pidanayang didakwakan, karena keadaan-keadaan yang melekat pada tindak pidana terutama “ keadaan khusus ” (Particular Circumstances) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tindak pidana yang terjadi, sebagaimana yang dikehendaki dalam Pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP yang telah

    disebutkan diatas.

    TETAPI KENYATAANNYA : Jaksa Penuntut Umum didalam Surat Dakwaannya tersebut, TIDAK MENGURAIKAN SECARA UTUH SEMUA FAKTA HUKUM DAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN PERBUATAN TERDAKWA, Jaksa Penuntut Umum hanya menguraikan Fakta Hukum dan Peraturan Perundang undangan yang tidak lengkap dan

    SECARASEPOTONG-SEPOTONGagarTerdakwa JOHANNES SITORUSterlihat seakan-akan bersalah telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakannya yaitu “…telah mengerjakan dan atau

    menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak

    syah…”,sehinggaTERLIHAT SEKALI Jaksa Penuntut Umum MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA dengan tujuanagar menjadikan SUATU PERKARA dan mengajukan Terdakwa ke persidangan. Sehingga Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dapat dikatakan

    MENYESATKAN (misleading) yang dapat dikwalifikasi sebagai PERKOSAAN terhadap HAK ASASI Terdakwa JOHANNES SITORUS.

    Hal ini terlihat sebagai berikut :

    Bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan HANYA MENGURAIKAN pada pokoknya “ ….lahan areal perkebunan sawit milik Terdakwa seluas 550,16 Ha yang telah diterbitkan 271 (dua ratus tujuh

    puluh satu) Sertifikat Hak Milik senyatanya masuk kedalam Kawasan

    Hutan Produksi Terbatas (HPT) kelompok Tesso Nilo sebagai Kawasan

    Hutan yang sudah ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan

    R.I. No.173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang Penunjukan Areal

    Hutan di Wilayah Propinsi Dati I Riau……….yang kemudian lahan

    perkebunan sawit milik Terdakwa seluas 550,16 Ha itu termasuk dalam

    Kawasan Hutan Litbang Lubuk Sakat seluas + 1.027 Ha di Desa Kapau

    Jaya Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar yang merupakan bagian

    Kawasan HPT

    Kelompok Tesso Nilo yang ditunjuk oleh Menteri Kehutanan RI sebagai

    Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) untuk Hutan Penelitian

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 21 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    Pakan Lebah Kepau Jaya sebagaimana Keputusan Menteri Kehutanan

    No./SK.74/Menhut-II/2005 tanggal 29 Maret 2005…” , tetapi Jaksa

    Penuntut Umum tidak menyebut keadaan-keadaan (CIRCUMSTANCES) yang melekat pada tindak pidanayang didakwakan, karena keadaan-keadaan yang melekat pada tindak pidana terutama “keadaan khusus”

    (Particular Circumstances) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tindak pidana yang terjadi, yaitu ; I. Bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak menguraikan dan tidak

    menerapkan fakta hukum tentang adanya Norma Hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara R.I. Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan tindak pidana yang didakwakan, yaitu ; a. Bahwa Pasal 1 Ayat (3) dari UU No.41 Tahun 1999 tentang

    Kehutanan menyatakan “ Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atauditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap “

    b. Bahwa berdasarkan Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No.

    45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012, yang amar

    putusannya berbunyi ;

    Menyatakan pada pokoknya ;

    - Frasa “ ditunjuk dan atau “ dalam Pasal 1 angka 3 Undang UndangNomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

    sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor

    19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

    Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

    Perubahan atas Undang Undang Nomor 41 tahun 1999

    tentang Kehutanan menjadi Undang Undang (Lembaran

    Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86,

    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

    4412) bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    - Frasa “ ditunjuk dan atau “ dalam Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

    sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 22 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

    Pengganti Undang Undang Nomor

    1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang

    Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang

    Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

    Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

    Nomor 4412) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    Bahwa Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah

    Konstitusi tersebut sebagai berikut ;

    - Pada halaman 157 alinea terakhir-halaman 158, pada

    pokoknya Mahkamah Konstitusi menyatakan “Bahwa dalam

    suatu Negara Hukum, Pejabat administrasi Negara tidak boleh

    berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak

    sesuai dengan hukum dan peraturan perundang undangan,

    serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary

    powers). Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk

    dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-

    tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan

    dikawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan

    perundang undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan

    otoriter. Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang

    dapat diprediksi, tidak tiba tiba, bahkan harus direncanakan,

    dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Emerssen

    (discretionary powers). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan.

    - Pada halaman 158 alinea pertama, pada pokoknya Mahkamah

    Konstituasi menyatakan “bahwa antara pengertian yang

    ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 dan ketentuan Pasal 15 UU

    Kehutanan terdapat perbedaan. Pengertian dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang a quo hanya menyebutkan bahwa “kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”, sedangkan dalam Pasal

    15 ayat (1) Undang-Undang a quo menentukan secara tegas

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 23 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    adanya tahap-tahap dalam proses pengukuhan suatu kawasan

    hutan. Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang a quo menentukan “pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dilakukan melalui proses sebagai

    berikut: a. penunjukkan kawasan hutan; b. penataan batas kawasan hutan; c. pemetaan kawasan hutan; dan d. penetapan kawasan hutan”. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang a quo penunjukkan kawasan hutan

    adalah salah satu tahap dalam proses pengukuhan kawasan

    hutan, sementara itu “penunjukkan” dalam ketentuan Pasal 1

    angka 3 Undang-Undang a quo dapat dipersamakan dengan

    penetapan kawasan hutan yang tidak memerlukan tahap-

    tahapsebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1)

    Undang-Undang a quo.

    - Pada halaman 158 alinea kedua, pada pokoknya Mahkamah

    Konstituasi menyatakan “bahwa menurut Mahkamah, tahap-

    tahap proses penetapan suatu kawasan hutan sebagaimana

    ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan di atas sejalan dengan asas Negara hukum yang antara lain bahwa

    pemerintah atau pejabat administrasi Negara taat kepada

    peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

    Selanjutnya ayat (2) dari pasal tersebut yang menentukan“pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah”, menurut Mahkamah ketentuan tersebut antara lain memperhatikan kemungkinan adanya hak-hak perorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut, sehinggajika terjadi keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain, misalnya masyarakat

    yang berkepentingan dengan kawasan yang akan ditetapkan

    sebagai kawasan hutan tersebut.

    - Pada halaman 159 alinea pertama, pada pokoknya Mahkamah

    Konstituasi menyatakan “bahwa karena penetapan kawasan hutan adalah proses akhir dari rangkaian proses

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 24 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    pengukuhan kawasan hutan, maka frasa “ditunjuk dan atau” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan asas Negara hukum, seperti tersebut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu, frasa “ ditunjuk dan atau” tidak sinkron dengan Pasal 15 Undang-Undang aquo. Dengan demikian ketidaksinkronan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

    yang menentukan “setiap orang berhak atas pengakuan,

    jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

    perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

    Bahwa dari uraian diatas mengenai adanya norma hukum Pasal 1 ayat

    (3) UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu frasa “ ditunjuk dan atau “ yang dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indoensia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012, maka bunyi Pasal 1 ayat (3) UU

    No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi berbunyi “ Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap “ . Hal ini sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang menyatakan “Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yangditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap Jadi yang disebut Kawasan Hutan bukan dari Penunjukan kawasan hutan melainkan harus dari Penetapan Kawasan Hutan. Bahwa Pasal 17 Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan mengatakan “ Penunjukan kawasan hutansebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (2) huruf a dilaksanakan sebagai proses awal suatu wilayah tertentu menjadi kawasan hutan “ Bahwa Pasal 16 Peraturan Pemerintah R.I. No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutananmengatakan ;

    (1) Berdasarkan hasil inventarisasi hutan, Menteri

    menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 25 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    (2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan proses ; e. Penunjukan kawasan hutan ; f. Penataan batas kawasan hutan ;

    g. Pemetaan kawasan hutan ; dan

    h. Penetapan kawasan hutan. Bahwa Pasal 16 Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004 tentang

    Perencanaan Kehutanan merupakan pelaksanaan dari Pasal 14 dan

    Pasal 15 UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu :

    Pasal 14 UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan mengatakan ; 1. Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam

    pasal 13 Pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan,

    2. Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas

    kawasan hutan. Pasal 15 UU No.41 tahun 1999Tentang Kehutanan mengatakan

    3. Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

    14 dilakukan melalui proses sebagai berikut ;

    c. penunjukan kawasan hutan, d. penataan batas kawasan hutan. e. Pemetaan kawasan hutan, dan f. Penetapan kawasan hutan.

    2. Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah.

    Dalam Penjelasannya Pasal 15 tersebut mengatakan ; Penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan antara lain berupa ; 1. pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas

    luar,

    2. pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong

    lorong batas,

    3. pembuatan parit batas pada lokasi lokasi rawan, dan

    4. pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan terutama

    dilokasi lokasi yang berbatasan dengan tanah hak.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 26 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    Dari uraian diatas terlihat secara hukum bahwa Surat Keputusan

    Menteri Kehutanan R.I. No.173/KPTS-II/1986 tanggal 6 Juni 1986

    tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Dati I Riau sebagai Kawasan Hutan, haruslah terlebih dahulu disesuaikan dengan UU No.41 Tahun 1999 tentang

    Kehutanan jo Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004 tentang

    Perencanaan Kehutanan dan Putusan Mahkamah Konstitusi

    No.45/PUU-IX/2011.tanggal 21 Februari 2012.

    Dengan kata lain Penunjukan areal hutan diwilayah provinsi Dati I

    Riau yang didasarkan oleh Surat Keputusan Menteri Kehutanan R.I.

    No.173/KPTS-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 HANYA SEBAGAI PROSES AWALUNTUK PENETAPAN YANG MENGUKUHKAN SUATU WILAYAH TERTENTU MENJADI KAWASAN HUTAN dan HARUS SESUAI DENGAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) PROVINSI RIAU MAUPUN RTRW KABUPATEN KAMPAR. Bahwa demikian pula sebelum adanya Penetapan Kawasan Hutan

    untuk dikukuhkan sebagai Kawasan Hutan, harus terlebih dahulu menyelesaikan hak-hak atas tanah yang akan dijadikan Kawasan Hutan tersebut, sebagaimana dengan tegas telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan yaitu ; Pasal 19 Peraturan Pemerintah R.I. No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan mengatakan ; 1. Berdasarkan penunjukan kawasan hutan, dilakukan penataan

    batas kawasan hutan. 2. Tahapan pelaksanaan penataan batas sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) mencakup kegiatan ;

    a. Pemancangan patok batas sementara ;

    b. Pengumuman hasil pemancangan patok batas sementara ;

    c. Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada disepanjang trayek batas dan didalam kawasan hutan.

    d. Penyusunan Berita Acara Pengakuan oleh masyarakat disekitar trayek batas atas hasil pemancangan patok batas sementara.

    e. Pemasangan pal batas yang dilengkapi dengan lorong batas ;

    f. Pemetaan hasil penataan batas ;

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 27 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    g. Pembuatan dan penandatanganan Berita Acara Tata Batas

    dan Peta Tata Batas ; dan

    i. Pelaporan kepada Menteri dengan tembusan kepada

    Gubernur.

    3. Berdasarkan criteria dan standard pengukuhan kawasan hutan

    sebagimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (3) Gubernur

    menetapkan pedoman penyelenggaraan penataan batas.

    4. Berdasarkan pedoman penyelenggaraan penataan batas

    sebagaimana dimaksud pada Ayat (3), Bupati/Walikota

    menetapkan petunjuk pelaksanaan penataan batas.

    5. Bupati/Walikota bertanggung jawab atas penyelenggaraan

    penataan batas kawasan hutan diwilayahnya.

    Pasal 20 Peraturan Pemerintah R.I. No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutananmengatakan ; 1. Pelaksanaan penataan batas kawasan hutan sebagaimana

    dimaksud pada Pasal 19 Ayat (3) dilakukan oleh Panitia Tata

    Batas Kawasan Hutan.

    2. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) dibentuk oleh Bupati/Walikota.

    3. Unsur keanggotaan, tugas dan fungsi, prosedur dan tata kerja

    Panitia Tata Batas kawasan hutan diatur dengan Keputusan

    Menteri.

    4. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain bertugas ; a. Melakukan persiapan pelaksanaan penataan batas dan

    pekerjaan pelaksanaan dilapangan ;

    b. Menyelesaikan masalah-masalah ; 1. hak-hak atas lahan/tanah disepanjang trayek batas ; 2. hak-hak atas lahan/tanah didalam kawasan hutan ;

    c. Memantau pekerjaan dan memeriksa hasil-hasil pelaksanaan

    pekerjaan tata batas dilapangan ;

    d. Membuat dan menanda-tangani Berita Acara Tata Batas

    Kawasan Huitan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan.

    5. Hasil penataan batas kawasan hutan sebagaimana dimaksud

    pada ayat (4) dituangkan dalam Berita Acara Tata Batas Kawasan

    Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan yang ditanda tangani

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 28 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan dan diketahui oleh

    Bupati/Walikota.

    6. Hasil penataan batas kawasan hutan sebagaimana dimaksud

    pada ayat (5) disahkan oleh Menteri.

    Bahwa Pasal 21 Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan mengatakan : Pemetaan dalam rangka kegiatan pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui proses pembuatan peta ; a. Penunjukan kawasan hutan ;

    b. Rencana trayek batas ;

    c. Pemancangan patok batas sementara ;

    d. Penataan batas kawasan hutan ;

    e. Penetapan kawasan hutan Bahwa Pasal 22 Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutananmengatakan ; 1. Menteri menetapkan Kawasan Hutan didasarkan atas Berita

    Acara Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan

    Hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (6) yang telah

    temu gelang.

    2. Dalam hal penataan batas kawasan hutan temu gelang tetapi masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, makakawasan hutan tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak-hak yang ada didalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas yang bersangkutan.

    3. Hasil Penetapan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1), terbuka untuk diketahui oleh masyarakat.

    Bahwa oleh karena itu yang menurut Jaksa Penuntut Umum dalam

    surat dakwaannya yang mengatakan “....Didalam Daerah Administratif

    Pemerintahan Kabupaten Kampar terdapat Kawasan Hutan Tesso Nilo

    dengan Fungsi Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang didasarkan pada

    Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.173/Kpts-II/1986, tanggal 6

    Juni 1986 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Propinsi Dati I Riau sebagai Kawasan Hutan dan telah dilakukan 3 (tiga) kali

    Pengesahan Berita Acara Tata Batas (BATB) oleh Menteri

    Kehutanan…...” adalah tidak sesuai dengan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 29 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    tentang Perencanaan Kehutanan dan tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kampar, karena sampai saat ini BELUM ADA PENETAPAN KAWASAN HUTAN TESSO NILO (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN TESSO NILO) di Kabupaten Kampar tersebut.

    Demikian juga mengenaiSurat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.74/Menhut-II/2005 tanggal 29 Maret 2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Produksi Tetap Tesso Nilo seluas 1.027 Ha di Desa

    Kepau Jaya Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau

    sebagai Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus untuk Hutan

    Penelitian Pakan Lebah Kepau Jaya, adalah BELUM MERUPAKAN KAWASAN HUTAN, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004

    tentang Perencanaan Kehutanan jo Putusan Mahkamah Konstitusi No.

    45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012, karena Penunjukan Kawasan Hutan Produksi Tetap Tesso Nilo seluas 1027 Ha tersebut

    baru merupakan PROSES AWAL suatu wilayah tertentu menjadi

    kawasan Hutan (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Peraturan

    Pemerintah No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan) dan

    sampai saat ini BELUM ADA PENETAPAN dari Menteri Kehutanan untuk DIKUKUHKAN SEBAGAI KAWASAN HUTANPRODUKSI TETAP TESSO NILLO,selain itu juga BELUM ADA PENYELESAIAN TERHADAP HAK HAK KEPEMILIKAN PIHAK KETIGA YAITU HAK KEPEMILIKAN TERDAKWA atas tanah seluas 550,16 Ha tersebut sebagaimana 271 (dua ratus tujuh puluh satu) Sertifikat Hak Milik (sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 Peraturan

    Pemerintah No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan)

    Apabila Jaksa Penuntut Umum dengan cermat, teliti, menguraikan dan menerapkan Peraturan Perundang undangan yang terkait dengan

    dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa ini yaitu UU No.41

    Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No.44

    Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan Putusan Mahkamah

    Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012, Tentunya

    Jaksa Penuntut Umum tidak akan mengajukan Terdakwa ini

    kepersidangan, dan Terdakwa tidak dapat didakwa melakukan tindak pidana mengerjakan dan atau menggunakan dan atau

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 30 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    menduduki Kawasan HPT Kelompok Hutan Tesso Nilo seluas 550, 16

    Ha, karena ;

    1. Kawasan Hutan Tesso Nilo tersebut belum dikukuhkan dan belum ditetapkan sebagai Kawasan hutan Tesso Nilo oleh Menteri Kehutanan apalagi Surat Keputusan Menteri Kehutanan

    No.SK.74/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan

    Produksi Tetap Tesso Nilo seluas 1027 Ha di Desa Kepau Jaya

    Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau sebagai

    Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus untuk Penelitian Pakan

    Lebah Kepau Jaya, TIDAK DAPAT DIBERLAKUKAN SURUT, terhadap Terdakwa JOHANNES SITORUS yang sebelumnya

    telah memiliki 271 (dua ratus tujuh puluh satu) Sertifikat Hak Milik

    yang diterbitkan pada tahun 2003/2004.

    2. BELUM ADA PENYELESAIAN TERHADAP HAK-HAK KEPEMILIKAN TERDAKWA JOHANNES SITORUS atas tanah seluas 550,16 Ha tersebut yang telah mempunyai Sertifikat Hak Milik sebanyak 271 (dua ratus tujuh puluh satu) berdasarkan

    Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22 Peraturan Pemerintah

    No.44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan.

    Dan HAK-HAK KEPEMILIKAN TERDAKWA terhadap Tanah seluas 550, 16 Ha dengan 271 (dua ratus tujuh puluh satu)

    Sertifikat Hak Milik tersebut TETAP DINYATAKAN BERLAKU berdasarkan Pasal 22 butir (c) Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Kehutanan Republik

    Indonesia dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

    Indonesia No. 79 Tahun 2014, No.PB.3/Menhut-11/2014,

    No.17/PRT/M/2014, No.8/SKB/X/2014 tanggal 17 Oktober 2014,

    tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada

    didalam Kawasan Hutan, menyatakan ; “..Pada saat Peraturan

    Bersama ini mulai berlaku terhadap hak atas tanah yang telah diterbitkan tanda bukti haknya secara sporadic kepada orang perorangan, badan social/ keagamaan dan instansi pemerintah sesuai ketentuan dibidang pertanahan yang berada didalam kawasan hutan sebelum berlakunya peraturan ini dinyatakan tetap berlaku“

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 31 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    Termasuk adanya Hak Kepemilikan masyarakat yang berada dan

    berbatasan dengan tanah hak milik Terdakwa JOHANNES

    SITORUS.

    4. Bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak menguraikan Fakta Hukum mengenai adanya Perkara Gugatan Perdata yang diajukan oleh

    Yayasan Riau Madani selaku Penggugat yang menggugat PT. Central

    Lubuk Sawit (dalam hal ini Terdakwa JOHANNES SITORUS) selaku

    Tergugat I, Dinas Kehutanan Kampar selaku Tergugat II, Balai

    Penelitian Hutan Penghasil Serat selaku Tergugat III, Bupati Kampar

    selaku Tergugat IV, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam

    (BKSDA) selaku Tergugat V, Dinas Kehutanan Provinsi Riau selaku

    Tergugat VI, Gubernur Provinsi Riau selaku Tergugat VII dan Menteri

    Kehutanan R.I. selaku Tergugat VIII. Sebagaimana tertuang dalam

    Putusan Pengadilan Negeri Bangkinang No.17/Pdt.G/2011/PN.BKN

    tanggal 4 April 2012, jo Putusan Pengadilan Tinggi Riau No.35/PDT/

    2013/PT.R. tanggal 24 Juni 2013, jo Putusan Mahkamah Agung

    No.682 K/Pdt/2014 tanggal 27 Oktober 2014. yang telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (inkracht van gewijsde). Dalam Putusan Pengadilan Negeri Bangkinang No.17/Pdt.G/2011/

    PN.BKN tanggal 4 April 2014 telah terurai dengan tepat pertimbangan hukumnya sebagai berikut 1. Dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan Pengadilan

    Bangkinang pada halaman 133 alinea terakhir dan halaman 134

    dinyatakan “ bahwa berdasarkan pertimbangan pertimbangan

    tersebut diatas Majelis berpendapat bahwa Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.173/ Kpts-II/1986 tentang Penunjukan areal hutan diwilayah provinsi Dati I Riau sebagai kawasan hutan dan Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan Produksi Terbatas Tesso Nillo yang dibuat pada tahun 1987 sudah tidak relevan lagi untuk menentukan kawasan hutansebagaimana yang dimaksud dalam Undang Undang No.41 Tahun 1999, sebagaimana diuraikan diatas Bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim tersebut telah

    diuraikan panjang lebar dalam pertimbangan hukum dari

    halaman 123 sampai halaman 134.

    2. Dalam Pertimbangan Hukum pada putusan Pengadilan Negeri

    Bangkinang pada 134 sampai kehalaman 135, pada pokoknya

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 32 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    menyatakan Bahwa Surat Keputusan Menteri Kehutanan

    No.SK.74/ Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan

    Produksi Tetap Tesso Nilo seluas 1027 Ha di Desa Kepau Jaya

    Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau sebagai

    Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus untuk Penelitian Pakan

    Lebah Kepau Jaya tersebut; dibuat berdasarkan Surat

    Keputusan Menteri Kehutanan No.173/Kpts-II/1986 bukan dibuat berdasarkan RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) sebagaimana dikehendaki oleh UU No.41 Tahun 1999. Surat Keputusan Menteri Kehutanan tersebut tidak menunjukan secara khusus dimana tepat batas-batas luar dari kawasan hutan Tesso Nilo yang dimaksud melainkan lebih pada penunjukan yang bersifat umum yang hanya menyebutkan bahwa kawasan hutan produksi tetap Tesso Nilo +

    1027 Ha di Desa Kepau Jaya Kecamatan Siak Hulu Kabupaten

    Kampar.

    Didalam Surat Keputusan tersebut disebutkan batas hutan

    penelitian lebah Kepau Jaya tersebut adalah sebagaimana

    tergambar dalam peta lampiran keputusan, sedangkan batas

    tetapnya akan ditentukan kemudian setelah dilaksanakan

    pengukuran dan penataan batas dilapangan, hal ini bertentangan dengan Pasal 15 ayat (1) UU No.41 Tahun 1999 yang menyatakan kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan dilakukan berupa (a) pembuatan peta

    penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar, (b)

    pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong

    batas, (c) pembuatan parit batas pada lokasi lokasi rawan dan

    (d) pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan,

    terutama dilokasi lokasi yang berbatasan dengan tanah hak, hal

    ini berarti sebelum menetapkan kawasan hutan maka pengukuran dan penataan batas dilapangan harus sudah dilakukan bukan ditentukan kemudian sebagaimana dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan tersebut.

    3. Dalam pertimbangan hukum pada putusan Pengadilan Negeri

    Bangkinang pada halaman 137, pada pokoknya menyatakan ;

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 33 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    a. Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 32 PP No.24 Tahun

    1997 sifat pembuktian sertifikat sebagai tanda bukti hak

    berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data

    fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang

    data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan surat

    ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

    b. Menimbang bahwa dalam hal suatu bidang tanah sudah

    diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau

    badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan

    itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak

    lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat

    lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut

    apabila dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat

    tersebut tidak mengajukan keberatan secara tertulis

    kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan

    yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke

    Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan

    sertifikat

    c. .Menimbang bahwa dengan diterbitkannya sertifikat

    haruslah dipandang bahwa proses pembuatan sertifikat

    sebagaimana diuraikan diatas telah dilakukan oleh Badan

    Pertanahan Nasional sepanjang tidak ada pihak lain yang

    membuktikan sebaliknya.

    4. Dalam pertimbangan hukum pada putusan Pengadilan Negeri

    Bangkinang pada halaman 139 pada pokoknya menyatakan ;

    “Menimbang bahwa berdasarkan uraian uraian tersebut diatas

    Majelis berpendapat bahwa tanah terperkara yang dikuasasi oleh Tergugat I (dalam hal ini Terdakwa) bukan merupakan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksudkan dalam Undang Undang No.41 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004….. dan Tergugat I (dalam hal ini Terdakwa) tidak melakukan perbuatan melawan hukum dengan menguasai tanah terperkara “ Bahwa Putusan Pengadilan Negeri Bangkinang No.17/Pdt.G/

    2011/PN.BKN tanggal 4 April 2012, telah dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Riau No.35/PDT/2013/PT.R. tanggal

    24 Juni 2013, dan Putusan Mahkamah Agung No.682

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 34 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    K/Pdt/2014 tanggal 27 Oktober 2014. sehingga telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (inkracht van gewijsde). Bahwa apabila Jaksa Penuntut Umum menguraikan dan atau

    menerapkan Putusan Pengadilan Negeri Bangkinang yang

    sudah dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Riau dan

    Mahkamah Agung tersebut diatas, yang pada pokoknya

    menyatakan ;

    a. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.173/Kpts-II/1986

    tentang Penunjukan areal hutan diwilayah provinsi Dati I

    Riau sebagai kawasan hutan dan Berita Acara Tata Batas

    Kawasan Hutan Produksi Terbatas Tesso Nillo yang dibuat

    pada tahun 1987 sudah tidak relevan lagi untuk menentukan kawasan hutan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang Undang No.41 Tahun 1999.

    b. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.74/Menhut-

    II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Produksi Tetap

    Tesso Nilo seluas 1027 Ha di Desa Kepau Jaya Kecamatan

    Siak Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau sebagai

    Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus untuk Penelitian

    Pakan Lebah Kepau Jaya dibuat berdasarkan Surat

    Keputusan Menteri Kehutanan No.173/Kpts-II/1986 bukan dibuat berdasarkan RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) sebagaimana dikehendaki oleh UU No.41 Tahun 1999.

    c. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.74/Menhut-

    II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Produksi Tetap

    Tesso Nilo seluas 1027 Ha di Desa Kepau Jaya Kecamatan

    Siak Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau sebagai

    Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus untuk Penelitian

    Pakan Lebah Kepau Jaya bertentangan dengan Pasal 15 ayat (1) UU No.41 Tahun 1999 yang menyatakan kegiatan

    persiapan pengukuhan kawasan hutan dilakukan berupa (a)

    pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang

    batas luar, (b) pemancangan batas sementara yang

    dilengkapi dengan lorong batas, (c) pembuatan parit batas

    pada lokasi lokasi rawan dan (d) pengumuman tentang

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 35 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    rencana batas kawasan hutan, terutama dilokasi lokasi yang

    berbatasan dengan tanah hak, hal ini berarti sebelum

    menetapkan kawasan hutan maka pengukuran dan penataan

    batas dilapangan harus sudah dilakukan bukan ditentukan

    kemudian sebagaimana dalam Surat Keputusan Menteri

    Kehutanan tersebut.

    Bahwa apalagi Surat Keputusan Menteri Kehutanan

    No.SK.74/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan

    Produksi Tetap Tesso Nilo seluas 1027 Ha di Desa Kepau Jaya

    Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau sebagai

    Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus untuk Penelitian Pakan

    Lebah Kepau Jaya, TIDAK DAPAT DIBERLAKUKAN SURUT, terhadap Terdakwa JOHANNES SITORUS yang sebelumnya

    telah memiliki 271 (dua ratus tujuh puluh satu) Sertifikat Hak

    Milik yang diterbitkan pada tahun 2003/2004, bahkan selama ini

    terdakwa JOHANNES SITORUS selalu PATUH membayar

    Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas tanah hak miliknya itu

    TentunyaTerdakwa JOHANNES SITORUS TIDAK DAPAT DIAJUKAN KEPERSIDANGAN INI SELAKU TERDAKWA

    5. Bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak menguraikan dan tidak menerapkan mengenai adanya, Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu;

    Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-IX/2011 tanggal 16 Juli

    2012, yang amar putusannya pada pokoknya menyatakan ;

    a. Pasal 4 ayat (3) Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

    Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999

    Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

    Nomor 3888 bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara

    Republik Indonesia sepanjang tidak dimaknai “ Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati dan memenuhi hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional“.

    b. Pasal 4 ayat (3) Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

    Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 36 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

    Nomor 3888) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang

    tidak dimaknai “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati dan memenuhi hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui

    keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional

    Bahwa pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

    tersebut pada pokoknya sebagai berikut ;

    1. pada halaman 44 alinea pertama pada pokoknya menyatakan

    “Menurut Mahkamah, dalam wilayah tertentu dapat saja terdapat hak yang telah dilekatkan atas tanah, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak hak lainnya atas tanah. Hak hak yang demikian harus mendapat perlindungan konstitusional berdasarkan pasal 28 G ayat (1) dan 28 H ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, penguasaan hutan oleh Negara harus juga memperhatikan hak-hak yang demikian, selain hak masyarakat hukum adat yang telah dimuat dalam norma aquo “

    2. Pada halaman 44 alinea ketiga, pada pokoknya menyatakan “

    ….kata memperhatikan dalam Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan

    haruslah pula dimaknai secara imperative berupa penegasan bahwa Pemerintah saat menetapkan wilayah kawasan hutan, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi control terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga Negara untuk hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyak hak milik

    pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara

    sewenang wenang oleh siapapun (vide Pasal 28 H ayat (1)

    dan ayat (4) UUD 1945), Oleh karena itu Pasal 4 ayat (3) UU

    Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak

    dimaknai “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati dan memenuhi hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 37 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang - undangan serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional“.

    Bahwa apabila Jaksa Penuntut Umum menguraikan dan menerapkan

    Putusan Mahkamah Konstitusi ini, tentunya Jaksa Penuntut Umum

    akan menghormati atas HAK HAK KEPEMILIKAN TERDAKWA terhadap TANAH seluas 550,16 Ha yang telah diterbitkan Sertifikat Hak Miliknya sebanyak 271 (dua ratus tujuh puluh satu) buku dan

    KEPEMILIKAN TERDAKWA atas tanah tersebut MASIH TETAP DINYATAKAN BERLAKU berdasarkan Pasal 22 butir (c) Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Kehutanan Republik Indonesia dan Kepala Badan Pertanahan

    Nasional Republik Indonesia No. 79 Tahun 2014, No.PB.3/Menhut-

    11/2014, No.17/PRT/M/2014, No.8/SKB/X/2014 tanggal 17 Oktober

    2014, tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang

    berada didalam Kawasan Hutan.

    Tentunya Jaksa Penuntut Umum tidak akan mengajukan Terdakwa ke persidangan ini sebelum adanya penyelesaian terhadap Hak Milik Terdakwa tersebut..

    Dari uraian diatas, maka dengan adanya Fakta Hukum yang tidak

    diuraikan atau tidak menerapkan hukum Peraturan Perundang-undangan

    yang berlaku yaitu ;

    1. UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

    2. Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan

    Kehutanan.

    3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari

    2012.

    4. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-IX/2011 tanggal 16 Juli

    2012.

    5. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri

    Kehutanan Republik Indonesia dan Kepala Badan Pertanahan Nasional

    Republik Indonesia No. 79 Tahun 2014, No.PB.3/Menhut-11/2014,

    No.17/ PRT/M/2014, No.8/SKB/X/2014 tanggal 17 Oktober 2014,

    tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada

    didalam Kawasan Hutan,

    6. Putusan Pengadilan Negeri Bangkinang No.17/Pdt.G/2011/PN.BKN

    tanggal 4 April 2012, telah dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • Hal. 38 dari 76 hal. Put. No.106/PID.SUS-LH/2017/PT.PBR

    Riau No.35/PDT/ 2013/PT.R. tanggal 24 Juni 2013, dan Putusan

    Mahkamah Agung No.682 K/ Pdt/2014 tanggal 27 Oktober 2014.

    7. Sertifikat Hak Milik sebanyak 271 (dua ratus tujuh puluh satu) buku

    untuk kepemilikan Terdakwa atas tanah seluas 550, 16 Ha.

    Dihubungkan dengan maksud dari Pasal 143 Ayat (2) huruf (b) KUHAP, maka jelas secara hukum bahwa Dakwaan Jaksa Penuntut Umum telah tidak menyebutkan keadaan-keadaan (CIRCUMSTANCES) yang melekat pada tindak pidana yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tindak pidana yang terjadi. Hal ini mengakibatkan

    Jaksa Penuntut Umum dalam uraian Surat Dakwaannya telah tidak

    cermat, tidak jelas dan tidak lengkap mengenai uraian tindak pidana yang

    didakwakan, maka berdasarkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP, Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dimaksud patut dinyatakan BATAL DEMI HUKUM.

    Majelis Hakim yang terhormat,

    Dari uraian diatas, jelas sekali bahwa Perkara dengan Terdakwa JOHANNES SITORUS yang sekarang disidangkan ini adalah jelas-jelas merupakan SUATU REKAYASA atau dengan kata lain Terdakwa JOHANNES SITORUS TELAH DIKRIMINALISASI, karena perkara ini DIPAKSAKAN UNTUK MAJU KEPERSIDANGAN, DENGAN MENUTUPI SEMUA FAKTA HUKUM YANG ADA DAN MENUTUPI SEMUA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA YANG DIDAKWAKAN KEPADA TERDAKWA, sehingga seakan-akan Terdakwa JOHANNES SITORUS telah melakukan tindak pidana mengerjakan, dan atau menggunakan dan atau menduduki Kawasan Hutan secara tidak syah, padahal tanah seluas 550, 16 Ha yang dikuasai oleh Terdakwa BELUM MERUPAKAN KAWASAN HUTAN YANG TELAH DITETAPKAN ATAU DIKUKUHKAN sebagaimana yang seharusnya berdasarkan UU No.41 Tahun 1999

    tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004 tentang

    Perencanaan Kehutanan dan senyatanya pula secara hukumTerdakwa JOHANNES SITORUStelah memiliki 271 (dua ratus tujuh puluh satu) Sertifikat Hak Milik yang syah secara hukum, bahkan selalu patuh membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan sampai saat ini Sertifikat Hak Milik Terdakwa JOHANNES SITORUS ini masih tetap dinyatakan berlaku oleh Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Kehutanan Republik Indonesia dan Kepala

    Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 79 Tahun 2014,

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22