Page 1
Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 43
POLA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KOTA:
KOMPARASI KOTA BANDUNG DAN KOTA KOBE- JEPANG
Puspa Mirani Kadir
1
Amaliatun Saleha2
Nandang Rahmat3
1 Japanese Department , Padjadjaran University, Indonesia
1E-mail address: [email protected]
2 Japanese Department, Padjadjaran University, Indonesia
2E-mail address: [email protected]
3Japanese Department, Padjadjaran University, Indonesia
E-mail address: [email protected]
Abstract
Communities in particular cities cannot survive without taking care of
their members’ welfares. Therefore, the community’s social workers in several
cities have made various efforts to overcome social problems such as the low
levels of children's education and the problem of aging society. Some communities,
particularly in urban areas, are founded to empower their people. One of urban
cities in Indonesia which actively empower its people is Bandung. Relying on
professional systems, Bandung strengthens the empowerment of local
communities based on the values of togetherness, social moral/ethics, honesty,
and mutual trust as well as highlighting its culture. This togetherness value is
called in Indonesian as gotong royong. Similar idea has been used by a city in
Japan, Kobe. Using a term called sougo fujo, it comprises the idea of togetherness
to empower Japanese society. This research aims to compare the ideas of gotong
royong and sougo fujo. By comparing social empowerment systems in developed
countries like Japan, it will broaden the horizons of value orientation in our
country. Similar to communities in Bandung, Kobe communities use their local
wisdom to solve their social problems and empower their people. These ideas
show that communities’ empowerment can be conducted by engaging the value of
togetherness from their members.
Key Words: empowerment, community, behavioral patterns, social value
1. Latar Belakang
Kesejahteraan dan
keberlangsungan hidup masyarakat
kota ditunjang dengan berbagai
program pemerintah kota setempat
dan komunitas masyarakat yang
mendukung program tersebut. Salah
satu program pemerintah Kotamadya
Bandung dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya adalah
Program Inovasi Pembangunan dan
Pemberdayaan Wilayah (PIPPK).
Program ini memiliki konsep
desentralisasi yang menunjang
pembangunan merata ke seluruh
wilayah dan organisasi
Page 2
Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 44
kemasyarakatan di Kota Bandung,
dan tujuannya mempercepat
perubahan di wilayah kota Bandung.
Selain bertujuan meningkatkan
pembangunan infrastruktur wilayah,
PIPPK juga mendukung
pemberdayaan masyarakat.
Program ini diciptakan oleh
pemerintah kota Bandung atas dasar
pemikiran bahwa pembangunan
suatu daerah bukan hanya tanggung
jawab pemerintah, tetapi juga
membutuhkan sinergi dari
pemerintah, masyarakat dan tenaga
profesional. Pemerintah Kota
Bandung mengharapkan program ini
dapat membantu masyarakat di
wilayah kelurahan, kecamatan,
hingga wilayah pusat menjadi lebih
pintar, lebih sejahtera, lebih mandiri
dan bisa menolong diri mereka
sendiri.. Pada lampiran Peraturan
Walikota Bandung no 436 tahun
20151)
, dijelaskan bahwa bahwa
kegiatan PIPPK ini dilaksanakan
oleh pemerintah dan Lembaga
Kemasyarakatan (RW, PKK, Karang
Taruna, LPM) dalam Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD)
Kecamatan se-Kota Bandung.
Kegiatan PIPPK ini didasari oleh
beberapa prinsip dasar di antaranya
adalah sebagai berikut:
1. Bertumpu pada pembangunan
manusia, dalam arti
meningkatkan harkat dan
martabat manusia.
2. Berorientasi pada masyarakat
miskin.
3. Inovasi yaitu modifikasi
gagasan dalam pembangunan
berbasis pemberdayaan
masyarakat,
4. Masyarakat berpartisipasi
aktif dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian,
monitoring dan evaluasi
kegiatan, serta
pertanggungjawaban.
5. Masyarakat diberikan
otonomi dalam pelaksanaan
kegiatan.
6. Kesetaraan dan keadilan
gender dalam kegiatan
PIPPK.
7. Kolaborasi masyarakat dan
keberlanjutan melalui PIPPK.
Upaya pemberdayaan dan
peningkatan kesejahteraan
masyarakat di Kota Bandung,
dirasakan sejak munculnya program
tersebut, dan upaya ini tidak saja
dilakukan oleh pemerintah kota
Page 3
Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 45
Bandung, tetapi juga dilakukan oleh
komunitas masyarakat berdasarkan
kebutuhan dan potensi daerahnya
masing-masing2)
. Salah satu
komunitas masyarakat yang aktif
mendukung upaya pemberdayan
masyarakat di kota Bandung, adalah
GSSI (Generasi Semangat Selalu
Ikhlas). GSSI dibentuk oleh Tini
Martini Tapran, lulusan Jurusan
Fisika ITB sekaligus pemerhati
lingkungan di Kota Bandung sejak
tahun 2010. Kegiatannya diawali dari
4 kegiatan besar yaitu Penggerak
Kampung, GSSI Kids Club, Sekolah
Relawan, Buku untuk Sahabat. GSSI
berhasil menggerakkan dan
memberdayakan masyarakat
perumahan padat Kampung Cibunut,
khususnya wilayah RW 07,
Kelurahan Kebon Pisang, Kecamatan
Sumur Bandung. Wilayah padat di
pinggiran sungai Cibunut yang dulu
dikenal sebagai daerah pinggiran
sungai yang kumuh berhasil menjadi
kampung kreatif berwawasan
lingkungan yang bebas sampah dan
memiliki Kelompok Swadaya
Masyarakat bernama OH Darling
(Orang hebat Sadar Lingkungan).
Selain daerah Cibunut,
kegiatan pemberdayaan masyarakat
terlihat juga di Kecamatan Cibiru,
Kabupaten Bandung. Wilayah
Kecamatan Cibiru yang menjadi
studi kasus dalam penelitian ini
kegiatan Rukun Warga (RW) 06 dan
RW O7, Kelurahan Cipadung. Kedua
RW ini berada di sekitar Universitas
Islam Negeri Gunung Jati yang
banyak dihuni oleh para mahasiswa
dan akademisi. Menilik dari poin-
poin diatas, wilayah ini memiliki
potensi untuk pengembangan
pemberdayaan masyarakat yang
berbasis pendidikan.
Dengan adanya perbedaan
potensi dan kebutuhan masyarakat di
setiap wilayahnya, kegiatan
pemberdayaan masyarakat di setiap
wilayah memiliki pola atau sistem
pemberdayaan masyarakat yang
berbeda karena tergantung dari
potensi masyarakat dan kebutuhan
daerahnya masing-masing.
Permasalahan yang berkaitan dengan
pola pemberdayaan ini akan menjadi
fokus permasalahan dalam penelitian
ini yang akan membahas secara
khusus pola pemberdayaan
masyarakat di Kecamatan Cibiru.
Sebagai pembanding, pola
pemberdayaan masyarakat
khususnya di kota Kobe mulai tahun
Page 4
Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 46
2001 (Asahi Newspaper, November
2002 edisi pagi) akan dibandingkan.
Melalui artikel jurnal tersebut
diketahui bahwa kegiatan komunitas
masyarakat di Kobe dimulai dari
keinginan untuk memenuhi
kebutuhan ibu rumah tangga dan
orang tua yang bekerja, terlebih bagi
mereka yang ingin menitipkan anak-
anak dan menjemputnya kembali
untuk waktu yang singkat.
Koordinator komunitas tersebut
melakukan intermediasi antar
anggota yang ingin mendukung dan
anggota yang ingin berkecimpung di
dalamnya. Dalam proses
kegiatannya, komunitas masyarakat
Kobe tersebut bergantung pada
sistem pemprosesan profesional,
yang memberdayakan masyarakat
lokal dan bertumpu pada nilai-nilai
kebersamaan atau gotong royong
yang dalam bahasa Jepang disebut
sougo fujo.
2. Metodologi
Pemberdayaan masyarakat
perkotaan di Indonesia perlu ditinjau
dari komunitas yang bersemangat
untuk berpartisipasi, keberlanjutan
dan kemandirian sebagai nilai utama.
Tentu saja nilai utama ini adalah
orientasi nilai yang sesuai dengan
pembangunan seperti yang
disampaikan oleh Koentjaraningrat
(1983)3)
, bahwa apabila bangsa
Indonesia ingin maju seperti bangsa-
bangsa lain maka mereka harus
memiliki orientasi nilai yang:
- Berorientasi masa depan
- Berhasrat untuk
mengeksplorasi alam dan
lingkungan
- Menilai tinggi hasil karya
manusia
- Menilai tinggi usaha orang
yang dapat mencapai hasil,
sebisa mungkin atas usahanya
sendiri, percaya diri,
berdisiplin diri, dan berani
bertanggung jawab sendiri
Orientasi nilai-nilai di atas
dapat tercermin dalam masyarakat
Indonesia yang memiliki budaya
gotong royong yang lebih bersifat
instrinsik atau memiliki interaksi
sosial dengan latar belakang
kepentingan atau imbalan non
ekonomi.
Tajudin
(2013) mencermati prinsip
yang tergantung dalam gotong
royong jelas melekat aspek-aspek
yang terkandung dalam modal sosial.
Modal sosial secara konseptual
Page 5
Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 47
bercirikan adanya kerelaan individu
untuk mengutamakan kepentingan
bersama. Modal sosial ini dapat
diartikan pula bagian-bagian dari
institusi sosial seperti kepercayaan,
norma (etika) dan jaringan yang
dapat meningkatkan efisiensi
masyarakat dengan memfasilitasi
tindakan-tindakan yang
terkoordinasi. Modal sosial juga
didefinisikan sebagai kemampuan
dan kapasitas yang muncul dari
kepercayaan umum di dalam sebuah
masyarakat atau bagian-bagian
tertentu dari masyarakat tersebut.
Komparasi pola
pemberdayaan masyarakat negara
yang sudah maju seperti Jepang,
akan menambah wawasan pada
orientasi nilai yang sedang
dikembangkan di negara sendiri.
Kota Kobe yang memiliki budaya
regional yang dijadikan kegiatan
regional untuk memecahkan masalah
dalam kehidupan. Organisasi
regional ini dapat lebih mandiri
selama dapat berpijak pada suatu
sistem yang tidak terbatas pada
pemberdayaan masyarakat saja
melainkan perlu organisasi yang
bergerak secara profesional untuk
kesejahteraan yang mendukung
kasus-kasus yang diprioritaskan pada
pengembangan kegiatan untuk
menciptakan lingkungan yang
nyaman.
Di Jepang pada tahun 1960-
an, banyak orang tinggal di daerah
pedesaan. Di daerah pedesaan telah
tersimpan keterkaitan secara
geografis, dan memiliki fungsi
adanya bantuan timbal balik
berdasarkan kesadaran umum dan
perasaan yang sama di mana mereka
tinggal. Nilai-nilai tersebut tercermin
dari sebuah pertunjukan cerita Tsubo
Sakae yang berjudul Nijuu Shi No
Hitomi yang mengangkat cerita
tentang dunia yang mempertahankan
hubungan yang erat antara rasa
kebersamaan yang sama antar warga
dimana mereka berada (Takahashi,
2003, hal. 195).
Dalam masyarakat Jepang
modern, terutama mereka yang
tinggal di daerah perkotaan,
permasalahan yang berhubungan
dengan kesejahteraan masyarakat
seperti bagaimana menciptakan
kenyamanan bagi penduduk kota,
fasilitas kesehatan bagi lanjut usia,
dan perawatan anak-anak, perlu
dicarikan solusinya untuk
menciptakan lingkungan dengan
Page 6
Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 48
kesadaran bersama masyarakat. Bagi
para pengguna layanan kesejahteraan
dan relawan, khususnya panti jompo,
fasilitas sosial merupakan satu-
satunya tempat untuk bersosialisasi
di daerah tersebut. Oleh karena itu,
kesejahteraan daerah memiliki posisi
penting dalam kehidupan
bermasyarakat dan suatu cara
hubungan dengan seluruh
komunitasnya (Takahashi, 2003, hal.
196).
Peranan bantuan
kesejahteraan sosial secara fleksibel
dilakukan sesuai dengan karakteristik
pengguna aktivitas yang dilakukan.
Peranan donor/penyumbang perlu
diklarifikasi berdasarkan analisis
konten kerja pada kegiatan konkrit.
Menurut Dubois dan Miley (1996),
faktor-faktor penentu dalam aktivitas
sosial ini dapat dipertimbangkan
menggunakan tiga level berbeda
sesuai dengan masing-masing
perannya. Peranan yang diperlukan
pada level tingkat mikro (individu,
keluarga,kelompok), pada level
tingkat menengah (status organisasi),
level makro (partisipasi masyarakat).
Berikut adalah peranan-peranan yang
diperlukan pada tiga level ini:
① Tingkat mikro
Di tingkat mikro, kegiatan
intervensi akan dilakukan
terhadap situasi yang melanggar
hak di mana pengguna didorong
untuk mampu dan memiliki
motivasi untuk memecahkan
masalah. Peran yang dimainkan
oleh para donor pada tingkat ini
adalah① konsultasi, ② kegiatan
kelompok, ③ penyesuaian
kontak, ④ perlindungan hak.
Tingkat fungsi kehidupan
sosial individu, keluarga, dan
kelompok kecil ditunjukkan pada
Tabel 1 "Faktor-faktor yang
menentukan di tingkat mikro" di
bawah ini. Tanggapan pada
tingkat ini tidak hanya kekuatan
individu, keluarga dan kelompok,
tetapi juga pengakuan manusia
terhadap kekuatan pengaruh
perkembangan masyarakat dan
lingkungan terhadap individu.
Tiga hal berikut memiliki
pengaruh besar pula pada gaya
komunikasi para pendonor.
Pertama, pentingnya memahami
posisi personal di pihak lain
secara fleksibel. Hal kedua
adalah fokus pada masalah yang
didiskusikan dengan menghindari
masalah yang tidak sesuai dengan
Page 7
Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 49
keadaan. Hal ketiga adalah
memberikan informasi yang tepat
waktu. Poin-poin diatas juga
diperlukan untuk menilai
hubungan kepercayaan dengan
pihak lain dengan negosiasi yang
optimal.
Tabel.1. Faktor yang menentukan kondisi tingkat mikro
Personal Keluarga/Kelompok
penghasilan skala prioritas komposisi kelompok
cara Hidup kondisi seimbang komunikasi
motivasi pembagian tugas pola hubungan
konsep diri nilai-nilai moral karakteristik
Kemampuan
mengatasi
masalah
dukungan timbal-
balik
fungsi fisik
fungsi intelek
② Tingkat menengah
Pada tingkat intervensi
ini, komunitas fokus kepada
status yayasan. Pendonor
melakukan kegiatan berdasarkan
kepada organisasi mereka. Ketika
keinginan pengguna dan
kepuasan kebutuhan terhalang,
organisasi akan menganalisis
faktor itu dan memperbaikinya.
Selain itu, yayasan pun
mendukung langkah-langkah
bimbingan, pengawasan
administratif ketika rekan-rekan
masih kurang berpengalaman
sebagai anggota organisasi atau
memberikan tanggapan yang
belum tepat. Pada level ini,
yayasan akan memerankan ⑤
peningkatan struktur organisasi,
⑥ visi yang super.
Page 8
Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 50
Tabel. 2.Faktor yang menentukan keadaan tingkat menengah
Organisasi Yayasan
Tujuan organisasi
Budaya organisasi
Tahun kegiatan
Ciri/karakteristik anggota
Pola Pertukaran Pendapat
Peranan Pimpinan
Belakangan ini, kegiatan intervensi dari luar organisasi cukup menarik
perhatian. Ada bentuk
evaluasi pihak ketiga atau
intervensi organisasi yang
disebut ombudsman
kesejahteraan. Pihak ketiga
sebagai tenaga profesional
mengevaluasi kualitas layanan
kesehatan dan kesejahteraan dari
sudut pandang pengguna. Dalam
tingkat intervensi ini, hal-hal
yang berkaitan dengan yayasan
seperti yang ditunjukkan dalam
"Faktor yang menentukan
tingkat menengah" pada Tabel 2.
③ Peranan Donor di tingkat
makro
Para pendonor di level ini
mempromosikan partisipasi
warga dan memainkan peran
dalam membangun jaringan
antara organisasi dan yayasan
yang diperlukan untuk
berkolaborasi. Selain itu, untuk
berpartisipasi dalam komite
pengembangan kesejahteraan
dilakukan di unit kota, ada
peranan untuk melaksanakan
kegiatan melindungi
kepentingan pengguna potensial.
Pada level ini dapat
diikutsertakan dalam ⑦
Promosi partisipasi penduduk,
⑧ Kegiatan sosial, ⑨
Pengembangan sumber daya, ⑩
Formulasi kesejahteraan daerah.
Kegiatan intervensi ini
ditunjukkan dalam "faktor-faktor
yang menentukan keadaan
tingkat makro" pada (Tabel.3),
dimana kegiatan untuk
membayar pemerhati pada
bidang ciri khas warga setempat,
lingkungan setempat, kondisi
Page 9
Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 51
pemeliharaan sistem kesehatan
dan kesejahteraan perlu
dilaksanakan. Hal ini akan
mengembangkan dan
meningkatkan lembaga dan
yayasan yang didirikan di unit
pemerintah daerah sebagai
sumber daya yang kuat. Akar
untuk "perbaikan" ini adalah
"konsolidasi" antar kelompok,
baik asosiasi lingkungan,
asosiasi yang mengatur diri
sendiri, maupun di distrik
perbelanjaan pada serikat
pekerja.
Sebagai contoh,
meskipun banyak penduduk
yang memiliki rasa sayang pada
daerahnya dan ingin menetap,
terkadang mereka tidak aktif
berpartisipasi dalam kegiatan
asosiasi lingkungan. Walaupun
mereka memiliki keinginan
untuk mengatasi masalah
masyarakat setempat, warga
tersebut tidak ikut berperan aktif.
Tabel .3.Faktor yang menentukan Tingkat Makro
KOMUNITAS
Tipe kehidupan masyarakat lokal
Tingkat pendapatan Penduduk
Kondisi tempat tinggal
Status Pemanfaatan Sarana Perjalanan
Bebas Halangan
Status Pengembangan Sumber Daya
Kesadaran Warga terhadap HAM
Partisipasi pada Administrasi masyarakat
Jaringan dukungan Timbal Balik
3. Hasil dan Pembahasan
Komparasi pola pemberdayaan
masyarakat negara yang sudah maju
seperti Jepang akan menambah
wawasan pada orientasi nilai yang
sedang dikembangkan di Indonesia.
Sebagai contoh adalah Kota Kobe
yang memiliki budaya lokal yang
dijadikan acuan untuk memecahkan
masalah dalam kehidupan.
Organisasi lokal yang didirikan atas
dasar kebijakan lokal dapat lebih
Page 10
Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 52
mandiri selama mereka berpijak pada
suatu sistem yang tidak terbatas pada
pemberdayaan masyarakat semata
tetapi juga prinsip-prinsip
profesional berlandaskan
kesejahteraan bersama demi
mendukung kasus-kasus yang
diprioritaskan pada pengembangan
kegiatan untuk menciptakan
lingkungan yang nyaman.
Pada tahun 1960-an di Jepang,
banyak orang tinggal di daerah
pedesaan yang memiliki keterkaitan
secara geografis dengan daerah
pedesaan dan memiliki fungsi
bantuan timbal balik berdasarkan
kesadaran umum dan perasaan yang
sama di mana mereka tinggal. Salah
satu refleksi dari poin-poin diatas
adalah sebuah cerita yang berasal
dari daerah Azushima. Cerita Tsubo
Sakae yang berjudul Nijuu Shi No
Hitomi. Cerita ini berkisah tentang
sekelompok masyarakat yang
mempertahankan hubungan yang erat
dan rasa kebersamaan antar warga
(Takahashi, 2003, hal. 195)5)
.
Hubungan masyarakat di
lingkungan perkotaan di Jepang perlu
berfokus pada kesejahteraan
masyarakat demi menciptakan
lingkungan yang memiliki kesadaran
bersama yang tinggi. Beberapa
permasalahan seperti bagaimana
orang dapat hidup nyaman, fasilitas
kesejahteraan sosial untuk orang tua
dan perawatan anak-anak perlu
dipertimbangkan. Bagi pengguna
layanan kesejahteraan dan relawan,
khususnya mereka yang beraktivitas
di sekitar panti jompo, fasilitas sosial
bisa menjadi satu-satunya tempat
untuk bersosialisasi di daerah
tersebut. Kesejahteraan daerah
memiliki posisi penting dalam
kehidupan bermasyarakat dan
menjadi cara untuk menjalin
hubungan dengan seluruh
komunitasnya (Takahashi, 2003, hal.
196).
Partisipasi masyarakat dalam
pembangunan pada dasarnya dapat
terlihat perencanaan, pengambilan
keputusan untuk pelaksanaan hingga
pengawasan nilai-nilai hasil
pembangunan dan pemeliharaan
hasil-hasil yang telah dicapai.
Selanjutnya partisipasi yang
diberikan oleh masyarakat perkotaan
sebagian besar adalah partisipasi
tenaga. Peranan tenaga profesional
dalam menjelaskan arah dan tujuan
pembangunan sangat penting
sehingga dalam pelaksanaannya
Page 11
Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 53
selalu mendapat dukungan
sepenuhnya dari masyarakat lokal.
Perbaikan kondisi dan
peningkatan taraf hidup masyarakat
dapat menggerakkan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan.
Oleh karena itu, pelaksanaan suatu
kegiatan harus disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat yang nyata
sehingga dapat dijadikan stimulasi
untuk masyarakat, berfungsi sebagai
pendorong timbulnya jawaban untuk
motivasi masyarakat, dan
pembangkit sikap yang dikehendaki
secara berkelanjutan.
Mengacu pada tingginya
tingkat kesadaran dan sikap
masyarakat terhadap pembangunan,
perubahan menuju pada arah
kemajuan dan tingkat kesejahteraan
masyarakat menjadi landasan
pembangunan berikutnya demi
mencapai hasil-hasil pembangunan
yang tinggi. Dana yang digunakan
dalam pelaksanaan pembangunan
terhadap program/proyek
pembangunanpun adalah dana
swadaya murni masyarakat.
Komunitas Generasi
Semangat Selalu Ikhlas ini berjalan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat
sekeliling dan tetap dipertahankan
berdasarkan pada manajemen yang
seimbang yakni menggunakan modal
sosial yang disebut gotong royong.
Selain itu, kekuatan individu yang
menjadi motor penggerak
(leadership) juga memiliki peranan
penting. Penggerak komunitas ini
adalah semangat bahwa siapapun
bisa menjadi agen perubahan bagi
masyarakat di sekitarnya ketika
mereka memilih untuk peduli dan
menggunakan seluruh potensi dan
kekuatan yang ada di dalam dirinya
untuk mewujudkan perubahan sosial.
Kegiatan Komunitas GSSI
dapat dikategorikan ke dalam
kegiatan kerjasama pada level mikro.
Hal ini dapat terlihat dengan
kerjasama yang terjalin dalam
mewujudkan program-programnya
dengan menggunakan pendekatan
personal. Tini, menemukan
permasalahan sampah di daerah
tersebut, melakukan pendekatan
personal kepada warga Cibunut,
khususnya kepada warga RW O7 dan
Karang Taruna di area tersebut, dan
berhasil menggerakkan warga
Cibunut untuk menyadari
permasalahan ini dan kemudian
termotivasi untuk menciptakan
lingkungan yang bebas sampah. Pada
Page 12
Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 54
awal kegiatan, donor pada program
pemberdayaan masyarakat di daerah
Cibunut berasal dari ikatan alumni
sekolah almamater Tini dan sebuah
perusahaan. Namun sekarang warga
Cibunut memiliki bank sampah yang
dapat memberdayakan daerahnya
sendiri. Bahkan daerah ini sudah
menjadi daerah contoh bagi mereka
yang ingin membangun kawasan
yang ramah lingkungan atau zero-
waste.
Masyarakat menemukan
permasalahan dalam kehidupannya
dan berusaha bertindak untuk
menyelesaikannya. Hal tersebut
terjadi di masyarakat Kota Kobe
yang mengalami perubahan
penduduk setelah gempa bumi Besar
Hanshin. Hampir 40% penduduk
Kota Kobe adalah penduduk baru
yang pindah setelah terjadinya
bencana. Perubahan ini
menyebabkan permintaan akan
penitipan anak yang menjadi latar
belakang kegiatan kerjasama
masyarakat yang mendukung
pengasuhan anak dilakukan hanya
pada masyarakat sekitar.
Kesadaran akan
permasalahan yang ada di sekitar
tempat kita hidup dapat dilakukan
dengan melakukan pemetaan sosial
di wilayah sekitar. Hal ini dilakukan
oleh warga RW 06 dan 07 Kelurahan
Cipadung, Kecamatan Cibiru.
Mereka menyadari bahwa walaupun
tempat tinggal mereka banyak
ditinggali oleh mahasiswa dan
akademisi, bukan berarti semua
warganya adalah keluarga mampu.
Di area ini masih banyak warga
miskin yang belum memiliki
kesempatan untuk bersekolah atau
meningkatkan kompetensi dalam
dirinya sendiri. Oleh karena itu,
warga di kedua RW ini memiliki
kepedulian untuk memajukan warga
yang kurang mampu tersebut.
Warga kedua RW ini
berusaha untuk mendata jumlah
keluarga miskin di daerah mereka.
Kemudian warga bekerjasama
dengan DKM mesjid, madrasah, para
akademisi serta mahasiswa yang
tinggal di area ini untuk melakukan
suatu kegiatan sosial yang dapat
meningkatkan kompetensi kaum
dhuafa. Untuk melakukan
programnya, mereka mendapat
modal dana yang terkumpul melalui
kotak amal mesjid. Setelah dana
yang dibutuhkan cukup, warga mulai
melakukan salah satu programnya
Page 13
Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 55
yaitu Program Pengajaran Tiga
Bahasa (P3B-Bahasa Inggris, Bahasa
Arab, dan Bahasa Jepang). Dana
digunakan untuk membeli
perlengkapan kelas dan materi
pembelajaran. Kegiatan yang
berorientasi pendidikan ini
dilakukan di Mesjid Al-Huda yang
berada di wilayah RW 06 dan 07.
Pendekatan yang dilakukan
warga RW 06 dan 07 kepada
kelompok non sejahtera dilakukan
secara personal dengan mendatangi
keluarga miskin dan mengajak
mereka untuk datang ke P3B secara
gratis. Kegiatan ini dimulai sejak
Agustus 2017 dan terus berlangsung
hingga saat ini. Untuk rencana
kedepan, warga kedua RW ini akan
mendirikan yayasan untuk
memperluas kegiatan sosial mereka.
Yayasan ini didirikan untuk
membangun jaringan bersama warga
melalui kegiatan untuk memecahkan
kesulitan hidup di sekitarnya. Oleh
karena itu kegiatan regional untuk
memecahkan masalah oleh warga
harus ditetapkan sebagai bagian
pencerminan budaya regional.
Kegiatan kerjasama yang
dilakukan di area Cibiru tersebut
dapat dikategorikan sebagai
kerjasama yang berada pada level
tingkat mikro. Hal ini dapat dilihat
dari jenis kerjasama yang memiliki
peran donor pada tingkat ini
konsultasi, kegiatan kelompok,
penyesuaian kontak, belum diatur
dalam suatu organisasi tertentu.
Donor dihimpun langsung dari
masyarakat melalui kotak amal
mesjid, bukan dari pendonor tetap di
luar warga. Selain itu, pemecahan
masalah dilakukan dengan
pendekatan personal dengan tujuan
memotivasi warga miskin untuk
meningkatkan harkat dan martabat
mereka dengan memberikan modal
kemampuan berbahasa asing, yang
diharapkan dapat membantu masa
depan putra-putrinya di kemudian
hari, bukan memberikan dana begitu
saja kepada mereka.
4. Kesimpulan
Berdasarkan kajian yang
membandingkan kegiatan
pemberdayaan masyarakat di
Bandung dan Kobe, kegiatan
pemberdayaan masyarakat, baik di
Kobe dan Bandung didasarkan pada
permasalahan yang muncul di
daerahnya masing-masing.
Kemudian para warga bekerjasama
untuk mengatasi masalah tersebut.
Page 14
Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 56
Berdasarkan pendekatan dan donor
yang dari kegiatan pemberdayaan
masyarakat di kedua kota, dapat
diketahui bahwa di Kobe, kerjasama
dilakukan pada level menengah atau
makro karena kegiatan dilakukan
atas kerjasama organisasi yang
profesional. Sedangkan di Bandung
khususnya di daerah Cibiru, masih
dilakukan pada level mikro. Pola
pemberdayaan masyarakat di daerah
Cibiru, dilakukan pada awalnya
dengan pemetaan sosial, yaitu
dengan pendataan kaum non
sejahtera di wilayah sekitar. Setelah
pendataan, warga bekerjasama untuk
melakukan kegiatan yang bermanfaat
bagi kaum non sejahtera. Karena
warga di daerah RW 06 dan RW 07
Kelurahan Cipadung, Cibiru cukup
banyak yang berada di lingkungan
pendidikan, program awal mereka
adalah pemberian pelatihan bahasa
secara gratis. Setelah program
berjalan dengan respon yang positif,
warga pun mulai mengembangkan
kerjasamanya dengan membuat
yayasan.
Daftar Pustaka
Dubois, B and Milley, K. K. (1996).
Social Work an Empowering
Profession. Pearson.
Kirst-Ashman, K and Crafton H.H, Jr.
(1997) Practice with Organizations
and Communities. Nelson-Hall
Publishers.
Koentjaraningrat. (1983).
Kebudayaan dan Mentalitas
Pembangunan. Jakarta: Penerbit
Gramedia.
Tajudin N. E. (2013). Budaya
Gotong-Royong Masyarakat dalam
Perubahan Sosial saat ini, Jurnal
Pemikiran Sosiologi Volume 2 No.1.
Takahashi. (2003). Chiiki Enjo
Gijutsu Kenkyuu no Kihon Tekina
Wakugumi: Tokyo Kasei Gakuin
Daigaku Kiyou Dai 43 Go, Jinbun-
Shakai Kagakukei