Top Banner
35

Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

Oct 16, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana
Page 2: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

i

Volume 02, No.2 September 2018

ENT UPDATEPublikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

Editor :dr. I DG Arta Eka Putra Sp.THT-KL (K), FICS

dr. I Putu Yupindra Pradiptha

PROGRAM STUDI THT-KLFK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

Page 3: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

ii

KATALOG DALAM TERBITAN

ENT UPDATEPublikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

Editor :dr. I DG Arta Eka Putra Sp.THT-KL (K)dr. I Putu Yupindra Pradiptha

ISBN : 987-602-1672-81-5

vi x 327 halaman, 21 x 29,7

Penerbit :PT. Percetakan Bali, Jl. Gajah Mada I/1 Denpasar 80112,Telp. (0361) 234723, 235221NPWP.01.126.5-904.000, Tanggal pengukuhan DKP: 01 Juli 2006

Page 4: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga ENT

UPDATE Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana Vol 2 No.2 dapat

diselesaikan dengan baik. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh

pihak yang telah membantu penyusunan buku ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa

memberi balasan atas segala bantuan yang telah diberikan.

Kami menyadari bahwa buku yang telah disusun masih jauh dari sempurna

sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata, semoga

buku ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Denpasar, September 2018

Editor

Page 5: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

iv

DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………...…………………..……………………………..iiiDaftar Isi………………………………………………….………………………….iv

Penggunaan Antagonis Reseptor Leukotrien Dalam Terapi Rinitis Alergi……1Wayan Suardana

Diagnosis dan Penatalaksanaan Polip Antrokoanal ……….……………………22Luh Made Ratnawati

Dekompresi Nervus Fasialis Setinggi Ganglion Genikuli Melalui PendekatanOtoendoskopi Epitimpani..………………………………………………………...53Eka Putra Setiawan

Benda Asing Tulang Di Esofagus Dengan Komplikasi Abses Tiroid …………..83IDG Arta Eka Putra

Tuli Sensorineural Pada Hipotiroid Kongenital ..................................................109I Made Wiranadha

Adenoma Pleomorfik Kelenjar Ludah Minor Daerah Palatum………………..138I Gde Ardika Nuaba

Stenosis Vestibulum Pada Anak ….……………………………………………157Komang Andi Dwi Saputra

Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinore Akibat Kebocoran CairanSerebrospinal………………………………………………………………………181Sari Wulan Dwi Sutanegara

Penatalaksanaan Abses Esofagus Akibat Tulang Ikan DiEsofagus……………………………………………………………………………203I Wayan Sucipta

Diagnosis dan Penatalaksanaan Crooked Nose………………………...….……227Agus Rudi Astutha

Adenoma Pleomorfik Pada Kelenjar Submandibula Kiri………….………......247I Ketut Suanda

Penatalaksanaan Fraktur Kompleks Tulang Naso-Orbital-Ethmoid(NOE)………………………………………………………………………………268Ni Luh Sartika Sari

Manual Lymph Drainage Vodder (MLDV) Pada PasienRinosinusitis………………………………………………………………………..292Putu Santi Dewantara

Page 6: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

1

DEKOMPRESI NERVUS FASIALIS SETINGGI GANGLION GENIKULI

MELALUI PENDEKATAN OTOENDOSKOPI EPITIMPANI

Oleh

Eka Putra Setiawan

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

I. Pendahuluan

Kerusakan saraf fasialis akibat trauma atau fraktur tulang temporal

merupakan penyebab kedua terbanyak parese saraf fasialis perifer setelah Bell’s

palsy. Kerusakan saraf fasialis akan menyebabkan kelemahan pada otot-otot wajah.

Berat ringannya parese saraf fasialis yang ditimbulkan sesuai dengan derajat

kerusakan saraf fasialis itu sendiri. Parese saraf fasialis yang akut dapat disebabkan

oleh proses inflamasi, infeksi, iatrogenik, traumatik dan idiopatik. Parese saraf

fasialis perifer merupakan kelemahan jenis lower motor neuron yang terjadi bila

nukleus atau serabut distal saraf fasialis terganggu, yang menyebabkan kelemahan

otot-otot wajah. Amin dan sayuti tahun 2005 melaporkan penelitian yang dilakukan

di RS Pahang, Malaysia dari 1309 pasien dengan trauma kepala, 61 pasien

terdiagnosa dengan fraktur tulang temporal (4,7%). Sebagian besar kasus adalah

kecelakaan lalu lintas (85,9%) dan sebagian besar adalah laki-laki (88,5%).

Frekuensi fraktur temporal kanan sebesar 63,3% dan 67% merupakan tipe

longitudinal.1

Evaluasi segera fungsi motorik saraf fasialis setelah trauma kepala dan leher

akan memberikan informasi penting. Semua cabang saraf fasialis dievaluasi

gerakannya secara terperinci. Pembengkakan jaringan dan perdarahan bawah kulit

dapat mengacaukan hasil pemeriksaan fungsi saraf. Kelumpuhan total yang terjadi

segera setelah trauma merupakan gambaran terjadinya trauma saraf yang berat dan

harus segera dilakukan operasi eksplorasi terutama pada kasus-kasus akibat

Page 7: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

2

trauma dengan penetrasi. Tingkat keberhasilan dalam pengobatan pasien dengan

kelumpuhan saraf fasialis ditentukan oleh kecepatan tindakan pengobatan baik

dengan operatif ataupun konservatif. Proses kesembuhan tergantung dari tingkat

kerusakan saraf dan rehabilitasinya. Selama ini untuk dekompresi nervus fasialis

setinggi ganglion genikuli pendekatannya adalah melalui transmastoid kemudian

dilanjutkan timpanotomi superior dan posterior. Untuk akses ke ganglion genekuli,

inkus diangkat sehingga gangguan pendengaran akan lebih berat, walaupun inkus

dikembalikan lagi. Dengan adanya kemajuan teknologi berupa otoendoskopi, inkus

hanya dilakukan transposisi, sudah cukup untuk akses ke ganglion genekuli.

Keuntungan lain dari endoskopi adalah minimal invasif, tapi kelemahannya yaitu

operator hanya menggunakan satu tangan, serta lapangan operasi tidak tiga

dimensi.1,2

II. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Anatomi Tulang Temporal

Tulang temporal terdiri dari pars skuamosa, pars timpanika, pars mastoidea,

pars petrosa serta prosesus stilomastoideus. Pars skuamosa dengan tulang yang

cukup tipis, cembung keluar dari tempat melekatnya muskulus temporalis. Pars

timpanika berbentuk silinder berukuran ± 2 cm yang bersama-sama pars skuamosa

membentuk kanalis auditorius eksterna dan dengan pars mastoidea membentuk pars

timpanika yang berisi saraf vagus. Pars skuamosa, pars timpanika dan prosesus

zigomatikus bersama-sama membentuk fosa mandibularis. Pada pars mastoidea

melekat muskulus sternokleidomastoideus, splenikus kapitis, longisimus dan

muskulus digastrikus, sedangkan pada pars petrosa terdapat labirin.3

Page 8: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

3

Gambar.1 Anatomi tulang temporal

2.1.2. Anatomi Saraf Fasialis

Serat saraf fasialis secara anatomi dibagi menjadi tiga yaitu endonerium,

perinerium dan epinerium. Endonerium mengelilingi setiap serabut saraf,

menyediakan tabung endoneural. Tabung ini diperlukan untuk regenerasi saraf.

Dengan demikian jika endonerium terganggu prognosis untuk mengembalikan

fungsi lebih buruk. Perinerium mengelilingi sekelompok serabut saraf. Ini

memberikan kekuatan tegangan, melindungi saraf dari infeksi dan menyediakan

pengaturan tekanan. Komponen terakhir adalah epinerium yang mengelilingi

seluruh saraf dan bertanggung jawab memberikan nutrisi ke saraf melalui vasa

nervorum. Saraf fasialis terdiri dari 3 komponen yaitu komponen motoris, sensoris

dan parasimpatis yaitu : 1) serabut motoris mensarafi muskulus stapedius, venter

posterior muskulus digastrikus, otot-otot telinga dan seluruh otot–otot ekspresi

wajah kecuali muskulus levator palpebra superior, 2) serabut saraf sensoris menuju

ke kelenjar pengecap 2/3 lidah bagian anterior melalui korda timpani, 3) serabut

parasimpatis menuju ke glandula lakrimalis, glandula submaksilaris dan glandula

sublingualis.4,5,6,7

Dari kedua inti, serabut saraf fasialis berjalan mengelilingi inti saraf abdusen,

lalu meninggalkan pons bersama-sama dengan saraf kokleovestibularis dan saraf

intermedius Wrisberg kemudian masuk ke dalam tulang temporal melalui kanalis

akustikus internus. Di dalam tulang temporal, saraf fasialis akan berjalan dalam

suatu saluran tulang yang disebut kanal Fallopii. Perjalanan saraf fasialis dalam

tulang temporal dibagi menjadi 3 segmen. 1) Segmen labirin

Page 9: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

4

terletak antara akhir kanal akustikus internus dan ganglion genikulatum dengan

panjang 2-4 mm. Saraf petrosus superior mayor keluar dari ganglion genikulatum

dan memberikan rangsang untuk sekresi pada kelenjar lakrimalis. 2). Segmen

timpani atau segmen horizontal, terletak diantara bagian distal ganglion

genikulatum dan berjalan kearah posterior telinga tengah, kemudian naik ke arah

tingkap lonjong atau oval window dan stapes, lalu turun sejajar dengan kanalis

semisirkularis horizontal, panjangnya ± 12 mm. Biasanya bagian tulang kanalis

semisirkularis horizontalis menonjol di lateral dari kanalis fasialis, bagian

anteriornya berjarak 0,1-1 mm dan bagian posteriornya berjarak 2-3 mm. Di sini

keluar saraf stapedius yang mensarafi muskulus stapedius. 3). Segmen mastoid atau

segmen vertikal, panjangnya 15-20 mm. Segmen ini berawal dari dinding medial

dan posterior kavum timpani. Peralihan dari segmen timpani ke segmen mastoid

disebut segmen piramidal atau genu eksterna. Bagian ini merupakan bagian paling

lateral dari saraf fasialis sehingga pada saat operasi mudah mengalami trauma.

Panjang segmen piramidal kira-kira 2-6 mm. Dinding lateralnya merupakan batas

medial bawah aditus ad antrum. Segmen mastoid berjalan ke arah kaudal menuju

foramen stilomastoid yang terletak pada celah digastrik. Sekitar pertengahan

segmen mastoid, saraf fasialis bercabang menjadi korda timpani yang membawa

serabut-serabut pengecap 2/3 anterior lidah, perasaan sakit, temperatur dan

sensibilitas dinding posterior meatus akustikus eksternus serta membawa serabut-

serabut sekretoris untuk glandula sub maksilaris dan sub lingualis. Setelah keluar

dari tulang mastoid, saraf fasialis menuju glandula parotis dan membagi diri untuk

mensarafi otot-otot wajah.8,9

Page 10: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

5

Gambar 2. Perjalanan nervus fasialis

Gambar 3. Bagan segmen, fungsi dan perjalanan N VII

Page 11: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

6

2.2. Fraktur Tulang Temporal

Fraktur tranversal mulai dari fosa jugularis melintasi piramid sampai ke

permukaan anteriornya dan menyebabkan perdarahan dalam koklea dan kanalis

semisirkularis. Telinga tengah tetap utuh, kecuali bila fraktur luas melalui dinding

medialnya. Fraktur-fraktur kecil yang meluas ke dalam mastoid atau antrum dapat

mengakibatkan ekimosis di sekitar mastoid. Saraf fasialis dan vestibulokokhlearis

dapat rusak oleh laserasi atau kompresi. Fraktur tranversal dapat menimbulkan

gangguan pendengaran tipe sensorineural, vertigo dan merupakan 50% kasus

kelumpuhan saraf fasialis. Lokasi fraktur saraf fasialis segmen labirin sekitar 90%

dan segmen meatal 10% kasus.9,15,16

Gambar 4. Fraktur longitudinal tulang temporal (kiri) dan fraktur

transversal tulang temporal (kanan)

Page 12: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

7

2.3. Epidemiologi

Kecelakaan kendaraan bermotor mengakibatkan trauma kepala dengan

berbagai tingkat keparahan. Di masa lalu, 75% dari kecelakaan kendaraan bermotor

mengakibatkan trauma kepala, namun saat ini sudah berkurang dengan penggunaan

sabuk pengaman dan munculnya airbag. Walaupun kekuatan trauma tidak cukup

kuat memecah tulang tengkorak, tetapi 14%-22% penderita mengalami fraktur

tulang temporal. Dilaporkan sampai saat ini 31% fraktur diakibatkan kecelakaan

kendaraan bermotor. Kelumpuhan saraf fasialis terjadi pada 20% penderita,

biasanya berupa neuropraksia atau parsial aksonotmesis. Fraktur tulang temporal

dilaporkan terjadi pada semua kelompok usia. Lebih dari 70% terjadi selama dekade

kedua, ketiga dan keempat. Fraktur terutama terjadi pada pria dengan perbandingan

3:1, karena keterlibatan dalam kegiatan berisiko bukan karena kelemahan struktural

dalam tengkorak laki-laki.6,8,17

2.4. Neurofisiologi dan neuropatologi cedera saraf

Ekspresi wajah merupakan hasil dari gerakan 7000 serabut motorik secara

sinkron yang mengawali kontraksi otot. Masing-masing akson bersinap dengan

beberapa serat. Neurotransmiter kimiawi berupa asetilkolin dan enzim-enzim

B

Page 13: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

8

golongan kolin transferase dibentuk oleh badan saraf pada pons dan diangkut

sepanjang saraf menuju lamina akhir motorik atau motor end plate, melalui sistem

mikrotubular. Diduga neuro metabolit juga diangkut ke proksimal dengan

mekanisme yang sama dari masing-masing akson. Saraf fasialis mempunyai neuron

motorik tunggal yang terletak dalam sistem saraf pusat. Akson sel motorik

dibungkus oleh sel Schwann dan membentuk tubulus neuralis. Nodus Ranvier yang

merupakan batas antar sel Schwann dapat terlihat tiap satu milimeter. Akson

menerima oksigen dari sel Schwan dan membantu aksoplasmanya dari neuron

induk. Kecepatan metabolisme aksoplasma dan kecepatan gerakannya diperkirakan

sekitar 1 mm per hari. Perkembangannya dimulai dari sistem saraf pusat ke arah

distal, ini adalah kecepatan regenerasi suatu akson bilamana suatu saraf terpotong

lengkap.7,8,9,11

Seddom mengklasifikasikan kelumpuhan saraf fasialis menjadi 3 yaitu

neuropraksia, aksonotmesis dan neurotmesis. Sedangkan Sunderland membagi

kelumpuhan saraf fasialis menjadi 5 kelas yang berbeda. Cedera kelas I disebut

sebagai neuropraksia, dimana terdapat blok konduksi akibat terhentinya aliran

aksoplasma karena kompresi. Diharapkan terjadi pemulihan penuh pada cedera ini.

Kelas II disebut aksonotmesis, akson terganggu dan terjadi degenerasi Wallerian

pada distal lokasi cedera. Tabung endoneural tetap utuh, sehingga regenerasi bisa

terjadi, namun sangat lambat yaitu 1 mm per hari. Masih ada kemungkinan

pemulihan fungsi lengkap pada cedera kelas II. Cedera kelas III disebut neurotmesis.

Dalam cedera ini tabung saraf terganggu sehingga regenerasi kembali dan fungsi

terpengaruh. Jika regenerasi tidak terjadi, kemungkinan terdapat sinkinesis.

Sinkinesis adalah gerakan massa otot abnormal secara bersama-sama. Cedera kelas

IV diklasifikasikan sebagai gangguan endoneurium, perineurium dan akson,

sedangkan epineurium tetap utuh. Hasil regenerasi fungsional jelek, dengan risiko

tinggi sinkinesis. Cedera kelas V adalah yang terburuk dan diklasifikasikan sebagai

gangguan saraf lengkap. Hanya ada sedikit kesempatan regenerasi. Risiko

pembentukan neuroma meningkat karena kecambah aksonal yang membuat jalan

keluar dari selubung saraf.5,6,7,8

Page 14: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

9

Gambar 5. Klasifikasi histopatologi trauma saraf perifer

Bila impuls terhambat terjadi neuropraksia atau blok kunduksi, ada

bendungan aliran transportasi aksoplasma dalam dua arah, tapi sebagian

transportasi aksoplasma tetap berlanjut. Jarak antara lokasi cedera dengan badan sel

di pons ikut menentukan tingkat cedera terhadap keseluruhan saraf. Jika cedera

terjadi pada kanalis akustikus internus dengan akson terputus, maka aksoplasma

yang hilang akan cukup panjang dan kerusakan permanen akan lebih besar

dibandingkan dengan kerusakan yang terjadi di distal, dekat motor end palte. Orang

yang lebih muda akan sembuh lebih sempurna dari cidera yang sama bila

dibandingkan dengan orang yang lebih tua. Jika besarnya tekanan pada saraf cukup

untuk menyebabkan hambatan total gerakan aksoplasma melewati lokasi cidera

dalam beberapa hari, maka terjadi aksonotmesis dengan hilangnya kontinuitas

akson. Akibatnya terjadi degenerasi Walleri pada bagian distal. Selama beberapa

hari akson masih dapat responsif secara elektrik terhadap rangsangan eksternal di

bagian distal, namun tidak ada gerakan motorik voluntari atau hantaran listrik

melewati tempat c edera. Secara histologis saraf proksimal masih normal namun

telah terjadi perubahan biokimiawi.8,9

Sel Schwann yang membengkak dan bersifat fagositik, selanjutnya membelah

hingga mengisi penuh tubulus jaringan penyambung yang mengelilingi masing-

masing serabut saraf. Neuron yang mengalami kekurangan nutrisi akan kembali ke

ukuran semula setelah akson kehilangan substansi Nissl dengan

Page 15: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

10

pembengkakan sitoplasma atau kromatolisis. Tiga atau empat hari setelah cedera

terjadi pembentukan pita Bungner. Pita ini diduga menyediakan zat biokimia untuk

saraf-saraf yang baru. Bila serabut saraf terpotong, saraf yang mengalami perbaikan

membentuk suatu kerucut pertumbuhan pada ujung proksimal akson. Terdapat

proses protoplasma multipel pada kerucut pertumbuhan dan akson regenerasi

tunggal tumbuh bercabang dan memasuki sel-sel Schwann berbagai tubulus.

Dengan cara yang sama pertumbuhan dapat terjadi kearah saraf yang lain.6,8,9

Otot wajah dapat mengalami pengecilan setelah hilangnya saraf motorik.

Saraf fasialis melewati tiga tahapan cedera. Tahap pertama berlangsung hingga 21

hari, melibatkan peristiwa fisiologi dimana badan sel mengalami transformasi

metabolik dan mulai beregenerasi guna membentuk aksoplasma yang akan

menempati neurotubulus. Tahap kedua berlangsung hingga 2 tahun, suatu masa

dimana sel dan segmen proksimal dapat beregenerasi menggunakan pita Brugner

atau cadangan tuba endoneural, melalui akson yang beregenerasi dapat mencapai

otot-otot wajah. Oleh sebab itu sampai 2 tahun setelah cidera masih dapat

dipertimbangkan reanastomosis saraf yang putus dengan menempatkan suatu

cangkokan penghubung antara 2 titik yang terpisah atau mentransfer suatu saraf

motorik fungsional pada segmen saraf distal. Untuk alasan ini diyakini bahwa

rehabilitasi otot wajah dapat dilakukan dengan cara mentransfer saraf atau

reanstomosis cedera saraf, setidaknya dalam jangka waktu 24 bulan setelah cedera.

Tahap ketiga biasanya ditandai dengan pembentukan jaringan parut pada saraf distal

dan degenerasi otot.7,8

Analisis histokimia dari suatu regenerasi neuron memperlihatkan

peningkatan kadar sintese RNA dan dehidrogenase glucosa-6-phosphat yang

mencapai puncaknya sekitar 21 hari. Beberapa ahli mengatakan berdasarkan

informasi ini, bahwa saraf yang terpotong akan sembuh paling baik bila diperbaiki

secepatnya. Penundaan tidak dianjurkan karena dapat terjadi perubahan fisik dan

pembentukan jaringan parut pada luka.8,9,16

Page 16: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

11

2.5. DIAGNOSIS

Cedera kepala yang disebabkan kecelakaan motor merupakan penyebab

terbanyak kasus parese saraf fasialis akibat trauma (31%). Mekanisme atau riwayat

detail dari trauma harus ditanyakan pada anamnesis. Termasuk bagian kepala yang

terkena benturan. Ini berhubungan dengan kemungkinan jenis fraktur yang terjadi.

Trauma dari arah frontal atau oksipital sering menyebabkan fraktur tulang temporal

jenis transversal. Sedangkan trauma dari arah lateral sering menyebabkan fraktur

jenis longitudinal. Onset dan progresivitas parese saraf fasialis sangat penting.

Adanya gangguan pendengaran atau vertigo setelah trauma tulang temporal harus

dicurigai telah terjadi cedera pada saraf fasialis. Segera setelah kondisi umum dan

fungsi hemodinamik pasien stabil, dilakukan pemeriksaan saraf fasialis dan status

pendengaran. Termasuk pemeriksaan awal dengan otoskopi. Sering pemeriksaan

awal untuk fungsi saraf fasialis ini terlambat karena “keadaan darurat” seperti

perdarahan aktif dianggap telah teratasi. Pemeriksaan THT di telinga meliputi

pemeriksaan kanalis akustikus eksternus, melihat adanya laserasi atau perlukaan.

Dengan bantuan otoskop, melihat kondisi membran timpani, apakah disertai dengan

perforasi atau hemotimpani. Perhatikan juga jenis cairan otore yang keluar, apakah

bercampur darah atau jernih (cairan serebrospinal). 6,7,8

Komplikasi lain dari kerusakan saraf fasialis adalah air mata buaya (crocodile

tears), yang terjadi akibat penyimpangan regenerasi serabut saraf parasimpatis yang

seharusnya menginervasi kelenjar liur, menjadi menyimpang ke kelenjar lakrimal.

Selain itu dapat pula terjadi hiperkinesis di tendon stapes, yang menimbulkan

keluhan telinga penuh dan bergemuruh. Tujuan pemeriksaan fungsi saraf fasialis

disamping untuk menentukan derajat kelumpuhan, juga dapat menentukan letak lesi

saraf fasialis. Pada pemeriksaan fungsi motorik otot – otot wajah, dapat digunakan

gradasi fungsi saraf fasialis menurut House-Brackmann dan Freys.7,8

Page 17: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

12

Tabel 1. Derajat kelumpuhan saraf fasialis berdasarkan Hause dan Brackmann7

Derajat Deskripsi KarakteristikI Normal Fungsi fasial normal pada semua areaII Disfungsi Kelemahan ringan terlihat pada inspeksi

Ringan dari dekat mungkin terdapat sinkinesisringanSimetris dan tonus istirahat normalGerakan:Dahi: fungsi sedang sampai baikMata: menutup sempurna dengan usahaminimalMulut: asimetris ringan

III Disfungsi Jelas tapi tidak terlihat perbedaan bentukSedang yang berarti; terlihat tapi tidak terdapat

sinkinesis, kontraktur atau spasmehemifasial yang beratSimetris dan tonus istirahat normalGerakan:Dahi: ringan sampai sedangMata: menutup dengan usahaMulut: lemah dengan usaha maksimal

IV Disfungsi Kelemahan jelas atau asimetris jelasSedang- Simetris dan tonus istirahat normalBerat Gerakan:

Dahi: tidak adaMata: menutup tidak sempurnaMulut: asimetris dengan usaha maksimal

V Disfungsi Hanya sedikit gerakan yang terlihatBerat Asimetris saat istirahat

Gerakan:Dahi: tidak adaMata: menutup tidak sempurnaMulut: sedikit gerakan

VI Paralisis Tidak ada gerakan sama sekaliTotal

Pada sistem gradasi Freys, yang pertama kali diperkenalkan di Prancis

terdapat sedikit perbedaan dengan House Brackmann. Pada sistem ini dinilai 4

komponen, yaitu pemeriksaan fungsi motorik, tonus, sinkinesis dan hemispasme.

Pada pemeriksaan sistem motorik, wajah dibagi menjadi 10 area, berdasarkan 10

otot yang bertanggung jawab terhadap mimik dan ekspresi wajah. Kesepuluh otot

yang diperiksa dan cara pemeriksaannya dijelaskan pada tabel 2.7,8

Page 18: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

13

Tabel 2. Cara pemeriksaan otot wajah

Otot Cara pemeriksaan

1. M.frontalis 1.Mengangkat alis ke atas

2. M. Soursiller 2.Mengerutkan alis

3. M. Pyramidalis 3.Mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas

4. M. Orbikularis okuli 4.Memejamkan kedua mata kuat-kuat

5. M. Zygomatikus 5.Tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi

6. M. relevar komunis 6.Memoncongkan mulut ke depan sambil

memperlihatkan gigi

7. M. Businator 7.Mengembungkan kedua pipi

8. M. Orbikularis oris 8.Bersiul

9. Triangularis 9.Menarik kedua sudut bibir kebawah

10. M. Mentalis 10.Memoncongkan mulut yang tertutup rapat ke

depan.

Untuk setiap gerakan dari kesepuluh otot-otot tersebut, dibandingkan antara sisi

kanan dan kiri dan diberi nilai dari 0 sampai dengan 3: Nilai 3: gerakan normal dan

simetris, Nilai 2: gerakan di antara nilai 1 dan 3, Nilai 1: sedikit ada gerakan, Nilai

0: tidak ada gerakan sama sekali.7,8

Dalam keadaan normal, dimana tidak terdapat kelainan saraf fasialis, maka

nilai maksimal dari penjumlahan 10 area di wajah pada satu sisi adalah 30.

Pemeriksaan tonus wajah dinilai dengan membagi wajah menjadi 5 area. Menurut

Freyss, pemeriksaan tonus merupakan hal yang penting dan penilaian tidak harus

dilakukan untuk setiap otot, melainkan cukup untuk setiap tingkatan otot-otot

wajah. Nilai untuk tonus bernilai 0-3, dengan nilai 3 untuk tonus normal dan 0 bila

tidak ada tonus. Apabila terdapat hipotonus maka nilai dikurangi 2 untuk setiap

tingkatan tergantung derajatnya. Pada keadaan normal nilai total untuk tonus dari

kelima tingkatan wajah adalah 15. Sinkinesis merupakan salah satu komplikasi dari

parese saraf fasialis. Untuk mengetahui ada tidaknya sinkinesis dilakukan

pemeriksaan sebagai berikut: a) Penderita disuruh memejamkan mata

Page 19: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

14

sekuat-kuatnya, kemudian pemeriksa memperhatikan ada tidaknya pergerakan otot-

otot di daerah sudut bibir atas. Kemudian dilakukan penilaian sebagai berikut: nilai

2 bila tidak ditemukan sinkinesis. Bila terjadi sinkinesis pada sisi paresis tergantung

derajatnya dikurangi nilai 1 atau 2. b) Penderita disuruh tertawa lebar sambil

memperlihatkan gigi, kemudian pemeriksa memperhatikan ada atau tidaknya

pergerakan otot-otot sudut mata bawah. Penilaian seperti (a). c). Sinkinesis juga

dapat terlihat saat seseorang berbicara (gerakan emosi). Pemeriksa memperhatikan

ada tidaknya pergerakan otot-otot di sekitar mulut. Bila tidak tampak sinkinesis

diberi nilai 1. Bila terjadi sinkinesis pada sisi parese maka diberi nilai 0.

Hemispasme merupakan suatu hiperaktivitas saraf fasialis unilateral. Bila tidak

terdapat hemispasme maka diberi nilai 0, namun bila terdapat hemispasme, untuk

setiap gerakannya diberikan nilai minus satu (-1). Nilai total dari motorik, tonus,

sinkinesis dan hemispasme pada keadaan normal adalah 50. Gradasi parese, dinilai

berdasarkan nilai total hasil pemeriksaan dikali 2 untuk mendapatkan persentase

fungsi motorik saraf fasialis yang baik. Dalam sistem ini juga dilakukan penilaian

topografi dan pemeriksaan Electrophisiologic tests yang meliputi Nerve Exitability

Test (NET), Maximal Stimulation Test (MST), Electroneurography (EnoG) dan

Electromyography (EMG). Penilaian topografi mencakup tes Schirmer, refleks

stapedius dan gustometri. Tes Schimer atau tes refleks nasolakrimal, untuk

mengetahui fungsi serabut simpatis saraf fasialis melalui saraf petrosus superfisialis

setinggi ganglion genikulatum. Caranya dengan meletakkan kertas lakmus pada

dasar konjungtiva. Menurut Freys jika terdapat perbedaan antara mata kanan dan

kiri, ≥ 50% dianggap patologis. Untuk menilai refleks stapedius digunakan elektro

kaustik impedans yaitu dengan memberikan ambang rangsang pada m.Stapedius

untuk mengetahui fungsi saraf stapedius cabang saraf fasialis. Pada gustometri

dinilai adanya perbedaan ambang rangsang antara kanan dan kiri. Freys menetapkan

bahwa beda 50% antara kedua sisi adalah patologis. Dari sistem ini dapat dilaporkan

letak lesi dengan persentase fungsi motorik yang terbaik disertai kemungkinan

prognosis dari hasil NET, MST, EnoG atau EMG.7,8,9

Page 20: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

15

Pemeriksaan radiologi berupa CT scanning dengan resolusi tinggi sangat

membantu dalam menegakkan diagnosis fraktur tulang temporal. Keutuhan osikel

atau tulang-tulang pendengaran juga dievaluasi. Jika memungkinkan, untuk

mendapatkan gambaran yang maksimal, CT scanning yang diminta adalah

potongan koronal axial dengan irisan 0,6 mm.

Gambar 6. CT Scan potongan Axial, tampak fraktur tulang temporal kiri

Tes pendengaran dilakukan jika kondisi penderita telah memungkinkan,

mulai dari pemeriksaan audiologi sederhana berupa tes penala, audiometri nada

murni dan timpanometri. Disamping berfungsi untuk mendeteksi derajat ketulian

yang terjadi, pemeriksaan ini penting sebagai dasar perkembangan kemajuan

pengobatan setelah terapi pembedahan dilakukan. Tes elektrofisiologik seperti

NET, MST, EnoG dan EMG dilakukan untuk menilai derajat kerusakan,

menentukan prognosis perbaikan saraf fasialis pasca trauma serta merencanakan

terapi yang akan diberikan.7,8,9

2.6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan parese saraf fasialis akibat fraktur tulang temporal sampai

sekarang masih merupakan hal yang kontr oversial. Secara skematis penanganan

kelumpuhan saraf fasialis akibat fraktur tulang temporal adalah sebagai berikut:7

Page 21: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

16

Tabel 3. Bagan penanganan kelumpuhan saraf fasialis

2.6.1. Konservatif

Pengobatan konservatif yang diberikan adalah medikamentosa dan

fisioterapi. Pengobatan untuk mengurangi edema saraf dapat diberikan

kortikosteroid. Neurotonika diberikan untuk pertumbuhan sarafnya. Fisioterapi

Page 22: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

17

juga dapat diberikan meliputi infra red radiation (IRR), electrical stimulation (ES),

deep kneeding exercise dan mirror exercise. Semua usaha diatas bertujuan untuk

memelihara kontraktilitas otot. Massa melaporkan pasien yang mengalami

kelumpuhan saraf fasialis tanpa adanya faktor prognosis yang buruk, akan

mengalami perbaikan dan penyembuhan yang komplit. Pada pasien dengan

kelumpuhan saraf tingkat I dan II Hause dan Brackman didapatkan lebih dari 90%

pasien mengalami perbaikan mendekati normal.6,8,18,19

2.6.2. Pembedahan

Sebagian penulis merekomendasikan untuk hanya mengobservasi dan terapi

simptomatis saja. Mainan dkk, mengamati dari 45 pasien non-operatif, didapatkan

44 orang mengalami penyembuhan yang memuaskan dan 65% mengalami

penyembuhan yang sempurna. Seperti dikutip Mattox, dari McKennan dan Chole,

pasien paralisis saraf fasialis dengan onset yang telah terlambat, tetap mengalami

penyembuhan yang baik. Ketika telah diputuskan pasien dengan parese saraf

fasialis akibat trauma ini akan dilakukan terapi pembedahan berupa dekompresi,

pasien dihadapkan pada keadaan antara onset yang cepat atau onset yang telah lama.

Pada onset yang cepat, biasanya kondisi trauma pasien lebih berat. Dari Mattox,

berbeda dengan yang didapatkan oleh Adegbite dkk, mengatakan prognosis lebih

ditentukan oleh derajat kerusakan saraf fasialis, bukan oleh waktu atau onsetnya.

Menurut Fisch, berdasarkan hasil tes elektrofisiologik (EnoG), degenerasi sel-sel

saraf mulai terjadi 6 hari setelah onset. Idealnya dekompresi dilakukan segera

setelah trauma berlangsung. Tapi menurut Fisch dan Kartush, waktu terbaik untuk

melakukan pembedahan dekompresi ini adalah setelah 3 minggu, karena edema dan

hematoma jaringan telah minimal, perdarahan intra operasi jadi minimal sehingga

lapangan operasi lebih jelas terlihat. Walaupun repair dalam waktu 30 hari pasca

trauma memperlihatkan hasil yang sama. Pada kasus parese saraf fasialis yang telah

berlangsung lama, tes elektris atau fisiologik tidak lagi menghasilkan hasil yang

valid. Dianjurkan untuk menunggu sampai 12 bulan, setelah itu pembedahan

dilakukan jika tidak ada perbaikan secara klinis atau hasil EMG juga tidak baik.

Eksplorasi pembedahan saraf fasialis pasca

Page 23: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

18

trauma membutuhkan ahli bedah yang berpengalaman dalam operasi mastoid,

translabirin, eksplorasi fossa media dan repair saraf. Ketelitian saat operasi sangat

diperlukan, karena menurut Jones, 14 dari 15 pasien dengan CT scanning fraktur

tulang temporal, juga disertai kontusio lobus temporal ipsilateral. Keberhasilan

tindakan operasi saraf sangat dipengaruhi oleh pengetahuan tentang anatomi saraf

fasialis, adanya alat monitoring elektrik intra operatif dan kelengkapan instrumen.

Operatif dilakukan jika adanya kehilangan pendengaran yang berat dan gangguan

keseimbangan. Prosedur operasi adalah membebaskan saraf, dekompresi saraf atau

memperbaiki secara anatomi saraf fasialis. Menurut Hough bahwa 66,6% pasien

trauma kepala baru ditemukan adanya garis fraktur saat operasi berlangsung, 92,3%

terjadi dislokasi inkudostapedial serta 57,1% tulang inkus telah terlepas dari

tempatnya. Tindakan bedah dapat dilakukan dengan 3 pendekatan tergantung dari

jenis trauma serta lokasi saraf fasialis yang terkena. Pendekatan yang dapat

dilakukan seperti: 1) pendekatan mastoidektomi atau ekstended mastoiektomi, 2)

pendekatan fossa kranialis medialis dan 3) pendekatan trans mastoid.7,14-20

Pendekatan mastoidektomi atau ekstended mastoidektomi dikerjakan untuk

mengobservasi saraf fasialis dari ganglion genikulatum sampai foramen

stilomastoid yaitu pada segmen timpani dan segmen mastoid. Pendekatan ini dapat

dengan jelas mengidentifikasi kanal Falopii. Langkah-langkah operasinya adalah

pertama dilakukan mastoidektomi simpel, kedua dilakukan penelusuran dan

identifikasi resesus fasialis, ketiga identifikasi segmen-segmen saraf dan jaringan

kanalis fasialis, keempat hilangkan tulang pembungkus saraf dan kelima jika

diindikasikan lakukan pembukaan pembungkus saraf. Untuk mengamati bagian

saraf fasialis dari ganglion genikulatum bagian distal secara baik dapat dilakukan

mastoidektomi secara luas. Pendekatan fossa kranialis medialis dikerjakan untuk

mengamati secara utuh segmen labirin saraf fasilais dari ganglion genikulatum

sampai dengan kanalis auditorius interna. Prosedur ini selain digunakan untuk

eksplorasi saraf fasialis, juga digunakan pada neuroma akustik intra kanalikuli yang

kecil dan untuk mengeksplorasi saraf vestibuler. Prosedur tindakan ini

dikombinasikan dengan pendekatan trans mastoid kemudian

Page 24: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

19

Pendekatan transmastoid ini bisa mengekspos 60% segmen labirin.

Disamping itu menurut May, angka perbaikan parese saraf fasialisnya juga lebih

tinggi yaitu 84-85%. Pendekatan transmastoid sendiri memiliki 2 cara yaitu 1) trans

mastoid epitimpani dimana inkus diangkat pada saat operasi kemudian dipasang

kembali. 2) transmastoid epitimpani dan otoendoskopi dimana inkus hanya digeser

ke atas atau kebawah. Tindakan dekompresi dapat digunakan untuk memperbaiki

jaringan saraf yang terputus dengan cara menyambung kembali secara kontinyu

akson saraf. Jika kerusakan saraf tidak luas, pinggir saraf dapat dibelah secara tajam

dan kemudian direposisi secara anatomi saraf. Jika tepi saraf tidak dapat diambil

atau jika bagian saraf tidak dapat direnovasi maka graf saraf dapat dipasang. Jika

saraf fasialis rusak berat dapat dilakukan tindakan penyambungan dengan graf atau

cable graf atau dengan tindakan komplit end to end anastomosis. Graf saraf dapat

diambil dari matriks atau bagian akson saraf yang dipasang dari proksimal sampai

bagian distal saraf. Graf yang sering digunakan adalah dari percabangan pleksus

servikalis superfisialis khususnya saraf aurikula mayor karena graf mudah

didapatkan disekitar tempat operasi dan ukurannya cocok.5,7,14-20

Aspek yang paling penting dari perbaikan saraf adalah memastikan bahwa

segmen endoneurial diselaraskan karena hal ini akan mendorong regenerasi. Ujung-

ujung saraf harus dijahit menggunakan benang jahitan 9-0 atau 10-0 monofilament

untuk menyambung epineurium atau perineurium. Komplikasi dari tindakan

operasi dapat terjadi perdarahan. Perdarahan tersebut dapat diatasi dengan kauter

serta ditutup dengan bone wax. Menurut Salinas JD, bahwa pemberian injeksi

kortikosteroid pada sendi dan jaringan lunak akibat trauma akan mempercepat

penyembuhan. Kortikosteroid bekerja dengan membatasi dilatasi kapiler dan

permeabilitas struktur vaskular, sehingga proses inflamasi bisa

Page 25: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

20

2.7. Prognosis

Prognosis dari kelumpuhan saraf fasialis akibat fraktur tulang temporal

tergantung dari jenis fraktur, gejala klinis yang timbul, waktu terjadinya trauma

serta penatalaksanaannya. Faktor yang menyebabkan prognosis menjadi buruk

adalah gejala akut atau kelumpuhan terjadi segera setelah trauma, adanya

kelumpuhan komplit berupa neurotmesis dimana saraf terputus saat trauma. Pada

kelumpuhan saraf fasialis bila terdapat perbaikan dalam 3 minggu pertama

diharapkan prognosis akan baik.8

Menurut May dan Shambaugh, pada trauma derajat 1 mulai terjadi perbaikan

saraf fasialis dalam 1-4 minggu dan kemungkinan sembuh secara spontan 1 tahun

setelah trauma. Trauma derajat 2 akan sembuh dengan memuaskan atau terjadi

gejala sisa minimal, mulai terjadi perbaikan dalam 1-2 bulan. Derajat 3 tidak

mengalami penyembuhan yang sempurna, mulai terjadi perbaikan dalam 2-4 bulan.

Derajat 4 terjadi proses perbaikan mulai 4-18 bulan dan derajat 5 tidak terjadi

penyembuhan. Kebanyakan kematian pada fraktur temporal disebabkan oleh

peningkatan tekanan intra kranial secara akut. Tiga prinsip pengobatan parese saraf

fasialis yang akut adalah terapi fisik, terapi obat-obatan serta terapi psikofisik.

Pasien tetap dianjurkan untuk datang kontrol pada waktu 1 minggu, 3 bulan, 6 bulan

dan 1 tahun pasca operasi untuk dilakukan pemeriksaan fungsi saraf fasialis dengan

metode House Brackmann.5,6,8,9,22

Page 26: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

21

III. Laporan Kasus

Penderita GS seorang laki-laki, usia 43 tahun, pegawai swasta, beralamat di

Badung, datang ke poliklinik THT RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 15 Juni

2017 dengan keluhan bibir mencong ke kiri dan mata kiri tidak bisa menutup sejak

7 hari yang lalu. Sebelumnya pasien mengalami kecelakaan lalu lintas, mekanisme

trauma tidak diketahui karena pasien tidak sadar saat kejadian. Ditemukan adanya

riwayat keluar darah dari telinga kiri serta penurunan pendengaran sejak kejadian.

Tidak ada riwayat keluar cairan atau gangguan pada telinga kiri sebelumnya.

Telinga kiri mendenging dan ada gangguan rasa pengecapan bagian depan lidah

sejak kejadian. Tidak ada keluar darah dari hidung. Pasien telah dirawat di RSUP

sanglah selama 3 hari.

Pada pemeriksaan, keadaan umum penderita baik dengan kesadaran kompos

mentis, tekanan darah 110/80 mmHg, denyut nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit,

temperatur aksila 36,5°C. Pada pemeriksaan THT ditemukan pada pemeriksaan

telinga luar tidak tampak tanda-tanda trauma. Pemeriksaan telinga kiri ditemukan

liang telinga tampak lapang, membran timpani tampak intak, tidak ada sekret, tidak

ada darah yang mengalir dan tidak ada clothing.

Gambar 7. Tampak paralisis saraf fasialis kanan penderita

Pada pemeriksan fungsi saraf fasialis perifer kiri dengan metode Freyss

ditemukan fungsi motorik otot-otot wajah dengan nilai 0, tonus otot 8, sinkinesis 4,

fungsi motor pada gerakan emosi 1, tidak ditemukan hemispasme, total nilai 13.

Pada pemeriksaan saraf fasialis topografi yaitu tes Gustatometri didapatkan fungsi

pengecapan lidah anterior kiri menurun. Tes Schirmer ditemukan perbedaan

produksi air mata antara mata kiri dan kanan (>50%). Pemeriksaan gradasi

Page 27: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

22

kerusakan saraf fasialis dengan metode House Bracmann didapatkan wajah tidak

simetris pada sisi kanan dan kiri pada keadaan istirahat, mata kiri tidak bisa

menutup walaupun dengan usaha yang maksimal, serta sudut bibir kiri hanya sedikit

pergerakannya, disimpulkan terdapat kerusakan saraf fasialis perifer kiri derajat V.

Pada pemeriksaan audiometri, didapatkan telinga kiri tidak bisa mendengar lagi

(kesan tuli campuran dengan derajat ketulian sangat berat sebesar 97,5 dB) dan

pemeriksaan timpanometri menghasilkan kurva tipe AD. Pada pemeriksaan CT

Scan kepala tanpa kontras kesan fraktur os temporal kiri. Dari tes fungsi saraf

fasialis didapatkan kelumpuhan saraf fasialis sinistra setinggi ganglion genikulatum

dengan fungsi saraf sebesar 26%.

Gambar 7. CT scan kepala fokus mastoid potongan axial

Berdasarkan hasil pemeriksan diatas penderita didiagnosis fraktur tulang

temporal dan parese saraf fasialis perifer sinistra dengan fungsi motorik terbaik

26% House Brackmann derajat V, dengan letak lesi setinggi ganglion genikulatum.

Penderita direncanakan dilakukan tindakan dekompresi saraf fasialis, pendekatan

yang dilakukan adalah transmastoid (otoendoskopi epitimpani) dengan anestesi

umum. Selama persiapan diberikan terapi methikobal 3x500 mg tablet intraoral.

Pada tanggal 19 Juni 2017 mulai dilakukan persiapan operasi dengan hasil

pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan leukosit 16,88 10µ/µL.

Foto dada dalam batas normal. Kemudian dikonsulkan ke Anestesi dengan

kesimpulan tidak ada kontra indikasi tindakan operasi dengan anestesi umum.

Penderita masuk rumah sakit tanggal 24 Juni 2017 dan dilakukan operasi

dekompresi saraf fasialis sinistra keesokan harinya tanggal 25 Juni 2017 melalui

pendekatan otoendoskopi epitimpani. Saat operasi ditemukan fraktur temporal

Page 28: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

23

dari genu, ganglion genikulatum sampai korteks mastoid. Tampak dislokasi tulang

pendengaran seperti inkus, stapes, maleus dimana maleus posisinya terdorong ke

antero-inferior. Inkus lepas dari kepala maleus, prosessus longus inkus lepas dari

artikulasi dan menempel di krus anterior stapes. Stapes dislokasi kearah superior

inferior. Jaringan granulasi membungkus stapes dan kavum timpani, antrum sampai

ke korteks mastoid. N.fasialis dari genu sampai ganglion geniculatum dibebaskan

dari jepitan. Demikian pula dari genu kearah inferior pada segmen vertikal nervus

fasialis. Pembungkus nervus fasialis dibuka mulai dari genu sampai ganglion

genikuli, kemudian dari genu kearah segmen vertikal. Posisi inkus dikembalikan

seperti semula. Nervus fasialis ditutup fasia, kemudian inkus, stapes difiksasi

dengan fasia dan spongostan. Lapisan dijahit lapis demi lapis, dipasang drain luka

dan operasi selesai.

B

A

Gambar 8. A. Tampak dislokasi tulang pendengaran. B. Inkus lepas

dari kepala maleus

Paska operasi penderita diberikan terapi ceftriaxon 1 gram tiap 12 jam intra

vena, dexametason 5 mg tiap 8 jam dan methikobalamin 3x500 mg. Selama

perawatan di ruangan dilakukan rawat luka tiap hari dan evaluasi perdarahan dari

drain. Pada hari ketiga drain dicabut dan luka tampak terawat baik tanpa tanda-

tanda infeksi, lesi saraf fasialis sinistra masih tampak. Kemudian penderita

dipulangkan pada tanggal 28 Juni 2017, dengan terapi sefixime 2x100 mg,

metilprednisolon 2x16 mg, dan methikobalamin 3x500 mg. Saran kontrol poliklinik

THT 5 hari lagi.

Page 29: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

24

Gambar 9. Tiga hari setelah operasi

Tanggal 6 juli 2017 pasien kontrol ke Poli THT. Secara subjektif pasien

merasa kondisi telinga kiri lebih baik dibanding sebelum operasi. Keluhan telinga

berdenging dan terasa penuh sudah tidak dirasakan lagi. Lidah bagian depan sudah

mulai ada rasa terhadap makanan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan luka operasi

baik, tidak tampak tanda-tanda infeksi. Tes gustatometri didapatkan lidah kiri

bagian anterior telah bisa merasakan zat yang dicobakan. Tes pendengaran berupa

penala masih menunjukkan adanya tuli sensorineural kiri. Pemeriksaan gradasi

kerusakan saraf fasialis dengan metode House Brackmann didapatkan wajah tidak

simetris antara sisi kanan dan kiri pada keadaan istirahat, mata masih belum bisa

menutup sempurna walaupun ada perbaikan, serta sudut bibir hanya sedikit

pergerakannya, disimpulkan terdapat kerusakan saraf fasialis perifer kiri derajat IV-

V (ada perbaikan). Selama rawat jalan penderita dikonsulkan ke bagian Rehabilitasi

Medik dan kemudian dilakukan fisioterapi berupa infra red radiation, elektro

stimulation, fasial exercise dan fasial massage.

IV. Pembahasan

Telah dilaporkan satu kasus parese saraf fasialis sinistra pasca trauma pada

seorang pria berusia 43 tahun, kasus ini sesuai dengan berbagai laporan bahwa

kasus trauma tulang temporal paling banyak terjadi pada dekade kedua sampai

dekade keempat dan banyak terjadi pada pria dengan rasio 3 banding 1 dengan

wanita.17 Pasien datang ke Poli THT 7 hari setelah kejadian dan dilakukan operasi

17 hari setelah kecelakaan. Dari segi waktu, menurut Kartush merupakan saat

Page 30: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

25

yang tepat untuk dilakukan penatalaksanaan secara operatif yaitu 21 hari pasca

trauma. Kartush mengatakan saat itu telah terjadi proses metabolik yang optimal.

Dikutip dari Boies juga mengungkapkan hal yang sama bahwa saraf yang terpotong

akan mengalami perbaikan atau penyembuhan bila diperbaiki setelah 21 hari karena

analisis histokimia dari suatu neuron regenerasi memperlihatkan peningkatan kadar

sintetase RNA dan dehidrogenase glukosa-6-phospat, yang mencapai puncaknya

sekitar 21 hari.8,9,16

Dalam menentukan derajat kerusakan saraf fasialis, digunakan sistem gradasi

fungsi saraf fasialis dengan sistem House Brackmann dan Sistem Freys. Sistem

House Brackmann merupakan sistem subjektif dengan skala global, menggunakan

6 derajat fungsi fasialis. Sistem ini menilai gerakan otot wajah dalam keadaan diam

dan bergerak. Sistem ini banyak digunakan dengan alasan sistem ini sensitif,

informatif dan mudah digunakan di klinis. Kelemahan sistem ini adalah tidak dapat

menilai adanya suatu perubahan perbaikan yang ringan dari fungsi saraf

fasialis.7,8Adapun sistem Freyss dilakukan penilaian topografi dan pemeriksaan

NET. Penilaian topografi mencakup tes Schirmer, reflek stapedius dan

gustatometri. Dari sistem ini dapat dilaporkan letak lesi dengan persentase fungsi

motorik yang lebih baik disertai kemungkinan prognosis dari hasil NET.

Penggabungan dua sistem ini dinilai cukup mendokumentasikan dan memberikan

penjelasan kelainan saraf fasialis secara mudah, cepat, tidak mahal, dapat dipercaya

dalam menilai perubahan penting di klinik. 7,8

Pasien ini datang dengan gejala keluar darah dari telinga dan parese saraf

fasialis perifer, dua gejala terbanyak yang terjadi pada trauma yang mengenai tulang

temporal dan telinga tengah. Otore yang terjadi mungkin hanya disebabkan oleh

laserasi liang telinga saja.7,8

Pada pemeriksaan radiologi berupa CT Scan kepala tanpa kontras terlihat

adanya tanda-tanda fraktur di tulang temporal. Pasien diputuskan untuk dilakukan

operasi karena pasien mengalami gangguan hantaran atau kehilangan pendengaran

yang berat. Operasi dilakukan dengan pendekatan transmastoid. Transmastoid ini

bisa mengekspos 60% segmen labirin. Disamping itu menurut May, angka

perbaikan parese saraf fasialisnya juga lebih tinggi yaitu 84-85%.5 Sebenarnya

Page 31: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

26

pendekatan secara operatif ini juga masih kontroversial. Menurut Massa,

pendekatan secara operatif dilakukan jika adanya kehilangan pendengaran yang

berat dan gangguan keseimbangan.7 Pada saat operasi dilakukan, terlihat atau

ditemukan adanya fraktur pada tulang temporal kiri. Hal ini sesuai dengan

pernyataan bahwa umumnya fraktur tulang temporal terjadi unilateral dan juga

tulang inkus telah terlepas.17 Hal ini sesuai dengan yang ditulis oleh Hough bahwa

66,6% pasien trauma kepala, baru ditemukan adanya garis fraktur saat operasi

berlangsung. 92,3% terjadi dislokasi inkudostapedial serta 57,1% tulang inkus telah

terlepas dari tempatnya.17 Setelah dilakukan operasi dengan pendekatan

transmastoid dilanjutkan timpanotomi posterior untuk mengetahui tulang

pendengaran. Pada pasien ini ditemukan tulang inkus telah terlepas.

Bagian atau segmen mastoid merupakan segmen terpanjang dari saraf fasialis

sehingga sangat sering terkena trauma saat operasi atau saat terjadi trauma tulang

temporal.11 Kerusakan saraf fasialis perifer pada pasien ini terjadi di ganglion

genikulatum karena ditemukan perbedaan produksi air mata antara mata kiri dan

kanan (>50%). Saat operasi dilakukan timpanotomi superior (atikotomi).

Menggunakan otoendoskopi inkus ditransposisi (digeser) sehingga akses ke

ganglion genikuli tercapai. Kerusakan saraf fasialis yang terjadi cukup berat, akan

sulit terjadi penyembuhan yang memuaskan. Menurut Sudderland, seperti yang

dikutip oleh May dan Shambough, kerusakan saraf fasialis derajat 3 dan 4 akan

menyebabkan penyembuhan yang tidak memuaskan karena diantara akson tumbuh

jaringan granulasi yang menghalangi.5 Selama ini untuk dekompresi nervus fasialis

setinggi ganglion genikuli pendekatannya adalah melalui transmastoid kemudian

dilanjutkan timpanotomi superior dan posterior. Untuk akses ke ganglion genekuli,

inkus diangkat sehingga gangguan pendengaran akan lebih berat, walaupun inkus

dikembalikan lagi. Dengan adanya kemajuan teknologi berupa otoendoskopi, inkus

hanya dilakukan transposisi, sudah cukup untuk akses ke ganglion genekuli.

Keuntungan lain dari endoskopi adalah minimal invasif, tapi kelemahannya yaitu

operator hanya menggunakan satu tangan, serta lapangan operasi tidak tiga

dimensi.1,2

Page 32: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

27

Setelah operasi diberikan injeksi kortikosteroid deksametason. Sesuai dengan

yang diungkapkan oleh Salinas JD, bahwa pemberian injeksi kortikosteroid pada

sendi dan jaringan lunak akibat trauma akan mempercepat penyembuhan.

Kortikosteroid bekerja dengan membatasi dilatasi kapiler dan permeabilitas

struktur vaskular, sehingga proses inflamasi bisa dihambat. Disamping itu

kortikosteroid injeksi ini bekerja dengan menghambat terbentuknya asam

arakidonat sebagai bahan pembuat prostaglandin, sebagai mediator proses

terjadinya inflamasi.32 Pada pasien ini setelah dilakukan operasi dekompresi saraf

fasialis, dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid dan obat-obatan lainnya.

Setelah luka operasi sembuh pasien dianjurkan untuk dilakukan fisioterapi.

Sesuai dengan yang dikatakan oleh May dan Shambough bahwa tiga prinsip

pengobatan parese saraf fasialis yang akut adalah terapi fisik, terapi obat-obatan

serta terapi psikofisik.22 Prognosis dari parese saraf fasialis ini tergantung dari

derajat kerusakan sarafnya, bukan pada onset waktu terjadinya, begitu yang

diungkapkan oleh Mainan, dikutip oleh May dan Shambough. Pasien tetap

dianjurkan untuk datang kontrol pada waktu 1 minggu, 3 bulan, 6 bulan dan 1 tahun

pasca operasi untuk dilakukan pemeriksaan fungsi saraf fasialis dengan metode

House Brackmann.22

V. Kesimpulan

Telah dilaporkan satu kasus fraktur tulang temporal dan parese nervus

fasialis sinistra yang disebabkan oleh trauma pada laki-laki 43 tahun yang telah

dilakukan dekompresi dengan operasi. Tindakan operasi dilakukan 3 minggu

setelah terjadi kelumpuhan saraf fasialis melalui pendekatan otoendoskopi

epitimpani. Setelah satu minggu dilakukan tindakan operasi didapatkan adanya

tanda-tanda perbaikan klinis.

Page 33: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Amin Z, Sayuti R, Kahairi A, Islah W, Ahmad R. Head Injury with Temporal Bone

Fracture: One Year Review of Case Incidence, Causes, Clinical Features and

Outcome. Med J Malaysia. 2008:373-6.

2. Gordin E, Lee TS, Ducic Y, Amaoutakis D. Facial nerve trauma: evaluation and

considerations in management. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction.

2015;8:1–13.

3. Liston SL. Duvall AJ. Embriologi , anatomi dan fisiologi telinga. Dalam: Adams

GL, Boies LR, Hilger PA, penyunting. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:

EGC; 1997: 27-38.

4. Gleinser D, Makishima T, Quinn FB, Quinn MS. Facial Nerve Trauma. UTMB

Dept. of Otolaryngology. 2009:1-11.

5. May M, Schaitkin BM, Barry M et al. Trauma to the Facial Nerve: External, Surgical

and Iatrogenic. Dalam: May M, Schaitkin BM, penyunting. The Facial Nerve. Edisi

2. New York: Thieme; 2000: 367-82.

6. Soefferman R. Facial nerve injury and decompression. Dalam: Nadol J, Mc Kenna

M, penyunting. Surgery of ear and temporal bone. Edisi 2. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins; 2005: 435-50.

7. Vrabec JT, Coker NJ. Acute Paralysis of the Facial Nerve. Dalam: Bailey BJ,

Johnson JT et al, penyunting. Otolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi 5.

Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2014: 2139-54.

8. Austin D. Facial nerve paralysis. Dalam: Snow JB, Ballenger JJ, penyunting.

Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery. Edisi ke-17. New York:

McGraw Company; 2009: 554-65.

9. Maisel RH, Levine SC. Gangguan saraf fasialis. Dalam: Adam GL, Boies LR, Higler

PA, penyunting. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : EGC; 1997: 139-152.

Page 34: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

29

10. Coker NJ, Vrabec JT. Acute paralysis of the facial nerve. Dalam: Bailey BJ,

penyunting. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Edisi 5. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins; 2014: 2139-54.

11. Kerr AG. Smyth G. Ear trauma. Dalam: Bootth J, penyunting. Scott’s

Browns Otholaryngology Otology. Edisi 5. London: Butterworth & Co;.

1987: 172-84.

12. Hato N, Nota J, Hakuba N, Gyo K, Yanagihara N. Facial nerve decompression

surgery in patients with temporal bone trauma: analysis of 66 cases. J Trauma.

2011;71:1789-92.

13. Kumar A, Bar A, Patni A. Evaluation of facial paralysis. Dalam: Nadol J, Mc Kenna

M, penyunting. Surgery of the ear and temporal bone. Edisi 2.. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins; 2005: 69-77.

14. Kosin AM, Hurvitz KA, Evans RD, Wirth GA. Facial paralysis for the plastic

surgeon. Can J Plast Surg. 2007;15:77-82.

15. Gleinser D, Makishima T, Quinn FB, Quinn MS. Facial nerve trauma. The

University of Texas Medical Branch J. 2009;1-11.

16. Brodie HA. Management of Temporal Bone Trauma. Dalam: Flint PW, Haughey

BH, Lund VJ, Niparko JK, Richardson MA, Robbins KT, Thomas K, Thomas JR,

penyunting. Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery. Edisi 5.

Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010: 2840-71.

17. Hough JVD, McGee M. Otologic Trauma. Dalam: Paparella MM, Shumrick DA et

al, penyunting. Otolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi 6. Philadelphia: WB

Saunders; 1991: 1137-60.

18. Hato N, Nota J, Hakuba N, Gyo K, Yanagihara N. Facial nerve decompression

surgery in patients with temporal bone trauma: analysis of 66 cases. J Trauma.

2011;71:1789-92.

19. Kamerer DB, Thompson SW. Middle Ear and Temporal Bone Trauma. Dalam:

Bailey BJ, penyunting. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Edisi 5.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2014: 1773-85.

Page 35: Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

30

20. Said BM, Hughes GB. Surgery for traumatic middle ear condition. Dalam:

Habermann RS, penyunting. Middle Ear and Mastoid Surgery. New Yor: Stuttgart

Thieme; 2004: 143-150.

21. Patel A, Groppo E. Management of temporal bone trauma. Craniomaxillofac

Trauma Reconstruction. 2010;3:105–13.

22. Sanus GZ, Tannover N, Tanriverdi T, Uzan M, Akar Z. Late decompression in

patients with acute facial nerve paralysis after temporal bone fracture. Turk

Neurosurg. 2007;17:7-12.