PSORIASIS EPIDEMIOLOGI Prevalensi Psoriasis terjadi secara universal. Namun prevalensi pada populasi yang berbeda bervariasi dari 0.1 persen hingga 11.8 persen, berdasarkan laporan yang telah dipublikasikan. Kejadian tertinggi yang dilaporkan di Eropa adalah di Denmark (2.9 persen) dan Pulau Faeroe (2.8 persen), dengan rata-rata untuk seluruh Eropa Utara adalah 2 persen. Prevalensinya sekitar 2.2 persen hingga 2.6 persen yang telah dihitung di Amerika serikat, dengan rata-rata 150.000 kasus baru yang terdiagnosis setiap tahunnya. Prevalensi tertinggi ada di Afrika Timur yang berlawanan dengan Afrika Barat yang dapat menjelaskan bahwa prevalensi psoriasis yang relatif rendah di Amerika Afrika (1.3 persen dibandingkan 2.5 persen pada Amerika kulit putih). Angka kejadian psoriasis ini juga sangat rendah di Asia (0.4 persen) dan pemeriksaan dari 26.000 kasus di lndian Amerika Utara, tidak ada satu kasuspun yang tampak. Psoriasis umumnya terjadi sama pada laki-laki dan perempuan. Onset usia Psoriasis dapat dimulai pada semua tingkatan usia, tetapi umumnya jarang pada usia di bawah 10 tahun. Biasanya timbul pada usia antara 15-30 tahun. Adanya antigen HLA kelas I terutama HLA
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PSORIASIS
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi
Psoriasis terjadi secara universal. Namun prevalensi pada populasi yang berbeda
bervariasi dari 0.1 persen hingga 11.8 persen, berdasarkan laporan yang telah dipublikasikan.
Kejadian tertinggi yang dilaporkan di Eropa adalah di Denmark (2.9 persen) dan Pulau Faeroe
(2.8 persen), dengan rata-rata untuk seluruh Eropa Utara adalah 2 persen. Prevalensinya sekitar
2.2 persen hingga 2.6 persen yang telah dihitung di Amerika serikat, dengan rata-rata 150.000
kasus baru yang terdiagnosis setiap tahunnya. Prevalensi tertinggi ada di Afrika Timur yang
berlawanan dengan Afrika Barat yang dapat menjelaskan bahwa prevalensi psoriasis yang relatif
rendah di Amerika Afrika (1.3 persen dibandingkan 2.5 persen pada Amerika kulit putih). Angka
kejadian psoriasis ini juga sangat rendah di Asia (0.4 persen) dan pemeriksaan dari 26.000 kasus
di lndian Amerika Utara, tidak ada satu kasuspun yang tampak. Psoriasis umumnya terjadi sama
pada laki-laki dan perempuan.
Onset usia
Psoriasis dapat dimulai pada semua tingkatan usia, tetapi umumnya jarang pada usia di
bawah 10 tahun. Biasanya timbul pada usia antara 15-30 tahun. Adanya antigen HLA kelas I
terutama HLA Cw-6, dikaitan dengan onset usia yang lebih dini dengan riwayat keluarga yang
positif. Temuan ini mendorong Henseler dan Christoper untuk mengajukan dua bentuk yang
berbeda pada psoriasis: psoriasis tipe I, dengan onset usia sebelum 40 tahun dan dikaitkan
dengan HLA, dan tipe II pada onset usia setelah 40 tahun dan tidak berkaitan dengan HLA,
meskipun banyak pasien yang tidak termasuk dalam klasifikasi ini. Tidak ada bukti bahwa
psoriasis tipe I dan II memberikan respon berbeda pada pemberian terapi yang berbeda.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Psoriasis adalah penyakit peradangan kronis pada kulit disertai dengan dasar genetika
yang kuat, ditandai oleh adanya perubahan yang kompleks dalam pertumbuhan dan diferensiasi
epidermis dan biokimia yang multipel, imunologi dan kelainan vaskular, serta hubungan yang
belum dipahami dengan baik terhadap fungsi sistem syaraf. Dasar penyebabnya masih belum
diketahui. Berdasarkan riwayat penyakit, psoriasis umumnya dianggap sebagai suatu kelainan
primer dari keratinosit. Dengan ditemukan adanya sel T spesifik imunosupresan cyclosporine A
(CsA) sangat aktif melawan psoriasis, dimana sebagian besar penelitian memfokuskan pada
sistem kekebalan.
Genetika psoriasis
Dasar genetika psoriasis telah diapresiasi selama hampir 100 tahun. Seperti diuraikan
oleh Gunnar Lomholt di tahun 1963 dalam studi klasiknya tentang psoriasis di pulau Faeroe :
“Psoriasis secara genetika masih diragukan”. Tapi ketika faktor keturunan telah menunjukan
perannya maka sekali lagi keluar dari aturan tetap yang ada. Selama bertahun-tahun, berdasarkan
atas beberapa silsilah yang sangat luas dan survei populasi, satu gen resesif, dua gen resesif,
dominan dengan pengurangan penetrasinya, dan model poligenik telah diusulkan. Analisis pada
penelitian berbasis populasi dari Lomholt dan Hellgren memanfaatkan analisis resiko
kekambuhan yang memperlihatkan bahwa λr-1, kelebihan resiko kekambuhan untuk derajat r,
telah diturunkan oleh faktor 6 - 7 seperti r meningkat dari 1 - 2, yang berbeda terhadap faktor 2
yang diprediksikan untuk kelainan monogenik. Analisis ini mendukung model poligenik.
Berdasarkan pada penelitian populasi, resiko psoriasis yang diturunkan diperkirakan sebesar 41
persen jika kedua orang tua menderita psoriasis dan 6 persen jika satu keturunan menderita
psoriasis, dibandingkan dengan 2 persen bila tidak ada orang tua atau keturunan yang penderita
psoriasis.
Kesesuaian untuk psoriasis pada kembar monozigot berkisar dari 35 persen hingga 73
persen dalam berbagai penelitian. Variabilitas ini, dan fakta bahwa angka ini tidak mencapai 100
persen, mendukung adanya faktor lingkungan. Hal yang menarik, kecocokan pada kembar
monozigot dan dizigot menurun ketika salah satunya bergerak lebih dekat ke khatulistiwa.
Memberikan efek terapi yang kuat dari sinar ultraviolet terhadap psoriasis, data ini menunjukkan
bahwa pemaparan sinar ultraviolet dapat menjadi faktor lingkungan utama yang berhubungan
dengan faktor genetika dalam psoriasis.
Penemuan adanya keterlibatan gen khusus pada psoriasis dimulai selama beberapa
dekade yang lalu dengan penelitian pada hubungan genetika (contohnya, co-transmisi dan allel
penyakit dalam keluarga)
Meskipun sudah dilakukan penelitian berbagai genom, hanya satu lokus yang disebut
psoriasis susceptibility 1 (PSORS1), yang terus menerus dilaporkan. PSORS1 terletak pada
major histocompabitity complex (MHC, kromososm 6p21.3), tempat gen HLA berada. Berbagai
Allel HLA dihubungkan dengan psoriasis, khususnya HLA-B13, HLA-B37, HLA-B46, HLA-
B57, HLA-Cwl, HLA-Cw6, HLA-DR7, dan HLA-DQ9. Beberapa alel ini berhubungan dengan
ketidakseimbangan dengan HLA Cw6 (mis: ditemukan bersamaan pada kromosom yang sama
lebih sering daripada kemungkinan yang diperkirakan). HLA-Cw6 selalu relatif lebih tinggi pada
penderita psoriasis di populasi Kaukasia.
HLA-Cw6 juga dihubungkan dengan psoriasis arthritis, dengan kecenderungan onset lesi
kulit lebih awal. HLA-B27, HLA-B38 dan HLA-B39 juga dihubungkan dengan psoriasis
arthritis, dengan HLA-B27 berhubungan erat dengan varian aksial (lihat bab 19).
HLA-Cw6 juga berhubungan erat dengan psoriasis ketika ditemukan bersamaan dengan
beberapa alel HLA-B yang berbeda, menyatakan bahwa gen PSORS1 harus terletak telomerik
terhadap HLA-B (Gbr.18-1).
Hanya 10 persen dari HLA-CW6 karier yang berkembang menjadi psoriasis dan
diperkirakan bahwa PSORS1 diperhitungkan hanya sepertiga hingga setengah dari variasi
genetik yang bertanggung jawab terhadap psoriasis. Oleh karena itu, sangat mungkin bahwa
tambahan gen non MHC juga turut berperan. Sebagai tambahan terhadap PSORS1, penelitian
terkait menemukan 18 lokus yang disangkakan berpotensi. Namun, beberapa dari lokus gen ini
terbukti sangat sulit bereplikasi. Setelah PSORS1, lokus replikasi psoriasis susceptibility
kelemahan kedua adalah PSORS2 (17q24-q25), dengan empat penelitian independen yang
memberikan konfirmasi bukti dalam mendukung laporan awal (p<0.001). Telah dilaporkan
bahwa peranan lokus terhadap psoriasis yaitu dengan mempengaruhui ekspresi gen SLC9A3R1,
NAT1, dan/atau RAPTOR yang berperan dalam regulasi imunologi, tetapi yang lain tidak
mampu mengkonfirmasi temuan ini. Lokus yang lain memperlihatkan bukti reproduksibilitas
kemampuan untuk memproduksi termasuk PSORS4 (1q21.3), PSORS5 (3q21), PSORS8 (16q12-
q13), dan PSORS9 (4q28-q31). PSORS4 tetap menetap pada difrensiasi epidermal kompleks,
sedikitnya 58 lokasi gen yang terlibat dalam difrensiasi epidermal, termasuk loricrin, involucrin,
filogrin, sebagian kecil daerah yang kaya akan prolin, S100 dan cornified envelope genes. Lokus
PSOR55 (3q21) berhubungan dengan psoriasis di dalam keluarga Swedia, bukti dari replikasi ini
berdasarkan dari dua penelitian. Lokus PSORS8 tumpang tindih dengan gen susceptibilitas gen
yang lemah untuk penyakit Crohn (NOD2/CARD15) dan berimplikasi pada psoriasis arthritis.
Lokus PSORS9 ditemukan berasal dari populasi Cina, tetapi juga sekaligus memberikan bukti
adanya hubungan dengan empat genome lainnya yang terlibat pada sebagian besar populasi
Kaukasia.
Patogenesis psoriasis
PERKEMBANGAN LESI
Pemeriksaan mikroskop cahaya, mikroskop elektron, imunohistokimia dan penelitian
molekular yang terperinci dari kulit yang terlibat dan tidak terlibat, baik yang baru muncul
maupun dari lesi psoriatik yang menetap, memberikan kerangka yang bermanfaat bagi hubungan
sebab dan akibat antara beberapa kejadian selular yang berlangsung pada lesi psoriasis.
Semuanya diilustrasikan secara skematik pada Gbr. 18-2 dan dengan fotomikrograf aktual pada
Gbr. 18-3.
Lesi awal
Pada mulanya lesi berupa makula berukuran sebesar kepala jarum pentul yang tampak
edema, dan dijumpai adanya infiltrasi sel mononuklear pada permukaan dermis. Keadaan ini
umumnya dijumpai pada satu atau dua papila. Permukaan epidermis segera menjadi spongiotik,
dengan hilangnya lapisan granular. Venul pada bagian atas dermis mengalami dilatasi dan
kemudian selanjutnya dikelilingi oleh infiltrat sel mononuklear. Keadaan yang sama iuga
ditemukan pada lesi awal makula dan papula pada psoriasis dan pada kulit yang secara klinis
tampak normal jarak 2-4 cm dari lesi aktif pada penderita psoriasis gutata yang mengalami flare
akut. Temuan ini diyakini merupakan kondisi prepsoriatik, yang kemudian dihubungkan dengan
faktor genetika.
Lesi yang berkembang
Penelitian batasan klinis pada lesi yang agak besar (0.5 -1 cm) menunjukkan kira-kira 50
persen terjadi peningkatan penebalan epidermal pada kulit normal yang berdekatan dengan lesi.
Juga terdapat peningkatan aktivitas metabolik sel epidermal pada stratum korneum, peningkatan
sintesis DNA dan peningkatan jumlah sel mast dan makrofag dermis serta peningkatan granulasi
sel mast. Penelitian berikutnya menunjukkan peningkatan jumlah sel T dermis dan sel dendritik
(DCs) pada kulit psoriasis yang terlibat maupun tidak terlibat yang relatif terhadap kulit normal.
Pada bagian tengah lesi terdapat zona marginal, dengan peningkatan ketebalan epidermal seperti
pita, peningkatan parakeratosis dan perpanjangan kapiler serta infiltrasi perivaskular limfosit dan
makrofag, tanpa eksudasi ke dalam epidermis. Lebih ketengah, rete ridges mulai berkembang ke
zona marginal, sebelum akhirnya berkembang menjadi plak psoriasis. Sel-sel skuamous tampak
memperluas ruang ekstraselular dengan hanya sedikit ikatan desmosomal. Parakeratosis dengan
ciri khas berupa tumpukan atau bernoda.
Lesi matur
Lesi matur psoriasis ditandai dengan adanya pemanjangan yang seragam pada rete ridges,
dengan penipisan epidermis yang melapisis papilla dermis. Terjadi peningkatan massa epidermis
tiga sampai lima kali, dan lebih banyak lagi mitosis yang diamati diatas lapisan basal. Sekitar 10
persen keratinosit basal mengalami siklus pada kulit normal, sedangkan nilai ini meningkat 100
persen pada lesi kulit psoriatik. Perluasan ruang ekstraseluler antara keratinosist akan menetap
tapi itu kurang menonjol dibandingkan dengan perkembangan lesi dan lebih seragam dari pada
spongiosis tipikal dari lesi kulit eksematous. Ujung rete ridges selalu clubbed atau menyatu
dengan sekitarnya, terjadi penipisan dan pemanjangan, serta papila edematosa yang melebar,
kapiler yang berliku-liku. Parakeratosis, dengan disertai kehilangan lapisan granular, yang
bertemu secara horizontal tapi bisa berganti dengan ortokeratosis, dan hiperkeratosis menjadi
lebih luas pada zona transisi. Infiltrat peradangan sekitar pembuluh darah pada papilla dermis
menjadi lebih hebat tetapi tetap berisi limfossit, makrofag, DCs, dan sel mast. Tidak seperti lesi
awal dan daerah transisional, limfosit terlihat di epidermis pada lesi matur. Neutrofil keluar dari
bagian ujung dari kapiler dermis (the “squirting papillae”), dan terkumpul diatas parakeratosis
stratum korneum (Munro’s microabscesses) dan, jarang terjadi di lapisan spinosus (spongiform
pustules of kogoj). Kumpulam serum dapat juga ditemukan di epidermis dan stratum korneum.
PERANAN SELULAR PADA SEL T PSORIASIS
Sel
Di tahun 1984, telah diperlihatkan bahwa erupsi lesi kulit psoriasis ini sesuai dengan
influk epidermal dan aktivasi sel T dan tidak lama setelah itu diperlihatkan bahwa resolusi
psoriasis selama fototerapi akan didahului oleh hilangnya sel T, yang lebih dominan dari
epidermis. CsA lebih efektif pada psoriasis dan efek ini diperlihatkan terutama melalui
penghambatan sel T daripada pada keratinosit. Lebih lanjut psoriasis juga dipicu atau diatasi
dengan transplantasi sum-sum tulang tergantung pada apakah donor atau pejamu adalah
psoriasis. Peranan sel T pada psoriasis diperlihatkan secara fungsional di tahun 1996, dimana
diperlihatkan bahwa proses psoriasis itu dapat diinduksi dengan penyuntikan sel T autologus ke
dalam kulit psoriasis yang tidak terlibat yang ditransplantasikan ke dalam tikus yang mengalami
immunodefisiensi yang berat.
Ciri khas terbaik sel T adalah subset CD4+ dan CD8+. Yang lebih dominan dari fenotip
memori (CD45RO+), sel ini mengekspresikan cutaneous lymphocyte antigen (CLA), ligan
terhadap E-selectin, dimana secara selektif diekspresikan pada kapiler kulit dan oleh karena itu
akan memberikan akses ke kulit. Sel T CD8 lebih dominan berada dalam epidermis sementara
sel T CD4 lebih dominan berada pada dermis bagian atas. Profil sitokin dari lesi psoriatik adalah
kaya akan interferon (lNF)-γ, yang menunjukkan polarisasi T helper (Th1) dari sel CD4+ dan
polarisasi T sitotoksik 1 (Tc1) dari sel sel CD8+. Dengan demikian, subset baru sel T CD4+,
distimulasi oleh interleukin (lL)-23 dan ditandai dengan adanya produksi lL-17, telah dijelaskan
akhir-akhir ini dan memainkan peranan penting dalam mempertahankan peradangan kronis pada
psoriasis dan juga kondisi autoinflamasi lainnya.
Pengaturan sel T
Beberapa perbedaan populasi pada pengaturan sel T (Tregs) tetap ada tetapi satu ciri khas
terbaik adalah subset CD4+CD25+. Penelitian subset pada psoriasis akhir-akhir ini
memperlihatkan adanya gangguan fungsi penghambat dan kegagalan untuk menekan proliferasi
sel T efektor.
Natural killer dan natural killer T cells
Sel Natural Killer merupakan penghasil utama IFN-γ dan berfungsi sebagai jembatan
antara kekebalan alami dan kekebalan yang diperoleh. Sel NK terdapat di dalam psoriasis, dan
dapat memicu pembentukan lesi psoriasis dalam xenograft model system. Sel NK sebagian
diatur oleh killer immunoglobulin-like receptors (KlRs), yang dapat mengenali HLA-C dan
molekul MHC kelas I lainnya. KIR adalah famili dari gen-15 terkait yang letaknya berdekatan
dengan kromosom 19q13.4, sebagian merangsang aktivasi sel NK dan yang lainnya menghambat
aktivasi sel NK. Akhir-akhir ini, gen KIR dihubungkan dengan psoriasis dan psoriasis arthritis.
Sel dendritik
Pengobatan ditujukan terutama terhadap molekul kunci ko-stimulator diperlihatkan oleh
antigen-presenting DCs “professional” yang secara nyata menyembuhkan psoriasis. Hal ini
menunjukan bahwa sel T pada lesi psoriatik selalu berhubungan dengan DCs, yang berperan
dalam melakukan priming pada respon imun yang didapat dan induksi dari toleransi diri.
Beberapa subsets DCs telah dijelaskan, dan banyak ditemukan pada lesi psoriatik yang matur
(lihat Gbr.18-2). Meskipun sel ini lebih diyakini sebagai inti patogenesis dari psoriasis, peranan
spesifik dari subset ini masih belum jelas.
SEL LANGERHANS
Sel Langerhans (LCs) ini dianggap sebagai DCs yang belum matang (iDCs). LCs peran
sebagai antigen-precenting cells (APCs) pada dermatitis kontak, tetapi perannya dalam psoriasis,
dimana ciri khas pada psoriasis jumlah LCs menurun, masih belum jelas. DCs tidak memiliki
karakteristik granul Birbeck, tetapi positif terhadap maturasi molekul DCLAMP yang ditemukan
pada dermis lesi psoriatik, yang menunjukan bahwa sel ini sudah matang dan keluar dari
epidermis selama pembentukan lesi. Hal yang menarik, migrasi LCs dalam merespon sitokin
peradangan yang terganggu pada epidermis psoriatic yang terlibat.
SEL DENDRITIK DERMIS
Awalnya dengan ditemukan adanya ekspresi HMC kelas II atau faktor XIIIa, DCs dermal
tidak menunjukkan tanda aktivasi pada kulit normal yang tenang dan dapat dipertimbangkan ada
tipe lain dari iDC yang menyerupai mieloid iDC yang ditemukan pada jaringan lain. Lesi
psoriasis memperlihatkan peningkatan dalam jumlah dan tingkat kematangan dari sel ini.
SEL DENDRITIK PLASMASITOID
Plasmocytoid DCs (pDCs) tidak efisien mempresentasikan antigen terhadap sel T.
namun, pDCs ini akan meregulasi peradangan dan hubungannya dengan kekebalan adaptif, serta
menghasilkan IFN-α dalam jumlah besar bila diaktivasi. pDCs tidak terdapat pada kulit normal,
dan secara signifikan meningkat pada kulit psoriatic yang terlibat maupun yang tidak terlibat,
tetapi yang diaktivasi hanya pada kulit yang terlibat. Hal yang menarik, inhibisi pDCs
menunjukkan pencegahan perkembangan psoriasis pada model xenograft pada tikus. Sebaliknya,
imiquimod dilaporkan dapat menyebabkan eksaserbasi psoriasis, tampaknya melalui sistem IFN
tipe I berikatan dengan Toll-like receptor 7 pada pDCs.
Sel mast dan makrofag
Sel mast dan makrofag terutama pada lesi psoriasis awal dan yang telah berkembang
(lihat Gbr 18-2). Banyak makrofag yang tersebar di bawah membran dasar, berdekatan dengan
proliferasi keratinosit yang mengekspresikan makrofag kemokin MCP-I. Sel yang aktif secara
fagositik ini terlibat dalam menghasilkan fenestrasi (hole) pada membran dasar epidermal.
Penelitian akhir-akhir ini pada dua model tikus psoriasis yang berbeda, dari salah satunya
tergantung pada sel T independen lainnya, hal ini memerlihatkan bahwa eliminasi selektif
makrofag terbukti menyebabkan perbaikan lesi. Temuan baru ini meyakinkan bahwa makrofag
berperan utama dalam patogenesis psoriasis, setidaknya sebagian melalui produksi tumor
necrosis factor (TNF)-α.
Neutrofil
Meskipun neutrofil umumnya terdapat pada bagian atas epidermis pada lesi psoriatik,
namun terlihat pada akhir perkembangan lesi, jumlahnya bervariasi dan peranannya dalam
pathogenesis psoriasis belum jelas. Penelitian akhir-akhir ini pada model tikus yang sama
dampak terhadap makrofag menunjukkan bahwa neutrofil kemungkinan tidak terlalu penting
bagi pengembangan lesi.
Keratinosit
Keratinosit ini adalah penghasil utama sitokin pro-inflamatori, kemokin, dan faktor
pertumbuhan, termasuk mediator peradangan lainnya seperti eukosanoid dan mediator-mediator
imunitas alami seperti cathelicidin, defensin, dan protein S100. Keratinosit psoriasis terlibat pada
jalur alternatif pada difrensiasi keratinosit yang disebut maturasi regeneratif. Maturasi regeneratif
ini diaktivasi pada respon terhadap rangsangan immunologi dalam psoriasis, tetapi mekanisme
bagaimana hal itu terjadi belum diketahui.
Tipe sel lainnya
Tipe sel lainnya, seperti sel endothelial dan fibroblas, juga terlibat dalam proses
patogenesis. Sel endothelial diaktifasi dalam pengembangan dan maturasi lesi psoriasis, dan
selain itu mengakibatkan peningkatan aliran darah ke lesi hingga 10 kali lipat, semuanya
berperan penting dalam mengatur aliran leukosit dan protein serum ke dalam jaringan psoriatik.
Fibroblast mendukung proliferasi keratinosit dengan cara parakrin dan proses ini akan dapat
terpicu dalam psoriasis. Fibroblast menghasilkan beberapa faktor kemotaktik dan mendukung
migrasi sel T dari lesi poriasis. Sehingga, fibroblas ini terlibat secara erat pada psoriasis dengan
mengarahkan lokalisasi sel T.
MOLEKUL PENSINYALAN DALAM PSORIASIS
Sitokin dan Kemokin
Jaringan sitokin dalam psoriasis sangat kompleks, melibatkan aksi dan interaksi dari
berbagai sitokin, kemokin dan juga faktor pertumbuhan dan reseptornya disamping mediator lain
yang dihasikan oleh tipe sel multipel. Kombinasi sitokin dan faktor pertumbuhan dapat
menghasilkan efek yang tidak terlihat ketika faktor ini diteliti secara individu. Misalnya, kloning
sel T akan terisolasi dari lesi kulit psoriatik yang mampu mendorong proliferasi keratinosit pada
cara yang tergantung pada IFN-γ, tetapi tentu INF-γ sendiri memiliki efek antiproliferatif pada
keratinosit yang dikultur.
Disamping INF-γ, plethora dari sitokin dan kemokin regulasinya ditingkatkan dalam
psoriasis, termasuk sitokin TNF-α, IL-2, IL-6, IL-8, IL-15, IL-17, IL-18, IL-19, IL-20 dan IL-22
dan kemokin MIG/CXCL9, IP-10/CXCL10, I-TAC/CXCL11, dan MIP3α/CCL20. Kelainan
yang kompleks juga diamati untuk sitokin imunomodulator lain dan reseptornya, termasuk IL-l
dan transforming growth factor-β. Plak psoriatik ditandai oleh adanya sitokin dominan yang
dihasilkan oleh sel Th-1 (lFN-γ, IL-2, dan TNF-α) selain itu juga dihasilkan oleh sel Th-2 (IL-4,
IL-5, dan IL-10). DCs juga berperan terhadap lingkungan sitokin termasuk IL-18, IL-20, IL-23,
dan TNF-α. IL-18 dan IL-23 merangsang produki IFN-γ, dan sekarang jelas bahwa lL-23 dan
bukan IL-12 ( yang berbagisubunit p4o dengan lL-23) adalah sumber dominan dari peningkatan
regulasi ekspresi p40 pada lesi psoriatik. Baru-baru ini disebutkan, lL-23 menyokong peradangan
kronis dengan mempertahankan sendiri subset sel T CD4+ yang ditandai dengan adanya
produksi IL-17. Akhir-akhir ini, subset Th17 dapat menjelaskan IL-22, yang memperantarai
inflamasi dermis yang diinduksi oleh IL-23 dan hiperplasia epidermis pada tikus. Sitokin yang
lebih menonjol saat ini berperan dalam patogenesis psoriasis yang diringkaskan pada Gambar
18-4.
Mediator imunitas bawaan
Selain sitokin dan kemokin, beberapa mediator imunitas bawaan ini diekspresikan secara
tidak normal pada psoriasis. Diantara mediator imunitas bawaan yang penting adalah
antimicrobial peptides human β-defensin-2 (HBD-2), dan cathelicidin (LL-37), keduanya
mengalami peningkatan pada psoriasis tetapi tidak pada dermatitis atopik. Terutama, ekspresi
HBD-2 dan LL-37 meningkat dalam respon terhadap pro-inflamatory dan sitokin tipe I (TNF-α,
IL-l, dan lFN-γ) dan disupresi oleh sitokin tipe II (lL-4, lL-10, lL-13). Perbedaan dalam ekspresi
peptida antimikrobial membantu menjelaskan mengapa hampir 30 persen penderita dengan
dermatitis atopi mengalami infeki bakteria atau virus, yang berbeda hanya 7 persen pada
penderita psoriasis, meskipun kedua kondisi ini memiliki gangguan sawar kulit. Hal ini juga
dapat menjelaskan mengapa penderita psoriasis sering mengalami kolonisasi Staphylococcus
aureus, yang terbukti tidak membaik dengan pengobatan antibiotik, sementara penderita
dermatitis atopik umumnya membaik dengan pengobatan antibiotika. Protein S100 adalah famili
dari dimer low molecular-weight proteins yang mengikat kalsium dan kation divalen lainnya.
S100A2, S100A7 (psoriasin), dan S100A8/A9 heterodimer (calprotectin) jelas diekspresikan
pada lesi psoriasis. Protein ini menggerakkan aktivitas kemotaktik dan antimikroba, dan terakhir
melalui ion seng. Nitric oxide dihasilkan dalam jumlah besar oleh DCs pada psoriasis melalui
enzim yang dapat menginduksi sintesis nitric oxide, dimana akan merangsang tranduksi beberapa
signal. Dimana komplemen komponen C5a adalah kemoatraktan yang poten terhadap neutrofil
dan berperan dalam akumulasi neutrofil dalam stratum korneum pada psoriasis. Hal yang
menarik, bahwa komplemen komponen C5a juga merupakan kemoatraktan yang lebih poten
untuk Dcs in ekstrak skuama psoriatik. Banyak mediator-mediator yang diregulasi dalam respon
terhadap toll-like receptors, yang menyediakan mekanisme dimana sistem innate immune bisa
dengan cepat mengenali berbagai pathogen yang terkait pola molekul.
Eikosanoid
Peranan eikosanoid pada psoriasis masih belum jelas. Kadar asam arakidonat bebas,
leukotrien B4, asam 12-hydroxyeicosatetraenoic, dan asam 15-hydroxyeicosatetraenoic ditandai
dengan meningkatnya lesi kulit, dimana kadar prostaglandin E dan F2α meningkat sedikitnya
dua kali lipat.
Faktor Pertumbuhan
Berbagai faktor pertumbuhan diekspresikan pada psoriasis. Anggota famili epidermal
growth factor (EGF) merangsang produksinya dalam keratinosit, termasuk transforming growth
factor-α, amphiregulin (ARE6) dan heparin berikatan dengan EGF-like growth factor. Penelitian
akhir-akhir ini yang dilakukan pada tikus menemukan terjadinya pengurangan hiperplasia
epidermis setelah netralisasi ARE6 yang dimediasidiperantarai oleh antibodi. Aktivasi reseptor
EGF merangsang produksi keratinosit pada vascular endothelial growth factor (VEGF),
barangkali diperhitungkan untuk pengamatan jangka panjang dimana daerah angiogenik kulit
normal dan kulit psoriasis yang berhubungan dengan epidermis. Polimorfisme pada gen VEGF
juga dilaporkan berkaitan dengan psoriasis. Nerve growth foctor (NGF) juga berlebihan
diekpresikan oleh keratinosit pada kulit psoriasis, dan reseptor NGF meningkat pada syaraf
perifer lesi kulit. Paracrine growth factor diproduksi di bagian luar epidermis yang juga berperan
penting dalam stimulasi hiperplasia epidermis pada psoriasis, termasuk insulin-like growth
factor-1 dan keratinosit growth factor.
Protease dan lnhibitornya
Lesi psoriatik ditandai oleh adanya ekspresi dari berbagai kelas proteinase, baik oleh
keratinosit dan leukosit. Metalloproteinase melepaskan TNF-α, dan beberapa EGF-like growth
factors dan juga beberapa sitokin lainnya dan faktor pertumbuhan dari precursor membrannya.
Leukosit yang berasal dari elastase juga berperan pada pelepasan EGF-like growth foctor. Serine
protease secara langsung mengaktivasi reseptor yang diaktivasi protease. Setiap mekanisme ini
tentu dapat memberikan rangsangan terhadap proliferasi keratinosit. Protease menghambat
elafin, serpinB3, dan serpinB13 (hurpin) merupakan salah satu gen yang paling nyata
diekspresikan pada lesi psoriasis, menunjukan bahwa mekanisme homoeostasis sangat berperan
dalam usaha pengaturan lingkungan proteolitik pada lesi psoriasis.
Integrin
Beberapa pengamatan menunjukkan peranan awal dari integrin α5 dan ligandnya
fibronectin pada psoriasis. Fibronektin meningkat pada epidermis psoriasis, dan hal ini
menunjukkan bahwa akses fibronektin menuju epidermis adalah melalui fenestrasi pada
membran dasar epidermis.
Sinyal Transduksi
Seperti yang diharapkan dalam pletora dari perubahan sinyal interselular, berbagai
mekanisme transduksi sinyal tidak teratur pada epidermis psoriasis, termasuk reseptor tyrosine
kinose, mitogen-activated protein kinase, Akt, STAT, Src family kinase, dan jalur NF-ҡB.
Kelainan ini tentu akan mempengaruhi aktivasi immunosit dan trafficking serta respon
proliferasi, diferensiasi dan pertahanan keratinosit.
PSORIASIS SEBAGAI PENYAKIT AUTOIMUN: DIPADUKAN DENGAN GENETIKA
DAN IMUNOLOGI
Sel T CD8+ terdiri dari sedikitnya 80 persen dari sel T pada epidermis lesi psoriasis, dan
juga invasinya ke dalam epidermis yang berhubungan dengan pengembangan lesi. Oleh karena
adanya antigen sel T CD8+, HLA-Cw6 merupakan kandidat yang lebih baik untuk keterlibatan
fungsional pada psoriasis. 6ambar 18-5 adalah model transisi dari psoriasis gutata menjadi
psoriasis plak kronis dan peranan HLA-Cw6 pada patogenesis psoriasis. Berbagai aspek dari
model yang telah ada diperlukan berbagai uji coba.
TEMUAN KLINIS
Gambar 18-6 adalah suatu algoritma yang memperlihatkan temuan klinis dan pengobatan
terhadap psoriasis.
Riwayat
Hal ini berguna dalam menentukan onset usia pada saat serangan terjadi dan ada tidaknya
riwayat psoriasis dalam keluarga, termasuk onset usia muda pada saat serangan dan riwayat
keluarga positif yang berkaitan dengan penyebaran dan kekambuhan penyakit. Disamping itu,
dokter seharusnya menanyakan tentang keadaan penyakit, termasuk perbedaan utama antara
penyakit akut dan kronis. Pada bentuk selanjutnya, lesi tetap tidak mengalami perubahan selama
beberapa bulan atau tahun, sementara pada penyakit akut memperlihatkan adanya lesi yang tiba-
tiba muncul dalam waktu singkat (beberapa hari). Demikian juga penderita yang memiliki
variabilitas yang besar terhadap kekambuhan. Sebagian penderita sering mengalami kekambuhan
yang terjadi setiap minggu atau setiap bulan, sementara yang lain penyakit lebih stabil dengan
kekambuhan hanya sesekali. Seringkali penderita yang mengalami kekambuhan cenderung
mengalami penyakit yang lebih parah dengan lesi yang lebih luas dan secara signifikan menutupi
permukaan tubuh, serta memerlukan pengobatan yang lebih teliti dibandingkan penyakit yang
lebih stabil. Pengobatan tertentunya bisa memperburuk prosiasis. Dokter juga akan menanyakan
mengenai keluhan pada persendian. Meskipun osteoarthritis sangat umum terjadi dan dapat
menyertai psoriasis, riwayat timbulnya gejala sendi sebelum dekade keempat dan atau riwayat
demam, pembengkakan pada persendian seharusnya menimbulkan kecurigaan terhadap psoriasis
arhtirits.
Lesi Kutaneus
Lesi klasik psoriasis berbatas tegas, meninggi, plak merah dengan skuama putih pada
permukaan (Gbr. 18-7). Ukuran lesi dapat sangat bervariasi mulai dari papul sebesar kepala
jarum pentul sampai plak yang menutupi area tubuh yang luas. Dibawah skuama, kulit eritema
berkilat yang homogeny, dan adanya bintik-bintik perdarahan ketika skuama diangkat, trauma
menyebabkan dilatasi kapiler (tanda Auspitz) (Gbr.18-8). Psoriasis cenderung mengalami erupsi
simetris, dan hal tersebut sangat membantu dalam megakkan diagnosis. Keterlibatan unilateral
dapat terjadi. Fenotip psoriasis ini dapat membuat spektrum penyakit mengalami perubahan pada
penderita yang sama.
Fenomena Koebner (iuga dikenal sebagai respon isomorfik) merupakan induksi traumatik
dari psoriasis pada kulit yang tidak ada lesi; hal ini terjadi lebih sering selama penyakit
berlangsung dan merupakan suatu fenomena keseluruhan atau tidak ada sama sekali (misalnya,
jika psoriasis terjadi pada satu tempat cedera dan ini akan terjadi pada semua tempat yang
mengalami cedera) (Gambar 18-9). Reaksi Koebner umumnya terjadi 7-14 hari setelah cedera,
dan hampir 25 persen dari penderita yang mengalami riwayat fenomena Koebner berkaitan
dengan trauma pada saat kehidupannya. Estimasi prevalensi semasa hidup meningkat hingga 76
persen ketika faktor seperti infeksi, stress emosional dan reaksi obat terjadi. Fenomena Koebner
tidak spesifik untuk psoriasis tetapi sangat membantu dalam membuat diagnosis bila terjadi.
Pola klinis dan presentasi kulit
PSORIASIS VULGARIS, PSORIASIS STASIONER KRONIS, PSORIASIS TIPE PLAK
Psoriasis vulgaris adalah bentuk psoriasis yang paling umum, tampak hingga 90 persen
dari penderita. Merah, bersisik, plak distribusi simetris secara spesifik terlokalisasi pada bagian
ekstensor anggota gerak, khususnya mengenai siku, lutut, kulit kepala, dan lumbosakral bawah,
bokong dan genital (Gambar 18-7). Tempat predileksi lainnya termasuk umbilikus dan juga
lipatan intergluteal. Cakupan keterlibatannya bervariasi dari setiap penderita. Adanya produksi
yang tetap dari skuama dalam jumlah besar dengan sedikit perubahan bentuk atau distribusi
masing-masing plak. Lesi tunggal yang kecil dapat bergabung membentuk plak dengan pinggiran
seperti peta (psoriasis geografik). Lesi dapat meluas ke lateral dan membentuk sirsinar oleh
karena beberapa plak bergabung (psoriasis gyrata). Kadangkala, bagian sentral menjadi bersih,
sehingga menghasilkan lesi yang seperti cincin (psoriasis anular) (Gbr. 18-10). Hal ini biasanya
berhubungan dengan perbaikan lesi dan menandakan prognosis yang baik. Varian klinis lainnya
dari psoriasis plak telah dijelaskan, tergantung pada morfologi lesi, khususnya yang berhubungan
dengan hyperkeratosis yang kasar (lihat Gbr. 18-10). Psoriasis rupioid mengacu pada lesi yang
berbentuk kerucut atau limpet. Ostraceous psoriasis merupakan istilah yang jarang digunakan,
mengacu kepada lesi seperti cincin, lesi cekung hiperkeratotik, yang menyerupai kulit tiram.
Akhirnya, elephantine psoriasis adalah bentuk yang tidak umum, dengan karakteristik skuama
yang tebal, plak yang luas, umumnya pada anggota gerak bawah. Kadangkala tampak
hipopigmentasi berbentuk cincin (cincin Woronoff) mengelilingi masing-masing lesi psoriasis,
dan biasanya berkaitan dengan penanganan, terutama radiasi UV atau kortikosteroid topikal
(lihat Gbr 18-10). Patogenesisnya tidak sepenuhnya dapat dipahami tetapi kemungkinan
disebabkan oleh inhibisi sintesis prostaglandin.
PSORIASIS GUTTATA (ERUPTIF)
Psoriasis gutata (dari kata Latin gutta, berarti penurunan) ditandai oleh adanya erupsi
berupa papul kecil (diameter 0.5-1.5 cm) pada bagian badan bagian atas badan dan ekstremitas
proksimal (Gbr. 18-11). Manifestasi khusus ditemukan pada usia dini dan lebih sering pada
orang dewasa muda. Bentuk psoriasis ini berhubungan erat dengan HLA-Cw6, dan juga infeksi
streptokokus pada tenggorokan atau seiring dengan onset atau kekambuhan psoriasis gutata.
Pemberian antibiotika tampaknya tidak memberikan manfaat atau memperpendek masa penyakit.
Penderita dengan riwayat psoriasis plak kronis dapat berkembang menjadi lesi guttata, dengan
atau tanpa memburuknya plak kronis.
PSORIASIS PLAK KECIL
Psoriasi plak kecil memiliki membentuk klinis yang menyerupai psoriasis gutata, tetapi
dapat dibedakan melalui onset pada penderita yang lebih tua, kronisitasnya, dan juga beberapa
lesi lebih besar (1-2 cm) serta lebih tebal dan lebih berskuama dibandingkan dengan penyakit
guttata. Juga dikatakan lebih umum onset psoriasis pada orang dewasa di Korea dan juga negara-
negara Asia lainnya.
PSORIASIS INVERSA
Lesi psoriasis dapat terlokalisir terutama pada lipatan kulit, seperti aksila, daerah genito-
crural, dan leher. Skuama umumnya minimal atau tidak ada, dan lesi tampak berkilat dan
berbatas eritema yang jelas, yang sering terlokalisir pada daerah kontak kulit ke kulit (Gbr. 18-
12). Daerah yang dikenai terjadi gangguan berkeringat.
PSORIASIS ERITRODERMA
Psoriasis eritroderma menggambarkan bentuk penyakit generalisata yang mengenai
seluruh tubuh, termasuk wajah, tangan, kaki, kuku, badan dan anggota gerak (Gbr. 18-13).
Meskipun semua gejala psoriasis ini ada, eritema adalah gambaran yang lebih dominan, dan
skuamanya berbeda dibandingkan dengan chronic stationary psoriasis. Selain skuama yang tebal,
lengket, berwarna putih, skuama juga superfisial. Penderita dengan psoriasis eritroderma akan
kehilangan panas berlebihan karena vasodilatasi menyeluruh, dan hal ini dapat menyebabkan
hipotermia. Penderita bisa menggigil dalam upaya meningkatkan suhu tubuh. Kulit psoriasis
seringkali hipohidrotik akibat oklusi saluran keringat, dan juga beresiko hipotermia pada iklim
panas. Tungkai bawah bengkak yang umumnya sekunder untuk vasodilatasi dan kehilangan
protein dari pembuluh darah ke dalam jaringan. Kegagalan jantung akibat tingginya curah
jantung dan gangguan hepatik dan fungsi ginjal juga dapat terjadi. Psoriasis eritrodermi juga
memiliki gambaran yang beragam, tapi dua bentuk yang tetap ada. Pada bentuk pertama,
psoriasis plak kronis akan mengalami keparahan dengan keterlibatan seluruh permukaan kulit,
dan penderita relatif respon terhadap terapi. Bentuk kedua, eritroderma generalisata dapat timbul
tiba-tiba dan tidak disangka-sangka atau dihasilkan dari pengobatan eksternal yang tidak dapat