Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Dewasa ini konsep kedokteran mengenai pengobatan gangguan psikotik masih berputar pada penggunaan antipsikotik. Antipsikotik merupakan salah satu obat golongan psikotropik. Obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku (mind and behavior altering drugs), digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik (psychotherapeutic medication). Menurut WHO (1966) obat psikotropik adalah obat yang mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman. Psikotropik hanya mengubah keadaan jiwa penderita sehingga lebih kooperatif dan dapat menerima psikoterapi dengan lebih baik. Berdasarkan penggunaan klinik, psikoterapi dibagi menjadi 4 golongan yaitu: (1) antipsikotik; (2) antianxietas; (3) antidepresi; dan (4) psikotogenik. Antipsikotik atau dikenal juga dengan istilah neuroleptik (major tranquilizer) bermanfaat pada terapi 1
66

PSIKIATRI REFRAT

Jan 25, 2016

Download

Documents

hxdjasfhafeeafyfsyqd
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PSIKIATRI REFRAT

BAB I

PENDAHULUAN

Dewasa ini konsep kedokteran mengenai pengobatan gangguan psikotik

masih berputar pada penggunaan antipsikotik. Antipsikotik merupakan salah satu

obat golongan psikotropik. Obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara

selektif pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap

aktivitas mental dan perilaku (mind and behavior altering drugs), digunakan untuk

terapi gangguan psikiatrik (psychotherapeutic medication). Menurut WHO (1966)

obat psikotropik adalah obat yang mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau

pengalaman. Psikotropik hanya mengubah keadaan jiwa penderita sehingga lebih

kooperatif dan dapat menerima psikoterapi dengan lebih baik.

Berdasarkan penggunaan klinik, psikoterapi dibagi menjadi 4 golongan

yaitu: (1) antipsikotik; (2) antianxietas; (3) antidepresi; dan (4) psikotogenik.

Antipsikotik atau dikenal juga dengan istilah neuroleptik (major tranquilizer)

bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik. Antipsikotik bekerja dengan

menduduki reseptor dopamin , serotonin dan beberapa reseptor neurotransmiter

lainnya . Antipsikotik dibedakan atas antipsikotik tipikal (antipsikotik generasi

pertama) antara lain klorpromazin, flufenazin, tioridazin, haloperidol; serta

antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua) seperti klozapin, olanzapin,

risperidon dan lain sebagainya.

Obat antipsikotik tipikal tentunya memiliki efek samping yang perlu

diketahui agar pengobatan klinis dapat efisien dan sesuai dengan proporsi dan

tentunya agar mencapai target terapi. Untuk itu kita harus mengenali obat

1

Page 2: PSIKIATRI REFRAT

antipsikotik ini terlebih dahulu, karena selain manfaatnya, antipsikotik juga

mempunyai kerugian yang menyertainya. Beberapa proses fisiologis dipengaruhi

oleh antipsikotik. Secara khusus, antipsikotik mempengaruhi SSP seperti

terjadinya gangguan dalam bergerak, efek sedasi, kejang dan beberapa efek

samping lainnya yang dapat mengganggu pasien seperti pengaruh dalam seksual

dan fungsi reproduksi.

2

Page 3: PSIKIATRI REFRAT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. OBAT ANTI PSIKOTIK TIPIKAL

1. DEFINISI

Sekelompok obat yang menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2) sering

dinamakan sebagai antipsikotik generasi pertama. Indikasi utama untuk

pemakaian obat adalah terapi skizofrenia dan gannguan psoikotik lainnya. Obat

antipsikotik juga dinamakan sebagai neuroleptik dan trankuiliser mayor.

Istilah “neuroleptik” menekankan efek neurologis dan motorik dari

sebagian besar obat. Istilah “trankuiliser mayor” secara tidak akurat menekankan

efek primer dari obat adalah untuk mensedasi pasien dan dikacukan dengan obat

yang dinamakan trankuiliser minor seperti benzodiazepine.

Antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, suatu derivate phenotiazine

yang merupakan antagonis reseptor dopamine, adalah yang pertama dinamakan

antipsikotik klasik atau tipikal yang disintesis awal tahun 1950-an.

Diperkenalkannya obat antipsikotik merupakan revolusi terapi pasien skizofrenia

dan pasien psikotik serius lainnya. Pemakaian antipsikotik tipikal menghasilkan

perbaikan klinis yang bermakna pada kira-kira 50-75% pasien psikotik dan

hamper 90% pasien psikotik mendapatkan manfaat klinis dari obat tersebut.

2. KLASIFIKASI ANTIPSIKOTIK TIPIKAL

Adapun penggolongan dari antipsikotik tipikal dapat dilihat sebagai

berikut:

3

Page 4: PSIKIATRI REFRAT

A. Derivat Fenotiazin

1. Rantai Aliphatic

- Chlorpromazine

Sediaan : 25-100 mg

Dosis anjuran : 150-600 mg/hari

Efek ekstrapiramidal (++), efek otonomik (+++), efek sedatif (+++),

efek hipotensi(++)

2. Rantai Piperazine

- Perphenazine

Sediaan : 2mg, 4 mg, 8 mg

Dosis anjuran : 12-24 mg/hari

Efek ekstrapirimidal (+++), efek otonomik (+), efek sedatif (+)

- Trifluoperazine

Sediaan : 1 mg, 5 mg

Dosis anjuran : 10-15 mg/hari

Efek ekstrapirimidal (+++), efek otonomik (+), efek sedatif (+)

- Fluphezine

Sediaan : 2,5 mg, 5 mg

Dosis anjuran : 10-15 mg/hari

Efek ekstrapirimidal (+++), efek otonomik (+), efek sedatif (++)

3. Rantai Piperidine

- Thioridazine

Sediaan : 50 mg, 100 mg

Dosis anjuran : 150-300 mg/hari

4

Page 5: PSIKIATRI REFRAT

Efek ekstrapirimidal (+), efek otonomik (+++), efek sedatif (+++)

B. Derivat Butyrophenone

Haloperidol

Sediaan : 0,5 mg; 1,5 mg; 5 mg

Dosis anjuran : 5-15 mg/hr

Efek ekstrapirimidal (++++), efek otonomik (+), efek sedatif (+)

C. Derivat Diphenyl butyl piperidine

Pimozide

Sediaan : 4 mg

Dosis anjuran : 2-4 mg/hari

Efek ekstrapirimidal (++), efek otonomik (+), efek sedatif (+)

3. MEKANISME KERJA ANTIPSIKOTIK TIPIKAL

Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah memblokade dopamin

pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak khusunya di sistem limbik dan sistem

ekstrapirimidal (dopamin D2 receptor antagonis), sehingga efektif untuk gejala

positif.

Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh neuron-

neuron yang berasal dari substansia nigra di batang otak. Neuron-neuron ini

terutama berakhir pada region striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya

bersifat inhibisi. Pada skizofrenia diduga terjadi produksi dopamin yang

berlebihan akibat sekresi dari sekelompok neuron proyeksi dopamine. Neuron-

neuron ini menghasilkan system dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan

serabut-serabut saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan anterior dari

5

Page 6: PSIKIATRI REFRAT

sistem limbik, khususnya ke dalam hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus

anterior dan sebagian lobus prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat

pengatur tingkah laku yang sangat berpengaruh. Dengan menggunakan

antipsikotik tipikal dianggap mampu mengurangi efek produksi dopamin yang

berlebihan. Potensi antipsikotik untuk menurunkan gejala psikotik sangat

berhubungan dengan afinitas obat tersebut dengan reseptor D2. Antipsikotik

tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine yang berlebihan dengan cara

menghambat atau mencegah dopamine endogen untuk mengaktivasi reseptor.

Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2

khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga

dengan antagonis reseptor dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional. Kerja

dari antipsikotik ini menurunkan hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik

sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata tidak hanya

memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur

mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.

Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur mesokortikal,

dapat memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan

dopamin di jalur tersebut. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah tantangan

terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis akan

menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif.

Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat menyebabkan timbulnya

gangguan dalam mobilitas seperti pada parkinson, bila pemakaian secara kronik

dapat menyebabkan gangguan pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Jalur

6

Page 7: PSIKIATRI REFRAT

nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal,

mengontrol movements atau pergerakan.

Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular oleh antipsikotik tipikal

menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi

seksual dan peningkat berat badan. Fungsi normal jalur dopamin

tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin. Pada wanita postpartum,

aktivitas di jalur ini menurun, sehingga memungkinkan laktasi.

Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada

keempat jalur dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor

kolinergik muskarinik sehingga timbul efek samping antikolinergik berupa mulut

kering, pandangan kabur, konstipasi dan kognitif tumpul. Reseptor histamin (H1)

juga terblok sehingga timbul efek samping mengantuk dan meningkatkan berat

bdan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga

dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic,

mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.

4. EFEK SAMPING ANTIPSIKOTIK TIPIKAL

Mekanisme kerja antipsikotik pada penghambatan reseptor dopamine

ternyata memberi efek merugikan pada neurologis dan endokrinologi. Selain itu,

berbagai antipsikotik juga menghambat reseptor noradrenergik, kolinergik, dan

histaminergik jadi menyebabkan bervariasinya sifat efek merugikan yang

ditemukan pada obat-obat tersebut.

Interferensi dengan transmisi dopaminergik dapat mengakibatkan efek

samping baik endokrinologis seperti hiperprolaktinemia, yang dapat

memanifestasikan dirinya sebagai galaktorea, amenorea dan ginekomastia, dan

7

Page 8: PSIKIATRI REFRAT

efek samping ekstrapiramidal (EPS). Selanjutnya, penggunaan jangka panjang

dapat menyebabkan penambahan berat badan. Kombinasi dari semua efek

samping tersebut akan sangat mungkin mempengaruhi kualitas-kualitas hidup

pasien dan keinginan mereka untuk melanjutkan dan mematuhi terapi .

A. Efek Samping Non neurologis

1. Efek pada jantung

Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan

dengan antipsikotik potensi tinggi. Chlorpromazine menyebabkan

perpanjangan interval QT dan PR, penumpulan gelombang T, dan depresi

segmen ST. Thioridazine, khususnya memiliki efek yang nyata pada

gelombang T dan disertai dengan aritmia malignan, seperti torsade de pointes

yang sangat mematikan. Selain itu kematian mendadak juga disebabkan

karena timbulnya takikardia ventrikuler atau fibrilasi ventrikuler. Untuk

mengantisipasi hal tersebut sebaiknya pada pasien yang berusia lebih dari 50

tahun dilakukan pemeriksaan EKG serta pemberian serum potassium dan

magnesium.

2. Hipotensi ortostatik (postural)

Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat penghambatan adrenergic

yang paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi rendah, khususnya

chlorpromazine dan thioridazine. Keadaan ini terjadi selama beberapa hari

pertama terapi dan memiliki toleransi yang cepat yaitu sekitar 2-3 bulan.

Bahaya utama dari hipotensi ortostatik adalah adanya kemungkinan pasien

terjatuh, pingsan, dan mencederai dirinya.

8

Page 9: PSIKIATRI REFRAT

Jika menggunakan antipsikotik potensi rendah intramuscular (IM),

tekanan darah pasien harus diperiksa sebelum dan setelah pemberian dosis

pertama dalam beberapa hari pertama terapi. Bila diperlukan edukasi tentang

efek kemungkinan terjatuh dan pingsan akan sangat membantu pasien

sehingga pasien akan lebih berhati-hati. Bila hipotensi terjadi pada pasien

yang mendapatkan medikasi, gejala biasanya dapat ditangani dengan

membaringkan pasien dengan kaki lebih tinggi dibandingkan kepala. Ekspansi

volume dengan cairan sangat membantu. Pemberian epinefrin

dikontraindikasikan karena dapat memperburuk hipotensi. Metaraminol dan

norepinefrin sebagai agen pressor adrenergic α-1 murni adalah obat terpilih.

Untuk antipsikosis dosis dapat diturunkan atau diganti dengan obat yang tidak

menghambat adrenergic.

3. Efek hematologis

Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat

pemakaian antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada

hamper semua antipsikotik adalah agranulositosis. Agranulositosis adalah

suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan bermakna jumlah

granulosit yang beredar, neutropeni berat yang menimbulkan lesi-lesi di

tenggorokan, selaput lendir lain, saluran cerna dan kulit. Pada kebanyakan

kasus, gejala ini disebabkan oleh sensitasi terhadap obat-obatan, zat kimia,

radiasi yang mempengaruhi sumsum tulang dan menekan granulopoiesis.

Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan pertama terapi

dengan insidensi sekitar 5 dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik.

Jika pasien melaporkan adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam, hitung

9

Page 10: PSIKIATRI REFRAT

darah lengkap harus segera dilakukan untuk memeriksa kemungkinan

terjadinya agranulositosis. Jika indeks darah rendah, antipsikotik harus segera

dihentikan. Angka mortalitas dari komplikasi setinggi 30%. Purpura

trombositopenia, anemia hemolitik, atau pansitopenia kadang-kadang dapat

terjadi pada pasien yang diobati dengan antipsikotik.

4. Efek Antikolinergik Perifer

Efek kolinergik perifer sangat serimg ditemukan, terdiri dari mulut

dan hidung kering, hidung tersumbat, pandangan kabur, konstipasi, retensi

urin, dan midriasis. Beberapa pasien juga mengalami mual dan muntah. Obat

antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine, dan trifluoperazine

adalah antikolinergik yang poten.

Mulut kering merupakan efek yang mengganggu beberapa pasien dan

dapat mempengaruhi kepatuhan terapi. Pasien dapat dianjurkan sering

membilas mulutnya dengan air dan tidak mengunyah permen karet atau

permen yang mengandung gula, karena hal tersebut dapat menyebabkan

infeksi jamur pada mulut dan peningkatan insidensi karies gigi. Konstipasi

harus diobati dengan perbanyak olahraga, cairan, diet tinggi serat, serta

preparat laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang menjadi

ileus paralitik. Pada kasus tersebut diperlukan penurunan dosis atau

penggantian dengan obat yang kurang antikolinergik. Pilocarpine mungkin

berguna pada beberapa pasien dengan retensi urin.

5. Efek Endokrin

Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular

menyebabkan peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan

10

Page 11: PSIKIATRI REFRAT

pembesaran payudara, galaktorea, impotensi pada laki-laki, dan amenore serta

penghambatan orgasme pada wanita. Untuk mengatasi efek samping tersebut

dapat dilakukan penggantian obat antipsikotik yang diberikan. Pada keadaan

impotensi sebagai efek obat dapat diberikan bromokriptin. Untuk gangguan

pada orgasme maupun penurunan libido dapat diberikan brompheniramine

(bromfed), ephedrine (Primatene), phenylpropanolamin (Comtrex), midrione,

dan imipramin (tofranil). Priapisme dan laporan orgasme yang nyeri juga

dilaporkan, kemungkinan kedua hal tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis

adrenergic α1. Peningkatan berat badan juga merupakan efek endokrin yang

paling sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal. Peningkatan berat

badan nantinya akan menjadi resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan

dislipidemia.

6. Efek Dermatologis

Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah

kecil pasien, paling sering terjadi pada mereka yang menggunakan

antipsikotik tipikal potensi rendah, khusunya chlorpromazine. Berbagai erupsi

kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki, dan erupsi edematous telah

dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam minggu pertama

dan menghilang dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang menyerupai

proses terbakar matahari (sunburn) yang parah juga terjadi pada beberapa

pasien yang menggunakan chlorpromazine. Pasien harus diperingatkan

tentang efek tersebut, yaitu agar tidak berada dibawah sinar matahari lebih

dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir surya. Penggunaan

11

Page 12: PSIKIATRI REFRAT

chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit

pada daerah yang terpapar dengan sinar matahari.

7. Efek pada Mata

Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila

diberikan dalam dosis lebih besar dari 800 mg sehari. Gejala awal dari efek

tersebut kadang-kadang berupa kebingungan nocturnal yang berhubungan

dengan kesulitan penglihatan malam. Pigmentasi dapat berkembang menjadi

kebutaan walaupun thioridazine dihentikan karena tidak bersifat reversible.

Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif

ringan, ditandai oleh deposit granular coklat keputihan yang terpusat di lensa

anterior dan kornea posterior yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3

kg chlorpromazine selama hidupnya. Deposit dapat berkembang menjadi

granula putih opak dan coklat kekuningan. Keadaan ini hampir tidak

mempengaruhi penglihatan pasien.

8. Ikterus

Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang

relative jarang terjadi dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus

muncul pada bulan pertama terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian

atas, mual, muntah, gejala mirip flu, demam, ruam, bilirubin pada urin dan

peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan transaminase hati. Jika

ikterus terjadi, maka terapi harus diberhentikan dan diganti. Ikterus dilaporkan

terjadi pada penggunaan promazine, thioridazine, dan sangat jarang terjadi

pada fluphenazine dan trifluoperazine.

9. Overdosis Antipsikotik

12

Page 13: PSIKIATRI REFRAT

Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala ekstrapiramidal, midriasis,

penurunan reflex tendon dalam, takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis

yang parah adalah delirium, koma, depresi pernapasan, dan kejang. Terapi

overdosis antipsikotik harus termasuk pemakaian arang aktif (activated

charcoal), jika memungkinkan lavage lambung dapat dipertimbangkan. Terapi

kejang dengan diazepam serta hipotensi dengan norepinefrin juga merupakan

terapi overdosis antipsikotik atipikal.

B. Efek Samping Neurologis

Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang

mengganggu dan beberapa efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius.

Efek neurologis tersebut dikenal sebagai efek sindrom ekstrapiramidal.

Pentingnya mengetahui efek samping neurologis akibat terapi dibuktikan pada

DSM-IV yang memasukkan efek samping tersebut sebagai kelompok

tersendiri gangguan pergerakan akibat medikasi.

1. Parkinsonisme akibat Neuroleptik

Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 % pasien

yang diobati dengan antipsikotik tipikal. Biasanya terjadi dalam 5-90 hari

setelah awal terapi. Gejala-gejala yang timbul berupa kekakuan otot atau

rigiditas pipa besi (lead-pipe rigidity), rigiditas gigi gergaji (cog-wheel

rigidity), gaya berjalan menyeret, postur membungkuk dan air liur menetes.

Tremor menggulung pil (pill-rolling) pada parkinsonisme idopatik jarang

terjadi, tetapi tremor yang teratur dan kasar yang serupa dengan tremor

esensial mungkin ditemukan dan dinamakan sebagai tremor ppostural akibat

13

Page 14: PSIKIATRI REFRAT

medikasi dalam DSM-IV. Suatu tanda fisik parkinsonisme adalah reflek

ketukan glabela yang positif yang ditimbulkan dengan mengetuk dahi antara

alis mata. Dikatakan reflek positif bila orbikularis okuli tidak dapat

membiasakan diri dengan ketukan yang berulang. Wajah yang mirip topeng,

bradikinesia, akinesia (tidak ada inisitatif), dan ataraksia (kebingungan

terhadap lingkungan) merupakan gejala parkinsonisme yang sering

didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala negative atau deficit pada

skizofrenia.

Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme

akibat neuroleptik adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun

jarang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat

menyebabkan gejala parkinsonisme, khususnya obat potensi tinggi dengan

aktivitas antikolinergik yang rendah. Kemungkinan chlorpromazine dan

thioridazine kemungkinan tidak terlibat. Penghambatan transmisi

dopaminergik dalam traktus nigrostriatal adalah penyebab dari parkinsonisme

akibat neuroleptik.

Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian

obat antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine. Antikolinergik harus

dihentikan setelah 4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah

mengembangkan suatu toleransi terhadap efek parkinsonisme sebab kira-kira

50% pasien dengan parkinsonisme akibat neuroleptik dapat meneruskan

terapi.

Pada pasien lanjut usia, setelah antipsikotik dihentikan, gejala

parkinsonisme dapat terus berjalan sampai 2 minggu dan bahkan sampai 3

14

Page 15: PSIKIATRI REFRAT

bulan sehingga perlu meneruskan pemberian antikolinergik setelah

menghentikan antipsikotik sampai gejala parkinsonisme pulih sepenuhnya.

2. Distonia Akut akibat Neuroleptik

Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi

antipsikotik tipikal mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi

dalam beberapa jam atau hari pertama terapi. Gerakan distonia disebabkan

oleh kontraksi atau spasme otot yang perlahan dan terus-menerus yang dapat

menyebabkan gerakan involunter. Distonia dapat mengenai leher (tortikolis

atau retrokolis spasmodik), rahang (pembukaan paksa yang menyebabkan

dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan keseluruhan

tubuh (opistotonus). Terkenanya mata dapat menyebabkan krisis okulorigik,

ditandai oleh gerakan mata yang ke lateral atas. Tidak seperti tipe distonia

lainnya, krisis okulorigik dapat terjadi secara lambat dalam terapi. Distonia

lain berupa blefarospasme dan distonia glosofaringeal menyebabkan diartria,

disfagia, dan kesulitan bernapas yang dapat menyebabkan sianosis.

Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin

tetapi paling sering terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada

semua antipsikotik dan paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi

tinggi IM. Mekanisme kerja diperkirakan merupakan suatu hiperaktivitas

dopaminergik di ganglia basalis yang terjadi jika kadar antipsikotik dalam SSP

mulai menurun diantara pemberian dosis.

Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang berhubungan

biasanya mencegah berkembangnya distonia, walaupun risiko terapi

profilaksis melebihi manfaatnya. Terapi dengan antikolinergik IM atau

15

Page 16: PSIKIATRI REFRAT

diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hamper selalu menghilangkan gejala.

Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine sodium benzoate dan

hipnosis dilaporkan juga efektif.

3. Sindrom Neuroleptik Maligna

Sindrom neuroleptik maligna adalah komplikasi yang membahayakan

yang dapat terjadi setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik. Gejala

motorik dan perilaku adalah rigiditas otot dan distonia, akinesia, mutisme,

obtundasi, dan agitasi. Gejala otonomik adalah hiperpireksia, berkeringat dan

peningkatan kecepatan denyut nadi dan tekanan darah. Temuan laboratorium

adalah peningkatan hitung sel darah putih, kreatinin fosfokinase, enzim hati,

mioglobin plasma, dan mioglobinuria, kadang-kadang disertai dengan gagal

ginjal.

4. Efek Epileptogenik

Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan

peningkatan sinkronisasi EEG. Efek tersebut merupakan mekanisme dimana

antipsikotik menurunkan ambang kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik

potensi rendah lain diperkirakan lebih epileptogenik dibandingkan obat

potensi tinggi.

5. Sedasi

Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor

dopamine tipe-1. Chlorpromazine adalah antipsikotik yang paling

menimbulkan sedasi. Memberikan dosis antipsikotik harian sebelum tidur

biasanya menghilangkan masalah dari sedasi, dan toleransi untuk efek

merugikan tersebut dapat terjadi.

16

Page 17: PSIKIATRI REFRAT

6. Efek Antikolinergik Sentral

Gejala aktivasi antikolinergik sentral adalah agitasi parah; disorientasi

terhadap waktu, orang dan tempat; halusinasi; kejang; demam tinggi; dilatasi

pupil. Stupor dan koma dapat timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah

pertama menghentikan obat penyebab dan pemberian physostigmine

(antilirium, Eserine) 2 mg malalui infuse IV lambat, diulangi dalam satu jam

seperlunya. Terlalu banyak physostigmine juga membahayakan. Gejala

toksisitas physostigmine adalah hipersalivasi dan berkeringat. Atropin sulfat

(0,5 mg) dapat membalikkan physostigmine.

B. OBAT ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL

1. DEFINISI

Antipsikotik Atipikal (AAP), yang juga dikenal sebagai antipsikotik

generasi kedua, adalah kelompok obat penenang antipsikotik digunakan untuk

mengobati kondisi jiwa. Beberapa antipsikotik atipikal yang disetujui FDA untuk

digunakan dalam pengobatan skizofrenia. Beberapa disetujui FDA untuk indikasi

mania akut, depresi bipolar, agitasi psikotik, pemeliharaan bipolar, dan indikasi

lainnya. Kedua generasi obat cenderung untuk memblokir reseptor dalam jalur

dopamin otak, tetapi antipsikotik atipikal berbeda dari antipsikotik tipikal karena

cenderung dapat menyebabkan gangguan ekstrapiramidal pada pasien, yang

meliputi penyakit gerakan parkinsonisme, kekakuan tubuh dan tremor tak

terkontrol. Gerakan-gerakan tubuh yang abnormal bisa menjadi permanen obat

bahkan setelah antipsikotik dihentikan.

2. JENIS-JENIS OBAT ATIPIKAL

17

Page 18: PSIKIATRI REFRAT

Berikut ini adalah antipsikotik atipikal :

• Amisulpride

• Aripiprazole

• Asenapine

• Blonanserin

• Clotiapine

• Clozapine

• Iloperidone

• Mosapramine

• Olanzapine

• Paliperidone

• Perospirone

• Quepin

• Quetiapine

• Remoxipride

• Risperidone

• Sertindole

• Sulpiride

• Ziprasidone

• Zotepine

3. FARMAKOLOGI ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL

Mekanisme kerja dari antipsikotik atipikal sangat berbeda tiap obatnya.

Antipsikotik mengikat reseptor secara bervariasi, sehingga antipsikotik hanya

memiliki kesamaan efek anti-psikotik, efek sampingnya sangat bervariasi. Tidak

18

Page 19: PSIKIATRI REFRAT

jelas mekanisme di belakang aksi antipsikotik atipikal. Semua antipsikotik bekerja

pada sistem dopamin tapi semua bervariasi dalam hal afinitas ke reseptor

dopamin.

Ada 5 jenis reseptor dopamin pada manusia. Kelompok "D1-like"

contohnya tipe 1 dan 5, mirip dalam struktur dan sensitivitas obat. Kelompok "D2-

like" termasuk reseptor dopamin 2, 3 dan 4 dan memiliki struktur yang sangat

serupa tetapi sensitivitas sangat berbeda. reseptor "D1-like" telah ditemukan

bahwa tidak secara klinis relevan dalam tindakan terapeutik.

Jika reseptor D1 merupakan komponen penting dari mekanisme AAP,

memblokir reseptor D1 hanya akan meningkatkan gejala psikiatri yang tampak.

Jika reseptor D1 mengikat komponen penting dari antipsikotik, reseptor D1 perlu

ada dalam pemeliharaan dosis. Ini tidak terlihat. D-1 tidak ada atau mungkin ada

dalam jumlah rendah atau dapat diabaikan, bahkan tidak mempertahankan

penghapusan gejala yang terlihat.

Kelompok reseptor dopamin "D2-like" diklasifikasikan berdasarkan

strukturnya, bukan berdasarkan sensitivitas obat. Telah ditunjukkan bahwa

blokade reseptor D2 diperlukan untuk tindakan. Semua antipsikotik mengeblok

reseptor D2 sampai taraf tertentu, tetapi afinitas antipsikotik bervariasi antar obat.

Afinitas yang bervariasi menyebabkan perubahan pada efektivitas.

Satu teori bagaimana antipsikotik atipikal bekerja adalah teori "cepat-off".

AAP memiliki afinitas rendah untuk reseptor D2 dan hanya mengikat pada

reseptor secara longgar dan cepat dilepaskan. AAP secara cepat mengikat dan

memisahkan dirinya pada reseptor D2 untuk memungkinkan transmisi dopamin

19

Page 20: PSIKIATRI REFRAT

normal. Mekanisme pengikat sementara ini membuat tingkat prolaktin normal,

kognisi tidak terpengaruh, dan menyingkirkan EPS.

Dari sudut pandang historis telah ada penelitian terhadap peran serotonin

dan pengobatan dengan menggunakan antipsikotik. Pengalaman dengan LSD

menunjukkan bahwa blokade reseptor 5-HT2A mungkin merupakan cara yang

menjanjikan untuk mengobati skizofrenia.Satu masalah dengan hal ini adalah

kenyataan bahwa gejala psikotik yang disebabkan oleh agonis reseptor 5-HT2

berbeda secara substansial dari gejala-gejala psikosis skizofrenia. Salah satu

faktor yang menjanjikan ini adalah tempat reseptor 5-HT2A terletak di otak.

Mereka terlokalisasi pada sel-sel hipokampus dan korteks piramidal dan memiliki

kepadatan yang tinggi di lapisan neokorteks lima, tempat masukan dari berbagai

daerah otak kortikal dan subkortikal terintegrasi.

Pemblokiran reseptor area ini menarik mengingat daerah-daerah di otak

yang menarik dalam pengembangan skizofrenia.Bukti menunjukkan fakta bahwa

serotonin tidak cukup untuk menghasilkan efek antipsikotik tetapi aktivitas

serotonergik dalam kombinasinya dengan blokade reseptor D2 mungkin untuk

menghasilkan efek antipsikotik. Terlepas dari neurotransmiter, AAP memiliki

efek pada obat-obatan antipsikotik muncul untuk bekerja dengan menginduksi

restrukturisasi jaringan saraf. Mereka mampu mendorong perubahan-perubahan

struktur.

APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA)

atau antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi

anatar serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang

menyebabkan efek samping EPS lebih rendah dan sangat efektif untuk mengatasi

20

Page 21: PSIKIATRI REFRAT

gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat

memblok reseptor D2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor

serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG II yang dikenal saat ini adalah

clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole.

Saat ini antipsikotik ziprasidone belum tersedia di Indonesia.

Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways:

1. Mesokortikal Pathways

Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade

terhadap antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin

pathways sehingga terjadi keseimbangan antara serotonin dan dopamin.

APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT2A dengan

demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yang dilepas

menang dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini

menyebabkan berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan

dopamin di jalur mesokortikal dan gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.

APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan

APG I karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak

dari reseptor D2, dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor

5HT2A dan sedikti memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas

jumlahnya lebih banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal

berkurang sehingga menyebabkan perbaikan gejala negatif skizofrenia.

2. Mesolimbik Pathways

APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan

antagonis D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat

21

Page 22: PSIKIATRI REFRAT

mempengaruhi blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade

reseptor D2 menang. Hal ini yang menyebabkan APG II dapat memperbaiki

gejala positif. Pada keadaan normal serotonin akan menghambat pelepasan

dari dopamin.

3. Tuberoinfundibular Pathways

APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat

mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter

serotonin dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol

sekresi prolaktin dari hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan

prolaktin, sedangkan serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian

APG II dalam dosis terapi akan menghambat reseptor 5HT2A sehingga

menyebabkan pelepasan dopamin menigkat. Ini mengakibatkan pelepasan

prolaktin menurun sehingga tidak terjadi hiperprolaktinemia.

4. Nigrostriatal Pathways

Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi

jalur nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok,

akan terjadi kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut

extrapyramidal reaction (EPR). Gejala yang terjadi antara lain akhatisia,

dystonia (terutama pada wajah dan leher), rigiditas, dan akinesia atau

bradikinesia.

APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu: 4

1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya

pada dosis terapi sangat jarang terjadi EPS.

22

Page 23: PSIKIATRI REFRAT

2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak

memperburuk gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG I.

3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan

untuk pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.

4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit

Alzheimer.

3.1. CLOZAPINE

Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan

timbulnya EPS, tidak menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi

peningkatan dari prolaktin. Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang

telah resisten dengan obat antipsikotik lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal

bila dibandingkan dengan antipsikotik lain. Dibandingkan terhadap psikotropik

yang lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik rendah, tetapi dapat

mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-mesokortikal otak,

yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang

berbeda dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (daerah gerak) dan

tuberoinfundibular (daerah neruendokrin).

Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan

skizofrenia baik yang positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest

dan incompetence, personal neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu

2 minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya.

Obat ini berguna untuk pasien yang refrakter dan terganggu berat selama

pengobatan. Selain itu, karena resiko efek samping EPS yang sangat rendah, obat

23

Page 24: PSIKIATRI REFRAT

ini cocok untuk pasien yang menunjukkan gejala EPS yang berat bila diberikan

antipsikosis yang lain. Namun, karena clozapin memiliki efek resiko

agranulositosis yang lebih tinggi dibandingkan antipsikosis yag lain, maka

pengunaannya di batasi hanya pada pasien yang resisten atau tidak dapat

mentoleransi antipsikosis lain. Pasien yang diberi clozapine perlu di pantau sel

darah putihnya setiap minggu.

Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna

pada pemberian per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 1,6 jam

setelah pemberian obat. Clozapine secara ekstensif diikat protein plasma (>95%),

obat ini di metabolisme hampir sempurna sebelum dieksresi lewat urin dan tinja

(30% melaui kantong empedu dan 50% melaui urine), dengan waktu paruh rata-

rata 11,8 jam sehingga pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam sehari. 6 Distribusi

dari clozapine dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih rendah. Umunya

afinitas dari clozapine rendah pada reseptor D2 dan tinggi pada reseptor 5HT2A

sehingga cenderung rendah untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS.

Pada reseptor D4 afinitasnya lebig tinggi 10 kali lipat dibandingkan antipsikotik

lainnya, dimana reseptor D4 terdapat pada daerah korteks dan sedikit pada daerah

striatal. Hal ini lah yang membedakan clozapine dengan APG I.

Dosis :

- Hari 1 : 1 – 2 x 12,5 mg.

- Berikutnya ditingkatkan 25 – 50 mg / hari sp 300 – 450 mg / hari dengan

pemberian terbagi.

- Dosis maksimal 600 mg / hari.

- Sediaan yang ada di pasaran tablet 25 mg dan 100 mg

24

Page 25: PSIKIATRI REFRAT

Efek samping

1. Agranulositosis

Risiko agranulositosis akibat pemberian klozapin sebesar 0,73% pada

tahun pertama pengobatan, dan menjadi 0,07% pada tahun ke-2. Risiko ini

[aling besar pada 3 bulan pertama pengobatan. Pada pasien dengan

agranulositosis karena klozapin, ditemukan hasil laboratorium berupa

jumlah netrofil absolut<500sel/mm2 atau leukosit <1000 sel/mm2.

2. Sialorrhea

Pasien dengan efek samping sialorrhea akan mengalami hipersalivasi pada

saat tidur. Efek samping ini hanya berlangsung saat awal pengobatan.

3. Sistem kardiovaskular

Efek samping kardiovaskular pada pemberian klozapin yang paling sering

adalah takikardia, hipotensi postural dan aritmia. Takikardia kemingkinan

disebabkan karena efek vagolitik dari klozapin. Klozapin dapat

menyebabkan perubahan pada gambaran EKG, berupa pemanjangan QT

interval yang dapat mengakibatkan aritmia ventrikular. Posturalhipotensi

terjadi ketika dosis pemberian klozapin > 75mg/hari.

4. Efek samping perifer antikolinergik

Efek samping perifer antikolinergik pada pemberian klozapin berupa:

mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, dan retensi urin.

5. Gangguan pengaturan temperatur tubuh

Hipertermia terjadi pada awal pengobatan. Namun, perlu dievaluasi untuk

keberadaan penyebab hipertermia lainnya, seperti infeksi, heat stroke,

dehidrasi, dan lain-lain.

25

Page 26: PSIKIATRI REFRAT

6. Peningkatan berat badan

Penihnngkatan berat badan terjadi sebanyak 4,45 kg dalam 10 minggu.

Menurut penelitian, berat badan pasienakan terus naik dalam jangka waktu

5 tahun.

7. Diabetes mellitus

Peningkatan berat badan dapat memicu terjadinya resistensi insulin.

Akibatnya, risiko diabetes mellitus tipe 2 akan meningkat. Kasus diabets

biasanya muncul setelah 6 bulan terapi klozapin.

8. Gangguan gastrointestinal

Konstipasi kemungkinan terjadi karena efek antimuskarinik klozapin dan

dapat berujung pada obstruksi saluran cerna.

9. Efek pada urogenital

Efek samping urogenital akibat pemberian klozapin berupa gangguan

berkemih.

10. Efek ekstrapiramidal

Efek samping ekstrapiramidal klozapin merupakan yang paling rendah di

antara antipsikotik lainnya. Akatisia sebanyak 6%, tremor 6%, rigiditas

5%. Tidak ditemukan adanya distonia akut dan diskinesia tardif.

11. Sindrom neuroleptik maligna

Sindrom ini hanya muncul ketika klozapin dikombinasikan dengan litium.

Karena efek samping klozapin mirip dengan sindrom ini, tenaga medik

perlu waspada munculnya sindrom ini di tengah pengobatan dengan

klozapin.

12. Kejang

26

Page 27: PSIKIATRI REFRAT

klozapin menurunkan ambang batas kejang dan meningkatkan risikonya

seiring dengan meningkatnya dosis.

Kontra indikasi :

- Ada riwayat toksik/hipersensitif.

- Gangguan fungsi Sumsum tulang.

- Epilepsi yang tidak terkontrol.

- Psikosis alkoholik dan psikosis toksik lainnya.

- Intoksikasi obat.

- Koma.

- Kollaps sirkulasi.

- Depresi SSP.

- Ganguan jantung dan ginjal berat.

- Gangguan liver.

3.2. RISPERIDONE

Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA

(Food and Drug Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Rumus

kimianya adalah benzisoxazole derivative. Absorpsi risperidone di usus tidak di

pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya terjadi dalam dosis rendah, pada

dosis tinggi dapat terjadi EPS. Pemakaian risperidone yang teratur dapat

mencegah terjadinya kekambuhan dan menurunkan jumlah dan lama perawatan

sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan. Pemakaian riperidone masih

diizinkan dalam dosis sedang, setelah pemberian APG I dengan dosis yang kecil

27

Page 28: PSIKIATRI REFRAT

dihentikan, misalnya pada pasien usia lanjut dengan psikosis, agitasi, gangguan

perilaku yang di hubungkan dengan demensia.

Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim CYP

2D6 menjadi 9-hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim CYP 3A4.

Hydroxyrisperidone mempunyai potensi afinitas terhadap reseptor dopamin yang

setara dengan risperidone. Eksresi terutama melalui urin. Metabolisme risperiodne

dihambat oleh antidepresan fluoxetine dan paroxetine, karena antidepresan ini

menghambat kerja dari enzim CYP 2D6 dan CYP 3A4 sehingga pada pemberian

bersama antidepresan ini, maka dosis risperidone harus dikurangi untuk

meminimalkan timbulnya efek samping dan toksik. Metabolisme obat ini

dipercepat bila diberikan bersamaan carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4

sehingga perlu peningkatan dosis risperidone pada pemberiaan bersama

carbamazepin disebabkan konsentrasi risperidone di dalam plasma rendah.

Indikasi :

- Skizofrenia akut dan kronik dengan gejala positif dan negatif.

- Gejala afektif pada skizofrenia (skizoafektif).

Dosis :

- Hari 1 : 1 mg, hari 2 : 2mg, hari 3 : 3 mg.

- Dosis optimal - 4 mg / hari dengan 2 x pemberian.

- Pada orang tua, gangguan liver atau ginjal dimulai dengan 0,5 mg,

ditingkatkan sp 1 – 2 mg dengan 2 x pemberian.

- Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal,

jika belum terlihat respon perlu penilaian ulang.

- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral.

28

Page 29: PSIKIATRI REFRAT

Efek samping

1. Efek ekstrapiramidal bergantung dosis

efek ekstrapiramidal pada risperidon bergantung pada dosisnya. Dosis

batas aman risperidon dari efek samping ekstrapiramidal adalah 6 mg/hari.

Namun, terkadang dengan rentang dosis 4 mg – 16 mg/hari masih muncul

akatisia. Dosis terbaik untuk mencegah munculnya efek samping ini

adalah 2 – 4 mg.

2. Peningkatan prolactin plasma

karena risperidon memiliki affinitas yang lumayan kuat terhadap reseptor

D2, salah satu efek yang muncul adalah hiperprolaktinemia, yang dapat

berujung pada galaktorrhea, gangguan menstruasi pada perempuan dan

disfungsi seksual pada laki-laki.

3. Sindrom neuroleptik maligna

risperidon dapat menginduksi munculnya sindrom neuroleptik maligna,

tetapi dengan risiko yang rendah.

3.3. OLANZAPINE

Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam golongan

dibenobenzodiazepine. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Plasma puncak

olanzapine dicapai dalam waktu 5-6 jam setalah pemberian oral, sedangkan pada

pemberian intramuskular dapat dicapai setelah 15-45 menit dengn waktu paruh 30

jam (antara 21-54 jam) sehingga pemberian cukup 1 kali sehari.

Olanzapine merupakan antagonis monoaminergik selektif yang

mempunyai afinitas yang kuat terhadap reseptor dopamin (D1-D4), serotonin

(5HT2A/2c), Histamin (H1) dan α1 adrenergik. Afinitas sedang dengan reseptor

29

Page 30: PSIKIATRI REFRAT

kolinergik muskarinik (M1-5) dan serotonin (5HT3). Berikatan lemah dengan

reseptor GABAA, benzodiazepin dan β-adrenergik. Metabolisme olanzapine di

sitokrom P450 CYP 1A2 dan 2D6. Metabolisme akan meningkat pada penderita

yang merokok dan menurun bila diberikan bersama dengan antidepresan

fluvoxamine atau antibiotik ciprofloxacin. Afinitas lemah pada sitokrom P450 hati

sehingga pengaruhnya terhadap metabolisme obat lain rendah dan pengaruh obat

lain minimal terhadap konsentrasi olanzapine.

Eliminasi waktu paruh dari olanzapine memanjang pada penderita usia

lanjut. Cleareance 30% lebih rendah pada wanita dibanding pria, hal ini

menyebabkan terjadinya perbedaan efektivitas dan efek samping antara wanita

dan pria. Sehingga perlu modifikasi dosis yang lebih rendah pada wanita.

Cleareance olanzapine meningkat sekitar 40% pada perokok dibandingkan yang

tidak merokok, sehingga perlu penyesuaian dosis yang lebih tinggi pada penderita

yang merokok.

Indikasi :

- Sizofrenia atau psikosis lain dengan gejala positive dan negatif.

- Episode manik moderat dan severe.

- Pencegahan kekambuhan gangguan bipolar.

-

Dosis :

- Untuk skizofrenia mulai dengan dosis 10 mg 1 x sehari.

- Untuk episode manik mulai dengan dosis 15 mg 1 x sehari.

- Untuk pecegahan kekambuhan gangguan bipolar 10 mg / hari.

Efek samping

30

Page 31: PSIKIATRI REFRAT

1. Peningkatan berat badan

Olanzapin meningkatkan berat badan dan kadar trigliserid serum pada

dosis 2,8 mg/hari. Penggunaan olanzapin berhubungan dengan penngkatan

5 kali lipat risiko munculnya hiperlipidemia.

2. Diabetes mellitus

Hiperglikemia dan diabetes mellitus berhubunagn dengan efek samping

potensial penggunaan olanzapine. Pada studi, terdapat 237 pasien yang

mengalami hiperglikemia dan diabetes terkait olanzapin. Ketika pemberian

olanzapin dihentikan, 78% pasein mencapai kontrol glikemik yang baik.

Di Jepang, olanzapine dikontraindikasikan bagi pasien dengan riwayat

diabetes.

3.4. QUETIAPINE

Struktur kimia yang mirip dengan clozapine, masuk dalam kelompok

dibenzodiazepine derivates. Absorpsinya berlangsung cepat setelah pemberian

oral, konsentrasi plasma puncak dicapai dalam waktu 1,5 jam setelah pemberian.

Metabolisme terjadi di hati, pada jalur sulfoxidation dan oksidasi menjadi

metabolit tidak aktif dan waktu paruhnya 6 jam.

Quetiapine merupakan antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan 5HT2A),

reseptor dopamin (D1 dan D2), reseptor histamin (H1), reseptor adrenergik α1 dan

α2. Afinitasnya lemah pada reseptor muskarinik (M1) dan reseptor benzodiazepin.

Cleareance quetiapine menurun 40% pada penderita usia lanjut, sehinga perlu

penyesuaian dosis yang lebih rendah dan menurun 30% pada penderita yang

mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance quetiapine meningkat apabila

31

Page 32: PSIKIATRI REFRAT

pemberiannya dilakukan bersamaan dengan antiepileptik fenitoin, barbiturat,

carbamazepin dan antijamur ketokonazole.

Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan

mood. Dapat juga memperbaiki pasien yang resisten dengan antipsikotik generasi

pertama tetapi hasilnya tidak sebaik apabila di terapi dengan clozapine. Pemberian

pada pasien pertama kali mendapat quetiapine perlu dilakukan titrasi dosis untuk

mencegah terjadinya sinkope dan hipotensi postural. Dimulai dengan dosis 50 mg

per hari selama 4 hari, kemudian dinaikkan menjadi 100 mg selama 4 ahri,

kemudian dinaikkan lagi menjadi 300 mg. Sete;ah itu dicari dosis efektif antara

300-450 mg/hari.

Efek samping obat ini yang sering adalah somnolen, hipotensi postural,

pusing, peningkatan berat badan, takikardi, dan hipertensi.

3.5. ZIPRASIDONE

APG II dengan struktur kimia yang baru, obai ini belum tersedia di

Indonesia. Ziprasidone merupakan antipsikotik dengan efek antagonsis antara

reseptor 5HT2A dan D2. Berinteraksi juga denga reseptor 5HT2C, 5HT1D dan 5HT1A,

afinitasnya pada reseptor ini sama atau lebih besar dari afinitas pada reseptor D2.

Afinitas sedang pada reseptor histamin dan α1. Ziprasidone tidak bekerja pada

muskarinik (M1).

Ziprasidone juga antipsikotik yang mempunyai mekanisme kerja yang

unik karena menghambat pengambilan kembali (reuptake) neurotransmiter

serotonin dan norepineprine di sinaps. Obat ini efektif digunakan untuk gejala

negatif dan penderita yang refrakter dengan antipsikotik. Obat ini aman diberikan

pada penderita usia lanjut.

32

Page 33: PSIKIATRI REFRAT

Absorpsi ziprasidone akan meningkat dengan adanya makan, tetapi tidak

dipangruhi oleh usia, jenis kelamin, gangguan fungsi hati atau ginjal. Konsentrasi

plasma puncak dicapai dalam waktu 2-6 jam setelah pemberian oral dengan waktu

paruh obat rata-rata 5-10 jam, sehingga pemberiannya 2 kali sehari. Metabolsime

ziprasidone melalui hati, sebagian besar pada isoenzim CYP 3A4 dan sebagian

kecil di CYP 1A2. Mekanisme kerja farmakologik diperkirakan pro-serotonergik

dan pro-noradregenik sehingga di prediksi dapat bekerja sebagai antidepresan dan

ansiolitik. Efikasi dari ziprasidone terjadi pada dosis 80-160 mg/hari, untuk

pengobatan terhadap gejala positif, negatif, dan depresif pada pasien skizofrenia.

Dosis intial yang aman diberikan tanpa dosis titrasi adalah sebesar 40 mg

perhari. Pemberiannya akan semakin efektif bila bersamaan dengan makanan.

Dosis pemeliharaan berkisar antara 40-60 mg per hari.

Terjadinya efek samping EPS rendah dan tidak terjadi peningkatan kadar

prolaktin. Efek samping yang dijumpai selama uji klinis adalah somnolen (14%),

peningkatan berat badan (10%), gangguan pernafasan (8%), EPS (5%), dan

bercak-bercak merah di kulit (4%). Peningkatan berat badan sangat kecil atau

dapat dikatan tidak ada, karena bekerja sangat lemah pada reseptor AH1 walaupun

bekerja juga sebagai antagonis pada reseptor 5HT2c. Ziprasidone tidak

menyebabkan gangguan jantung.

3.6. ARIPIPRAZOLE

Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis

pada reseptor D2 dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor

serotonin 5HT2A. Aripiprazole bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya

menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama pada keadaan hiper atau hipo-

33

Page 34: PSIKIATRI REFRAT

dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya

lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter

dopamin dan berikatan dengan reseptor dopamin. Pada keadaan

hipodopaminergik maka aripiprazole dapat menggantikan peran neurotransmiter

dopamin dan akan berikatan dengan reseptro dopamin.

Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6

dan CYP 3A4, menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil metabolisme ini

mirip dengan aripiprazole pada reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari

keseluruhan aripiprazole. Waktu paruh berkisar antara 75-94 jam sehingga

pemberian cukup 1 kali sehari. Absorpsi aripiprazole mencapai konsentrasi

plasma ouncak dalam waktu 3-5 jam setelah pemberian oral. Aripiprazole

sebaiknya diberikan sesudah makan, terutama pada pasien yang mempunyai

keluhan dispepsia, mual dan muntah.

Indikasi :

- Skizofrenia.

Dosis :

- 10 atau 15 mg 1 x sehari.

Efek samping :

- Sakit kepala.

- Mual, muntah.

- Konstipasi.

- Ansietas, insomnia, somnolens.

- Akhatisia.

34

Page 35: PSIKIATRI REFRAT

4. EFEK SAMPING ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL

Efek samping yang dilaporkan terkait dengan berbagai antipsikotik

atipikal bervariasi dan spesifik pada masing-masing obat. Secara umum,

antipsikotik atipikal diharapkan memiliki kemungkinan lebih rendah untuk

terjadinya tardive dyskinesia daripada antipsikotik tipikal. Namun, tardive

dyskinesia biasanya berkembang setelah penggunaan antipsikotik jangka panjang

(mungkin beberapa dekade). Tidak jelas, kemudian, jika antipsikotik atipikal,

yang telah di gunakan untuk waktu yang relatif singkat, menghasilkan insiden

tardive dyskinesia yang lebih rendah. 

Akathisia lebih cenderung kurang intens dengan obat daripada antipsikotik

tipikal. Walaupun banyak pasien akan membantah klaim ini. Pada tahun 2004,

Komite untuk Keselamatan Obat-obatan (CSM) di Inggris mengeluarkan

peringatan bahwa olanzapine dan risperidone tidak boleh diberikan kepada pasien

lansia dengan demensia, karena peningkatan risiko stroke. Kadang-kadang

antipsikotik atipikal dapat menyebabkan perubahan abnormal pada pola tidur, dan

kelelahan ekstrim dan kelemahan.

Pada tahun 2006, USA Today mempublikasikan sebuah artikel tentang

efek obat antipsikotik pada anak-anak. Tak satu pun dari antipsikotik atipikal

(Clozaril, Risperdal, Zyprexa, Seroquel, Abilify, dan Geodon) telah disetujui

untuk anak-anak, dan ada sedikit penelitian tentang dampaknya pada anak-anak.

Dari 2000-2004, ada 45 kematian dilaporkan, di mana sebuah antipsikotik atipikal

tercatat sebagai tersangka utama. Ada juga 1.328 laporan efek samping yang

serius, dan kadang-kadang mengancam kehidupan. Ini termasuk tardive

dyskinesia  dan distonia.

35

Page 36: PSIKIATRI REFRAT

Beberapa efek samping lain yang telah diusulkan adalah bahwa

antipsikotik atipikal meningkatkan resiko penyakit jantung.Penelitian Kabinoff et

al mengatakan peningkatan penyakit kardiovaskular dilihat terlepas dari perlakuan

yang mereka terima, melainkan disebabkan oleh berbagai faktor seperti gaya

hidup atau diet .Efek samping seksual juga telah dilaporkan. Antipsikotik

mengurangi gairah seksual laki-laki, merusak performa seksual dengan kesulitan

utama berupa kegagalan untuk ejakulasi. Pada wanita mungkin ada siklus haid

normal dan infertilitas. Pada laki-laki dan perempuan mungkin payudara

membesar dan kadang-kadang akan mengeluarkan cairan dari puting.

EFEK SAMPING NEUROLOGIK OBAT NEUROLEPTIK

EFEKGAMBARAN

KLINIS

WAKTU

RESIKO

MAKSIMAL

MEKANISME PENGOBATAN

Distonia akut

Spasme otot

lidah, wajah,

leher,

punggung ;

dapat

menyerupai

bangkitan ;

bukan histeria

1-5 hariBelum

diketahui

Dapat diberikan

berbagai pengobatan,

obat anti Parkinson

bersifat diagnostik dan

kuratif

Akatisia

Ketidak-

tenangan,

motorik, bukan

ansietas atau

agitasi

5-60 hariBelum

diketahui

Kurangi dosis atau ganti

obat; obat anti

Parkinson,

benzodiazepin, atau

propanolol

Parkinsonisme Bradikinesia,

rigiditas,

macam-macam

5-30 hari Antagonisme

dengan

dopamin

Obat anti Parkinson

menolong

36

Page 37: PSIKIATRI REFRAT

tremor, wajah

topeng, suffling

gait

Sindroma

malignan

Katatonik,

stupor, demam,

tekanan darah

tidak stabil,

mioglobinemia,;

dapat fatal

Berminggu-

minggu,

dapat

bertahan

beberapa hari

setelah obat

dihentikan

Ada kontribusi

antagonisme

dengan

dopamin

Hentikan neuroleptik

segera; dantrolene atau

bromokriptin dapat

menolong; obat anti

Parkinson lainnya tidak

efektif

Tremor

perioral

(sindroma

kelinci)

Tremor perioral

(mungkin

sejenis

perkinsonisme

yang dating

terlambat)

pengobatan

Setelah

berbulan-

bulan atau

bertahun-

tahun

Belum

diketahui

Obat antiparkinson

sering menolong

Diskinesia

tardif

Diskinesia

mulut-wajah;

koreoatetosis

atau distonia

meluas

Setelah

berbulan-

bulan atau

bertahun-

tahun

(memburuk

dengan

penghentian)

Diduga :

kelebihan efek

dopamin

Sulit dicegah,

pengobatan tidak

memuaskan

SEDIAAN ANTIPSIKOSIS DAN DOSIS ANJURAN

No Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis

Anjuran

1 Chlorpromazine LARGACTIL Tab. 25 mg, 100 150-600

37

Page 38: PSIKIATRI REFRAT

PROMACTIL

MEPROSETIL

ETHIBERNAL

mg

Amp.25 mg/ml

mg/h

2 Haloperidol SERENACE

HALDOL

GOVOTIL

LODOMER

HALDOL DECA-

NOAS

Tab. 0,5 mg,

1,5&5 mg

Liq. 2 mg/ml

Amp. 5 mg/ml

Tab. 0,5 mg, 2 mg

Tab. 2 mg, 5 mg

Tab. 2 mg, 5 mg

Amp. 50 mg/ml

5-15 mg/h

50 mg / 2-4

minggu

3 Perphenazine TRILAFON Tab. 2 mg, 4&8

mg

12-24 mg/h

4 Fluphenazine

Fluphenazine-

decanoate

ANATENSOL

MODECATE

Tab. 2,5 mg, 5 mg

Vial 25 mg/ml

10-15 mg/h

25 mg / 2-4

minggu

5 Levomepromazine NOZINAN Tab.25 mg

Amp. 25 mg/ml

25-50 mg/h

6 Trifluoperazine STELAZINE Tab. 1 mg, 5 mg 10-15 mg/h

7 Thioridazine MELLERIL Tab. 50 mg, 100

mg

150-600

mg/h

8 Sulpiride DOGMATIL –

FORTE

Tab. 200 mg

Amp. 50 mg/ml

300-600

mg/h

38

Page 39: PSIKIATRI REFRAT

9 Pimozide ORAP FORTE Tab. 4 mg 2-4 mg/h

10 Risperidone RISPERDAL

NERIPROS

NOPRENIA

PERSIDAL-2

RIZODAL

Tab. 1,2,3 mg

Tab. 1,2,3 mg

Tab. 1,2,3 mg

Tab. 2 mg

Tab. 1,2,3 mg

Tab 2-6 mg/h

11 Clozapine CLOZARIL Tab. 25 mg, 100

mg

25-100 mg/h

12 Quetiapine SEROQUEL Tab. 25 mg, 100

mg, 200 mg

50-400 mg/h

13 Olanzapine ZYPREXA Tab. 5 mg, 10 mg 10-20 mg/h

BAB III

KESIMPULAN

Obat antipsikotik tipikal yang juga disebut obat neuroleptik atau mayor

transkuilizer merupakan golongan obat psikotropik yang bekerja menghambat

39

Page 40: PSIKIATRI REFRAT

reseptor dopamine tipe 2 (D2). Obat antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik

generasi pertama yang terdiri dari tiga golongan yaitu golongan fenotiazin

(chlorpromazine, trifluoperazine, fluphenazine, perphenazine), golongan

butyrophenone (haloperidol) dan golongan diphenyl-butyl-piperidine (pimozide).

Obat-obat antipsikotik tipikal bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine

di otak, dengan target untuk menurunkan gejala-gejala psikotik seperti halusinasi,

waham dan lain-lain. System dopamine yang terlibat yaitu system nigrostriatal,

sistem mesolimbokortikal, dan sistem tuberoinfundibuler. Karena kerja yang

spesifik ini maka dapat diperkirakan efek samping yang mungkin timbul bila

sistem-sistem tersebut mengalami hambatan yang berlebih. Bila hambatan pada

system nigrostriatal berlebihan maka akan terjadi gangguan terutama pada

aktivitas motorik, sedangkan system mesolimbokortikal mempengaruhi fungsi

kognitif, dan fungsi endokrin terganggu bila system tuberoinfundibuler terhambat

berlebihan.

Efek samping antipsikotik dapat dikelompokkan menjadi efek samping

neurologis dan nonneurologis. Efek samping neurologis berupa sindrom

parkinson, akatisia, distonia, sindrom neuroleptik maligna, tardive dyskinesia.

Sedangkan efek samping nonneurologis berupa efek pada kardiovaskuler,

hipotensi ortostatik, kematian mendadak, efek endokrinologi, efek dermatologi,

efek antikolinergik perifer dan sebagainya.

40

Page 41: PSIKIATRI REFRAT

DAFTAR PUSTAKA

1. Culpepper, L. (2007) A Roadmap to Key Pharmacologic Principles in

Using Antipsychotics, Primary Care Companion To The Journal of

Association of Medicine and Psychiatry 9(6) 444-454 Retrieved from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2139919/ 

41

Page 42: PSIKIATRI REFRAT

2. Farah A (2005). "Atypicality of atypical antipsychotics". Prim Care

Companion J Clin Psychiatry7 (6): 268–74. doi:10.4088/PCC.v07n0602.

PMID 16498489. PMC

1324958. http://www.psychiatrist.com/pcc/redirect/v07n06p268.htm 

3. Seeman P (February 2002). "Atypical antipsychotics: mechanism of

action". Can J Psychiatry47 (1): 27–38. PMID 11873706. 

4. Jones PB, Barnes TR, Davies L, et al. (2006). "Randomized controlled

trial of the effect on Quality of Life of second- vs first-generation

antipsychotic drugs in schizophrenia: Cost Utility of the Latest

Antipsychotic Drugs in Schizophrenia Study (CUtLASS 1)". Arch. Gen.

Psychiatry63 (10): 1079–87. doi:10.1001/archpsyc.63.10.1079. PMID

17015810. 

5. Horacek, J., Bubenikova-Valeova, V., Kopecek, M., Palenicek, T.,

Dockery, C., Mohr, P. & Höschl, C. (2006) Mechanism of Action of

Atypical Antipsychotic Drugs and the Neurobiology of Schizophrenia,

CNS Drugs 20(5) 389-405 Retrieved from Psychology and Behavioral

Sciences Collection database. 

6. McKim, W. (2007) Antipsychotics in Drugs and Behavior: An

Introduction to Behavioral Pharmacology (pp.241–260). Upper Saddle

River, NJ.: Pearson Prentice Hall 

7. Horacek, J., Bubenikova-Valeova, V., Kopecek, M., Palenicek, T.,

Dockery, C., Mohr, P. & Höschl, C. (2006) Mechanism of Action of

Atypical Antipsychotic Drugs and the Neurobiology of Schizophrenia,

42

Page 43: PSIKIATRI REFRAT

CNS Drugs 20(5) 389-405 Retrieved from Psychology and Behavioral

Sciences Collection database. 

8. McKim, W. (2007) Antipsychotics in Drugs and Behavior: An

Introduction to Behavioral Pharmacology (pp.241–260). Upper Saddle

River, NJ.: Pearson Prentice Hall 

43