ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN COURT OF ETHICS DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA (Suatu Kajian Kritis Terhadap Penegakan Etika Penyelenggaraan Pemilu Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) PENULISAN HUKUM OLEH : SYAM HADIJANTO NIM : 10.26.21.81.0064 UNIVERSITAS WIDYAGAMA FAKULTAS HUKUM MALANG 2013
87
Embed
Proyeksi Pembentukan Mahkamah Etika (Supreme Court Of Ethics)
Hukum dan Etika Dapat Di Ibaratkan Seperti 2 Sisi Mata Uang yakni Dapat Dibedakan Namun Tidak Dapat Dipisahkan Sehingga Dengan Merujuk Konsep Negara Hukum Pancasila Maka Disamping Penegakan Hukum JUga Terdapat penegakan etika secara terpisah
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN COURT OF ETHICS
DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
(Suatu Kajian Kritis Terhadap Penegakan Etika
Penyelenggaraan Pemilu Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
PENULISAN HUKUM
OLEH :
SYAM HADIJANTO
NIM : 10.26.21.81.0064
UNIVERSITAS WIDYAGAMA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2013
i
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN COURT OF ETHICS
DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
(Suatu Kajian Kritis Terhadap Penegakan Etika Penyelenggaraan Pemilu Oleh
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
PENULISAN HUKUM
Disusun untuk memenuhi sebagian syarat-syarat
dan tugas dalam mencapai gelar kesarjanaan
dalam bidang Ilmu Hukum
OLEH :
SYAM HADIJANTO
NIM : 10.26.21.81.0064
UNIVERSITAS WIDYAGAMA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2014
ii
LEMBAR PENGESAHAN
ISI DAN FORMAT PENULISAN HUKUM
Penulisan hukum yang dibuat oleh :
Nama : Syam Hadijanto
Nim : 10.26.21.81.0064
Konsentrasi : Hukum Tata Negara
Judul : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN
COURT OF ETHICS DALAM PENYELENGGARAAN
PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA. (Suatu Kajian
Kritis Terhadap Penegakan Etika Penyelenggaraan Pemilu
Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
Isi dan Formatnya telah disetujui dan disahkan
Malang, 23 Januari 2014
Mengesahkan, Menyetujui,
Ketua Bagian Hukum Ketatanegaraan Pembimbing
Dr. Fatkhurrohman. SH.MH Dr. Fatkhurrohman. SH.MH
NDP. 1993 218 NDP. 1993 218
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Dr.Fatkhurrohman. SH. MH
NDP. 1993 218
iii
MOTTO : MOTTO : MOTTO : MOTTO :
Hukum Bernilai Bukan karena Itu Adalah Hukum, Melainkan Karena Ada Kebaikan di Dalamnya. ((((Henry Ward BeecherHenry Ward BeecherHenry Ward BeecherHenry Ward Beecher))))
Kalian Boleh Maju Dalam Pelajaran Mungkin Mencapai Deretan Gelar Kesarjanaan Apa Saja,
Tapi Tanpa Mencintai Sastra, Kalian Hanya Tinggal Hewan Yang Pandai!!
(Pramoedya Ananta Toer)(Pramoedya Ananta Toer)(Pramoedya Ananta Toer)(Pramoedya Ananta Toer) Sajak Orang Sajak Orang Sajak Orang Sajak Orang MiskinMiskinMiskinMiskin Orang-orang miskin di jalan, yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan. Angin membawa bau baju mereka. Rambut mereka melekat di bulan purnama. Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala, mengandung buah jalan raya. Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. Tak bisa kamu abaikan. Bila kamu remehkan mereka, di jalan kamu akan diburu bayangan. Tidurmu akan penuh igauan, dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka. Jangan kamu bilang negara ini kaya karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau tertuju ke dada kita, atau ke dada mereka sendiri. O, kenangkanlah : orang-orang miskin juga berasal dari kemah Ibrahim.. (WS. RENDRA)(WS. RENDRA)(WS. RENDRA)(WS. RENDRA)
Skripsi ini Kupersembahkan Kepada
Kedua orang tuaku yang sangat kusayangi
Samsul Bahri & Sutimah Kahfiyati
Adikku yang tercinta
Annisa Tul Husnah
Semua keluargaku yang selalu mendukung dan memberikan motivasi
iv
ABSTRAK
Penelitian ini berangkat dari tingginya pelanggaran etika yang terjadi dalam
penyelenggaraan pemilu di Indonesia, sehingga perlu untuk dilakukan sebuah
pengkajian terhadap urgensi mendasar pelaksanaan court of ethics dalam
penyelenggaraan pemilu, agar dapat memperbaiki kualitas pemilu, dan
menciptakan sebuah konsep penegakan etika yang baku di Indonesia.
Untuk melakukan pengkajian tersebut, maka dalam penelitian ini
digunakan jenis penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan
statute approach, pendekatan conseptual approach, pendekatan case approach,
dan comparative approach. Untuk kemudian bahan hukum yang terkumpul
dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian ini ditemukan bahwa,
munculnya konsep penegakan etika dilaksanakan pada pemilu tahun 2009, yang
dilakukan oleh Dewan Kehormatan dan dibentuk secara ad hoc, barulah dengan
lahirnya UU No. 15 Tahun 2011 dibentuklah lembaga baru yakni DKPP yang
bersifat tetap dan berfungsi sebagai penegak etika, yang menjalankan mekanisme
quasi peradilan, kemudian mengenai kedudukan hukum dan etika, dapat
ditelusuri dari konsep negara hukum pancasila, yang bercirikan rule of
moral/rule of justice, sehingga memunculkan gejala diferensiasi antara hukum
dan etika dalam penegakannya. Hasil penelitian ini kemudian dianalisis dan
menghasilkan kesimpulan: (1) urgensi mendasar yang melatarbelakangi
pelaksanaan court of ethics dalam penyelenggaraan pemilu ialah pertama,
tingginya pelanggaran etika sehingga menegaskan persoalan ini harus segera
ditangani untuk memperbaiki kualitas pemilu, kedua, demokrasi dan sistem
hukum yang diterapkan di Indonesia yang bersumber dari pancasila,
mengkehendaki adanya kesatuan fungsional antara penegakan hukum dan etika,
karena antara hukum dan etika memiliki perbedaan dalam penegakannya, ketiga,
pelaksanaan court of ethics merupakan sebuah ius constituendum guna
membentuk sebuah konsep penegakan etika yang baku, karena dalam sistem
peradilan di Indonesia belum didukung dengan format penegakan etika (2)
hambatan dan kekurangan dalam pelaksanaan court of ethics dalam
penyelenggaraan pemilu, ialah pertama, faktor internal yang dipengaruhi oleh
political will dari legislator dan penguasa dalam melihat urgensi court of ethics
sebagai jawaban atas terjadinya dekadensi etika, kedua, faktor eksternal yang
dipengaruhi oleh minimnya partisipasi masyarakat dalam penegakan etika.
Mengingat permasalahan penegakan etika, khususnya pelaksanaan court of
ethics, sangatlah berpengaruh terhadap kualitas pemilu dan perbaikan etika
penyelenggara negara, maka diajukan rekomendasi untuk perlunya sebuah
rekonstruksi dan desentralisasi terhadap sistem peradilan, guna menjawab
munculnya diferensiasi structural, dengan memasukkan penegakan etika kedalam
sistem peradilan, serta perlunya merealisasikan gagasan pembentukan Mahkamah
Etika dalam penyelenggaraan negara, guna menegaskan konsep negara hukum
pancasila.
Kata Kunci : Etika, Court Of Ethics, Pemilu
v
KATA PENGATAR
Puji syukur kita persembahkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN COURT OF ETHICS
DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
(Suatu Kajian Kritis Terhadap Penegakan Etika Penyelenggaraan Pemilu oleh
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)” dengan baik dan lancar. Skripsi ini
merupakan tugas akhir untuk meraih gelar sarjana dibidang ilmu hukum pada
program sarjana ilmu hukum Universitas Widyagama Malang.
Dalam penulisan skripsi ini mulai dari persiapan sampai dengan tahap
penyelesaian senantiasa mengahadapi beberapa tantangan dan cobaan baik yang
berupa material maupun moril, namun itu semua dapat diatasi berkat ketabahan
dan kesabaran, restu dari orang tua dan tekad kuat untuk meraih gelar sarjana,
serta menganggap itu semua adalah ibadah dan juga didukung oleh bantuan
maupun petunjuk dari berbagai pihak yang tak bosan-bosannya membimbing dan
mengarahkan penulis. Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segala
kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya
kepada :
1. Tuhan Yang Maha yang telah menciptakan dan memberikan limpahan
nikmat-Nya kepada penulis.
2. Bapak Dr. Fatkhurrohman. SH. MH selaku Dekan Fakultas Hukum
Universias Widyagama Malang dan juga pembimbing penulis yang telah
vi
memberikan motivasi dan sumbangsih pemikiran kepada penulis dalam
menyelesaikan tugas akhir.
3. Bapak Prof. Ir. H. Iwan Nugroho. MS. Selaku Rektor Universitas
Widyagama Malang.
4. Bapak Dr. Sirajuddin. SH. MH selaku Wakil Dekan Fakultas Hukum
Universitas Widyagama Malang.
5. Bapak Zulkarnain. SH. MH selaku Kepala Program Studi Ilmu Hukum
6. Bapak Ibnu Subarkah. SH. M.Hum yang selalu bersedia meluangkan
waktunya untuk berdiskusi dengan penulis dan begitu banyak
memberikan saran dan masukan kepada penulis.
7. Bapak Dr. Lukman Hakim. SH. M.Hum yang telah bersedia memberikan
masukan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
8. Untuk semua dosen Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang
yang telah memberikan ilmu yang berarti kepada penulis.
9. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Widayagama
Malang.
10. Kedua orang tuaku yang amat kusayangi Bapak Samsul Bahri dan Ibu
Sutimah Kahfiyati dan adikku satu-satunya Annisa Tul Husnah, yang
selalu memperjuangkan penulis untuk tetap dapat menggapai pendidikan
tinggi.
vii
11. Kepada 2 orang teman kost penulis yang selalu menghibur dan
memberikan begitu banyak inspirasi, Aji Purnomo alias Botak dan Jefri
Pratama Putra alias Gigi, semoga kalian betah ya di kost!!!!.
12. Semua teman-teman seperjuangan angkatan 2010 di Fakultas Hukum
Universitas Widyagama Malang, Mas. Mochammad Syauqi Alaik (Pak
Ustad), Retno (Gembul), Fian Hermawan (Raja Tidur), Findi (Master Of
Kloso), M. Mas’ud Ja’far (Tomat).
13. Kepada teman-teman DPC GMNI Malang Raya, DPC GMNI Kota
Surabaya, Korda GMNI Jatim, DPC HMI Malang, Komisariat PMII
Unisma, FRAME, Bunga Api, Renaisance Debating Club, terima kasih
sudah memberikan begitu banyak pengetahuan kepada penulis.
14. Kepada Aidil Fitrianto selaku Komisaris Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GmnI) Universitas Widyagama dan juga kakak bagi penulis
selama di malang, yang telah banyak memberikan masukan kepada
penulis.
15. Kepada Bu Nur dan Pak Tono (Warung Pojok) yang selalu memberikan
tempat untuk penulis berdiskusi, dan menikmati Mie Sedap dan Indomie
yang selalu setia menemani perjalanan penulis selama di Malang.
16. Kepada Rabiatul Adawiyah. S.Pd yang selalu menjadi inspirator bagi
penulis.
17. Semua Pihak Yang Tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
menyelesaikan penulisan hukum ini.
viii
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa skripsi ini masing sangat jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
segenap pembaca demi kesempurnaan skripsi ini
Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat kepada semua pihak yang turut
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, dan juga mendapat mendapat imbalan
dari Allah SWT.
Malang, 23 Januari 2014
Penulis
Syam Hadijanto
ix
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul .............................................................................................. i
Lembar Pengesahan ...................................................................................... ii
Motto ............................................................................................................ iii
Abstrak ......................................................................................................... iv
Kata Pengantar .............................................................................................. v
Daftar Isi ....................................................................................................... ix
Daftar Tabel .................................................................................................. xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ................................................................................. 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................. 6
D. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 8
E. Metode Penelitian .................................................................................... 20
F. Jadwal dan Sistematika ............................................................................ 25
BAB II : HASIL PENELITIAN
A. Urgensi Pelaksanaan Court Of Ethics dalam Penyelenggaraan
Pemilihan Umum di Indonesia
1. Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia ................................ 27
2. Penegakan Kode Etik Pemilihan Umum di Indonesia ......................... 40
3. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
Sebagai Embrio Awal Dari Court Of Ethics ....................................... 47
B. Hambatan dan Kekuarangan Pelaksanaan Court Of Ethics Dalam
Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia ..................................... 51
x
BAB III : HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Terhadap Urgensi Pelaksanaan Court Of Ethics
Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia .......................... 56
B. Analisis Terhadap Hambatan dan Kekurangan Pelaksanaan
Court Of Ethics Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum
di Indonesia ............................................................................................. 64
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 68
B. Saran ....................................................................................................... 70
Daftar Pustaka
Daftar Riwayat Hidup
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Pemilu
Orde Baru .............................................................................. 31
Tabel 2 Pemilu Sudah Luber dan Jurdil ? ............................................ 31
Tabel 3 Penyimpangan Pemilu 1999 dan Penanganannya ................... 34
Tabel 4 Pelanggaran Administratif Pemilu Legislatif 2004 dan
Tabel 5 Rekapitulasi Pelanggaran Dalam Setiap Tahapan Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2009 ......................... 39
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai sebuah negara, Indonesia telah mengalami begitu banyak
perubahan yang terjadi secara dramatis dan dinamis,1 dalam setiap aspek
kehidupan dan berjalan dalam kecepatan yang tak pernah diduga sebelumnya,
yang akhirnya mengantarkan Indonesia menuju sebuah peralihan dari era orde
baru menjadi era reformasi yang lebih demokratis, tepatnya tanggal 21 Mei
1998. Peralihan dari era orde baru menuju orde reformasi tentunya disertai
dengan adanya peralihan persoalan-persoalan yang belum terselesaikan, yang
di mana persoalan ini tidaklah hanya terletak pada satu bidang tertentu saja,
namun persoalan tersebut telah muncul di hampir seluruh sendi kehidupan
bernegara, dan terdapat sebuah kecenderungan bahwa persoalan tersebut
bukan semakin menyederhana, tetapi kian kompleks dan rumit untuk
diselesaikan.2
Selama 15 tahun berjalannya era reformasi di Indonesia, telah dilakukan
pembenahan yang merupakan hakekat dari era reformasi, yaitu proses
perubahan atau perombakan sistem nilai dan tatanan lama yang dianggap
telah keliru,3 ada beberapa bidang yang di klaim telah mengalami sebuah
perbaikan, yakni bidang ekonomi, namun tidak sedikit pula bidang-bidang
1 Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca
Orde Baru (Bandung, 2000), hlm. xxv 2 http//www.ilmunusantara.com//polemik era reformasi, diakses tanggal 13 November 2013 3 Eep Saefulloh Fatah, Op.Cit., hlm. xxvi
2
yang ternyata justru semakin terpuruk dari kondisi sebelumnya, yakni bidang
hukum dan politik. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk dapat
memperbaiki wajah hukum dan politik di Indonesia, namun ini belum juga
menunjukkan sebuah hasil yang maksimal, di mana hukum dan segenap
institusinya juga tak mampu meredam kecenderungan penyalahgunaan
kekuasaan, korupsi dan praktik-praktik kotor lainnya.
Salah satu bidang yang cukup mendapatkan sorotan tajam dari publik
dalam era reformasi saat ini ialah, penyelenggaraan pemilihan umum
(pemilu), yang merupakan perwujudan dari konsep negara demokrasi di
Indonesia, di mana menempatkan partisipasi rakyat dalam negara sebagai
sebuah kekuasaan tertinggi, yang secara simbolis kemudian digambarkan
sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (from the
people, of the people, for the people).4
Pelaksanaan pemilu di Indonesia merupakan sebuah pencerminan dari
penerapan konsep demokrasi yang ditegaskan di dalam UUD 1945 yakni
Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, yang kemudian
kembali dipertegas dalam pasal 22 E ayat (1) yang menyebutkan bahwa
“pemilihan umum diselenggarakan, secara langsung, umum, bebas, dan
rahasia”. Dengan demikian dalam penyelenggaraan pemilu haruslah
mengedepankan prinsip moral dan etika agar dapat mencapai tujuan pemilu,
4 Fatkhurrohman dan Achmadi Tri Widodo, “Pemilihan Umum Sebagai Wahana
Peningkatan Kualitas Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Konstitusi Universitas Widyagama
Malang, No. 2/Vol II, November 2009, hlm. 7 mengutip Bagir Manan dan Kuntana Magnar,
Peranan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pembinaan Hukum Hukum Nasional (Bandung, 1998), hlm. 56
3
yakni adanya sirkulasi kekuasaan dalam sebuah negara, pembentukan atau
pemupukan kekuasaan yang absah (otoritas), serta mencapai keterwakilan
politik (political representativeness).
Salah satu koreksi yang dilakukan terhadap penyelengaraan pemilu tahun
2009 ialah, dengan melahirkan sebuah lembaga baru yakni Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yang memiliki tugas yang
berkaitan dengan orang per orang pejabat penyelenggara pemilu, baik Komisi
Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU),5
hal ini dilakukan guna menghasilkan sebuah perbaikan kualitas demokrasi,
khususnya penyelenggaraan pemilu agar mampu menghasilkan sosok
pemimpin yang bermartabat. DKPP merupakan lembaga negara yang
kewenangannya terkait dengan penyelenggaraan pemilu, dan dalam
menyelesaikan permasalahan pelanggaran kode etik penyelenggaraan pemilu,
putusan yang dikeluarkan oleh DKPP bersifat final dan mengikat, yang
berarti tidak adanya upaya hukum lagi yang dapat dilakukan pasca
dikeluarkannya putusan DKPP dan wajib untuk dilaksanakan.6 Hal inilah
yang kemudian cenderung menjadikan DKPP seperti sebuah lembaga
peradilan (quasi peradilan), yang berfungsi sebagai sebuah penegak kode etik
penyelenggaraaan pemilu, dan memiliki kesatuan fungsi yang selaras dan
harmonis dalam penyelenggaraan pemilu bersama KPU dan Bawaslu,
sehingga akhirnya memunculkan sebuah format “DKPP heavy”.
5 Lihat pasal 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang penyelenggaraan
pemilu 6 Lihat pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan
Pemilu
4
Sejak berdirinya DKPP, yakni tanggal 12 Juni 2012 sampai dengan 6
september 2013, DKPP telah memutuskan 110 perkara terkait dengan
pelanggaran kode etik pemilu, dengan memberhentikan 93 orang
penyelenggara pemilu, pemberhentian sementara 8 orang, peringatan tertulis
sebanyak 82 orang, sedangkan yang direhabilitasi sebanyak 293 orang,7 hal
ini sejalan dengan regulasi yang mengatur, bahwa sanksi yang dapat
diterapkan oleh DKPP terhadap pelanggaran kode etik ialah berupa: teguran
tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap.8 Dari adanya
fakta ini seolah-olah telah memberikan sebuah justifikasi bahwa telah terjadi
dekadensi moral dan etika dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia,
namun ketika kita cermati kembali, hal ini dapat juga bermakna sebagai
sebuah bentuk arogansi dari DKPP sebagai sebuah lembaga penegak etika
penyelenggara pemilu.
Kasus pelanggaran etika yang ditangani oleh DKPP ini merupakan
sebuah sisi gelap dari penyelenggaraan pemilu di Indonesia, di mana
seharusnya pemilu yang merupakan sebuah pengejawantahan dari demokrasi
yang dianut di Indonesia harus terhambat dengan hilangnya moral dan etika
dari penyelenggara pemilu, hal ini membuktikan bahwa hukum dengan segala
institusinya ternyata tidaklah mampu untuk menyelesaikan permasalahan
dekadensi moral dan etika, hal ini dikarenakan penegakan hukum yang ada
tidaklah didukung dengan sistem penegakan etika yang bersifat fungsional,
7 http//www.gatra.com// DKPP Idola Baru Sistem Peradilan di Indonesia, diakses tanggal
13 November 2013 8 Lihat Pasal 17 ayat (2) Peraturan Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP No. 13, 11, 1
Tahun 2013 Tentang Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu
5
sedangkan demokrasi yang dijalankan di Indonesia menghendaki adanya
sebuah penghormatan terhadap hukum dan etika yang berlaku, sehingga pada
dasarnya kehadiran DKPP sebagai lembaga penegak moral dan etika
penyelenggaraan pemilu telah berjalan efektif, di mana dengan begitu
banyaknya pengabaian terhadap etika penyelenggaraan pemilu yang akan
bermuara pada penurunan kadar kualitas demokrasi di Indonesia, mampu
diselesaikan dengan baik oleh DKPP.
Beranjak dari pemaparan terhadap tingginya kasus pelanggaran etika
penyelenggaraan pemilu di Indonesia dan juga penegakan kode etik
penyelenggara pemilu yang dilaksanakan oleh DKPP, penulis merasa perlu
untuk melakukan sebuah kajian terhadap pentingnya pelaksanaan Peradilan
Etika (Court Of Ethics) dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, hal ini
dilakukan untuk mengupayakan sebuah kesatuan format yang secara
fungsional antara penegakan hukum dengan penegakan etika, sehingga perlu
adanya rekonstruksi terhadap lembaga penegak etika yang ada, khususnya
dalam penyelenggaraan pemilu, karena pada dasarnya antara hukum dan etika
merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Hal inilah yang kemudian
mendasari penulis untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan judul
Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Court Of Ethics Dalam
Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia (Suatu Tinjauan Kritis
Terhadap Penegakan Etika Penyelenggaraan Pemilu Oleh Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
6
B. Perumusan Masalah
Bertolak pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam
penelitian ini terdapat beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti, yang
kemudian dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah urgensi mendasar yang melatarbelakangi pelaksanaan court of
ethics dalam penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia ?
2. Hambatan dan kekurangan apakah yang terdapat pada pelaksanaan court
of ethics dalam penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas maka tujuan yang hendak
dicapai di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui secara mendalam mengenai konsepsi dasar yang
melatarbelakangi pelaksanaan court of ethics dalam penyelenggaraan
pemilihan umum di Indonesia.
b. Untuk mengetahui secara komprehensif mengenai hambatan dan
kekurangan yang terdapat pada pelaksanaan court of ethics dalam
penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia.
2. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan nilai dan guna kepada
semua pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini ialah sebagai berikut :
7
a. Kegunaan Teoritis
1) Diharapkan dari penelitian dapat bermanfaat untuk memberikan
sebuah kontribusi pemikiran dan sumbangsih secara ilmiah dalam
upaya penegakan etika dalam penyelenggaraan pemilihan umum
di Indonesia.
2) Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperjelas format
penegakan etika melalui keberadaan lembaga peradilan etika
dalam penyelenggaraan pemilihan umum,
b. Kegunaan Praktis
1) Bagi Masyarakat
a) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai parameter dalam
melakukan pengawasan terhadap etika penyelenggaraan
pemilihan umum.
b) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar acuan bagi
pihak yang tertarik meneliti pada persoalan yang sama dalam
tahap selanjutnya.
2) Bagi Pemerintah
a) Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dan referensi
untuk melakukan evaluasi penegakan etika dalam
penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia, dan sebagai
embrio terbentuknya Mahkamah Etika (Suprame Court Of
Ethics)
8
3) Bagi Universitas
a) Hasil penelitian ini dapat memberikan sebuah sumbangsih
dalam bidang akademik guna pengembangan kajian keilmuan
terkait dengan penegakan etika di Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka
1. Prinsip-Prinsip Negara Hukum
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa gagasan tentang negara
hukum merupakan gagasan modern yang mempunyai banyak prespektif dan
boleh dikatakan selalu aktual, munculnya sebuah konsep mengenai negara
hukum bukanlah terjadi secara cepat dan bersifat reaksionis, namun
perkembangan konsep mengenai negara hukum telah ada semenjak
berkembangnya pemikiran cita negara hukum itu sendiri.
Istilah Negara Hukum merupakan terjemahan langsung dari istilah
“rechsstaat”.9 Keberadaan tentang konsepsi negara hukum sudah ada
semenjak berkembangnya pemikiran cita negara hukum itu sendiri. Plato dan
Aristoteles merupakan penggagas dari pemikiran negara hukum. Pemikiran
negara hukum dimunculkan plato melalui karya monumentalnya yakni
Politicos. Plato dalarn buku ini sudah menganggap adanya hukum untuk
mengatur warga negara. Pemikiran ini dilanjutkan ketika plato mencapai usia
9 Jimly Asshiddiqie,“Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”
(Laporan Penelitian Hukum, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2005), hlm. 14
9
lanjut dengan memberikan perhatian yang tinggi pada hukum. Menurutnya,
penyelenggaraan pemerintah yang baik ialah yang diatur oleh hukum.10
Di Indonesia, istilah Negara hukum sudah sangat popular. Istilah Negara
hukum tersebut dinggap sebagai terjemahan yang tepat dari dua istilah, yaitu
rechsstaat dan the rule of law.11 Kemudian didalam terminologi negara-
negara di Eropa dan Amerika, untuk Negara Hukum menggunakan istilah
yang berbeda-beda. Di Jerman dan Belanda digunakan istilah rechtsstaat,
sementara di Perancis memakai istilah etat de droit. Istilah estado dederecho
dipakai di Spanyol, Istilah stato di diritto digunakan di Italia. Dalam
terminologi Inggris dikenal dengan ungkapan the state according to law atau
according to the rule of law.12
Muhamad Yamin menggunakan kata negara hukum sama dengan
rechstaat atau government of law, jelasnya mengatakan :
“Republik Indonesia ialah negara hukum (rechsstaat, government of
law) tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau
negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan
keadilan, bukanlah pada negara kekuasaan (machstaat) tempat tenaga
senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang”13
10 http://www.kesimpulan.com//teori-negara-hukum.html, diakses tanggal 14 maret 2012
11 Moh. Mahfud. MD, Membangun Politik Hukum: Menegakkan Konstitusi (Jakarta,
2011), hlm. 178 12 Fatkhurohman, Pengaruh Parliementary Threshold Terhadap Penguatan Sistem
Presidensial Untuk Mewujudkan Sistem Pemerintahan Kuat dan Efektif Di Indonesia. (Penelitian fundamental Univ. Widyagama, Malang, 2009, hlm. 8 mengutip Allan R. Brewer-
Carias, Judicial Review in Comparative Law (Cambridge University Press, 1989), hlm 7 13 Muhamad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (Jakarta, 1982), hlm.
72
10
Di zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental
dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl,
Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu
“rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep negara
hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey seorang pemikir inggris
dengan sebutan, The Rule of Law. Menurut Julius Stahl,14 konsep negara
hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat
elemen penting, yaitu:
a. Perlindungan hak asasi manusia;
b. Pembagian kekuasaan;
c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
d. Peradilan tata usaha negara.
Sedangkan Albert Van Dicey, yang dalam bukunya yaitu introduction
to the study of the law of the constitution, mengungkapkan bahwa dalam
sebuah negara hukum harus ada 3 unsur utama yakni : 15
1. Supermacy of law adalah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam
suatu Negara hukum ialah hukum (kedaulatan hukum).
2. Equality before the law ialah kesamaan bagi kedudukan di depan
hukum untuk semua warga Negara, baik selaku pribadi maupun
statusnya sebagai pejabat Negara.
14 Ibid, hlm. 52
15 Abdul Azis Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia (Yogyakarta, 2011),
hlm. 13 mengutip Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Konstitusi
(Yogyakarta, 1999), hlm. 24
11
3. Constitution based on individual right ialah konstitusi tidak
merupakan sumber dari hak asasi manusia dan jika hak asasi manusia
tersebut di letakkan dalam konstitusi, maka hanyalah sebagai
penegasan bahwa hak asasi manusia harus dilindungi.
Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl
tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip
Rule of Law yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-
ciri negara hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, Moh. Mahfud. MD
menyebutkan bahwa perumusan kembali ciri-ciri tersebut, antara lain
dihasilkan oleh The International Commission of Jurist, yang pada
konfrensinya di Bangkok pada tahun 1965 yang mencirikan konsep negara
hukum yang dinamis ialah sebagai berikut: 16
1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak individu
konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
3. Adanya pemilihan umum yang bebas.
4. Adanya kebebasan menyatakan pendapat.
5. Adanya kebebasan berserikat, berorganisasi, dan beroposisi.
6. Adanya pendidikan kewarganegaraan.
Menurut M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, negara hukum adalah
negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga
16 H. Zainudin Ali, Filsafat Hukum (Jakarta, 2008), hlm. 85 mengutip Moh. Mahfud MD,
Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi (Yogyakarta, 1999), hlm. 131
12
negaranya.17 Kemudian Sudargo Gautama berpendapat bahwa dalam suatu
negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap
perseorangan. Sehingga sebuah negara tidak maha kuasa dan tidak dapat
bertindak sewenang-wenang, karena tindakan negara terhadap warganya
dibatasi oleh hukum.
Didalam konstitusi Negara Indonesia kemudian ditegaskan bahwa
Negara Indonesia adalah Negara hukum (rechsstaat), dan bukan Negara
kekuasaan (Machtsstaat). Jimlly Asshiddiqie,18 kemudian mengungkapkan
bahwa didalam konsep Negara hukum tersebut terkandung pengertian
mengenai adanya pengakuan terhadap prinsip supermasi hukum dan
konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut
sistem konstitusional yang diatur di dalam UUD, adanya jaminan-jaminan
hak asasi manusia dalam UUD, adanya prinsip peradilan bebas dan tidak
memihak yang menjamin persamaan setiap warga Negara dalam hukum
(equality before the law), serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk
terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Dengan
demikian suatu pemerintahan yang berdasarkan atas hukum (government by
law), maka kekuasaan negara dan politik dalam negara tersebut jelas memiliki
batasan-batasan untuk menghindari kesewenang-wenangan dari pihak
penguasa, atau dengan kata lain hukum memiliki peranan sangat penting yang
berada diatas kekuasaan Negara dan politik.19
17 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia
(Jakarta, 1988), hlm. 153 18 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta, 2010) , hlm. 57
19 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (rechtsstaat) (Bandung, 2009), hlm. 2
13
Tidak jauh berbeda dengan Jimlly Asshiddiqie, Franz Magnis Suseno 20
mengatakan bahwa terdapat beberapa unsur-unsur yang harus dipenuhi/ harus
ada didalam sebuah negara hukum yang satu sama lain saling berhubungan,
yaitu :
1. Adanya asas legalitas yang berarti pemerintah bertindak semata-mata
atas dasar hukum yang berlaku.
2. Adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama
dalam fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan.
3. Adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
4. Adanya pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi atau hukum
dasar.
Dengan demikian dalam suatu paham Negara hukum, harus diadakan
jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-
prinsip demokrasi, karena prinsip supermasi hukum dan kedaulatan hukum
itu berasal dari kedaulatan rakyat,21 sehingga secara umum sebuah Negara
Hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai
dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulis
maupun berdasarkan hukum tidak tertulis.22
2. Relasi Antara Demokrasi, Hukum, dan Etika
Secara etimologis (tinjauan bahasa), demokrasi berasal dari bahasa
yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu demos dan cratein. Demos berarti
20 Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta,
karena Panwaslak Pemilu ini juga didominasi oleh aparatur negara yang
merupakan pendukung Golongan Karya (Golkar).53
Sejak tahun 1997 di mana rezim orde baru kemudian diterpa adanya krisis
moneter, yang kemudian juga mengalami desakan arus reformasi yang begitu
kuat, dan dimotori oleh mahasiswa, di mana tujuan dari arus reformasi ini
tidak hanya ingin menumbangkan rezim orde baru, tetapi juga menginginkan
sebuah negara yang lebih demokratis maka, untuk memenuhi tuntutan
reformasi tersebut maka dilakukan sidang istimewa MPR 1998, yang salah
satu hasilnya ialah Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 Tentang Pokok-
Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan
Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, yang
mengamanatkan penyelenggaraan pemilu pada bulan juni 1999,54 salah satu
akses yang dapat digunakan untuk menilai kualitas pemilu yang lebih bersih
ialah dengan di reformasinya LPU menjadi Komisi Penyelenggara Pemilu
(KPU), di mana jika sebelumnya LPU diposisikan sebagai mesin
pemenangan Golkar, maka KPU diposisikan sebagai lembaga penyelenggara
pemilu yang sebenarnya yaitu, mewujudkan free and fair election (pemilu
yang jujur dan adil), sehingga KPU tidak bisa lagi digunakan sebagai mesin
pemenangan salah satu pihak,55 dengan adanya angin segar reformasi ini
maka akhirnya pelaksanaan pemilu tahun 1999 ini dapat terlaksana dengan
lebih bebas, jujur, dan adil dari pada penyelenggaraan pemilu pada masa orde
53 Ibid., hlm. 37
54 Janedjri M. Gaffar, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia (Jakarta, 2013), hlm. 122 55 Andi Alfian Malarangeng, Komisi Pemilihan Umum: Dalam Kajian Pemilu 1999
(Jakarta, 1999), hlm. 20
34
baru, namun dalam pelaksanaanya pemilu tahun 1999 ini masih menyisakan
sebuah pekerjaan rumah yang cukup berat, di mana dalam pemilu 1999 ini
masih banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, yakni
terdapat 4.290 kasus pelanggaran pemilu yang terjadi, hal kemudian di
ilustrasikan sebagai berikut:56
Tabel 3
Penyimpangan Pemilu 1999 dan Penanganannya
Jenis
Penyimpangan
Diselesaikan
Panwas
Dilimpahkan
kepolisian
Dilimpahkan
pengadilan
Jumlah
Administratif 1.394 3 1 1.398
Tata Cara 1.785 12 - 1.797
Pidana Pemilu 347 236 24 707
“Money Politik” 122 18 - 140
Netralitas
birokrasi
234
1
1
236
Jumlah 3.992 270 26 4.290
Pasca dilakukannya reformasi di bidang hukum yang telah
mengakibatkan diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945, yang
sebelumnya sangat diskralkan oleh pemrintahan rezim orde baru, ini
membuka sebuah peluang untuk dapat melaksanakan sebuah pemilu yang
benar-benar bersih dan berpihak kepada rakyat, hal ini dapat dilihat dari
diaturnya ketentuan mengenai pemilu di dalam Bab VIIB dengan judul
pemilihan umum, yakni tepatnya pasal 22 E Undang-Undang Dasar 1945
yang merupakan hasil dari amandemen ketiga, di mana dalam pasal tersebut
menyebutkan bahwa: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”,57 kemudian
hal ini kembali dipertegas dengan adanya sebuah lembaga penyelenggaraan
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, yakni KPU.58
Dalam sisi pengawasan penyelenggaraan pemilu terdapat sebuah
kemajuan jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Pemilu, di mana sebelum pelaksanaan pemilu
tahun 2004 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, di mana pengawas pemilu memiliki
wewenang yang lebih tegas dan memadai dalam menjalankan pengawasan
pemilu, yakni memiliki wewenang pengawasan dalam setiap tahapan
pelaksanaan pemilu, dan menerima laporan adanya pelanggaran pemilu,
meneruskan adanya pelanggaran administrasi pemilu kepada penyelenggara
pemilu, meneruskan laporan pelanggaran pidana pemilu kepada kepolisian
(selanjutnya diteruskan kekejaksaan dan diajukan ke pengadilan) untuk diberi
sanksi, dan menyelesaikan sengketa dalam penyelenggaraan pemilu.59
Dengan adanya perbaikan dari sisi pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemilu tahun 2004, namun dalam pelaksanaanya masih banyak terdapat
pelanggaran terutama dalam hal pelanggaran administratif, sebagaimana
terdapat dalam tabel berikut ini :60
57 Lihat Pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
58 Lihat Pasal 22 E ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945
59 Topo Santoso, Op.Cit., hlm. 43
60 Tim Peneliti Perludem, Op.Cit., hlm. 36
36
Tabel 4
Pelanggaran Administratif Pemilu Legislatif 2004 dan Penanganannya
No
Tahapan
Temuan/
Laporan
Diteruskan
Ke KPU
Ditangani
KPU
1 Pendaftaran Pemilih (P4B) 0 0 0
2 Verifikasi Calon Peserta
Pemilu
314 235 67
3 Penetapan Daerah Pemilihan
dan Jumlah Kursi
0 0 0
4 Verifikasi Calon Legislatif 683 621 147
5 Kampanye 5.965 5.382 2.230
6 Pemungutan Penghitungan
Suara
1.957 1.391 378
7 Penetapan Hasil Pemilu 4 2 NA
8 Penerapan Perolehan Kursi
dan Calon Terpilih
383 382 0
9 Pengucapan Sumpah atau
Janji
0 0 0
JUMLAH 8.946 8.013 2.822
Dari data di atas dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaan pemilu tahun
2004 masih banyak sekali terjadi pelanggaran pemilu, terutama dalam hal
administratif pemilu, hal ini dikarenakan lemahnya efektifitas pengawasan
penyelenggaraan pemilu, karena dalam hal ini panwas seolah tidak berdaya
37
dan hanya menjadi “tukang pos” atau kurir yang pekerjaannya membawa
kasus-kasus ke institusi lain.61
Dengan begitu banyak pelanggaran pemilu yang terjadi pada tahun 2004,
maka guna memperbaiki kualitas penyelenggaraan pada tahun 2009
dilakukanlah beberapa penyempurnaan terhadap Undang-Undang
Penyelenggaraan Pemilu, terutama dalam hal fungsi perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi.62 Salah satu esensi dalam upaya memperbaiki
pengawasan dalam penyelenggaraan pemilu ialah dengan membentuk sebuah
Dewan Kehormatan yang bersifat ad hoc, yang berfungsi untuk memeriksa
pengaduan dan/atau laporan adanya pelanggaraan kode etik yang dilakukan
oleh anggota KPU dan anggota KPU Provinsi,63 kemudian dalam hal
pengawasan penyelenggaraan pemilu ditegaskan sebuah lembaga yakni
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang bertugas mengawasi
penyelenggaraan pemilu di seluruh Indonesia, dan untuk mengoptimalkan
pengawasan maka Bawaslu membentuk Panitian Pengawas Pemilu (Panwas)
di setiap provinsi, kabupaten dan kota,64 yang memiliki kedudukan hierarkis
sama halnya dengan kedudukan KPU dengan KPU provinsi dan KPU
kabupaten/kota.65
61 Ibid., hlm. 39
62 Lihat Konsideran Menimbang huruf (d) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum 63 Lihat Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan
Pemilu 64 Lihat Pasal 1 angka 15 dan 16 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggaraan Pemilu 65 Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hlm. 144
38
Namun sangat disayangkan, pemilu 2009 yang diharapkan akan jauh
lebih baik dari pemilu-pemilu tahun sebelumnya, masih menimbulkan banyak
kekecewaan, terutama terkait dengan banyaknya jumlah pelanggaran pemilu
dan indikasi adanya korupsi pemilu yang dilakukan oleh Partai Politik dan
Calon Legislatif (Caleg), yang di mana hal ini akan memberikan sebuah efek
negatif bagi masyarakat Indonesia, dan kualitas penyelenggaraan pemilu.66
Sebagaimana diketahui pasca pelaksanaan pemilu legislatif tahun 2009,
Kejaksaan Agung (kejagung) telah menerima 352 kasus terkait dengan tindak
pidana pemilu, kemudian hal ini kembali dipertegas dengan data dari
lembaga survei pemilu, di mana disebutkan bahwa pelaksanaan kampanye
rapat umum saja dalam pemilu 2009 diwarnai 2.228 pelanggaran, yang
kemudian Partai Golkar menjadi partai peserta pemilu yang paling banyak
melakukan pelanggaran, yakni 158 pelanggaran, kemudian disusul oleh
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebanyak 116 pelanggaran,
dan Partai Demokrat dengan 115 pelanggaran, 67 secara umum pelanggaran
pemilu yang terjadi selama pelaksanaan pemilu tahun 2009 dalam setiap
tahapan ini dapat dilihat dalam table berikut:
66 Zulkarnain, “Kajian Keriminologi Terhadap Tindak Pidana Pemilu: Membedah
Akar-Akar Pemicu Tindak Pidana Pemilu Dalam Sistem Penyelenggaraan Pemilu 2009 dan
Problematika Penyelesaiaannya”, Jurnal Konstitusi Universitas Widyagama, No. 2/Vol. II,
November 2009, hlm. 60 67 Ibid., hlm. 61
39
Tabel 5
Rekapitulasi Pelanggaran Dalam Setiap Tahapan Pemilu Anggota DPR,
DPD, dan DPRD Tahun 2009
No
Tahapan Pemilu
Jumlah
Administrasi Pidana
1
Pemutakhiran
Data Pemilih dan
Penyusunan Data
Pemilih
391
26
417
2
Pendaftaran dan
Penetapan Peserta
Pemilu Legislatif
110
13
123
3
Penetapan Jumlah
Kursi dan Daerah
Pemilihan (Dapil)
-
-
-
4
Pencalonan
Anggota DPR,
DPD, dan DPRD
493
38
531
5 Masa Kampanye 12.322 4.626 16.948
6 Masa Tenang 340 193 533
7
Pemungutan dan
Penghitungan
Suara
1.618
1.091
2.709
8 Penetapan Hasil
Pemilu
67
32
99
Jumlah 15.341 6.019 21.360
Pelanggaran Pemilu
40
2. Penegakan Kode Etik Pemilihan Umum di Indonesia
Kode etik pemilihan umum merupakan satu kesatuan landasan norma
moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara
pemilihan umum yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan
dalam semua tindakan dan ucapan.68 Munculnya model penegakan etika
dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia ini diawali pada saat pemilu
tahun 2009, di mana dalam hal pengaduan terhadap pelanggaran kode etik
penyelenggaraan pemilu yang dilakukan oleh KPU dan KPU provinsi,
dibentuklah sebuah dewan kehormatan yang bersifat ad hoc berdasarkan
ketetapan KPU.69
Dewan Kehormatan ini dari sisi kompetensi keanggotaan cukup baik,
tetapi dari aspek struktural kurang balance karena didominasi oleh
penyelenggara pemilu, dan dalam pelaksanaannya kinerja dari Dewan
Kehormatan ini menunjukan sebuah sinyal positif yang tidak mengecewakan
publik termasuk pemerintah dan DPR, hal ini dapat dilihat dari terobosan-
terobosan yang dilakukan oleh lembaga ini guna menegakkan etika
penyelenggara pemilu. Melihat prestasi yang ditunjukkan oleh lembaga ini
dalam hal menegakkan etika, akhirnya kemudian menjadi titik tolak lahirnya
institusi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), di mana
Pemerintah, DPR, lembaga yudikatif dan lembaga-lembaga pemantau Pemilu
sontak mendorong misi mulia ini dengan meningkatkan kapasitas wewenang
68Lihat Pasal 1 angka (6) Pertauran Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas
Pemilihan Umum, dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Nomor 13, 11, 1
Tahun 2012 Tentang Kode Etik Penyelenggaraan Pemilihan Umum 69 Lihat Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum
41
dan memastikan institusi ini jadi tetap dan tidak hanya menangani kode etik
pada KPU tapi juga Bawaslu di tiap tingkatan melalui produk hukum
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu.70
Lahirnya institusi penegakan etika, khususnya dalam penyelenggaraan
pemilu di Indonesia merupakan sebuah perwujudan dari penerapan konsep
Negara Hukum Indonesia dan Hukum Progresif, di mana Satjipto Rahardjo
menyatakan bahwa hukum adalah institusi sosial yang memiliki struktur
sosiologis dan akar budaya sendiri,71 dengan menyandarkan pada hal
demikian akhirnya menyebabkan doktrin dan prinsip negara hukum akan
berbeda antara satu negara dengan negara lain, sehingga doktrin dan prinsip
the rule of law, tidak dapat begitu saja diterima dan diterapkan di Indonesia,
karena the rule of law merupakan doktrin yang tumbuh dan berkembang
ratusan tahun seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan bangsa-bangsa
eropa, sehingga penerapan doktrin dan prinsip the rule of law di Indonesia
secara kaku merupakan sebuah cara berbuat yang kurang merdeka.72
The rule of law bukan merupakan sebuah institusi yang netral karena
mengandung wawasan sosial tentang hubungan antar manusia, masyarakat,
dan negara, dan dalam struktur sosiologisnya konsep the rule of law
merupakan aliran pemikiran hukum liberal.73 Indonesia memiliki akar
sosiologis yang berbeda dengan masyarakat di mana doktrin the rule of law
berkembang, sehingga Indonesia memiliki kebebasan dan keharusan untuk
70 http//www.dkpp.go.id//Sejarah DKPP, diakses tanggal 1 Januari 2014
71 Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hlm. 77 72 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Indonesia (Jakarta, 2003), hlm. 7-8
73 Ibid., hlm. 10
42
secara merdeka menentukan watak dan karakteristik negara hukum yang
sesuai dengan akar sosiologis masyarakat Indonesia.
Sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia, yakni Pancasila, maka Satjipto
Rahardjo menyatakan bahwa negara hukum yang dianut harus berdasarkan
pada Pancasila yang lebih menekankan pada subtansi, bukan pada prosedur
dalam peraturan perundang-undangan semata-mata, hal ini dikarenakan di
dalam Negara Hukum Pancasila yang lebih diungulkan ialah “olah hati
nurani” untuk mencapai keadilan, karena itu negara Hukum Pancasila lebih
bercirikan rule of moral atau rule of justice.74
Dengan adanya penegasan bahwa konsep negara hukum yang dianut di
Indonesia merupakan konsep negara hukum yang bersumber dari Falsafah
Pancasila, yang bercirikan rule of moral, maka dalam hal ini antara hukum
dan etika memiliki sebuah hubungan yang sangat erat, hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Talcott Parson, melalui teori sibernetika, di mana sistem
sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem sosial yang saling
mengalami ketergantungan dan keterkaitan, serta interaksi.75 Teori
Sibernetika ini menyimpulkan bahwa hukum dalam kehidupan masyarakat
“tidaklah bersifat otonom”, karena senantiasa dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain faktor ekonomi, politik, sosial, budaya termasuk
antropologi dan psikologi.
74
Ibid., hlm. 16 75 http://fitriaade17.blogspot.com/2011/10/teori-sibernetika.html, diakses tanggal 1 Januari
2014
43
Dalam perspektif hukum sebagai sarana mengekspresikan nilai dan
moral, serta posisi hukum untuk manusia dan masyarakat, hukum tidak dapat
didekati secara utuh hanya dari ilmu hukum positif atau paradigma
positivisme, namun hukum dan etika harus dapat dilihat secara terpisah,
bahwa etika ini akan menjadi salah satu tolak ukur dalam hukum, menurut
Franz Magnis Suseno etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik
berkaitan dengan pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral.
Dalam arti yang lebih luas etika diartikan keseluruhan mengenai norma dan
penelitian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana
manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.76
Secara historis etika sebagai usaha dari filsafat, yang lahir dari kerusakan
tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu, pada zaman
ini pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai,
maka para filosof yang peka terhadap kondisi ini mulai mempertanyakan
kembali norma-norma dasar bagi perilaku manusia. Situasi tersebut berlaku
pula pada zaman sekarang ini, di mana persoalan yang muncul bukan hanya
membedakan antara kewajiban dan yang bukan merupakan kewajiban,
melainkan manakah norma-norma untuk menentukan apa-apa yang harus
dianggap sebagai kewajiban. Norma-norma moral sendiri dipersoalkan.
Misalnya di bidang etika seksual, hubungan anak dan orang tua, kewajiban
terhadap negara, etika sopan santun dan pergaulan dan penilaian terhadap
harga nyawa manusia, terdapat pandangan-pandangan yang sangat berbeda
76 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa (Jakarta, 2001), hlm. 6
44
satu sama lain, dan untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan
pandangan-pandangan moral ini diperlukan sebuah refleksi kritis etika.77
Berbeda dengan Franz Magnis Suseno, dalam pemikiran Aristoteles etika
dipandang sebagai ilmu tentang tindakan tepat dalam bidang khas manusia, di
mana objek etika adalah alam yang berubah terutama alam manusia, oleh
karena itu etika bukan merupakan episteme atau bukan ilmu pengetahuan.
Tujuan etika disini digunakan bukan untuk mengetahui apa itu hidup yang
baik, melainkan membuat orang untuk hidup yang lebih baik, secara umum
pemikiran Aristoteles ini sama sekali tidak terpengaruh oleh berbagai
keyakinan mistik agama, sehingga kurang memiliki nilai-nilai intrinsik.78
Dalam filsafat yunani klasik, Socrates kemudian mengajukan eudaimonia
(kebahagian manusia) sebagai ukuran tindakan yang baik secara etis. Untuk
mencapai eudaimonia, harus melalui arête (virtue),79 hal ini tergambarkan di
mana seseorang yang sudah memiliki arête sudah pasti akan mengetahui apa
yang bai, dan hidup yang baik tidak berarti lain daripada mempraktikkan
pengetahuan tentang yang baik, karena mumpuni dalam hal pengetahuan
yang baik, harus juga mumpuni dalam moral.80
Secara umum antara hukum dan etika dapat disimbolisasikan seperti
kedua sisi mata uang yang dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan,
77
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral , Op.Cit.,
hlm. 15 78 Betrand Russell, Sejarah Filsafat barat: Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman
Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko (Yogyakarta, 2007), hlm. 233-248 79 Arete dalam bahasa yunani diartikan sebagai “keutamaan” yang merujuk kepada cirri khas
yang berkaitan dengan fungsi optimal (excellency) dalam suatu hal, dalam hal ini arête manusia
merujuk kepada kondisi optimal manusia 80 Bernard L. Tanya, Penegakan Hukum Dalam Terang Etika (Yogyakarta, 2011), hlm. 17
45
karena antara hukum dan etika memiliki sebuah titik pertemuan, di mana
keduanya saling mengisi, hal ini dapat dibuktikan di mana hukum yang pada
umumnya merupakan sebuah kumpulan norma yang memberikan sebuah
batasan-batasan bagi masyarakat dalam bertingkah laku, akan dapat berjalan
secara efektif ketika di dalam sebuah masyarakat tersebut telah memiliki
sebuah kesadaran etis, yang merupakan hal intrinsik (hakiki) dalam diri
manusia, karena hanya dengan kesadaran inilah, masyarakat akan terdorong
untuk harus melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dan sedapat mungkin
tidak melakukan apa yang tidak seharusnya ia lakukan.81
Di dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, posisi penegakan etika
ini lahir dari adanya sebuah reaksi dari penyelenggaraan pemilu tahun 2004
yang telah menjadi catatan sejarah baru bangsa Indonesia, dengan diawalinya
penyelenggaran Pemilu Anggota Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung dan pertama kalinya. Hal ini merupakan suatu
loncatan demokrasi yang sangat cepat dan evolusioner, mengakibatkan
kredibilitas dan intergitas KPU menjadi taruhan politik. Cerita KPU sebagai
lembaga super power dalam penyelenggara pemilu tahun 2004 dan berjalan
aman dan sukses, harus berakhir dengan kasus Korupsi yang dilakukan oleh
Komisioner KPU.82
Sebagai sebuah koreksi dalam penyelenggaraan pemilu tahun 2004,
akhirnya pada pemilu tahun 2009 pengawasan terhadap jalannya pemilu
sangat mutlak diperlukan, dengan lahirnya Bawaslu yang memiliki fungsi
sebagai pengawas jalannya pemilu di seluruh wilayah Republik Indonesia,83
namun terdapat sebuah kelemahan dalam pemilu 2009, di mana pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi tidak dapat diselesaikan secara maksimal, karena
kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para komisioner KPU tidak dapat
diadili secara administratif, hal ini kemudian yang menjadi salah satu
landasan politis dari pihak legislator untuk memecah kembali tata kelola
dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, guna memperbaiki kualitas
pemilu yang akan datang yakni tahun 2014, dengan melahirkan sebuah
lembaga baru yakni Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, yang
berfungsi sebagai eksekutor atau penegak etika penyelenggaraan pemilu.
Di dalam pelaksanaan penegakan etika penyelenggaraan pemilu di
Indonesia, DKPP berpedoman pada sebuah mekanisme beracara, di mana hal
ini bermula dari adanya sebuah dugaan adanya pelenggaran kode etik yang
diajukan kepada DKPP dalam bentuk pengaduan, laporan, dan rekomendasi
dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),84 yang dapat diajukan oleh
penyelenggara pemilu, peserta pemilu, tim kampanye, masyarakat, dan juga
pemilih.85 Dalam menjalankan sebuah persidangan dalam dugaan
pelanggaran etika penyelenggara pemilu, DKPP menjalankannya dengan
mengedepankan prinsip cepat dan sederhana, kemudian dalam amar putusan
DKPP dapat memberikan sanksi yang berupa teguran tertulis, pemberhentian
83 Lihat Pasal 1 angka (15) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum 84 Lihat Pasal 3 ayat (1) Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum
Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum 85 Lihat Pasal 3 ayat (2) Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum
Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum
47
sementara, dan pemberhentian secara tetap.86 Dari model penegakan etika
yang kemudian dijalankan oleh DKPP ini, dapat terlihat bahwa DKPP
merupakan sebuah lembaga semi peradilan (quasi peradilan), karena terdapat
sebuah mekanisme peradilan yang dijalankan dalam memutus dugaan
pelanggaran etika penyelenggara pemilu, hal ini kemudian diperkuat dengan
adanya sifat putusan dari DKPP yang bersifat final dan mengikat, serta wajib
untuk dilaksanakan paling lambat 7 hari setelah putusan dibacakan.87
3. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Sebagai Embrio
Awal Dari Court Of Ethics
Berdasarkan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, terdapat 3 (tiga) fungsi yang
kemudian diinstitusionalkan ke dalam 3 (tiga) kelembagaan, yakni KPU,
Bawaslu, dan DKPP. DKPP disini bukanlah sebagai lembaga
penyelenggaraan pemilu di Indonesia, namun tugas dan kewenangannya
terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu.
Dalam sistem sistem ketatanegaraan Indonesia sudah cukup banyak
berdiri lembaga-lembaga penegak kode etik dalam jabatan-jabatan publik. Di
bidang kehakiman, misalnya, sudah ada Komisi Yudisial, di samping adanya
Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dalam sistem internal Mahkamah Agung.
Di Mahkamah Konstitusi juga ada mekanisme Majelis Kehormatan Hakim
86
Lihat Pasal 22 dan Pasal 33 ayat (3) Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara
Pemilihan Umum 87
Lihat Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara
Pemilihan Umum
48
(MKH) MK, di dunia pers dan jurnalistik, terdapat Dewan Pers, kemudian di
lingkungan lembaga legislatif, yaitu DPR dan DPD telah ada Badan
Kehormatan DPR dan Badan Kehormatan DPD.88
Di dalam lingkungan profesi juga telah banyak dikenal keberadaan dari
lembaga penegak kode etik yang berkaitan dengan profesi tersebut, yang
semuanya dilembagakan secara internal dalam organisasi masing-masing
profesi, namun sebuah catatan penting yang terdapat dalam lembaga-lembaga
penegak kode etik tersebut, ialah hanya bersifat performa semata, bahkan
sebagian di antaranya belum pernah menjalankan tugasnya dengan efektif
dalam rangka menegakkan kode etik yang dimaksud. Salah satu sebabnya
ialah bahwa lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut di atas tidak
memiliki kedudukan yang independen, sehingga kinerjanya tidak efektif.
Karena itu, sebagai solusinya ialah bahwa lembaga-lembaga penegak kode
etik tersebut harus direkonstruksikan sebagai lembaga peradilan etika yang
diharuskan menerapkan prinsip-prinsip peradilan yang lazim di dunia
modern.89
Kehadiran DKPP sebagai lembaga penegak kode etik penyelenggara
pemilu, merupakan sebuah langkah awal dalam menciptakan sebuah sistem
hukum dan sistem etika yang bersifat fungsional dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, hal ini dikarenakan selama ini belum terdapatnya sebuah sistem
yang baku dalam penegakan etika, selain itu kehadiran DKPP ini merupakan
88 Jimly Asshiddiqie, “Pengenalan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemiihan
Umum” (Makalah Dalam Forum Rapat Pimpinan Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta,
Februari 2013), hlm. 6 89 Ibid., hlm. 8
49
sebuah aktualisasi dari adanya visi pembangunan bangsa melalui peningkatan
kualitas demokrasi, maka sangat diperlukan institusi-institusi negara untuk
mengawal proses penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilu Kada di
seluruh Indonesia, sehingga mampu memperbaiki kualitas penyelenggaraan
pemilu di Indonesia.
Sejak kelahiran DKPP pada tanggal 12 Juni 2012, lembaga ini langsung
aktif bergerak cepat, kreatif, profesional, dan produktif dalam melakukan
penegakan kode etik penyelenggaraan pemilu di Indonesia, dan dari kinerja
yang ditunjukkan oleh DKPP selama 1 (satu) tahun terhitung pada tanggal 12
Juni 2013, berdasarkan hasil poling yang dilakukan secara online melalui
situs resmi DKPP, sebanyak 65,66% responden mengatakan bahwa DKPP
memiliki kinerja yang “sangat efektif” dalam melakukan penegakan kode etik
pemilu, kemudian 18, 6% responden mengatakan “biasa saja”,90 kemudian
Abdul Muktie Fadjar mengatakan bahwa DKPP merupakan “idola baru”
dalam sistem peradilan di Indonesia, hal ini dikarenakan sistem peradilan
etika yang dijalankan oleh DKPP lebih efektif ketimbang sistem peradilan
hukum.91
Penegakan etika penyelenggaraan pemilu di Indonesia, sangatlah
diperlukan, karena pelanggaran etika yang dilakukan oleh penyelenggara
pemilu bukanlah persoalan etika biasa, namun dapat berdampak luas dan
berkepanjangan, serta merugikan keuangan negara, dan bahkan dapat
90 Dalam http//www.dkpp.go.id// Efektifkah Kinerja DKPP, diakses tanggal 1 Januari 2014 91 http://www.gatra.com// DKPP Idola Baru Dalam Sistem Peradilan Indonesia, diakses
tanggal 1 Januari 2014
50
merampas hak konstitusional warga negara, sehingga kehadiran DKPP
dengan formatnya sebagai sebuah lembaga quasi peradilan, sangat
diharapkan mampu menjadi pelopor dalam sistem peradilan etika di
Indonesia.92
Sebagai sebuah pembanding dalam pelaksanaan penegakan etika
penyelenggara pemilu di Indonesia, yang dilaksanakan oleh DKPP dalam
format quasi peradilan, perkembangan dari quasi peradilan juga sangat pesat
terjadi di negara-negara lain, salah satunya ialah Amerika Serikat, di mana di
dalam tradisi sistem hukum common law yang diterapkan di Amerika Serikat
tidak dikenal adanya lembaga peradilan tersendiri di bidang hukum
administrasi, karena itu, yang tumbuh dalam praktik adalah pelembagaan
fungsi-fungsi ‘mengadili’ itu dalam lingkungan eksekutif pemerintahan
melalui badan-badan yang menjalankan fungsi quasi peradilan, karena itu,
Quasi-judicial administrative agencies itu sendiri biasa dipahami sebagai
tindakan yang dilakukan oleh badan administrasi negara (an action by an
administrative agency), perkembangan badan-badan administrasi semacam
ini banyak sekali berkembang di Amerika serikat dengan kewenangan yakni:
(i) mengadakan pemeriksaan persidangan seperti yang biasa dilakukan oleh
badan-badan peradilan dan gugatan-gugatan persengketaan yang diajukan
pihak-pihak diperiksa melalui persidangan, (ii) mendengarkan fakta-fakta
pembuktian dan pembelaan diri pihak tergugat, (iii) kesimpulan dan putusan