-
PROVINSI PAPUA
BUPATI KEEROM
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEEROM
NOMOR 4 TAHUN 2014
TENTANG
PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN
BATUAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI KEEROM,
Menimbang : a. bahwa pertambangan mineral bukan logam dan batuan
merupakan sumber daya alam yang harus dikelola dengan
baik, berkelanjutan, bertanggungjawab dan pemanfaatannya untuk
kesejahteraan rakyat dengan mengutamakan
pelestarian ekologi dan lingkungan;
b. bahwa pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggungjawab
melakukan perencanaan, pengelolaan,
pengawasan dan pengendalian terhadap pemanfaatan sumber daya
alam pertambangan mineral bukan logam dan batuan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan
Batuan;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4151) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2008 tentang Perubahan Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884);
-
- 2 -
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pembentukan
Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom,
Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten
Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara,
Kabupaten Waropen, Kabupaten
Kaimana, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Mappi, Kabupaten
Asmat, Kabupaten Teluk Bintuni, dan Kabupaten Teluk Wondama di
Propinsi Papua (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 129); 4. Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Perubahan atas Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4548);
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 6. Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang
Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara RI Tahun 2010
Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5110);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5111);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5142);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batu Bara, (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5489);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KEEROM
Dan
BUPATI KEEROM
-
- 3 -
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN USAHA
PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah
adalah Kabupaten Keerom.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
3. Bupati adalah Bupati Keerom.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat
DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Keerom.
5. Dinas adalah Dinas yang menyelenggarakan tugas dan fungsi
pemerintahan di bidang Pertambangan dan Energi. 6. Kepala Dinas
adalah kepala dinas Pertambangan dan Energi.
7. Pejabat adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas
tertentu di bidang pertambangan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
8. Pengelolaan Pertambangan adalah kebijakan perencanaan,
pengaturan, pengurusan, pembinaan, pengawasan, pengendalian dan
pengembangan
kegiatan pertambangan dan bahan galian diluar minyak bumi, gas
alam dan bahan galian mengandung radioaktif.
9. Pertambangan adalah sebagaian atau seluruh tahapan kegiatan
dalam
rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau
batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan
dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. 10. Mineral adalah
senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang
memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan Kristal
teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk
lepas atau padu.
11. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral
yang berupa biji atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas
bumi, serta
air tanah. 12. Usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan
adalah kegiatan
dalam rangka pengusahaan mineral bukan logam dan batuan yang
meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang.
13. Wilayah Pertambangan, selanjutnya disebut WP adalah wilayah
yang memiliki potensi mineral bukan logam dan batuan dan tidak
terkait
dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian
dari tata ruang nasional.
14. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP,
adalah
bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi,
dan atau informasi geologi.
15. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR,
adalah
bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan
rakyat.
-
- 4 -
16. Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut
WIUP, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang Izin Usaha
Pertambangan. 17. Badan Usaha adalah sekumpulan dan atau modal
yang merupakan
kesatuan, baik yang melakukan usaha yang meliputi Perseroan
Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), atau Badan usaha Milik Daerah (BUMD) dengan
nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pension,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
social politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan
lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 18.
Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk
memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang
lokasi, bentuk
dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan
galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan
hidup.
19. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan
yang
meliputi konstruksi penambangan, pengolahan, pemurnian termasuk
pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian, dampak
lingkungan terkait dengan hasil studi kelayakan. 20. Izin Usaha
Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin
untuk melaksanakan usaha pertambangan.
21. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk
melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi
kelayakan.
22. IUP Operasi Produksi adalan izin usaha yang diberikan
setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan
kegiatan operasi produksi.
23. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebur IPR,
adalah izin untuk melaksankan usaha pertambangan dalam wilayah
pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
24. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan
untuk meningkatkan mutu mineral bukan logam dan batuan serta
untuk
memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada
mineral ikutan.
25. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
memindahkan mineral bukan logam dan batuan dari daerah tambang
dan atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat
penyerahan.
26. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual
hasil pertambangan mineral bukan logam dan batuan serta hasil
pengolahan/pemurnian mineral bukan logam dan batuan.
27. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan
usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki
kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali
sesuai
peruntukannya. 28. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan
untuk melakukan
pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk
pengendalian dampak lingkungan.
29. Kegiatan Pasca-Tambang, yang selanjutnya disebut
pasca-tambang,
adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah
akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk
memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi social menurut
kondisi lokasi di seluruh wilayah pertambangan.
30. Jasa Pertambangan adalah usaha penunjang pertambangan inti
dan non
inti yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan.
-
- 5 -
31. Analisis Mengenai Dampak Lingkunga (AMDAL) adalah kajian
mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan
yang
direncakanan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan serta penyelenggaraan usaha dan atau
kegiatan.
32. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) adalah upaya penanganan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan
akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan.
33. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) adalah upaya pemantauan
komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting
akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan. 34. Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan
dan
pemantauan lingkunga hidup oleh penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan yang tidak wajib melakukan analisis mengenai dampak
lingkungan (AMDAL).
35. Lahan Bekas Tambang adalah lahan wilayah IUP yang telah
dilakukan penambangan sampai pada batas kedalaman penggalian
maksimal yang
diperbolehkan. 36. Pelaksanaan Inspeksi Tambang (PIT)/Inspektur
Tambang (IT) adalah
pegawai Dinas Pertambangan dan Energi yang ditunjuk/diangkat
sebagai pelaksana inspeksi tambang di daerah dan bertugas
melaksanakan pengawasan kesehatan dan keselamatan kerja serta
lingkungan hidup atau usaha pertambangan umum. 37. Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) adalah Pegawai Negeri Sipil yang
diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang yang menjadi dasar
hukumnya untuk melakukan penyidikan. 38. Penerimaan Negara Bukan
Pajak adalah seluruh penerimaan Pemerintah
Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.
39. Penerimaan Negara Bukan Pajak Terutang adalah penerimaan
negara bukan pajak yang harus dibayarkan pada suatu saat atau dalam
suatu
periode tertentu menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
40. Iuran Tetap adalah iuran yang dibayarkan kepada negara
sebagai
imbalan atas kesempatan eksplorasi dan operasi produksi pada
suatu
wilayah izin usaha pertambangan. 41. Iuran Produksi adalah iuran
yang dibayarkan kepada negara atas hasil
yang diperoleh dari usaha pertambangan operasi produksi dari
satu atau lebih komoditi tambang.
42. Masyarakat Adat adalah warga asli Papua yang hidup dalam
wilayah dan
terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa
solidaritas yang tinggi diantara anggotanya.
43. Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang
hidup dalam
masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan
serta mempunyai sanksi.
44. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dimiliki oleh
masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu
merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk
memanfaatkan tanah,
hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
-
- 6 -
Pasal 2
(1) Pengelolaan usaha pertambangan mineral bukan logam dan
batuan dilaksanakan berdasarkan asas: a. manfaat, keadilan, dan
keseimbangan;
b. keberpihakan kepada kepentingan daerah; c. partisipatif,
transparansi, dan akuntabilitas; d. berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan.
(2) Pengelolaan usaha pertambangan mineral bukan logam dan
batuan bertujuan:
a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan
usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya
saing;
b. menjamin manfaat pertambangan mineral bukan logam dan batuan
secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;
c. menjamin tersedianya mineral bukan logam dan batuan
sebagai
bahan baku dan/atau untuk kebutuhandalam daerah; d. mendukung
dan menumbuhkembangkan kemampuan daerah dan
nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat regional; e.
meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara,
serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesarbesarnya
kesejahteraan masyarakat; dan f. menjamin kepastian hukum dalam
penyelenggaraan kegiatan usaha
pertambangan mineral bukan logam dan batuan.
BAB II
JENIS PERTAMBANGAN MINERAL
Pasal 3
(1) Jenis pertambangan mineral dikelompokan ke dalam 2 (dua)
komoditas
tambang yaitu: a. mineral bukan logam; dan b. batuan.
(2) Mineral bukan logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a meliputi intan, korondum, grafit, arsen, pasir kuarsa, fluorspar,
kriolit,
yodium, brom, klor, belerang, fosfat, halit, asbes, talk, mika,
magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire clay, zeolit,
koalin, feldspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang,
pirofilit, kuarsit, zirkon, wolastonit, tawas,
batu kuarsa, perlit, garam batuclay; dan batu gamping untuk
semen. (3) Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi pumice,
tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah diatome, tanah
serap (fullers
earth), slate, granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit,
basalt, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal,
kalsedon, chert, kristal
kuarsa, jasper, krisoprase, kayu terkesikan, garnet, giok, agat,
diorit, topas, batu gunung quarry besar, kerikil galian dari bukit,
kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir
urug, pasir pasang,
kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah),
urukan tanah setempat, tanah merah (laterit), batu gamping, onik,
danpasir yang
tidak mengandung unsur mineral logam atau unsur mineral bukan
logam dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi
pertambangan.
-
- 7 -
BAB III WILAYAH PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu
Perencanaan Wilayah Pertambangan
Pasal 4
(1) Perencanaan WP disusun melalui tahapan: a. inventarisasi
potensi pertambangan;dan
b. penyusunan rencana WP. (2) Inventarisasi potensi pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilakukan melalui kegiatan penyelidikan dan
penelitian
pertambangan untuk memperoleh data dan informasi potensi
pertambangan mineral bukan logam dan batuan.
(3) Inventarisasi potensi pertambangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2)
dilakukan oleh Dinas. (4) Dalam hal tertentu, dinas dapat
melakukan kerjasama dengan lembaga
risert berdasarkan persetujuan bupati.
Bagian Kedua
Penetapan Wilayah Pertambangan
Pasal 5
(1) WP merupakan kawasan yang memiliki potensi mineral bukan
logam dan/atau batuan, baik di permukaan tanah maupun dibawah
permukaan tanah, yang berada dalam wilayah daratan atau wilayah
sungai untuk kegiatan pertambangan.
(2) Wilayah yang dapat ditetapkan sebagai WP sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) yaitu suatu wilayah yang memiliki indikasi potensi
mineral bukan logam dan batuan.
(3) Apabila indikasi potensi mineral bukan logam dan batuan
keterdapatannya berdasarkan hasil sedimentasi dan atau pengendapan
maka WP dapat ditetapkan oleh Bupati.
(4) Penetapan WP mineral bukan logam dan batuan berdasarkan
perencanaan dan penetapan wilayah pertambangan sesuai hasil
penyelidikan dan penelitian yang dilakukan oleh dinas dan/atau
lembaga
risert dan ditetapkan oleh Bupati berdasarkan hasil koordinasi
dengan Gubernur dan Bupati serta berkonsultasi dengan DPRD.
Pasal 6
WP terdiri dari : a. WUP; dan b. WPR.
BAB IV
WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN DAN WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT
Bagian Kesatu
Wilayah Usaha Pertambangan
-
- 8 -
Pasal 7
(1) WUP terdiri atas: a. Mineral Bukan Logam; dan b. Batuan.
(2) Dalam 1 (satu) WUP dapat terdiri atas 1 (satu) atau beberapa
WIUP. (3) Permohonan WIUP diajukan oleh badan usaha, koperasi
dan
perseorangan kepada Bupati.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (2) wajib dilengkapi
peta dengan batas koordinat geografis, penetapan batas dan luas
WIUP.
(5) Kriteria penetapan WIUP dalam WUP adalah sebagai berikut :
a. letak geografis; b. kaidah konservasi;
c. daya dukung lingkungan; d. optimalisasi sumber daya mineral;
dan e. tingkat kepadatan penduduk.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batas dan luas
WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan
bupati.
Bagian Kedua
Wilayah Pertambangan Rakyat
Pasal 8
(1) Kegiatan pertambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu WPR.
(2) WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Bupati
setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi dan
berkonsultasi dengan DPRD.
(3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk
mendapatkan
pertimbangan berkaitan dengan data dan informasi yang dimiliki
oleh pemerintah provinsi.
(4) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk
memperoleh pertimbangan DPRD atas rencana penetapan WPR.
(5) Rencana Penetapan WPR sebelum dikoodinasikan kepada
Pemerintah
Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan dikonsultasikan
ke DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati menyampaikan
rencana tersebut kepada masyarakat setempat di mana WPR
direncanakan.
(6) Penyampaian Rencana Penetapan WPR kepada masyarakat
sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dilakukan melalui sosialisasi dan/atau
pengumuman kepada masyarakat setempat.
Pasal 9
(1) Bupati menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP
menjadi WPR berdasarkan potensi mineral serta peta potensi dan/atau
cadangan mineral bukan logam dan batuan sesuai hasil penyelidikan
dan penelitian
serta eksplorasi. (2) Bupati dalam menyusun rencana WPR
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memperhatikan saran dan usulan dari penduduk/masyarakat
setempat.
(3) WPR yang ditetapkan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus
memenuhi kriteria:
-
- 9 -
a. memiliki cadangan mineral sekunder yang terdapat di daratan,
sungai dan atau diantara dan tepi sungai;
b. merupakan endapan teras, dataran banjir dan endapan sungai
purba; c. memiliki luas paling banyak 25 (dua puluh lima) hektar;
d. menguraikan jenis komoditas yang akan ditambang; dan atau
e. merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang
sudah dikerjakan paling singkat 15 (lima belas) tahun;
f. tidak tumpang tindih dengan WUP dan WPN; dan
g. merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan
rencana tata ruang.
Pasal 10
Satu WPR hanya dapat diperuntukkan bagi satu jenis komoditas
tambang.
Pasal 11
Dalam hal wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang
sudah
dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan
untuk ditetapkan sebagai WPR sepanjang lokasi tersebut layak untuk
ditambang dan tidak bertentangan dengan Peraturan
Perundang-Undangan.
BAB V
USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 12
(1) Kegiatan usaha pertambangan mineral bukan logam dan
batuan
dilaksanakan di WIUP setelah mendapatkan IUP.
(2) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam WIUP.
(3) WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Bupati.
(4) Dalam 1 (satu) WIUP dapat diberikan 1 (satu) atau beberapa
IUP. (5) Untuk mendapatkan WIUP mineral bukan logam dan batuan,
badan
usaha, koperasi atau perseorangan mengajukan permohonan
wilayah
kepada Bupati. (6) Bupati harus memberikan keputusan menerima
atau menolak atas
permohonan WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (7) Dalam
hal Badan Usaha, Koperasi dan Perseorangan telah memperoleh
WIUP mineral bukan logam dan atau batuan harus menyampaikan
permohonan IUP kepada Bupati.
Pasal 13
(1) Permohonan pengajuan WIUP mineral bukan logam dan batuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) memenuhi
persyaratan : a. koordinat geografis lintang dan bujur sesuai
dengan ketentuan sistem
informasi geografi yang berlaku secara nasional; dan
b. membayar biaya pencadangan dan pencetakan peta. (2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai biaya pencadangan dan pencetakan peta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
-
- 10 -
Pasal 14
(1) IUP terdiri atas : a. IUP eksplorasi;dan b. IUP operasi
produksi.
(2) IUP eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi : a. kegiatan penyelidikan umum; b. eksplorasi;
c. studi kelayakan; dan d. rencana kegiatan penambangan.
(3) IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi: a. kegiatan konstruksi;
b. penambangan; c. pengolahan; d. pemurnian;dan
e. pengangkutan dan penjualan. (4) Pemegang IUP eksplorasi dan
pemegang IUP operasi produksi dapat
melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 15
(1) IUP diberikan oleh Bupati berdasarkan permohonan yang
diajukanoleh : a. badan usaha; b. koperasi; dan
c. kelompok masyarakat/perseorangan. (2) IUP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya diberikandalam 1 (satu)
WIUP.
Bagian Kesatu
Pemberian Wilayah IzinUsaha Pertambangan
Pasal 16
Bupati berwenang memberikan WIUP yang terdiri atas :
a. WIUP mineral bukan logam; dan b. WIUP batuan
Pasal 17
Bupati berwenang memberikan IUP ekplorasi, operasi produksi dan
IPR
Paragraf 1
Pemberian IzinUsaha Pertambangan Eksplorasi
Pasal 18
Pemberian IUP eksplorasi wajib memuat syarat:
a. nama perusahaan; b. lokasi dan luas wilayah; c. status
peruntukan lahan sesuai RTRW atau RDTR;
d. jaminan kesungguhan; e. modal investasi;
-
- 11 -
f. perpanjangan waktu tahapan kegiatan; g. hak dan kewajiban
pemegang IUP;
h. jangka waktu berlakunya tahap kegiatan; i. jenis usaha yang
diberikan; j. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di
sekitar wilayah
pertambangan dan penyelesaian masalah pertanahan; k. perpajakan;
l. penyelesaian perselisihan; dan
m. iuran tetap dan iuran eksplorasi;
Paragraf 2 Pemberian IzinUsaha Pertambangan Operasi Produksi
Pasal 19 Pemberian IUP Operasi Produksi wajib memuat syarat
:
a. nama perusahaan; b. luas wilayah;
c. lokasi penambangan; d. rencana umum tata ruang; e. lokasi
pengolahan dan pemurnian;
f. pengangkutan dan penjualan; g. modal investasi disertai
dengan laporan keuangan terakhir yang diaudit
oleh akutansi publik; h. jangka waktu berlakunya IUP; i. jangka
waktu tahap kegiatan;
j. penyelesaian masalah pertanahan; k. lingkungan hidup termasuk
reklamasi dan pasca tambang; l. dana jaminan reklamasi dan pasca
tambang;
m. perpanjangan IUP; n. hak dan kewajiban pemegang IUP;
o. rencana pengembangan dan pemberdayaa masyarakat disekitar
wilayah pertambangan;
p. perpajakan;
q. penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap
dan iuran produksi;
r. penyelesaian perselisihan; s. keselamatan dan kesehatan
kerja; t. konservasi mineral bukan logam dan batuan;
u. pemanfaatan barang, jasa dan teknologi dalam negeri; v.
penerapan kaidah perekonomian dan keteknikan pertambangan yang
baik;
w. pengembangan tenaga kerja; x. pengelolaan data mineral bukan
logam dan batuan;
y. dokumen UKL/UPL dan atau amdal sesuai dengan
peruntukannya.
Pasal 20
(1) Dalam hal pemegang IUP eksplorasi dan/atau IUP operasi
produksi
menemukan mineral lain didalam WIUP yang dikelola, diberikan
prioritas untuk mengusahakannya.
(2) Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan mineral lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib membentuk badan usaha
baru dan mengajukan permohonan IUP baru kepada Bupati.
-
- 12 -
(3) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang
ditemukan
tersebut. (4) Pemegang IUP yang tidak berminat untuk
mengusahakan mineral lain
yang ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
menjaga
mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain. (5)
IUP untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat
(4)
dapat diberikan kepada pihak lain oleh Bupati sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 21
IUP tidak dapat digunakan untuk kegiatan selain yang dimaksud
dalam
pemberian IUP.
Bagian Kedua
Persyaratan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan Izin Usaha
Pertambangan Operasi Produksi
Pasal 22
Persyaratan untuk memperoleh IUP eksplorasi dan IUP Operasi
Produksi, meliputi :
a. administratif; b. teknis; c. lingkungan; dan
d. finansial.
Paragraf 1
Persyaratan Administratif
Pasal 23
Persyaratan administratif bagi badan usaha terdiri atas :
a. surat permohonan; b. profil badan usaha;
c. akta pendirian badan usaha yang bergerak dibidang usaha
pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat berwenang;
d. nomor pokok wajib pajak;
e. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan f. surat
keterangan domisili. g. keterangan kawasan peruntukan lahan;
dan
h. Keterangan status lahan.
Pasal 24
Persyaratan administratif bagi koperasiterdiri atas :
a. surat permohonan; b. profil koperasi;
c. akta pendirian koperasi yang bergerak dibidang usaha
pertambangan yang telah disyahkan oleh pejabat berwenang;
d. nomor pokok wajib pajak;
e. susunan pengurus koperasi; dan f. surat keterangan
domisili;
-
- 13 -
g. keterangan kawasan peruntukan lahan; dan h. keterangan status
lahan.
Pasal 25
Persyaratan administratif kelompok masyarakat dan/atau
perseorangan terdiri atas : a. surat permohonan;
b. kartu tanda penduduk ; c. nomor pokok wajib pajak;
d. surat keterangan domisili; e. keterangan kawasan peruntukan
lahan; dan f. keterangan status lahan.
Paragraf 2
Persyaratan Teknis
Pasal 26
Persyaratan teknis untuk memperoleh IUP eksplorasi terdiri atas
: a. daftar riwayat hidup dan surat pernyataan tenaga ahli
teknis
pertambangan dan atau geologi yang berpengalaman. b. peta WIUP
yang dilengkapi dengan batas koordinat geografis sesuai
ketentuan sistem informasi geografis yang berlaku secara
nasional; c. penyajian informasi lingkungan dan rencana pengelolaan
lingkungan
yang disetujui instansi teknis terkait.
Pasal 27
Persyaratan teknis untuk memperoleh IUP produksi terdiri atas :
a. tersedianya tenaga ahli teknis pertambangan dan atau geologi
yang
berpengalaman. b. peta WIUP yang dilengkapi dengan batas
koordinat geografis sesuai
ketentuan sistem informasi geografis yang berlaku secara
nasional;
c. laporan hasil eksplorasi; d. laporan studi kelayakan, rencana
reklamasi dan pasca tambang;
e. rencana kerja dan anggaran biaya; f. rencana pembangunan
sarana penunjang kegiatan operasi produksi; dan g. dokumen UKL/UPL
dan atau amdal sesuai dengan peruntukannya.
Paragraf 3
Persyaratan Lingkungan
Pasal 28
(1) Persyaratan lingkungan untuk memperoleh IUP eksplorasi
berupa surat
pernyataan tentang kesanggupan untuk mematuhi ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang pengelolaan lingkungan
hidup;
(2) Persyaratan lingkungan untuk memperoleh IUP operasi produksi
terdiri atas: a. membuat surat pernyataan tentang kesanggupan untuk
mematuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang
pengelolaan lingkungan hidup; dan
-
- 14 -
b. persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 4
Persyaratan Finansial
Pasal 29
(1) Persyaratan finansial untuk memperoleh IUP ekplorasi terdiri
atas : a. bukti penempatan jaminan jaminan kesungguhan
pelaksanaan
kegiatan eksplorasi; dan b. bukti pembayaran biaya pencadangan
wilayah dan pembayaran cetak
peta WIUP bukan logam atau batuan atas permohonan wilayah;
4 Persyaratan finansialuntuk memperoleh IUP operasi produksi
terdiri atas: a. menyampaikan laporan neraca keuangan tahun
terakhir;
b. bukti pembayaran iuran tetap; c. bukti pembayaran pengganti
investasi sesuai dengan nilai penawaran
lelang bagi pemenang lelang dan atau keterangan pendukung
pengganti investasi.
Bagian Ketiga Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan Operasi
Produksi
Paragraf 1
Izin Usaha Pertambangan Ekplorasi
Pasal 30
(1) IUP eksplorasi dapat diberikan paling lama dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun.
(2) Jangka waktu 3 (tahun) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dipergunakan untuk : a. penyeledikan umum 1 (satu) tahun;
b. eksplorasi 1 (satu) tahun; dan c. studi kelayakan 1 (satu)
tahun.
Pasal 31
(1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP
dengan luas wilayah paling banyak 5000 (limaribu) hektar.
(2) Pemegang IUP eksplorasi batuan diberi WIUP luas paling
banyak 50 (lima
puluh) hektar. (3) Pada wilayah yang telah diberikan IUP
eksplorasi mineral bukan logam
dan atau batuan dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk
mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.
(4) Pemegang IUP dapat memberikan IUPnya kepada pihak lain
untuk
mengusahakan mineral lain yang terdapat dalam WIUP.
-
- 15 -
Pasal 32
Apabila badan usaha dan/atau koperasi mengundurkan diri atau
membatalkan IUP eksplorasi tanpa alasan jelas sebelum masa
berakhirnya IUP maka jaminan kesungguhan menjadi milik pemerintah
daerah dan WIUP
ditetapkan sebagai wilayah terbuka.
Paragraf 2
Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi
Pasal 33
(1) IUP operasi produksi untuk pertambangan mineral bukan logam
dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun.
(2) izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
sebanyak 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima)tahun.
(3) IUP operasi produksi untuk pertambangan batuan dapat
diberikan paling
lama dalam jangka waktu 5 (lima); (4) izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat diperpanjang sebanyak 2
(dua) kali masing-masing 5 (lima)tahun. (5) Pemegang IUP operasi
produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
masing-masing mempunyai WIUP mineral bukan logam dengan luas
1000
(Seribu) hektare dan WIUP batuan dengan luas paling banyak 20
(dua puluh) hektare.
Paragraf 3 Perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Operasi
Produksi
Pasal 34
(1) Permohonan perpanjangan IUP operasi produksi diajukan paling
lambat
6 (enam) bulan sebelum berakhirnya izin. (2) Permohonan
perpanjangan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilengkapi :
a. peta dan batas koordinat wilayah; b. laporan akhir kegiatan
operasi produksi;
c. laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungan; d. rencana kerja
dan anggaran biaya; dan e. neraca sumber daya dan cadangan.
(3) Bupati dapat menolak permohonan perpanjangan IUP operasi
produksi apabila pemegang IUP Operasi produksi berdasarkan hasil
evaluasi, pemegang IUP operasi produksi tidak menunjukkan kinerja
operasi
produksi yang baik. (4) penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), harus disampaikan
kepada pemegang IUP Operasi Produksi paling lambat sebelum
berakhirnya IUP Operasi Produksi
(5) Pemegang IUP operasi produksi hanya dapat diberikan
perpanjangan
sebanyak 2 (dua) kali. (6) Pemegang IUP Operasi Produksi yang
telah memperoleh perpanjangan
IUP Operasi Produksi sebanyak 2 (dua) kali, harus mengembalikan
WIUP Operasi Produksi kepada bupati berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-
- 16 -
Pasal 35
(1) Pemegang IUP Operasi Produksi yang telah memperoleh
perpanjangan IUP Operasi Produksi sebanyak 2 (dua) kali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6), dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
sebelum
jangka waktu masa berlakunya IUP berakhir, harus menyampaikan
kepada bupati mengenai keberadaan potensi dan cadangan mineral pada
WIUP-nya.
(2) WIUP yang IUP-nya akan berakhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sepanjang masih berpotensi untuk diusahakan, WIUP-nya
dapat
ditawarkan kembali melalui mekanisme permohonan wilayah sesuai
dengan dalam peraturan daerah ini.
Pasal 36
(1) Dalam hal pemegang IUP operasi produksi tidak melakukan
kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau pengolahan maka
dapat
dilakukan oleh pihak lain yang memiliki : a. IUP Operasi
Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan;
b. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan; (2) IUP Operasi
Produksi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf b diberikan oleh Bupati apabila kegiatan
pengangkutan, penjualan dan pengolahan dalam wilayah daerah.
Bagian Keempat Pemasangan Tanda Batas
Pasal 37
(1) Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diperoleh IUP
Operasi Produksi, pemegang IUP Operasi Produksi wajib memberikan
tanda
batas dengan memasang patok pada WIUP . (2) Pembuatan tanda
batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
sesuai peta dan daftar koordinat geografis dalam permohonan
WIUP
sebelum dimulai kegiatan operasi produksi. (3) Dalam hal terjadi
perubahan batas wilayah pada WIUP Operasi Produksi,
harus dilakukan perubahan tanda batas wilayah dengan pemasangan
patok baru pada WIUP.
Bagian Kelima Komoditas Tambang Lain Dalam Wilayah IzinUsaha
Pertambang
Pasal 38
(1) Dalam hal pada lokasi WIUP ditemukan komoditas tambang
lainnya dalam IUP, maka pemegang IUP eksplorasi dan atau IUP
operasi poduksi diberi prioritas apabila berminat untuk
mengusahakan komoditas
tambang lainnya yang ditemukan. (2) Dalam hal pemegang IUP akan
mengusahakan komoditas tambang
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus membentuk badan
usaha baru.
-
- 17 -
(3) Apabila pemegang IUP eksplorasi dan IUP operasi poduksi
tidak berminat atas komoditas tambang lainnya sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1), kesempatan pengusahaannya dapat diberikan kepada pihak
lain dan diselenggarakan dengan cara permohonan wilayah.
(4) Pihak lain yang mendapat IUP berdasarkan permohonan wilayah
harus
berkoordinasi dengan pemegang IUP eksplorasi dan IUP operasi
produksi pertama.
(5) Tata cara pemberian IUP baru sesuai komoditas tambang lain
dilakukan
sesuai dengan ketentuan dalam peraturan daerah ini.
BAB VI
IZINPERTAMBANGAN RAKYAT
Bagian Kesatu Tata Cara Pemberian Izin Pertambangan Rakyat
Pasal 39
(1) IPR diberikan oleh Bupati berdasarkan permohonan yang
diajukan oleh penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok
masyarakat dan/atau koperasi.
(2) IPR diberikan setelah WPR ditetapkan dan usaha pertambangan
rakyat pada WPR dapat dilaksanakan setelah mendapat IPR.
(3) Dalam 1 (satu) WPR dapat diberikan 1 (satu) atau lebih
IPR.
(4) Untuk memperoleh IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemohon wajib menyampaikan surat permohonan kepada Bupati melalui
Dinas.
(5) Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada
: a. Perseorangan paling banyak 2 (dua) hektar; b. Kelompok
masyarakat paling banyak 5 (lima) hektar;
c. Koperasi dan atau badan usaha paling banyak 10 (sepuluh)
hektar. (6) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (lima)
tahun dan dapat
diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 2 (dua) tahun.
Bagian Kedua
Persyaratan Pemberian Izin Pertambangan Rakyat
Pasal 40
Persyaratan untuk memperoleh IPR, meliputi :
a. administratif; b. teknis; dan c. finansial.
Pasal 41
(1) Persyaratan administrasi bagi perseorangan dan kelompok
masyarakat
terdiri atas :
a. surat permohonan; b. KTP; c. komoditas yang dimohon;
d. surat keterangan dari lurah/kepala kampung setempat; e. surat
perjanjian sewa menyewa/kontrak tanah apabila tanah tersebut
milik orang lain; dan
-
- 18 -
f. surat bukti kejelasan status kawasan dan kepemilikan atas
tanah. (2) Persyaratan administrasi bagi koperasi terdiri atas
:
a. surat permohonan; b. NPWP; c. akta pendirian koperasi yang
telah disahkan oleh pejabat yang
berwenang; d. komoditas tambang yang dimohon; e. surat
keterangan dari lurah/kepala kampung setempat;
f. surat perjanjian sewa menyewa/kontrak tanah apabila tanah
tersebut milik orang lain; dan
g. surat bukti kejelasan status kawasan dan kepemilikan atas
tanah.
Pasal 42
Persyaratan teknis terdiri atas : a. sumuran pada IPR paling
dalam 20 (dua puluh) meter;
b. menggunakan pompa mekanik, penggelundungan atau permesinan
dengan jumlah tenaga maksimal 25 (dua puluh lima) horse power untuk
1 (satu) IPR; dan
c. tidak menggunakan alat berat dan bahan peledak.
Pasal 43
Persyaratan finansial hanya berlaku bagi koperasi berupa laporan
neraca
keuangan 1 (satu) tahun terakhir.
Bagian Ketiga
Luas Wilayah Izin Pertambangan Rakyat
Pasal 44
(1) Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada
:
a. perseorangan paling banyak 2 (dua) hektare. b. kelompok
masyarakat paling banyak 5 (lima) hektare c. koperasi paling banyak
10 (sepuluh) hektare.
(2) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (lima) tahun
dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 2 (dua)
tahun.
(3) Perpanjangan IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan melalui surat permohanan kepada Bupati dengan persyaratan
sebagaiman dimaksud dalam Pasal 41.
(4) Penduduk, kelompok masyarakat dan koperasi setempat
diprioritaskan untuk memperoleh IPR.
Pasal 45
(1) Permohonan perpanjangan IPR diajukan paling lambat 3 (tiga)
bulan sebelum berakhirnya izin.
(2) Permohonan perpanjangan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
harus dilengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
39. (3) Setelah pemegang IPR yang telah memperoleh perpanjangan
IPR
sebanyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(2), pemegang IPR harus mengembalikan WPR kepada Bupati sesuai
dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
-
- 19 -
(4) Bupati dapat menolak permohonan perpanjangan IPR sebagaimana
dimaksuad pada ayat (2) apabila tidak memenuhi persyaratan.
(5) Dalam hal terjadi penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) Bupati wajib menyampaikan alasan secara tertulis paling lambat
3 (tiga) bulan sesudah pengajuan permohonan perpanjangan.
Bagian Keempat
Pelimpahan Kewenangan Izin Pertambangan Rakyat
Pasal 46
(1) Bupati dapat melimpahkan sebagian kewenangan pelaksanaan
pemberian IPR kepada Kepala Distrik. (2) Sebagian kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. penerbitan surat keterangan domisili pemohon; b.
pengesahan/legalisasi surat perjanjian sewa menyewa/kontrak tanah;
c. surat keterangan bukti kejelasan status kawasan dan
kepemilikan
atas tanah; d. pengesahan/legalisasi akta koperasi atau badan
hukum;
e. fasilitator dalam pembuatan surat perjanjian sewa
menyewa/kontrak tanah; dan
f. pengawasan langsung di tempat penambangan rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelimpahan sebagian
kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Bupati.
BAB VII PENCIUTAN WILAYAH USAHA, PENGHENTIAN SEMENTARA
KEGIATAN
USAHADAN BERAKHIRNYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu
Penciutan Wilayah Usaha Pertambangan Mineral Bukan Logam dan
Batuan
Pasal 47
(1) Pemegang IUP sewaktu-waktu dapat mengajukan permohonan
kepada Bupati untuk menciutkan sebagian atau mengembalikan seluruh
WIUP.
(2) Pemegang IUP dalam melaksanakan penciutan atau pengembalian
WIUP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyerahkan : a.
laporan, data dan informasi penciutan atau pengembalian yang
berisikan semua penemuan teknis dan geologis yang diperoleh pada
wilayah yang akan diciutkan dan alasan penciutan atau pengembalian
serta data lapangan hasil kegiatan;
b. peta wilayah penciutan atau pengembalian beserta
koordinatnya; c. bukti pembayaran/pelunasan kewajiban-kewajiban
keuangan; d. laporan kegiatan sesuai status tahapan terakhir;
dan
e. laporan pelaksanaan reklamasi pada wilayah yang diciutkan
atau dilepas.
Pasal 48
(1) Pemegang IUP Eksplorasi mempunyai kewajiban untuk
melepaskan
WIUP.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk :
-
- 20 -
a. IUP mineral bukan logam : 1. pada tahun kedua wilayah
eksplorasi yang dapat dipertahankan
paling banyak 25 (dua puluh lima) hektar; dan 2. pada tahun
ketiga atau pada akhir IUP Eksplorasi saat peningkatan
menjadi IUP Operasi Produksi, wilayah yang dipertahankan
paling
banyak 15 (lima belas) hektar. b. IUP batuan :
1. pada tahun kedua wilayah eksplorasi yang dapat
dipertahankan
paling banyak 15 (lima belas) hektar; dan 2. pada tahun ketiga
atau pada akhir eksplorasi saat peningkatan
menjadi IUP Operasi Produksi wilayah yang dipertahankan paling
banyak 10 (sepuluh) hektar.
(3) Apabila luas wilayah maksimum yang dipertahankan sudah
dicapai
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang IUP Eksplorasi tidak
diwajibkan lagi menciutkan wilayah.
Bagian Kedua
Penghentian Sementara Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Bukan
Logam dan Batuan
Pasal49
(1) Bupati dapat melakukan penghentian sementara atas kegiatan
usaha
pertambangan mineral bukan logam dan batuan. (2) Penghentian
sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila terjadi : a. keadaan
kahar; b. keadaan yang menghalangi; dan/atau
c. kondisi daya dukung lingkungan. (3) Penghentian sementara
kegiatan usaha pertambangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan oleh
Bupati
berdasarkan permohonan dari pemegang IUP. (4) Penghentian
sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan oleh Bupati berdasarkan
permohonan dari masyarakat.
(5) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak mengurangi
masa berlaku IUP.
Pasal 50
(1) Penghentian sementara karena keadaan kahar sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a harus diajukan oleh pemegang
IUP
dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender
sejak terjadinya keadaan kahar kepada Bupati untuk memperoleh
persetujuan. (2) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diberikan
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang
1 (satu) kali. (3) Penghentian sementara karena keadaan yang
menghalangi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b diberikan 1 (satu) kali
dengan
jangka waktu 1 (satu) tahun pada setiap tahapan kegiatan dengan
persetujuan Bupati sesuai kewenangannya.
-
- 21 -
(4) Apabila jangka waktu penghentian sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) telah berakhir, dapat diberikan perpanjangan
jangka waktu
penghentian sementara dalam hal terkait perizinan dari instansi
lain.
Pasal 51
Permohonan perpanjangan penghentian sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) diajukan secara tertulis dalam
jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum berakhirnya
penghentian sementara.
Pasal 52
(1) Pemegang IUP yang telah diberikan persetujuan penghentian
sementara karena keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
ayat (2) huruf a, tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhi
kewajiban
keuangan. (2) Pemegang IUP yang telah diberikan persetujuan
penghentian sementara
karena keadaan yang menghalangi dan/atau kondisi daya dukung
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b,
dan huruf c wajib :
a. menyampaikan laporan kepada Bupati; b. memenuhi kewajiban
keuangan meliputi iuran produksi, dan pajak;
c. tetap melaksanakan pengelolaan lingkungan keselamatan dan
kesehatan kerja, serta pemantauan lingkungan.
Pasal 53
Persetujuan penghentian sementara berakhir karena : a. habis
masa berlakunya; atau b. permohonan pencabutan dari pemegang
IUP.
Pasal 54
Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam pemberian
persetujuan
penghentian sementara telah habis dan tidak diajukan permohonan
perpanjangan atau permohonan perpanjangan tidak disetujui,
penghentian sementara tersebut berakhir.
Pasal 55
(1) Apabila kurun waktu penghentian sementara belum berakhir
dan
pemegang IUP sudah siap untuk melakukan kegiatan operasionalnya
kembali, dapat mengajukan permohonan pencabutan penghentian
sementara kepada Bupati.
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Bupati menyatakan pengakhiran penghentian sementara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
penghentian sementara diatur dengan Peraturan Bupati.
-
- 22 -
Bagian Ketiga Berakhirnya Izin Usaha Pertambangan
Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pasal 56
IUP dan IPR berakhir karena : a. Dikembalikan;
b. Dicabut; atau c. Habis masa berlakunya.
Pasal 57
(1) Pemegang IUP atau IPR dapat menyerahkan kembali IUP atau
IPR-nya
dengan pernyataan tertulis kepada Bupati dan disertai dengan
alasan
yang jelas. (2) Pegembalian IUP atau IPR sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
dinyatakan sah setelah disetujui oleh Bupati dan setelah
memenuhi kewajibannya.
Pasal 58
IUP atau IPR dapat dicabut oleh Bupati apabila :
a. Pemegang IUP atau IPR tidak memenuhi kewajiban yang
ditetapkan dalam IUP atau IPR serta peraturan
perundang-undangan;
b. Pemegang IUP atau IPR melakukan tindak pidana di bidang
pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang; atau
c. Pemegang IUP atau IPR dinyatakan pailit.
Pasal 59
Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP dan IPR telah
habis dan tidak diajukan permohonan peningkatan atau perpanjangan
tahap kegiatan
atau pengajuan permohonan tetapi tidak memenuhi persyaratan, IUP
dan IPR tersebut dinyatakan berakhir.
Pasal 60
(1) Pemegang IUP atau IPR yang IUP atau IPRnya berakhir karena
hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 59
wajib
memenuhi dan menyelesaikan kewajiban kepada Pemerintah Daerah.
(2) Kewajiban Pemegang IUP atau IPR sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dianggap telah dipenuhi setelah mendapat persetujuan Bupati.
Pasal 61
(1) IUP atau IPR yang telah dikembalikan, dicabut, atau habis
masa
berlakunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikembalikan
kepada
Bupati. (2) WIUP atau WPR yang IUP-nya atau IPR-nya berakhir
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditawarkan kepada badan usaha, koperasi,
atau
perseorangan melalui mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-
- 23 -
Pasal 62
Apabila IUP atau IPR berakhir, pemegang IUP atau IPR wajib
menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan
operasi produksi kepada Bupati.
BAB VIII
USAHA JASA PERTAMBANGAN
Pasal 63
(1) Setiap orang dan/atau badan hukum yang menyelenggarakan
pengelolaan usaha pertambangan mineral bukan logam dan
batuan
harus menggunakan usaha jasa pertambangan lokal dan/atau
nasional. (2) Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa penunjang
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pemegang IUP dapat menggunakan
perusahaan
usaha jasa pertambangan lain yang berbadan hukum Indonesia. (3)
Khusus perusahaan jasa pertambangan nasional dan perusahaan
jasa
pertambangan lain yang berbadan hukum Indonesia harus memperoleh
persetujuan dari Bupati.
(4) Jenis usaha jasa pertambangan meliputi :
a. Konsultasi, perencanaan, pelaksanaan dan pengujian peralatan
di bidang :
1. Penyelidikan umum; 2. Eksplorasi; 3. Studi kelayakan;
4. Konstruksi pertambangan; 5. Pengangkutan; 6. Lingkungan
pertambangan;
7. Pasca tambang dan reklamasi; dan atau 8. Keselamatan dan
kesehatan kerja.
b. Konsultasi, perencanaan dan pengujian peralatan di bidang :
1. Penambangan; atau 2. Pengolahan dan pemurnian.
Pasal 64
(1) Dalam hal pemegang IUP menggunakan jasa pertambangan,
tanggungjawab kegiatan usaha jasa pertambangan tetap dibebankan
kepada pemegang IUP.
(2) Pelaksana usaha jasa pertambangan dapat berupa badan usaha,
koperasi atau perseorangan sesuai dengan klasifikasi dan
kualifikasi yang telah ditetapkan oleh Bupati.
(3) Pelaku usaha jasa pertambangan wajib mengutamakan
kontraktor, sub. kontraktor dan tenaga kerja lokal.
Pasal 65
(1) Dalam pelaksanaan penggunaan usaha jasa pertambangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 pelaku usaha jasa pertambangan
wajib melakukan pembinaan dan pendampingan bagi pengusaha lokal
terutama masyarakat setempat. (2) Pembinaan bagi pengusaha lokal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam hal :
-
- 24 -
a. pembinaan administratif; b. pembinaan teknis dan alih
teknologi;
c. pembinaan manajemen keuangan; dan d. pembinaan penggunaan
peralatan.
(3) Pendampingan bagi pengusaha lokal orang asli Papua
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal : a. pendampingan
penatausahaan administratif; b. pendampingan tenaga ahli dan/atau
tenaga teknis; dan
c. pendampingan dalam pengelolaan manajemen keuangan.
Pasal 66
(1) Pemegang IUP dilarang melibatkan anak perusahaan
dan/atau
afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan di wilayah
usaha pertambangan yang diusahakannya, kecuali dengan izin
Bupati.
(2) Pemberian izin Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan
apabila: a. tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sejenis
di wilayah
tersebut; atau b. tidak ada perusahaan jasa pertambangan yang
berminat/mampu.
BAB IX PENGGUNAAN TANAH UNTUK PERTAMBANGAN
Pasal 67
(1) Hak atas WIUP atau WPR tidak meliputi hak atas tanah
permukaan bumi.
(2) Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada
tempat
yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 68
(1) Pemegang IUP hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah
mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah.
(2) Pemegang IUP sebelum melakukan kegiatan operasi produksi
wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas
tanah oleh pemegang IUP.
(4) Pemegang IUP telah melaksanakan penyelesaian terhadap
bidang-bidang tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dapat
diberikan hak atas tanah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(5) Hak atas IUP bukan merupakan pemilikan hak atas tanah.
BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 69
Pemegang IUP dan IPR berhak :
-
- 25 -
a. melakukan penambangan di wilayah penambangan sesuai ketentuan
dalam IUP dan IPR;
b. memperoleh pendidikan dan pelatihan di bidang pertambangan;
c. memperoleh pembinaan dibidang keselamatan dan kesehatan
kerja;
d. memperoleh informasi tentang pengelolaan lingkungan; e.
memperoleh informasi teknis di bidang pertambangan dan
manajemen
dari pemerintah daerah; dan
f. mendapat bantuan modal.
Pasal 70
Pemegang IUP dan IPR wajib :
a. melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan
setelah IUP dan IPR diterbitkan;
b. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan
dan kesehatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan
memenuhi standar yang berlaku;
c. mengelola lingkungan hidup bersama pemerintah daerah; d.
membayar iuran tetap dan iuran produksi; e. menyampaikan laporan
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan
rakyat secara berkala; dan f. menaati ketentuan persyaratan
teknis pertambangan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 71
(1) Pemegang IUP dan IPR yang tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaiman dimaksud dalam Pasal 70 dikenakan sanksi administratif
berupa :
a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara sebagian atau
seluruh kegiatan; dan
c. pencabutan izin. (2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dapat
dikenakan sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut
masing-masing
untuk jangka waktu 1 (satu) bulan. (3) Pemegang izin yang tidak
melaksanakan kewajibannya setelah
berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ketiga
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi penghentian sementara
seluruh kegiatan untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan.
(4) Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pemegang IUP dan
IPR tidak mengajukan surat permohonan pencabutan penghentian
sementara, maka dilakukan pencabutan izin.
BAB XI
REKLAMASI PASCA TAMBANG
Pasal 72
(1) Pemegang IUP dan IPR wajib melaksanakan reklamasi pasca
tambang. (2) Reklamasi pasca tambang wajib dilaksanakan pada lahan
yang
terganggu akibat kegiatan penambangan. (3) Reklamasi
pascatambang wajib dilaksanakan untuk memulihkan fungsi
lingkungan menurut kondisi lokal di seluruh wilayah
penambangan.
-
- 26 -
(4) Pelaksanaan reklamasi pasca tambang sebagaimana dimaksud
ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) wajib memenuhi prinsip lingkungan
hidup
pertambangan, keselamatan dan kesehatan kerja, serta konservasi
lahan.
Pasal 73
Prinsip lingkungan hidup pertambangan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 72 ayat (4), meliputi : a. perlindungan terhadap kualitas
air permukaan, dan air tanah serta udara
sesuai dengan standart baku mutu lingkungan; b. perlindungan
keanekaragaman hayati; c. stabilitas dan keamanan timbunan batuan
penutup, lahan bekas
tambang serta struktur buatan lainnya; d. pemanfaatan lahan
bekas tambang sesuai dengan peruntukannya; dan e. menghormati nilai
sosial dan budaya masyarakat setempat.
Pasal 74
Prinsip keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72 pada ayat (4), meliputi :
a. perlindungan keselamatan terhadap setiap pekerja; dan b.
perlindungan kesehatan pekerja.
Pasal 75
Prinsip konservasi mineral bukan logam dan batuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 ayat (4), meliputi : a. penambangan yang
optimum dan penggunaan teknologi pengolahan yang
efektif dan efisien; b. pengelolaan dan/atau pemanfaatan
cadangan mineral kualitas rendah
dan mineral kadar rendah serta mineral ikutan; c. pendataan
sumberdaya cadangan mineral bukan logam dan batuan yang
tidak tertambang (yang tidak mineable) serta sisa
pengolahan.
Pasal 76
(1) Setiap pemegang IUP wajib menyerahkan rencana reklamasi
pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi
Produksi. (2) Rencana reklamasi pasca tambang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
disusun oleh pemegang IUP Eksplorasi berdasarkan AMDAL atau
UKL
dan UPL, atau dokumen pengelolaan lingkungan yang telah
disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan. (3) Rencana reklamasi dan rencana pasca
tambang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus mempertimbangkan:
a. prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72; b. peraturan
perundang-undangan yang terkait;
c. sistem dan metode penambangan; d. kondisi spesifik
daerah.
-
- 27 -
BAB XII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 77
(1) Bupati melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam
wilayah daerah.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a.
pemberian pedoman dan standar penyusunan laporan
pertanggungjawaban pengelolaan usaha pertambangan; b. pemberian
bimbingan, pendampingan, dan konsultasi; c. pendidikan dan
pelatihan;
d. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan
evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan;
e. pemberdayaan lembaga dan masyarakat adat dalam ikutserta
pengelolaan usaha pertambangan;
f. peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam ikutserta
pemeliharaan
lingkungan hidup sekitar wilayah pertambangan; dan g. penyuluhan
dan sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang
pertambangan dan mineral.
Pasal 78
(1) Bupati melakukan pengawasan terhadap pengelolaan usaha
pertambangan mineral bukan logam dan batuan di wilayah daerah.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. teknis pertambangan; b. keselamatan dan kesehatan kerja
pertambangan; c. keselamatan operasi pertambangan;
d. pengelolaan lingkungan hidup; e. pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat setempat;
f. pengelolaan IUP dan IPR; g. jumlah, jenis, dan mutu hasil
usaha pertambangan; dan h. kegiatan-kegiatan lain di bidang
kegiatan usaha pertambangan yang
menyangkut kepentingan umum;
Pasal 79
(1) Bupati dapat melimpahkan sebagian kewenangan pembinaan dan
pengawasan kepada kepala Distrik berdasarkan ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (2) Kepala distrik menyampaikan
laporan pembinaan dan pengawasan
kepada Bupati paling lambat sekali dalam 4 (empat) bulan.
Pasal 80
Pemerintah daerah harus melakukan perlindungan dan
pemberdayaan
terhadap masyarakat yang terkena dampak dari pengelolaan usaha
pertambangan melalui : a. sosialisasi tentang dampat negatif dari
pengelolaan tambang mineral
logam dan batuan; b. peringatan dini tentang bahaya longsor dan
banjir akibat proses
penambangan;
-
- 28 -
c. pembentukan kelompok masyarakat peduli bencana; d. simulasi
tentang bahaya bencana akibat penambangan; dan
e. pembangunan sarana prasarana seperti perumahan dan sarana
umum milik masyarakat yang terkena dampak dari penyelenggaraan izin
pengelolaan pertambangan.
BAB XIII PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Pasal 81 (1) Pemerintah Daerah melakukan perlindungan terhadap
masyarakat.
(2) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan yang
terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha
pertambangan.
(3) Masyarakat yang terkena dampak negative dari kegiatan usaha
pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak: a.
memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam
pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
b. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat
pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan.
Pasal 82
(1) Pemegang IUP wajib menyusun program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat di sekitar WIUP. (2) Program sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dikonsultasikan
dengan Bupati dan masyarakat setempat. (3) Masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan
usulan program kegiatan pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat
kepada Bupati untuk diteruskan kepada pemegang IUP. (4)
Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diprioritaskan untuk masyarakat di sekitar WIUP
yang terkena dampak langsung akibat aktifitas pertambangan.
(5) Prioritas masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
merupakan
masyarakat yang berada dekat kegiatan operasional penambangan
dengan tidak melihat batas administrasi wilayah distrik.
(6) Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari alokasi biaya program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat pada anggaran dan
biaya
pemegang IUP setiap tahun. (7) Alokasi biaya program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikelola oleh pemegang
IUP.
Pasal 83
Pemegang IUP setiap tahun wajib menyampaikan rencana dan biaya
pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
sebagai bagian dari rencana kerja dan anggaran biaya tahunan
kepada
Bupati untuk mendapat persetujuan.
-
- 29 -
Pasal 84
Setiap pemegang IUP Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan
realisasi program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setiap 6
(enam) bulan kepada Bupati.
Pasal 85
Ketentuan mengenai tata cara pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman
pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XIV
PENYIDIKAN
Pasal 86
(1) Penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah ini
dilaksanakan oleh PPNS di lingkungan SKPD yang diberi wewenang
khusus untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pertambangan
dan/atau koordinasi dengan Penyidik Umum Kepolisian.
(2) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1), PPNS berwenang : a. menerima laporan atau
pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana atas pelanggaran peraturan daerah;
b. melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan pada saat di
tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. melakukan pemeriksaan dan penyitaan benda atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk
dari penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui
penyidik
memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya; dan
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya
kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat POLRI sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
-
- 30 -
BAB XV KETENTUAN PIDANA
Pasal 87
Setiap orang, badan usaha, kelompok masyarakat dan koperasi yang
melakukan usaha penambangan tanpa IUP dan/atau IPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 39 ayat (2) dipidana
dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 Undang-Undang
Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pasal 88
Setiap perseorangan, badan usaha, kelompok masyarakat dan
koperasi yang dengan segaja menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
70 huruf e dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu
dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159
Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 89
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Kabupaten
Keerom.
Ditetapkan di Arso pada tanggal 21Oktober 2014
BUPATI KEEROM,
CAP/TTD
YUSUF WALLY
Diundangkan di Arso pada tanggal 22 Oktober 2014
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN KEEROM
CAP/TTD
PETRUS SOLOSSA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEEROM TAHUN 2014 NOMOR 4
Salinan yang sah sesuai aslinya
KEPALA BAGIAN HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN
RULLY I RIRIMASE,S.Sos
Nip. 197309152005021001
NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEEROM PROVINSI PAPUA NOMOR 4
TAHUN 2014
-
- 31 -
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEEROM
NOMOR 4 TAHUN 2014
TENTANG
PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM
DAN BATUAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
I. UMUM
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa bumi air dan kekayaan
alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Mengingat mineral
bukan
logam dan batuan sebagai kekayaan alam yang tidak dapat
diperbaharui,
pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien,
transparan,
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta berkeadilan
agar
memperoleh manfaat bagi rakyat secara berkelanjutan.
Sejalan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara perlu
melakukan
penataan dan pengaturan yang berkaitan dengan kegiatan usaha
pertambangan mineral bukan logam dan batuan yang meliputi:
a. Pengusahaan pertambangan diberikan dalam bentuk izin
usaha
pertambangan dan izin pertambangan rakyat.
b. Pengutamaan pemasukan kebutuhan mineral bukan logam dan
batuan untuk kepentingan daerah guna menjamin tersedianya
mineral bukan logam dan batuan sebagai bahan baku untuk
kebutuhan dalam daerah.
c. Pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan
secara
berdaya guna, berhasil guna dan berdaya saing.
d. Peningkatan pendapatan masyarakat lokal, menciptakan
lapangan
kerja;
-
- 32 -
e. Penertiban izin yang transparan dalam kegiatan usaha
pertambangan
mineral bukan logam dan batuan sehingga iklim usaha
diharapkan
dapat lebih sehat dan kompetitif; dan
f. Peningkatan nilai tambah dengan melakukan pemurnian
mineral
bukan logam dan batuan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
-
- 33 -
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 6
-
- 34 -
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
-
- 35 -
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
-
- 36 -
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
-
- 37 -
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
-
- 38 -
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Cukup jelas
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
-
- 39 -
Cukup jelas
Huruf m
Cukup jelas
Huruf n
Cukup jelas
Huruf o
Cukup jelas
Huruf p
Cukup jelas
Huruf q
Cukup jelas
Huruf r
Cukup jelas
Huruf s
Cukup jelas
Huruf t
Cukup jelas
Huruf u
Cukup jelas
Huruf v
Cukup jelas
Huruf w
Cukup jelas
Huruf x
Cukup jelas
Huruf y
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
-
- 40 -
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 23
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
-
- 41 -
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 25
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 26
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 27
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
-
- 42 -
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
-
- 43 -
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
-
- 44 -
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
-
- 45 -
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 40
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 41
Pasal (1)
Huruf a
Cukup jelas
-
- 46 -
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Pasal (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 42
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
-
- 47 -
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
-
- 48 -
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
-
- 49 -
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 53
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
-
- 50 -
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 56
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 58
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
-
- 51 -
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
-
- 52 -
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 69
Huruf a
-
- 53 -
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 70
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
-
- 54 -
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 73
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 74
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 75
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
-
- 55 -
Cukup jelas
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
-
- 56 -
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
-
- 57 -
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEEROM NOMOR 37