Top Banner

of 38

Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

Jun 01, 2018

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    1/38

    HUBUNGAN ANTARA GEJALA KLINIS DAN LATENSI DISTAL SARAF

    MEDIANUS DALAM MENENTUKAN DERAJAT KEPARAHAN

    PENYAKIT CARPAL TUNNEL SYNDROME DI RUMAH SAKIT SAIFUL

    ANWAR MALANG

    TUGAS AKHIR

    Untuk Memenuhi Persyaratan

    Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Umum

    Oleh:

    NADIYA ELFIRA BILQIS

    125070100111035

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2015

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    2/38

    2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Carpal tunnel syndrome (CTS) atau yang dikenal di Indonesia dengan

    sebutan sindroma terowongan karpal merupakan kumpulan gejala dan tanda

    penyakit yang disebabkan oleh terjepitnya saraf medianus di daerah pergelangan

    tangan, atau lebih tepatnya pada terowongan karpal. CTS merupakan salah satu

    jenis neuropati yang paling sering terjadi (Preston dan Shapiro, 2013).

    Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, didapatkan

    kesimpulan bahwa CTS merupakan jenis penyakit neuropati yang sering terjadi

    dan memiliki kaitan erat dengan pekerjaan, terutama pekerjaan yang

    mengakibatkan paparan tekanan biomekanik berulang dan kontinyu padapergelangan tangan (Tana et al, 2004).

    Angka kejadian CTS di Amerika Serikat telah diperkirakan sekitar 1-3

    kasus per 1.000 orang setiap tahunnya dengan prevalensi sekitar 50 kasus dari

    1.000 orang pada populasi umum. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh

    National Health interview Study (NIHS) pada tahun 1994, dilaporkan bahwa

    prevalensi CTS di antara populasi dewasa yang bekerja di Amerika Serikat

    adalah sebesar 1,55% atau sekitar 2,6 juta jiwa (Tanaka et al, 1994). Pada studi

    epidemiologi yang dilakukan di India, didapatkan prevalensi kejadian CTS ini

    adalah sebesar 557 dari 100.000 jiwa (Bharucha, 1991). Pada survei lain yang

    dilakukan oleh British GP Survey di Inggris, didapatkan prevalensi CTS yang

    lebih tinggi, yaitu dengan estimasi tinggi sebesar 16.000 dari 100.000 jiwa (Ferry,

    1998).

    Prevalensi kejadian CTS dalam masalah kerja di Indonesia sendiri belum

    diketahui karena belum adanya survei yang dilakukan, yang diakibatkan oleh

    faktor masih sulitnya penegakan diagnosis sehingga hanya didapatkan sedikit

    data mengenai penyakit ini (Yanri, 2001). Namun, pada penelitian yang dilakukan

    pada populasi dengan pekerjaan beresiko tinggi pada pergelangan tangan dan

    tangan, didapatkan prevalensi CTS sebesar 5,6% sampai dengan 15% (Harsono,

    1995). Sementara untuk di daerah Kota Malang, belum pernah dilakukan

    penelitiaan mengenai seberapa besar angka kejadian penyakit CTS ini.

    Penegakan diagnosis dan penentuan derajat keparahan penyakit pada

    pasien CTS semakin banyak ditentukan dengan studi elektrodiagnostik

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    3/38

    3

    menggunakan nerve conduction study (NCS) karena didapatkan sensitivitas dan

    spesifitas yang tinggi. Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya, didapatkan

    sensitivitas dari pemeriksaan menggunakan NCS adalah sebesar 56% sampai

    dengan 85% dan spesifitasnya sebesar 94% sampai dengan 99% (Jablecky et al,

    2002).

    Elektroneuromiografi merupakan pemeriksaan yang mengkombinasikan

    antara elektroneurografi (NCS) dan elektromiografi (EMG) yang mana berfungsi

    dalam menegakkan diagnosis penyakit saraf perifer, termasuk CTS. Salah satu

    parameter penting dalam mendiagnosis CTS pada studi elektroneuromiografi ini

    adalah latensi dari saraf medianus. Terdapat dua macam latensi yang diperiksa,

    yaitu: latensi distal motorik dan latensi distal sensorik. Kedua parameter tersebut

    akan mengalami perlambatan pada penyakit CTS (Poernomo et al, 2003).

    Derajat keparahan penyakit CTS merupakan hal yang sangat pentingterutama dalam menentukan prognosis dan keputusan terapi yang akan

    diberikan kepada pasien. Namun, hingga saat ini belum didapatkan adanya

    sistem klasifikasi derajat keparahan penyakit CTS yang dapat diterima secara

    umum (Robinton, 2004). Walaupun terdapat berbagai macam sistem klasifikasi

    derajat keparahan CTS dari berbagai penelitian sebelumnya, tidak ada yang

    diakui sebagai standar klasifikasi derajat keparahan CTS di seluruh dunia

    (AANEM, 2007). The American Association of Neuromuscular &

    Electrodiagnostic Medicine (AANEM) pernah mengeluarkan sebuah guideline

    mengenai derajat keparahan penyakit CTS berdasarkan penelitian yang telah

    dilakukan, namun hasilnya pun kurang aplikatif untuk digunakan sebagai

    pedoman klasifikasi derajat keparahan CTS sehingga perlu dilakukan studi lebih

    lanjut mengenai hal ini (Robinton et al, 2004).

    Berdasarkan hal itulah, penulis ingin melakukan penelitian lebih lanjut

    mengenai derajat keparahan penyakit CTS yang terdapat di Rumah Sakit Saiful

    Anwar Malang. Penelitian ini diharapkan dapat membandingkan antara derajat

    gejala klinis yang dialami oleh pasien dengan hasil pemeriksaan

    elektrodiagnostik, terutama latensi distal dari saraf medianus (sensorik dan

    motorik) pada pasien dengan CTS ini. Selanjutnya, diharapkan dari hasil

    penelitian tersebut akan dapat digunakan sebagai dasar teori dalam menyusun

    dan melengkapi klasifikasi derajat keparahan penyakit CTS di Rumah Sakit Saiful

    Anwar Malang.

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    4/38

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    5/38

    5

    saraf medianus sensorik dan motorik di Rumah Sakit Saiful Anwar

    Malang.

    1.4.1.2. Sebagai dasar teori yang mendukung penyusunan dan kelengkapan

    informasi mengenai klasifikasi derajat keparahan penyakit Carpal

    Tunnel Syndrome.

    1.4.1.3. Sebagai salah satu acuan yang berperan dalam menentukan

    prognosis dan keputusan terapi pada pasien dengan Carpal Tunnel

    Syndrome.

    1.4.1.4. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk

    melakukan penelitian lebih lanjut tentang Carpal Tunnel Syndrome.

    1.4.2. Manfaat Praktis

    1.4.2.1. Diharapkan dengan klasifikasi derajat keparahan yang lebih lengkap

    dan sederhana, maka akan mempermudah dalam menentukan

    rujukan penatalaksanaan Carpal Tunnel Syndrome selanjutnya.

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    6/38

    6

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Carpal Tunnel Syndrome

    2.1.1. Anatomi Nervus Medianus dan Terowongan Karpal

    Pemahaman mengenai anatomi nervus medianus dan terowongan karpal

    sangat penting dalam memahami penyakit CTS terutama untuk membedakannya

    dengan lesi serupa yang memiliki topis lebih proksimal. Nervus medianus sendiri

    dibentuk dari kombinasi antara korda medial dan korda lateral pleksus brakhialis.

    Korda lateral berasal dari serabut saraf spinal C6-C7 dan korda medial berasal

    dari serabut saraf spinal C8-T1 (Preston dan Shapiro, 2013).

    Gambar 2.1.Anatomi Nervus Medianus (Diambil dari Preston dan

    Shapiro, 2013)

    Selanjutnya, nervus medianus berjalan di bawah lasertus fibrosus menuju

    ke daerah antebrakii dan kemudian berada di antara 2 kaput m.pronator teres

    dan menginervasi otot tersebut. Setelah itu nervus medianus akan memberikan

    cabang motoris murni yaitu nervus interosseus anterior. Sesampai di

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    7/38

    7

    pergelangan tangan, n.medianus akan melewati terowongan karpal untuk

    memberikan persarafan motoris ke daerah thenar dan persarafan sensoris

    palmar manus untuk jari I, II, III, dan sisi medial jari IV. Pada daerah thenar,

    inervasi sensoris diberikan oleh n.kutaneus palmaris yang berjalan di luar

    terowongan karpal (Poernomo et al, 2003).

    Gambar 2.2. Daerah inervasi sensoris saraf medianus oleh cabang

    sensoris palmar digitalis (1) dan cabang sensoris palmar kutaneus (2).Pada CTS,

    nervus sensoris yang terkena adalah cabang sensoris palmar digitalis

    (Diambil dari Preston dan Shapiro, 2013).

    Terowongan karpal adalah suatu terowongan fibro-osseus yang kaku dan

    tidak elastis. Terowongan karpal dibentuk oleh komponen tulang yang terdiri dari

    tulang pisiformis, scaphoid, hamatum, dan trapezoid serta komponen jaringan

    ikat yaitu flexor retinaculum (Luchetti et al, 2007).

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    8/38

    8

    Gambar 2.3.Anatomi terowongan karpal. (1)Jalan masuk proksimal terowongan

    karpal yang dibentuk oleh tendon flexor carpi ulnaris dan flexor carpi radialis

    (2)Bagian paling tebal dari flexor retinaculum (3)Bagian paling tipis dari flexor

    retinaculum (Diambil dari Luchetti et al, 2007).

    2.1.2. Definisi Carpal Tunnel Syndrome

    Carpal Tunnel Syndrome adalah suatu kelainan saraf (neuropati) yang

    paling sering terjadi yang diakibatkan oleh terjepitnya saraf medianus di

    terowongan karpal pada pergelangan tangan. Terjepitnya saraf medianus

    tersebut akan memunculkan kumpulan gejala dan tanda yang disebut dengan

    sindroma terowongan karpal (Preston dan Shapiro, 2013).

    Berdasarkan American Academy of Orthopaedic Surgeons Clinical

    Guideline, Carpal Tunnel Syndrome didefinisikan sebagai gejala neuropati

    kompresi dari saraf medianus di tingkat pergelangan tangan, ditandai dengan

    bukti peningkatan tekanan dalam terowongan karpal dan penurunan fungsi saraf

    di tingkat itu. Carpal Tunnel Syndrome dapat disebabkan oleh berbagai penyakit,

    kondisi dan peristiwa. Hal ini ditandai dengan keluhan mati rasa, kesemutan,

    nyeri tangan dan lengan dan disfungsi otot. Kelainan ini tidak dibatasi oleh usia,

    jenis kelamin, etnis, atau pekerjaan dan disebabkan karena penyakit sistemik,faktor mekanis dan penyakit lokal (AAOS, 2007).

    2.1.3. Etiologi

    Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus medianus juga

    dilalui oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang mengakibatkan semakin

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    9/38

    9

    mempersempit terowongan ini dapat menyebabkan terjadinya penekanan pada

    nervus medianus sehingga dapat memunculkan gejala Carpal Tunnel Syndrome

    (Rambe, 2004). Selain itu, gerakan fleksi berulang dengan sudut sebesar 90

    derajat dapat mengecilkan ukuran dari terowongan karpal (Huldani, 2013).

    Terdapat berbagai macam penyebab dari Carpal Tunnel Syndrome.

    Namun, penyebab paling sering adalah idiopatik (Preston dan Shapiro, 2013).

    Beberapa etiologi lain dipaparkan dalam Tabel 2.1.

    Kondisi yang Berkaitan dengan Kejadian CTS

    Idiopatik Stress berulang PekerjaanKelainan endokrin Hipotiroid Akromegali

    DiabetesPenyakit jaringan ikat Rheumatoid ArthritisTumor Ganglia Lipoma Schwannoma Neurofibroma HemangiomaKelainan kongenital Arteri median persisten Terowongan karpal kecil kongenital Anomali otot

    Infeksi / Inflamasi Sarcoid Histoplasmosis Septic arthritis Lyme TuberculosisTrauma Fraktur (terutama fraktur Colles) Pendarahan (e.g: antikoagulasi)Lain-lain Spastisitas (fleksi pergelangan tangan persisten) Hemodialisis Amyloidosis

    Kehamilan Keadaan yang menyebabkan edema dan peningkatan cairantubuh

    Tabel 2.1. Etiologi Carpal Tunnel Syndrome (Diadaptasi dari Preston dan

    Shapiro, 2013).

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    10/38

    10

    2.1.4. Epidemiologi dan Faktor Resiko Carpal Tunnel Syndrome

    Angka kejadian Carpal Tunnel Syndrome di Amerika Serikat telah

    diperkirakan sekitar 1-3 kasus per 1.000 orang setiap tahunnya dengan

    prevalensi sekitar 50 kasus dari 1.000 orang pada populasi umum. Orang tua

    setengah baya lebih mungkin beresiko dibandingkan orang yang lebih muda, dan

    wanita tiga kali lebih sering daripada pria (AAOS, 2008).

    National Health Interview Study (NIHS) mencatat bahwa CTS lebih sering

    mengenai wanita daripada pria dengan usia berkisar 25 - 64 tahun, prevalensi

    tertinggi pada wanita usia > 55 tahun, biasanya antara 40 60 tahun. Prevalensi

    CTS dalam populasi umum telah diperkirakan 5% untuk wanita dan 0,6% untuk

    laki-laki. Gejala CTS dapat berupa gejala unilateral maupun bilateral. NIHS

    menemukan gejala unilateral pada 42% kasus ( 29% kanan,13% kiri ) dan gejala

    bilateral pada 58% kasus (Tanaka et al, 1995).

    2.1.5. Patogenesis dan Patofisiolog i Carpal Tunnel Syndrome

    Patogenesis terjadinya Carpal Tunnel Syndrome masih belum jelas.

    Terdapat beberapa macam teori. Namun, teori yang paling populer dalam

    terjadinya CTS ini adalah teori mengenai kompresi mekanik, insufisiensi

    mikrovaskular, dan teori getaran (Huldani, 2013).

    Berdasarkan teori kompresi mekanik, gejala Carpal Tunnel Syndrome

    diakibatkan oleh karena kompresi dari nervus medianus di terowongan karpal.

    Kelemahan utama dari teori ini adalah bahwa ia menjelaskan konsekuensi dari

    kompresi saraf tetapi tidak menjelaskan etiologi yang mendasari kompresi

    mekanik. Kompresi yang terjadi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, antara

    lain: ketegangan, tenaga berlebihan, pemakaian yang berlebihan, dan ekstensi

    pergelangan tangan yang berkepanjangan atau berulang (Huldani, 2013).

    Sementara berdasarkan teori insufisiensi mikro vaskular, Carpal Tunnel

    Syndrome dapat terjadi akibat kurangnya pasokan darah yang menyebabkan

    penurunan suplai nutrisi dan oksigen ke saraf sehingga perlahan-lahan saraf

    akan kehilangan kemampuan untuk mengirimkan impuls saraf. Pada akhirnya,

    akan terbentuk jaringan fibrotik di dalam saraf. Munculnya gejala pada CTS

    berupa kesemutan, mati rasa dan nyeri akut, bersama dengan kehilangan

    konduksi saraf akut dan reversibel dianggap sebagai gejala untuk iskemia. Seiler

    et al menunjukkan (dengan Doppler laser flowmetry ) bahwa normalnya aliran

    darah berdenyut di dalam saraf median dipulihkan dalam 1 menit dari saat

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    11/38

    11

    ligamentum karpal transversal dilepaskan. Sejumlah penelitian eksperimental

    mendukung teori iskemia akibat kompresi diterapkan secara eksternal dan

    karena peningkatan tekanan di karpal tunnel. Gejala akan bervariasi sesuai

    dengan integritas suplai darah dari saraf dan tekanan darah sistolik . Kiernan dkk

    menemukan bahwa konduksi melambat pada median saraf dapat dijelaskan oleh

    kompresi iskemik saja dan mungkin tidak selalu disebabkan myelinisasi yang

    terganggu (Huldani, 2013).

    Teori yang ketiga adalah teori getaran. Gejala CTS dapat disebabkan

    oleh efek dari penggunaan jangka panjang alat yang bergetar pada saraf

    medianus di terowongan karpal. Lundborg et al mencatat edema epineural pada

    saraf medianus dalam beberapa hari berikut paparan alat getar genggam.

    Selanjutnya, terjadi perubahan serupa mengikuti mekanik, iskemik, dan trauma

    kimia (Huldani, 2013).

    2.1.6. Diagnosis Carpal Tunnel Syndrome

    Diagnosis Carpal Tunnel Syndrome dapat ditegakkan melalui anamnesa

    gejala klinis pasien, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

    2.1.6.1. Gejala Klinis

    Pasien dengan CTS dapat muncul dengan berbagai macam gejala.

    Gejala yang muncul dapat unilateral maupun bilateral. Walaupun begitu,

    kebanyakan CTS bermanifestasi pada tangan yang dominan (Preston dan

    Shapiro, 2013). Pada tahap awal penyakit, gejala yang muncul umumnya berupa

    gangguan sensorik saja. Gangguan motorik hanya terjadi pada keadaan yang

    berat (Rambe, 2004).

    Tabel 2.2. Tanda dan Gejala Carpal Tunnel Syndrome (Diadaptasi dari Huldani,

    2013).

    Tanda dan Gejala Carpal Tunnel Syndrome

    Sensoris Motoris Tanda

    Hipoestesia Hipotrofi Trophic Ulcer

    Kaku Kelemahan Otot Edema

    NyeriNocturnal

    Atrofi

    Hiperestesia

    Numbness Burning

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    12/38

    12

    Gejala awal biasanya berupa parestesia, kurang merasa (numbness) atau

    rasa seperti terkena aliran listrik (tingling) pada jari 1,2,3 dan setengah sisi radial

    jari 4 walaupun terkadang dapat dirasakan pada seluruh jari-jari. Keluhan

    parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala lainnya adalah nyeri di

    tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari sehingga sering

    membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini umumnya agak berkurang

    bila penderita memijat atau menggerak-gerakkan tangannya atau dengan

    meletakkan tangannya pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan berkurang

    bila penderita lebih banyak mengistirahatkan tangannya. Bila penyakit berlanjut,

    rasa nyeri dapat bertambah berat dengan frekuensi serangan yang semakin

    sering bahkan dapat menetap. Kadang-kadang rasa nyeri dapat terasa sampai

    ke lengan atas dan leher, sedangkan parestesia umumnya terbatas di daerah

    distal pergelangan tangan (Rambe, 2004).Terdapat dua macam bentuk Carpal Tunnel Syndrome berdasarkan

    Komar dan Ford, yaitu: akut dan kronis. CTS akut ditandai dengan gejala nyeri

    yang parah, bengkak pergelangan tangan atau tangan, tangan dingin, dan gerak

    jari menurun. Kehilangan gerak jari disebabkan oleh kombinasi dari rasa sakit

    dan paresis. Sementara CTS kronis memiliki gejala baik kelainan sensorik yang

    mendominasi maupun kelainan motorik dengan perubahan atrofi dari otot-otot

    thenar (Huldani, 2013).

    Pemeriksaan terhadap saraf sensorik terutama dilakukan melihat

    distribusi hipoestesia pada tangan yang diinervasi oleh saraf medianus. Selain

    itu, membandingkan antara sensasi sensorik pada bagian medial yang diinervasi

    oleh nervus ulnaris dan bagian lateral yang diinervasi oleh nervus medianus dari

    jari 4 juga dapat membantu dalam mengidentifikasi kelainan sensorik akibat CTS.

    Pemeriksaan terhadap saraf motorik terdiri dari inspeksi pada tangan untuk

    melihat ada tidaknya kelemahan atau atrofi dari otot thenar yang diinervasi oleh

    cabang motoris nervus medianus (Preston dan Shapiro, 2013).

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    13/38

    Tabel 2.3. Jenis gejal

    2.1.6.2. Pemeriksaa

    Berikut ini beberapa pe

    a. Fl ick's sign. Pend

    gerakkan jari-jarin

    menyokong diagno

    dijumpai pada peny

    b. Thenar wasting. P

    otot-otot thenar.

    c. Menilai kekuatan

    maupun denganabduksi maksimal

    lainnya. Di nilai j

    Ketrampilan/ketepat

    yang rumit seperti

    13

    dan tanda pada pasien CTS (Diambil dari Pre

    Shapiro, 2013).

    n Fisik

    eriksaan fisik yang dapat dilakukan (Huldani,

    rita diminta mengibas-ibaskan tangan atau

    a. Bila keluhan berkurang atau menghil

    sa CTS. Harus diingat bahwa tanda ini j

    kit Raynaud.

    ada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan ad

    an ketrampilan serta kekuatan otot seca

    lat dinamometer. Penderita diminta untukalmar lalu ujung jari 1 dipertemukan dengan

    uga kekuatan jepitan pada ujung jari-jari

    an dinilai dengan meminta penderita melakuk

    enulis atau menyulam.

    ston dan

    013):

    enggerak-

    ang akan

    ga dapat

    anya atrofi

    a manual

    melakukanujung jari

    tersebut.

    n gerakan

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    14/38

    14

    Gambar 2.4. Tes kekuatan otot thenar. (A) Abduksi jari jempol dan (B) Oposisi

    jari jempol. Pada pasien dengan CTS, terutama pada tingkat lanjut, akan

    didapatkan kelemahan pada otot thenar pasien (Diambil dari Preston dan

    Shapiro, 2013).

    d. Wrist extension test. Penderita melakukan ekstensi tangan secara

    maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat

    dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes

    ini menyokong diagnosa CTS.

    e. Phalen's test. Penderita melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila

    dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.

    Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk

    menegakkan diagnosa CTS.

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    15/38

    15

    Gambar 2.5. Tes provokatif untuk CTS: Phalens Test (atas) dan Reversed

    Phalens Test (bawah). Pada pasien dengan positif CTS, pada saat dilakukan tes

    ini pasien akan mengalami parestesi terutama di daerah jari-jari yang diinervasi

    oleh n.medianus (Diambil dari Preston dan Shapiro, 2013).

    f . Torn iquet test. Dilakukan pemasangan tomiquet dengan menggunakan

    tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila

    dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.

    g. Tinel 's s ign. Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri

    pada daerah distribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada

    terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    16/38

    16

    Gambar 2.6. Tinels sign (Diambil dari Preston dan Shapiro, 2013).

    h. Pressure test. Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan

    menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala

    seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.

    i . Luthy's sign (bottle's sign). Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari

    telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat

    menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung

    diagnosa.

    j. Pemeriksaan sensibi li tas. Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik

    (two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus

    medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnosa.

    k. Pemeriksaan fungsi otonom. Diperhatikan apakah ada perbedaan keringat,

    kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus

    medianus. Bila ada akan mendukung diagnosa CTS.

    2.1.6.3. Pemeriksaan Penunjang

    2.1.6.3.1. Pemeriksaan Neurofis iologis

    a) Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik,

    gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar.

    Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot lumbrikal. EMG bisa

    normal pada 31 % kasus CTS (Rambe, 2004).b) Kecepatan Hantar Saraf (KHS). Pada 15-25% kasus, KHS bisa normal.

    Pada yang lainnya KHS akan menurun dan masa laten distal (distal latency)

    memanjang, menunjukkan adanya gangguan pada konduksi safar di

    pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik

    (Rambe, 2004).

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    17/38

    17

    2.1.6.3.2. Pemeriksaan Radiolog is

    Pemeriksaan sinar X terhadap pergelangan tangan dapat membantu

    melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto palos leher

    berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT scan

    dan MRI dilakukan pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi

    (Rambe, 2004).

    2.1.6.3.3. Pemeriksaan Laboratorium

    Pada CTS yang etiologinya masih belum jelas, misalnya pada penderita

    usia muda tanpa adanya gerakan tangan yang repetitif, maka dapat dilakukan

    beberapa pemeriksaan laboratorium seperti kadar gula darah, kadar hormon

    tiroid, atau pemeriksaan darah lengkap untuk melihat apakah terdapat penyebab

    sekunder dari CTS tersebut (Rambe, 2004).

    2.1.7. Diagnosis Banding Carpal Tunnel Syndrome

    Berikut ini beberapa diagnosis banding dari penyakit Carpal Tunnel

    Syndrome berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Rambe, 2004):

    2.1.7.1. Cervical radiculopathy. Biasanya keluhannya berkurang hila leher

    diistirahatkan dan bertambah hila leher bergerak. Oistribusi gangguan

    sensorik sesuai dermatomnya.

    2.1.7.2. lnoracic outlet syndrome. Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya

    selain otot-otot thenar. Gangguan sensorik dijumpai pada sisi ulnaris

    dari tangan dan lengan bawah.

    2.1.7.3. Pronator teres syndrome. Keluhannya lebih menonjol pada rasa

    nyeri di telapak tangan daripada CTS karena cabang nervus

    medianus ke kulit telapak tangan tidak melalui terowongan karpal.

    2.1.7.4. de Quervain's syndrome. Tenosinovitis dari tendon muskulus

    abduktor pollicis longus dan ekstensor pollicis brevis, biasanya akibat

    gerakan tangan yang repetitif. Gejalanya adalah rasa nyeri dan nyeri

    tekan pada pergelangan tangan di dekat ibu jari. Pemeriksaan NCS

    normal. Finkelstein's test : palpasi otot abduktor ibu jari pada saat

    abduksi pasif ibu jari, positif bila nyeri bertambah.

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    18/38

    18

    2.1.8. Penatalaksanaan

    Penatalaksanaan terhadap penyakit CTS dibagi menjadi 2 kelompok,

    yaitu penatalaksaan langsung terhadap CTS dan penatalaksanaan terhadap

    penyakit yang mendasari penyakit CTS tersebut (Rambe, 2004).

    2.1.8.1. Penatalaksanaan Langsung Carpal Tunnel Syndrome

    2.1.8.1.1. Terapi konservatif

    Istirahatkan pergelangan tangan

    Berikan OAINS (obat anti inflamasi non steroid)

    Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai dapat

    dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3 minggu.

    lnjeksi steroid. Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison 10-25 mg 8 atau

    metilprednisolon 20 mg 14 atau 40 mg 12 diinjeksikan ke dalam terowongankarpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25 pada lokasi 1 cm ke arah

    proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah medial tendon musculus

    palmaris longus. Bila belum berhasil, suntikan dapat diulangi setelah 2

    minggu atau lebih. Tindakan operasi dapat dipertimbangkan bila hasil terapi

    belum memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan.

    Kontrol cairan, misalnya dengan pemberian diuretika.

    Vitamin B6 (piridoksin). Pada kasus defisiensi piridoksin makan perlu

    diberikan piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan. Namun hal ini masih

    kontroversial dikarenakan beberapa penelitian menyatakan pemberian

    piridoksin malah akan mengakibatkan neuropati.

    Fisioterapi. Ditujukan pada perbaikan vaskularisasi pergelangan tangan.

    2.1.8.1.2. Terapi operatif.

    Terapi operatif dilakukan pada kasus yang tidak mengalami perbaikan

    dengan terapi konservatif, jika terjadi gangguan sensorik yang berat, atau adanya

    atrofi otot-otot thenar. Tindakan operasi ini disebut dengan neurolisis nervus

    medianus (Rambe, 2004).

    2.1.8.2. Penatalaksanaan terhadap Penyakit yang Mendasari CTSApabila terdapat penyakit lain yang mendasari CTS, maka penyakit tersebut

    harus ditangani terlebih dahulu (Rambe, 2004).

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    19/38

    Gambar 2.7.Algoritm

    2.2. Derajat Kepara

    2.2.1. Berdasarkan A

    Berikut ini meru

    didefinisikan oleh AAN

    a. CTS Ringan

    Terdapat pemanjan

    medianus. Pemerik

    kerusakan akson.

    b. CTS Sedang

    Terdapat hasil pem

    sebagaimana CTS

    pada latensi distal

    akson.

    c. CTS Berat

    Terdapat kelainan

    sedang, ditambah d SNAP (Sensory

    amplitudo yang s

    CMAP (Compou

    sangat rendah at

    19

    diagnosis dan terapi CTS (Diambil dari Hulda

    an Penyakit Carpal Tunnel Syndrome

    NEM

    pakan klasifikasi derajat keparahan penyakit

    M (Werner dan Andary, 2011):

    gan (relatif maupun absolut) pada latensi sen

    aan motoris dalam batas normal. Tidak ada

    eriksaan abnormal pada latensi sensoris saraf

    ringan. Terdapat pemanjangan (relatif maupu

    motoris saraf medianus. Tidak ada tanda

    CS sebagiamana yang disebutkan pada CTS

    engan adanya kerusakan akson yang ditandaierve Action Potential) atau NAP campuran d

    angat rendah atau bahkan tidak ada.

    d Muscle Action Potential) dengan nilai ampl

    u bahkan tidak ada.

    ni, 2013).

    CTS yang

    soris saraf

    tanda dari

    medianus

    n absolut)

    kerusakan

    ringan dan

    engan:ngan nilai

    itudo yang

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    20/38

    20

    Elektromiografi (EMG) dengan potensial fibrilasi atau perubahan potensial

    dari unit motoris.

    2.2.2. Berdasarkan Gejala Klinis (Italian CTS Study Group)

    Berdasarkan penelitian multicenter yang dilakukan oleh kelompok studi

    neurologi di Italia (Padua et al, 1999), terdapat klasifikasi derajat keparahan

    Carpal Tunnel Syndrome berdasarkan gejala klinis, sebagaimana berikut:

    STAGE / GRADE HISTORY AND OBJECTIVE FINDINGS

    0 Asymptomatic

    I Nocturnal paraesthesias only

    II Nocturnal and diurnal paraesthesias

    III Sensory loss

    IV

    Atrophy and/or weakness of median

    innervated thenar muscles

    Tabel 2.4. Klasifikasi derajat keparahan CTS berdasarkan gejala klinis

    (Diadaptasi dari Padua et al, 1999).

    2.2.3. Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Elektrodiagnostik (Bland, 2000)

    Berikut ini merupakan klasifikasi derajat keparahan CTS berdasarkan

    hasil pemeriksaan elektrodiagnostik:

    Tabel 2.5. Klasifikasi derajat keparahan CTS berdasarkan studi elektrodiagnostik

    (Diadaptasi dari Bland, 2000).

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    21/38

    21

    2.3. Elektroneuromiograf i

    2.3.1. Definisi

    Pemeriksaan Elektroneuromiografi (ENMG) merupakan kombinasi dari

    pemeriksaan elektroneurografi (ENG) dan elektromiografi (EMG).

    Elektroneurografi disebut juga sebagai pemeriksaan konduksi saraf (KHS/ Nerve

    Conduction Study / NCS) yang terdiri dari KHS motoris, sensoris, dan respon

    lambat. Sementara elektromiografi merupakan pemeriksaan aktivitas listrik otot.

    Kombinasi dari kedua pemeriksaan ini sangat berguna dalam penegakan

    diagnosis penyakit saraf perifer (Poernomo et al, 2003).

    2.3.2. Indikasi dan Kegunaan

    Pemeriksaan ENMG terutama berguna dalam menentukan diagnosispada penyakit saraf perifer dan kelainan neuromuskular. Pada prinsipnya,

    pemeriksaan ENMG digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis setelah

    dilakukan pemeriksaan klinis yang baik, sehingga dapat mempersempit diagnosis

    banding, membantu penegakan diagnosis topis, diagnosis patologis, dan

    penentuan prognosis (Poernomo et al, 2003).

    Hasil pemeriksaan ENMG berguna dalam menentukan letak lesi

    (diagnosis topis), apakah lesi tersebut berada pada tingkat saraf motoris, radiks

    saraf spinalis, pleksus, saraf perifer, neuromuscular junction, ataukah otot. Untuk

    medapatkan diagnosis yang tepat, pemeriksaan ENMG harus selalu

    dikorelasikan dengan gejala fisik yang ada. Selain itu, pemeriksaan ENMG dapat

    menentukan diagnosis patologis, yaitu apakah lesi tersebut terdapat pada sistem

    motorik, sensorik, atau keduanya, dan apakah jenis lesi tersebut merupakan

    proses aksonal atau proses demielinating (Poernomo et al, 2003).

    2.3.3. Parameter dalam Studi Kecepatan Hantar Saraf (KHS)

    Dalam studi kecepatan hantar saraf, terdapat banyak sekali parameter

    yang dapat digunakan yang dikelompokkan dalam KHS sensoris dan motoris, F-

    wave, H-reflex, dan sebagainya. Namun, demi kepentingan praktis penelitian,

    yang dibahas dalam tinjauan pustaka ini hanyalah yang berkaitan dengan

    penelitian yaitu KHS sensoris dan motoris.

    2.3.3.1. Studi Kecepatan Hantar Saraf (KHS) Sensoris

    Stimulasi pada serabut saraf sensoris akan menimbulkan suatu potensial

    aksi yang disebut Sensory Nerve Action Potential (SNAP). SNAP

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    22/38

    22

    menggambarkan fungsi integritas ganglion dorsalis (neuron sensoris) beserta

    seluruh akson sensoris (Poernomo et al, 2003). KHS sensoris diperiksa dengan

    cara menempatkan sepasang elektroda perekam (G1 dan G2) dengan jarak

    antar elektroda sebesar 2.5 cm sampai 4 cm. Pemeriksaan ini membutuhkan

    daya yang lebih kecil daripada KHS motoris dikarenakan KHS sensoris tidak

    perlu melewati penghantaran impuls melalui neuromuscular junction dan serabut

    otot (Preston dan Shapiro, 2013).

    Gambar 2.8. Sensory Nerve Action Potential (SNAP).

    (Diambil dari Preston dan Shapiro, 2013)

    Terdapat dua macam cara pemeriksaan KHS sensoris, yaitu secara

    antidromik dan ortodromik. Antidromik dilakukan apabila stimulasi dilakukan di

    daerah proksimal dan elektroda pencatat berada di daerah distal. Sementara

    pada pemeriksaan ortodromik stimulasi dikerjakan di daerah distal dan elektroda

    pencatat berada di daerah proksimal. Pemeriksaan secara antidromik memiliki

    beberapa kelebihan, antara lain amplitudo SNAP yang dihasilkan akan lebih

    besar sehingga lebih mudah untuk diamati (Werner dan Andary, 2011).

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    23/38

    23

    Gambar 2.9. Perbedaan antara pemeriksaan KHS sensoris secara antidromik

    (atas) dan secara ortodromik (bawah). (Diambil dari Preston dan Shapiro, 2013).

    Pemeriksaan SNAP sangat berguna dalam menentukan lesi radikulopati

    karena nilai SNAP akan bernilai normal pada pasien dengan keluhan gangguan

    sensibilitas yang memiliki lesi sentral dan radikulopati (lesi pada pre-ganglion

    atau daerah proksimal dari ganglion dorsalis). Pemeriksaan SNAP akan bernilai

    abnormal pada ganglionopati, pelksopati, dan atau neuropati aksonal (Poernomo

    et al, 2003).

    Beberapa parameter penting yang dapat diamati dari studi KHS sensoris

    antara lain latensi sensoris puncak (peak sensory latency) yang mana lebih

    mudah untuk diamati daripada amplitudo. Selain itu, membandingkan antara

    latensi distal sensoris saraf medianus dan ulnaris akan menambah sensitivitas

    dan spesifitas pemeriksaan KHS sensoris dalam mendiagnosis CTS. Sehinggamedian-ulnar comparison ini digunakan sebagai rekomendasi dalam penegakan

    diagnosis CTS (Werner dan Andary, 2011).

    Berikut daftar dan penjelasan parameter yang dapat diperiksa dari studi

    KHS sensoris (Preston dan Shapiro, 2013):

    2.3.3.1.1. Onset Latency

    Latensi mula / onset latency merupakan waktu antara diberikannya

    stimulus ke awal dari defleksi negatif yang diukur dari dasar untuk SNAP bifasik

    atau ke awal dari puncak defleksi positif pada SNAP trifasik. Latensi mula ini

    menunjukkan waktu konduksi dari stimulus ke elektroda pencatat oleh serabut

    saraf sensoris kutaneus terbesar dari saraf yang diperiksa.

    2.3.3.1.2. Peak Latency

    Latensi puncak / peak latency dihitung dari titik tengah dari puncak

    defleksi negatif pertama dari garis dasar. Latensi puncak memiliki beberapa

    keuntungan daripada latensi mula, yaitu latensi puncak tidak terlalu dipengaruhi

    oleh artefak dan gangguan lainnya sebagaimana latensi mula, sehingga

    mempermudah dalam menentukan ketepatan pengukuran. Oleh karena itu, tidak

    didapatkan adanya variasi nilai latensi antar individu.

    2.3.3.1.3. Amplitudo SNAP

    Amplitudo diukur dari garis dasar ke puncak dari defleksi negatif atau

    dapat juga diukur dari puncak defleksi negatif pertama ke puncak defleksi positif

    berikutnya. Amplitudo ini meepresentasikan jumlah dari serabut saraf sensoris

    yang terdepolarisasi.

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    24/38

    24

    2.3.3.1.4. Durasi SNAP

    Durasi SNAP diukur dalam milidetik dan dihitung dari awal mula potensial

    aksi terjadi (defleksi pertama) hingga titik dimana garis tersebut memotong garis

    dasar kembali.

    2.3.3.1.5. Kecepatan Hantar Saraf (KHS) Sensoris / Conduction Velocity

    KHS sensoris merepresentasikan kecepatan hantar saraf pada serabut

    saraf sensoris kutaneus bermielin tercepat dari saraf yang diperiksa. KHS

    sensoris dapat diukur hanya dengan satu stimulasi (tidak seperti KHS motoris)

    dan hanya dapat diukur dengan nilai latensi mula, tidak bisa dengan latensi

    puncak.

    Gambar 2.10. Sensory Conduction Studies nervus medianus secara antidromik

    (Diambil dari Katirji, 2013).

    2.3.3.2. Studi Kecepatan Hantar Saraf (KHS) Motoris

    Studi KHS motoris dilakukan dengan melakukan stimulasi pada saraf

    motoris dan menghasilkan suatu sumasi potensial serabut otot yang disebut

    dengan Compund Muscle Action Potentials (CMAP). CMAP berbentuk

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    25/38

    25

    gelombang bifasik yang diawali dengan suatu defleksi negatif (Poernomo et al,

    2003).

    Gambar 2.11. Compund Muscle Action Potentials (CMAP).

    (Diambil dari Preston dan Shapiro, 2013)

    Berikut ini merupakan parameter penting dalam studi KHS motoris:

    2.3.3.2.1. Amplitudo CMAP

    Amplitudo motoris menggambarkan sumasi dari potensial aksi masing-

    masing serabut otot dalam otot tersebut dan berhubungan kuat dengan jumlah

    akson yang terstimulasi. Amplitudo motoris diukur dalam milivolt dan diukur dari

    garis dasar sampai defleksi negatif pertama dan menggambarkan berapa banyak

    akson yang terstimulasi (Albers, 1978). Besar kecilnya amplitudo CMAP

    menunjukkan keadaan akson sepanjang perjalanan dari neuron motoris kornu

    anterior sampai dengan saraf motoris perifer. Amplitudo CMAP yang menurun

    dapat ditemui pada lesi motor neuron, lesi radiks, lesi pleksus, dan lesi saraf

    perifer (Poernomo et al, 2003).

    2.3.3.2.2. Durasi CMAP

    Durasi CMAP diukur dalam milidetik dan menunjukkan kemampuan suatu

    serabut saraf dalam menghantarkan impuls dalam waktu yang relatif bersamaan

    (sinkron). Durasi CMAP diukur dari defleksi pertama sampai dengan titik dimana

    gelombang tersebut memotong garis dasar kembali (Poernomo et al, 2003).

    2.3.3.2.3. Latensi CMAP

    Latensi yaitu waktu yang diperlukan antara awal mulanya diberikan

    stimulus hingga onset / munculnya respon. Latensi merepresentasikan tiga

    proses yang terpisah, yaitu: aliran impuls sepanjang serabut saraf, transmisi

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    26/38

    26

    pada end-plate, dan depolarisasi pada serabut otot. Latensi diukur dalam

    milidetik dan diukur dari awal mula stimulus hingga defleksi negatif pertama dari

    garis dasar. Latensi tersebut hanya mempresentasikan serabut saraf motoris

    yang tercepat (Preston dan Shapiro, 2013). Latensi yang timbul oleh karena

    stimulasi pada tempat yang paling distal dari ekstremitas (seperti: pergelangan

    tangan atau pergelangan kaki) disebut dengan latensi distal. Terdapat 3

    komponen latensi distal, yaitu: (1) waktu konduksi impuls serabut saraf dari

    stimulus ke neuromuscular junction, (2) waktu transmisi pada neuromuscular

    junction, dan (3) waktu yang dibutuhkan untuk konduksi impuls di sepanjang

    membran otot sampai ke elektrode pencatat (Poernomo et al, 2003). Latensi

    yang timbul karena stimulasi yang lebih proksimal disebut sebagai latensi

    proksimal. Latensi proksimal memiliki nilai yang lebih panjang daripada latensi

    distal dikarenakan waktu dan jarak lebih besar yang harus ditempuh oleh aksipotensial. Latensi proksimal merepresentasikan 4 macam proses yang terpisah,

    yaitu: (1) waktu konduksi impuls serabut saraf antara stimulus proksimal dan

    stimulus distal, (2) waktu konduksi impuls serabut saraf antara stimulus distal ke

    neuromuscular junction, (3) waktu transmisi pada neuromuscular junction, dan

    (4) waktu yang dibutuhkan untuk konduksi impuls di sepanjang membran otot

    sampai ke elektrode pencatat (Preston dan Shapiro, 2013).

    Gambar 2.12. Motor Conduction Studies (Diambil dari Katirji, 2013)

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    27/38

    27

    2.3.3.2.4. Kecepatan Hantar Saraf (KHS) Motoris / Conduction Velocity

    KHS motoris dihitung dengan menstimulasi saraf pada 2 titik yang

    berbeda ( 10 cm) dan menetapkan interval waktu antara stimulus terhadap

    masing-masing respon (Poernomo et al, 2003). Rumus untuk menghitung KHS

    motoris yaitu:

    = () () ()Sebagaimana latensi saraf, kecepatan konduksi saraf juga didapatkan dari

    serabut saraf motoris tercepat saja (Preston dan Shapiro, 2013).

    Studi saraf motoris dapat menentukan jenis lesi pada saraf tersebut dengan

    memperhatikan nilai latensi distal, amplitudo, dan KHS.

    Latensi Distal Amplitudo KHS

    Lesi aksonal N N

    Lesi demielinating N

    Lesi campuran

    Tabel 2.6. Gambaran konduksi saraf pada berbagai jenis neuropati (Diadaptasi

    dari Poernomo et al, 2003)

    2.3.4. Nilai Normal dalam Studi Kecepatan Hantar Saraf (KHS)

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Herjanto P dan Djoenaidi W

    pada tahun 1996 di Surabaya, didapatkan harga normal KHS sebagai berikut:

    MOTORIS KHS DISTAL LATENSI AMPLITUDO

    N. Medianus (6,5 cm) 59 4,77 3,1 0,48 6,2 2,67

    N. Ulnaris (6 cm) 60 3,95 2,5 0,33 7,4 2,11

    N. Peroneus (6 cm) 51 3,94 3,7 0,52 3,6 2,01

    N. Tibialis Posterior (8 cm) 49 4,76 3,6 0,49 14,6 4,70

    SENSORIS KHS DISTAL LATENSI AMPLITUDO

    N. Medianus (12 cm) 2,4 0,35 22,9 10,29N. Ulnaris (11 cm) 2,0 0,23 20,7 7,59

    N. Suralis 2,0 0,35 5,0 0,00

    Tabel 2.7. Harga Normal KHS (Diambil dari Herjanto dan Djoenaidi, 1996)

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    28/38

    28

    Berdasarkan Preston dan Shapiro pada tahun 2013 maupun berdasarkan

    penelitian oleh Albers pada tahun 1987 tidak didapatkan adanya perbedaan

    berarti dalam rentang nilai normal untuk studi kecepatan hantar saraf ini, yang

    mana dapat dirangkum dalam tabel berikut:

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    29/38

    Tabel 2.8. Nilai Normal p da Studi KHS Motoris dan Sensoris Saraf Perifer (Diambil d ri Albers, 1987)

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    30/38

    30

    BAB III

    KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

    3.1. Kerangka Konsep Penelit ian

    Gambar 3.1. Skema Kerangka Konsep Penelitian

    CARPAL TUNNEL SYNDROME

    Ketegangan

    Pemakaian yang berlebihan

    Tenaga yang berlebihan

    Ekstensi pergelangan yang

    berkepanjangan/berulang

    Kompresi mekanik

    saraf medianus

    Penggunaan jangka panjang

    alat yang bergetar

    Gejala Klinis:- Parestesia- Sensory Loss

    - Atrofi thenar

    Kelainan Elektrodiagnostik

    Kurangnya pasokan

    darah dan oksigen

    kemampuan saraf dalam

    mengirimkan impuls

    Edema epineural saraf

    medianus

    Derajat Keparahan

    Ringan

    Sedang

    Berat

    Latensi distal saraf motorik Latensi distal saraf sensorik

    Parameter lain:F-wave

    H-reflex

    RNSKHS Motoris KHS Sensoris

    Amplitudo

    Conduction Velocit

    Latensi

    Durasi

    Amplitudo

    Conduction Velocity

    Latensi

    Durasi

    Keterangan:

    Variabel yang dibandingkan

    Menyebabkan

    Berhubungan / saling mempengaruhi

    Satu komponen

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    31/38

    31

    Terdapat banyak faktor yang berpengaruh pada terjadinya Carpal Tunnel

    Syndrome. Beban mekanis yang disebabkan oleh ketegangan, pemakaian yang

    berlebihan, dan ekstensi pergelangan tangan yang berlebih dan berulang dapat

    menyebabkan adanya kompresi mekanik dari saraf medianus. Mekanisme

    kurangnya pasokan darah dan oksigen dapat berakibat pada penurunan

    kemampuan saraf medianus dalam mengirimkan impuls. Selain itu, penggunaan

    jangka panjang alat yang bergetar ternyata juga dapat menyebabkan edema

    epineural saraf medianus. Ketiga hal ini selanjutnya akan berkontribusi dalam

    munculnya kelainan pada hasil pemeriksaan elektrodiagnostik (ENMG) dan

    munculnya gejala klinis yang menjadi keluhan pasien. Salah satu parameter

    dalam pemeriksaan elektrodiagnostik adalah latensi distal yang akan memanjang

    pada abnormalitas saraf. Sementara gejala klinis pasien sendiri dapat

    dikelompokkan dalam beberapa tingkatan.

    3.2. Hipotesis Penelitian

    Dari kerangka konsep diatas maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

    1. Terdapat hubungan antara gejala klinis pasien CTS dengan besar latensi

    saraf medianus sensorik dan motorik di Rumah Sakit Saiful Anwar

    Malang.

    2. Latensi saraf medianus sensorik dan motorik dapat digunakan sebagai

    dasar dalam penentuan derajat keparahan penyakit CTS di Rumah Sakit

    Saiful Anwar Malang.

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    32/38

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    33/38

    33

    4.2.4. Teknik Pengambilan Sampel

    Sampel pada penelitian ini diambil dari data rekam medis pasien CTS di

    Poliklinik Saraf Rumah Sakit Saiful Anwar Malang yang telah memenuhi

    kriteria eksklusi dan inklusi. Sampel diambil dengan metode simple

    stratified random sampling dari masing-masing kelompok yang telah

    digolongkan berdasarkan derajat keparahan penyakit dengan parameter

    gejala klinis.

    4.2.5. Perhitungan Besar Sampel

    Perhitungan besar sampel ditentukan berdasarkan jenis pertanyaan

    penelitian yang merupakan analitik numerik tidak berpasangan. Maka

    dapat ditemukan besar sampel dengan rumus:

    = 2 + 1 Keterangan:

    n = jumlah sampel yang dibutuhkan

    Z = deviat baku alfa

    Z = deviat baku beta

    S = simpang baku gabungan

    X1 X2 = selisih minimal rerata yang dianggap bermakna

    Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, didapatkan

    besar simpang baku gabungan (S) adalah sebesar 0.8.

    Apabila kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, hipotesis satu arah,

    sehingga Z = 1,64, dan kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 10%, maka

    Z = 1,28. Selisih minimal rerata yang dianggap bermakna (X1 X2)

    adalah 0.5. Maka didapatkan besar sampel minimal adalah 44.

    = 2 (,64 +,28)0.80.5

    = 43.65 = 4 4

    4.3. Tempat dan Waktu Penelitian

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    34/38

    34

    Penelitian dilakukan di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Saiful Anwar Malang.

    Pelaksanaan penelitian dilakukan pada minggu ketiga bulan Februari

    2015 sampai dengan minggu keempat bulan April 2015.

    4.4. Variabel Penel i tian

    Variabel bebas: Derajat keparahan CTS berdasarkan gejala klinis

    Variabel tergantung: Nilai latensi saraf medianus sensorik dan motorik

    4.5. Def in is i Operasional

    Carpal Tunnel Syndrome didefinisikan berdasarkan AANEM dan

    didapatkan beberapa komponen yang dievaluasi, yaitu: derajat

    keparahan penyakit berdasarkan gejala klinis yang diadaptasi dari Italian

    CTS Study Group dengan sedikit modifikasi demi kepentingan praktis

    penelitian dan nilai latensi distal saraf motoris dan sensoris. Definisi

    operasional dijabarkan sebagai berikut:

    Gejala klinis ringan yaitu apabila didapatkan data anamnesa

    pasien berupa kesemutan atau nyeri (baik nocturnal saja maupun

    diurnal) tanpa adanya rasa tebal / sensory loss dan kelemahan

    pada saat menggenggam dan atau atrofi otot thenar.

    Gejala klinis sedang yaitu apabila didapatkan data anamnesa

    pasien berupa kesemutan atau nyeri (baik nocturnal saja maupun

    diurnal) dan rasa tebal / sensory loss tanpa adanya kelemahan

    pada saat menggenggam tangan dan atau atrofi otot thenar; atau

    apabila didapatkan rasa tebal / sensory loss saja tanpa disertai

    dua gejala lainnya.

    Gejala klinis berat yaitu apabila didapatkan data anamnesa pasien

    berupa kesemutan atau nyeri (baik nocturnal saja maupun

    diurnal), rasa tebal / sensory loss, dan kelemahan pada saat

    menggenggam dan atau atrofi otot thenar; atau kelemahan pada

    saat menggenggam dan atau atrofi otot thenar saja dengan

    disertai salah satu dari dua gejala lain atau tanpa disertai dengan

    dua gejala lainnya.

    Pemanjangan nilai latensi distal motoris saraf medianus apabila

    didapatkan data nilai pada rekam medis sebesar > 3.58 milidetik

    (berdasarkan penelitian oleh Herjanto dan Djoenaidi pada 1996).

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    35/38

    35

    Pemanjangan nilai latensi distal sensorik saraf medianus apabila

    didapatkan data nilai pada rekam medis sebesar > 2.75 milidetik

    (berdasarkan penelitian oleh Herjanto dan Djoenaidi pada 1996).

    4.6. Bahan dan Alat / Instrumen Penelitian

    Instrumen penelitian yang digunakan adalah rekam medis pasien CTS di

    Poliklinik Saraf Rumah Sakit Saiful Anwar Malang pada tahun 2009-2014.

    4.7. Metode Pengumpulan Data

    Data dikumpulkan dengan melakukan rekap data yang dibutuhkan dari

    rekam medis pasien CTS yang telah memenuhi kriteria inklusi dan

    eksklusi. Data direkap dalam format Microsoft Excel sehingga lebih

    mudah untuk dilakukan pengolahan data.4.8. Pengo lahan Data

    Data dari hasil penelitian ini akan dianalisis menggunakan metode One-

    Way ANOVA (uji parametrik) setelah sebelumnya dilakukan uji normalitas

    data dan uji varians. Apabila data telah memenuhi syarat, maka hasil

    analisis data akan dilanjutkan dengan analisis Post Hoc untuk

    mengetahui pada kelompok mana terdapat perbedaan yang bermakna.

    4.9. Jadwal Keg iatan

    No. Kegi atanBulan

    II III IV

    1. Pengumpulan Data X X

    2. Tabulasi dan Analisis Data X X

    3. Analisis Data dan Finalisasi X X

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    36/38

    36

    DAFTAR PUSTAKA

    Albers, James W. 1987. Nerve Conduction Manual. Michigan: Department of

    Physical Medicine and Rehabilitation University of Michigan Hospital.

    Ali, Zafar, Adnan Khan, Syed Muhammad Anwar Shah, Ayesha Zafar. 2012.

    Clinical and Electro-Diagnostic Quantification of the Severity of Carpal

    Tunnel Syndrome.Ann.Pak.Inst.Med.Sci.2012; 8(4):207-212.

    American Academy of Orthophaedic Surgeons (AAOS). 2007. Clinical Practice

    Guideline on the Diagnosis of Carpal Tunnel Syndrome.

    Bachrodin, Moch. Carpal Tunnel Syndrome. Malang: FK UMM. 2011. Vol.7 No.

    14.

    Bland, Jeremy D.P. 2000. A Neurophysiological Grading Scale for Carpal Tunnel

    Syndrome. Muscle Nerve 23:1280-1283.

    Dahlan, M.Sopiyudin. 2013. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel.

    Jakarta: Salemba Medika.

    Dahlan, M.Sopiyudin. 2013. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:

    Salemba Medika.

    DeJong RN. The Neurologic Examination revised by AF.Haerer, 5th ed, JB

    Lippincott, Philadelphia, 1992; 557-559.

    East Kent Hospital University. Epidemiology. http://www.carpal-tunnel.net/about-

    cts/epidemiology. Diakses: 23 Desember 2014 pukul 04.45 WIB.

    Hassan, Marwa Mohammed, Mona Mokhtar El Bardawil, et al. 2013. A Study of

    Retrograde Degeneration of Median Nerve Forearm Segment in Carpal

    Tunnel Syndrome of Variable Severities. Alexandria Journal of Medicine

    (2014) 50: 323-331.

    Herjanto P, Djoenaidi W. 1996. Hargal Normal NCV. Surabaya.

    Huldani. 2013. Carpal Tunnel Syndrome. Referat oleh Universitas Lambung

    Mangkurat.

    Jablecki CK, Andary MT, Floeter MK, Miller RG, Quartly CA, Vennix MJ, et al.

    Practice parameter: Electrodiagnostic studies in carpal tunnel syndrome.

    Report of the American Association of Electrodiagnostic Medicine,

    American Academy of Neurology, and the American Academy of Physical

    Medicine and Rehabilitation. Neurology 2002; 58:1589.

    Jeffrey n. Katz, et al. Carpal Tunnel Syndrome. N Engl J Med, 2002. Vol. 346,

    No. 23.

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    37/38

    37

    Jordan R, Carter T, Cummins C. A systematic review of the utility of

    electrodiagnostic testing in carpal tunnel syndrome. Br J Gen Pract 2002;

    52:670-3.

    Katirji, Bashar. 2013. Nerve Conduction Studies: Basic Principles. Neurological

    Institute of University Hospital.

    Kommalage, Mahinda. 2011. Association between Severity of Carpal Tunnel

    Syndrome and Pain in Wrist or Hand. Galle Medical Journal, Vol 16: No 1,

    March 2011.

    Luchetti, Riccardo, Peter Amadio. 2007. Carpal Tunnel Syndrome. Springer.

    Germany.

    Mohammadi, Afshin, Ahmadreza Afshar, Ardeshir Etemadi, Sima Masoudi, Atieh

    Baghizadeh. 2010. Diagnostic Value of Cross Sectional Are of Median

    Nerve in Grading Severity of Carpal Tunnel Syndrome. Archieves of

    Iranian Medicine, Vol 13, No 6, November 2010: 516-521.

    Padua L., Padua R, LoMonaco M, Aprile I, Tonali P. Multiperspective

    assessment of carpal tunnel syndrome. A multicenter study. Neurology

    1999; 53:1654-1659.

    Pecina, Marko M. Markiewitz, Andrew D. 2001. Tunnel Syndromes: Peripheral

    Nerve Compression Syndromes Third Edition. New York: CRC PRESS.

    Poernomo, Herjanto, Mudjiani Basuki, Djoenaidi Widjaja. 2003. Petunjuk Praktis

    Elektrodiagnostik. Surabaya: Airlangga University Press.

    Preston, David C, Barbara E.Shapiro. 2013. Electromyography and

    Neuromuscular Disorders: ClinicalElectrophysiologic 3rd edition.

    Elsevier Inc. China.

    Rambe, Aldi S. 2004. Sindroma Terowongan Karpal. Repository Universitas

    Sumatera Utara.

    Tana, Lusianawaty, Suharyanto Halim, Delima, Woro Ryadina. 2004. Carpal

    Tunnel Syndrome pada Pekerja Garmen di Jakarta. Bul.Panel.Kesehatan,

    Vol 32, No 2, 2004:73-82.

    Tanaka S, Deanna K W, Seligman PJ. Prevalence and Work-relatedness of Self

    Reported Carpal Tunnel Syndrome Among U.S. Workers: Analysis of The

    Occupational Health Supplement Data of 1988 National Health Interview

    Survey. Am J Ind Med 1995; 27: 45 1-470.

  • 8/9/2019 Proposal Tugas Akhir_Nadiya Elfira Bilqis_125070100111035

    38/38

    The American Association of Neuromuscular & Electrodiagnostic Medicine

    (AANEM). 2007. Clinical Practice Guideline on the Diagnosis of Carpal

    Tunnel Syndrome.

    Weir, A I, A Malik. 2005. Nerve Conduction Studies: Essentials and Pitfalls in

    Practice. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2005;76(Suppl II):ii23-ii31.

    Werner, Robert A, Michael Andary. 2011. Electrodiagnostic Evaluation of Carpal

    Tunnel Syndrome. Muscle Nerve 44:597-607.