PROPOSAL PENELITIANPENGALAMAN ORANG TUA DALAM MELATIH TOILET
TRAINING PADA ANAK DOWN SYNDROME DI SLB - BC YPLAB CIBADUYUT
BANDUNGProposal Penelitian ini diajukan untuk memenuhi salah satu
syarat dalam memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan di Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Immanuel Bandung
Disusun oleh:Rentina SilalahiSA 11041
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATANSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
IMMANUEL BANDUNG2015
LEMBAR PERSETUJUAN
Proposal ini telah dikoreksi, dan disetujui untuk dilakukan
Sidang ProposalProgram Studi Sarjana KeperawatanSekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Immanuel Bandung
Bandung, Juni 2015Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
(Rika Harini.,S.Kep.,Ners.,M.Kep.,Sp.An)(Agus
Riyanto.,SKM.,M.Kes)
Mengetahui,Ketua Program Studi S1 KeperawatanSekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Immanuel Bandung
(Srihesty Manan, S.Kep.,Ners.,M.Kes.,AIFO)KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
berkat, rahmat, dan karunianya yang begitu besar sehingga penulis
dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul PENGALAMAN
ORANG TUA DALAM MELATIH TOILET TRAINING PADA ANAK DOWN SYNDROME DI
SLB BC YPLAB CIBADUYUT BANDUNG. Proposal penelitian ini merupakan
salah satu syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan di
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Immanuel Bandung. Penulis menyadari
bahwa penulisan proposal penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih terdapat kekurangan, sehingga kritik dan
saran sangat diharapkan penulis untuk kesempurnaan penulisan
laporan penelitian dimasa mendatang.
Bandung, Juni 2015
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIHPenulis menyadari bahwa dalam penyusunan
proposal penelitian ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Seiring dengan selesainya penyusunan
proposal penelitian ini penulis ingin mengucapkan terimakasih
kepada :1. Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat anugerah dan
kasih-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan
proposal penelitian ini.2. Dr. Wintari Hariningsih,
S.Kp.,SH.,MH.Kes, selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Immanuel Bandung.3. Srihesty Manan, S.Kep.,Ners.,M.Kes.,AIFO,
selaku Ketua Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Immanuel Bandung.4. Nur Intan, S.Kep.,Ners.,M.Kep, selaku
Koordinator Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Immanuel
Bandung.5. Rika Harini.,S.Kep.,Ners.,M.Kep.,Sp.An, selaku
pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing
penulis dengan sabar dan banyak memberikan arahan dan dukungan
kepada penulis agar proposal penelitian ini lebih baik.6. Agus
Riyanto.,SKM.,M.Kes, selaku pembimbing II yang telah banyak
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dan banyak memberikan
wawasan baru serta masukan-masukan yang sangat berguna bagi
penulis.7. Seluruh Staff Dosen Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Immanuel Bandung.8. Kepala Sekolah dan seluruh Staf Guru
di sekolah luar biasa SLB - BC YPLAB Cibaduyut Bandung, terima
kasih telah memberikan ijin dan telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melakukan penelitian.9. Kedua Orang Tua penulis, adik
dan kakak serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan
dukungan, materi, doa, dan motivasi serta kasih sayang kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan proposal penelitian ini lebih
baik.10. Teman-teman dan sahabat S1 Keperawatan 2011, yang telah
memberikan dukungan satu sama lain.11. Semua pihak yang telah
banyak membantu penulis dalam menyelesaikan proposal penelitian ini
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.Harapan penulis semoga
proposal penelitian ini bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi
pembaca.
Bandung, Juni 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDULLEMBAR PERSETUJUANKATA PENGANTARiUCAPAN TERIMA
KASIH............................................................................iiDAFTAR
ISIiiiDAFTAR
SKEMA............................................................................................vDAFTAR
LAMPIRANviiBAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang1B. Rumusan Masalah8C.
Tujuan Penelitian81. Tujuan Umum82. Tujuan Khusus8D. Manfaat
Penelitian8
BAB II TINJAUAN TEORITISA. Konsep Pengalaman11B. Konsep Orang
Tua12C. Konsep Toilet Training13D. Konsep Down Syndrome26
BAB III METODE PENELITIANA. Jenis Penelitian41B. Daftar
Istilah42C. Partisipan Penelitian43D. Tempat dan Waktu
Penelitian45E. Instrumen
Penelitian.............................................................................45F.
Etika Penelitian45G. Pengumpulan Data46H. Validasi Data50I.
Pengolahan dan Analisa Data52J. Tahap Penelitian53
DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN
DAFTAR SKEMA
Skema 1.1 Kerangka Konsep
Penelitian...........................................................10
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Tata Cara WawancaraLampiran 2: Pedoman Wawancara
Mendalam (Indepth Interview)Lampiran 3: Panduan Focus Group
Discussion (FGD)Lampiran 4: Lembar Kegiatan Bimbingan Pembimbing
ILampiran 5: Lembar Kegiatan Bimbingan Pembimbing II
BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangAnak adalah individu yang
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi
hingga remaja. Anak berhak hidup, tumbuh kembang, dan mendapatkan
perlindungan. Mereka juga berhak mendapatkan perawatan yang layak
dari orang tua untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang
optimal. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal dapat
dicapai dengan adanya kesejahteraan antara fisik, mental, dan
sosial. Proses pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui setiap
anak tentunya berbeda. Perbedaan tersebut ada yang normal dan ada
juga yang mengalami hambatan (Departemen Sosial, 2009).
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) atau disebut juga anak dengan
special needs adalah anak yang perkembangan perilakunya mengalami
hambatan atau gangguan. Hambatan ini disebabkan oleh kondisi sosial
emosi, kondisi ekonomi, kelainan bawaan, maupun yang didapat
kemudian. Hambatan atau gangguan yang terjadi pada anak
berkebutuhan khusus biasanya terjadi pada aspek wicara dan okupasi,
sehingga pada anak berkebutuhan khusus sering ditemukan adanya
kesulitan untuk berkomunikasi dan bersosialisasi. Mereka mempunyai
karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya, tetapi
tidak selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau
fisik. Terdapat beberapa jenis anak berkebutuhan khusus salah
satunya adalah anak down syndrome (Handojo, 2008).
Down Syndrome adalah suatu kondisi di mana materi genetik
tambahan menyebabkan keterlambatan perkembangan anak, dan kadang
mengacu pada retardasi mental. Orang dengan down syndrome memiliki
kelainan pada kromosom nomor 21 yang tidak terdiri dari 2 kromosom
sebagaimana mestinya, melainkan 3 kromosom (trisomi 21) sehingga
informasi genetika menjadi terganggu dan anak juga mengalami
penyimpangan fisik. Angka kejadian down syndrome ini meningkat
seiring pertambahan usia ibu waktu hamil, dimulai sejak umur 35
tahun (Smart, 2010; 127).
Down Syndrome merupakan kelainan autosomal yang paling banyak
terjadi pada manusia. Diperkirakan angka kejadiannya yang terakhir
adalah 1,0-1,2 per 1000 kelahiran hidup, dimana 20 tahun sebelumnya
dilaporkan 1,6 per 1000. Penurunan ini diperkirakan berkaitan
dengan menurunnya kelahiran dari wanita yang berumur. Diperkirakan
20% anak dengan down syndrome dilahirkan oleh ibu yang berumur
diatas 35 tahun. Down Syndrome dapat terjadi pada semua ras.
Dikatakan bahwa angka kejadiannya pada bangsa kulit putih lebih
tinggi daripada kulit hitam, tetapi perbedaan ini tidak bermakna.
Sedangkan angka kejadian pada berbagai golongan sosial ekonomi
adalah sama (Soetjiningsih, 2009).
Angka kejadian down syndromemencapai 1 dalam 1000 kelahiran
(Wong,2009). Di Amerika Serikat, setiap tahun lahir 3000 sampai
5000 anak dengan kelainan ini. Prevalensi anak down syndrome
kira-kira 1 berbanding 700 kelahiran di dunia, kurang lebih ada 8
juta anak down syndrome, sedangkan di Indonesia dari hasil survei
terbaru sudah mencapai lebih dari 300.000 ribu jiwa (Mustain,
2010). Penelitian terakhir di Amerika Serikat membuktikan lebih
dari 85% anak down syndrome dilahirkan dari ibu yang usianya tidak
lebih dari 35 tahun (Roithmayr, 2012). Peneliti lain menyatakan
usia ayah juga berpengaruh, dan memang kelebihan kromosom trisomi
21 bisa disebabkan baik dari ibu ataupun ayah, meski kebanyakan
kromosom yang berlebih didapat dari ibu (Soetjiningsih, 2009).
Mempunyai anak berkebutuhan khusus seperti down syndrome,
tentunya menimbulkan beberapa permasalahan yang seringkali menjadi
kendala dalam menangani dan merawat anak autis. Salah satu
permasalahan yang timbul tersebut adalah permasalahan dalam
memberikan toilet training. Permasalahan tersebut timbul karena
anak down syndrome memiliki gangguan dalam beberapa aspek seperti
gangguan komunikasi dan bahasa, gangguan interaksi sosial, gangguan
perilaku (rutinitas) dan kurangnya kesadaran sensoris. Gangguan
tersebut menyebabkan anak down syndrome kurang mandiri dalam banyak
hal sehingga anak selalu bergantung pada orang tua dalam melakukan
kegiatan sehari-hari, termasuk kegiatan yang sifatnya mendasar
yakni kebutuhan toileting atau buang air besar dan buang air kecil
secara mandiri.
Permasalahan toilet training tersebut bermacam-macam dan tidak
selalu sama antara anak down syndrome yang satu dengan yang
lainnya. Adapun beberapa masalah toilet training yang biasanya
terjadi pada anak down syndrome, diantaranya anak down syndrome
tidak mengetahui tindakan yang harus dilakukan, takut untuk
menggunakan toilet, hanya ingin buang air menggunakan diapers,
hingga melakukan fecal smearing (mengusap kotoran/feses ke dinding
atau bermain dengan kotorannya) (Williams dan Wright, 2009).
Toilet Training adalah pelatihan kemampuan dan kemandirian dalam
buang air kecil dan buang air besar dengan baik. Toilet training
merupakan salah satu hal yang paling mendasar dan merupakan
kegiatan yang harus dikuasai oleh setiap orang termasuk pada anak
down syndrome. Toilet training juga dapat menjadi awal terbentuknya
kemandirian anak down syndrome secara nyata sebab dengan
berhasilnya toilet training anak sudah bisa untuk melakukan hal-hal
yang kecil seperti buang air kecil dan buang air besar.
Memberikan toilet training kepada anak berkebutuhan khusus
seperti anak down syndrome merupakan hal yang cukup menantang
karena anak down syndrome termasuk anak yang sulit menyelesaikan
toilet training dengan baik. Pengenalan dan pemberian toilet
training pada anak down syndrome akan sangat baik dan efektif
apabila diberikan sedini mungkin karena dengan usia yang sedini
mungkin masih akan memberikan suatu harapan bahwa anak dapat
dilatih dan dapat berkembang dengan lebih baik. Prinsip utama yang
harus dipahami dalam mengajarkan toilet training pada anak adalah
dengan kesabaran dan pengertian (Ardianingsih, 2010).
Orang tua adalah bagian dari sebuah keluarga yang terdiri dari
ayah dan ibu dan orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik,
mengasuh, merawat, membimbing dan memantau pertumbuhan dan
perkembangan dan perkembangan anak-anaknya untuk mencapai tahapan
tertentu yang mengantarkan anak untuk siap dalam kehidupan
bermasyarakat (Laela, 2011). Orang tua merupakan tempat pertama dan
utama yang memegang peranan besar dalam memberikan toilet training
pada anak down syndrome. Mereka mengenalkan dan mengajarkan kepada
anak supaya memiliki kemampuan dalam buang air besar dan buang air
kecil.
Orang tua harus dapat memahami karakteristik anaknya dengan baik
dan harus memiliki pengetahuan tentang toilet training pada anak
down syndrome sehingga mereka dapat memberikan toilet training
dengan cara yang tepat. Segala hambatan yang dirasakan oleh orang
tua dalam memberikan toilet training merupakan suatu hal yang wajar
dan harus dijadikan perhatian khusus bagi orang tua untuk melakukan
upaya agar anaknya bisa menjadi madiri guna tercapainya kualitas
hidup yang lebih baik (Sinambela, 2010).
Penelitian Agnestasia (2011) mengenai pengetahuan ibu tentang
toilet training yang dilakukan kepada orang tua yakni ibu dari 64
murid di salah satu PAUD kota Cimahi dengan judul Hubungan
Pengetahuan Pada Anak Usia 2-5 Tahun dan dengan menggunakan metode
penelitian deskriptif kuantitatif, menunjukkan hasil penelitian
yaitu hampir sebagian responden (45,3%) memiliki pengetahuan yang
cukup tentang toilet training dan sebagian besar responden (60,9%)
melaksanakan toilet training pada anaknya.
Adapun penelitian lain tentang toilet training pada anak down
syndrome yang dilakukan oleh Astri (2013) yang berjudul Toilet
Training Pada Anak Down Syndrome di salah satu sekolah luar biasa
kota Semarang dengan menggunakan metode penelitian deskriptif
kualitatif kepada seorang anak down syndrome, diketahui bahwa
partisipan mengalami kesulitan dalam toilet training. Melalui
metode triangulasi didapatkan kesimpulan yaitu pembiasaan, latihan
dan pembelajaran toilet training yang dilaksanakan secara kontinyu
sejak usia dini menjadi faktor yang menyebabkan anak down syndrome
mampu untuk buang air besar dan buang air kecil secara mandiri.
Kemampuan toilet training anak down syndrome berbeda antara anak
satu dengan anak yang lainnya. Begitu pula dengan anak down
syndrome yang bersekolah di SLB BC YPLAB Cibaduyut Bandung,
pencapaian keberhasilan toilet training setiap anak berbeda.
Bertitik tolak dari kenyataan yang ada di lapangan, perlu dikaji
lebih mendalam mengenai pelaksanaan toilet training pada anak down
syndrome dan apa saja yang menjadi faktor pendukung dan penghambat
keberhasilan toilet training pada anak down syndrome di SLB BC
YPLAB Cibaduyut Bandung.
Sekolah Luar Biasa (SLB - BC YPLAB Cibaduyut Bandung) adalah
salah satu sekolah dan pusat terapi anak berkebutuhan khusus di
kota Bandung. SLB - BC YPLAB Cibaduyut Bandung menyediakan
pelayanan Sekolah Luar Biasa (SLB) mulai dari SDLB, SMPLB, dan
SMALB.
Alasan peneliti memilih tempat penelitian tersebut adalah
sebagian dari siswa SLB - BC YPLAB Cibaduyut Bandung adalah anak
down syndrome. Berdasarkan survey lapangan yang peneliti lakukan ke
beberapa sekolah luar biasa (SLB) dan yayasan, ditemukan bahwa di
beberapa tempat tersebut hanya ditemui sedikit saja anak down
syndrome. Selain itu, kepala sekolah, staf guru serta para orang
tua murid yang berada di sekolah luar biasa (SLB - BC YPLAB
Cibaduyut Bandung) sangat mendukung peneliti, karena mereka
mengatakan bahwa di sekolah luar biasa SLB - BC YPLAB Cibaduyut
Bandung belum pernah ada yang meneliti tentang toilet training pada
anak down syndrome. Berdasarkan beberapa pertimbangan diatas,
akhirnya peneliti memutuskan memilih sekolah luar biasa SLB - BC
YPLAB Cibaduyut Bandung sebagai tempat penelitian.
Studi Pendahuluan yang dilakukan peneliti adalah dengan
melakukan wawancara interpersonal dengan 2 orang partisipan yaitu
ibu atau orang tua yang memiliki anak down syndrome. Wawancara
interpersonal tersebut dilakukan di lingkungan sekolah luar biasa
SLB - BC YPLAB Cibaduyut Bandung pada tanggal 23 April 2015. Adapun
hasil wawancara interpersonal tersebut adalah :
Partisipan pertama Ny. S berusia 35 tahun yang memiliki anak
down syndrome An. G berusia 7 tahun berjenis kelamin perempuan,
beliau mengatakan, Saya tahu tentang latihan buang air pada anak,
namun baru tahu bahwa namanya itu toilet training. Dulu anak saya
masih memakai pampers, tapi saat usia 6 tahun anak saya belajar
untuk buang air tanpa menggunakan pampers. Waktu itu masih sangat
susah ngajarin anak saya biar bisa ngerti tentang toilet. Terus,
cara ngajarinnya saya diberitahu guru dan dibantu juga untuk
mengajarkan anak saya cara buang air kecil dan buang air besar dan
lama-lama anak saya bisa mengerti sedikit-sedikit cara ke toilet.
Memang sangat susah dan butuh waktu yang lama untuk mengajarkan
anak saya cara ke toilet dan saya juga hampir menyerah karena anak
saya susah mengerti cara buang air kecil dan buang air besarnya di
toilet. Tapi, untung saja saya bisa dibantu oleh guru sekolah ini
dan diajarkan juga cara melatih anak saya dirumah untuk buang air
kecil dan buang air besar di toilet.
Wawancara interpersonal selanjutnya dilakukan pada partisipan
kedua Ny. N berusia 45 tahun yang memiliki anak down syndrome An. S
berusia 6 tahun berjenis kelamin perempuan, beliau mengatakan, Saya
belum pernah mendengar tentang latihan buang air kecil dan buang
air besar. Untuk buang air besar dan buang air kecil sekarang anak
saya kadang masih menggunakan pampers, kalau gak pake pampers
kadang dia suka buang air kecil dicelana kalo sudah tidak tahan
menahan ingin buang air kecil. Anak saya belum bisa bilang kalau
mau buang air, tapi saya selalu mengingatkan anak saya kalau mau
buang air harus bilang. Saya ngajarinnya dengan cara sering bawa
anak saya ke kamar mandi walaupun kadang sudah terlanjur buang air
dicelana, supaya dia ngerti kalau kamar mandi dipake buat buang
air. Saya tidak selalu ada waktu untuk mengajarkan anak saya karena
saya juga harus bekerja, dan yang dirasa selama ini kadang saya
merasa sedih capek dan bingung juga ngajarin anak saya untuk
mengerti cara buang air. Dan yang saya lakukan hanya bisa bersabar
dan biasanya saya juga meminta kakaknya untuk kasih contoh buang
air. Tapi tetep aja anaknya memang susah ngerti walaupun sudah
diberitahu.
Berdasarkan hasil wawancara interpersonal yang dilakukan kepada
orang tua murid di SLB BC YPLAB Cibaduyut Bandung, tidak semua
orang tua murid mengetahui tentang toilet training pada anak down
syndrome, sehingga penulis tertarik untuk mengeksplorasi dan
mendeskripsikan fenomena tersebut dalam bentuk penelitian
kualitatif untuk mengetahui bagaimana pengalaman orang tua yang
melatih toilet training pada anak down syndrome.
B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang masalah yang telah
diuraikan diatas, maka penulis bermaksud ingin menggali tentang
Bagaimanakah Pengalaman Orang Tua Dalam Melatih Toilet Training
Pada Anak Down Syndrome di SLB BC YPLAB Cibaduyut Bandung?.
C. Tujuan Penelitian1. Tujuan UmumPenelitian ini bertujuan untuk
menguraikan pengalaman orang tua dalam melatih toilet training pada
anak down syndrome di SLB - BC YPLAB Cibaduyut Bandung.2. Tujuan
Khususa. Diuraikannya pengetahuan orang tua tentang toilet training
pada anak down syndrome.b. Diuraikannya cara orang tua dalam
melatih toilet training pada anak down syndrome.c. Diuraikannya
hambatan orang tua dalam memberikan toilet training pada anak down
syndrome.d. Diuraikannya upaya orang tua untuk mengatasi hambatan
dalam memberikan toilet training pada anak down syndrome.
D. Manfaat Penelitian1. Bagi STIK ImmanuelHasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan serta
gambaran tentang pengalaman orang tua dalam melatih toilet training
pada anak down syndrome sehingga dapat melengkapi bahan
pembelajaran yang ada khususnya bagi mahasiswa keperawatan dan
dapat referensi penelitian kualitatif tentang Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) di perpustakaan STIK Immanuel.
2. Bagi Sekolah Luar Biasa SLB - BC YPLAB Cibaduyut BandungHasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada para
guru yang berasal di sekolah luar biasaSLB - BC YPLAB Cibaduyut
Bandung mengenai bagaimana cara orang tua murid dalam melatih
toilet training pada anak down syndrome sehingga dapat bekerjasama
dengan orang tua dalam membantu anak berkebutuhan khusus yaitu anak
down syndrome.
3. Bagi Orang Tua yang memiliki anak Down SyndromeHasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
pengetahuan bagi semua orang tua baik yang tidak memiliki anak down
syndrome maupun yang memiliki anak down syndrome tentang bagaimana
melatih toilet training pada anak down syndrome.
4. Bagi Perawat sebagai Tenaga KesehatanHasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan gambaran kepada perawat tentang
pengalaman orang tua dalam melatih toilet training pada anak down
syndrome, sehingga dapat mengembangkan dan memperluas pengetahuan
dan wawasan serta dapat digunakan sebagai informasi dalam
memberikan asuhan keperawatan.
5. Bagi PenulisHasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengalaman nyata dan dapat menambah pengetahuan dalam memberikan
informasi yang jelas dan lengkap tentang pengalaman orang tua dalam
melatih toilet training pada anak down syndrome.
E. Kerangka Konsep PenelitianSkema 1.1 Kerangka Konsep
PenelitianPengalaman Orang Tua Dalam Melatih Toilet Training Pada
Anak Down Syndrome di SLB BC YPLAB Cibaduyut Bandung
OUTPUTPROSESINPUT
Permasalahan Toilet Training Pada Anak Down SyndromeFaktor
Pendukung
Keterangan :: Variabel yang diteliti: Variabel yang tidak
ditelitiPengoptimalan Quality of LifePengetahuan orang tuaCara
orang tuaHambatan orang tuaUpaya orang tuaPengalaman orang tua
dalam melatih toilet training pada anak down syndromeFenomena
Pengalaman orang tua dalam melatih Toilet Training pada anak Down
SyndromeFaktor PendorongFaktor Penghambat
Sumber : Mdifikasi Crotty, 2003s; William dan Wright, 2007;
Priyatna,2010.BAB IITINJAUAN TEORITIS
1. Konsep Pengalamana. Pengertian PengalamanPengalaman berasal
dari kata dasar alam yang diartikan sebagai sesuatu yang pernah
dialami (dijalani, dirasai, ditanggung) (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2008). Pengalaman juga dapat diartikan sebagai reaksi
mental fisik terhadap penglihatan, pendengaran dan perubahan
mengenai sesuatu yang dipelajari dan dengan reaksi tersebut
seseorang mendapatkan pengertian dan pemahaman yang dapat digunakan
untuk memecahkan masalah baru. Pengalaman yang dimaksud adalah
semua pembelajaran yang diambil seseorang dari peristiwa-peristiwa
yang telah lalu (Irene dalam West, 2008).
Soemaryono mengatakan bahwa pengalaman hidup adalah pengalaman
batin yang bermakna bagi seseorang dan meninggalkan kesan dalam
kehidupannya. Tetapi tidak semua pengalaman dikatakan pengalaman
hidup, bila hal tersebut tidak bermakna bagi seseorang yang
mengalaminya. Adapun beberapa hal yang dianggap bermakna sehingga
dapat dikatakan sebagai pengalaman hidup diantaranya adalah
pengalaman tentang penderitaan, mengalami penyakit kronis, berduka,
cinta, atau persahabatan (Laela, 2011).
b. Bentuk PengalamanPengalaman merupakan konsep umum yang
terdiri dari pengetahuan dan keterampilan dalam pengamatan dari
beberapa hal atau peristiwa tertentu yang diperoleh melalui
keterlibatan dalam hal atau peristiwa tersebut. Terdapat beberapa
bentuk pengalaman yaitu perasaan, emosi, persepsi dan tindakan yang
dialami seseorang yang mempunyai kesan dan makna dalam kehidupannya
(Crotty, 2003).2. Konsep Orang Tuaa. Pengertian Orang TuaOrang tua
menurut KBBI (2008) adalah ibu dan ayah kandung. Sedangkan menurut
Suparyanto (2011) orang tua adalah bagian dari keluarga yang
terdiri dari ayah dan ibu dimana diikat oleh sebuah ikatan
perkawinan yang sah. Orang tua mempunyai tanggung jawab untuk
mendidik, mengasuh, merawat, dan membimbing anak untuk mencapai
tahap perkembangannya agar anak siap dalam kehidupan bermasyarakat.
Pengertian orang tua tersebut tidak terlepas dari pengertian
keluarga yaitu dua orang atau lebih yang dihubungkan dengan
pertalian darah (perkawinan atau adopsi) yang memiliki tempat
tinggal bersama dimana dalam keluarga inti terdiri dari ayah, ibu,
dan anak.
b. Fungsi Pokok Orang Tuaa. AsihFungsi asih dari orang tua
kepada anak-anaknya fungsi dalam memberikan kasih sayang,
perhatian, rasa aman, kehangatan kepada anggota keluarga sehingga
memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang sesuai usia dan
kebutuhannya.b. AsuhFungsi asuh dari orang tua kepada anak-anaknya
adalah fungsi dalam memenuhi kebutuhan pemeliharaan dan perawatan
anak agar kesehatannya selalu terpelihara, sehingga diharapkan
menjadikan mereka anak-anak yang sehat baik fisik, mental, sosial
dan spiritual.c. AsahFungsi asah dari orang tua kepada anak-anaknya
adalah fungsi dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak, sehingga
siap menjadi manusia dewasa yang mandiri dalam mempersiapkan masa
depannya (Effendy, 2004).c. Peran Orang TuaPeran adalah sesuatu
yang diharapkan secara normatif dari seseorang dalam situasi sosial
tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan. Peran orang tua sama
seperti peran keluarga, karena dalam keluarga terdiri dari ayah,
ibu dan anak. Peran orang tua adalah tingkah laku spesifik yang
diharapkan oleh seseorang dalam konteks orang tua dalam sebuah
keluarga. Peran orang tua menggambarkan seperangkat perilaku
interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu
dalam posisi dan situasi tertentu. Setiap orang tua berkewajiban
untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan baik perorangan, keluarga, anak dan lingkungan. Anak
berperan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan perkembangan
fisik, mental, sosial dan spiritual. Sedangkan peran orang tua
adalah :a. AyahAyah sebagai seorang suami dari istri, salah satu
orang tua bagi anak-anak dan sebagai pemimpin keluarga mempunyai
peran sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung / pangayom,
pemberi rasa aman bagi setiap anggota keluarga dan juga sebagai
anggota mayarakat kelompok sosial tertentu.b. IbuIbu sebagai istri
dari suami, salah satu orang tua bagi anak-anak dan sebagai
pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anak, pelindung
keluarga, sebagai pencari nafkah tambahan keluarga dan juga sebagai
anggota masyarakat kelompok sosial tertentu (Setiadi, 2008).
3. Toilet Traininga. Pengertian Toilet TrainingSecara umum
toilet training merupakan suatu proses untuk mengajarkan kepada
anak-anak untuk buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB).
Dengan toilet training diharapkan dapat melatih anak untuk mampu
BAK dan BAB di tempat yang ditentukan yakni di kamar mandi
(toilet), selain itu toilet training juga mengajarkan kepada anak
untuk membersihkan kotorannya sendiri dan memakai kembali celananya
tanpa bantuan orang lain.
Menurut Hidayat (2006; 62), toilet training pada anak merupakan
suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam
melakukan buang air kecil dan buang air besar. Pengertian toilet
training menurut Schmitt (1997; 43), toilet training adalah upaya
pelatihan kontrol BAK dan BAB anak yang masing-masing dilakukan
oleh sistem perkemihan dan defekasi. Seorang anak dikatakan sedang
menjalani toilet training bila ia diajarkan untuk datang ke toliet
saat ingin BAK atau BAB, membuka pakaian seperlunya, melakukan
miksi atau defekasi, membersihkan kembali dirinya, dan memakai
kembali pakaian yang dilepaskan.
Penguasaan anak terhadap kemampuan miksi dan defekasi terkontrol
ini bisa simultan maupun berkala atau bertahap. Kontrol perkemihan
biasanya lebih mudah dilakukan pada siamh hari, sedangkan pada
malam hari sering terjadi kegagalan. Kegagalan ini akan
terkompensasi setelah beberapa tahun. Toilet training dilakukan
dalam dua minggu sampai dua bulan.
Menurut William Sears & Martha Sears (2003; 799), latihan
untuk buang air besar dan kecil di toilet adalah suatu hubungan
kerja sama, dengan adanya peran yang sesuai untuk masing-masing
pihak. Orang tua dapat menuntun anak menuju toilet, namun orang tua
tidak dapat memaksa anak untuk membuang air besar (BAB) dan buang
air kecil (BAK) di sana.
Toilet training ini dapat berlangsung pada fase kehidupan anak
yaitu umur 18 bulan-dua tahun. Dalam melakukan latihan buang air
kecil dan besar pada anak membutuhkan persiapan baik secara fisik,
psikologis, maupun secara intelektual, melalui persiapan tersebut
diharapkan anak mampu mengontrol buang air kecil secara sendiri
(Hidayat, 2005; 62).
Menurut Hidayat (2005; 62), pada toilet training selain melatih
anak dalam mengontrol buang air besar dan kecil juga dapat
bermanfaat dalam pendidikan seks, sebab saat anak melakukan
kegiatan tersebut disitu anak akan mempelajari anatomi tubuhnya
sendiri serta fungsinya. Dalam proses toilet training diharapkan
terjadi pengaturan impuls atau rangsangan dan insting anak dalam
melakukan buang air besar atau merupakan suatu alat pemuasan untuk
melepaskan ketegangan dengan latihan ini anak diharapkan dapat
melakukan usaha penundaan pemuasan.
Dua tujuan toilet training harus ditemukan agar keterampilan
toileting yang benar dicapai secara mandiri, yaitu menahan diri,
dimana seseorang harus dapat mengenali sensasi untuk buang air dan
penguasaan dari seluruh rangkaian perilaku untuk pergi ke toilet
(menuju kamar mandi, melepas pakaian, mengeluarkannya di toilet,
membersihkan diri, berpakaian kembali, mengguyur, mencuci tangan)
(Kroeger dan Sorensen, 2009). Yang menjadi catatan bahwa tujuan
pelatihan buang air ke toilet adalah hasil akhir keberhasilan dari
latihan ke toilet, bukan keterampilan prasyarat untuk memulai
pelatihan ke toilet.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
toilet training adalah cara untuk melatih anak agar bisa mengontrol
buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) secara benar di
kamar mandi (toilet), berupa: anak dapat menahan keinginan buang
air hingga ia sampai di kamar mandi atau toilet, serta mampu
menegakkan kemandiriannya dalam hal buang air tanpa bantuan orang
lain. Toilet training baik dilakukan sejak dini untuk menanamkan
kebiasaan yang baik pada anak. Hal ini penting dilakukan untuk
melatih kemandirian anak dalam melakukan BAK dan BAB sendiri.
Toilet training akan dapat berhasil dengan baik apabila ada
kerjasama antara orang tua dengan anak.
b. Pengajaran Toilet Training pada AnakLatihan buang air besar
atau buang air kecil pada anak atau dikenal dengan nama toilet
training merupakan suatu hal yang harus dilakukan pada anak,
mengingat dengan latihan itu diharapkan anak mempunyai kemampuan
sendiri dalam melaksanakan buang air kecil dan buang air besar
tanpa merasakan ketakutan atau kecemasan sehingga anak akan
mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia tumbuh kembang
anak.
Mengajarkan toilet training pada anak bukanlah hal yang mudah
untuk dilakukan. Dalam mengajarkan toilet training dibutuhkan
metode atau cara yang tepat sehingga mudah dimengerti oleh anak.
Penggunaan metode yang tepat akan mempengaruhi keberhasilan
orangtua dalam mengajarkan konsep toilet training pada anak.
Menurut Hidayat (2005; 63), banyak cara yang dapat dilakukan oleh
orang tua dalam melatih anak untuk buang air besar dan kecil
diantaranya :
a. Teknik LisanMerupakan usaha untuk melatih anak dengan cara
memberikan intruksi pada anak dengan kata-kata sebelum atau sesudah
buang air kecil dan buang air besar. Cara ini kadang-kadang
merupakan hal biasa yang dilakukan pada orang tua akan tetapi
apabila kita perhatikan bahwa teknik lisan ini mempunyai nilai yang
cukup besar dalam memberikan rangsangan untuk buang air kecil atau
buang air besar dimana lisan ini persiapan psikologis pada anak
akan semakin matang dan akhirnya anak mampu dengan baik dalam
melaksanakan buang air kecil dan buang air besar.
b. Teknik ModellingMerupakan usaha untuk melatih anak dalam
melakukan buang air dengan cara meniru untuk buang air atau
memberikan contoh. Cara ini juga dapat dilakukan dengan memberikan
contoh-contoh buang air kecil dan buang air besar atau membiasakan
buang air kecil dan buang air besar secara benar. Dampak yang jelek
pada cara ini adalah apabila contoh yang diberikan salah sehingga
akan dapat diperlihatkan pada anak akhirnya anak juga mempunyai
kebiasaan salah. Selain cara tersebut di atas terdapat beberapa hal
yang dapat dilakukan seperti melakukan observasi waktu pada saat
anak merasakan buang air kecil dan buang air besar, tempatkan anak
di atas pispot atau ajak ke kamar mandi, berikan pispot dalam
posisi aman dan nyaman, ingatkan pada anak bila akan melakukan
buang air kecil dan buang air besar, dudukkan anak di atas pispot
atau orang tua duduk atau jongkok di hadapannya sambil mengajak
bicara atau bercerita, berikan pujian jika anak berhasil jangan
disalahkan dan dimarahi, biasakan akan pergi ke toilet pada jam-jam
tertentu dan beri anak celana yang mudah dilepas dan
dikembalikan.
Menurut Supartini (2004; 74), orang tua harus diajarkan
bagaimana cara melatih anak untuk mengontrol rasa ingin berkemih,
di antaranya pot kecil yang bisa diduduki anak apabila ada, atau
langsung ke toilet, pada jam tertentu secara regular. Misalnya,
setiap dua jamanak dibawa ke toilet untuk berkemih. Anak didudukkan
pada toilet atau pot yang bisa diduduki dengancara menapakkan kaki
dengan kuat pada lantai sehingga dapat membantunya untuk mengejan.
Latihan untuk merangsang rasa untuk mengejan ini dapat dilakukan
selama 5 sampai 10 menit. Selama latihan, orang tua harus mengawasi
anak dan kenakan pakaian anak yang mudah untuk dibuka.
Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa cara
mengajarkan toilet training pada anak adalah dengan menggunakan
teknik lisan dan teknik modelling. Teknik lisan yaitu dengan
memberikan intruksi pada anak dengan kata-kata sebelum atau sesudah
buang air kecil dan buang air besar dan teknik modelling berupa
memberikan contoh buang air kecil dan buang air besar atau
membiasakan buang air kecil dan buang air besar secara benar. Untuk
pelaksanaan toilet training yang optimal memerlukan intervensi
berupa menyiapkan peralatan yang dibutuhkan, memberikan selamat
atau hadiah jika anak mampu menyesuaikan dengan baik.
c. Tolak Ukur Pelaksanaan Toilet TrainingTolak ukur pelaksanaan
toilet training merupakan sesuatu yang harus diperhatikan sebelum
anak melakukan buang air kecil dan buang air besar, mengingat anak
yang melakukan buang air besar atau buang air kecil akan mengalami
proses keberhasilan dan kegagalan, selama buang air kecil dan buang
air besar. Proses tersebut akan dialami oleh setiap anak, untuk
mencegah terjadinya kegagalan maka dilakukan sesuatu pengkajian
sebelum melakukan toilet training yang pengkajian fisik, pengkajian
psikologis, dan pengkajian inteletual (Hidayat, 2005; 64).1.
Pengkajian FisikPengkajian fisik yang harus diperhatikan pada anak
yang akan melakukan buang air kecil dan buang air besar dapat
meliputikemampuan motorik halus seperti mampu melepas celana
sendiri. Kemampuan motorik ini harus mendapat perhatian karena
kemampuan untuk buang air besar ini lancar dan tidaknya dapat
dilihat dari kesiapan fisik sehingga ketika anak berkeinginan untuk
buang air kecil dan buang air besar sudah mampu dan siap untuk
melakukannya. Selain itu, yang harus dikaji adalah pola buang air
besar yang sudah teratur, sudah tidak mengompol setelah tidur.
2. Pengkajian PsikologisPengkajian psikologis yang dapat
dilakukan adalah gambaran psikologis pada anak ketika akan
melakukan buang air kecil dan buang air besar seperti anak tidak
rewel ketika akan buang air besar, anak tidak menangis sewaktu
buang air besar atau buang air kecil, ekspresi wajah menunjukkan
kegembiraan dan ingin melakukan secara sendiri, anak sabar dan
sudah mau ke toilet selama 5 sampai 10 menit tanpa rewel atau
meninggalkannya, adanya keingintahuan kebiasaan toilet training
pada orang dewasa atau saudaranya, adanya ekspresi untuk
menyenangkan pada orangtuanya.
3. Pengkajian IntelektualPengkajian intelektual pada latihan
buang air kecil dan buang air besar antara lain kemampuan anak
untuk mengerti buang air kecil dan buang air besar, kemampuan
mengkomunikasikan buang air kecil dan buang air besar, mempunyai
kemampuan kognitif untuk meniru perilaku yang tepat seperti buang
air kecil dan buang air besar pada tempatnya serta etika dalam
buang air kecil dan buang air besar. Dalam melakukan pengkajian
kebutuhan buang air kecil dan buang air besar, terdapat beberapa
hal-hal yang perlu diperhatikan selama toilet training,
diantaranya: hindari pemakaian popok sekali pakai dimana anak akan
merasa aman, ajari anak mengucapkan kata-kata yang khas yang
berhubungan dengan buang air besar, mendorong anak melakukan
rutinitas ke kamar mandi seperti cuci muka saat bangun tidur, cuci
tangan, cuci kaki, dan lain-lain.
Berdasarkan teori yang dijelaskan oleh Hidayat (2005; 64)
mengenai pengkajian masalah toilet training, dapat disimpulkan
bahwa pengkajian masalah toilet training bertujuan sebagai pencegah
kegagalan dalam toilet training. Pengkajian masalah sebelum
melakukan toilet trainingmeliputi pengkajian fisik, pengkajian
motorik dan pengkajian intelektual anak.
4. Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Toilet TrainingSeorang
anak yang telah berhasil menjalani toilet training memiliki
kemampuan menggunakan toilet pada saat ingin BAB atau BAK.
Keberhasilan atau kegagalan dalam kegiatan toilet training
dipengaruhi oleh banyak faktor, bisa berasal dari faktor interen
dan faktor eksteren. Faktor interen berupa faktor dari dalam diri
anak itu sendiri, sedangkan faktor eksteren bisa berupa faktor dari
orang tua dan lingkungan.
Menurut Hidayat (2005; 61) suksesnya toilet training tergantung
pada diri anak dan keluarga, diantara lain seperti :1) Kesiapan
FisikDimana kemampuan anak secara fisik sudah kuat dan mampu. Hal
ini dapat ditunjukkan dengan anak mampu duduk atau berdiri sehingga
memudahkan anak untuk dapat dilatih buang air besar dan kecil,
dapat jongkok dan berdiri ditoilet selama 5-10 menit tanpa berdiri
dulu, mempunyai kemampuan motorik halus seperti mambuka celana dan
pakaian.2) Kesiapan PsikologisDimana anak membutuhkan suasana yang
nyaman agar mampu mengontrol dan konsentrasi dalam merangsang untuk
buang air besar dan buang air kecil.3) Kesiapan IntelektualHal ini
dapat ditunjukkan apabila anak memahami arti buang air besar atau
kecil sangat memudahkan proses dalam pengontrolan, anak dapat
mengetahui kapan saatnya harus buang air kecil dan buang air besar,
kesiapan tersebut akan menjadikan diri anak selalu mempunyai
kemandirian dalam mengontrol khususnya buang air besar dan buang
air kecil (toilet training).Faktor-faktor yang mendukung toilet
training pada anak menurut Subagyo, dkk (2010; 139:1. Kesiapan
Fisika) Usia telah mencapai 18-24 bulanb) Dapat jongkok kurang dari
2 jamc) Mempunyai kemampuan motorik kasar seperti duduk dan
berjaland) Mempunyai kemampuan motorik halus seperti membuka celana
dan pakaian2. Kesiapan Mentala) Mengenal rasa ingin berkemih dan
defekasib) Komunikasi secara verbal dan nonverbal jika merasa ingin
berkemihc) Keterampilan kognitif untuk mengikuti perintah dan
meniru perilaku orang lain3. Kesiapan Psikologisa) Dapat jongkok
dan berdiri ditoilet selama 5-10 menit tanpa berdiri dulub)
Mempunyai rasa ingin tahu dan rasa penasaran terhadap kebiasaan
orang dewasa dalam buang air kecil, dan buang air besarc) Merasa
tidak betah dengan basah dan adanya benda padat dicelana dan ingin
segera diganti4. Kesiapan Orangtuaa) Mengenal tingkat kesiapan anak
dalam berkemih dan defekasib) Ada keinginan untuk meluangkan waktu
untuk latihan berkemih dan defekasi pada anakc) Tidak mengalami
konflik tertentu atau stres keluarga yang berartiFaktor lain yang
mempengaruhi keberhasilam orang tua dalam memberikan bimbingan
toilet training pada anak antara lain:1) PengetahuanPada orang tua
yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang toilet
training akan menetapkan sesuai dengan kemampuan dan kesiapan anak.
Sebaliknya pada orang tua yang kurang dalam pengetahuan tentang
toilet training akan menerapkan tidak sesuai dengan usia serta
kemampuan anak. Hal ini dapat menimbulkan kecemasan, stres dan
muncul rasa marah jika melihat anak tidak mampu melakukan toilet
training (Notoatmodjo, 2003; 65).
Pengetahuan tentang toilet training sangat penting untuk
dimiliki oleh seorang ibu. Hal ini akan berpengaruh pada penerapan
toilet training pada anak. Ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan
yang baik berarti mempunyai pemahaman yang baik tentang manfaat dan
dampak toilet training, sehingga ibu akan mempunyai sikap yang
positif terhadap konsep toilet training. Sikap merupakan
kecenderungan ibu untuk bertindak atau berperilaku (Suryabudhi,
2003; 38).2. Pola AsuhKeterampilan toilet training pada anak
biasanya dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Ketika anak berusia
balita biasanya keterampilan toilet training sudah dilatih atau
dibiasakan. Pola asuh orang tua yang tidak tegaan untuk melatih
kedisiplinan dalam toilet training turut berpengaruh dalam
perkembangan kemampuan toilet training. Kebiasaan untuk selalu
menolong dan memanjakan menjadikan anak sangat tergantung pada
pengasuh.
3. Motivasi Stimulasi dari Orang TuaOrang tua akan mudah
menerima dan mendorong seseorang umtuk melakukan sesuatu yang
disebabkan oleh adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan tertentu.
Dengan motivasi yang baik untuk melakukan stimulasi toilet
training, maka keberhasilan toilet training akan terwujud (Subagyo,
2010; 138). Menurut Government of South Australia (1999), faktor
yang menghambat pelatihan toilet adalah sebagai berikut:1) Upaya
toilet training dilakukan terlalu dini.2) Orangtua telah menetapkan
standar waktu pelaksanaan tanpa memperhatikan perkembangan anak.3)
Tekanan dari lingkungan atau orang lain memaksakan pelatihan.4)
Orangtua atau pengasuh berpendapat bahwa anak harus mengalami
toilet training sesegera mungkin untuk membuktikan keberhasilan
pendidikan dan menunjukkan keunggulan si anak.5) Perselisihan
antara anak dan orangtua dalam menjalani toilet training.6)
Memberikan hukuman pada anak yang gagal dalam menyelesaikan proses
BAB atau BAK di toilet dengan baik.
7) Adanya Faktor Stres pada Kehidupam Anak.Adanya gangguan fisik
atatu organik pada anak, misalnya kerusakan sistem pencernaan
sehingga menyebabkan gangguan fisiologis berkemih dan defekasi. Hal
ini tampak apabila anak terlalu sering BAB atau BAK, BAB atau BAK
mengandung darah, ataupum nyeri saat berkemih atau
defekasi.Berdasarkan teori mengenai faktor yang mempengaruhi
keberhasilan toilet training di atas, faktor yang mendominasi
adalah kesiapan fisik, kesiapan psikologis dan kesiapan intelektual
dari anak, serta faktor yang berasal dari orang tua yaitu kesiapan
orang tua, tingkat pengetahuan orang tua tentang toilet training,
pola asuh dan motivasi orang tua dalam menstimulasi toilet training
pada anak.
5. Faktor yang mempengaruhi Keberhasilan Toilet
TrainingKeberhasilan ataupun kegagalan dalam proses toilet training
memberikan banyak dampak pada anak. Melalui toilet training anak
akan belajar bagaimana mereka mengendalikan keinginan untuk buang
air dan selanjutnya akan menjadikan mereka terbiasa menggunakan
toilet secara mandiri. Kegagalan dalam toilet training diantaranya
membuat anak mempunyai kebiasaan mengompol berkesinambungan (anak
mengompol sejak lahir dan diteruskan hingga berusia dewasa) dan
kebiasaan dalam membuang air besar (BAB) sembarangan.
Menurut Aprilyanti (2008; 1), dampak keberhasilan toilet
training seperti:1) Anak memiliki rasa malu, tidak ingin dianggap
sebagai anak kecil lagi2) Anak telah mampu menegakkan
kemandiriannya dengan baik dalam hal BAK dan BAB di toilet tanpa
bantuan orang lain3) Anak telah mengerti kebersihan diri seperti ,
anak tahu najis sehingga telah terbiasa mencuci tangan dan duburnya
selesai BAK dan BAB dan menjaga keberhasilan toilet.Dampak yang
paling umum dalam kegagalan toilet training seperti adanya
perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada anaknya yang
dapat mengganggu kepribadian anak atau kecenderungan bersifat
retentif dimana anak cenderung bersikap keras kepala bahkan kikir.
Hal ini dapat dilakukan oleh orang tua apabila sering memarahi anak
pada anak pada saat buang air besar atau kecil, atau melarang anak
saat berpergian. Bila orang tua santai dalam memberikan aturan
dalam toilet training maka anak akan dapat mengalami kepribadian
ekspresif dimana anak lebih tega, cenderung ceroboh, suka membuat
gara-gara, emosional dan seenaknya dalam melakukan kegiatan
sehari-hari (Hidayat, 2005; 65).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
dampak keberhasilan toilet training yaitu anak menjadi mandiri
ketika BAK dan BAB tanpa bantuan orang lain dan anak dapat menjaga
kebersihan diri sendiri karena dalam kegiatan toilet training anak
juga diajarkan untuk membersihkan diri sesudah BAK dan BAB. Dampak
kegagalan toilet training pada anak yaitu jika perlakuan toilet
training terlalu ketat anak mempunyai kepribadian retentif
cenderung bersifat keras kepala dan jika perlakuan toilet training
terlalu santai akan membuat anak mempunyai kepribadian ekspresif,
sereta dapat mambuat anak mempunyai kebiasaan mengompol dan buang
air besar sembarangan.
5. Konsep Down Syndromea. Pengertian Down SyndromeDown Syndrome
merupakan bagian dari anak tunagrahita. Down Syndrome merupakan
kelainan genetis yang menyebabkan keterbelakangan fisik dan mental
dengan ciri-ciri yang khas pada keadaan fisiknya. Secara umum
perkembangan dan pertumbuhan fisik anak down syndrome relatif lebih
lambat, sebut saja pertumbuhan tinggi dan berat badan.
Keterbelakangan mental yang dialami anak down syndrome
mengakibatkan keterlambatan dalam perkembangan aspek kognitif,
motorik, dan psikomotorik.
Down Syndrome adalah suatu kondisi di mana materi genetik
tambahan menyebabkan keterlambatan perkembangan anak, dan kadang
mengacu pada retardasi mental. Orang dengan down syndrome memiliki
kelainan pada kromosom nomor 21 yang tidak terdiri dari 2 kromosom
sebagaimana mestinya, melainkan 3 kromosom (trisomi 21) sehingga
informasi genetika menjadi terganggu dan anak juga mengalami
penyimpangan fisik. Angka kejadian down syndrome ini meningkat
seiring pertambahan usia ibu waktu hamil, dimulai sejak umur 35
tahun (Smart, 2010; 127).
Menurut Pueschel (2002). Anak down syndrome adalah manusia yang
dikenali mempunyai ciri-ciri fisik dan pembawaan keterbatasan
intelektual yang disebabkan karena adanya kromosom 21 ekstra.
Menurut Selikowitz (2001; 38), Sindroma ini merupakan kromosamal
yang paling lazim dan juga merupakan penyebab ketidakmampuan
intelektual yang paling lazim dan juga merupakan penyebab
ketidakmampuan intelektual yang paling sering ditemukan. Sindroma
ini ditemukan kurang lebih satu kasus pada tujuh ratus kelahiran
dan terdapat pada semua kelompok etnis. Terdapat sedikit banyak
kasus pria daripada wanita, namun perbedaannya hanya sedikit.
Menurut dr. Langdon Down (dalam Mangunsong, 2009; 145)
mendeskripsikan sindroma ini pada tahun 1866 bahwa terdapat
persamaan yang nyata antara mereka yang menderita kelainan mental
semacam ini. Anak-anak ini mempunyai karakteristik fisik yang sama
dan penampilan wajah yang sama satu dengan yang lainnya. Wajah
mereka lebih rata dari anak-anak normal dan mata mereka sipit
seperti anak mongol. Itu sebabnya timbul istilah anak mongol atau
sindroma down tadi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa down syndrome adalah
suatu gangguan pada susunan kromosom yaitu adanya kromosom 21
ekstra yang menyebabkan keterbelakangan fisik dan mental dengan
ciri-ciri yang khas pada keadaan fisiknya.
b. Penyebab Down SyndromeTerdapat beberapa hal yang menjadi
penyebab gangguan Down Syndrome yaitu, pembelahan sel antara lain
adanya kelainan hormonal, sinar X (X-ray), infeksi yang disebabkan
virus salah satunya adalah virus toksoplasma, masalah kekebalan
tubuh atau predisposisi genetik. Kemungkinan munculnya down
syndrome yaitu usia ibu yang lebih dari 35 tahun saat hamil. Hal
ini disebabkan karena sel telur pada wanita terus dalam keadaan
mengalami pembelahan, mulai dari terbentuknya sel tersebut ketika
wanita masih sebagai janin, hingga dewasa. Semakin lama periode
ini, semakin besar kemungkinan terjadi kerusakan pada
pasangan-pasangan kromosom, yang akhirnya dapat mengganggu proses
pembelahan. Dengan kata lain, semakin lanjut usia ibu pada saat
hamil, semakin besar resikonya memiliki anak down syndrome. Ekstra
kromosom juga bisa berasal dari sperma ayah. Penemuan ini
menunjukkan semakin tua usia ayah juga dapat meningkatkan resiko
memiliki anak down syndrome. (Davidson and Neale, 1997, 414).
Ada 3 tipe kromosom yang diketahui menyebabkan down syndrome:1)
Trisomy 21Anak yang terkena down syndrome memiliki kromosom ekstra
pada kromosom 21, seseorang yang normal memiliki 46 kromosom di
setiap sel, namun seseorang dengan down syndrome memiliki 47
kromosom.2) TranslocationIni disebabkan karena kromosom 21 ekstra
diikat atau digabungkan dengan kromosom lain, biasanya dengan
kromosom 14, 21 atau 22, jika translokasi ditemukan pada anak
pengidap down syndrome, penting untuk dikenali kromosom orang
tuanya karena dalam sedikitnya sepertiga kasus, orangtua
kemungkinan pembawa translokasi. Bentuk kromosom rusak ini
ditemukan dalam 3-4% dari pengidap down syndrome.3)
MosaicismTercatat 1% dari pengidap down syndrome. Dalam kasus ini,
beberapa sel memiliki 47 kromosom dan yang lainnya 46 kromosom.
Mosaicism terjadi setelah konsepsi. Akibat janin berkembang normal
selama kurun waktu tertentu sebelum terjadinya kesalahan pembelahan
sel.
Sejauh ini para ahli meyakini bahwa down syndrome merupakan
kelainan susunan yang terjadi pada kromosom nomor 21, dari 23
pasang kromosom manusia. Pada manusia normal, 23 kromosom itu
berpasang-pasangan hingga jumlahnya menjadi 46. Pada penderita down
syndrome, kromosom nomor 21 tersebut jumlahnya tiga (trisomi),
hingga totalnya menjadi 47 kromosom. Jumlah yang berlebihan itu
mengakibatkan terjadinya kegoncangan pada sistem metabolisme sel
yang akhirnya memunculkan down syndrome. Ketidakjelasan penyebab
pasti itu membuat faktor keturunan dalam down syndrome hingga saat
ini belum terobati dan tak tercegah. (Davidson and Neale,
1997;416).
Jadi penyebab down syndrome menurut para ahli adalah karena
kelainan kromosom nomor 21 yang mengakibatkan kelebihan kromosom
(trisomy) mengakibatkan goncangan sistem metabolisme di sel.
c. Ciri-ciri Down SyndromeGejala atau tanda-tanda yang muncul
akibat down syndrome dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak
sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas. Tanda
yang paling khas pada anak yang menderita down syndrome adalah
adanya keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak.
Menurut Selikowitz (2001; 41), ciri-ciri fisik anak down
syndrome yang dapat langsung terlihat adalah sebagai berikut:1)
Wajah. Ketika dilihat dari depan, anak penderita down syndrome
biasanya mempunyai wajah bulat. Dari samping, wajah cenderung
mempunyai profil datar.2) Kepala. Belakang kepala sedikit rata pada
kebanyakan orang penderita down syndrome. Ini sebagai
brachycephaly.3) Mata. Mata dari hampir semua anak dan orang dewasa
penderita down syndrome miring sedikit ke atas.4) Leher. Bayi-bayi
yang baru lahir dengan sindromadown ini memiliki kulit berlebihan
pada bagian belakang leher, namun hal ini biasanya berkurang
sewaktu mereka bertumbuh. Anak-anak yang lebih besar dan orang
dewasa yang memiliki sindroma down cenderung memiliki leher pendek
dan lebar.5) Mulut. Rongga mulut sedikit lebih kecil dari
rata-rata, dan lidahnya sedikit lebih besar. Kombinasi ini membuat
sebagian anak mempunyai kebiasaan untuk mengulurkan lidahnya.6)
Tangan. Kedua tangan cenderung lebar dengan jari-jari yang pendek.
Jari kelingking kadang-kadang hanya memiliki satu sendi dan bukan
dua seperti biasanya.
Berdasarkan teori yang dijelaskan oleh Selikowitz (2001; 41)
mengenai ciri fisik anak down syndrome yang dapat dilihat langsung
dapat disimpulkan yaitu tinggi badannya relatif pendek, bentuk
kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongolia maka
sering dikenal dengan Mongoloid, mulut mengecil dan lidah menonjol
keluar. Serta beberapa kekhasan fisik lainnya.
d. Perkembangan Anak Down SyndromePerkembangan jasmani dan ,
motorik anak down syndrome tidak secepat anak normal. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesehatan jasmani anak down
syndrome memiliki MA (Mental Age) 2 tahun sampai 12 tahun termasuk
dalam kategori kurang sekali. Sedangkan tingkat kesehatan jasmani
anak normal pada umur yang sama berada dalam kategori kurang dengan
demikian tingkat kesegaran jasmani anak down syndrome berada
setingkat lebih rendah daripada anak normal pada umur yang sama,
pengertian mental age sendiri adalah kemampuan mental yang dimiliki
oleh seorang anak pada usia tertentu (Somantri, 1997; 103).
Selikowitz (2001; 64) menggambarkan perkembangan seorang anak
rata-rata yang memiliki sindroma ini. Yang dimaksud dengan anak
rata-rata adalah seorang anak yang mencapai seluruh kejadian
penting pada usia rata-rata bagi anak-anak dengan sindroma tersebut
. kebanyakan anak-anak dengan sindroma ini akan mencapai tahap
perkembangan tertentu lebih cepat atau lambat daripada usia
tertentu. Karenanya, usia yang disebabkan nanti, hanya dianggap
sebagai petunjuk.
Anak-anak dengan down syndrome selalu berkembang, namun dalam
kecepatan yang lebih lambat daripada anak-anak lain yang normal.
Pada anak normal maupun anak-anak dengan down syndrome ini, tujuan
akhir dari perkembangan masa kanak-kanak adalah pencapaian
kemandirian, meskipun semua orang dewasa saling bergantung satu
sama lain sampai derajat tertentu. Pada anak down syndrome,
perkembangan bukan hanya lebih lambat daripada normal namun juga
kurang lengkap dan pada masa dewasa anak down syndrome akan
membutuhkan lebih banyak bantuan daripada anak normal (Selikowitz,
2001; 58).
Menurut Lyne (dalam Mangunsong, 2009; 148), anak down syndrome
terlambat duduk, berjalan dan melakukan hal-hal lain dibandingkan
dengan teman-teman seusianya yang normal. Dengan berjalannya waktu
perbedaan perkembangan ini semakin nyata terlihat, tetapi mereka
dapat belajar dengan cara mereka sendiri. Pada umumnya anak-anak
down syndrome ini sering tertawa dan cepat melekat pada seseorang
serta ramah tamah. Hal ini perlu diwaspadai karena justru
kehangatan dan keramahan anak-anak tersebut dapat dimanfaatkan oleh
orang lain dengan melakukan pelecehan dan penganiayaan seksual
terhadap mereka.
Menurut Mangunsong (2009; 135), untuk perkembangan kognitif
anakdown syndrome, kebanyakan dari mereka yang menderia sindroma
down ini mengalami kesulitan dalam mengingat suatu informasi.
Sering kali masalah ingatan yang dialami adalah yang berkaitan
dengan working memori, yaitu kemampuan informasi tertentu dalam
pikiran sementara melakukan tugas kognitif lain. Kesulitan belajar
pada mereka yang mengalami down syndrome lebih disebabkan karena
masalah dalam memusatkan perhatiannya. Anak down syndrome sering
memusatkan perhatian pada benda yang salah, serta sulit
mengalokasikan perhatian mereka dengan tepat.
Mereka tidak dihinggapi perasaan-perasaan yang bertentangan, dan
tidak mengalami perwujudan perasaan yang menuju kedewasaan. Secara
rohaniah, meraka merupakan anak kecil dengan emosi-emosi yang
mendatar, kurang mendalam, dan cepat kabur. Mereka kadang-kadang
dapat menjadi sedih dan marah, tetapi pada umumnya suasana hati
semacam ini cepat hilang. Mereka memang anak yang gembira dan bisa
lebih gembira lagi bila berada dalam lingkungan yang dikenal dan
yang menyenangkan hatinya (Mangunsong, 2009; 148).
Berdasarkan teori yang dijelaskan oleh para ahli mengenai
perkembangan anak down syndrome dapat disimpulkan bahwa anak down
syndrome mengalami keterlambatan dalam perkembangan aspek kognitif,
motorik, psikomotorik dan juga bahasa. Gangguan pada otak kecil
juga turun memperlambat proses berjalan, berpikir, berbahasa,
berhitung sederhana, dan proses belajarnya. Anak down syndrome
memerlukan waktu lebih lama untuk beradaptasi dengan lingkungan
sekitar dan dengan dirinya sendiri. Pada kondisi mampu didik
sekalipun, anak down syndrome tetap memiliki beberapa kendala dalam
proses penyesuaian diri sehingga untuk mandiri dan melakukan
beberapa kegiatan memerlukan bimbingan dan pengawasan.
e. Kemampuan Toilet Training Anak Down SyndromeAnak down
syndrome harus dilatih keterampilan buang air kecil (BAK) dan buang
air besar (BAB) secara mandiri. Mengembangkan kebiasaan anak untuk
BAK dan BAB pada tempatnya dan mampu membersihkan diri dengan baik
penting terutama bila anak sudah sekolah. Bila di lingkungan
sekolah anak masih sering mengompol dan BAB tidak pada tempatnya,
penyesuaian dirinya pasti akan terlambat. Ia juga akan menjadi
sasaran ejekan dari teman-temannya dan diberi berbagai sebutan yang
membuatnya malu dan rendah diri (Ginanjar, 2008; 75).
Bagi anak down syndrome, pembelajaran mengenai toilet training
memerlukan waktu lebih lama. Pasalnya, mereka memiliki keterbatasan
fisik dan kognitif. Lima puluh persen dari anak-anak dengan down
syndrome memiliki IQ antara 51 hingga 70, menunjukkan rendah skor
pada psikomotor, adaptif dan kemampuan soaial di segala usia
dibandingkan dengan anak normal dan ini juga terlihat dalam
kaitannya dengan kemampuan makan, sosialisasi, toilet training dan
tidur. (Bhatia, Kabra, and Sapra, 2005; 679).
Menurut Ginanjar (2008; 75) walaupun kelihatannya sederhana,
keterampilan ini bukan sesuatu yang mudah bagi anak down syndrome
untuk dikuasai. Mereka yang mampu berbicara cukup baik, mengikuti
pelajaran, dan berinteraksi sederhana dengan teman-temannya bahkan
tidak dengan sendirinya berhasil dalam toilet training bila tidak
dilatih sejak usia dini. Mungkin karena dianggap bukan hal penting
atau akibat ketidaktahuan tentang cara melatihnya, cukup banyak
orang tua yang baru sadar bahwa anaknya belum mandiri dalam
kegiatan BAB dan BAK.
Menurut Selikowitz (2001; 80), keterampilan toilet training
untuk anak down syndrome , biasanya sudah dapat dimulai sejak umur
30 bulan. Orang tua perlu menunggu ia hendak buang air kecil maupun
buang air besar. Langkah pertama dalam proses toilet training pada
anak down syndrome adalah dengan membuat anak terbiasa dengan
pispot, dengan memberikan kesempatan baginya duduk di atas pispot
dengan pakaian utuh. Bila pada tingkatan ini ataupun tingkat
selanjutnya anak bereaksi negatif terhadap latihan ini, anak harus
hindari keributan dan menunda latihan selama beberapa minggu atau
bulan supaya ia siap.
Menurut Selikowitz (2001; 81), bila tidak ada pola buang air
besar yang jelas, tempatkan ia diatas pispot tiga kali sehari
(setelah usai makan). Pada akhirnya kesabaran orang tua akan
membuahkan hasil, dan anak akan buang air besar dipispot, untuk hal
ini anak perlu memberikan banyak pujian kepadanya. Orang tua masih
perlu meningkatkan untuk menggunakan pispot beberapa waktu lamanya,
dan orang tua harus siap menghadapi kealpaan sewaktu-waktu selama
setahun berikutnya atau lebih. Pada usia tiga sampai empat tahun,
rata-rata anak dengan down syndrome telah cukup kalem, dan walaupun
kadang-kadang bersikap begatif masih lebih mudah untuk dikontrol
dan lebih merasa mampu.Latihan toilet berjalan dengan baik. Hal ini
membutuhkan wajtu dan menjelang usia lima tahun seharusnya anak
dapat menarik dan menurunkan celananya dan mencuci tangannya
setelah menggunakan toilet (Selikowitz, 2001; 84).
Seseorang dikatakan dan dinilai memiliki kemampuan apabila mampu
untuk mengajarkan dan menyelesaikan sesuatu dengan baik. Demikian
halnya dengan anak down syndrome dikatakan memiliki kemampuan dalam
toilet training apabila yang bersangkutan tersebut mampu melakukan
tahapan-tahapan sebagaimana yang telah ada dan biasa dihidupi dan
dilakukan oleh orang-orang pada umumnya, meliputi sebagai berikut
di bawah ini:1. Menuju toilet tanpa bantuan orang lainAnak dengan
down syndrome dikatakan berhasil dalam kegiatan toilet training
apabila anak mampu menuju ke toilet tanpa bantuan orang lain.2.
Membuka rok atau celana dengan tertib tanpa bantuan orang lainAnak
down syndrome dikatakan berhasil dalam kegiatan toilet training
apabila anak mampu untuk membuka rok atau celana sendiri dengan
tertib tanpa bantuan orang lain.3. Membuka pakaian dalam tanpa
bantuan orang lainSetelah anak membuka rok atau celana sendiri
dengan tertib, kemudian anak mampu untuk membuka pakaian dalamnya
dengan baik pula. Anak dengan down syndrome dikatakan berhasil
dalam kegiatan toilet training apabila mampu melaksanakan point
tersebut.4. Menempatkan diri dengan benar pada lubang klosetPoint
keempat kriteria keberhasilan dalam kegiatan toilet training ialah
bahwa anak dikatakan berhasil kegiatan toilet training apabila anak
mampu untuk menempatkan diri dengan benar pada lubang kloset.6.
Mengeluarkan kotoran pada lubang kloset dengan tepatAnak down
syndrome dikatakan berhasil dalam kegiatan toilet training apabila
anak mampu untuk mengeluarkan atau membuang kotoran pada lubang
kloset dengan tepat, tidak berserakan dimana-mana.7. Membersihkan
diri setelah buang air kecil dan besarSetelah anak mengeluarkan
atau membuang kotoran pada lubang kloset dengan tepat, maka anak
down syndrome harus mampu untuk membersihkan diri sendiri.8.
Menyiram dan membersihkan klosetAnak dikatakan berhasil dalam
kegiatan toilet training apabila anak mampu menyiram dan
membersihkan kloset yang telah digunakan oleh anak.9. Memakai
pakaian dalam dengan baik tanpa bantuan orang lainAnak dikatakan
berhasil dalam kegiatan toilet training apabila setelah anak
menyiram dan membersihkan kloset yang digunakan anak mampu untuk
memakai kembali pakaian dalamnya.10. Memakai rok atau pakaian
dengan tertibSetelah anak menggunakan pakaian dengan tertib,
tahapan selanjutnya adalah anak memakai kembali rok atau celananya
dengan tertib.
f. Faktor Pendorong dan Penghambat Kebersihan Toilet Training
pada Anak Down SyndromeAnak-anak down syndrome termasuk kelompok
yang sulit dalam toilet training, penghambat toilet training pada
anak down syndrome diantaranya adalah sebagai berikut (Ginanjar,
2008;76):1. Masalah KomunikasiMereka yang masih kesulitan memahami
instruksi dan mengkomunikasikan keinginannya untuk BAB dan BAK,
cenderung melakukan kedua kegiatan tersebut disembarang tempat. Di
tempat yang sudah amat dikenalnya seperti rumah, keinginan anak
untuk BAK dan BAB masih dapat dilihat dari sikap tubuhnya seperti
menghimpitkan kedua kaki atau menunjukkan eksptesi wajah khas.
Namun ditempat-tempat umum seringkali kemampuan komunikasi mereka
menurun drastis. Mereka sudah bisa bicarapun mungkin mengalami
kecelakaan karena sensasi untuk BAB dan BAK seringkali datang
secara tiba-tiba dan intens sehingga sempat dikomunikasikan.2.
Masalah SensorikKegagalan toilet training sangat mungkin terjadi
akibat anak tidak bisa merasakan sensasi untuk BAK dan BAB.
Walaupun mereka merasakan sensasinya masalah sensoris membuat
mereka kesulitan untuk menggerakan otot-otot yang berkaitan dengan
kedua kegiatan tersebut. Mereka biasanya baru menyadari setelah
kecelakaan terjadi, ketika merasakan celana yang basah atau terasa
ada benda-benda yang mengganjal. Akibat lain dari terganggunya
sistem sensorik adalah kesulitan untuk meniru dan masalah dalam
perencanaan motorik. Padahal kedua keterampilan tersebut berperan
penting dalam toilet training.
Menurut Hidayat (2005; 62) suksesnya toilet training tergantung
pada diri anak dan keluarga, diantara lain seperti:1) Kesiapan
FisikDimana kemampuan anak secara fisik sudah kuat dan mampu. Hal
ini dapat ditunjukan dengan anak mampu duduk atau berdiri sehingga
memudahkan anak untuk dapat dilatih buang air besar dan kecil,
dapat jongkok dan berdiri ditoilet selama 5-10 menit tanpa berdiri
dulu, mempunyai kemampuan motorik halus seperti membuka celana dan
pakaian. Jika kesiapan fisik anak down syndrome seperti kemampuan
motorik kasar dan motorik halusnya belum sempurna maka proses
toilet training akan mengalami kesulitan.2) Kesiapan
PsikologisDimana anak membutuhkan suasana yang nyaman agar mampu
mengontrol dan konsentrasi dalam merangsang untuk buang air besar
dan buang air kecil. Kesiapan psikologis yang harus dimiliki anak
down syndrome diantaranya adalah anak dapat bersabar mengontrol
keinginan buang air kecil maupun buang air besar an tidak rewel
jika berada di dalam toilet tanpa bantuan orang lain.3) Kesiapan
IntelektualHal ini ditunjukkan apabila anak memahami arti buang air
besar atau kecil sangat memudahkan proses dalam pengontrolan, anak
dapat mengetahui kapan saatnya harus buang air kecil dan buang air
besar, kesiapan tersebut akan menjadikan diri anak selalu mempunyai
kemandirian dalam mengontrol khususnya buang air besar dan buang
air kecil (toilet training). Anak down syndrome dalam kesiapan
intelektual ini harus dapat membedakan buang air kecil dan buang
air besar dan mengerti dimana tempat buang air semestinya, serta
dapat mengkomunikasikan jika ia ingin melakukan kedua hal tersebut
kepada orang tua atau guru.
Hambatan untuk melatih toilet training pada anak down syndrome
disebabkan karena kapasitas kecerdasannya yang dibawah rata-rata
(IQ dibawah 70) dan disertai kurangnya kemampuan untuk berperilaku
adaptif sesuai dengan usianya. Keterbatasan fungsi kecerdasan atau
kognitif yang dimiliki oleh anak down syndrome akan mempengaruhi
proses informasi yang masuk serta proses belajar yang akan
dialaminya lebih lambat dibanding anak normal. Anak down syndrome
kesulitan dalam mengingat informasi yang diberikan padanya,
perhatian yang mudah teralih, kesulitan dalam mengklarisifikasi
objek, dan kesulitan dalam menggeneralisasikan pengalaman atau
keterampilan baru yang telah dipelajarinya. Selain itu, mereka
mudah sekali menyerah dalam menghadapi tugas dan sangat tergantung
pada orang lain termasuk dalam kegiatan toilet training. (DSM IV
TR).
Penghambat keberhasilan orang tua dalam memberikan bimbingan
toilet training pada anak down syndrome yang lain yaitu:1)
Ketidaksiapan orangtuaa. Tidak mengenal tingkat kesiapan anak dalam
berkemih dan defekasib. Tidak ada keinginan untuk meluangkan waktu
untuk latihan berkemih dan defekasi pada anakc. Mengalami konflik
tertentu atau stres keluarga yang berarti (Subagyo, 2010; 139)2)
Pengetahuan yang kurangPada orang tua yang mempunyai tingkat
pengetahuan yang baik tentang toilet training akan menetapkan
sesuai dengan kemampuan dan kesiapan anak. Sebaliknya pada orang
tua yang kurang dalam pengetahuan tentang toilet training akan
menerapkan tidak sesuai dengan usia serta kemampuan anak. Hal ini
dapat menimbulkan kecemasan, stres dan muncul rasa marah jika
melihat anak tidak mampu melakukan toilet training (Notoatmodjo,
2003; 65).Pengertahuan tentang toilet training sangat penting untuk
dimiliki soeorang ibu. Hal ini akan berpengaruh pada penerapan
toilet training pada anak. Ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan
yang baik berarti mempunyai pemahaman yang baik tentang manfaat dan
dampak toilet training, sehingga ibu akan mwmpunyai sikap yang
positif terhadap konsep toilet training. Sikap merupakan
kecenderungan ibu untuk bertindak atau berperilaku (Suryabudhi,
2003; 88).3) Pola asuh yang tidak sesuaiKeterampilan toilet
training pada anak down syndrome biasanya dipengaruhi oleh pola
asuh orang tua. Ketika anak berusia balita biasanya keterampilan
toilet training sudah dilatih atau dibiasakan. Pola asuh orang tua
yang tidak tegaan untuk melatih kedisiplinan dalam toilet training
turut berpengaruh dalam perkembangan kemampuan toilet training.
Kebiasaan untuk selalu menolong dan memanjakan menjadikan anak down
syndrome sangat tergantung pada pengasuh.2) Motivasi stimulasi
toilet training dari orang tua yang rendahOrang tua akan mudah
menerima dan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang
disebabkan oleh adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan tertentu.
Dengan motivasi yang baik untuk melakukan stimulasi toilet
training, maka keberhasilan toilet training akan terwujud (Subagyo,
2010; 139).
BAB IIIMETODE PENELITIAN
A. Jenis PenelitianMetode penelitian mempunyai fungsi yang
sangat besar dalam suatu penelitian. Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode analisis
fenomenologi. Penelitian kualitatif adalah sebuah penelitian yang
digunakan untuk meneliti fenomena yang sulit untuk dikuantifikasi
atau dikategorikan. Metode ini memuat informasi yang diperoleh dari
data tertulis hasil wawancara (non-numerik). Penelitian kualitatif
melibatkan analisis induktif untuk membangun teori dari pengamatan
atau wawancara (Polit dan Beck, 2004).
Menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong (2007) penelitian
kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata terrulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati. Sedangkan fenomenologi adalah
metode kualitatif yang berfokus pada pengalaman manusia dalam
kegiatan sehari-hari dan bagaimana interpretasi mereka terhadapnya.
Peneliti fenomenologi akan meminta partisipan menceritakan kisahnya
tentang fenomena yang diteliti (Potter dan Perry, 2009). Melalui
metode kualitatif, peneliti diharapkan dapat mengetahui dengan
jelas informasi tentang toilet training anak down syndrome secara
mendalam.
Tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk menggali,
menggambarkan atau mengembangkan pengetahuan bagaimana kenyataan
yang dialami (Brockopp dkk, 2000). Selain itu penelitian kualitatif
dapat digunakan untuk memahami isu-isu rinci tentang situasi dan
kenyataan yang dihadapi seseorang, meneliti sesuatu secara mendalam
dan meneliti sesuatu dari segi prosesnya. Tujuan dari penelitian
dengan pendekatan fenomenologi adalah untuk memahami dan
menjelaskan fenomena atau peristiwa yang ada kaitan-kaitannya
terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tersebut (Moleong,
2007). Dengan demikian peneliti bermaksud untuk menggali, memahami
dan menjelaskan pengalaman orang tua dalam melatih toilet training
pada anak down syndrome dengan menggunakan pendekatan fenomenologis
dengan cara melakukan wawancara mendalam (indept interview).
B. Daftar Istilah1. Pengertian PengalamanPengalaman adalah
reaksi mental dan atau fisik terhadap penglihatan, pendengaran, dan
perubahan mengenai sesuatu yang dipelajari dan dengan reaksi
tersebut seseorang mendapatkan pengertian dan pemahaman yang dapat
digunakan untuk memecahkan masalah baru. Pengalaman yang dimaksud
adalah semua pembelajaran yang diambil seseorang dari
peristiwa-peristiwa yang telah lalu (Irene dalam West, 2008).
2. Pengertian Orang TuaOrang tua adalah bagian dari keluarga
yang terdiri dari ayah dan ibu dimana diikat oleh sebuah ikatan
perkawinan yang sah. Orang tua mempunyai tanggung jawab untuk
mendidik, mengasuh, merawat, dan membimbing anak untuk mencapai
tahap perkembangannya agar anak siap dalam kehidupan bermasyarakat
(Suparyanto, 2011).
3. Pengertian Down SyndromeDown Syndrome merupakan bagian dari
anak tunagrahita. Down Syndrome merupakan kelainan genetis yang
meneyebabkan keterbelakangan fisik dan mental dengan ciri-ciri yang
khas pada keadaan fisiknya. Secara umum perkembangan dan
pertumbuhan fisik anak down syndrome relatif lebih lambat, sebut
saja pertumbuhan tinggi dan berat badan. Keterbelakangan mental
yang dialami anak down syndrome mengakibatkan keterlambatan dalam
perkembangan aspek kognitif, motorik, dan psikomotorik (Smart,
2010).
4. Pengertian Toilet TrainingSecara umum toilet training
merupakan suatu proses untuk mengajarkan kepada anak-anak untuk
buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). Dengan toilet
training diharapkan dapat melatih anak untuk mampu BAK dan BAB di
tempat yang ditentukan yakni di kamar mandi (toilet), selain itu,
toilet training juga mengajarkan kepada anak untuk membersihkan
kotorannya sendiri dan memakai kembali celananya tanpa bantuan
orang lain (Hidayat, 2007).
C. Partisipan PenelitianSubjek dalam penelitian kualitatif bukan
dinamakan responden, melainkan dinamakan dengan narasumber atau
partisipan. Partisipan adalah orang yang dimanfaatkan untuk
memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian
(Moleong, 2009). Adapun jumlah partisipan penelitian kualitatif
sebaiknya berjumlah 6 sampai 8 partisipan (Streubert dan Carpenter,
2007). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian kualitatif
untuk menentukan partisipan adalah melalui purposive sample
(Nasution, 2007). Purposive sample adalah sample yang dipilih
menurut tujuan penelitian, misalnya karena orang tersebut paling
tahu apa yang kita harapkan (Nasution, 2007).
Partisipan yang akan dijadikan sumber data harus sudah
diidentifikasi, dihubungi, serta sudah mendapat persetujuan atas
keinginan mereka untuk memberikan informasi yang dibutuhkan.
Menurut Raco (2010), yang dimaksud partisipan adalah mereka yang
kredibel dan kaya akan informasi yang dibutuhkan (information rich)
dengan memenuhi ketentuan :1. Partisipan adalah mereka yang
memiliki informasi yang dibutuhkan.2. Partisipan adalah mereka yang
memiliki kemampuan untuk menceritakan pengalaman atau memberikan
informasi yang dibutuhkan.3. Partisipan adalah mereka yang
benar-benar terlibat dengan gejala, peristiwa, masalah dalam arti
mereka mengalaminya secara langsung.4. Partisipan adalah mereka
yang bersedia untuk ikut serta diwawancarai.5. Partisipan adalah
mereka yang tidak dibawah tetkanan, tetapi penuh kerelaan dan
kesadaran akan keterlibatannya.
Partisipan dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki
anak down syndrome di sekolah luar biasa SLB BC YPLAB Cibaduyut
Bandung. Upaya untuk mendapatkan partisipan sendiri dilakukan
dengan cara menemui Kepala Sekolah, semua Guru dan karyawan dari
sekolah luar biasa SLB BC YPLAB Cibaduyut Bandung. Jumlah
partisipan yang dijadikan subyek dalam penelitian ini adalah
sebanyak 6 tergantung pada kecukupan data yang diinginkan peneliti
dan keterbatasan waktu peneliti (Norwood, 2002). Prinsip
pengambilan sampel pada penelitian ini berdasarkan pada prinsip
kesesuaian dan prinsip kecukupan. Adapun kriteria inklusi dari
partisipan tersebut adalah :1. Orang tua (ibu / bapak) yang
memiliki anak down syndrome yang bersekolah di sekolah luar biasa
SLB BC YPLAB Cibaduyut Bandung.2. Orang tua (ibu / bapak) yang
memiliki kemampuan untuk menceritakan pengalamannya dalam melatih
toilet training pada anak down syndrome.3. Orang tua (ibu / bapak)
yang terlibat secara langsung dalam memberikan toilet training pada
anak down syndrome.4. Orang tua (ibu / bapak) yang bersedia menjadi
partisiD. Tempat dan Waktu PenelitianTempat penelitian dilaksanakan
di Sekolah Luar Biasa SLB BC YPLAB Cibaduyut Bandung. Waktu
Penelitian dimulai pada bulan Juni 2015.
E. Instrumen PenelitianInstrumen atau alat penelitian yang
digunakan dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Oleh
karena itu, peneliti sebagai instrumen juga harus divalidasi
seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang
selanjutnya terjun ke lapangan (Sugiyono, 2012). Adapun upaya yang
telah dilakukan peneliti untuk dapat mengerti dan memahami
penelitian ini meliputi evaluasi diri seberapa jauh pemahaman
terhadap metode kualitatif dengan membaca sumber-sumber atau
literatur buku konsep penelitian kualitatif, berkonsultasi dan
berdiskusi dengan pembimbing, evaluasi diri dalam penguasaan teori,
serta kesiapan dan bekal dalam memasuki lapangan baik secara
akademik maupun logistik. Selain itu, peneliti telah melaksanakan
uji kompetensi wawancara mendalam bersama teman yang ditemani oleh
pembimbing.
F. Etika PenelitianPraktek keperawatan profesional dan disiplin
ilmu kesehatan merupakan gambaran mengenai pengambilan keputusan
moral dalam membuat dasar praktek keseharian (Streubert &
Carpenter, 2007). Informed Consent adalah topik diskusi didalam
sebuah dasar dalam pengaturan pelayanan kesehatan.
Menurut Polit & Hungler (1997) peneliti berusaha menjaga
hak-hak partisipan terlebih dahulu dengan melakukan wawancara
dengan memberikan informasi mengenai topik, tujuan, pelaksanaan
peneliti dan persetujuan partisipan. Partisipan berhak menolak
menjadi subyek penelitian (Streubert & Carpenter, 2007).
Peneliti juga harus menjaga kerahasiaan identitas partisipan
dengan cara menggunakan nama samaran, tidak menyebutkan tempat
tinggal partisipan dengan jelas dan instansi terkait, kemudian
hasil penelitian tidak akan dipublikasikan terkecuali untuk
kepentingan penelitian (Polit & Hungler, 2008).
Langkah langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam melakukan
penelitian antara lain :1) Sebelum melakukan penelitian peneliti
mengurus surat ijin penelitian.2) Mengumpulkan partisipan yang
terpilih untuk menyampaikan maksud dan tujuan penelitian.3) Meminta
persetujuan dari partisipasi dengan mengisi informed consent yang
didalamnya berisi penjelasan tentang maksud dan tujuan
penelitian.4) Steele patrician mengerti dan memahami isi dari
informed consent, partisipan menandatangani informed consent.5)
Membuat jadwal tentang waktu diadakan FGD (Focus Group Diskusi) dan
wawancara.
G. Pengumpulan Data1. Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan
wawancara mendalam atau in-depth interview. Semua partisipan
diberikan beberapa pertanyaan yang bersifat terbuka atau open ended
question. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang
dilakukan dengan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan
ide melalui tanya jawab, sehingga dikonstruksikan makna dalam suatu
topik tertentu. Susan Stainback (1998) mengemukakan bahwa dengan
wawancara mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan
situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa
ditemukan melalui observasi (Sugiyono,2012).
Pendekatan wawancara mendalam yang digunakan peneliti dalam
penelitian ini mencakup tiga macam pendekatan, yakni :a. Pertanyaan
dalam bentuk percakapan informal, yang mengandung unsur spontanitas
dan kesantaian.b. Menggunakan lembaran berisi garis besar
pokok-pokok atau topik masalah yang dijadikan pegangan dalam
pembicaraan.c. Menggunakan daftar pertanyaan yang lebih terperinci,
namun bersifat terbuka yang telah dipersiapkan terlebih dahulu
(Nasution, 2003).
Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan cara menanyakan
substansi yang diteliti secara mendalam kepada partisipan.
Pertanyaan yang diajukan memiliki beberapa sub pertanyaan yang
mendalam. Pada saat peneliti menggali jawaban dari partisipan,
pertanyaan tidak diajukan satu kali tetapi beberapa kali sampai
jawaban dari pertanyaan jelas. Apabila jawaban yang diberikan oleh
partisipan belum jelas maka peneliti meminta partisipan untuk
memberikan penjelasan tambahan. Dalam wawancara mendalam ini
percakapan dilakukan secara informal dengan partisispan sehingga
pada saat wawancara mendalam jawaban dari partisipan spontan dan
santai. Selain itu peneliti menggunakan garis-garis besar dari
substansi penelitian.
Pencatatan data wawancara mendalam dilakukan dengan tujuan agar
hasil wawancara dapat terekam dengan baik dan peneliti memiliki
bukti telah melakukan wawancara kepada partisipan. Alat-alat
wawancara mendalam yang digunakan adalah (Moleong, 2007; Sugiyono,
2012) :a. CameraCamera digunakan untuk memotret pada saat peneliti
melakukan pembicaraan dengan partisipan. Dengan adanya foto ini
maka dapat meningkatkan keabsahan penelitian dan akan lebih
terjamin, karena peneliti betul-betul melakukan pengumpulan
data.
b. Tape RecorderTape recorder digunakan untuk merekam semua
percakapan atau pembicaraan saat wawancara sehingga pencatatan data
dapat dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin.
Penggunaan tape recorder dalam wawancara perlu diberitahu terlebih
dahulu kepada partisipan apakah diperbolehkan atau tidak.
c. Catatan Lapangan atau Field NoteCatatan yang dibuat di
lapangan, berebeda dengan catatan lapangan. Catatan yang dibuat
dilapangan berupa coretan seperlunya yang dipersingkat, berisi kata
kunci, pokok pembicaraan atau pengamatan, mungkin gambar, sketsa,
atau diagram. Catatan itu berguna sebagai perantara antara apa yang
dilihat , didengar, dirasakan, dengan catatan lapangan. Catatan
lapangan diperlukan untuk membantu peneliti dalam merekam data yang
tidak dapat direkam oleh tape recorder seperti mencari pokok-pokok
penting dalam pita suara sehingga mempermudah analisis. Jika dalam
keadaan tertentu tape recorder tidak dapat digunakan karena rusak
atau karena tidak dikehendaki oleh partisipan, catatan lapangan
menjadi alat utama. Setelah selesai melakukan wawancara, harus
secepatnya dibuat catatan lapangan lengkap dan memberikan tanggapan
pada bagian-bagian penting, hal tersebut dilakukan secepat mungkin
selama pikiran masih segar dan peneliti masih mengingat jawaban
serta respon dari partisipan.
2. Proses Pengumpulan DataProses pengumpulan data dalam
penelitian ini meliputi langkah-langkah berikut :a. Sebelum
melakukan penelitian, peneliti mengurus surat izin penelitian yang
diberikan kepada tempat penelitian dan kepada pemerintah setempat
untuk mendapatkan surat rekomendasi.b. Setelah peneliti mendapatkan
izin dari tempat penelitian, peneliti menetapkan partisipan yang
sesuai dengan kriteria inklusi partisipan.c. Peneliti menemui
partisipan untuk menjelaskan maksud dan tujuan peneliti serta
membina hubungan saling percaya dengan partisipan.d. Jika
partisipan menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian ini,
peneliti memberikan lembar informed consent untuk ditandatangani
sebagai bukti persetujuan. Informed consent tersebut berisi
penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian dan izin untuk
menggunakan alat perekam (tape recorder) pada saat wawancara
mendalam.e. Membuat kontrak waktu dan tempat dengan para partisipan
untuk membuat jadwal pertemuan selanjutnya dan melakukan wawancara
mendalam. Waktu dan tempat dilakukannya wawancara mendalam
merupakan kesepakatan antara peneliti dan partisipan. Jika
partisipan bersedia, maka wawancara mendalam akan dilaksanakan di
rumah partisipan.f. Melakukan wawancara mendalam dengan partisipan
sesuai dengan waktu dan tempat yang telah disepakati dan membuat
kontrak waktu untuk wawancara mendalam.g. Selesai melakukan
wawancara mendalam, validasi kembali jawaban dari partisipan untuk
menghindari kesalahan pemahaman dan menyepakati dari hasil
wawancara mendalam.h. Membuat kontrak waktu dan tempat kembali
dengan partisipan jika wawancara belum selesai atau masih ada data
yang belum jelas dan masih ada yang ingin ditanyakan.i. Membuat
catatan lapangan segera setelah melakukan wawancara mendalam.j.
Membuat transkrip dari hasil wawancara mendalam.k. Untuk memperoleh
pemahaman secara menyeluruh dari isi transkrip yang dibuat,
transkrip dibaca kembali berulang-ulang untuk dilakukan pengkodean
dengan menggaris bawahi pernyataan partisipan sebagai kata kunci.l.
Kata kunci dikelompokkan untuk membuat kategori kemudian mencari
hubungan antar kategori untuk kemudian dibuat menjadi tema dan
dikonsultasikan dengan pembimbing.m. Kembalikan kepada partisipan
untuk disesuaikan dengan partisipan, apabila ada yang tidak sesuai
partisipan berhak untuk menggantinya.n. Membuat laporan dan
menampilkan pembahasan hasil penelitian.o. Melihat kembali tinjauan
pustaka, apabila tidak sesuai dengan hasil pembahasan maka tinjauan
pustaka dapat diganti.p. Menarik kesimpulan.
H. Validasi DataValidasi data atau keabsahan data
(trustworthiness) dalam penelitian ini menggunakan empat kriteria
dalam teknik pemeriksaan yaitu meliputi derajat kepercayaan
(credibility), derajat keteralihan (transferability), derajat
ketergantungan (defendability), dan derajat kepastian
(confirmability) (Moleong, 2007).1. Derajat Kepercayaan
(Credibility)Kriteria ini menetapkan bahwa penelitian dapat
dipercaya jika dalam makna mengungkapkan adalah kenyataan yang
sesungguhnya dan partisipan mengakui kebenaran data yang diberikan
mengenai pengalaman hidupnya. Kriteria ini berfungsi untuk
melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan
penemuannya dapat dicapai dan mempertunjukkan derajat kepercayaan
hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada
kenyataan ganda yang sedang diteliti. Teknik pemeriksaan dengan
kiteria ini memungkinkan agar peneliti dapat memperbaiki hasil
wawancara bila ada kekeliruan dengan cara melakukan member check
yaitu pada akhir wawancara peneliti mengulang kembali garis besar
hasil wawancara baik lisan maupum tulisan kepada partisipan.
2. Derajat Keteralihan (Transferability)Kriteria ini dapat
dilihat tergantung dari penilaian pembaca, apabila pembaca merasa
ada keserasian dengan situasi yang dihadapinya, maka penelitian ini
memiliki transferability. Konsep validasi ini menyatakan bahwa
generalisasi suatu penemuan dapat berlaku atau diterapkan pada
semua konteks dalam populasi yang sama atas penemuan yang diperoleh
pada sampel yang representative memiliki populasi itu.
3. Derajat Ketergantungan (Dependability)Kriteria ini disebut
juga reliabilitas. Suatu penelitian yang reliabel adlah apabila
orang lain dapat mengulangi/mereplikasi proses penelitian tersebut.
Pengujian dependability dilakukan dengan cara melakukan audit
terhadap keseluruhan proses penelitian. Caranya adalah dilakukan
oleh auditor yang independen, atau pembimbing untuk mengaudit
keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian.
Bagaimana peneliti mulai menentukan masalah atau fokus, memasuki
lapangan, menentukan sumber data, melakukan analisis data,
melakukan uji validitas, sampai membuat kesimpulan harus dapat
ditunjukkan oleh peneliti. Jika peneliti tidak dapat menunjukkan
jejak aktivitas lapangannya, maka depenabilitas penelitiannya patut
diragukan (Sugiyono, 2012).
4. Derajat Kepastian (Comfirmability)Kriteria ini disebut uji
objektivitas penelitian. Penelitian dikatakan objektiv bila hasil
penelitian telah disepakati banyak orang. Menguji konfirmability
berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang
telah dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses
yang telah dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari
proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah
memenuhi standar konfirmability. Tahap ini merupakan tahap akhir
dari proses audit penelitian yang dapat dicapai bila derajat
kepercayaan, keterlibatan, keteralihan dan ketergantungan
(Sugiyono, 2012).
H. Pengolahan dan Analisa DataAnalisa data penelitian kualitatif
(Bogdan dan Biklen, 1982) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilih-milihnya
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari,
dan memustuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain
(Moleong, 2007).
Pengolahan dan proses analisa data pada penelitian ini dimulai
setelah semua data terkumpul baik dari hasil wawancara mendalam
dengan partisipan maupun dari catatan lapangan. Setelah data
etrkumpul data tersebut ditranskrip, dibaca dipelajari dan
ditelaah. Selanjutnya dilakukan reduksi data yang dilakukan dengan
jalan melalui abstraksi. Abstraksi adalah usaha membuat rangkuman
yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga
sehingga tetap ada didalamnya. Tahap selanjutnya adalah melakukan
pengkodean. Tahap akhir ialah validasi data dan setelah data
diperiksa keabsahannya dimulai tahap penafsiran data untuk mengolah
data hasil sementara (Kristiani, 2011).
I. Tahap PenelitianTahapan penelitian ini memberikan gambaran
mengenai keseluruhan kegiatan penelitian. Adapun tahap penelitian
sebagai berikut :a. Tahap persiapantahap persiapan dalam penelitian
ini meliputi pembuatan pedoman wawancara yang akan dibuat sesuai
dengan tujuan penelitian dan berdasarkan teori yang relevan dengan
permasalahan pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan
mendasar yang nantinya dapat berkembang dalam wawancara dengan
topik penelitian.b. Tahap pelaksanaanDalam tahap pelaksanaan ini,
peneliti terjun langsung ke lapangan untuk melakukan observasi dan
wawancara secara terpisah. Setelah itu, peneliti memindahkan hasil
rekaman berdasarkan wawancara dan hasil observasi ke dalam bentuk
verbatim tertulis, kemudian peneliti melakukan analisis data dan
interpretasi data sesuai dengan langkah-langkah yang dijabarkan
pada bagian teknik analisis data.c. Tahap akhirTahap akhir ini
peneliti membuat diskusi dan kesimpulan dari seluruh hasil
penelitian dan kemudian disusun menjadi sebuah laporan penelitian,
menyajikan hasil penelitian, dan menggandakan laporan
penelitian.
DAFTAR PUSTAKAAritonang, Eva Yanti. (2008). Pengalaman Ibu Dalam
Memberikan Perawatan Pada Balita Bawah Garis Merah (BGM) Di
Kelurahan Cibaduyut Wilayah Puskesmas Kopo Bandung. Skripsi STIK
Immanuel (Tidak Dipublikasikan)Crotty, Michael. (2003). The
Foundation of Social Research. http://books.google.co.id/books
(Diakses pada tanggal 22 Maret 2015 Pukul 21.20)Effendy, Nasrul.
(2007). Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2.
Jakarta : EGCDifath. (2012). Toilet Training untuk si kecil.
http://difath-difath.blogspot.com/2012/01/toilet-learning-untuk-si-kecil.html
(Diperoleh pada tanggal 16 Mei 2015)Kaplan & Sadocks. (2007).
Synopsis of Psychiatry : Behavioral science/Clinicalpsychiatry.
http://books.google.co.id/books (Diperoleh pada tanggal 27 Maret
2015 Pukul 20.15)Moleong Lexy J. (2012). Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.Paramita dan
Kristiana.2009.Teknik Focus Group Discussion.
http://www.TeknikFocusGroupDiscussiondalamPenelitianKualitatif.org.2009.html
(Diakses pada tanggal 1 Juni 2015)Priyatna, Andri. (2010). Hubungan
Pengetahuan Ibu Tentang Toilet Training Dengan Perilaku Ibu Dalam
Melatih Toilet Training Pada Anak Usia Todler. Skripsi Universitas
Muhammadiyah SurakartaRoithmayr. (2012). Down Syndrome.
http://www.downsyndrome.org (Diakses pada tanggal 6 April
2015)Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Immanuel. (2010). Pedoman
Penyusunan Skripsi Program Sarjana (S1) Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Immanuel Bandung. BandungSimatupang, Geovani. (2011).
Toilet Training pada Anak.
http://bernandosimatupang.wordpress.com/2011/10/08/toilet-training-pada-anak/
(Diperoleh pada tanggal 20 April 2015)Smith, Jonathan A. (2009).
Psikologi Kualitatif. Yogyakarta : Pustaka
PelajarSoetjiningsih.(2010). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta:
EGCSugiyono.(2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung:
Alfabeta.Suparyanto.(2011).KonsepOrangTua.http://dr-suparyanto.blogspot.com/2011/02/konsep-orang-tua-.html
(Diakses pada tanggal 21 April 201