1. PENDAHULUAN A. Latar belakang Makanan tradisional adalah semua jenis makanan yang dibuat dan diolah dengan menggunakan bahan lokal dan dengan cara pengolahan yang beragam dan bervariasi serta memiliki ciri khas daerah setempat terdiri dari makanan utama, makanan selingan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat daerah tersebut (Sabana, 2007). Menurut Hariyadi (2010), produk pangan yang dikembangkan dengan basis potensi lokal bisanya mempunyai tingkat kesesuaian yang baik dengan preferensi konsumen dan berpotensi untuk menjadi unggulan ciri khas daerah/ lokal. Sumatera Selatan terdiri dari beberapa daerah dengan beragam jenis makanan khas tiap daerah. Daerah ogan memiliki bermacam jenis makanan tradisional diantaranya kue gandus, apam, kue angkak, dan behubus. Behubus merupakan makanan tradisional yang terbuat dari bahan baku pisang gedah varitas Musa brachycarpa dengan campuran 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Makanan tradisional adalah semua jenis makanan yang dibuat dan diolah
dengan menggunakan bahan lokal dan dengan cara pengolahan yang beragam dan
bervariasi serta memiliki ciri khas daerah setempat terdiri dari makanan utama,
makanan selingan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat daerah
tersebut (Sabana, 2007). Menurut Hariyadi (2010), produk pangan yang
dikembangkan dengan basis potensi lokal bisanya mempunyai tingkat kesesuaian
yang baik dengan preferensi konsumen dan berpotensi untuk menjadi unggulan ciri
khas daerah/ lokal.
Sumatera Selatan terdiri dari beberapa daerah dengan beragam jenis makanan
khas tiap daerah. Daerah ogan memiliki bermacam jenis makanan tradisional
diantaranya kue gandus, apam, kue angkak, dan behubus. Behubus merupakan
makanan tradisional yang terbuat dari bahan baku pisang gedah varitas Musa
brachycarpa dengan campuran tepung beras, kelapa parut, gula merah dan dikemas
menggunakan daun pisang kemudian dikukus selama ± 20 menit. Pada proses
pembuatan behubus kadang-kadang masyarakat mengganti tepung beras dengan
tepung beras ketan, yang membedakan antara tepung beras dan tepung beras ketan
adalah kandungan amilosa dan amilopektin. Menurut Schwartz dan Zelinski (1978)
beras ketan mengandung 1 sampai 2% amilosa dan sisanya 98% berupa amilopektin.
Hingga saat ini belum ada pengembangan mengenai makanan tradisional ini
termasuk kandungan gizi maupun non gizinya.
1
Pengembangan pangan dapat dilakukan dengan menambahkan zat gizi
maupun zat non gizi. Menurut Sulistyawati (2003), pengembangan pangan bergizi
juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya alam laut yang
pemanfaatannya belum optimal. Sumber daya alam laut merupakan sumber pangan
yang sangat potensial. Luas wilayah indonesia serta luas laut yang mendukung
menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai potensi yang baik untuk
mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan lautnya termasuk rumput laut.
Pengkayaan serat pada makanan dapat dilakukan dengan penambahan rumput
laut (Ariyani, 2012). Rosyidi et al. (2008) menyatakan bahwa rumput laut
mengandung serat yang bermanfaat bagi tubuh seperti mencegah konstipasi. Jimenez
dan Sanchez (2000) yang dikutip oleh Herpandi (2005) menyatakan bahwa rumput
laut Eucheuma cottoni merupakan salah satu tumbuhan laut yang dapat dijadikan
bahan pangan berserat alami.
Serat alami pangan banyak terdapat dalam buah dan sayur dengan jumlah
yang berbeda. Penambahan serat rumput laut pada behubus didasarkan atas bahan
baku behubus yaitu buah pisang (Musa brachycarpa). Kandungan serat buah pisang
adalah 0,63 g per 100 g (Penuntun Diet RSCM, 1982) yang dikutip oleh Kushart
(2006). Menurut American Dietetic Association (2008), angka kecukupan serat
(AKS) yang dianjurkan adalah 20 hingga 35 g per hari. Sedangkan menurut Jahari
dan Sumarno (2002) yang dikutip oleh Santoso (2011), hasil penelitian menunjukkan
rata-rata konsumsi serat masyarakat Indonesia masih jauh dari kebutuhan serat yang
dianjurkan, konsumsi serat rata-rata antara 9,9 hingga 10,7 g per hari. Untuk
memenuhi jumlah kebutuhan serat, penambahan dapat dilakukan dari sumber pangan
2
lain seperti rumput laut. Kecukupan asupan serat kini dianjurkan oleh badan
kesehatan internasional (WHO) karena banyak manfaat yang menguntungkan untuk
kesehatan tubuh seperti kesehatan pencernaan.
Beragam produk pangan beredar dipasaran yang berlabel kesehatan dengan
sasaran konsumen mulai dari balita sampai lansia. Salah satu produk pangan
kesehatan yang muncul dipasaran adalah makanan yang mengandung serat dimana
dalam ilmu pangan dikenal sebagai serat pangan (dietary fibre).
Serat pangan merupakan bagian dari bahan pangan yang tidak dapat
dihirolisis oleh enzim-enzim pencernaan (Santoso, 2011). Penambahan rumput laut
pada behubus karena menurut Jurkovic dan Colic (1995) dikutip oleh Indriyani
(2007) bahwa Serat pangan rumput laut relatif tinggi yaitu bervariasi antara 32, 7%
hingga 74, 6% (berat kering) terdiri dari 51,6% hingga 85% larut dalam air.
Penambahan bubur rumput laut dan tepung beras ketan diharapkan
merupakan salah satu alternatif untuk menambah kandungan gizi pada behubus dan
menjaga kelestraian makanan tradisional sumatera selatan.
B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan bubur
rumput laut dan tepung ketan terhadap karakteristik behubus.
C. Hipotesis
Penambahan bubur rumput laut dan tepung ketan diduga berpengaruh nyata
terhadap karakteristik behubus.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pisang
Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia
Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika
(Madagaskar) dan Amerika Selatan. Di Jawa Barat, pisang disebut dengan Cau, di
Jawa Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang. Menurut (Badan Pusat Statistik
Indonesia, 2012) pisang memberikan kontribusi terhadap produksi buah nasional
yang mencapai 34% yaitu 6.189.052 ton dari 16.348.456 ton produksi buah nasional.
Salah satu dari tiga jenis pisang yaitu pisang yang dimakan setelah buahnya dimasak
Musa paradisiaca (Direktorat Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Hortikultura, 2005).
Sistematika Musa paradisiaca adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Musaceae
Genus : Musa
Species : Musa paradisiaca
(Hastari, 2012)
4
Gambar 1. Pisang gedah (Musa paradisiaca)
Pisang sebagai bahan konsumsi adalah buah bergizi yang merupakan sumber
vitamin, mineral dan juga karbohidrat. Pisang dijadikan buah meja, sale pisang, pure
pisang dan tepung pisang. Kulit pisang dapat dimanfaatkan untuk membuat cuka
melalui proses fermentasi alkohol dan asam cuka. Daun pisang dipakai sebagai
pembungkus berbagai macam makanan trandisional Indonesia.
Kandungan gizi yang sangat baik bagi kesehatan. Di dalam buahnya terdapat
energi yang cukup tinggi dibandingkan buah-buahan yang lain. Pisang kaya mineral
seperti kalium, magnesium, fosfor, besi dan kalsium. Berdasarkan kandungan energi
dalam buah pisang maka pisang direkomendasikan oleh para ahli herbal untuk
mengobati berbagai jenis penyakit seperti pendarahan rahim, sariawan usus,
ambeien, cacar air, telinga dan tenggorokan bengkak, disentri, amandel, kanker
5
perut, sakit kuning, pendarahan usus besar, diare. Pisang juga dapat mengobati
tekanan darah tinggi karena pisang mengandung potassium yang tinggi berguna bagi
orang yang harus melakukan diet rendah garam.
B. Tepung Ketan
Tanaman ketan (Oryza sativa glutinosa) merupakan tanaman lokal yang
sejenis dengan tanaman padi (Oryza sativa), tetapi biasanya hanya ditanam sebagai
pembatas sawah yang mengelilingi tanaman padi (Achyadi et al., 2004). Beras ketan
mengandung 1 sampai 2% amilosa dan sisanya 98% berupa amilopektin, semakin
kecil kandungan amilosa maka semakin lengket nasi tersebut (Winarno, 1997).
Komposisi gizi beras ketan dapat dilihat pada Tabel 1.
makanan bayi, makanan sapihan untuk Balita, tepung campuran (composite flour)
7
dan sebagainya. Tepung beras juga banyak digunakan dalam pembuatan pudding
micxture atau custard (Koswara, 2009).
Standar mutu tepung beras ditentukan menurut Standar Industri Indonesia
(SII). Syarat mutu tepung beras yang baik adalah : kadar air maksimum 10%, kadar
abu maksimum 1%, bebas dari logam berbahaya, serangga, jamur, serta dengan bau
dan rasa yang normal. Di Amerika dikenal dua jenis tepung beras yaitu tepung beras
ketan dan tepung beras biasa. Tepung ketan mempunyai mutu lebih tinggi jika
digunakan sebagai pengental susu, pudding dan makanan ringan. Proses pembuatan
tepung beras dimulai dengan penepungan kering dilanjutkan dengan penepungan
beras basah (beras direndam dalam air semalam, ditiriskan, dan ditepungkan). Alat
penepung yang digunakan adalah secara tradisional (alu, lesung, kincir air) dan
mesin penepung (hammer mill dan disc mill).
D. Rumput laut
Rumput laut atau algae dikenal dengan nama seaweed yang merupakan
bagian terbesar dari tanaman laut. Rumput laut adalah tanaman tingkat rendah yang
tidak memiliki perbedaan susunan kerangka seperti akar, batang, dan daun yang
sejati dan lebih dikenal dengan nama tumbuhan thallus (Berhimpon, 2001).
Rumput laut merupakan salah satu komoditi perikanan indonesia yang
termasuk ganggang berukuran besar. Berdasarkan pigmen yang dikandungnya, alga
atau ganggang terdiri dari empat kelas yaitu Rhodophyceae (ganggang merah),
Phaeophyceae (ganggang coklat), Chlorophyceae (ganggang hijau), dan
Cyanophyceae (ganggang hijau biru). Rhodophyceae mengandung agar-agar dan
8
karaginan terutama dari marga Eucheuma. Salah satu jenis rumput laut yang sangat
potensial di Indonesia adalah jenis Eucheuma cottoni.
Sistematika Euchoma cottoni menurut Indriani et al. (1999) adalah sebagai
berikut :
Divisio : Rhodophyta
Kelas : Rhodophiceae
Family : Gigartinales
Ordo : Solierisceae
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cottoni
Rumput laut memiliki kandungan karaginan. Karaginan yaitu senyawa
hidrokioloid yang merupakan senyawa polisakarida rantai panjang. Karaginan
tersusun dari dua senyawa yaitu senyawa sulfat dan 1,3- beta D galaktosa. Senyawa
sulfat pada karaginan memiliki sifat hidrofilik sedangkan senyawa 1,3 beta
D galaktosa bersifat hidrofobik. Berdasarkan struktur dan sifat kimia, karaginan
dibedakan menjadi karaginan tipe kappa, iota, dan lamda (Suwandi et al., 2002).
Tipe karaginan yang dapat dihasilkan dari Eucheuma cottoni terutama
mengandung kappa. Sifat kappa karaginan yang dihasilkan Eucheuma cottoni dapat
mebentuk gel yang kuat dan kaku jika berinteraksi dengan garam kalium namun gel
yang rapuh akan terbentuk ketika kappa karaginan tersebut jika berinteraksi dengan
garam kalsium. Gel sedikit buram dan menjadi bersih jika ditambah gula
(Istini et al., 1999).
9
Karaginan umumnya dapat diaplikasikan pada berbagai produk sebagai
pembentuk gel atau penstabil, pensuspensi, pembentuk tekstur emulsi, terutama pada
roduk produk jeli, jamu, saus, permen, sirup, puding, dodol, gel ikan, produk susu,
bahkan juga industri osmetik, tekstil, obat-obtan, serta pakan ternak.
Rumput laut merupakan salah satu tumbuhan laut yang dapat dijadikan bahan
pangan berserat alami. Serat pangan rumput laut dibedakan menjadi serat pangan
larut (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut air (insolule dietary fibre).
Serat pangan larut meliputi xiloglukan, galktomannan, arabinoxilan, selulosa, dan
hemiselulosa. Serat pangan tidak larut meliputi lignin, arabixynolan, selulosa dam
hemiselulosa. Serat pangan larut berperan dalam menurunkan kolesterol, glukosa
darah, mencegah penyakit jantung dan hipertensi. Serta pangan tidak larut dapat
berperan dalam mencegah penyakit kanker usu besar, divertikulosis dan konstipasi
(Astawan, 1999). Komposisi kimia rumput laut Eucheuma cottoni dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia rumput laut jenis Eucheuma cottoniKomponen Nilai
Air (g/ 100 g bb) 13,90Protein (g/ 100 g bb) 2, 67Lemak (g/ 100 g bb) 0,37Abu (g/ 100 g bb) 17,09Serat pangan tidak larut (g/ 100 g bk) 58,60Serat pangan tidak larut (g/ 100 g bk) 10,70Total serat pangan (g/ 100 g bk) 69,30Mineral Zn (m/ g bk) 0,01Mg (m/ g bk) 2,88Ca (m/ g bk) 2,80K (m/ g bk) 87,10Na (m/ g bk) 11,93I (m/ g bk) 0,1Vitamin C (mg/ 100 g) 12Kraginan (g/ 100 g bb) 65,75Sumber : Istini et al (1999)
10
Angka konsumsi serat rata-rata penduduk indonesia hanya sebesar 10, 5 g per
kapita per hari. Jumlah konsumsi serat tersebut masih rendah jika dibandingkan
dengan jumlah konsumsi serat yang dianjurkan oleh Dietary Guidelines for
Amreican dan WHO yaitu sebesar 20 hingga 35 g perhari. Orang yang
mengkonsumsi serat sebesar 35 g perhari ternyata memiliki resiko terkena penyakit
jantung 1/3 lebih rendah dibandingkan orang yang mengkonsumsi serat hanya
sebesar 15 g per hari(Astawan, 1999). Pengolahan rumput laut sebagai bahan pangan
dapat menjadi salah satu sunber serat alami. Dengan demikian rumput laut dapat
memberikan efek fisologis bagi kesehatan masyarakat.
E. Kelapa parut
Kelapa parut merupakan isi dari buah kelapa yang telah diparut atau dikikis
halus. Kelapa parut merupakan satu bahan yang daapat menghasilkan santan kelapa.
Buah kelapa mengandung gizi (nutrisi) yang cukup tinggi dengan komposisi yang
lengkap. Produk kelapa dapat menambah jenis aneka makanan dan sumber gizi bagi
masyarakat. Zat-zat gizi yang dikandung dalam buah kelapa mempunyai peran dan
fungsi yang sama dengan gizi bahan makanan lainnya. Ada enam macam zat gizi
yang harus dikandung makanan, yaitu karbohidrat, lemak, vitamin, garam mineral,
dan air (Basrah, 1999).
Daging buah kelapa merupakan sumber protein yang penting dan mudah
dicerna. Jumlah protein terbesar terdapat pada kelapa yang setengah tua. Sedangkan
kandungan kalorinya mencapai maksimal ketika buah sudah tua, demikian pula
dengan kandungan lemaknya. Buah kelapa akan maksimal. Kandungan vitamin A
4. Bubur rumput laut dan tepung ketan ditambahkan sesuai perlakuan yaitu rumput
laut 0%, 4%, 8% dan tepung ketan 0%, 30%.
5. Campuran bahan diaduk selama ± 2 menit hingga tercampur rata.
6. Campuran bahan dibungkus dengan daun pisang berdiameter 15 cm.
7. Bahan yang telah dibungkus selanjutnya dikukus selama 20 menit pada suhu
100ºC.
17
E. Parameter
Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi karakteristik fisik
(tekstur, warna), karakteristik kimia (kadar air, kadar abu, dan kadar serat kasar)
serta analisa sensoris (aroma, warna, tekstur, dan rasa).
1. Tekstur
Analisa tekstur menggunakan alat Texture Analyzer merk Brookfield dengan
cara kerja menurut AOAC (1995) dalam sudarmadji et al. (2007)sebagai berikut :
1. Probe tipe blade dipasangkan tepat diatas sampel.
2. Speed pada alat diatur.
3. Probe yang dipasang akan menekan tepat ditengah sampel.
4. Angka peak load dan final load dalam satuan gram force (gf) yang tertera pada
display dicatat.
2. Warna
Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan Color Reader. Menurut
Andarwulan et al. (2011) pengukuran warna dilakukan sebagai berikut:
1. Color reader terlebih dahulu dikalibrasi dengan plat standar bewarna putih.
2. Kepala optik ditempelkan pada plat putih, sehingga bagian putih dari plat
menghadap ke sumber sinar.
3. Skala pembacaan L*, a*, dan b* dipilih kemudian tekan tombol START
sehingga terbaca nilai L*, a*, dan b* .
4. Sampel diukur dengan menempelkan kepala optik, lalu tekan tombol START.
5. Hasil pengukuran sampel akan terbaca nilai L*, a*, dan b*.
18
6. Nilai E dari setiap hasil pengukuran dihitung dengan rumus sebagai berikut :
∆ E ¿=√∆ L¿ 2+∆ a¿ 2+∆ b¿ 2
3. Kadar Air
Pengukuran kadar air menurut AOAC (1995) dalam sudarmdji et al. (2007)
yaitu sebagai berikut :
1. Cawan aluminium dibersihkan dan dipanaskan dalam oven selama 30 menit,
setelah itu dimasukkan kedalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang.
2. Sampel ditimbang sebanyak ± 3 g.
3. Sampel dimasukkan kedalam cawan aluminium yang telah diketahui beratnya.
4. Sampel dimasukkan kedalam oven pada suhu 105ºC selama 12 jam.
5. Cawan yang berisi sampel dikeluarkan dari oven dan didinginkan didalam
desikator kemudian ditimbang beratnya
6. Kadar air sampel dihitung dengan rumus kadar air basis basah dibawah ini :
Kadar air (basis basah )= Berat sampel awal−Berat sampel akhirBerat sampel akhir
x100 %
19
4. Kadar Abu
Pengukuran kadar abu menurut AOAC (1995) dalam sudarmadji et al.,
(2007) menggunakan Muffle furnance sebagai berikut :
1. Cawan porselen dikeringkan didalam oven pada suhu 105ºC selama 30 menit,
kemudian cawan dimasukkan kedalam desikator selama 15 menit dan ditimbang
berat cawan kosong.
2. Sampel ditimbang sebanyak ± 2 g dan dimasukkan kedalam cawan porselen.
3. Cawan dan sampel dipanaskan dengan penangas listrik (sampai sampel tidak
berasap lagi dan berwarna hitam).
4. Sampel dimasukkan kedalam Muffle furnance pada suhu 300ºC hingga 500ºC
selama 12 jam hingga sampel berwarna putih.
5. Sampel dimasukkan ke oven suhu 105ºC selama 15 menit.
6. Sampel didinginkan didalam desikator selama 15 menit lalu dilakukan
penimbangan cawan dan sampel akhir.
7. Kadar abu dihitung menggunakan rumus :
Kadar abu(%)=W 2−W 0W 1−W 0
x100 %
Keterangan :
W0 = berat cawan kosong (g)
W1= berat cawan dan sampel sebelum pengabuan (g)
W2= berat cawan dan sampel setelah pengabuan (g)
20
5. Kadar Serat Kasar
Serat kasar merupakan residu dari bahan makanan setelah diperlakukan
dengan asam atau alkali mendidih, dan terdiri dari selulosa, dengan sedikit lignin dan
pentosa (Sudarmadji et al., 2007). Penentuan serat kasar pada behubus yang telah
ditambahkan rumput laut adalah sebagai berikut :
1. Sampel sebanyak 5 g dan diekstraksi lemaknya dengan soxhlet. Jika bahan
sedikit mengandung lemak, misalnya sayur-sayuran, gunakan 10 g bahan, tidak
perlu dikeringkan dan diekstraksi lemaknya.
2. Bahan dipindahkan ke dalam labu Erlenmeyer 600 ml.
3. Sebanyak 200 ml larutan H2SO4 mendidih (1,25 g H2SO4 pekat/100 ml = 0,255 N
H2SO4) ditambahkan dan ditutup dengan pendingin balik kemudian didihkan
selama 30 menit sambil digoyang-goyang.
4. Suspensi disaring melalui kertas saring dan residu yang tertinggal dalam
Erlenmeyer dicuci dengan aquadest mendidih, cucilah residu dalam kertas saring
sampai air cucian tidak bersifat asam lagi (uji dengan kertas lakmus).
5. Residu dari kertas dipindahkan secara kuantitasi ke dalam Erlenmeyer kembali
dengan spatula, dan sisanya dicuci dengan larutan NaOH mendidih (1,25 g
NaOH/100 ml = 0,313 N NaOH) sebanyak 200 ml sampai semua residu masuk
kedalam labu Erlenmeyer. Didihkan dengan pendingin balik sambil digoyang-
goyang selama 30 menit.
6. Penyaringan dilakukan menggunakan kertas saring yang diketahui beratnya atau
krus Gooch yang telah dipijarkan dan diketahui beratnya, sambil dicuci dengan
21
larutan K2SO4 10 %. Residu dicuci lagi dengan aquadest mendidih dan kemudian
dengan lebih kurang 15 ml alkohol 95 %.
7. Kertas saring dikeringkan atau krus dengan isinya pada 110ºC sampai berat
konstant (1 hingga 2 jam), dinginkan dalam desikator dan timbang.Perhitungan
kadar serat kasar menggunakan rumus berikut :
Kadar serat kasar (% )=Berat sampel awal−Berat kertas saringBerat sampel akhir
x 100 %
6. Uji Organoleptik
Penilaian terhadap aroma, warna, tekstur dan rasa behubus dilakukan dengan
menggunakan metode uji organoleptik. Pengujian dilakukan terhadap 25 orang
panelis semi terlatih. Sampel diletakkan di atas piring dan diberi kode 3 digit secara
acak. Panelis diminta untuk memberikan penilaian kesukaan terhadap aroma
(mencium), warna (melihat), tekstur (memotong), dan rasa (mencicipi) kemudian
memberikan skor dengan skala sebagai berikut :
1 = sangat tidak suka
2 = tidak suka
3 = suka
4 = sangat suka
DAFTAR PUSTAKA
22
Achyadi, N.S., E. Turmale, Rostikasari dan Garnida. 2004. Pengaruh konsetrasi santan dan lama penumbuhan terhadap mutu opan ketan (Oryza sativa glutinosa). Prosiding seminar nasionaal makanan tradisional. Universitas brawijaya. Malang. 14 : 445-456.
American Dietetic Association. 2008. Position of the American Dietetic Association: Health Implications of Dietary Fiber. J. Am Diet Assoc. 108 (10): 1716-1731
Andarwulan, N., F. Kusnandar, dan D. Herawati. 2011. Analisis Pangan. PT. Dian Rakyat. Jakarta.
Anonim. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Depkes RI. Bharatara Karya Aksara. Jakarta
Ariyani,Mega. 2012. Pengaruh Penambahan Tepung Duri Ikan Lele Dumbo (Clarias gari epinus) dan Bubur Rumput Laut (Eucheuma cottoni) terhadap Kadar Kalsium dan Serat kasar serta Kesukaan Kerupuk.Artikel Penelitian. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro.
Astawan, M. 1999. Penggunaan Serat Makanan untuk Pencegahan Berbagai Penyakit Degenaratif. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. 3 (2) : 41-51.
Badan Pusat Statistik Indonesia. 2012. Produksi buah-buahan di Indonesia
Basri, S. 1995. Kamus Kimia. Rineka Cipta. Jakarta.
Berhimpon, s. 2001. Industri pangan hasil bernilai tinggi (valuable commodities) salah satu unggulan agroindustri sulawesi utara. Makalah seminar disajikan pada PATPI. Manado. 25 januari 2001.
Direktorat Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Hortikultura, 2005. Pasca Panen, Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pisang.
Hastari, R. 2012. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Pelepah dan Batang Tanaman Pisang Ambon (Musa paradisiacal var. sapientum) terhadap Staphylococcus aureus. Program Pendidikan Sarjana Kedokteran. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro
Heckman. 1977. Starch and its Modification for the Food Industry, di dalam H. D. Graham (ed) Food Colloids. The Avi Publishing Company Inc. Wesport. Connecticut
Herpandi. 2005. Rumput Laut (Review). Sekolah Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Pangan Institut Pertanian Bogor. IPB
23
Houston, D.F. 1972. Rice bran and polish. The American Association of Cereal Chemistry, Inc. St. Paul
Indriyani, Ari. 2007. Cookies Tepung Garut (Maranta arundinaceae L) dengan Pengkayaan Serat Pangan. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian. Universitas Gadja Mada.
Juliano, B.O. 1985. Report of Cooperative Test on Amylography of Milled Rice Flour for Viscisity and Starch Gelatinization Temperature. International Association of Cereal Chemistry Working Group. 21/11. International Rice Research Institute. Los Banos, Laguna, The Philipnes.
Koswara, sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Beras. Ebook pangan. Com (diakses pada tanggal 1 mei 2014)
Kusharto, Clara. 2006. Serat Makanan dan Peranannya Bagi Kesehatan. Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), IPB. Jurnal Gizi dan Pangan. 1(2): 45-54
Lubis, Y.M., Erviza N.M., Ismaturrahmi dan Fahrizal 2013. Pengaruh Konsentrasi Rumput Laut (Eucheuma cottoni) dan Jenis Tepug pada Penambahan Mie Basah. Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Syiah Kuala Lumpur. J. Rona Teknik Pertanian. 6 (1) : 413-420.
Luthony, TL. 1993. Tanaman Sumber Pemanis. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pagiriani, Indah. 2002. Perananan Beberapa Jenis Bahan Pengental terhadap Karakteristik Fisik, Kimia, dan Organoleptik Cuko Pempek. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya
Purwiyatno, Hariyadi. 2010. Peranan Teknologi Pangan untuk Kemandirian Pangan. Southeast Asian Food & Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, LPPM, IPB Bogor. 19 (4) : 295-301
Rosyidi, Djalal dan Prakoso, A.S.D. 2008. Pengaruh Penggunaan Rumput Laut Terhadap Kualitas Fisik dan Organoleptik Chicken Nuggets. Universitas Brawijaya. J. Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. 3(1) : 43-51
Rukmana, R. 2003. Budidaya Kelapa. Kanisius. Yogyakarta.
Sabana, Setiawan. 2007. Nilai Estetik pada Kemasan Makanan Tradisional Yogyakarta. Fakultas Seni Rupa. InstituteTeknik Bandung. J. Vis. Art. 1 (1) : 10-25.
Santoso, Agus. 2011. Serat Pangan (Dietary Fiber) dan Manfaatnya Bagi Kesehatan. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Unwidha Klaten. Magistra. 23 (75) : 35-40
24
Schwartz. J. and Zelinski. J. 1978. The binding and desintegrant properties of the corn starch fraction: Amylose and amylopectin. Drug Development and Industrial Pharmacy, 19(9): 1037-1046
Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 2007. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Sulistyowati, H. 2003. Struktur Komunitas Seaweed (Rumput Laut) di Pantai Pasir Putih Kabupaten Situbondo. Jurnal Ilmu Dasar 4 (1): 58-61.
Susanto dan Saneto. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina Ilmu.Surabaya.
Suwandi, R., Setyaningsih,I., Riyanto,B., Sadi.,U. 2002. Rekayasa Proses Pengolahan dan Optimasi Produksi Hidrokolid Semi Basah (Intermediate Moistue Food) Dari Rumput Laut. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinngi Tahuan Anggaran 2001/ 2002. Bogor. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institute Pertanian Bogor.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan Dan Gizi. Cetakan ke-II. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Widianarko, B., Retraningsih, C., Sumardi, Linda,Pratiwi, AR., Lestari, S. 2002. Teknologi Nutrisi dan Keamanan Pangan. Grasindo. Jakarta.
Lampiran 1. Proses Pembuatan Bubur Rumput Laut.
25
Rumput laut kering
Bubur rumput laut
Lampiran 2. Proses Pembuatan Behubus
26
Perendaman(±12 jam)
Pencucian
Pemotongan(±2 cm)
Penirisan
Pengecilan ukuran(tombol no.2, ± 2menit)
Pisang
Pisang 100 g, kelapa parut 10 g,gula merah (tengguli)15 g, tepung beras 10 g.
Bubur rumput laut 0 %, 2 %, 4 %, 6%, 8 %
Behubus
Lampiran 3. Lembar Quisioner Uji Organoleptik
27
Penghancuran daging buah
Pengupasan
Pencampuran dan pengadukan
Penambahan bubur rumput laut(sesuai perlakuan)
Pengukusan(±20 menit, suhu 100ºC
Pengemasan
QUISIONER
Tanggal : Nama :Jenis Kelamin :Umur :
Di hadapan saudara disajikan beberapa sampel behubus. Saudara diminta untuk memberikan penilaian kesukaan terhadap aroma (dengan mencium), warna (dengan melihat), tekstur (dengan menekan), dan rasa (dengan mencicipi) dengan cara memberikan angka sesuai ketentuan sebagai berikut : 1 = sangat tidak suka2 = tidak suka3 = suka4 = sangat suka
Kode Sampel Aroma Warna Tekstur Rasa675967589126432