ANALISIS PERAN KETENG-KETENG DALAM ENSAMBEL GENDANG TELU SENDALANEN SEBAGAI MEDIA DALAM KONTEKS UPACARA ERPANGIR KU LAU DI DESA KUTA MBELIN KECAMATAN LAU BALENG KABUPATEN KARO TESIS Oleh JAMAL KARO-KARO NIM 107037001 PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2012
264
Embed
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN · PDF filemanusia, yang mencakup ragam ilmu pengetahuan, kepercayaan atau sistem religi, kesenian, organisasi sosial ... Dalam sistem kekerabatan,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS PERAN KETENG-KETENG DALAM ENSAMBEL GENDANG TELU SENDALANEN SEBAGAI MEDIA DALAM KONTEKS UPACARA ERPANGIR KU LAU
DI DESA KUTA MBELIN KECAMATAN LAU BALENG KABUPATEN KARO
TESIS
Oleh JAMAL KARO-KARO
NIM 107037001
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2)
PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebudayaan atau budaya merupakan keseluruhan hasil budi dan daya
manusia, yang mencakup ragam ilmu pengetahuan, kepercayaan atau sistem religi,
kesenian, organisasi sosial (yang mencakup sistem kekerabatan atau adat-istiadat),
teknologi, mata pencaharian hidup atau ekonomi, dan bahasa--yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Lazimnya, kebudayaan diwujudkan mulai
dari tahap gagasan atau ide, kemudian dilanjutkan dalam bentuk kehidupan yang
mencerminkan nila-nilai yang dikandungnya, dan juga dalam bentuk artefak atau
benda-benda budaya. Pada dasarnya tata kehidupan dalam masyarakat tersebut
tertentu merupakan pencerminan yang konkrit dari nilai budaya yang bersifat
abstrak.1 Demikian juga yang terjadi pada kebudayaan masyarakat Karo di
Sumatera Utara.
Keseluruhan fase dari tumbuh dan berkembangnya kebudayaan tersebut,
sangat erat hubungannya dengan pendidikan. Semua materi yang terkandung dalam
1Koentjaraningrat (1980) membagi kebudayaan dalam dua dimensi yaitu isi dan wujud.
Dimensi isi disebutnya juga dengan tujuh unsur kebudayaan universal. Yang terdiri dari: sistem religi, bahasa, organisasi sosial, teknologi, pendidikan, ekonomi, dan kesenian. Sementera di sisi lain, dimensi wujud budaya ada tiga, yaitu wujud: (a) ide atau gagasan, (b) aktivitas atau kegiatan, dan (c) artefak atau benda-benda. Kedua dimensi ini saling berhubungan. Misalnya dalam konteks Sumatera Utara, ulos adalah artefak pakaian dalam kebudayaan Batak Toba dan Mandailing, yang di dalamnya terdapat gagasan tentang alam dan kosmologi. Di dalamnya juga terkandung bagaimana teknologi tradisional Batak Toba dan Mandailing membuat kain ini. Di dalam ulos ini juga tercermin status sosial seseorang, dan berbagai ekspresi kebudayaan lainnya.
2
suatu kebudayaan pada dasarnya diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar
yang relatif panjang. Melalui kegiatan inilah kebudayaan diteruskan dari generasi
yang satu ke generasi selanjutnya secara berkesinambungan. Dengan demikian,
kebudayaan manusia diteruskan dari waktu ke waktu sepanjang masa. Kebudayaan
yang telah lalu akan bereksistensi pada masa kini dan kebudayaan masa kini akan
disampaikan ke masa yang akan datang (Suriasumantri, 1982:27).
Dinamika kebudayaan selalu beorientasi kepada kemajuan sebuah zaman
sesuai dengan kebutuhan masyarakat banyak. Biasanya setiap suku bangsa (etnik)
yang ada di dunia ini, memiliki kecenderungan menyisihkan waktunya untuk
memenuhi kepuasan akan rasa keindahan (estetika) yang merupakan sebuah
kebutuhan dasarnya. Betapa pun sulitnya kehidupan suatu suku bangsa, mereka
tidak akan serta merta menghabiskan seluruh waktunya itu hanya untuk mencari
makan, dan melakukan perlindungan semata-mata dari ancaman bahaya.
Sebaliknya, bagi masyarakat yang hidup di lingkungan yang lebih menguntungkan
secara material dan sosial budaya, dengan segala kemudahannya akan lebih banyak
menyisihkan waktunya terhadap karya-karya yang mengungkapkan rasa keindahan.
Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kesenian sebagai ungkapan rasa
keindahan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang bersifat universal. Hal itu
dapat terlihat pada bagunan tradisional seperti pada rumah adat dengan segala
ornamen pada bagian tertentu dari bangunan, serta benda-benda tradisional yang
dihias sedemikian rupa sebagai perwujudan rasa keindahan tersebut.
Seluruh aspek kesenian, termasuk kelompok seni pertunjukan yang hidup
dan berkembang pada etnik tertentu dapat disikapi dalam dua aspek yaitu, aspek
3
estetika dan aspek fungsional. Aspek estetika mengkaji berbagai hal tentang
keindahan dari sebuah karya yang mencakup bentuk (proporsi), kehalusan, warna,
harmonisasi, dan sebagainya yang berkaitan dengan konsep estetika. Di sisi lain,
aspek fungsi kesenian berkaitan dengan sejauh apa kesenian itu dapat melayani
kehidupan masyarakat. Kesenian ini juga berperan sebagai media dalam pelaksanaan
berbagai ragam ritual, yang biasanya selaras dengan sistem religi yang diyakini atau
sistem adat istiadat yang yang berlaku.
Pada etnik Karo, terdapat ragam kesenian sebagai bagian dari hasil budaya
masyarakatnya. Kesenian ini mencakup seni: musik, rupa, tari, sastra, teater, dan
lain-lainnya. Masing-masing jenis kesenian tersebut memiliki peranan dalam
berbagai siklus kehidupan dan struktur masyarakatnya. Di sisi lain, kendati etnik
Karo telah membaur dengan berbagai etnik di daerah perantauan di luar daerah asal
mereka, etnik ini selalu menjalankan tradisi yang berlaku di daerah asalnya.2
Kebiasaan tersebut mencakup sistem religi, adat istiadat, maupun hiburan. Mereka
berupaya menjaga kelestarian konsepsi budaya tersebut dan selalu mengembangkan
2Etnik Karo secara wilayah budaya dibagi menjadi dua bahagian yaitu Karo Gugung (Karo
Pegunungan) dan Karo Jahe (Karo Pesisir). Masyarakat Karo Gugung menentap di wilayah Bukit Barisan dan sekitarnya yang kini berada di daerah Kabupaten Karo, sementara Karo Jahe sebahagian besar berada di Kabupaten Langkat, di kawasan pesisir Timur Sumatera Utara. Etnik Karo Gugung dianggap tidak banyak mengalami akulturasi dengan budaya luar, dibanding dengan Karo Jahe yang lebih banyak melakukan adaptasi dan akulturasi dengan budaya Melayu Sumatera Timur, di Langkat sebahagian di antara mereka disebut Mekarlang (Melayu Karo Langkat). Pada masa sekarang ini, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) etnik Karo banyak merantau ke berbagai wilayah di Nusantara, seperti di Kota Medan, Pekanbaru, Batam, Jakarta, Bandung, dan lainnya. Yang menyatukan orang-orang Karo ini adalah faktor budaya dan juga agama. Di antara pejabat-pejabat Indonesia yang merupakan etnik Karo yang cukup terkenal adalah Tihfatul Sembiring, M.S. Kaban, dan lain-lain.
4
keberadaan kesenian tradisionalnya agar tidak lekang oleh gelombang arus
perkembangan zaman.
Selain itu, etnik Karo memiliki sistem religi yang khas, yakni percaya akan
adanya pencipta dan penguasa alam semesta yang memiliki kekuasaan yang tidak
terhingga. Dewa pencipta dan penguasa itu disebut dengan Dibata Kaci-Kaci. Pada
etnik Karo secara tradisional terdapat religi yang memadukan sistem
kepercayaannya ke “serba roh” dengan sistem kedewataan secara serasi, dan saling
melengkapi. Dalam konsep dinamisme dan animisme, etnik Karo berpikir secara
mistis, hidupnya dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan kosmis, menggunakan mitos
untuk memahami hidup dan lingkungannya. Agama suku ini disebut dengan, agama
Pemena yang disebut juga dengan agama Perbegu. Dalam kaitannya dengan
keyakinan masyarakat dalam konsep “serba roh,” maka dengan sendirinya aktivitas
masyarakat diwarnai oleh ragam ritual dalam rangka menyembah roh-roh yang
dianggap sebagai penguasa alam semesta agar kehidupan mereka terhindar dari
marabahaya yang mengancam kehidupannya, serta untuk mendatangkan
keberuntungan, dan berbagai hal yang menyangkut kehidupan manusia.
Pada tingkat yang lebih tinggi, muncul konsep guru sibaso3 yang menjadi
perantara orang hidup dengan yang telah mati. Guru sibaso diyakini dapat melihat
hal-hal gaib dan dapat mengetahui dunia makhluk halus (seer) atau dunia roh
3Dalam beberapa tradisi religi Nusantara, terdapat persamaan, bahwa untuk
berhubungan dengan alam dewa atau makhluk gaib, mereka membutuhkan dukun sebagai media berbentuk manusia. Di dalam kebudayaan Karo disebut guru sibaso, dalam masyarakat Batak Toba disebut datu, dalam masyarakat Mandailing disebut sibaso, dalam kebudayaan Melayu disebut bomoh, dalam budaya Jawa dan Sunda disebut dukun atau mbah dukun, dan masih banyak suku-suku lain di Nusantara menyebut medium ini.
5
(Ginting, 1999:1). Hal ini menunjukkan bahwa dalam dinamika kehidupan pada
etnik Karo secara tradisional selalu berkaiatan dengan hal-hal gaib, dan oleh karena
itu, aktivitas seperti pelaksanaan upacara ritual pada hal tertentu seperti meminta
rezeki, menjauhkan penyakit, dan berbagai hal lainnya selalu dilaksanakan.
Dengan demikian ritual merupakan merupakan suatu bentuk upacara atau
perayaan yang berhubungan dengan bebrapa kepercayaan atau agama yang ditandai
dengan sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti suatu
pengalaman yang suci. Pengalaman tersebut mencakup segala sesuatu yang dibuat
atau dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungannya dengan dewa
tertinggi pencipta dan penguasa alam semesta. Hubungan atau perjumpaan itu bukan
sesuatu yang sifatnya biasa atau umum, tetapi merupakan sesuatu yang bersifat
khusus atau istimewa, sehingga manusia membuat suatu cara yang pantas guna
melaksanakan pertemuan itu, maka muncullah beberapa bentuk ritual agama.
Dalam ritual agama dipandang dari bentuknya secara lahiriah merupakan
suatu hiasan atau semacam alat saja, tetapi pada intinya yang lebih hakiki adalah
“pengungkapan iman” (Jacobs dalam Hadi, 2006:31). Oleh karena itu, upacara atau
ritual agama diselenggarakan pada beberapa tempat dan waktu yang khusus,
perbuatan yang luar biasa, yang dilengkapi dengan berbagai peralatan ritus lain yang
bersifat sakral.
Dalam sistem kekerabatan, etnik Karo memiliki kelompok merga yang
terdiri dari lima merga induk yaitu, (1) Karo-karo, (2) Ginting, (3) Tarigan, (4)
Sembiring, dan (5) Perangin-angin. Kelima merga induk ini disebut dengan merga
silima dimana setiap merga terdiri dari cabang-cabang merga. Istilah merga
6
merupakan sebutan pada laki-laki, dan beru untuk perempuan. Hubungan yang
lebih luas dari perwujudan merga-merga pada masyarakat Karo adalah sistem
kekerabatan yang disebut dengan, rakut sitelu (ikat yang tiga).
Rakut sitelu ini mirip dengan pengertian dalihan natolu pada masyarakat
Batak Toba dan Mandailing.4 Rakut sitelu pada masyarakat Karo merupakan suatu
istilah dalam sistem kekerabatan yang saling mengikat antara sesama anggota
masyarakat. Sistem tersebut didapat melalui kelahiran dan perkawinan. Rakut sitelu
dapat dipandang sebagai pembagian kelompok berdasarkan adat istiadat Karo yang
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pelaksanaan upacara adat
seperti, upacara perkawinan, kematian, dan berbagai upacara ritual lainnya. Adapun
kelompok-kelompok tersebut adalah, (a) Senina, (b) Anak beru, dan (c) Kalimbubu.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa orang Karo selalu sadar
dan mengetahui poisisinya dalam sistem kekerabatan atau adat-istiadat yang
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari maupun pada pelaksanaan upacara
adat Karo dalam kaitannya antara merga silima dengan rakut sitelu. Sehingga
4Dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba, konsep dalihan na tolu (DNT) berdasarkan
kepada hubungan darah secara patrilineal dan hubungan perkawinan. DNT dapat diartikan secara harfiah adalah tungku yang tiga, yang pada sejarah awal masyarakat Batak Toba selalu menank nasi dengan tiga tumpuan ini. DNT tersebut terdiri dari unsur: (a) dongan sabutuha yaitu teman satu marga yang ditarik dari garis keturunan ayah; (b) hula-hula adalah pihak pemberi isteri; dan (c) anak boru, yaitu piohak keluarga yang menerima isteri. Labih jauh lagi filsafat yang terkandung dalam DNT adalah manat mardongan tubu (kasihilah teman semarga), somba marhula-hula (sembahlah hula-hula), dan elek marboru (sayangilah pihak boru). Dalam kebudayaan Mandailing dan Angkola ketiga unsur dalian na tolu itu adalah: (a) kahanggi yaitu teman satu marga, (b) mora, yaitu pihak pemberi isteri, dan (c) anak boru, yaitu pihak penerima isteri. Selain itu, dalam masyarakat Mandailing dan Angkola ini ketiga unsur DNT ini diperluas lagi menjadi lima yaitu ditambah dengan boru ni boru dan mora ni mora. Konsep yang mirip dengan rakut sitelu ini adalah mencakup juga daliken sitelu pada etnik Pakpak-Dairi di Sumatera Utara.
7
dalam pelaksanaan sebuah upacara adat masing-masing individu atau keluarga telah
mengetahui posisinya.
Pemahaman mengenai sistem kekerabatan ini oleh masing-masing individu
terutama pada usia yang beranjak dewasa pada masyarakat Karo, didapat dari para
orang tua yang kesehariannya cenderung menjelaskan sistem kekerabatan tersebut
kepada generasi yang lebih muda dalam berbagai kesempatan, misalnya ketika
berkumpul di warung sambil minum kopi, atau di celah pembicaraan lainnya.
Kalangan orang tua pada masyarakat Karo pada umumnya khawatir dan malu jika
anaknya atau generasi yang lebih muda tidak memahami sistem kekerabatan. Oleh
karena itu, selalu disarankan agar para remaja yang menjelang dewasa supaya rajin
mendengar cerita-cerita orang tua yang menyangkut nasihat dan sistem kekerabatan
yang tercakup dalam rakut sitelu.
Orang tua akan merasa malu jika anaknya tidak memahami sistem
kekerabatan yang menyangkut merga silima dan rakut sitelu. Jika hal ini tidak
diwariskan secara lebih dini, maka dikhawatirkan generasi penerus pada masa yang
akan datang tidak memahami dengan jelas tentang merga silima dan rakut sitelu
yang penerapannya sangat jelas terlihat pada berbagai upacara adat dimana setiap
keluarga harus memahami posisinya apakah ia berada pada kelompok senina, anak
beru, atau kalimbubu.
Berkaitan dengan pelaksanaan ragam ritual, musik tradisional berperan
sebagai media yang memiliki peran dan fungsi pada etnik Karo. Pada masyarakat
Karo terdapat musik tradisional yang terdiri dari musik vokal dan instrumental,
dimana penggunaannya berkaitan dengan upacara ritual baik yang bersifat religi,
8
adat-istiadat, maupun sebagai hiburan. Penggunaan musik tradisional tersebut
disesuaikan dengan situasi-situasi tertentu, yang menempatkan musik sebagai bagian
dan berperan sebagai media dari situasi-situasi tersebut dengan fungsi yang tertentu
pula.
Pelaksanaan aktivitas musik dalam kebudayaan Karo dikenal dengan dua
istilah yaitu, ergendang, dan rende. Ergendang terdiri dari dua kata (er yang artinya
melakukan sesuatu) dan (gendang yang secara sederhana dapat diartikan sebagai
musik). Jadi ergendang dapat diartikan, bermain musik. Sedangkan kata gendang
pada etnik Karo memiliki beberapa pengertian yang menyatakan jenis ensambel
musik tradisional, nama komposisi, dan beberapa istilah lainnya, dan rende diartikan
sebagai bernyanyi.
Penggunaan musik tradisional pada masyarakat Karo di di Desa Kuta
Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo, sebagaimana dikemukakan di
atas, digunakan sebagai media atau dalam pelaksanaan berbagai upacara seperti:
erpangir ku lau, kerja nereh empo (pesta perkawinan), mengket rumah embaru
(memasuki rumah baru), nurun-nurun (upacara penguburan jenazah), cewir metua
(upacara kematian) dan beberapa upacara adat Karo lainnya. Dalam pelaksanaan
ragam upacara tersebut, biasanya menggunakan ensambel gendang lima sendalanen
atau gendang telu sendalanen sebagai media atau bagian yang tidak terpisahkan dari
pelaksanaan upacara tersebut.
Media musik adalah bahagian dari kesenian. Di lain sisi, kesenian adalah
sebagai salah satu unsur kebudayaan. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup,
belajar, berpikir, merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa yang sesuai menurut
9
budayanya. Budaya yang dilakukan oleh seseorang, secara pasti mempengaruhinya
sejak dalam masa alam kandungan hingga mati. Bahkan tata cara dalam kematian
pun, dilakukan menurut norma dan nilai yang sesuai dengan budaya dan agamanya.
Budaya sebagai pedoman dan komunikasi sebagai alat interaksi sosial masyarakat.
Budaya dan komunikasi tidak bisa dipisahkan. Budaya tidak hanya menentukan
siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menafsirkan pesan,
tetapi juga kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan, dan menafsirkan
makna yang terkandung dalam pesan. Ini bermakna seluruh perbendaharaan prilaku
manusia sangat tergantung pada budaya tempat dia dibesarkan.
Setiap bentuk budaya mempunyai maksud, nilai serta gagasan-gagasan
penciptanya. Selaras dengan pendapat Walter Lipmann, musik merupakan cerminan
dari kenyataan. Selanjutnya, sebagaiamana dijelaskan oleh A.L. Kroeber dan C.
Kluckhohn (1960) bahwa musik dapat dikategorikan sebagai bentuk atau pola-pola
prilaku yang nyata dari individu dan kelompok manusia. Kemudian dipindahkan
dalam bentuk simbol-simbol, yang dibangun dan dipilih oleh para penciptanya
berdasarkan referensi yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman hidupnya.
Tampilan lisan dan bukan lisan dalam media musik (termasuk musik etnik
Karo) adalah simbol. Istilah simbol yang berakar dari bahasa Yunani symbolos,
berarti tanda atau yang mencirikan tentang sesuatu hal, dengan berbagai tujuan
tertentu. Simbol lebih merupakan keadaan yang berada pada objek, berupa sesuatu
yang nyata (benda), kejadian atau tindakan sebagai media untuk memahami subjek.
Dari penjelasan di atas, kiranya dapat dimengerti bahwa perwujudan lisan dan bukan
lisan dalam musik Karo adalah tanda-tanda yang dibuat oleh manusia Karo.
10
Perwujudan ini menunjuk kepada sesuatu yang bersifat arbitrer (bebas nilai)
meskipun makna tersebut dibatasi oleh konsep yang melekat pada objek.
Dalam konteks penelitian ini peneliti akan menguraikan peran alat musik
keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen yang memiliki pengertian tiga alat
musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama. Adapun alat-alat musik
yang tergabung dalam ensambel gendang telu sendalanen pada dasarnya terdiri dari
beberapa jenis—seperti: (a) 2 keteng-keteng dan 1 alat musik balobat. (b) Ada juga
yang terdiri dari keteng-keteng, kulcapi, dan belobat, (c) ada yang terdiri dari
keteng-keteng, kulcapi, dan mangkok. Selanjutnya penulis juga akan mengkaji
peranan ensambel gendang telu sendalanen dalam upacara erpangir ku lau.5
Sebagai seorang ilmuwan musik Karo, penulis sangat tertarik terhadap
keberadaan alat musik keteng-keteng dalam kebudayaan Karo, terutama dalam
konteks ensambel gendang telu sendalanen, sebagai media dalam pelaksanaan
upacara erpangir ku lau. Ketertarikan itu adalah sebagai berikut: (a) alat musik
keteng-keteng secara etnomusikologis selalu diklasifikasikan sebagai alat musik
idiokord, artinya masuk ke dalam idiofon dan kordofon sekali gus.
Keteng-keteng merupakan alat musik yang terbuat dari bambu. Bunyi
keteng-keteng bersumber dari 2 senar yang dibuat dari kulit bambu itu sendiri. Pada
5Keteng-keteng adalah alat musik tradisional Karo yang dapat diklasifikasikan ke dalam
kelompok alat musik idikord yang terbuat dari bambu. Secara musikal alat musik ini berfungsi membawa ritme variatif dan konstan. Selanjutnya balobat adalah alat musik tradisional Karo yang termasuk ke dalam klasifikasi alat musik whistle aerofon atau recorder. Fungsi musikal alat muaik balobat adalah membawakan melodi. Kemudian kulcapi adalah alat musik lute petik berleher pendek dengan dua senanr berbentuk boat, termasuk ke dalam klasifikasi alat musik kordofon, yaitu penggetar utamanya senar. Alat musik mangkok atau lebih rinci mangkok michiho adalah berbentuk cawan yang diisi ioleh air kemudian dipukul dengan pemukul, termasuk alat musik perkusi dan fungsi musikalnya membawa ketukan dasar.
11
ruas bambu tersebut di buat satu lobang resonator dan tepat di atasnya diletakkan
sebilah potongan bambu dengan cara melekatkan bilahan itu ke salah satu senar
keteng-keteng. Bilahan bambu itu disebut dengan gung, karena peran musikal dan
bunyinya menyerupai gung dalam ensambel gendang lima sendalanen. Bunyi yang
dihasilkan keteng-keteng merupakan penggabungan dari alat-alat musik pengiring
pada gendang lima sendalanen karena pola permainan keteng-keteng menghasilkan
pola ritem gendang singanaki, gendang singindungi, penganak, dan gung yang
dimainkan oleh seorang pemain keteng-keteng (Tarigan, 2004:61-62).
Belobat merupakan alat musik tiup yang terbuat dari bambu (block flute).
Alat musik ini mirip dengan alat musik rekorder pada alat musik Barat. Balobat
memiliki 6 buah lobang nada, berperan sebagai pembawa melodi untuk setiap
repertoar dalam ensambel gendang telu sendalanen.
Di Desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo, dalam
berbagai kegiatan yang mencakup upacara dalam aspek religi, adat atau hiburan,
selalu menggunakan ensambel musik tradisional sebagai media. Jenis ensambel
musik tradisional pada etnik ini yang terdiri dari ensambel gendang lima
sendalanen, dan ensambel gendang telu sendalanen. Dalam kaitan ini penulis ingin
melakukan penelitian yaitu analisis terhadap peranan keteng-keteng sebagai salah
satu alat musik dalam ensambel telu sendalanen yang digunakan sebagai media
dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau di Desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau
Baleng, Kabupaten Karo.
Kerja erpangir ku lau merupakan satu ritual pembersihan diri yang di
dalam ritualnya terdapat aktivitas berkeramas atau mandi bunga ke sungai (epangir
12
ku lau). Ritual erpangir ku lau sampai saat ini masih sering dilakukan terutama oleh
kelompok guru sibaso pada waktu-waktu tertentu. Setiap guru sibaso akan
melaksanakan erpangir ku lau secara rutin, dalam sebulan sekali atau setahun sekali
sebagai penghormatan kepada jinujung (kekualan supernatural yang menyertainya
dalam melakukan kegiatan sebagai guru sibaso). Sebagian musisi tradisional yang
mempercayai silengguri (kekuatan supernatural yang menyertainya dalam profesi
sebagai seniman tradisional Karo juga akan melakukan erpangir ku lau pada waktu
tertentu). Selain diiringi dengan gendang lima sedalanen, erpangir ku lau juga dapat
menggunakan gendang telu sedalanen. Beberapa motif dilaksanakannya upacara
ritual erpangir ku lau misalnya, agar jumpa rejeki (keberuntungan), karena baru
terlepas dari bahaya misalnya ada yang baru sembuh dari penyakit, mengukuhkan
prestise, mengakui kedudukan seseorang di tengah-tengah keluarga (sangkep geluh),
agar orang lain melihat keluarganya banyak jumlah dan kekuatan sosialnya (show
force).
Kenyataan sosiobudaya tentang keteng-keteng dalam gendang telu
sendalanen pada upacara erpangir ku lau tersebut sangatlah menarik untuk dikaji
dengan menggunakan disiplin etnomusikologi. Menurut I Made Bandem (2001:1-2),
etnomusikologi merupakan sebuah bidang keilmuan yang topiknya menantang dan
menyenangkan untuk diwacanakan. Sebagai disiplin ilmu musik yang unik,
etnomusikologi mempelajari musik dari sudut pandang sosial dan budaya. Sebagai
disiplin yang sangat populer saat ini (baik di tingkat internasional atau Indonesia),
etnomusikologi merupakan ilmu pengetahuan yang relatif muda umurnya.
Walaupun umurnya baru sekitar satu abad, namun uraian-uraian tentang musik
13
eksotik (yang merupakan dasar-dasar munculnya etnomusikologi) sudah dijumpai
jauh sebelumnya. Uraian-raian tersebut ditulis oleh para penjelajah dunia, utusan-
utusan agama, orang-orang yang suka berziarah dan para ahli filologi. Pengenalan
musik Asia di Dunia Barat, pada awal-awalnya dilakukan oleh Marco Polo,
pengenalan musik China oleh Jean-Babtise Halde tahun 1735, dan Josep Amiot
tahun 1779. Kemudian musik Arab oleh Guillaume-Andre Villoeau hun 1809.
Periode ini dipandang sebagai awal perkembangan etnomusikologi. Masa ini pula
diterbitkan Ensiklopedi Musik oleh Jean-Jaques Rousseau, tepatnya tahun 1768,
yang memberi semangat tumbuhnya etnomusikologi. Penelitian tentang musik
rakyat dari berbagai bangsa di Eropa dilakukan oleh Grin dan Herder dan kawan-
kawannya, yang akhirnya menjadi tumbuhnya benih kesadaran akan perbedaan
budaya dalam persamaan universal makhluk manusia.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, etnomusikologi dengan terang-terangan
dinobatkan sebagai dua kelompok disiplin, yaitu ilmu humaniora dan ilmu sosial
sekali gus. Selain itu pula, sangat dirasakan perlunya memanfaatkan ilmu eksakta di
bidang disiplin ini, terutama yang berkaitan dengan organologi, akustik, dan artefak.
Etnomusikologi, pada waktu ini, memberikan kontribusi keunikannya dalam
hubungannya bersama aspek-aspek ilmu pengetahuan sosial dan aspek-aspek ilmu
humaniora, dalam caranya untuk melengkapi satu dengan lainnya, mengisi penuh
kedua pengetahuan itu. Keduanya akan dianggap sebagai hasil akhir darinya
sendiri; keduanya dipertemukan menjadi pengetahuan yang lebih luas (Merriam,
1964).
14
Etnomusikologi biasanya secara tentatif paling tidak menjangkau lapangan-
lapangan studi lain sebagai suatu sumber stimulasi baik terhadap etnomusikologi itu
sendiri maupun disiplin saudaranya, dan ada beberapa cara yang dapat dijadikan
nilai pemecahan terhadap masalah-masalah ini. Studi teknis dapat memberitahukan
kita banyak tentang sejarah kebudayaan. Fungsi dan penggunaan musik adalah
sebagai suatu yang penting dari berbagai aspek lainnya pada kebudayaan, untuk
mengetahui kerja suatu masyarakat. Musik mempunyai interelasi dengan berbagai
tumpuan budaya; ia dapat membentuk, menguatkan, saluran sosial, politik, ekonomi,
linguistik, religi, dan beberapa jenis tata tingkah laku lainnya. Teks nyanyian
melahirkan beberapa pemikiran tentang suatu masyarakat, dan musik secara luas
dipergunakan sebagaimana analisis makna terhadap prinsip struktur sosial.
Etnomusikolog seharusnya tidak dapat menghindarkan diri terhadap dirinya sendiri
dengan masalah-masalah simbolisme di dalam musik, pertanyaan tentang hubungan
antara berbagai seni, dan semua kesulitan pengetahuan apa itu estetika dan
bagaimana strukturnya. Ringkasnya, masalah-masalah etnomusikologi bukan hanya
terbatas kepada teknik semata--tetapi juga tentang tata tingkah laku manusia.
Etnomusikologi juga tidak sebagai sebuah disiplin yang terisolasi, yang memusatkan
perhatiannya kepada masalah-masalah esoterisnya saja, yang tidak dapat diketahui
oleh orang selain yang melakukan studi etnomusikologi itu sendiri. Tentu saja,
etnomusikologi berusaha mengkombinasikan dua jenis studi, untuk mendukung
hasil penelitian, untuk memecahkan masalah-masalah spektrum yang lebih luas,
yang mencakup baik ilmu humaniora ataupun sosial.
15
Ilmu pengetahuan humaniora lebih memfokuskan perhatian kepada nilai-
nilai kemanusiaan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan sosial, dan lebih menaruh
perhatian kepada nilai kebebasan dalam mendeskripsikan perilaku manusia.
Pernyataan ini, secara umum memang benar, yang kembali mendiskusikan dan
menanyakan metode-metode dari menanyakan muatan lapangan studinya. Begitu
juga, penting untuk menyatakan bahwa ilmu pengetahuan humaniora sangat
melibatkan nilai-nilai, dan ini menjadi titik kuncinya. Dengan demikian, fokus
ilmu-ilmu humaniora dibangun di atas kritik pengujian dan evaluasi dari produk
manusia di dalam urusan kebudayaan (seni, musik, sastra, filsafat, dan religi),
sedangkan fokus ilmu pengetahuan sosial adalah cara manusia hidup bersama,
termasuk aktivitas-aktivitas kreatif mereka.
Dalam sejarah perkembangan etnomusikologi, terjadi gabungan dua disiplin
yaitu muskologi dan etnologi. Musikologi selalu digunakan dalam mendeskrip-
sikan struktur musik yang mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri--
sedangkan etnologi memandang musik sebagai bahagian dari fungsi kebudayaan
manusia dan sebagai suatu bahagian yang menyatu dari suatu dunia yang lebih
luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut.
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but tidakes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other
16
scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4).
Dari kutipan di atas, menurut Merriam, para pakar etnomusikologi
membawa dirinya sendiri kepada pembahagian bidang kajian ilmu. Oleh karena
itu, selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan, yaitu musikologi dan
etnologi. Kemudian menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar
dalam rangka mencampurkan kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan
penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin
tersebut. Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur
yang dihasilkannya. Seorang sarjana menulis secara teknis tentang struktur suara
musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk
memperlakukan musik sebagai suatu bahagian dari fungsi kebudayaan manusia,
dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan ini. Pada saat
yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh pakar antropologi
Amerika, yang cenderung untuk mengandaikan kembali suatu aura reaksi
terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai
17
dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di sini,
penekanan etnologi yang dilakukan oleh para sarjana ini tidak seluas struktur
komponen suara musik sebagai suatu bahagian dari permainan musik dalam
kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia
yang lebih luas.
Demikian juga dalam konteks studi peran keteng-keteng dalam gendang telu
sendalanen pada upacara erpangir ku lau di Tanah Karo, penulis merujuk kepada
pendekatan struktural dan fungsional. Studi struktural akan melibatkan bagaimana
bentuk atau gaya musik yang dihasilkan, struktur organologi dan akustik keteng-
keteng, dan hal-hal sejenis. Sedangkan pendekatan fungsional akan menitikberatkan
pada kajian bagaimana peran musikal dan kegunaan serta fungsi alat musik ini dan
musik yang dihasilkan dalam konteks upacara erpangir ku lau. Kedua hal ini amat
menarik untuk dikaji secara bersama-sama.
Ketertarikan penulis untuk mengkaji keteng-keteng dalam gendang telu
sendalanen yang difungsikan untuk upacara erpangir ku lau didasari oleh dasar-dasar
pemikiran saintifik dan realitas sosiobudaya. Di antaranya adalah: (a) bahwa keteng-
keteng itu sendiri secara etnomusikologis sangat unik yaitu diklasifikasikan kepada
alat musik idiokord artinya alat musik ini masuk ke dalam golongan idiofon dan
kordofon sekali gus, (b) bahwa keteng-keteng memiliki peran musikal yang penting
dalam gendang telu sendalanen yaitu membawakan ritem ostinato baik itu
membawakan ritem dasar dan ritem peningkah. Selain itu keteng-keteng juga
memiliki suara gung yang menggantikan fungsi gung dan penganak yang terdapat
dalam gendang lima sendalanen. (c) Alat musik keteng-keteng juga berfungsi
18
sosiomusikal yaitu untuk hiburan, untuk kontinuitas dan stabilitas budaya Karo,
komunikasi, integrasi masyarakat, ketahanan budaya, perlambangan atau simbolik,
dan lainnya. (d) Alat musik keteng-keteng juga digunakan sebagai media antara alam
nyata dengan alam supernatural, alat musik ini dipandang memiliki kekuatan
supernatural penghubung atau komunikasi antara alam nyata dan alam gaib yang
merupakan salah satu kepercayaan tradisional Karo, sebagai ekspresi
kosmologinya.
Selain guru sibaso atau pemain musik tradisional Karo (erjabaten),
anggota masyarakat sebagai individu, juga dapat melakukan kerja erpangir ku lau
dengan alasan tertentu sebagaimana dikemukakan di atas. Fenomena ini merupakan
sesuatu yang sangat menarik bagi penulis untuk dijadikan sebagai fokus penelitian.
1.2 Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: (a) bagaimana
peran alat musik keteng-keteng dalam konteks ensambel gendang telu sendalanen
yang digunakan sebagai media dalam upacara erpangir ku lau. Peranan yang
dimasudkan dalam tulisan ini adalah peranan musikal dan lebih jauh peranan
sosiomusikalnya. Selanjutnya pokok permasalahan utama ini akan dibantu oleh
beberapa pokok permasalahan lainnya untuk memperkuat analisis secara
etnomusikologis, sesuai dengan judul yang telah penulis tentukan. Adapun pokok-
pokok masalah lainnya untuk mendukung pokok permasalahan di atas adalah
mencakup: (a.1) bagaimana eksistensi pelaksanaan upacara erpangir ku lau pada
etnik Karo di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo. (a.2)
19
Bagaimana peranan ensambel gendang telu sendalanen dalam siklus adat-istiadat
etnik Karo. (a.3) Bagaimana struktur organologis dan teknik bermain keteng-keteng
sebagai salah satu alat musik dalam ensambel gendang telu sendalanen.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah seperti yang
diuraikan berikut ini.
1. Untuk mendeskripsikan eksistensi pelaksanaan upacara erpangir ku lau pada
etnik Karo di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo.
2. Untuk mendeskripsikan peranan ensambel gendang telu sendalanen dalam
siklus adat-istiadat etnik Karo.
3. Untuk menganalisis peran alat musik keteng-keteng dalam konteks ensambel
gendang telu sendalanen yang digunakan sebagai media dalam upacara erpangir
ku lau.
4. Untuk mendeskripsikan struktur organologi dan teknik bermain keteng-keteng
sebagai salah satu alat musik dalam ensambel gendang telu sendalanen.
1.4 Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari pengulangan kajian yang sama, perlu dilakukan
serangkaian studi terdahulu yang berada dalam lingkup yang sama tapi pada fokus
yang berbeda yakni mengkaji berbagai literatur yang membahas tentang alat musik
keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen serta aktivitas adat etnik
Karo terutama yang menyangkut kegiatan kerja erpangir ku lau. Tulisan-tulisan
20
tentang topik ini, sebahagian besar adalah berupa skripsi di Jurusan Etnomusikologi,
Fakultas Sastra (kini menjadi Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Dalam bentuk skripsi sarjana etnomusikologi antara lain adalah sebagai
berikut. (1) Kumalo Tarigan (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1985) mengkaji
tentang gendang telu sedalanen dalam konteks kebudayaan Karo. Dalam skripsi ini
Kumalo Tarigan mengkaji ensambel gendang telu sendalanen Karo secara
etnomusikologis dengan pendekatan fungsional dan struktural.
(2) Perikuten Tarigan (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1986)
mengkaji tentang gendang lima sedalanen sebagai musik Tradisi Karo. Agak
berbeda dengan Kumalo Tarigan, penulis skripsi ini memfokuskan perhatian pada
ensambel gendang lima sendalanen yang jumlah alat musiknya lebih besar, namun
dengan akar sejarah yang sama. Kedua ensambel tersebut memiliki hubungan
fungsional dan struktural. Perikuten melihat ensambel gendang lima sendalanen
juga melalui pendekatan fungsional dan struktural.
(3) Rini Rumiyanti (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1988) mengkaji
tentang studi deskripsi pemakaian alat musik surdam bagi guru dalam pengobatan
tradisional Karo. Skripsi ini selain melakukan pendekatan struktural juga mengkaji
sistem kosmologi alam di dalam kebudayaan masyarakat Karo.
(4) Jamal Karo-Karo (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1991) mengkaji
tentang studi deskriptif keteng-keteng sebagai instrumen tradisional Karo. Penulis
skripsi ini melakukan deskripsi organologis dan akustik terhadap alat musik keteng-
keteng Karo dengan pendekatan etnomusikologis, yaitu menggunakan teori
21
klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel. Pendekatan organologis yang digunakan
adalah struktural dan fungsional alat-alat musik.
(5) Fariana (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1992) melakukan penelitian
berupa deskripsi peranan gendang kulcapi dalam upacara erpangir ku lau di
Berastagi. Dalam skripsi ini, Fariana mendeskripsikan upacara erpangir ku lau yang
terjadi di Berastagi pada tahun 1991. Selanjutnya ia mentranskripsi beberapa lagu
dalam gendang kulcapi yang digunakan dalam upacara tersebut. Sama dengan para
seniornya, Fariana melakukan pendekatan fungsionalisme dan struktural.
(6) Sinar (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,1992) mengkaji tentang studi
deskriptif musik vokal Gendang Keramat dalam upacara erpangir ku lau. Sinar
melakukan pendekatan deskriptif terhadap upacara erpangir ku lau, dan
menganalisis salah satu musik vokal yang disajikan oleh dukun di Tanah Karo yang
disebut dengan Gendang Keramat.
(7) Julianus Limbeng (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,1994) mengkaji
tentang analisis tekstual dan musikal erpola pada masyarakat Karo. Dalam skripsi
ini Julianus Limbeng mengkaji makna syair yang dinyanyikan oleh penyadap enau
untuk diambil niranya dalam kegiatan erpola di Karo. Teksnya penuh dengan
makna-makna simbolis. Selain itu juga Julianus Limbeng mentranskripsi nyanyian
erpola dan menganalisisnya dengan teori bobot tangga nada (weighted scale).
(8) Ivy Irawaty Daulay (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1995)
mengkaji tentang studi organologis surdam rumaris pada masyarakat Karo di
Berastagi. Dalam skripsi ini Ivy Irawaty Daulay banyak melakukan deskripsi
organologi dan akustik terhadap salah satu alat musik tradisional Karo yang disebut
22
dengan surdam rumaris. Bagaimana pun skripsi ini menjadi bahan rujukan bagi
penulis untuk melakukan kajian organologis terhadap musik keteng-keteng Karo.
(9) Perdata Peranginangin (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1999)
melakukan kajian organologis terhadap alat musik gung dan penganak pada
masyarakat Karo, dengan studi kasus teknik pembuatan gung dan penganak oleh
Lebut Sembiring. Skripsi ini amatlah menarik, karena biasanya mahasiswa
etnomuskologi USU lebih senang mengkaji aspek musikal dan organologis alat-alat
musik pembawa melodis dan ritmis. Sedangkan dalam skripsi ini, penulisnya
melakukan kajian organologis terhadap alat musik yang membawa fungtuasi ritmik.
Dari skripsi ini diketahui pula bahwa orang Karo masih memiliki pandai besi
pembuat gung dan penganak yaitu Bapak Lebut Sembiring.
(10) Popo Marince (Etnomusikologi Fak. Sastra USU,1999) tentang studi
deskripsi dan musikologis upacara ritual pajuhpajuhen nini lau tungkup pada
masyarakat Karo di Desa Kutambelin Kecamatan Simpang Empat Karo. Skripsi ini
sebagai mana yang termaktub pada judulnya menitikberatkan kepada kajian ritual
pajuhpajuhen nini lau tungkup dengan pendekatan teori upacara dan fungsional.
(11) Bahtiar Tarigan (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,1999) tentang
kajian tekstual dan musikal mangmang dalam upacara perumah begu di Desa Tanah
Lapang, Kecamatan Bandar, Kabupaten Langkat. Skripsi ini juga memberikan
gambaran mendalam tentang bagaimana salah satu upacara tradisi Karo yang disebut
perumah begu (yaitu berkaitan dengan alam gaib).
(12) Roy Jimny N. Sebayang (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,2004)
tentang kendang keyboard terhadap perilaku sosial masyarakat Karo dalam upacara
23
adat perk (erdemu bayu) di Medan. Skripsi ini berisikan data etnografis tentang
bagaimana perubahan kebudayaan yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat Karo
dari alam pedesaan ke alam perkotaan, dengan memfokuskan perhatian pada
gendang keyboard Karo dalam salah satu upacara adatnya yaitu erdemu bayu.
(13) Roberta Sinurat (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2004) tentang
studi deskriptif adu perkolong-kolong pada upacara gendang guro-guro aron di
Jambur Namaken and Son Medan. Skripsi ini berbentuk deskripsi perlombaan antara
penyanyi tradisi Karo yang disebut perkolong-kolong dan upacara gendang guro-
guro aron. Deskripsinya detil dan menarik untuk dibaca dan menambah wawasan
pembaca.
(14) Saidul Irfan Hutabarat (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2010)
tentang peranan Jasa Tarigan dalam perkembangan ensambel musik tradisi Karo.
Skripsi ini memfokuskan perhatian pada biografi musikal salah seorang pemusik
kenamaan Tanah Karo yaitu Jasa Tarigan. Yang paling menonjol adalah peranan
Jasa Tarigan sebagai tokoh perubahan musik Karo dari masa tradisi ke masa transisi.
Jasa Tarigan jugalah yang awal membawa alat musik keyboard ke dalam kehidupan
musik Karo.
(15) Tri Syahputra Sitepu (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2010)
melakukan penelitian tentang studi deskriptif penggabungan alat musik kibod
dengan gendang lima sedalanen pada upacara perayaan hari ulang tahun Karo
Mergana Ras Anak Beruna di Cinta Damai, Kecamatan Medan Helvetia, Kota
Medan. Dalam skripsi ini Tri Syahputra Sitepu mendeskripsikan bagaimana proses
penggabungan atau akulturasi antara alat musik kibod yang merupakan ikon musik
24
modern dunia dengan ensambel tradisional Karo yaitu gendang lima sedalanen.
Menurutnya terjadi adaptasi yang saling melengkapi dalam proses akulturasu
tersebut. Di sisi lain, masuknya kibod adalah sebagai rangka “pemodernan” musik
Karo yang tidak anti kepada perubahan zaman.
(16) Agus Tarigan (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2011) melakukan
penelitian yang ditulis ke dalam bentuk skripsi yaitu tentang penggunaan dan fungsi
gendang keyboard dalam gendang guro-guro aron di Desa Suka Dame. Skripsi ini
menurut penulis lebih menekankan kepada pendekatan fungsionalisme. Agus
Tarigan menguraikan sejauh apa guna dan fungsi gendang keyboard dalam
kebudayaan masyarakat Karo khususnya di Desa Suka Dame.
(17) Perikuten Tarigan (Tesis Program Magister, Program Studi Kajian
Budaya Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, 2004) membahas tentang
perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo. Tesis ini berisi kajian
terhadap peubahan dan kontinuitas alat musik tradisional Karo dari masa ke masa.
Perikuten Tarigan melihat perubahan ini dari sisi dalam dan luar budaya Karo yang
mempengaruhinya. Selain itu, Perikuten Tarigan juga melihat perubahan musik yang
terjadi juga selaras dengan perubahan konsep-konsep budaya dalam masyarakat
Karo.
Dari beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan kajian musik
tradisional Karo sebagaimana dikemukakan di atas, selanjutnya akan penulis
gunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini dalam upaya untuk lebih memperkuat
landasan teoretis dan berbagi pengalaman dengan para penulis dan peneliti lain.
Kendati memiliki keterkaitan, namun fokus kajian dalam penelitian ini jelas berbeda
25
dengan kajian yang terdapat pada sejumlah hasil penelitian yang dijadikan sebagai
bahan literatur. Adapun fokus yang dikaji dalam penelitian ini adalah analisis peran
(musikal dan sosiomusikal) keteng-keteng dalam konteks gendang telu sendalanen
sebagai media dalam upacara erpangir ku lau pada etnik Karo di desa Kuta Mbelin
Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo.
Untuk mendukung penelitian ini, selain menggunakan tulisan-tulisan
terdahulu seperti terurai di atas, penulis juga menggunakan bahan-bahan literatur
lainnya seperti buku, surat kabar, artikel tentang kebudayaan, situs web, blog, dan
lain-lainnya seperti yang dapat dilihat pada bibliografi tesis ini. Tujuannya adalah
untuk memberikan wawasan yang luas dan mendalam sesuai dengan standar tesis
magister penciptaan dan pengkajian seni di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara.
1.5 Konsep dan Teori yang Digunakan
Untuk memperjerlas makna-makna terminologi yang digunakan dan
berhubungan dengan topik tesis ini, maka penulis akan menjelaskan konsep-konsep
dan teori. Untuk itu dijelaskan terlebih dahulu apa itu konsep dan teori, yang penulis
gunakan agar tidak terjadi pendistorsian makna. Konsep adalah rancangan ide atau
pengertian yang diabstrakan dari peristiwa kongkret (Poerwadarminta dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:588). Selanjutnya yang dimaksud
dengan teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, yang
didukung oleh data dan argumentasi (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, 2005:1177).
26
Dari dua pengertian di atas, maka ada perbedaan mendasar antara konsep dan
teori. Konsep baru sampai ke tahap pengertian yang diabstrakan peristiwa
sesungguhnya. Kalau penulis boleh memberi contoh, dalam kebudayaan Karo
terdapat konsep tentang pembagian wilayah budaya yaitu Karo Gugung dan Karo
Jahe. Masyarakat Karo, berdasarkan etnosains mereka, membagi wilayah
budayanya ke dalam dua kategori: (a) Karo Gugung atau orang-orang Karo yang
berada di wilayah pegunungan, terutama di kawasan Kabupaten Karo, Langkat, dan
Deliserdang; (b) Karo Jahe, yaitu mereka yang berada di kawasan pesisir terutama
di wilayah Kabupaten Deliserdang, Serdang Bedagai, dan Langkat. Masyarakat
Karo Gugung dianggap lebih murni menerapkan kebudayaan Karo, sedangkan Karo
Jahe lebih banyak mengalami akulturasi dengan kebudayaan sekitarnya terutama
dengan etnik Melayu. Misalnya Guru Patimpus yang mendirikan Medan.
Sementara di sisi lain, teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian
dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi. Jadi teori sifatnya lebih ke arah
telah terbukti secara saintifik dan pendapat keilmuan itu digunakan untuk
memecahkan permasalah atau fenomena alam maupun sosiobudaya. Contoh teori
dalam ilmu pengetahuan adalah teori difusi, akulturasi, evolusi, gravitasi,
relativisme, bobot tangga nada (weighted scale), kantometrik, dan lain-lain. Kedua
hal tersebut (konsep dan teori) akan diaplikasikan dalam penelitian dalam bentuk
analisis peran keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen yang
digunakan sebagai media dalam konteks upcara erpangir ku lau di Desa Kuta
Mbelin, Kecamatan Lau Beleng, Kabupaten Karo.
27
1.5.1 Konsep
Adapun konsep yang perlu diuraikan dalam tesis ini adalah: (a) analisis, (b)
(a) Konsep tentang analisis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah: (1)
penyelidikan terhadap suatu peristiwa karangan, perbuatan dan lain sebagainya)
untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya,
dan lain sebagainya), (2) penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan
penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh
pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan, (3) penyelidikan kimia
dengan menguraikan sesuatu untuk mengetahui zat-zat bagiannya dan sebagainya,
(4) penjabaran sesuadah dikaji sebaik-baiknya, (5) proses pemecahan persoalan yang
dimulai dengan dugaan akan kebenarannya, (6) penguaraian karya sastra atas unsur-
unsurnya untuk memahami pertalian antara unsur-unsur tersebut, (7) proses akal
yang memecahkan masalah ke dalam bagian-bagiannya menurut metode yang
konsisten untuk mencapai pengertian tentang prinsip-prinsip dasarnya
(Poerwadarminta, 1990:32).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan analisis
adalah uraian terhadap suatu objek, karangan atau karya cipta (seperti karya musik,
sastra, dan sebagainya) atas beberapa bagian, dan penelaahan setiap bagian untuk
mencari hubungan di antara bagian-bagian tersebut untuk memperoleh pengertian
yang tepat dalam memahami arti dari keseluruhannya. Dalam kaitan ini, dalam
28
dimensi dunia musik, konsep tentang analisis itu menurut Siegmeister (1985:368)
adalah sebagai berikut.
Together with perceptive listening, musical analysis provides insight intro the structure of music. By focusing on subtleties of construction, on the fine details of composer’s craftsmanship, and above all on interrelationships of the constituent elements, analysis reveals aspects of a composition not apparent to the casual listener. Distinguishing the individual roles of melody, harmony, and rhythm, it reveals their organic interplay in the creation of musical structure. Analysis of short pieces can proceed in four stages : (1) an over-all view of the form, (2) a study of melodic and rhythmic patterns, (3) a study of harmonic structures, and (4) a synthesis of all elements forming the whole.
Menurut Seigmeister seperti dikutip di atas, cara yang mudah untuk
difahami dalam analisis musik adalah menyediakan wawasan mengenai struktur
musik dengan berfokus pada konstruksi yang paling kecil, pada penyelesaian yang
dikuasai oleh seorang komponis. Juga di atas hubungan timbal balik pada elemen-
elemennya, menganalisis aspek seni yang terdapat pada komposisi yang tidak
kelihatan bagi pendengar awam, yang menitikberatkan pada peranan melodi,
harmoni,dan ritem adalah hal yang saling mempengaruhi dalam sebuah struktur
musik. Analisis dalam bagian kecil dapat memproses 4 bagian yang mencakup: (1)
garis besar bentuk lagu, (2) pelajaran pada pola melodi dan ritem, (3) pelajaran
tentang struktur harmoni, dan (4) perpaduan dari bentuk keseluruhan elemen.
Konsep ini memberi petunjuk bahwa dalam menganalisis sebuah komposisi
musik dibutuhkan wawasan yang mendalam tentang struktur musik hingga pada
bagian-bagian terkecil dari sebuah komposisi dan mampu mengungkapkan berbagai
hal tentang efek tertentu dari perpaduan antara melodi, harmoni, dan ritem secara
menyeluruh, setelah menganalisis bagian demi bagian dari sebuah komposisi musik.
29
Dalam kaitannya dengan pendapat ini, Alan P Meriam dalam Siagian (1998:45)
mengatakan sebagai berikut.
Salah satu sumber yang paling jelas untuk tata tingkah laku manusia dalam satu kebudayaan yang berkaitan dengan musik ialah melalui teks nyanyian. Teknis penggunaan bahasa dalam teks nyanyian adalah melalui pendekatan dengan teknik eufonis, yaitu teknik yang bertujuan untuk mencapai efek musikal dan memberikan kesan menyenangkan melalui penambahan atau pengurangan sillabel pada sebuah kata.
Berdasarkan pendapat tersebut, dalam konteks analisis musik yang menggunakan
teks atau syair lagu, selain menganalisis struktur sebuah komposisi musik hingga
pada bagian-bagian terkecil, keberadaan teks atau sair lagu dapat dijadikan sebagai
salah satu indikator dalam menganalisis komposisi musik.
Dalam kaitannya dengan penulisan tesis ini, maka kerja analisis akan
difokuskan kepada dua hal. (a) Yang pertama adalah analisis terhadap peran musikal
keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen. Pada proses ini, yang
penulis analisis adalah bagaimana peran keteng-keteng dalam musik yang mencakup,
perannya sebagai pembawa ritem konstan oleh keteng-keteng singindungi dan
pembawa ritem variabel yang dibawa oleh keteng-keteng singanaki. Lebih jauh
penulis akan melihat meter, birama, tanda birama, arsis, tesis, siklus, kecepatan
(tempo), dan sejenisnya. Kemudian juga akan dilihat bagaimana peran musikal alat
musik balobat yang membawakan melodi berjalan seiring dengan keteng-keteng.
Ketiga alat musik ini membentuk jalinan ritem dan melodi yang harmoni. Untuk itu
perlu juga dianalisis lagu yang dibawakan oleh belobat, yang kemudian dianalisis
mencakup unsur-unsurnya seperti: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, distribusi
30
interval, formula melodi, kontur, dan sejenisnya dengan menggunakan teori
weighted scale.
Selanjutnya analisis yang (b) kedua mencakup peran sosiobudaya yang
mencakup guna dan fungsi keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen
dalam konteks upacara erpangir kulau dalam kebudayaan masyarakat Karo,
khususnya di daerah penelitian. Dalam melakukan analisis yang kedua ini penulis
menggunakan teori fungsionalisme. Analisis guna dan fungsi sosiobudaya keteng-
keteng ini melibatkan interpretasi sosial dan budaya terhadap fenomena yang terjadi
di dalam penelitian.
(b) Selanjutnya dijelaskan konsep peran. Pengertian antara fungsi dan peran
dapat dibedakan. Fungsi menunjuk pada kegunaan, sedangkan peran menunjuk pada
bagian yang dimainkan dalam sebuah sistem. Kendati memiliki perbedaan, namun
antara fungsi dan peran merupakan sebuah kesatuan dalam pemahaman bahwa peran
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi. Selanjutnya peranan dapat
merupakan fungsi dari satu variabel ke variabel lainnya dalam satu kesatuan. Artinya
setiap variabel dalam kesatuan itu memiliki peranan tertentu. Peranan (role) adalah:
(1) fungsi individu atau peranannya dalam satu kelompok atau institusi, (2) fungsi
atau tingkah laku yang diharapkan ada pada individu, atau yang menjadi ciri atau
sifat dari dirinya, (3) fungsi sembarang variabel dalam satu kaitan sebab akibat
(Chaplin,1989:439).
Peran merupakan fungsi dari sebuah variabel dalam satu kesatuan sistem
yang dapat memberi dampak atau pengaruh kepada variabel lainnya dalam sebuah
sistem. Misalnya, dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau, cewir metua, atau
31
upacara lainnya pada etnik Karo, ensambel musik lima sendalanen atau telu
sendalanen sebagai perangkat alat musik tradisional, wajib disertakan sebagai salah
satu media dalam pelaksanaan upacara tersebut. Dalam hal ini ensambel musik
tradisional merupakan salah satu indikator yang memiliki peranan kepada indikator
lainnya dalam pelaksanaan upacara religi atau upacara adat tersebut. Bunyi ragam
instrumen musik dalam setiap komposisi musik yang dimainkan dalam pelaksanaan
upacara keagamaan tersebut, diyakini memiliki fungsi dan peran.
Pengertian antara fungsi dan peran dapat dibedakan. Fungsi menunjuk
pada kegunaan, sedangkan peran menunjuk pada bagian yang dimainkan dalam
sebuah sistem. Kendati memiliki perbedaan, namun antara fungsi dan peran
merupakan sebuah kesatuan dalam pemahaman bahwa peran merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari fungsi. Selanjutnya peranan dapat merupakan fungsi dari
satu variabel ke variabel lainnya dalam satu kesatuan. Artinya setiap variabel dalam
kesatuan itu memiliki peranan tertentu. Peranan (role) adalah: (1) fungsi individu
atau peranannya dalam satu kelompok atau institusi, (2) fungsi atau tingkah laku
yang diharapkan ada pada individu, atau yang menjadi ciri atau sifat dari dirinya,
(3) fungsi sembarang variabel dalam satu kaitan sebab akibat (Chaplin,1989:439).
Peran merupakan fungsi dari sebuah variabel dalam satu kesatuan sistem
yang dapat memberi dampak atau pengaruh kepada variabel lainnya dalam sebuah
sistem. Misalnya, dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau, cewir metua, atau
upacara lainnya pada etnik Karo, ensambel musik lima sendalanen atau telu
sendalanen sebagai perangkat alat musik tradisional, wajib disertakan sebagai salah
satu media dalam pelaksanaan upacara tersebut. Dalam hal ini ensambel musik
32
tradisional merupakan salah satu indikator yang memiliki peranan kepada indikator
lainnya dalam pelaksanaan upacara religi atau upacara adat tersebut. Bunyi ragam
instrumen musik dalam setiap komposisi musik yang dimainkan dalam pelaksanaan
upacara keagamaan tersebut, diyakini memiliki fungsi dan peran.
(c) Adapun yang dimaksud dengan keteng-keteng dalam tulisan ini adalah
alat musik tradisional Karo yang dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok alat
musik idikord yang terbuat dari bambu. Secara musikal alat musik ini berfungsi
membawa ritem variatif dan konstan. Bunyi keteng-keteng dihasilkan dari dua buah
“senar” yang diambil dari kulit bambu itu sendiri (bamboo idiochord). Pada ruas
bambu tersebut dibuat satu lobang resonator dan tepat di atasnya ditempatkan
sebilah potongan bambu dengan cara melekatkan bilahan itu ke salah satu senar
keteng-keteng. Secara taksonomis tradisional, bilahan bambu ini disebut gung,
karena peran musikal dan warna bunyinya menyerupai gung dalam gendang lima
sendalanen. Bunyi musik yang dihasilkan keteng-keteng merupakan gabungan dari
alat-alat musik pengiring gendang lima sendalanen (kecuali sarune) karena pola
permainan keteng-keteng menghasilkan bunyi pola ritem: gendang singanaki,
gendang singindungi, penganak, dan gung yang dimainkan oleh hanya seorang atau
dua orang pemain keteng-keteng.
(d) Selanjutnya dijelaskan mengenai konsep ensambel gendang telu
sendalanen. Dalam kebudayaan etnik Karo, terdapat sebuah istilah yang lazim
digunakan yaitu gendang Karo. Istilah ini maknanya adalah merujuk kepada
perangkat ensambel musik yang dibutuhkan sebagai musik pengiring atau media
dalam pelaksanaan berbagai aktivitas budaya Karo; Secara umum, etnik Karo selalu
33
menyebut hal yang terkait dengan musik dengan kata gendang. Dalam realitas sosial
dan budaya pada masyarakat Karo, istilah gendang ini memiliki makna yang jamak,
yaitu lebih dari satu, sesuai dengan konteks apa ia digunakan. Menurut pengematan
penulis setidaknya ada lima pengertian gendang tersebut, yaitu: (1) gendang sebagai
nama atau judul lagu, contohnya Gendang Simalungun Rayat, Gendang
Persentabin, Gendang Mulih-mulih, dan lainnya: (2) gendang sebagai ensambel
musik, yang biasanya disebut dengan gendang lima sendalanen, gendang telu
sendalanen, dan gendang kulcapi, ; (3) gendang sebagai instrumen atau alat musik,
yaitu gendang tradisional Karo yang berbentuk konis ganda, yang dipukul dengan
dua stik oleh pemainnya, terdiri dari gendang singindungi dan singanaki, juga
gendang binge di Karo Jahe; (4) gendang sebagai repertoar, dan (5) gendang
sebagai nama upacara.
Dalam konteks penelitian ini, gendang yang dimaksud dalam upacara
erpangir ku lau adalah gendang sebagai ensambel musik, yang terdiri dari tiga alat
music gabungan. Ensambel musik yang digunakan dalam erpangir ku lau adalah
gendang telu sedalanen. yaitu sering juga disebut dengan gendang kulcapi.
Ensambel musik ini dimainkan oleh tiga orang pemain yang diberi gelar si
erjabaten. Ensambel ini terdiri dari tiga buah instrumen musik, yaitu (1) kulcapi
(long neck lute) sebagai pembawa melodi, yaitu alat musik lute petik tradisional
Karo dengan senar dua buah yang dilaras dengan menggunakan interval kuin; (2)
keteng-keteng (idiokordofon), yaitu alat musik bersenar yang dipukul. Alat musik ini
terbuat dari satu ruas bambu betung, dan dari badan bambu itu sendiri dibuat senar
dua buah sebagai pengganti suara penganak (small gong) dan gung (gong); (3)
34
mangkuk mbentar, yaitu mangkok putih yang dipukul sebagai pembawa tempo
utama.
(e) Selanjutnya dijelaskan tentang konsep media. Istilah ini lazim digunakan
dalam ilmu komunikasi. Yang dimaksud dengan media menurut George N. Gordon
dalam Encyclopaedia Britanica (2007), adalah sarana transmisi komunikasi antara
manusia dengan manusia, dengan makhluk, dengan alam, atau dengan Tuhan.
Komunikasi adalah the exchange of meanings between individuals through a
common system of symbols, artinya adalah pertukaran makna-makna antara individu
melalui sebuah sistem umum yang berbentuk simbol-simbol.
Dalam Wikipedia Indonesia (2007) pula dikonsepkan bahwa komunikasi
ialah sejenis proses pemindahan informasi melalui sistem simbol yang sama.
Komunikasi juga salah satu disiplin akademik. Definisi komunikasi ialah satu proses
perpindahan informasi, perasaan, ide, dan fikiran seseorang kepada individu atau
sekumpulan individu yang lain. Pada umumnnya, komunikasi dilakukan dengan
menggunakan media kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.
Apabila tidak ada media bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, maka
komunikasi masih bisa dilakukan dengan menggunakan media gerak-gerik badan
atau menunjukkan sikap tertentu. Misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, dan
mengangkat bahu. Cara menggunakan media seperti ini disebut komunikasi dengan
bahasa bukan lisan atau bahasa isyarat.
Manusia berkomunikasi untuk bertukar pengetahuan dan pengalaman.
Bentuk biasa media komunikasi manusia ialah percakapan, bahasa isyarat,
penulisan, sikap, dan broadcasting (aktivitas dalam dunia radio). Komunikasi bisa
35
berbentuk interaktif, transaktif, disengaja, atau tidak disengaja. Ia juga boleh jadi
lisan atau tanpa lisan. Melalui media komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau
sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain. Akan tetapi, komunikasi hanya
akan efektif apabila pesan yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh penerima
pesan tersebut.
Proses komunikasi dan penggunaan media secara ringkas adalah sebagai
berikut. (a) Komunikator (sender) yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan
orang lain mengirimkan suatu pesan kepada orang yang dimaksud. (b) Pesan yang
disampaikan itu boleh berupa informasi dalam bentuk bahasa ataupun melalui
simbol-simbol yang boleh dimengerti kedua pihak. (c) Pesan (message) itu
disampaikan atau dibawa melalui suatu media atau saluran, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Contohnya berbicara langsung melalui telefon, surat, e-
mail,6 atau media lainnya. (d) Komunikan (receiver) menerima pesan yang
disampaikan dan menerjemahkan isi pesan yang diterimanya ke dalam bahasa yang
dimengerti kedua belah pihak. (e) Komunikan memberikan umpan balik (feedback)
6Setelah ditemukannya teknologi komputer dan internet, maka manusia di dunia
sudah mulai mengirim surat sesama mereka melalui dunia maya ini. Pertama, seseorang membuka e-mail (electronic mail atau surat elektronik) dengan cara-cara tertentu, seperti mengetik nama dan kata kunci (password). Sesudah itu, ia dapat menulis surat elektronik dan mengirimkan kepada teman e-mailnya di seluruh dunia. Beberapa perusahaan internet dunia menyediakan ruang untuk pengguna e-mail, baik yang bebas biaya maupun yang meminta biaya. Di antara perusahaan itu adalah yahoo, msn, gmail, atau juga kini bermunculan berbagai instansi yang bisa membuat e-mail sendiri, misalnya Universitas Sumatera Utara yang memberikan ruang kepada segenap warganya untuk membuat e-mail, dengan kode ujung @usu.ac.id. Perkembangan di dunia maya ini, telah pula menyediakan perangkat-perangkat yang bisa membuat website atau blog web. Sehingga dengan mudah setiap pengguna internet bisa melihat situs-situs web di seluruh dunia, dengan menggunakan mesin pencari website seperti google, blink, dan lain-lain.
36
atau tanggapan atas pesan yang dikirimkan kepadanya, apakah dia mengerti atau
memahami pesan yang dimaksud oleh si pengirim.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud media adalah sarana untuk komunikasi
antara manusia dengan alam supernatural, dalam bentuk alat musik yang tergabung
ke dalam gendang telu sendalanen seperti sudah diuraikan di atas. Media ini menjadi
pendukung penting berjalannya upacara erpangir ku lau. Tanpa adanya alat-alat
musik ini biasanya tidak akan terjadi komunikasi antara pelaku upacara dengan
dunia gaib, berdasar pada kebudayaan Karo. Selain alat musik, maka media yang
menyertainya adalah suara-suara yang dihasilkan oleh alat-alat musik itu sendiri,
baik dalam bentuk ritem maupun melodi. Keduanya adalah media pendukung
komunikasi antara peserta upacara dengan dunia alam gaib.
(f) Selanjutnya dijelaskan secara umum tentang konsep upacara erpangir ku
lau. Erpangir ku lau merupakan salah satu bagian dari sistem religi, pada etnik Karo
yaitu kegiatan erlangir atau keramas ke sungai. Pada zaman dahulu kala, orang Karo
melakukan pesta erpangir ku lau (berpangir) untuk hajatan, antara lain: (1) Sukut
yaitu berencana agar jumpa rejeki (keberuntungan), (2) karena baru terlepas dari
mara bahaya, misalnya ada yang baru sembuh dari penyakit tertentu, (3)
mengukuhkan prestise sosial, yaitu mengakui kedudukan seseorang di tengah-tengah
keluarga (sangkep geluh), (4) agar orang lain melihat keluarganya banyak (Ginting,
1999:38). Untuk maksud dari tujuan-tujuan tersebut, kemudian ditanyalah guru
Sibaso si meteh wari telu puluh (yaitu, guru yang tahu membaca hari baik dan
buruk). Bila sudah didapat hari yang baik, semua keluarga diundang karena pesta
erpangir ku lau adalah termasuk pesta besar di masyarakat masyarakat Karo. Jadi
37
erpangir kulau adalah suatu upacara religi berdasarkan kepercayaan tradisional yang
masih dilakukan di Karo yaitu oleh penganut Pemena, dimana sesorang/keluarga
tertentu melakukan upacara berlangir dengan atau tanpa bantuan dari guru, dengan
maksud tertentu. (Selanjutnya lebih detil lihat pada deskripsi upacara erpangir ku
lau di Bab III tesis ini)
1.5.2 Teori
Landasan teori adalah suatu upaya yang dilakukan peneliti untuk
menerangkan, menggambarkan, dan menganalisis suatu fenomena tertentu atau
suatu pemikiran untuk menerangkan bagaimana suatu peristiwa terjadi. Teori
merupakan seperangkat pernyataan atau proposisi yang berhubungan secara logis,
yang menerangkan fenomena tertentu (Lauer, 2001:35). Dalam kaitannya dengan
fokus penelitian ini yaitu, analisis peran keteng-keteng dalam konteks ansambel
gendang telu sendalanen sebagai media dalam upacara erpangir ku lau, dengan
demikian untuk menguraikan topik ini dibutuhkan landasan teori yang tepat, sesuai
dengan fenomena yang diamati. Beberapa teori yang digunakan dalam kerangka
penelitian ini diuraikan sebagai berikut.
1.5.2.1 Teori Fungsionalisme
Untuk menganalisis peran keteng-keteng dalam ensambel gendang telu
sendalanen dalam konteks upacara erpangir ku lau digunakan teori fungsionalisme.
Teori ini akan mengurai peran musical, dan yang lebih jauh lagi guna dan fungsi
sosiobudayanya dalam kebudayaan Karo.
38
Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang
masuk dalam kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999), ciri
utama teori ini adalah adanya kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara
nyata struktur yang berada di luar diri pengamat. Fungsionalisme struktural atau
lebih populer dengan struktural fungsional merupakan hasil pengaruh yang sangat
kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari
ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara
mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Pendekatan strukturalisme yang
berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut
pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau “analisis
sistem” pada prinsipnya berkisar pada beberapa konsep. Namun yang paling penting
adalah konsep fungsi dan konsep struktur.
Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia,
menunjukkan kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan
hidupnya. Dilihat dari tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan
mempunyai fungsi. Secara kualitatif, fungsi dilihat dari segi kegunaan dan manfaat
seseorang, kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu. Fungsi juga menunjuk pada
proses yang sedang atau yang akan berlangsung, yaitu menunjukkan pada benda
tertentu yang merupakan elemen atau bagian dari proses tersebut, sehingga terdapat
perkataan ”masih berfungsi” atau ”tidak berfungsi.” Fungsi tergantung pada
predikatnya, misalnya pada fungsi mobil, fungsi rumah, fungsi organ tubuh, dan
lain-lain--termasuk fungsi komunikasi politik yang digunakan oleh suatu partai
politik. Secara kuantitatif, fungsi dapat menghasilkan sejumlah kondisi sosial
39
tertentu, sesuai dengan target, proyeksi, atau program yang telah ditentukan oleh
partai politik.
Fungsi sebagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia dengan harapan dapat
tercapai apa yang diinginkan (Michael J. Jucius dalam Soesanto, 1974:57). Michael
J. Jucius dalam hal ini lebih menitikberatkan pada aktivitas manusia dalam mencapai
tujuan. Berbeda dengan Viktor A. Thomson dalam batasan yang lebih lengkap, tidak
hanya memperhatikan pada kegiatannya saja tapi juga memperhatikan terhadap nilai
(value) dan menghargai nilai serta memeliharanya dan meningkatkan nilai tersebut.
Berbicara masalah nilai sebagaimana dimaksud oleh Viktor, nilai yang ditujukan
kepada manusia dalam melaksanakan fungsi dan aktivitas dalam berbagai bentuk
persekutuan hidupnya. Sedangkan benda-benda lain melaksanakan fungsi dan
aktivitas hanya sebagai alat pembantu bagi manusia dalam melaksanakan fungsinya
tersebut. Demikian pula fungsi komunikasi dan fungsi politik, fungsi dapat kita lihat
sebagai upaya manusia. Hal ini disebabkan karena, baik komunikasi maupun politik,
keduanya merupakan usaha manusia dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya.
Sedangkan fungsi yang didefenisikan oleh Oran Young sebagai hasil yang
dituju dari suatu pola tindakan yang diarahkan bagi kepentingan (dalam hal ini
sistem sosial atau sistem politik). Jika fungsi menurut Robert K. Merton merupakan
akibat yang tampak yang ditujukan bagi kepentingan adaptasi dan penyetelan
(adjustments) dari suatu sistem tertentu, maka struktur menurut S.P. Varma
menunjuk kepada susunan-susunan dalam sistem yang melakukan fungsi-fungsi.
Struktur dalam sistem politik adalah semua aktor (institusi atau person) yang terlibat
40
dalam proses-proses politik. Partai politik, media massa, kelompok kepentingan
(interest group), dan aktor termasuk ke dalam infrastruktur politik, sementara
lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif termasuk ke dalam supra struktur politik.
Dengan demikian pengertian antara fungsi dan peran dapat dibedakan.
Fungsi menunjuk pada kegunaan, sedangkan peran menunjuk pada bagian yang
dimainkan dalam sebuah sistem. Kendati memiliki perbedaan, namun antara fungsi
dan peran merupakan sebuah kesatuan dalam pemahaman bahwa peran merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi. Selanjutnya peranan dapat merupakan
fungsi dari satu variabel ke variabel lainnya dalam satu kesatuan. Artinya setiap
variabel dalam kesatuan itu memiliki peranan tertentu. Peranan (role) adalah: (1)
fungsi individu atau peranannya dalam satu kelompok atau institusi, (2) fungsi atau
tingkah laku yang diharapkan ada pada individu, atau yang menjadi ciri/sifat dari
dirinya, (3) fungsi sembarang variabel dalam satu kaitan sebab akibat (Chaplin
(1989:439).
Peranan merupakan fungsi dari sebuah variabel dalam satu kesatuan sistem
yang dapat memberi dampak atau pengaruh kepada variabel lainnya dalam sebuah
sistem. Misalnya, jika dalam pelaksanaan pelaksanaan upacara keagamaan, dalam
hal ini pada upacara tertentu dalam etnik Karo misalnya pada upacara erpangir ku
lau, maka gendang telu sendalanen atau gendang lima sendalanen sebagai
perangkat alat musik tradisional etnik Karo wajib disertakan sebagai salah satu
media dalam pelaksanaan upacara tersebut. Dalam hal ini ensambel gendang telu
sendalanen atau gendang lima sendalanen merupakan salah satu indikator yang
memiliki peranan kepada indikator lainnya dalam pelaksanaan upacara erpangir ku
41
lau,. Bunyi dari ragam instrumen musik dalam setiap komposisi musik yang
dimainkan dalam pelaksanaan upacara keagamaan tersebut, diyakini memiliki fungsi
dan peran.
Mengacu pada pendapat tersebut, secara rinci dalam sisi pandang musiko-
antropologis, bahwa fungsi musik dalam sebuah masyarakat berkenaan dengan
berbagai kebutuhan. Di antaranya: (a) sebagai wahana ekspresi emosional, (b)
sebagai kenikmatan estetik, (c) sebagai hiburan pada berbagai tingkat masyarakat
(d) sebagai fungsi komunikasi, (e) sebagai referensi simbolis (f) sebagai alat respon
fisikal, (g) sebagai penguat konformitas norma sosial, (h) sebagai kontribusi untuk
kontinuitas dan stabilitas kultural, dan (i) sebagai penopang integrasi sosial.
Keragaman fungsi di atas, selain akan berkaitan dengan problematika
teknik artistik musik yang berupa elemen melodi, ritem, timber, harmoni, tekstur,
juga akan dihadapkan lagi pada pluralitas etnik dari berbagai aspek budaya lainnya.
Sudah tentu akan terimbas pada tekstual dan hal-hal linguistik. Sehingga dapat kita
telusuri, betapa rumitnya kajian etnomusikologis dan interdisiplin musik yang
keseluruhannya bermuara pada upaya melihat esensi fenomena musikal dan
kaitannya dengan dinamika kehidupan manusia, baik secara personal maupun
sebagai elemen komunal sebuah masyarakat (Merriam dalam Pasaribu 2004).
Dalam konteks fungsi musik sebagai kenikmatan estetik adalah bagaimana
etnik Karo menempatkan dirinya ketika berada dalam suatu suasana seremonial atau
pada upacara adat yang menyertakan musik tradisional. Menari sebagai bagian dari
ritual adat atau keagamaan tidak hanya dipandang sebagai suatu aturan atau
kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun, namun dalam pelaksanaan aktivitas
42
menari harus menggambarkan nilai-nilai keindahan (estetika). Nilai-nilai estetika
tersebut tidak hanya dapat dirasakan oleh kelompok yang sedang melaksanakan
tarian, tetapi juga harus dapat dirasakan oleh partisipan lainnya yang pada saat itu
tidak turut menari.
Sikap serius dalam pelaksanaan tari sangat berhubungan dengan
penghayatan estetis si penari terhadap ensambel musik tradisional yang mengiringi
tarian tersebut. Hubungan komposisi musik yang dibawakan oleh ragam alat musik
dalam mengiringi tarian dan gerakan-gerakan tari yang dilakukan akan
menampilkan nilai-nilai estetik baik bagi penari, maupun bagi partisipan lainnya
dalam pelaksanan ritual adat.
Fungsi musik musik tradisional sebagai komunikasi dapat dilihat ketika
ensambel musik tradisional mulai dimainkan dalam sebuah upacara baik yang
bersifat religi, maupun pada upacata adat. Dalam hal ini seluruh partisipan
(pendukung upacara) dapat mengetahui bahwa upacara adat telah dimulai. Dengan
demikian fungsi musik tradisional sebagai alat komunikasi jelas dipahami oleh
seluruh pendukung upacara.
Fungsi musik tradisional sebagai pengintegrasian masyarakat adalah
bahwa musik berperan sebagai wadah atau sarana untuk berkumpul bagi
masyarakatnya. Dalam hal ini pihak sukut dengan seluruh unsur kekerabatannya
untuk berkumpul, serta berinteraksi, dan semakin lama terjadi dalam upacara adat.
Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh
seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw
Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putra keluarga
43
bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam Ilmu Sastra Slavik. Jadi
tidak mengherankan apabila Malinowski memproleh pendidikan yang kelak
memberikannnya suatu karier akademik juga. Tahun 1908 ia lulus Fakultas Ilmu
Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar
membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi
tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W.
Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).
Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis
fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme
kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan
untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia menjadi guru besar Antropologi di
University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu ia juga meninggal dunia. Buku
mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H.
Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944).
Malinowski (T.O. Ihromi 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang
dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur
kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. Dengan kata
lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap
pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang
merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa
fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut Malinowski,
fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa
kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu
44
kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah
seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily
comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari
kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan
kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan
sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan.
Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode geografi berintegrasi
secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-
metode penelitian lapangan dalam masa penulisannya ketiga buku etnografi
mengenai kebudayaan Trobriand selanjutnya, menyebabkan bahwa konsepnya
mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial
menjadi mantap juga. Dalam hal itu ia membedakan antara fungsi sosial dalam tiga
tingkat abstraksi (Koentjaraningrat, 1987:167), yaitu:
1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat
abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap adat, tingkah laku
manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;
2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat
abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan suatu
adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan
oleh warga masyarakat yang bersangkutan;
3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat
abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan mutlak
untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
45
Contohnya unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan
menimbulkan kebutuhuan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerja sama dalam
pengumpulan makanan atau untuk produksi; untuk ini masyarakat mengadakan
bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang manjamin
kelangsungan kewajiban kerja sama tersebut di atas. Jadi menurut pandangan
Malinowski tentang kebudayaan, bahwa semua unsur kebudayaan akhirnya dapat
dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat.
Seperti Malinowski, Arthur Reginald Radcliffe-Brown (1881-1955),
seorang ahli lain dalam antropologi sosial berdasarkan teorinya mengenai prilaku
manusia pada konsep fungsionalisme. Tetapi berlainan dengan Malinowski,
Radcliffe-Brown (Ihromi, 2006), mengatakan, bahwa berbagai aspek perilaku sosial,
bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul
untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu
masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.
Radcliffe-Brown (Koentjaraningrat, 1987:175) hanya membuat deskripsi
mengenai organisasi sosial secara umum, tidak mendetail, dan agak banyak
membuat bahan mengenai upacara keagamaan, keyakinan keagamaan, dan mitologi.
Dalam mendekripsi etnografi The Andaman Islander, itu merupakan contoh lain dari
suatu deskripsi terintegrasi secara fungsional, di mana berbagai upacara agama
dikaitkan dengan mitologi atau dongeng-dongeng suci yang bersangkutan, dan di
mana pengaruh dan efeknya terhadap struktur hubungan antara warga dalam suatu
komunitas desa Andaman yang kecil, menjadi tampak jelas.
46
Metodologi deskripsi tersebut dengan sengaja dan sadar dipergunakannya,
dan dapat dirumuskan mengenai upacara (Koentjaraningrat, 1987), sebagai berikut:
1. Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu sentimen
dalam jiwa para warganya yang merangsang mereka untuk berprilaku sosial
dengan kebutuhan masyarakat;
2. Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian
mempunyai efek pada solidaritas masyarakat, menjadi pokok orientasi dari
sentimen tersebut;
3. Sentimen itu dalam pikiran individu dalam pikiran individu warga masyarakat
sebagai akibat pengaruh hidup masyarakat;
4. Adat-istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat
diekspresikan secara kolektif dan berulang-ulang pada saat-saat tertentu;
5. Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas-intensitas itu dalam jiwa
warga masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga-warga dalam
generasi berikutnya (1922:233-234).
Radcliffe-Brown kemudian menyarankan untuk memakai istilah “fungsi
sosial” untuk menyatakan efek dari suatu keyakinan, adat, atau pranata, kepada
soladaritas sosial dalam masyarakat itu, dan ia merumuskan bahwa: “… the social
function of the ceremonial customs of the Andaman Islanders is to transmit from
one generation to another the emotional dispositions on which the society (as it
constituted) depends for its existence.”
Radcliffe-Brown juga memiliki teori yang sama dengan Malinowski yaitu
teori fungsionalisme. Menurut beliau lebih menekankan teori fungsional struktural,
47
ia mengatakan, “… bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang
untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahakan
struktur sosial masyarakat dan struktur sosial masyarakat adalah seluruh jaringan
dari hubungan-hubungan sosial yang ada.”
Jadi, menurut penulis, kedua teori fungsional ini memfokuskan fungsi-fungsi
sosial budaya pada apa penyebabnya. Bagi Malinowski penyebab fungsi itu adalah
pada kebutuhan dasar manusia sebagai individu-individu. Sementara menurut
Radcliffe-Brown fungsi itu muncul untuk memenuhi sistem sosial yang telah
dibangun berdasarkan kesepakatan bersama.
Dalam konteks penelitian ini keteng-keteng dalam kebudayaan masyarakat
Karo jika dianalisis dari teori fungsionalnya Malinowski bahwa setiap individu
orang Karo perlu mengekspresikan perasaan keindahannya melalui seni gendang.
Jadi faktor individulah yang paling dominan menurut teori fungsionalnya
Malinowski ini. Kalau menurut teori fungsionalismenya Radcliffe-Brown maka
semua aktivitas budaya yang melibatkan penggunaan keteng-keteng adalah karena
memenuhi sistem-sistem sosial yang dikendalikan secara bersama oleh masyarakat
Karo. Jadi menurut teori fungsionalisme Radcliffe-Brown, keteng-keteng timbul
karena kebutuhan masyarakat secara bersama, bukan karena individu.
1.5.3 Teori Ritual
Untuk mendeskripsikan jalannya upacara erpangir ku lau di tempat
penelitian, penulis menggunkan teori ritual. Ritual merupakan salah satu ciri agama
yang berpadu dengan doa, nyanyian, tari-tarian, saji-sajian, dan kurban yang
48
diusahakan oleh manusia untuk memanipulasi mahluk dan dan kekuatan
supernatural untuk kepentingan sendiri. Makhluk dan kekuatan supernatural tersebut
dapat terdiri atas dewa-dewa dan dewi-dewi, arwah leluhur, dan roh-roh lain.
Praktek ritual yang paling mempesona adalah penerapan kepercayaan bahwa
kekuatan supernatural dapat dipaksa untuk aktif dengan cara tertentu, baik untuk
tujuan yang baik maupun yang jahat, dengan menggunakan rumusan-rumusan
tertentu Banyak masyarakat yang mengenal ritual magi untuk menjamin panen yang
baik, untuk mendapatkan binatang buruan, kesuburan binatang piaraan, dan untuk
menghindarkan atau menyembuhkan penyakit pada manusia (Haviland, 1985:210).
Untuk memahami makna ritual dekurang-kurangnya memahami dua
makna religi. Pertama, religi adalah agama yang berdasarkan wahyu Tuhan karena
itu, religi tidak bisa dijangkau oleh daya pikir manusia. Religi dalam pengertian
kedua tersebut telah menarik perhatian peneliti budaya, karena di dalamnya sering
terdapat muatan budaya yang unik. Karena itu, peneliti dapat menerima pemahaman
Ball (1988:35) tentang religi, ada dua paham: pertama religi sebagai bagian hidup
kesusilaan manusia dan memiliki nilai susila yang tinggi. Gagasan termaksud telah
diuraikan secara filosofi oleh Kant. Kedua, religi sebagai tergolong dalam alam
hidup manusia. Religi kedua ini menghendaki tiga kebenaran utama, yaitu: percaya
bahwa Tuhan ada, percaya kepada hukum kesusilaan alamiah, dan pada roh yang
abadi. Dari dua konsep religi semacam ini, pada kenyataannya pengertian kedua
yang menarik perhatian peneliti budaya. Apalagi, kalau religi kedua tersebut telah
bercampuraduk (sinkretis) dengan kepercayaan, akan semakin menarik perhatian.
Dalam pengertian religi demikian, terkait pula istilah mitos. Dalam kaitan ini, E.B.
49
Taylor dalam buku Primitive Culture telah memaparkan lebih jauh, terutama tentang
kepercayaan masyarakat pada roh dan dewa. Kepercayaan tersebut dinamakan
animisme atau spiritisme.
Animisme percaya pada dua macam roh, yaitu roh manusia atau pun
binatang dan roh bukan manusia dan binatang. Taylor juga mengetengahkan dua
doktrin animisme, yaitu: “corcerning souls of individual creature, capable
continued existence after the death or the destruction of the body; the second
corcening other spirits upward to rank of powerful deities” (Ball, 1988:89). Dari
dua dogma ini terlihat bahwa kepercayaan manusia terhadap soul dan spirit menjadi
perhatian peneliti budaya. Keduanya memiliki pengaruh dan kekuatan tertentu bagi
hidup manusia, terutama menguasai hidup manusia sesudah mati. Yang menarik dari
penelitian budaya terhadap roh manusia, ternyata dapat merasuk kepada manusia
lain. Roh tersebut ada yang mau membantu hidup manusia dan ada juga
mengganggu hidup manusia. Roh yang menyusup ke manusia lain dapat
menyebabkan manusia kesurupan. Bahkan, roh tersebut juga dapat merasuk ke
dalam benda-benda tertentu. Roh yang masuk ke sebuah benda akan menyebabkan
kesaktian atau kesakralan benda tersebut. Dengan demikian, animisme dapat
diartikan sebagai kepercayaan manusia kepada roh leluhur. Kepercayaan itu,
esensinya juga ke arah Tuhan. Bentuk kepercayaan tersebut, menurut Taylor dapat
terejawantahkan ke dalam doa spiritual dan korban. Korban merupakan bagian
penghormatan (hadiah) kepada roh agar mau membantu hidup manusia. Korban
merupakan perantara keinginan manusia. Atas dasar itu, persoalan religi menjadi
menarik perhatian beberapa ahli seperti Firth dan Evans-Pritchard. Titik fokus
50
perhatian ahli budaya religi juga berpusar pada eksistensi Tuhan. Tuhan adalah pusat
dari aktivitas ritual manusia. Manusia bersikap kreatif dalam “mencari” Tuhan, yang
terpantul pada budaya asli, yaitu hasil kreativitas manusia karena sedikit ada
kegoncangan batin. Batin manusia tergoda tentang persoalan alam semesta dan
Tuhan.
Religi asli (Evans-Pritchard, 1984) dinamakan juga agama primitif
sesungguhnya akan menjadi obyek penelitian budaya yang menarik. Evans telah
mencoba mengembangkan pandangan Taylor tentang studi religi melalui aspek
sosial dan psikologis. Studi sosiologis dikembangkan dari pandangan Durkheim dan
studi psikologis dari pandangan Levi-Bruhl. Kedua saling lengkap-melengkapi
dalam meneliti budaya religi. Termasuk dalam kajian dia adalah masalah takhayul
dan berbagai kekuatan supernatural dalam masyarakat tertentu.
Orientasi penelitian religi dapat dipusatkan pada tigal hal, yaitu: (1)
berhubungan dengan keyakinan religi atau emosi keagamaan, (2) berhubungan
dengan sikap manusia terhadap alam gaib, (3) berhubungan dengan upacara religi
(Kcentjaraningrat, 1990:58). Ketiga hal ini selalu terkait satu sama lain karena
terpengaruh oleh kebudayaan yang bersangkutan. Kendati demikian, seorang
peneliti dapat menitik beratkan pada salah satu orientasi untuk mempertajam
kajiannya, dan pada suatu saat juga dapat mengaitkan ketiganya. Yang penting,
peneliti mampu mengurai penelitiannya dengan mencocokkan pada teoriteori religi
masa lalu. Kemungkinan besar, teori religi masa lalu telah atau kurang relevan
dengan religi masa kini, jelas diperlukan penyesuaian.
51
Arah dari penelitian religi adalah pada sistem religi yang menjadi salah
satu unsur kebudayaan. Sistem religi ini muncul dari sebuah emosi religi, yaitu
getaran spiritual atau batin manusia. Emosi ini akan mendorong semua tindakan
budaya spiritual yang kadangkadang bersifat sakral. Emosi ini akan terkait dengan
sistem keyakinan, seperti kepercayaan pada roh halus, roh leluhur, dewan dan
sebagainya. Di samping itu, emosi juga akan berhubungan dengan ritual religi yang
menyangkut tempat, waktu, dan benda-benda tradisi. Unnsur-unsur ritual religi juga
sangat banyak yang perlu mendapat perhatian, antara lain sesaji, doa-doa, mantra,
nyanyian, laku, semadi, dan sebagainya.
Beberapa peneliti religi yang mulai tertarik dengan aspek-aspek kultural,
antara lain Geertz, Hefner, Stange, dan Beatty. Para peneliti yang berbasis
antropologi ini, tertarik pada religi Jawa yang mereka sebut agama Jawa, yakni,
suatu keyakinan yang telah timbun-menimbun dengan keyakinan lain, sehingga
terjadi sinkretisme yang luar biasa. Akibat sinkretis inilah tampaknya yang membuat
peneliti budaya religi semakin tertarik. Karena, dalam agama Jawa tersebut secara
langsung maupun tidak, telah berbaur dengan aspek-aspek kultural. Bahkan, agama
Jawa juga sering berbaur dengan hegemoni kekuasaan pada masanya.
Paham sinkretis di atas, di Jawa telah larut halus ke dalam berbagai aliran
kebatinan. Aliran-aliran ini biasanya memanfaatkan ajaran leluhur dan kekuatan
superinderawi untuk berhubungan dengan Tuhan. Dari berbagai aliran seperti Sapta
Darma, Sadu Budi, Darmagandhul, dan sebagainya telah melahirkan berbagai cara
berhubungan dengan Tuhan.
52
Teori religi awal, perlu menjadi acuan peneliti budaya yaitu tentang
keyakinan terhadap dewa tertinggi. Dalam temuan Andre Lang, dewa tersebut
memiliki peranan dalam hidup manusia, yaitu sebagai penjaga ketertiban alam dan
kesusilaan. Keyakinan semacam ini muncul, terutama pada masyarakat yang masih
rendah tingkat budayanya. Keyakinan demikian dalam pandangan Tylor dan Fraser
(Pals, 2001:40) sebagai “kepercayaan kepada makhluk spiritual”. Makhluk spiritual
tersebut, menurut dia dapat berupa roh yang memiliki kekuatan. Hal ini pada
gilirannya sering dinamakan animisme, yang berasal dari bahasa Latin anima artinya
roh. Keyakinan kepada roh sebenarnya merupakan bentuk religi yang cukup tua.
Keyakinan demikian tidak berarti menyembah kepada kekuatan bendawi, melainkan
kepada anima. Anima, bagi orang primitif memiliki makna khusus.
Selanjutnya, teori religi tentang dewa tersebut berkembang menjadi
kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang disebut mana. Mana adalah pancaran roh
dan dewa kepada manusia yang selalu berhasil dalam pekerjaannya. Konsep mana
ini, kemungkinan selaras dengan konteks wahyu atau pulung dalam kebudayaan
Jawa. Dalam pandangan Kruyt, mana tidak jauh beda dengan zielestof, yaitu zat
halus yang memberi kekuatan hidup manusia dan alam semesta. Implikaksi dari zat
ini dapat merasuk ke dalam diri manusia dan makhluk lain sehingga memiliki
kekuatan tertentu. Di samping zielestof, di sekittar manusia juga dipercaya bahwa
ada kekuatan makhluk halus yang disebut spirit. Makhluk ini akan menempati
sekeliling manusia, menjadi penjaga bangunan, pohon, benda, dan sebagainya. Hal
ini akan menyebabkan tempat-tempat tertentu menjadi keramat. Itulah sebabnya,
manusia sering melakukan ritual religi atau tradisi untuk menegosiasi agar kekuatan
53
halus tadi tidak mengganggu hidupnya. Ritual termaksud yang dikenal dengan
sebutan selamatan.
Di Indonesia, penelitian religi telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan
budaya. Fischer (1960) telah mencoba melihat beberapa kajian religi rakyat yang
setaraf dengan mitos. Di beberapa wilayah Indonesia, seperti Ambon, Bali, Lombok,
Flores dan lain-lain religi rakyat masih dipercaya penuh. Karena itu, di lokasi
tersebut masih berkembang keyakinan pada dukun dan pawang dalam segala
aktivitas hidup. Bahkan, di tempat tersebut banyak berkembang ihwal religiomagis.
Hal ini berkembang lagi menjadi sebuah kepercayaan animisme dan dinamisme
yang semakin subur. Tradisi ritual tersebut kadang-kadang memang kurang masuk
akal. Namun demikian, bagi pendukung budaya yang bersangkutan yang
dipentingkan adalah sikap dasar spiritual yang berbau emosi religi, bukan logika.
Karena itu, dalam tradisi ritual biasanya terdapat selamatan berupa sesaji sebagai
bentuk persembahan atau pengorbanan kepada zat halus tadi yang kadang-kadang
sulit diterima nalar. Hal ini semua sebagai perwujudan bakti makhluk kepada
kekuatan supernatural.
Pada saat manusia menghidangkan sesaji, menurut Robertson Smith
(Koentjaraningrat, 1990:68) memiliki fungsi sebagai aktivitas untuk mendorong rasa
solidaritas dengan para dewa. Dewa dianggap sebagai komunitas istimewa. Hal juga
ditegaskan oleh Preusz bahwa pusat dari religi dan kepercayaan adalah ritus atau
upacara. Menurutnya, upacara religi akan bersifat kosong, tak bermakna, apabila
tingkah laku manusia di dalamnya didasarkan pada akal rasional dan logika, tetapi
secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal yang mendorongnya untuk
54
berbakti kepada kekuatan tertinggi yang menurutnya tampak konkret di sekitarnya,
dalam keteraturan dari alam, serta proses pergantian musim, dan kedahsyatan alam
dalam hubungannya dengan masalah hidup dan maut.
Menurut Geertz (2001:395-410) bahwa kajian budaya, bukanlah “sebuah
sains eksperimental yang mencari suatu kaidah, tetapi sebuah sains interpretatif yang
mencari makna”. Makna harus dicari dalam fenomena budaya. Keyakinan terhadap
makna ini, didasarkan pada kondisi hidup manusia, yang menurut Parsons dan
Weber selalu berada pada tiga tingkatan: (1) kepribadian individual, yang dibentuk
dan diatur oleh, (2) suatu sistem sosial, yang pada akhirnya dibentuk dan dikontrol
oleh, (3) suatu “sistem budaya” yang terpisah. Tingkatan (3) ini yang merupakan
jaringan kompleks dari simbol, nilai, dan kepercayaan, berinteraksi dengan individu
dan masyarakat. Menurut Stewart (Beatty, 1999:4) dalam membahas religi, perlu
membicarakan keterkaitan antara keberagaman tradisi, kemajemukan, dan perbedaan
budaya. Jika di dalamnya terdapat sinkretisme, maka yang terjadi adalah sebuah
proses dinamik dan berulang, suatu faktor yang konstan dalam reproduksi
kebudayaan, dan bukan hasil yang statis. Dengan demikian sinkretisme merupakan
konsep yang mengarah pada “isu akomodasi, kontes, kelayakan, indigenisasi, dan
wadah bagi proses antar budaya yang dinamik”.
Dengan demikian dalam kajian budaya religi, peneliti akan memahami
religi bukan semata-mata agama, melainkan sebagai fenomena kultural yang
berkembang dalam masyarakat tertentu. Religi adalah wajah kultural suatu bangsa
yang unik dan eksotik. Religi adalah dasar keyakinan, sehingga aspek kulturalnya
sering mengapung di atasnya. Hal ini merepresentasikan bahwa religi adalah
55
fenomena budaya universal. Religi adalah bagian budaya yang bersifat khas. Budaya
dan religi memang sering berbeda dalam praktek dan penerapan keyakinan. Namun
demikian keduanya sering banyak titik temu yang menarik diperbincangkan.
Dalam pandangan Geertz (2000:170) religi adalah sebuah pengalaman unik
yang bermakna, memuat identitas diri, dan kekuatan tertentu. Sebagai sebuah
pengalaman, tentu saja religi tak akan lebih dari subyektivitas pelakunya. Dengan
kata lain, religi akan berhubungan dengan rasa, tindakan, dan pengalaman nyata
yang berbedabeda satu dengan yang lain. Setiap orang memiliki perasaan dan
pengalaman yang berbeda dalam menjalankan religi masing-masing. Bahkan, dalam
perkembangan selanjutnya religi sering dipengaruhi oleh hal ihwal di luar dirinya.
Aktivitas politik, modernisasi, gender, dan perubahan dunia amat berpengaruh
terhadap fenomena religi. Itulah sebabnya, kajian religi boleh sangat luas dan
melebar sesuai keperluan.
Dari sekian banyak ritual yang melingkupi hidup manusia, tampaknya adat
istiadat yang berhubungan dengan upacara daur hidup dan upacara kemasyarakatan
yang paling banyak diungkap. Khusus ritual yang berhubungan daur hidup, biasanya
hanya tradisi tertentu dan pada kalangan tertentu saja yang telah tersentuh. Begitu
pula ritual kemasyarakatan, biasanya hanya dipilih tradisi yang telah “populer” di
hati masyarakat. Padahal, sesungguhnya ada ritual-ritual kecil yang sering
terlupakan dan di dalamnya memuat keunikankeunikan tersendiri.
Penelitian ritual yang ada sekarang biasanya cenderung ke arah deskripsi
tatacara ritual dengan sekedar penafsiran. Penelitian semacam ini lebih banyak
mengidentifikasi ritual, dengan tujuan untuk pelestarian. Kiblat penelitian ritual, di
56
Indonesia atau khususnya di Jawa hampir tidak bisa lepas dengan kajian Geertz
(1989) tentang ritual abangan, santri, dan priyayi. Varian struktur masyarakat demi-
kian sedikit banyak telah mengilhami peneliti ritual pada umumnya. Hal semacam
ini pun sebenarnya tidak keliru, karena memang penelitian ritual (di Jawa) yang
Memang jauh sebelum itu, telah ada buku ritual yang dihimpun dari
pengalaman turun-temurun ke dalam Primbon. Buku ini merupakan “kitab” khusus
mereka yang menyelenggarakan ritual. Di samping Primbon, juga telah muncul
Serat Tatacara oleh Ki Padmasusastra, yang di dalamnya memuat ritual di Jawa.
Selanjutnya buku tersebut sedikit dikembangkan lagi ke dalam Adat Istiadat Jawa
oleh Marbangun Hardjowirogo. Buku tersebut lebih banyak sebagai petunjuk praktis
ritual, yang tentu saja belum mampu mewadahi ritual yang telah berkembang sampai
dewasa ini. Itulah sebabnya, memang menarik untuk meneliti ritual dari waktu ke
waktu, sehingga ditemukan keistimewaan ritual bagi pendukungnya.
Meneliti ritual memang memiliki keasyikan tersendiri. Apalagi, kalau si
peneliti mampu masuk di dalamnya untuk berperan serta, tentu akan lebih nikmat.
Jadi, di samping memenuhi standar ilmiah peneliti ritual juga memperoleh kepuasan
batin yang tidak pernah ditemukan sebelumnya. Fokus terpenting dari penelitian
ritual biasanya tidak akan lepas dari proses selamatan yang dilakukan oleh
pendukungnya. Apalagi,pada masyarakat tradisional, selamatan menjadi fenomena
yang istimewa sekaligus memuat makna dalam jika diteliti. Perkembangan
selanjutnya, penelitian ritual telah ke arah interdisipliner. Yakni, penelitian ritual
dalam kaitannya dengan aneka cabang budaya yang lain. Misalkan saja, penelitian
57
ritual dihubungkan dengan aspek wisata, sehingga menjadi sebuah aspek penelitian
wisata ritual atau wisata budaya.
Cabang penelitian ritual sangat banyak, sehingga membuka kesempatan
peneliti masuk dalam wilayah tersebut. Misalkan saja, peneliti dapat memfokuskan
pada ritual selamatan (kenduri) dalam suatu komunitas tertentu. Upacara tradisi
yang berkaitan dengan selamatan dan atau kenduren dalam masyarakat Jawa pun
bermacammacam. Misalkan saja berhubungan dengan: (1) selamatan dalam rangka
daur, hidup, seperti kehamilan, kematian, kelahiran, (2) selamatan bertalian dengan
bersih desa, (3) selamatan berhubungan dengan . hari-hari besar (4) selamatan pada
saat-saat tertentu yang berhubungan dengan kejadian-kejadian seperti menempati
rumah baru, menolak bahaya (ngruwat), dan sebagainya. Dalam hal ini peneliti
dapat memfokuskan diri pada ritual-ritual yang bersifat mistis.
Dalam meneliti budaya seni pertunjukan ritual, perlu pula memperhatikan
pertunjukan sebagai “proses” atau “bagaimana” pertunjukan mewujud dalam ruang,
waktu, dan tempat, serta konteks sosial budaya pendukungnya. Di samping itu,
peneliti juga dapat memanfaatkan buku berjudul Ritual, Performance, Media (1998)
yang ditulis oleh beberapa ahli, antara lain di dalamnya terdapat petunjuk penelitian:
(a) teater sebagai refleksi tindakan magis, (b) ritual dalam kaitannya dengan ziarah,
(c) ritual yang berhubungan dengan pertunjukan, dan (d) dari ritual sakral ke ritual
sebagai komoditas wisata, dan sebagainya.
Ritual biasanya penuh dengan simbol-simbol. Kata simbol berasal dari kata
Yunani yaitu symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu
kepada seseorang. Manusia dalam hidupnya selalu berkaitan dengan simbol-simbol
58
yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Manusia adalah animal
symbolicum, artinya bahwa pemikiran dan tingkah laku simbolis merupakan ciri
yang betul-betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan kebudayaan manusia
mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu.
Manusia adalah makhluk budaya dan budaya manusia penuh dengan
simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan
simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti
pola-pola yang mendasarkan diri kepada simbol atau lambang. Teori yang cukup
representatif untuk meneliti simbol ritual antara lain The Ritual Process: Structur
and Anti-Structure (1966) dan The Forest of Symbol karya Victor Turner (1970).
Buku yang sebagian besar memuat ritual komunitas.
Ndembu ini merupakan salah satu gambaran bagaimana mengkaji ritual
secara mendalam. Kedalaman kajian ritual tidak hanya terbatas pada aspek proses
ritual saja, melainkan sampai pada makna simbolik ritual tersebut. Kedua buku
tersebut telah memberikan arah bagaimana peneliti ritual melakukan pengkajian
mendalam terhadap sebuah fenomena budaya.
Turner (1982:19) menyatakan bahwa “The symbol is the smallest unit of
ritual which still retains the specific properties of ritual behavior. It is the ultimate
unit of specific structure in a ritual context”. Maksudnya, simbol adalah unit
(bagian) terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkah laku ritual yang
bersifat khusus. Simbol tersebut merupakan unit pokok dari struktur khusus dalam
konteks ritual. Itulah sebabnya, pada bagian lain Turner (1981:2) juga menyatakan
bahwa “the ritual is an agregation of symbols”. Senada dengan ini, Radcliffe-
59
Brown (1979:155-177) juga berpendapat jika tindakan ritual itu banyak
mengungkapkan simbol, berarti analisis ritual juga harus diarahkan pada simbol-
simbol ritual tersebut.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa simbol merupakan
bagian terkecil dari ritual yang menyimpan sesuatu makna dari tingkah laku atau
kegiatan dalam upacara ritual yang bersifat khas. Dengan demikian, bagian-bagian
terkecil ritual pun perlu mendapat perhatian peneliti, seperti sesaji-sesaji, mantra,
dan ubarampe lain. Oleh karena, menurut Spradley (1997:121) simbol adalah objek
atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Jadi simbol adalah suatu tanda
yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang telah mendapatkan
persetujuan umum dalam tingkah laku ritual.
Turner (Winangun, 1990:19) mengetengahkan ciri khas simbol, yaitu: (a)
multivokal, artinya simbol memiliki banyak arti, menunjuk pada banyak hal, pribadi,
dan atau fenomena. Hal ini menunjukkan betapa kaya makna simbol ritual, (b)
polarisasi simbol, karena simbol memiliki banyak arti sering ada arti simbol yang
bertentangan. (c) unifikasi, artinya memiliki arti terpisah. Turner (1967:9), juga
mensugestikan bahwa melalui analisis simbol ritual akan membantu menJelaskan
secara benar nilai yang ada dalam masyarakat dan akan menghilangkan keragu-
raguan tentang kebenaran sebuah penjelasan. Dalam menganalisis makna simbol
dalam aktivitas ritual, digunakan teori penafsiran yang dikemukakan Turner
(1967:50-51) sebagai berikut:
1. Exegetical meaning yaitu makna yang diperoleh dari informan warga setempat
tentang perilaku ritual yang diamati. Dalam hal ini, perlu dibedakan antara
60
informasi yang diberikan oleh informan awam dan pakar, antara interpretasi
esoterik dan eksoterik. Seorang peneliti juga harus tahu pasti apakah penjelasan
yang diberikan informan itu benar-benar representatif dan atau hanya penjelasan
dari pandangan pribadi yang unik;
2. Operational meaning yaitu makna yang diperoleh tidak terbatas pada perkataan
informan, melainkan dari tindakan yang dilakukan dalam ritual. Dalam hal ini
perlu diarahkan pada informasi pada tingkat masalah dinamika sosial. Pengamat
seharusnya tidak hanya mempertimbangkan simbol tetapi sampai pada
interpretasi struktur dan susunan masyarakat yang menjalankan ritual. Apakah
penampilan dan kualitas afektif informan seperti sikap agresif, sedih, menyesal,
mengejek, gembira, dan sebagainya langsung merujuk pada simbol ritual.
Bahkan peneliti juga harus sampai memperhatikan orang tertentu atau kelompok
yang kadang-kadang hadir atau tidak hadir dalam ritual. Apa dan mengapa pula
mereka itu mengabaikan kehadiran simbol.
3. Positional meaning yaitu makna yang diperoleh melalui interpretasi terhadap
simbol dalam hubungannya dengan simbol lain secara totalitas. Tingkatan
makna ini langsung dihubungkan pada pemilik simbol ritual. Dengan demikian,
makna suatu simbol ritual harus ditafsirkan ke dalam konteks simbol yang lain
dan pemiliknya. Dimensi penafsiran makna tersebut, sebenarnya saling lengkap-
melengkapi dalam proses pemaknaan simbol ritual. Jika nomer (1) mendasarkan
wawancara kepada informan setempat, nomor (2) lebih menekankan pada
tindakan ritual dalam kaitannya dengan struktur dan dinamika sosial, dan nomor
(3) mengarah pada hubungan konteks antar simbol dengan pemiliknya.
61
Ketiganya, tentu saja tepat digunakan bersama-sama untuk mengungkap
makna dan fungsi mistik Kejawen yang banyak menggunakan simbol-simbol ritual.
Untuk mengungkap makna dan fungsi ritual, peneliti dapat memanfaatkan teori
fungsionalisme dan teori fungsionalisme-struktural. Dalam kaitannya dengan ritual
daur hidup, menurut Turner (Winangun, 1990:21-23) ada dua klasifikasi ritual,
yaitu: Pertama, ritual krisis hidup, artinya ritus yang berhubungan dengan krisis
hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup, ketika dia
masuk masa peralihan. Pada masa ini, dia akan masuk dalam lingkup krisis karena
terjadi perubahan tahap hidup. Termasuk dalam lingkup ini antara lain kelahiran,
pubertas, dan kematian. Ritual ini disebut inisiasi. Termasuk di dalamnya, dalam
masyarakat Jawa ada mitoni, supitan, tetesan, dan sebagainya. Kedua, ritual
gangguan. Yakni, ritual sebagai negosiasi dengan roh agar tak mengganggu hidup
manusia. Ritual semacam ini, dalam masyarakat Jawa sering diwujudkan pada
tradisi selamatan atau kenduren. Misalkan saja, sadranan (ruwahan), memberi
sesaji berupa klacen pada sebuah sumur ketika seseorang mempunyai hajat, mena-
bur bunga pada makam leluhur dan sebagainya.
Melalui ritual di sebagaimana dikemukakan di atas, ternyata tradisi
tersebut memiliki fungsi penting bagi keberlangsungan hidup. Di antara fungsi ritual
yang patut dikemukakan yaitu: (1) ritual akan mampu mengintegrasikan dan
menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan
melampaui dan di atas individu dan kelompok. Berarti ritual menjadi alat pemersatu
atau integrasi; (2) ritual juga menjadi sarana pendukungnya untuk mengungkapkan
62
emosi, khususnya nafsu-nafsu negatif. (3) ritual akan mampu melepaskan tekanan-
tekanan sosial.
Aspek penting dalam kaitannya dengan fungsi ritual adalah liminalitas.
Liminalitas adalah keadaan dimana seorang individu mengalami keadaan ambigu.
Yakni, keadaan neither here nor there (tidak di sini dan juga tidak di sana). Berarti,
individu sedang masuk ke tahap betwixt (di tengah-tengah) dan between (antara).
Pengalaman liminal ini akan membuat seseorang sadar diri, sadar akan eksistensi-
nya. Pada tahap liminal itu, seorang individu yang tengah menjalani ritual inisiasi
misalnya, sedang melakukan refleksi diri. Mereka telah. atau sedang meninggalkan
masa tertentu tetapi juga sedang masuk masa tertentu.
Dalam pandangan Gennep (Winangun, 1990:33) ketika seseorang
memasuki masa peralihan (rites of passage), akan mengalami tiga proses, yaitu: (1)
ritus pemisahan, yaitu ketika seseorang meninggal dan dimakamkan. Orang tersebut
akan pisah dengan sanak keluarga, dan memasuki cara hidup yang lain; (2) ritus
peralihan, yaitu suatu pemindahan status dari tempat, umur tertentu ke status lain,
misalkan kehamilan, supitan, tetesan dan sebagainya; (3) ritus inkorporasi, yaitu
ritus yang menyatukan, misalkan hubungan pernikahan. Pernikahan adalah
menyatukan dua keluarga.
1.5.4 Teori Semiotika
Untuk mengkaji makna simbol dan berbagai bentuk benda atau tatacara
yang ada dalam pelaksanaan erpangir ku lau, penulis menggunakan teori semiotika.
Menurut Encyclopedia Brittanica (2007), semiotika atau semiologi adalah kajian
63
terhadap tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang digunakan dalam prilaku
manusia. Sejalan dengan pemahaman ini, Ferdinan de Sausurre seorang pendiri teori
semiotika dari Swiss mengatakan, bahwa semiotika merupakan kajian mengenai
kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.
Gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh
fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi.
Roland Barthes (1915-1980), mengembangkan semiotika menjadi 2
tingkatan pertandaan yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dengan petanda pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi adalah tingkan
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dengan petanda yang di dalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang
terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda
adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia
dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu
sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari
kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan indeks (tanda
yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.
Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau
sesuatu yang dirujuk tanda (Santosa, 1993:10) dan (Pudentia, 2008:323).
64
Bagan 1.1:
Segitiga Makna
Objek
Representamen Interpretan
Menurut Peirce (Santosa,1993:10) pemahaman akan struktur semiosis
menjadi dasar yang tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya
mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir adalah yang berkedudukan sebagai
peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam mengkaji objek
yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan
dilihat dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan jenis penandanya,
hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya, dan hubungan pikiran dengan jenis
petandanya seperti yang tertera dalam bagan 1.2 dan bagan 1.3 berikut.
65
Bagan 1.2:
Pembagian Tanda
Ground/ representamen : tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum.
Objek/ referent: yaitu apa yang diacu.
Interpretant: tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima.
Qualisign: terbentuk oleh suatu kualitas yang merupakan suatu tanda, misalnya: “keras” suara sebagai tanda, warna hijau.
Ikon: tanda yang penanda dan petandanya ada kemiripan. Misalnya: foto, peta.
Rheme: tanda suatu kemungkinan atau konsep, yaitu yang memungkinkan menafsirkan berdasarkan pilihan, misalnya: “mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain.
Sinsign/tokens: terbentuk melalui realitas fisik. Misalnya : rambu lalu lintas.
Index: hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misalnya: asap dan api.
Dicent sign: tanda sebagai fakta/ pernyataan deskriptif eksistensi aktual suatu objek, mis : tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir.
Legisign: Hukum atau kaidah yang berupa tanda. Setiap tanda konvensional adalah legisign, misalnya: suara wasit dalam pelanggaran.
Symbol: hubungan tanda dan objek karena kesepakatan / suatu tanda yang penanda atau petandanya arbitrer konvensional. Misalnya: bendera, kata-kata.
Argument: tanda suatu aturan, yang langsung memberikan alasan, mis : gelang akar bahar dengan alasan kesehatan.
Sumber: Erni Yunita (2011)
66
Bagan 1.3:
Hubungan Tanda
Sumber: Erni Yunita (2011)
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang
menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang
ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang
terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah
tanda, ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Model tanda yang
dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri
struktural sama sekali. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat representatif
yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Proses pemaknaan
tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu Representamen (R),
Object (O), dan Interpretant (I). (R) adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi
67
secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili oleh (O),
kemudian (I) adalah bagian dari proses yang menafsikan hubungan antara (R) dan
(O).
Contoh apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka
dalam kognisinya ia merujuk pada “larangan untuk berenang”(O), selanjutnya ia
menafsirkan bahwa “adalah berbahaya untuk berenang disitu” (I). Tanda seperti itu
disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional.
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli
semiotika yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling
komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia
mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara
lebih mendalam (Sobur, 2006). Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan
menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda.
Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco
menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotika yang dapat ditawar,
melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari
dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan
bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk
menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda
suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling
radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu
pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain
dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya
68
Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang
lebih bersifat dinamis dari yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu
sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.
Teori semiotika ini penulis gunakan untuk menganalisis makna-makna
yang terdapat di sebalik pelaksanaan upacara erpangir ku lau. Seterusnya mencakup
makna upacara itu sendiri, benda-benda upacara, alat-alat musik dalam gendang telu
sendalanen yang digunakan sebagai media upacara, makna komunikasi verbal dan
nonverbal, makna bunyi musik (yang mencakup ritem dan meelodi), gerak-gerik
peserta upacara dan si erjabaten, dan lain-lainnya.
1.5.5 Teori Difusi Kebudayaan
Untuk mengkaji keberadaan alat musik keteng-keteng dan alat-alat musik
lainnya dalam upacara ini, dan juga upacara erpangir ku lau itu, maka penulis
menggunakan teori difusi kebudayaan. Dari segi keberadaan upacara erpangir ini
sendiri, maka dapat dikatakan memiliki hubungan dengan upacara sejenis seperti
pangurason Batak Toba, mandi mangir Jawa, mandi kembang Jawa, mandi Syafar
Melayu, dan lain-lainnya. Alat musik keteng-keteng dan sejenisnya juga ada di
beberapa tempat seperti gondang buluh Mandailing-Angkola, bebelen di Gayo.
Kemungkinan besar alat-alat ini memiliki hubungan persebaran kebudayaan.
Teori difusi kebudayaan dimaknai sebagai persebaran kebudayaan yang
disebabkan adanya migrasi manusia. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain,
akan menularkan budaya tertentu. Hal ini akan semakian tampak dan jelas kalau
perpindahan manusia itu secara kelompok dan atau besar-besaran, dikemudian hari
69
akan menimbulkan difusi budaya yang luar biasa. Setiap ada persebaran
kebudayaan, di situlah terjadi penggabungan dua kebudayaan atau lebih. Akibat
pengaruh kemajuan teknologi di bidang komunikasi, juga akan mempengaruhi
terjadinya difusi budaya. Keadaan ini memungkinkan kebudayaan semakin
kompleks dan bersifat multikultural. Dengan adanya penelitian difusi, maka akan
terungkap segala bentuk kontak dan persebaran budaya sampai ke wilayah yang
kecil-kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kontribusi pengkajian difusi
terhadap kebudayaan manusia bukan pada aspek historis budaya tersebut, melainkan
pada letak geografi budaya dalam kewilayahan dunia.
Ide awal adanya teori difusi kebudayaan ini, dilontarkan pertama kali oleh
G. Elliot Smith (1871-1937) dan WJ. Perry (1887-1949), dua orang ahli antropologi
asal Inggris. Setelah membaca dan mempelajari banyak catatan sejarah serta benda-
benda arkeologis mengenai kebudayaan-kebudayaan besar yang pernah ada di muka
bumi, kedua tokoh ini sampai pada suatu tekad untuk mengajukan sebuah teori yang
mereka namakan heliolithic theory. Menurut keduanya, berdasarkan teori yang
mereka ajukan ini, peradaban-peradaban besar yang pernah ada di masa lampau
merupakan hasil persebaran yang berasal dari Mesir. Hal ini karena berdasarkan
kajian keduanya, pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang sangat besar di masa
lampau yang berpusat di Mesir. Persebaran dari titik utama di Mesir ini kemudian
bergerak ke arah timur yang meliputi daerah-daerah terjauh seperti India, Indonesia,
dan Polinesia hingga mencapai Amerika. Orang-orang Mesir yang disebut dengan
“putra-putra Dewa Matahari” ini melakukan perpindahan dengan cara menyebar ke
70
berbagai tempat tersebut dalam usaha mereka untuk mencari logam mulia dan batu
mulia seperti emas, perak, dan permata.
Pada awalnya teori difusi tidak dipertentangkan dengan teori yang
munculnya sebelumnya tersebut. Hal ini karena tokoh-tokoh teori evolusi, Tylor dan
Morgan, pada dasarnya tidak menafikan adanya kenyataan bahwa kebudayaan
manusia tersebut dapat menyebar dan dapat menyebabkan beragam perubahan
akibat penyebaran tersebut. Akan tetapi, keberadaan teori difusi kebudayaan sebagai
penentangan terhadap teori evolusi yang muncul sebelumnya baru mengemuka dan
mencuat ke permukaan setelah kedatangan Franz Boas bersama para muridnya.
Setelah masuknya tokoh antropolog asal Amerika ini barulah terjadi perselisihan dan
mencuatnya beragam kritikan yang dialamatkan oleh para pengusung teori difusi
terhadap teori evolusi.
Franz yang dianggap pendekar ilmu antropologi Amerika ini banyak
melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah pedalaman Amerika dan mengumpulkan
bahan-bahan etnografi yang digunakannya untuk menyusun beragam karangannya
mengenai kebudayaan. Untuk menguatkan pandangan-pandangannya mengenai
kebudayaan, Boas menyatakan bahwa penelitian difusi kebudayaan harus diarahkan
hanya pada daerah-daerah tertentu saja dan apa yang mengemuka dalam komunitas
kebudayaan tertentu tersebut harus diperhatikan secara seksama dan seteliti
mungkin. Model Boas ini kemudian dikenal dengan nama “partikularisme historis”
dimana di dalamnya telah melahirkan konsep-konsep baru mengenai kajian
kebudayaan, seperti kulturkreis atau daerah atau lingkungan dan kulturschichten
atau lapisan kebudayaan. Dalam kajian kebudayaan ala difusi Boas ini, unsur-unsur
71
persamaan yang dimiliki oleh sebuah kebudayaan sangat diperhatikan secara cermat
untuk kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kategori yang disebutkan dengan dua
istilah yang dikemukakan di atas. Dengan cara seperti ini maka akan diketahui
unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam beragam kebudayaan dunia.
Para penerus gagasan difusi kebudayaan yang dikemukakan oleh Boas
kemudian dilanjutkan oleh para muridnya yang banyak berada di Amerika. Salah
satu muridnya yang terkenal dan terus menyebarkan gagasan Boas adalah Clark
Wissler (1870-1947) yang berpendidikan formal sebagai seorang ahli psikologi dan
bekerja di Museum of Natural History. Sepeninggal Boas, Wissler mengajukan
suatu konsep baru sebagai lanjutan atau pengembangan dari pemikiran gurunya
mengenai difusi kebudayaan. Konsep tersebut adalah culture area yang merupakan
pembagian dari kebudayaan-kebudayaan Indian di Amerika ke dalam daerah-daerah
yang merupakan kesatuan mengenai corak kebudayaan-kebudayaan di dalamnya.
Hal ini dilakukannya karena Wissler ingin mengklasifikasikan beragam peninggalan
budaya dari aneka ragam suku yang ada di pedalaman Amerika hasil dari perjalanan
antropologis yang dilakukannya. Dengan menerapkan konsepnya yang baru tersebut,
maka beragam peninggalan antropologis dari suku-suku Indian tersebut dapat
dikelompokkan dalam tempat-tempatnya yang sesuai. Dari implementasi konsep ini
terhadap beragam peninggalan budaya tersebut, Wissler berhasil menggolongkan
puluhan kebudayaan yang berbeda-beda ke dalam satu golongan berdasarkan pada
persamaan sejumlah ciri yang sangat mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan
tersebut.
72
Penerus selenjutnya dari gagasan difusi kebudayaan Boas adalah A.L.
Kroeber (1876-1960) yang merupakan doktor hasil bimbingan tokoh penentang
utama teori evolusi ini. Seperti halnya Boas, Kroeber juga sangat mementingkan
penelitian lapangan secara komprehensif yang berlangsung dalam kurun waktu yang
lama. Apa yang ia dapatkan selama dalam bimbingan Boas, Kroeber menerapkannya
pula kepada para muridnya dengan mewajibkan mereka untuk melakukan penelitian
lapangan paling tidak selama setahun. Dalam melakukan penelitiannya, para
muridnya diharuskan mengetahui dan memahami apa yang ada dalam masyarakat
tempat mereka melakukan penelitian, seperti mampu menggunakan bahasa yang
masyarakat tersebut gunakan dan mengumpulkan beragam bahan yang berhubungan
dengan masyarakat tersebut.
Manusia adalah makhluk yang berbudaya, hal ini tidak lain di akibatkan
karena manusia diciptakan dengan keistimewaan akalnya. Akal (ratio) sangat
berperan penting dalam segala sesuatu prilaku manusia yang memiliki daya cipta,
karsa dan karyanya, rasio yang merupakan alat berfikir mendorong manusia untuk
berfikir menjalin hubungan komunal antara satu dengan yang lainnya yang menjadi
struktur-struktur dan menjadi sebuah kumpulan yang disebut dengan masyarakat
lalu menciptakan tatanan-tatanan stagnan dalam implementasi kebiasaaan-kebiasaan
dari sanalah istilah masyarakat budaya muncul dan berkembang dalam sebuah
lingkungan yang saling mempengaruhi. Selain akal, manusia juga dianugrahi Tuhan
consciense (perasaan/nurani), dengan nurani manusia berperasaan, mengetahui rasa
indah dan mencipta hal-hal yang sifatnya mimesis dari Tuhannya. Sebuah perayaan-
perayaan ritual diciptakan untuk menimbulkan suasana khusyuk untuk bertemu
73
dengan sang pencipta alam semesta, menyatu dengan alam dan memaknai keindahan
karya sang pencipta.
Kesenian adalah salah satu produk dari kebudayaan yang memiliki arti
ciptaan dari segala pikiran dan prilaku manusia baik itu kelompok maupun
perorangan yang fungtsional, etis, dan indah sehingga dapat dinikmati oleh panca
indra dan nantinya kan menjadi sebuah pengalaman kognitif yang tersimpan di alam
bawah sadar manusia. Budaya dan seni seolah tak dapat dipisahkan satu sama
lainnya, bersifat kesatuan komplek dan terstruktur dalam kehidupan sosial
masyarakat. seiring dengan perkembangannya, budaya yang bersifat dinamis
begiupun dengan kesenian itu pasti mengalami sifat beda dengan asal mula
keberadaanya, bergerak aktif dengan perkembangan jaman menuju arah yang lebih
kompleks serta menjadi sebuah kebudayaan yang multikultural atau lebih dikenal
dengan budaya global, hal ini tidak terlepas dari adanya bentuk-bentuk saling
mempengaruhi, baik itu yang datangnya dari luar maupun yang datangnya dari
dalam (konteks budaya itu sendiri) yang sangat memungkinkan memiliki dampak-
khazanah budaya, dan bahkan akan mengakibatkan hilangnya jati diri budaya
bangsa. Demikian sekilas deskripsi dan pemahaman tentang teori-teori yang
digunakan dalam penelitian ini.
74
1.6 Metode Penelitian
Pada tahap awal dilakukan perumusan pokok permasalahan, untuk
menghasilkan beberapa data yang dipakai sebagai acuan dalam pelaksanaan langkah
berikutnya. Pelaksanaan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
menggunakan, informasi primer dan informasi sekunder. Informasi primer dilakukan
dengan cara pengamatan langsung, pengamatan partisipatif (pengamatan langsung),
serta pelaksanaan wawancara mendalam dari narasumber sebagai pelaksana aktivitas
pelaksnaan upacara kerja erpangir ku lau di lokasi penelitian yang menggunakan
ensambel gendang telu sendalanen, untuk mengumpulkan data-data yang
dibutuhkan sebanyak mungkin.
Pada tahap observasi terfokus, peneliti telah dapat diterima untuk dapat
masuk dalam kehidupan informan, dengan menggunakan metode pengamatan dan
pengamatan terlibat. Untuk melengkapi data-data yang diperlukan, dilakukan
serangkaian kegiatan wawancara bebas dan tidak berstruktur. Misalnya, ketika
bertemu dengan seorang informan, jika kondisinya memungkinkan langsung
berbicara dan menanyakan berbagai pendapat dan informasi yang berkaitan dengan
topik penelitian. Teknik ini lebih tepat untuk mendapatkan data yang lebih natural
tanpa menimbulkan nuansa memaksa.
Penelitian ini berdasar pada fenomena sosial terhadap studi kasus,
cenderung menggunakan paradigma terpadu antara fakta sosial dengan defenisi
sosial (Rizer dalam Hadi, 2006:67), karena latar belakang masalah yang dilihat
berada pada tingkat hubungan makro-subyektif dan mikro-subyektif. Pilihan
75
terhadap paradigma ini karena tergantung pada jenis permasalahan yang sedang
dipertanyakan. Manusia sebagai individu, bertindak, berinteraksi dan menciptakan
realitas sosial dalam waktu yang bersamaan dan sampai pada tingkat tertentu
berpengaruh terhadap masyarakatnya.
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa penelitian ini cenderung
menggunakan metode kualitatif, yaitu peranan peneliti sebagai instrumen utama
dalam proses penelitian. Peneliti berusaha mendeskripsikan dan memahami
fenomena sosial atau masyarakat sebagaimana masyarakat itu mempersepsikan diri
mereka. Oleh karena itu realitas sosial atau masyarakat yang menjadi asaran
pengamatan akan lebih dipahami sebagai suatu proses, bukan kejadian semata-mata,
yaitu subyek penelitian yang memiliki struktur, kelompok, perilaku, tindakan,
kreativitas, dinamika, sikap dan cita-cita sesuai dengan diri mereka sendiri beserta
lingkungannya. Dengan demikian penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi
yaitu lebih menggambarkan cara hidup atau kegiatan masyarakat terutama dalam
menginterpretasikan sistem religi mereka.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dalam rangka
mencari ilmu pengetahuan tentang peran keteng-keteng dalam gendang telu
sendalanen yang difungsikan pada upacara erpangir ku lau. Denzin dan Lincoln
menyatakan secara eksplisit tentang penelitian kualitatif sebagai berikut.
Qualitative [sic.] research has a long and distinguished history in human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school" in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, ... charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign
76
setting to study customs and habits of another society and culture. ...Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1995:1).
Lebih jauh Nelson mentrakrifkan menegnai apa itu penelitian kualitatif itu
menurut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang
dijabarkannya berikut ini.
Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg 1992:4).
Dari kedua kutipan di atas secara garis besar dapat dinyatakan bahwa
penelitian kualitatif umumnya ditujukan untuk mempelajari kehidupan kelompok
manusia. Biasanya manusia di luar kelompok peneliti. Penelitian ini
melibatkan berbagai jenis disiplin, baik dari ilmu kemanusiaan, sosial, ataupun
ilmu alam. Para penelitinya percaya kepada perspektif naturalistik, serta
menginterpretasi untuk mengetahui pengalaman manusia, yang oleh karena itu
biasanya inheren dan dibentuk oleh berbagai nilai etika posisi politik.
77
1.7 Teknik Pengumpulan Data
Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif selain sebagai perencana
sekaligus juga sebagai pelaksanan pengumpul data atau sebagai instrumen
(Moeloeng, 1998:121). Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode observasi, wawancara, dokumentasi yang dilandasi dengan
studi kepustakaan terutama untuk menemukan teori yang relevan dengan topik
penelitian.
Pada tahap awal dilakukan perumusan pokok permasalahan, untuk
menghasilkan beberapa data yang dipakai sebagai acuan dalam pelaksanaan langkah
berikutnya. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa masalah yang akan dibahas
dalam penelitian adalah analisis peranan keteng-keteng sebagai salah satu alat
musik dalam ensambel telu sendalanen yang digunakan sebagai media dalam
pelaksanaan upacara erpangir ku lau di Desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng,
Kabupaten Karo.
Berdasarkan pokok permasalahan ini dapat dikatakan bahwa bentuk
penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu bertujuan untuk mengamati segala hal yang
berkaitan dengan aktivitas erpangir ku lau yang dilakukan oleh etnik Karo di desa
Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo. Pelaksanaan penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan, informasi primer dan
informasi sekunder.
Informasi primer dilakukan dengan cara pengamatan langsung,
pengamatan partisipatif (pengamatan langsung), serta pelaksanaan wawancara
mendalam dari nara sumber sebagai pelaksanaan erpangir ku lau untuk
78
mengumpulkan data-data yang dibutuhkan sebanyak mungkin. Pengalaman
pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara dengan imforman secara
mendalam. Rangkaian pelaksanaan wawancara bertujuan untuk mendapatkan
keterangan dan data dari individu tertentu untuk keperluan informasi.
1.7.1 Observasi
Tujuan dari observasi adalah dengan mendeskrepsikan setting yang
diamati, tempat kegiatan orang-orang yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut
dan makna apa yang diamati menurut perspektif pengamat (Patton, 1990:202).
Menurut Guba dan Lincoln (1981) ada beberapa alasan mengapa dalam penelitian
kualitatif, pengamatan dimanfaatkan secara optimal, karena: (a) teknik pengamatan
didasarkan atas pengalaman secara langsung, (b) teknik pengamatan sangat
dimungkinkan pengamat melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat
perilaku dan kejadian seperti keadaan yang sebenarnya, (c) pengamatan
memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan
pengetahuan yang langsung diperoleh dari data lapangan, (d) pengamatan
merupakan jalan terbaik untuk mengecek kepercayaan data, (e) teknik pengamatan
memungkinkan peneliti memahami situasi-situasi yang rumit dan perilaku yang
kompleks, (f) teknik pengamatan dapat dijadikan alat yang sangat bermanfaat ketika
teknik komunikasi lain tidak dimungkinkan. Pengamatan dapat diklasifikasikan atas
pengamatan melalui cara berperan serta dan yang tidak berperan serta (Maeleong,
1998:126).
79
Tahap observasi umum dilakukan setelah menentukan tema, memastikan
judul serta permasalahan penelitian dengan maksud untuk menemukan gambaran
tentang keadaan lingkungan fisik, sosial,etnik yang diteliti sebagai studi kasus dalam
antropologi. Dalam konteks ini mulai dilakukan pengumpulan data tertulis maupun
lisan berkaitan dengan topik penelitian. Informasi mengenai hal ini diperoleh
melalui pengamatan, wawancara dengan penduduk setempat, dan aparat pemerintah
kepala desa).
Pada tahap observasi terfokus, peneliti telah dapat diterima untuk dapat
masuk dalam kehidupan informan, dengan menggunakan metode pengamatan dan
pengamatan terlibat. Tahap ini dilakukan untuk mengamati aktivitas pelaksanaan
upacara ritual erpangir ku lau dan prospeknya mulai dari motif pelaksanaan,
maksud, dan tujuan serta penggunaan ensambel musik tradisional yang berperan
sebagai media upacara desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten
Karo.
1.7.2 Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
dilakukan antara peneliti yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 1998:135). Patton (1990, 135-
136) mengemukakan pilihan teknik wawancara, yaitu:
a. Wawancara pembicara informal (the informal conversational interview).
Pertanyaan yang diajukan sangat tergantung pada pewawancara itu sendiri dan
80
spontanitasnya dalam mengajukan pertanyaan. Wawancara dilakukan pada latar
alamiah.
b. Menggunakan petunjuk umum wawancara (the general interview guide
approach). Wawancara dilakukan berdasar pada kerangka dan garis besar
pokok-pokok yang dituangkan dalam pertanyaan disesuaikan dengan keadaan
responden (informan) dalam konteks wawancara sebenarnya.
c. Wawancara baku terbuka (the standardized open-ended interview). Wawancara
ini menggunakan seperangkat pertanyaan baku. Hal ini dimaksudkan untuk
menghilangkan terjadinya bias-bias atau “kemencengan.” Dalam penelitian ini
teknik wawancara yang digunakan adalah teknik pertama dan kedua.
Untuk melengkapi data-data yang diperlukan dalam penelitian ini,
dilakukan serangkaian kegiatan wawancara bebas dan tidak berstruktur. Misalnya,
ketika bertemu dengan seorang informan, jika kondisinya memungkinkan langsung
berbicara dan menanyakan berbagai pendapat dan informasi yang berkaitan dengan
topik penelitian. Teknik ini lebih tepat untuk mendapatkan data yang lebih natural
tanpa menimbulkan nuansa memaksa.
Pelaksanaan teknik wawancara ini dapat mengetahui sikap individu
terhadap topik penelitian. Informasi sekunder mencakup studi literatur yakni
mengkaji ragam buku (media cetak) serta media elektronik yang membahas tentang
kehidupan etnik Karo khususnya yang menyangkut kajian sistem religi, adat istiadat,
karakteristik etnik, perlakuan terhadap musik etnik sebagai media pelaksanaan
sebuah upacara, dan berbagai hal yang mendukung topik penelitian.
81
1.7.3 Dokumen
Dokumen merupakan sekumpulan data berupa surat yang tertulis atau
tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan atau barang cetakan atau
naskah karangan yang tertulis atau rekaman suara, gambar, film, dan sebagainya
yang dapat dijadikan bukti atau keterangan yang mendukung dalam upaya
mendeskripsikan atau menganalisis pokok permasalahan dalam penelitian. Rekaman
suara atau film yang mendokumentasikan pelaksanaan upacara ritual atau upacara
adat pada masyarakat Karo yang menggunakan ensambel musik tradisional sebagai
media, dapat dijadikan sebagai referensi dalam upaya pemahaman peran dan fungsi
musik.
Dalam kaitan ini, peneliti akan menelusuri data skunder yang terkait
dengan pelaksanaan ritual erpangir ku lau, alasan pelaksanaan upacara, pengunaan
musik tradisional seperti ensambel gendang telu sendalanen yang digunakan sebagai
media dalam pelaksanaan upacara ritual tersebut. Dari rekaman berupa gambar atau
film, peneliti akan mengetahui ragam penggunaan alat musik tradisional Karo yang
tergabung dalam ensambel gendang telu sendalanen. Data-data skunder juga
ditelusuri melalui buku, jurnal, surat kabar, dan media elektronik seperti internet.
Data-data kependudukan diperoleh dari sumber pemerintah dalam hal ini
dari Badan Pusat Statistik Pemerintah Daerah Kabupaten Karo. Selanjutnya data-
data tentang sosial budaya masyarakat Karo dapat diperoleh melalui buku-buku,
dokumentasi seminar, jurnal yang terbit dalam lingkup kebudayaan etnik Karo.
Seluruh data tersebut merupakan data sekunder yang diperoleh sebelum dan selama
pelaksanaan penelitian di lokasi penelitian.
82
1.8 Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan sejak berada di lapangan, yaitu dengan melakukan
pengorganisasian data, dilanjutkan dengan menghubungkan data yang satu dengan
yang lainnya berdasarkan persfektif teori, kemudian mengidentifikasi hakikat
hubungan-hubungannya hingga memunculkan asumsi-asumsi baru yang perlu
dibuktikan kebenarannya di lapangan. Hal ini dilakukan hingga akhir penelitian.
Pada bagian ini dibahas beberapa metode untuk menarik dan memverifikasi suatu
fenomena dalam konteks terbatas yang membentuk suatu kajian kasus dari
sekelompok masyarakat atau komunitas tertentu yang dalam hal ini adalah etnik
Karo yang berada di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Balang, Kabupaten Karo.
Dalam penelitian kualitatif, data yang terkumpul dianalisis setiap waktu
secara induktif selama penelitian berlangsung dengan mengolah bahan empirik agar
dapat disederhanakan ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca, dipahami, dan
diinterpretasikan. Analisis induktif dimulai dengan merumuskan terlebih dahulu
sejumlah permasalahan ke dalam beberapa pertanyaaan atau isu spesifik yang
dijadikan sebagai tujuan penelitian. Beberapa pertanyaaan yang menjadi
permasalahan utama telah dikemukakan dalam perumusan masalah, tetapi
pertanyaan-pertanyaaan yang menyangkut isu spesifik dapat digali melalui
wawancara bebas, atau observasi partisipatis di lokasi penelitian, sehingga dapat
mengumpulkan makna kognitif, emosional atau intuisi dari para pelaku budaya
sesuai dengan fokus penelitian.
83
Bagi peneliti kualitatif, model penyajian yang khas adalah dalam bentuk
teks naratif. Teks ini muncul dalam bentuk catatan lapangan tertulis, yang disaring
dengan mengutip penggalan-penggalan berkode dan menarik kesimpulan. Kemudian
si penganalisis biasanya terus menangani teks naratif kemudian membuat suatu
laporan kajian kasus (Miles, 2005:137). Setelah keseluruhan data selesai
dikumpulkan dari lokasi penelitian, maka tahap akhir dari penelitian ini adalah
mendeskripsikan dan menganalisis data-data untuk menemukan beberapa
kesimpulan tentang peranan dan fungsi keteng-keteng dalam ensambel gendang telu
sendalanen sebagai media dalam pelaksanaan upacara kerja erpangir ku lau pada
etnik Karo di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif yang terkumpul
melalui studi pustaka, survei, observasi, angket, dan wawancara, yang
dideskripsikan secara bertahap dalam bentuk tulisan, kemudian diklasifikasikan
secara tabulatif sesuai isi atau materi data tersebut. Analisis data ditujukan untuk
menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah diinterpretasikan. Proses
analisis data telah dilakukan sejak pengumpulan data hingga tahap pengolahan dan
analisis data. Analisis data bermaksud pertama-tama mengorganisasikan data. Data-
data yang terkumpul terdiri dari catatan lapangan dan komentar peneliti, dokumen
berupa laporan, biografi, dan sebagainya.
Pekerjaan analisis data dalam hal ini adalah mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberi kode, dan mengkategorikannya (Maleong, 2000:103).
Berkaitan dengan tahapan analisis data tersebut akan diupayakan untuk
memperdalam atau menginterpretasi data secara spesifik dalam rangka menjawab
84
keseluruhan pertanyaan penelitian. Di sisi lain langkah ini dapat menjadi koreksi
atau alat kontrol terhadap berbagai kekurangan data yang terkumpul yang
selanjutnya dapat dilengkapi.
Penelitian kualitatif menekankan pada analisis secara induktif, sehingga
data yang dikumpulkan bukan untuk mendukung atau menolak hipotesis yang
diajukan sebelum penelitian dilakukan, tetapi data dikumpulkan dan dikelompokkan
dalam pola, tema atau kategori untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan
sementara dengan cermat dan hati-hati. Selanjutnya kesimpulan sementara
dirumuskan secepat mungkin menjadi kesimpulan yang kokoh, kuat dan
mengandung makna sebelum data tersebut terkumpul.
Data-data tersebut berusaha dirangkaum secara deskriptif untuk membantu
menemukan konsep-konsep keaslian yang dikemukakan oleh subyek penelitian
sendiri sesuai dengan realitasnya. Dengan cara ini tetap akan dapat menyajikan
realitas senyatanya (emics) sebagaimana yang diharapkan dalam penelitian
kualitatif.
Kesimpulan tersebut bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
penelitian serta dapat dijadikan sebagai temuan-temuan penelitian yang bermanfaat.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara terus menerus
selama pengumpulan data berlangsung sampai pada akhir penelitian atau penarikan
kesimpulan. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui empat kegiatan
utama, yaitu: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi.
85
Untuk dapat menganalisis dengan penuh kritik situasi yang tengah dikaji,
untuk kemudian melakukan berbagai abstraksi mengenai apa yang sesungguhnya
terjadi di lapangan, maka diperlukan pegangan teori. Oleh sebab itu beberapa
konsep teori yang telah dikemukakan seperti teori fungsional, teori ritual, teori
semiotika, dan teori difusi kebudayaan, semata-mata tidak untuk diuji, tetapi
dimaksugkan untuk memaknakan realitas dan data yang ada yang dalam penelitian
ini telah berusaha membangun atau memodifikasi teori dan konsep baru.
1.9 Lokasi, Jadwal, dan Pengalaman Penelitian
Penelitian ini dilakukan di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng
Kabupaten Karo, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam (NAD). Sedang rentang waktu yang digunakan dalam pelaksanaan
penelitian ini berkisar 6 bulan yang terbagi atas perumusan masalah 1 bulan, tahap
pengkajian literatur untuk memperoleh pengetahuan teoretis tentang aspek yang
akan diteliti dalam pengumpulan data di lapangan 2 bulan, sedangkan tahap analisis
data dan deskripsi hasil penelitian 3 bulan.
Dalam melakukan perumusan masalah, penulis langsung memikirkan
bagaimana keberadaan keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen yang
digunakan dalam upacara erpangir ku lau sebagai media. Ini amat menarik untuk
dikaji secara etnomusikologis. Setelah berdiskusi dengan kawan-kawan mahasiswa
magister penciptaan dan pengkajian seni FIB USU dan para dosennya, maka penulis
menetapkan judul dan tema seperti ini. Selanjutnya penulis melakukan studi pustaka
dengan konsentrasi pada skripsi sarjana seni di Departemen Etnomusikologi.
86
Hasilnya adalah seperti yang diuraikan di dalam kajian pustaka dan digunakan teori-
teori structural dan fungsional. Seterusnya penulis melakukan penelitian lapangan,
dengan cara mengamati dan terlibat langsung dalam kegiatan erpangir ku lau. Untuk
menyelesaikan tesis yang berbasis dari penelitian ini, penulis menuliskannya dalam
masa yang agak panjang, karena bertujuan untuk memenuhi standar kualitas
magister pencipataan dan pengkajian seni FIB USU.
Penelitian ini penulis alami selama masa studi di Program Studi Magister
Penciptaan dan Pengkajian Seni di bulan Juni 2011 sampai Januari 2012.
Pengalaman yang penulis alami adalah penulis menjadi pengamat terlibat
(partisipant observer). Penulis ikut dalam upacar erpangir ku lau, walau tetap
menjaga jarak sebagai peneliti. Penulis juga merasakan apa yang dirasakan oleh para
informan pelaku upcara ini. Penulis juga sedikit banyaknya turut belajar memainkan
alat-alat musik dalam ensambel gendang telu sendalanen dan juga khususnya alat
musik keteng-keteng. Ini bertujuan agar penulis dapat memahami secara emik apa
yang terjadi di dalam masyarakat dengan tetap memperhatikan diri sebagai peneliti.
87
BAB II
KEBERADAAN ETNIK KARO
DAN KEBUDAYAANNYA
Keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen yang digunakan
sebagai media dalam upacara erpangir ku lau dalam kebudayaan masyarakat Karo,
menurut penulis adalah mencerminkan kebudayaan Karo secara umum. Baik dalam
bentuk instrumen, bunyi musik, ensambel, dan upacara erpangir ku lau itu sendiri
syarat dengan makna-makna budaya Karo. Untuk dapat melihat keteng-keteng dalam
pandangan yang luas dan holistik, maka bagaimanapun lebih baik melihatnya
melalui studi etnografi7 etnik Karo. Studi ini akan mendudukkan bagaimana posisi
keteng-keteng dalam konteks kebudayaan Karo.
7Terminologi etnografi berasal dari kata ethnic yang arti harfiahnya adalah suku
bangsa; dan graphein yang artinya mengambarkan atau mendeskripsikan. Etnografi adalah jenis karya antropologis khusus dan penting, yang mengandung bahan-bahan kajian pokok dari pengolahan dan analisis terhadap kebudayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik. Oleh karena di dunia ini ada suku-suku bangsa yang jumlahnya relatif kecil, yaitu eksistensinya hanya beberapa ratus ribu warga, misalnya etnik Lubu dan Siladang di Sumatera Utara, dan ada pula kelompok etnik yang berjumlah relatif besar, berjuta-juta jiwa, seperti misalnya suku Sunda di Jawa Barat dan sekitarnya, maka seorang antropolog yang membuat karya etnografi tidak dapat mengkaji keseluruhan aspek budaya suku bangsa yang besar ini. Oleh karena itu, untuk mengkaji budaya Melayu misalnya, yang mencakup berbagai negara bangsa, maka seorang antropolog boleh saja memilih etnografi masyarakat Melayu Desa Batang Kuis, atau lebih besar sedikit masyarakat Melayu Kabupaten Serdang Bedagai, atau masyarakat Melayu Labuhan Batu, dan seterusnya. Masyarakat Karo sendiri pun, walau induknya adalah kawasan yang berada di Kabupaten Karo sekarang ini, namun wilayah budayanya meliputi kawasan-kawasan seperti Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Kota Medan. Mereka membagi kawasan budayanya yaitu Karo
88
2.1 Identifikasi Penduduk
Kabupaten Karo merupakan salah satu Kabupaten dari sejumlah 33
kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan wilayah geografis,
Kabupaten Karo berada pada posisi 2’50-3’19’ Lintang Utara, dan 97’35’-98’38’
bujur timur. Memiliki luas 2.127,25 km2 atau sekitar 2, 97% dari luas wilayah
Provinsi Sumatera Utara. Keseluruhan daerah Kabupaten Karo beriklim sejuk,
berada di kisaran 14-26 derajat Celsius. Penggunaan lahan di Kabupaten Karo di
dominasi oleh penggunaan lahan kering berupa perladangan dan perkebunan seluas
96.045 ha atau 41% dari luas wilayah. Selanjutnya diikuti oleh kawasan hutan seluas
77.142 Ha. Tanah yang subur, udara yang sejuk, panorama yang indah, serta hutan
lindung yang luas, sangat sesuai dengan usaha dibidang sektor pertanian.
Pada sektor pertanian masyarakat Karo mengolah tanaman pangan,
hortikultura (buah-buahan, sayur mayur, bunga-bungaan, dan biji-bijian). Sektor
pariwisata mencakup : jalan hutan, gunung berapi, air panas, pemandangan yang
indah, danau, air terjun, rumah tradisional, kebudayaan dan sebagainya. Sektor
industri diharapkan mampu mendukung sektor pertanian, industri yang mengolah
Gugung dan Karo Jahe. Ada pula istilah yang mirip dengan etnografi, yaitu etnologi. Arti etnologi berbeda dengan etnografi. Istilah etnologi adalah dipergunakan sebelum munculnya istilah antropologi. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaannya di seluruh dunia, sama maknanya dengan antropologi, yang lebih lazim dipakai belakang hari oleh para ilmuwannya atau dalam konteks sejarah ilmu pengetahuan manusia.
89
hasil pertanian dan industri yang mendukung sektor pariwisata seperti : cendera
mata.
Kabupaten Karo terdiri dari 17 kecamatan dan berpenduduk 350.960 jiwa.
Rincian luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk per kecamatan
dapat dilihat pada rincian yang terdapat pada Tabel 2.1 berikut ini.
Kecamatan Luas
Wilayah
(Km2)
Penduduk Kepadatan
Penduduk
Tiap Km2
(1) (2) (3) (4)
01 Mardingding 267,11 17 062 63,88
02 Laubaleng 252,60 17 713 70,12
03 Tigabinanga 160,38 19 900 124,08
04 Juhar 218,56 13 244 60,60
05 Munte 125,64 19 686 156,69
06 Kutabuluh 195,70 10 586 54,09
07 Payung 47,24 10 837 229,40
08 Tiganderket 86,76 13 178 151,89
09 Simpang Empat 93,48 19 015 203,41
10 Naman Teran 87,82 12 796 145,71
11 Merdeka 44,17 13 310 301,34
12 Kabanjahe 44,65 63 326 1418,28
13 Berastagi 30,50 42 541 1394,79
14 Tigapanah 186,84 29 319 156,92
15 Dolat Rayat 32,25 8 296 257,24
90
Tabel 2.1
Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan
Kabupaten Karo (Sumber : BPS Kabupaten Karo 2012).
Gambar 2.1
Peta Pemerintah Derah Kabupaten Karo
(Sumber: BPS Kabupaten Karo 2012).
16 Merek 125,51 18 054 143,85
17 Barusjahe 128,04 22 097 172,58
Jumlah/Total 2010 2 127,25 350 960 165,98
91
Kabupaten Karo yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Sumatera Utara memiliki batas-batas sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan
dengan Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang, sebelah Selatan berbatasan
dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir, sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun, dan sebelah Barat berbatasan
dengan Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD)
Kendati secara administratif etnik Karo bermukim di wilayah Kabupaten
Karo, akan tetapi sejak lama (sebelum tahun 1900) telah menempati beberapa
wilayah kabupaten lainnya di Provinsi Sumatera Utara, terutama di kabupaten yang
berbatasan langsung dengan kabupaten Karo seperti: Kabupaten Langkat,
Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Dairi, Kabupaten
Toba Samosir, Kabupaten Simalungun, Kota Madya Medan dan ke sebelah barat
Kabupatan Karo yaitu Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam (NAD).
Berdasarkan perbedaan wilayah domisili, pada akhirnya memunculkan
sebutan atau julukan bagi masyarakat Karo karena telah membaur dengan
kebudayaan etnik lain di kawasan pemukimannya. Kemudian etnik Karo dikenal
dengan berbagai julukan seperti, Karo Kenjulu, Karo Singalor Lau, Karo Baluren,
Karo Langkat, Karo Timur, dan Karo Dusun. Selain wilayah pemukiman etnik Karo
di luar Kabupaten Karo tersebut, masih terdapat wilayah yang dianggap penting
yang menjadi tempat tinggal atau domisili orang Karo yaitu wilayah Kota Medan.
92
Biasanya orang-orang karo yang tinggal di Medan tidak memiliki sebutan tertentu
sebagaimana dikemukakan di atas.
Di sepanjang jalan dari Kabanjahe, Kabupaten Karo menuju kota Medan
terdapat beberapa desa dan semi kota (sub-urban) seperti Kota Berastagi, Desa
Bandar Baru, Desa Sibolangit, Desa Sembahe, dan Pancur Batu (kecuali Berastagi,
semua desa tersebut termasuk dalam wilayah Kabupaten Deli Serdang). Memasuki
wilayah Kota Medan, terdapat lagi beberapa wilayah desa, seperti: Desa Lau Cih,
Kelurahan Simpang Selayang, Kelurahan Simpang Kuala, Kelurahan Padang Bulan
yang sebagian besar penduduknya adalah orang Karo. Penduduk di setiap wilayah
tersebut, walau pun telah lama tinggal secara menetap namun secara kekerabatan
masih mempunyai hubungan dengan masyarakat Karo yang tinggal di wilayah
Kabupaten Karo. Hal ini sangat lazim, mengingat hampir seluruh daerah tersebut
merupakan daerah lintasan transfortasi darat antara Medan dengan Kabupaten Karo
pada umumnya.
Domisili masyarakat Karo di daerah Padang Bulan, Simpang Kuala,
Simpang Selayang sudah berlangsung dalam beberapa generasi. Hal ini ditandai
dengan telah bedirinya sejumlah jambur adat Karo di wilayah tersebut. Jambur
adalah suatu bangunan persegi empat yang mempunyai atap, tetapi tidak mempunyai
dinding. Luas bangunan jambur pada masa awal berkisar 6 x 6 meter. Dalam
kehidupan sehari-hari di seluruh kawasan kabupaten Karo, jambur dipergunakan
sebagai tempat peristirahatan atau tempat berkumpul khususnya para laki-laki pada
siang atau sore hari setelah selesai bekerja di sawah atau ladang. Jambur menjadi
sangat strategis sebagai tempat erbual-bual (tempat bercakap-cakap atau bercerita)
93
dengan sesama warga desa tentang berbagai hal yang dianggap penting baik yang
menyangkut pertanian, maupun berbagai isu aktual.
Pada waktu tertentu, jambur digunakan sebagai tempat runggu
(musyawarah) dengan jumlah terbatas, membicarakan berbagai hal yang terjadi di
desa. Jika ada upacara adat yang menyertakan musik tradisional, jambur digunakan
sebagai tempat para musisi untuk bermain musik. Seluruh partisipan upacara adat
biasanya berada pada halaman luas di sekeliling jambur. Pada upacara tertentu di
sekitar jambur didirikan lape-lape yaitu bangunan sementara dengan menggunakan
tiang bambu atau kayu. Pada bagian atas dari bangunan sementara tersebut,
diletakkan dahan atau daun pohon aren agar peserta atau partisipan terhindar dari
panas matahari atau tempat bernaung dari panas matahari (lape-lape las wari).
Sejalan dengan pertambahan penduduk di suatu desa, dengan sendirinya
berdampak pada kian banyaknya jumlah partisipan atau pendukung upacara adapt.
Selain itu upacara adatpun semakin sering dlakukan. Agar terhindar dari panas
matahari dan hujan, maka didirikanlah jambur dengan bangunan yang lebih luas
dengan maksud seluruh peserta adat dapat tertampung seluruhnya dalam satu
ruangan. Bentuk bagunan yang lebih luas tersebut dirancang sesuai dengan bentuk
jambur. Setiap desa di Kabupaten Karo, minimal memiliki satu jambur yang
merupakan milik warga desa. Luas bangunan jambur biasanya disesuaikan dengan
jumlah penduduk sebuah desa. Pada umumnya luar bangunan sebuah jambur
berkisar pada ukuran 20 x 20 meter.
Demikian halnya dengan masyarakat Karo yang tinggal di perantauan
selalu menjunjung tinggi tradisi atau adat istiadat di daerah asal termasuk tradisi
94
penggunaan jambur dalam konteks adat istiadat. Di Medan terdapat sejumlah
jambur yang semuanya merupakan milik perorangan. Berbeda dengan jambur di
kawasan Tanah Karo, jambur maerupakan milik bersama warga desa. Dari
sejumlah jambur yang ada di Medan berada di kawasan Padang Bulan Medan antara
lain : (1) Jambur Pemere terletak di jalan Jamin Ginting, Simpang Kuala, Medan.
(2) Jambur Namaken & Son terletak di jalan Jamin Ginting Pasar VII, Padang
Bulan, Medan. (3) Jambur Tenaga terletak di jalan Karya Wisata, Medan. (4)
Jambur Sibayak terletak di jalan Jamin Ginting, Simpang Kuala, Medan. (5) Jambur
Ernala terletak di jalan Jamin Ginting, Simpang Simalingkar, Medan. (6) Jambur
Halilintar terletak di jalan Jamin Ginting, di kawasan Simpang Kuala, Medan. (7)
Jambur Bukit Permai terletak di Jalan Tanjung Sari, Medan.
Dari data-data seperti terurai di atas, bahwa orang Karo di Kabupaten Karo
jumlahnya hamper mencapai 400 ribu dalam tahun 2010. Namun demikian, banyak
pula suku Karo yang tinggal wilayah seperti Kabupaten Langkat, Kota Medan,
Kabupaten Deli Serdang, dan Serdang Bedagai. Kemudian ada pula wilayah-
wilayah perantauan orang Karo, seperti Pekanbaru, Batam, Jakarta, Bandung, dan
lainnya.
Dalam konteks penelitian ini yaitu dengan fokus guna dan fungsi gendang
telu sendalanen dalam upacara erpangir ku lau, maka orang-orang Karo memandang
bahwa institusi budaya ini memanglah dapat memperkuat identitas kebudayaan
Karo. Mereka juga merasa sebagai satu kesatuan etnik, yang perlu terus
mempertahankan kebudayaannya. Orang-orang Karo di mana [un berada tetap
95
berusaha mempertahankan kebudayaannya yang juga sambil beradaptasi dengan
kebudayaan-kebudayaan yang ada di sekitarnya.
2.2 Sistem Kekerabatan
Menurut Pritchard (1986:154) tiap-tiap masyarakat, walaupun dalam bentuk
yang sederhana sekali, akan dapat menemui suatu bentuk kehidupan keluarga,
pengakuan mengenai ikatan kekeluargaan, sistem ekonomi dan politik, status sosial,
ibadah agama, cara menyelesaikan konflik dan hukuman terhadap penjahat dan lain-
lain disamping kebudayaan material, suatu kumpulan pengerahuan mengenai alam
semesta, teknik dan tradisi. Demikian halnya dengan masyarakat Karo memiliki
memiliki sistem kekerabatan yang diwariskan secara turun-temurun yang mencakup
bentuk ikatan kekeluargaan, sistem sosial dan politik, penyelesaian konflik, dan
berbagai hal yang terkait dengan sistem kekerabatan.
Setiap individu pada masyarakat Karo baik yang bermukim di kawasan
kabupaten Karo maupun di luar kabupaten Karo kendati telah membaur dengan
etnik lain di sekitarnya, pada umumnya mengetahui sistem kekerabatan yang
berlaku yang menjadi pedoman dari sistem kekerabatan. Paling tidak setiap individu
mengetahui posisi dirinya sebagai salah satu dari kelompok merga (istilah kelompok
klen bagi masyarakat Karo).
Kelompok merga tersebut terdiri dari lima merga induk yaitu, (1) Karo-
karo. (2) Ginting, (3) Tarigan, (4) Sembiring, dan (5) Perangin-angin,. Kelima
merga induk ini disebut, merga silima. Setiap merga terdiri dari cabang-cabang
merga. Istilah merga merupakan sebutan pada laki-laki, dan beru untuk perempuan.
96
Hubungan yang lebih luas dari perwujudan merga-merga pada masyarakat Karo
adalah rakut sitelu (ikat yang tiga). Rakut sitelu ini mirip dengan pengertian dalihan
natolu pada masyarakat Batak Toba dan Mandailing. Rakut sitelu pada masyarakat
Karo merupakan suatu istilah untuk menyatakan sistem kekerabatan yang saling
mengikat antara sesama anggota masyarakat. Sistem tersebut didapat melalui
kelahiran dan perkawinan. Rakut sitelu dapat dipandang sebagai pembagian
kelompok berdasarkan adat istiadat Karo.
Adapun kelompok-kelompok tersebut adalah (a) Senina, (b) Anak beru,
dan (c) Kalimbubu. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat
Karo masing-masing sadar dan mengetahui poisisinya dalam sistem kekerabatan
dalam adat-istiadat Karo dalam kaitannya antara merga silima dengan rakut sitelu.
Sehingga dalam pelaksanaan sebuah upacara adat masing-masing individu
(keluarga) telah mengetahui posisinya sebagai bagian dari upacara tersebut.
Pemahaman mengenai sistem kekerabatan ini oleh masing-masing individu
terutama pada usia yang beranjak dewasa pada masyarakat Karo, didapat dari para
orang tua yang kesehariannya cenderung menjelaskan sistem kekerabatan tersebut
kepada generasi yang lebih muda pada berbagai kesempatan, misalnya ketika
berkumpul di warung sambil minum kopi, atau di celah pembicaraan lainnya.
Kalangan orang tua pada masyarakat Karo pada umumnya khawatir dan malu jika
anaknya atau generasi yang lebih muda tidak memahami sistem kekerabatan. Oleh
karena itu selalu disarankan agar para remaja yang menjelang dewasa supaya rajin
mendengar cerita-cerita orang tua yang menyangkut nasihat dan sistem kekerabatan.
97
Bahwa orang tua akan merasa malu jika anaknya tidak memahami sistem
kekerabatan yang menyangkut merga silima dan rakut sitelu. Jika hal ini tidak
diwariskan secara lebih dini, maka dikhawatirkan generasi penerus tidak memahami
dengan jelas tentang merga silima dan rakut sitelu yang penerapannya sangat jelas
terlihat pada berbagai upacara adat dimana setiap keluarga harus memahami
posisinya apakah ia berada pada kelompok Senina, Anak beru, atau Kalimbubu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di kalangan orang tua pada
masyarakat Karo pada umumnya merasa khawatir jika anak-anak mereka sebagai
generasi penerus, tidak tahu atau tidak memahami sistem kekerabatan masyarakat
Karo sebagai sebuah identitas yaitu, mengetahui posisi klennya dalam konteks
merga silima, dan posisinya saat pelaksanaan sebuah ritual adat dalam pemahaman
rakut sitelu.
Selain merga dan beru, setiap individu dalam etnik Karo juga sekaligus
mewarisi beru dari ibu kandungnya yang disebut dengan bere-bere atau bebere.
Dengan demikian sistem kekerabatan pada etnik Karo mengikuti garis garis
keturunan merga ayah dan beru ibu sekaligus. Dengan demikian etnik Karo tidak
murni menganut sistem patrineal (garis keturunan ayah) melainkan parental
(bilatreral) yang merupakan percampuran dari sistem patrineal dan matrilineal
yaitu menarik garis keturunan ayah dan garis keturunan ibu sekaligus (Bangun,
1989).
Jika merga dan beru disandingkan atau dicantumkan sekaligus di belakang
nama bere-bere tidak pernah dicantumkan. Kendati demikian bere-bere juga
berperan penting dalam sistem kekerabatan pada etnik Karo. Setiap perkenalan
98
(ertutur) antara sesame etnik Karo senantiasa menanyakan dan menyebut
merga/beru dan bere-bere.
Rakut si telu dalam ego adalah senina (saudara kandung atau saudara
semerga), kalimbubu (saudara laki-laki dari ibu), anak beru (saudara perempuan dari
ayah). Dengan demikian, setiap ego orang Karo akan mempunyai senina,
kalimbubu, dan anak beru. Selanjutnya, dalam suatu kegiatan adat atau upacara adat
ketiga unsur rakut si telu tersebut mengacu kepada orang yang melaksanakan
kegiatan adat yang dikenal dengan istilah sukut. Sukut juga dapat disebut sebagai
ego, namun dalam satu kegiatan adat, sukut tidak hanya satu orang atau satu ego
merupakan keluarga, dan sukut juga terdiri dari dua kelompok. Sebagai contoh
dalam adat perkawinan, yang menjadi sukut adalah ayah ibu dan saudara kandung
ayah kedua penganten (laki-laki dan wanita), dan dalam upacara tersebut terdapat
dua sukut yakni sukut sinereh (kelomppok pengantin wanita) dan sukut si empo
(kelompok pengantin laki-laki). Jadi, rakut si telu dalam upacara adat mengacu
pada kedua hal tersebut di atas. Jadi ketiga unsur dalam rakut si telu bermuara pada
dua hal yakni pada diri atau ego dan kelompok dalam satu upacara adat yang
disebut sukut.
Berdasarkan uraian singkat diatas dapat dikatakan bahwa, setiap orang
dalam masyarakat Karo memiliki kerabat sebagai senina, kalimbubu, dan anak beru
secara permanen dalam keluarga karena peran tersebut lahir dari hubungan darah.
Selanjutnya, setiap orang Karo juga secara otomatis mempunyai peran sebagai
senina, kalimbubu, dan anak beru dari orang kerabatnya. Jadi rakut si telu dalam
masyarakat karo berfungsi sebagai melingkar (sirkular). Sistem kekerabatan yang
99
tercakup dalam rakut si telu tersebut selanjutnya berkembang menjadi delapan sub
kekerabatan yang di sebut dengan tutur si waluh (kedudukan yang delapan) yaitu:
Dalam keseluruhan komposisi musik pengiring upacara ini, birama yang
digunakan adalah empat ketukan dasar dalam satu birama. Namun demikian birama-
birama yang terus sama ini dipercepat atau diperlambat sesuai dengan kebutuhan
upacaranya. Umumnya pada saat awal masuk dengan tempo yang lambat, kemudian
berangsur-angsur sedang, baru kemudian setelah guru sibaso seluk (trance), maka
tempo dipercepat. Terjadinya percepatan tempo ini dipimpin oleh ritem yang
dibawakan oleh keteng-keteng 1. Ini penting untuk menimbulkan suasana
komunikatif antara guru sibaso, peserta upacara, tentunya dengan alam supernatural
yang mereka tuju.
Kedua keteng-keteng membentuk jalinan ritem hemiola, yaitu ritem yang
saling mengisi yang menghasilkan ritem paduan yang khas memiliki identitas atau
ciri-ciri musik Karo. Paduan antara kedua keteng-keteng ini, sebenarnya hampir
sama dengan ritem paduan yang dihasilkan pada gendang lima sendalanen, yang
dibawa oleh gung, penganak, gendang singindungi, dan gendang singanaki.
217
Hasilnya juga adalah ritem yang berbentuk hemiola, yaitu ritem jalinan antara dua
alat musik pembawa ritem dan disertai dengan melodi sarune dalam mengiringi
berbagai pertunjukan-pertunjukan budaya Karo.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peranan instrumen musik
keteng-keteng merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi keseluruhan
instrumen musik dalam ensambel gendang telu sendalanen. Pada bagian
selanjutnya, peranan keteng-keteng tersebut akan lebih dominan pada saat
memainkan Gendang Perseluken, peranan irama yang kian cepat akan berpengaruh
dalam proses terjadinya seluk pada guru yang merupakan pemimpin dalam
pelaksanaan upacara tersebut.
Secara musikal proses ini dipimpin langsung oleh keteng-keteng induk,
untuk membawa perubahan suasana dari keadaan para peserta upacara sadar
(conscious) menjadi keadaan tidak sadar atau trance. Peran keteng-keteng di dalam
bahagian ini sangatlah menonjol dan menjadi panduan perubahan suasana
komunikasinya.
218
Notasi 5.4
Gaya Keteng-keteng yang Dominan untuk Mengiringi Peseluken Guru
Balobat Keteng-keteng 1 Keteng-keteng 2
219
Seperti dapat dilihat dalam notasi di atas yang berupa visual, maka kedua
keteng-keteng dalam rangka mempercepat tempo dan masuk dalam suasana seluk,
maka menghasilkan ritem-ritem yang lebih rapat densitasnya. Keteng-keteng
pertama menghasilkan empat pembagian dalam masing-masing ketukan dasarnya:
(a) yang pertama adalah satu ketukan dasar satu not yang berada pada posisi down
beat, (b) yang kedua adalah ritem dupel, yaitu dalam satu ketukan dasar dibagi dua
not yang sama dalam hal ini dua not seperdelapan, (c) yang ketiga adalah ketukan
dasar yang diisi not satu, tiga, dan empat dalam rangkaian satu kuadrupel, (d) yang
keempat adalah ketukan dasar yang diisi not satu dan dua dalam rangkaian
kuadrupel, yang memberikan efek musikal memperkuat ketukan dasarnya. Keteng-
keteng kedua juga sama dengan keteng-keteng pertama, namun ada satu tambahan
ritem yang dihasilkan yaitu pada ritem dupel diberikan aksentuasinya pada not
kedua.
Pada bagian ini instrumen musik keteng-keteng dimainkan dengan tempo
yang cepat secara berulang-ulang hingga guru mengalami seluk (kesurupan). Durasi
permainan ini terkadang hingga menjacapai 30 menit atau lebih. Dengan demikian
peranan keteng-keteng sebagai sebuah variabel dalam ensambel gendang telu
sendalanen merupakan satu kesatuan sistem yang dapat memberi dampak atau
pengaruh kepada variabel lainnya.
Secara lebih luas dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau yang bersifat
sintua, ensambel gendang telu sendalanen sebagai perangkat alat musik tradisional
wajib disertakan sebagai salah satu media dalam pelaksanaan upacara tersebut.
Dalam hal ini ensambel musik tradisional merupakan salah satu indikator yang
220
memiliki peranan kepada indikator lainnya dalam pelaksanaan upacara religi atau
upacara adat tersebut. Bunyi dari ragam instrumen musik dalam setiap komposisi
musik yang dimainkan dalam pelaksanaan upacara keagamaan tersebut, diyakini
memiliki fungsi dan peran untuk memanggil roh-roh dalam kaitannya dengan
pelaksanaan religi erpangir ku lau.
Di sisi lain, kalau dimensi waktu diisi dan diperankan oleh keteng-keteng,
maka untuk dimensi ruang peran ini diambil oleh alat musik belobat, yang
membawakan melodi. Belobat ini umumnya mengisi komposisi musik secara terus-
menerus. Fungsi musikal belobat juga adalah memberikan perubahan lagu-lagu.
Perubahan lagu ditentukan oleh perubahan melodi belobat.
Dalam rangka mengiringi upacara erpangir ku lau ini, belobat biasanya
menggunakan nada-nada yang frekuensinya relatif tinggi, dengan menggunakan
tangga nada utama pentatonik Karo, yang disertai dengan gaya rengget. Dalam
musik tradisional Karo, rengget ini memberikan identitas utama musik Karo, yang
memiliki nilai-nilai estetikanya secara sendiri. Rengget adalah menjadi jiwa alat-alat
musik dan nyanyian vokal musik Karo secara menyeluruh. Di dalam konsepnya
rengget adalah suatu gaya individu yang muncul dari inovasi dan kreativitas para
pemusik dan penyanyi Karo. Rengget ini muncul dalam semua jenis musik vokal
dan instrumental yang melibatkan melodi yang dibawakan oleh alat-alat musiknya.
Konsep estetis ini terus kontinu hingga masa sekarang ini. Diteruskan ke dalam
genre tradisional maupun populer tradisional dalam musik Karo. Hubungan peran
musikal yang dibawakan oleh keteng-keteng satu, keteng-keteng dua, belobat
sebagai satu kesatuan dalam ensambel gendang telu sendalanen, yang digunakan
221
dalam konteks upacara erpangir ku lau yang didasari oleh kosmologi tradisional
Karo, dapat digambarkan dalam bagan berikut ini.
Bagan 5.1:
Hubungan antara Peran Musikal Keteng-keteng, Belobat,
dengan Upacara Erpangir Ku Lau dalam Sistem Kosmologi Karo
222
5.8 Peran Sosial Budaya Keteng-keteng pada Gendang Telu Sendalanen dalam
Kebudayaan Karo
Selain peran musikal terjadi pula peran sosial dan budaya keteng-keteng
dalam gendang telu sendalanen dalam kebudayaan Karo. Peran sosial adalah
mendukung interaksi yang timbul dalam masyarakat Karo. Peran budaya adalah
memenuhi berbagai kepentingan budaya yang dapat dikaji dalam pikiran dan
kepercayaan orang-orang Karo yang melakukannya.
Peran sosial dan budaya tersebut, dalam tesis ini penulis sebutkan sebagai
guna dan fungsi musik dalam masyarakat. Istilah ini penulis gunakan merujuk
kepada istilah dan pengertian guna dan fungsi musik yang ditawarkan oleh Alan P.
Merriam (1964). Sebelum menganalisis peran sosial dan budaya atau guna dan
fungsi keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen dalam upacara erpangir ku lau,
terlebih dahulu dijelaskan penegrtian guna dan fungsi dalam disiplin etnomusikologi
yang seperti yang dikemukakan oleh Merriam sebagai berikut.
5.8.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi
Menurut Bronislaw Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah
bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu
rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan
dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur
kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan
223
nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan
naluri manusia untuk tahu. Makanan muncul untuk memenuhi rasa lapar dan
pertumbuhan tubuh. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena
kombinasi dari beberapa macam human need itu. Dengan fahaman ini seorang
peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan
masyarakat dan kebudayaan manusia.8
Selaras dengan pendapat Malinowski, alat musik keteng-keteng timbul dan
berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri
masyarakat Karo pada umumnya. Alat musik ini dan musik yang dihasilkannya di
dalam gendang telu sendalanen timbul, karena masyarakat pengamalnya ingin
memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Namun lebih jauh dari itu,
akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan,
kontinuitas budaya dan lainnya.
A.R. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat
dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan
individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown
yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat,
mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada
8Abstraksi tentang fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan
usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan institusi-institusi sosial menjadi mantap (Koentjaraningrat, 1987:67).
224
keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah
untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya
berikut ini.
By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).
Selaras dengan pandangan Radcliffe-Brown, alat musik dan musik keteng-
keteng Karo boleh dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakat Karo.
Seni pertunjukan gendang telu sendalanen Karo adalah salah satu bahagian aktivitas
yang boleh menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada masanya akan
berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya, yaitu
masyarakat Karo. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan
konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi
sosial dan budaya dalam masyarakat Karo, misalnya lingkungan yang heterogen di
Sumatera Utara, jati diri dan kumpulan etnik Karo, dan masalah-masalah lainnya.
Soedarsono yang melihat fungsi seni, terutama dari hubungan praktis dan
integratifnya, mereduksi tiga fungsi utama seni pertunjukan, yaitu: (1) untuk
kepentingan sosial atau sarana upacara; (2) sebagai ungkapan perasaan pribadi yang
dapat menghibur diri dan (3) sebagai penyajian estetik (1995). Selaras dengan
225
pendapat Soedarsono alat musik dan musik keteng-keteng dalam gendang telu
sendalanen mempunyai fungsi sosial, ungkapan perasaan pribadi yang dapat
menghibur diri dan penyajian estetika.
Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba
menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam
membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi.
Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting.
Para ahli etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan
ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada
keebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang
biasa dilakukan, atau sebagai bahagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau
dari aktivitas itu sendiri mahupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain
(1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara
penggunaan dan fungsi sebagai berikut.
Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves. (1964:210).
226
Dari kutipan di atas terlihat denghanj jelas bahwa Merriam membedakan
pengertian penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap dan
pengaruhnya dalam sesebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi
tertentu dan menjadi bahagiannya. Penggunaan boleh atau tidak boleh menjadi
fungsi yang lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seeorang menggunakan
nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa
dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan
manusia—[yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin, dan berumah
tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika
seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka
mekanisme tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa,
mengorganisasikan ritual dan kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan”
menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan
“fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama
tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan
demikian, selaras dengan Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan
dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan
konsistensi internal budaya.
5.8.2 Guna Alat Musik Keteng-keteng dalam Upacara Erpangir Ku lau
Guna keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen adalah untuk
mengiringi upacara erpangir ku lau. Dalam upacara ini alat musik keteng-keteng
227
membawakan peranannya sebagai pengiring ritmis. Pengiring ini dilakukan oleh
keteng-keteng singindungi yang membawa ritem konstan dan ostinato, dan ritem
variabel atau peningkah yang dibawa oleh keteng-keteng singanaki. Keduanya
membentuk jalinan musikal yang padu yang berjalan secara seiring dan sejalan.
Sesuai dengan istilah ensambel ini seperjalanan (sendalanen).
Kemudian bersama dengan belobat yang membawa melodi, ensambel ini
digunakan untuk mengiringi upacara erpangir ku lau. Tampak bahwa dalam
mengiringi upacara ini peranan ritmis dan melodis saling bahu-membahu
menciptakan suasana pertunjukan. Selain itu musik ini secara langsung menjadi
media bunyi penghubung antara dunia nyata dengan dunia supernatural, yaitu alam
gaib menurut sistem kosmologi dalam kebudayaan Karo.
Dalam upcara erpangir ku lau ini, keberadaan musik gendang telu
sendalanen menjadi penting dan keharusan untuk kemunculannya. Dengan
demikian, maka musik ini memberikan kontribusi yang besar terhadap jalannya dan
berhasilnya upacara erpangir ku lau seperti yang diharapkan bersama.
5.8.3 Fungsi Integrasi Sosial budaya
Fungsi keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen salah satunya adalah
untuk integrasi masyarakat Karo atau yang lebih luas masyarakat Sumatera Utara
yang majmuk dan Indonesia yang beraneka ragam. Berkenaan dengan fungsi seni
sebagai sumbangan untuk integrasi masyarakat, Merriam menjelaskannya seperti
yang diperturunkan berikut ini.
228
Music, then, provides a rallying point around which the members of society gather to engage in activities which require the cooperation and coordination of the group. Not all music is thus performed, of course, but every society has occasions signalled by music which draw its members together and reminds them of their unity (Merriam, 1964:227).
Menurut Merriam, salah satu fungsi musik adalah sebagai wahana untuk berkumpul
para anggota masyarakatnya. Musik seperti ini biasanya mengajak para warga
masyarakatnya untuk turut serta beraktivitas. Dalam konteks itu, mereka saling
memerlukan kerjasama dan koordinasi kelompok. Walaupun demikian, Merriam
juga tidak menyatakan bahwa semua musik berfungsi sebagai kontribusi untuk
integrasi, tetapi setiap kumpulan masyarakat mempunyai musik seperti yang
digambarkannya itu. Melalui musik ini para anggota masyarakatnya diajak untuk
beraktivitas bersama, dan mengingatkan akan pentingnya mereka sebagai satu
kesatuan kelompok.
Konsep yang dikemukakan Merriam tersebut sangat tepat dalam
menggambarkan salah satu fungsi yang terjadi dalam ensambel gendang telu
sendalanen Karo. Dari serangkaian fungsi musik Karo yang di dalamnya terdapat
keteng-keteng dan ensambel gendang telu sendalanen , menurut penulis, fungsinya
yang utama adalah memberi sumbangan kepada integrasi masyarakat. Masyarakat
di Sumatera Utara, terdiri dari berbagai kelompok etnik, agama, ras dan golongan
sosial. Mereka berkelompok-kelompok berdasarkan persamaan-persamaan tersebut.
Akibatnya antara kelompok selalu terjadi konflik sosial, yang terbawa dalam
berbagai aktivitas, termasuk kesenian. Namun di sisi lain, mereka juga menyedari
akan bahaya yang diakibatkan apabila konflik-konflik sosial tersebut tidak
229
diselesaikan hingga pada tahapan harmoni sosial. Oleh karena itu, mereka perlu
berintegrasi, yang dilandasi oleh semangat sosial, berbeda-beda dalam satu kesatuan.
Perlunya integrasi itu didukung pula dengan kondisi mereka yang berada dalam satu
negara bangsa, provinsi, yang menginginkan kerjasama sosial dalam berbagai
kegiatan, termasuk kesenian Karo.
Musik keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen ternyata mampu
memberikan sumbangan bagi terciptanya integrasi masyarakat Sumatera Utara yang
heterogen. Selain itu juga didukung oleh faktor keadaan Sumatera Utara yang tidak
memiliki budaya dominan.9
5.8.4 Kelestarian Budaya
Berkenaan dengan fungsi sumbangan musik untuk kelestarian dan stabilitas
kebudayaan, Merriam menjelaskan bahwa tidak semua unsur kebudayaan
9Contoh lain fungsi seni yang memberikan sumbangan untuk integrasi masyarakat
adalah tarian yang terdapat pada masyarakat Andaman, yang dideskripsikan Radcliffe-Brown seperti berikut:
The Andamanese dance (with its accompanying song) may therefore be described as an activity in which, by virtue of the effect of rhythm and melody, all the members of a community are able harmoniously to cooperate and act in unity ...
The pleasure that the dancer feel irradiates itself over everything arouns him and he is filled with geniality and good-will towards his companions. The sharing with others of an intense pleasure, or rather the sharing in a collective expression of pleasure, must ever incline us to such expansive feelings. ...
In this way the dance produces a condition in which the unity, harmony and concord of the community are at a maximum, and in which they are intensely felt by every member. It is also produce this condition. I would maintain, that is the primary social function of the dance. The well-being, or indeed the existence, of the society depends on the unity and harmony that obtain in it, and the dance, by making that unity intensely felt, is a menas of maintaning it. For the dance affords an opportunity for the direct action of the community upon the individual, and we have seen that it exercises in the individual those sentiments by which the social harmony is maintained (Radcliffe-Brown, 1948:249-252).
230
memberikan tempat untuk mengekspresikan emosi, hiburan, komunikasi dan
seterusnya. Musik adalah perwujudan kegiatan untuk mengejewantahkan nilai-nilai.
Dengan demikian fungsi musik ini menjadi bahagian dari berbagai ragam
pengetahuan manusia lainnya, seperti sejarah, mitos, dan legenda. Berfungsi
menyumbang kesinambungan kebudayaan, yang diperoleh melalui pendidikan,
pengawasan terhadap perilaku yang salah, menekankan kepada kebenaran, dan
akhirnya menyumbangkan stabilitas kebudayaan (Merriam, 1964:225).
Musik keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen berfungsi
pula memberikan sumbangan untuk kelestarian dan stabilitas kebudayaan Karo di
Sumatera Utara. Di dalam musik ini terkandung unsur-unsur sejarah, mitos, dan
legenda, yang pada saatnya mampu memberikan sumbangan untuk kelestarian
kebudayaan. Melalui ensambel gendang telu sendalanen bisa dipelajari perilaku-
perilaku yang dipandang benar dan salah oleh masyarakat pendukungnya. Di dalam
musik dan ensambel ini terkandung nilai-nilai moral. Usaha untuk mewujudkan
kelestarian dan stabilitas kebudayaan Karo dapat dilihat dari niat untuk melestarikan
kebudayaan Karo pada umumnya dan khususnya ensambel ini.
5.8.5 Hiburan
Berkaitan dengan fungsi seni untuk hiburan, Merriam membicangkannya
seperti yang diperturunkan berikut ini.
Music provides an entertainment function in all societies. It needs only to be pointed out that a distinction must be probably be drawn between “pure” entertainment, which seems to be a particular feature of music in Western society, and entertainment combined with other functions. The latter may well be a more prevalent feature of nonliterate societies (Merriam, 1964:223).
231
Musik keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen, salah satu
fungsinya adalah untuk hiburan. Di dalam kebudayaan Karo musik dan ensambel
ini tetap hidup karena salah satunya adalah berfungsi untuk hiburan. Kelompok-
kelompok pertunjukan biasanya melakukan kegiatannya di rumah pesta penduduk
atau di pentas-pentas pertunjukan. Fungsi utamanya dalam konteks ini adalah
menghibur pengunjung. Bentuk hiburan ini di antaranya adalah pengunjung menanyi
atau menari secara berpasangan dengan iringan ensambel gendang lima sendalanen,
telu sendalanen atau gendang kibod.
5.8.6 Fungsi Komunikasi
Musik keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen berfungsi untuk
komunikasi. Komunikasi yang paling utama adalah antara dunia nyata ini yaitu alam
yang dihuni oleh manusia dengan dunia supernatural. Terutama yang terjadi dalam
upacara erpangir ku lau. Manusia pelaku upacara dan pemusik pengiring dalam
upcara ini sadar untuk meminta keselamatan kepada dunia gaib terutama di alam
dewa khususnya kepada Dibata Kaci-Kaci. Komunikasi secara non verbal dan
verbal dilakukan dalam upacara ini untuk media atau medium perantara di antara
dua dunia yang berbeda.
Sebelum masuknya agama-agama samawiyah, masyarakat Karo mempunyai
sistem religinya sendiri, yang disebut Perbegu. Mereka percaya bahwa segala
sesuatu yang ada di dunia ini baik yang dapat dilihat maupun yang tak dapat dilihat
adalah diciptakan oleh Dibata, yang disebut Dibata Kaci-kaci, berjenis kelamin
232
wanita. Dibata Kaci-kaci ini mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu: dunia atas,
tengah, dan bawah. Setiap wilayah kekuasaan ini diperintah oleh seorang Dibata
sebagai wakil dari Dibata Kaci-kaci. Ketiga Dibata itu merupakan satu kesatuan
yang disebut Sitelu.
Berdasarkan tempatnya memerintah, orang Karo percaya kepada Dibata
Datas, Dibata Tengah, dan Dibata Teruh. Dibata Datas disebut juga Guru Batara,
yang memiliki kekuasaan dunia atas (angkasa). Dibata Tengah disebut juga Tuhan
Padukah ni Aji, Dibata inilah yang menguasai dan memerintah di bagian dunia kita
ini. Dibata Teruh juga disebut Tuhan Banua Koling. Dibata inilah yang
memerintah di bumi bagian bawah (Tarigan 1990:83-84).
Religi Perbegu mempercayai bahwa setiap orang mempunyai tendi (roh).
Apabila seseorang meninggal dunia, maka tendi tersebut berubah menjadi begu.
Agama perbegu di daerah Karo pada tahun 1946 diganti namanya menjadi pemena
oleh para pengetua adat dan guru-guru mbelin. Perubahan nama ini disebabkan
karena banyak mendapat tekanan-tekanan pahit dari pemerintah Belanda bersama
penyiar-penyiar agama yang dibawa bangsa Eropa yang menyebut perbegu sebagai
agama penyembah setan-setan (Putro 1979:32).
Jadi fungsi utama keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen
adalah untuk komunikasi antara dunia manusia ini dengan dunia gaib seperti terurai
di atas. Tujuannya adalah untuk meminta sesuatu ke dunia gaib tersebut, agar
manusia sejahtera di dunia ini.
Dalam komunitas upacara dan pemain musik sendiri pun terjadi juga proses
komunikasi. Dalam hal ini komunikasi yang terjadi adalah komunikasi berbagai
233
arah. Komunikasi antar pemusik ensambel gendang telu sendalenen, yaitu antara
pemain belobat, keteng-keteng pembawa ritem dasar dan keteng-keteng peningkah.
Selain itu terjadi pula komunikasi pemusik dengan guru, komunikasi pemusik, guru,
dan peserta atau partisipan. Lebih lanjut lagi adalah komunikasi para peserta dengan
makhluk dunia supernatural yang dipandu oleh guru. Dampak dari komunikasi ini
adalah terjadinya seluk atau trance para peserta, yang ditandai dengan
ketidaksadaran terhadap diri dan masuknya unsur alam gaib ke dalam tubuh peserta.
Dengan demikian ensambel gendang telu sendalanen yang di dalamnya terdapat alat
musik keteng-keteng mampu memberikan kontribusi terhadap terjadinya komunikasi
multi arah ini.
234
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau di Desa
Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo, dapat ditarik beberapa
kesim[ulan sebagai berikut.
(1) Kendati etnik Karo telah memeluk agama Kristen atau Islam, namun
pelaksanaan upacara religi yang merupakan bagian dari kepercayaan Pemena
(agama kesuakuan), masih tetap dilaksanakan. Sierjabaten, yaitu pemusik
tradisional dimana kehadirannya sangat dibutuhkan dalam upacara-upacara adat
yang dilakiukan oleh masyarakat. Guru sibaso yaitu tabib adalah orang yang
mempunyai keahlian di bidang pengobatan. Guru sibaso ini juga mempunyai
spesialisasi dengan bidang-bidang keahliannya. Guru pada masyarakat Karo
umumnya dianggap sebagai tabib ataupun sering juga diartikan sebagai dukun. Guru
ini berperan besar dalam upacara-upacara ritual dan upacara-upacara tradisional
yang diadakan oleh masyarakat. Tidak hanya dalam upacara, tetapi juga menentukan
hari baik dan hari buruk.
(2) Instrumen musik keteng-keteng merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari fungsi keseluruhan instrumen musik dalam ensambel gendang telu
235
sendalanen. Pada bagian selanjutnya, perenan keteng-keteng tersebut akan lebih
dominan pada saat memainkan Gendang Peseluken, peranan irama yang kian cepat
akan berpengaruh dalam proses terjadinya seluk pada guru yang merupakan
pemimpin dalam pelaksanaan upacara tersebut.
(3) Pelaksanaan kerja erpangir ku lau yang dilaksanakan oleh keluarga
‘Sembiring Kembaren/Beru Ginting’. Dilakukan dengan alasan (niat) untuk
terimakasih kepada dibata, menghidarkan suatu malapetaka yang mungkin terjadi.
Selanjutnya upacara erpangir yang dilakukan berada dalam klasifikasi erpangir
sintua yang dalam hal ini menggunakan musik tradisional ensambel gendang telu
sendalanen.
(4) Kerja (pesta) sintua merupakan pesta yang paling besar yang ada
pada masyarakat Karo. Pada pesta ini harus melibatkan seluruh sangkep nggeluh,
yaitu orang-orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan yang
empunya hajatan serta seluruh anak kampung dimana pesta tersebut dilaksanakan.
(5) Pada saat pelaksanaan erpangir, guru memulai dengan ucapan
permohon kepada Dibata Kaci-kaci melalui mantra (tabas) agar diberi kekuatan.
Kemudian mantra (tabas) pangir di atas anjab (corong bambu). Kemudian
mengucapkan persentabin (kata maaf) dengan menggunakan satu lembar kain putih
(dagangen), belo baja (sirih dan minyak kayu besi), belo minak (sirih dan minyak
makan), belo cawir (sirih tanpa cacat), dan serpi sada (alus). Guru mencuci kaki,
tangan, dan mukannya dengan air, kemudian mencuci muka (erduhap) dengan
penguras. Air penguras di tempatkan di atas kain tebal (hitam), di bawah kain tema
236
tikar putih si sopé keliamen (belum tercemar), guru kemudian menghadap ke timur
(ku matawari) sambil berdiri, kemudian berkata melalui mantra , “Asa sentabi aku,
nembah man kam beras pati taneh.
(6) Dalam pelaksanaan ergendang, musik diawali dengan tempo lambat.
memainkan lagu Mari-mari, yang artinya kemari. Lagu ini biasa dimainkan untuk
memanggl roh-roh yang ada di sekitar tempat tersebut. Kemudian pada saat
memainkan lagu Pesuluken, sekitar 25 menit, kemudian guru mengalami kesurupan
(in trance), kemudian pihak sukut berkomunikasi dengan roh-roh melalui tubuh
guru. Mereka mengucap syukur atas kesembuhan dari penyakit dan menanyakan
berbagai hal mengenai langkah-langkah atau rencana yang akan dilakukan pada
masa-masa yang akan datang.
(7) Peranan instrumen musik keteng-keteng merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari fungsi keseluruhan instrumen musik dalam ensambel
gendang telu sendalanen. Pada bagian selanjutnya, perenan keteng-keteng tersebut
akan lebih dominan pada saat memainkan gendang perseluken, peranan irama yang
kian cepat akan berpengaruh dalam proses terjadinya seluk pada guru yang
merupakan pemimpin dalam pelaksanaan upacara tersebut.
(8) Pembelajaran alat musik tradisional keteng-keteng sebagaimana
dengan pembelajaran alat musik tradisional lainnya, dilakukan secara lisan oleh
orang yang telah terampil memainkan salah satu alat musik ke generasi berikutnya
yang berkeinginan. Demikian halnya dengan alat musik keteng-keteng dilakukan
secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Selain belajar langsung
237
dengan guru, sebagian masyarakat Karo juga ada yang mempelajari alat musik
tradisional keteng-keteng secara mandiri (otodidak) dalam tradisi lisan, dengan cara
mendengar rekaman, kemudian memainkannya.
(9) Adanya keterkaitan erat antara keteng-keteng sebagai pembawa ritem
ostinato dasar dan variasi dengan belobat yang membawakan melodi dan menjadi
ciri utama lagu yang digunakan, dengan keadaan upacara erpangir kulau dari kondisi
sadar sampai kondisi seluk. Fungsi utama media musik ini adalah untuk
berkomunikasi dengan alam gaib dalam sistem kosmologi masyarakat Karo. Dengan
demikian peristiwa musik, upacara, dan sistem kepercayaan dan alam (dalam hal ini
alam nyata dan alam supernatural) menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari
semua rangkaian kegiatan ini.
Bagaimana pun etnik Karo memiliki identitas khas kesukuannya yang salah
satu di antaranya diekspresikan di dalam kegiatan musik dan erpangir ku lau.
Kegiatan sosiobudaya ini menjadi sebuah institusi yang diwarisi dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Kini masyarakat Karo pun sudah berubah naum ada hal-hal
yang perlu diteruskan. Termasuk aktivitas musikal dan supernaturalnya.
6.2 Saran
Bedasarkan berbagai uraian di atas serta beberapa kesimpulan seperti
sudah diurai di atas, maka berikut ini akan disajikan beberapa saran berkaitan
dengan pelaksanaan kerja erpangir ku lau yang melibatkan penggunaan keteng-
keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen di dalam kebudayaan Karo, yaitu
sebagai berikut.
238
Mengingat bahwa etnik Karo telah memeluk agama Kristen atau Islam,
namun pada praktik pelaksanaannya upacara religi yang merupakan bagian dari
kepercayaan Pemena (agama kesuakuan), masih tetap dilaksanakan. Pada hal
sebahagian dari materi pelaksanaan erpangir ku lau jelan betentangan dengan ajaran
Agama, maka untuk itu pihak Departemen Agama melalui pengurus gereja agar
lebih intens untuk memberi informasi kepada masyarakat agar tidak
melaksanakannya. Kendati upacara tersebut harus dilaksanakan, hendaknya
meninjau atau merubah konsepsinya sesuai dengan ajaran agama.
239
DAFTAR PUSTAKA
Baal, J.Van. 1987. Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.
Bangun, Payung. 1985. Kebudayaan Batak Dalam Manusia dan kebudayaan
Indonesia. Jakarta: Jambatan. Bangun, Roberto. 1989. Mengenal Orang Karo. Jakarta : Yayasan Merga Silima. Bangun, Tridah, 1992, Manusia Batak Karo. Jakarta: Inti Indramayu.
Bangun, Tridah, 1990, Penelitian dan Pencatatan Adat-istiadat Karo. Jakarta: Yayasan Merga Silima.
Barth, Fredrik. 1988. Kelompok Etnik Dan Batasannya. Jakarta : UI Press. Benedict, Ruth. 1962. Pola-pola Kebudayaan. Alih Bahasa Sumantri Mertodipuro.
Jakarta: Pustaka Rakyat. Blom, Jan – Petter. 1998. Diferensiasi Etnik dan Budaya. Jakarta: UI Press. Budhisantoso, S.1992). Kesenian dan Nilai-Nilai Budaya. Dalam Majalah Analisis
Kebudayaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dzuhayatin, S.R.1997. Agama dan Budaya Perempuan: Mempertanyakan Posisi
perempuan dalam Islam; dalam Abdullah, I (ed); Sangkan Paran Gende. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ember, R,Carol. Ember,Melvin. 1980. Teori dan Metoda Antropolagi Budaya.
Dalam Ihromi (ed.) Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.
Onong U. Effendy, 1988. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Remadja
Rosdakarya, Bandung. Gintings, EP. 1999. Religi Karo (Membaca Religi Karo Dengan mata Yang Baru).
Kabanjahe: Abdi Karya. Geertz, Clifford. 1982.Hakekat Pemahaman Antropologi : Dengan Ilustrasi dari
Indonesia dan Marokko. Dalam Koentjaraningrat (Ed.) Aspek manusia Dalam Panalitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Hadi, Y Sumandiyo. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Buku Pustaka. Haviland, William A. 1985. Antropologi Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga.
240
Ihromi, T.O 1987. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Gramedia. Koentjaraningrat, 1985. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat, 1986. Pengetahuan Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Koentjaraningrat,1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press. Koentjaraningrat,1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Dian Rakyat. Lauer, Robert H. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Asdi
Mahasatya. Mahasin, Aswab. Natsir, Ismet. 1985. Perjalanan Anak Bangsa. Jakarta: LP3S. Maleong, J Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Manalu, Dimpos. (editor). 2008. Membangun Prakarsa Gerakan Rakyat. Jakarta:
KSPPM. Maryaeni. 2005. Metode penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara. Miles, B. Matthew dan Huberman., A.Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Jakarta: UI-PRESS. Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara. Pasaribu, Ben M. 2004. “Musikalitas + Etnisitas = Pluralitas”. Dalam Pluralitas
MusikEtnik, Medan: Pusat Dokumentasi Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen.
Usman Pelly, 1985. ""Menciptakan Pra Kondisi Keserasian Hidup dalam
Masyarakat Majemuk: Kasus Kotamadya Medan,"" Medan: Makalah Seminar Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan."
Usman Pelly, 1986. Lokasi Lembaga Pendidikan, Sosial, dan Agama dalam Tata
Ruang Permukiman Masyarakat Majemuk yang Menopang Integrasi Sosial: Kasus Kotamadya Medan. Tokyo: The Toyota Foundation.
Usman Pelly, 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau
dan Mandailing. Jakarta: LP3ES.
241
Peirce, Charles S., 1982. Writings of Charles Peirce: A Chronological Edition. M.H. Fisch, E.C. More, C.J.W. Kloesel (eds.). Bloomington: Indiana University Press.
Peirce, Charles S.,1956. The Collected Papers, 8 vols., Charles Hartshorne, Paul
Weiss, and Arthur W. Burks (eds.). Cambridge: Harvard University Press.
Poerwadarminta, W.J.S. (ed.), 1965. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. Putro, Brahma, 1999, Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Ulih Saber. Pritchard, E. E. Evans, 1984. Teori-teori tentang agama primitif. Jakarta: PLP2M
press. Pusat Pembinaan Bahasa (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Medan. Purba, Setia Dermawan, 1994. Penggunaan, Fungsi, dan Perkembangan Nyanyian
Rakyat Simalungun bagi Masyarakat Pendukungnya: Studi Kasus di Desa Dolok Meriah, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Tesis S-2. Jakarta: Universitas Indonesia.
Radcliffe-Brown, A.R., 1952., Structure and Function in Primitive Society.
Glencoe: Free Press. Ritzer, George dan Goodman J.Douglas 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. Sachs, Curt dan Eric M. Von Hornbostel, 1914. “Systematik der Musikinstrumente.”
Zeitschrift für Ethnologie. Berlin: Jahr. Juga terjemahannya dalam bahasa Inggeris, Curt Sachs dan Eric M. von Hornbostel, 1992. “Classification of Musical Instruments.” Terjemahan Anthony Baines dan Klaus P. Wachsmann. Ethnomusicology: An Inroduction. Helen Myers (ed.). New York: The Macmillan Press.
Schechner, Richard. 1980. The End of Humanism: Writing on Performance. New
York: PAJ Publication. Sitepu, Anton, 1992, “Deskriptif Musik Vokal Katoneng-katoneng dalam Konteks
Kerja Mengket Rumah pada Masyarakat Karo. “ Medan: Skripsi Sarjana Enomusikologi FS USU.
242
Sitepu, Bujur , 1992, Adat-Istiadat Karo. Jakata: Balai Pustaka. Soekanto, Soerjono. 1984. Teori Sosiologi Tentang Pribadi Dalam Masyarakat.
Jakarta: Ghalia Indonesia. Soedarsono, 1986. “Notasi Laban: Suatu Kemungkinan Sistem Notasi Tari bagi
Indonesia.” Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari. F.X. Sutopo Cokrohamijoyo (ed.). Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Spradley, James P, 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest (peny.) 1992. Serba-serbi Semiotik. Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Surakhmad, Winarno. 1992 . Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito. Suriasumantri, Yuyun S., 1984. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor dan
Leknas LIPI. Taylor, Shelley E., Peplau, Letitia Anne, dan Sears, David,O. 2009. Psikologi
Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Tarigan, Perikuten. Perubahan Alat Musik Dalam Kesenian Tradisional Karo
Sumatera Utara. Denpasar: Tesis Program Magister, Universitas Udayana.
Tarigan, Henry Guntur, 1990, Percikan Budaya Karo. Jakarta: Yayasan Merga
Silima.
Tarigan, Kumalo, 1992, Aspek Metafora dan Onomatopea dalam Tradisi Budaya Musik Karo. Medan: Fakultas Sastra USU.
Usman, Husaini, dan Akbar, Purnomo Setiadi. 2008. Metodologi Penelitian Sosial.
Jakarta: Bumi Akasara. Vergouwen, J.C., 1964. The Social Organization and Customary Law of the Toba
Batak. The Hague: Martinus Nijhoff. Wahono, S. Wismoady. 1982. Perkembangan dan Pembangunan di Bidang Agama
dan Budaya Suatu Usaha Mawas Diri. Jakarta: Depdikbud. Yunita, Erni, 2011. Analisis Semiotik Mantra Pagar Diri di Desa Ujung Gading
Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. Tesis S-2 Linguistik Sekolah Pascasarjana USU Medan.