Top Banner

of 26

Produksi Primer Perairan

Oct 14, 2015

Download

Documents

Antasari Malau
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Produksi Primer Perairan

EUTROFIKASI

Oleh:Keumala Hafni Munthe130302004Benny Arianta130302010Antasari Malau 130302046Aryana Miftahul K130302050Muhammad Guntur130302072

MATA KULIAH PRODUKSI PRIMER PERAIRANPROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRANFAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS SUMATERA UTARAMEDAN2014

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang 11.2. Tujuan 21.3. Manfaat 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA2.1. Kondisi Kualitas Air 32.2. Eutrofikasi 52.3. Tingkat Eutrofikasi 62.4. Klasifikasi Eutrofikasi 102.5. Indikator Potensial yang Harus Dikontrol 14

DAFTAR PUSTAKA

24

BAB IPENDAHULUAN

Latar BelakangEutrofikasi adalah proses pengayaan nutrien dan bahan organik dalam jasad air. Ia merupakan masalah yang dihadapi di seluruh dunia, ada di ekosistem air tawar maupun marine. Eutrofikasi memberi kesan kepada ekologi dan pengurusan sistem akuatik yang mana ianya selalu disebabkan oleh kemasukan nutrien yang berlebihan terutama fosforus ke dalam jasad air daripada buangan pertanian dan kumbahan dari sumber titik dan bukan titik. Eutrofikasi boleh menyebabkan kembangan alga yang boleh mengakibatkan pengurangan biodiversiti akuatik, kehilangan kemudahan rekreasi, peningkatan kos rawatan air, masalah rasa dan bau serta pembebasan toksin dari sesetengah spesies alga. Eutrofikasi boleh meningkatkan perkembangan makrofit, epifitik dan plankton micro alga. Dalam keadaan yang ekstrem, perkembangan tumbuhan ini boleh mengurangkan penembusan cahaya ke dalam air. Apabila sel-sel yang mati mendap ke dasar dan vegetasi tumbuhan mereput, ianya boleh mengakibatkan pengurangan oksigen di bahagian dasar. Di samping itu, eutrofikasi juga boleh menyebabkan perubahan pH yang ketara, pengurangan oksigen terlarut terutama pada waktu malam, ledakan alga biru-hijau, pengurangan bilangan spesies makrofit dan penukaran warna air kepada hijau atau keperangan (Othman, 2007).Fenomena perilaku penurunan kualitas perairan dalam proses Eutrofikasi telah terjadi di Waduk Cirata terutama mencakup meningkatnya komponen nutrien C, menurunnya DO (disolved Oxygen), dan meningkatnya BOD (Biological Oxygen Demand). Fenomena perilaku ini dibentuk oleh struktur fenomena yang dapat disimulasikan melalui komputer dalam rangka merancang kebjiakan yang dibutuhkan. Metode yang relevan adalah metodologi System Dynamics. Penelitian ini bertujuan membangun model dan raancangan kebijakan yang dapat digunakan untuk mempengaruhi masalah fenomena perilaku tersebut. Hasil simulasi komputer untuk kebijakan pengerukan, pemanenan fitoplankton dan pemberian aerasi telah memperlihatkan hasil yang mampu mengubah perilaku pada proses eutrofikasi yang terjadi di waduk, yaitu meningkatkan DO, menurunkan biomassa fitoplankton dan menurunkan detritus. Besaran dari unsur-unsur penting (DO, Nutrien C, BOD/Detritus, Biomassa Fitoplankton) dalam sistem telah mendekati kondisi yang diinginkan yang menunjukan model telah cukup sensistif terhadap perilaku dunianyatanya. Agar model lebih matang disarankan tersedianya data di lapangan seperti,laju nutrien C dari inlet sungai dan outlet waduk. Selanjutnya direkomendasikan agar dilaksanakan kebijakan penggunaan teknologi aerasi, pengelola waduk agar memiliki alat pengeruk yang mampu melakukan pengerukan di dasar hamparan keramba jaring apung (Gunawan dkk., 2011).Karakteristik suatu perairan dapat dibedakan berdasarkan kondisi trofiknya. Istilah oligotrofik, mesotrofik, eutrofik dan hipertrofik digunakan untuk menggambarkan tingkat kelimpahan zat hara di lingkungan air laut maupun air tawar mulai dari tingkatan yang terendah hingga yang tertinggi. Kata trophi berasal dari bahasa yunani yang berarti makanan atau nutrien (zat hara), sedangkan kata oligo, meso, eu dan hyper berturut-turut artinya sangat jarang, menengah, melimpah dan berlebih. Fosfat dan nitrat merupakan zat hara penting bagi tumbuh kembangnya fitoplankton, sedangkan fitoplankton merupakan parameter biologi yang dapat dijadikan indikator untuk mengevaluasi kualitas dan tingkat kesuburan suatu perairan sehingga secara tidak langsung indikator kesuburan perairan dapat dianalisis dari kondisi trofik perairan berupa kelimpahan senyawa fosfat dan nitrat (Budi, 2011).

Tujuan Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:1. Mengetahui tentang produksi primer perairan.2. Mengetahui aplikasi dari eutrofikasi.

Manfaat Adapun manfaat dari makalah ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui tentang parameter fisika kimia air dan juga dapat membedakan antara parameter fisika dengan kimia air.

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Kualitas Air Machbub, dkk (2003) melaporkan bahwa penelitian kualitas air waduk dan danau telah dilakukan oleh Puslitbang Sumber Daya Air bekerjama dengan Pemerintah Finlandia, yaitu Universitas Finlandia sejak tahun 1990 yang hasilnya menunjukkan bahwa kualitas air waduk dan danau sudah banyak menurun. Penurunan kualitas air waduk dan danau tersebut disebabkan oleh pencemaran organik, terutama senyawa nitrogen dan fosfor yang berasal dari air limbah industri, penduduk, pertanian dan aktifitas perikanan kolam jaring apung (KJA). Tingkat pencemaran waduk yang diakibatkan senyawa nitrogen, fosfor, dan zat organik dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu penyuburan amat sangat berat (hypereutrofic), penyuburan berat (eutrofic), dan penyuburan sedang (oligotrofic), dan mesotrofic atau belum mengalami penyuburan. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa waduk yang masuk tingkat eutrofik adalah Waduk Saguling, Cirata, Karangkates, dan Sengguruh. Kategori oligotrofik adalah Waduk Lahor, Jatiluhur, Muara Nusa Dua, Mrica, Kedungombo, dan yang termasuk mesotrophic adalah Waduk Palasari, Wlingi, Malahayu, dan lain-lain (Machbub, dkk., 2003). Lehmusluto (2006) menyatakan bahwa pada tahun 2004-2005 telah dilaksanakan penelitian pada 10 waduk di Pulau Jawa, terutama waduk yang mengalami pencemaran dan penyuburan yang sangat berat dan berat, menunjukkan bahwa pencemaran waduk makin berat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sebagai contoh Waduk Saguling, kadar oksigen pada lapisan hypolimnion-nya sangat rendah yaitu kurang dari 3 mg/L. Padahal secara umum kadar oksigen pada lapisan tersebut mendekati kadar oksigen pada lapisan epilimnion (lapisan dengan sinar-matahari dapat tembus sampai kedalaman tersebut). Selain itu kualitas airnya telah tidak memenuhi baku mutu untuk keperluan sebagai sumber air baku, air perikanan, air industri, air irigasi. Contoh waduk lain yang mengalami pencemaran berat adalah Waduk Sutami di Malang yang sering mengalami marak alga (alga bloom). Akibat marak alga tersebut, air Waduk Sutami mulai berwarna hijau pekat yang berubah menjadi coklat, ikan mati,timbul bau busuk, mesin-mesin PLTA makin cepat mengalami korosi atau berkarat. Pencemaran air Waduk Sutami yang menyebabkan terjadinya alga bloom adalah limbah penduduk, peternakan dan pertanian. Brahmana, dkk (2002) menyatakan bahwa dampak yang paling serius dari alga bloom pada waduk adalah produksi toksin oleh ganggang Microcystis yang disebut Mycrocystein yang dapat menyerang syaraf dan mengakibatkan kematian.

EutrofikasiEutroikasi merupakan problem lingkungan perairan yang diakibatkan oleh limbah fosfat (PO3-). Deinisi dasarnya adalah pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrien yang berlebihan ke dalam ekosistem perairan. Air dikatakaneutroik jika konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada dalam rentang 35- 100 g/L. Sejatinya, eutroikasi merupakan suatu proses alamiah, waduk mengalami penuaan secara bertahap dan menjadi lebih produktif bagi tumbuhnya biomassa. Diperlukan proses ribuan tahun untuk sampaipada kondisi eutroik. Proses alamiah ini, oleh manusia dengan segala aktivitas modernnya, secara tidak disadari dipercepat menjadi dalam hitungan beberapa dekade atau bahkan beberapa tahun saja. Maka tidaklah mengherankan jika eutroikasi menjadi masalah di sebagian besar waduk atau danau di muka bumi, sebagaimana dikenal lewat fenomena algal bloom. Kondisi kualitas air danau dan/ atau waduk diklasiikasikan berdasarkan eutroikasi yang disebabkan adanya peningkatan kadar unsur hara dalam air. Faktor pembatas sebagai penentu eutroikasi adalah unsur Fosfor (P) dan Nitrogen (N). Eutroikasi diklasiikasikan menjadi empat kategori status troik (PerMNLH Nomor 28 tahun 2009), yaitu: Oligotrof adalah status troik air danau dan/atau waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar rendah, status ini menunjukkan kualitas air masih bersifat alamiah belum tercemar dari sumber unsur hara N dan P. Mesotrof adalah status troik air danau dan/atau waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar sedang, status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar N dan P, namun masih dalam batas toleransi karena belum menunjukkan adanya indikasi pencemaran air. Eutroik adalah status troik air danaudan/atauwaduk yang mengandung unsur hara dengan kadar tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar oleh N dan P. Hipereutroik adalah status troik air danau dan/atau waduk yang mengandungunsur hara dengan kadar sangat tinggi, status ini menunjukkan air telahtercemar berat oleh peningkatan kadarN dan P (Wiryanto dkk., 2013).Nitrogen merupakan salah satu unsur penting dalam pembentukan protein di dalam organisme. Senyawa-senyawa nitrogen, baik di tanah maupun di air jumlahnya selalu terbatas, sedangkan tumbuhan (termasuk fitoplankton) membutuhkan senyawa tersebut dalam jumlah yang cukup besar. Fiksasi nitrogenoleh mikroba merupakan suatu proses penting yang menjamin keperluan senyawanitrogen selalu tersedia untuk keperluan makhluk hidup. Daya manfaat senyawa Nuntuk fitoplankton adalah senyawa N dalam bentuk NO3-N (nitrat) Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Kadar nitrat di perairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi daripada kadar amonium. Kadar nitratnitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/liter. Kadar nitrat yang melebihi 0,2 mg/liter dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan, kadar nitrat dalam air permukaan pada lintang-lintang menengah dan di wilayah tropik pada umumnya rendah. Di perairan alami, nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit daripada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat, dan antara nitrat dan gas nitrogen. Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut sangat rendah. Hasil-hasil penetapan kadar nitrit menunjukkan bahwa di hampir semua perairan bahari kadar nitrit cenderung rendah, bahkan lebih rendah dari kadar nitrat dan ammonia. Amonia di perairanmerupakan racun bagi biota hewani. Nilai ammonia yang tinggi dapat memberikan efek negatif bagi kehidupan fitoplankton. Daya racun ammonia akanmeningkat sebanding dengan meningkatnya pH dan kandungan CO2 bebas. Demikian pula sebaliknya, daya racun ammonia akan menurun dengan berkurangnya konsentrasi CO2 bebas dan pH (Wulandari, 2009).Salah satu contoh polutan organik yang berwujud cair yaitu aliran air yang berasal dari lahan pertanian yang mengandung pestisida. Lahan pertanian tersebut menggunakan pemupukan yang berat sehingga ketika sebagian dari pupuk ini tercuci oleh air hujan maka air limbah pertanian tersebut masuk kedalam badan air. Air limbah tersebut mengandung fosfat dan nitrogen ( senyawa nutrisi ) sehingga badan air mengalami proses eutrofikasi. Eutrofikasi adalah pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air yang berakibat tidak terkontrolnya pertumbuhan tumbuhan air. Bahan organik dan senyawa nutrisi yang muncul dalam badan air, kemudian didekomposisi oleh bakteri menggunakan oksigen terlarut untuk proses biokimia maupun proses biodegradasi. Akibatnya terjadi penurunan kadar oksigen terlarut ( Dissolved Oxygen = DO ) dalam badan air. Oksigen merupakan gas tak berbau, tak berasa dan hanya sedikit larut dalam air [10]. Untuk mempertahankan hidupnya, makhluk yang tinggal didalam air baik hewan maupun tumbuhan bergantung kepada oksigen terlarut ini. Oksigen terlarut ini dibutuhkan untuk pernapasan, untuk proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam air berpengaruh buruk terhadap kehidupan ikan dan kehidupan akuatik lainnya, dan kalau tidak ada sama sekali oksigen terlarut mengakibatkan munculnya kondisi anaerobik dengan bau busuk dan permasalahan estetika. Tingkat Eutrofikasi Eutrofikasi adalah istilah yang menggambarkan penuaan danau.Eutrofikasi secara alami terjadi dalam waktu yang panjang. Vollenweider (1968) dalam Landner (1976) menyatakan eutrofikasi adalah pengkayaan nutrien yang dikuti oleh kemunduran kualitas air. Definisi yang paling mendasar membatasi eutrofikasi dalam pengertian pengkayaan badan air dengan nutrien inorganik, khususnya nitrogen dan fosfor. Di perairan eutrof kualitas air buruk, dengan konsentrasi oksigen terlarut yang rendah dan biomassa yang ekstensive. Pada beberapa kasus perairan menjadi saturasi dengan nutrien atau hipertrofik. Pada stadia ini pertumbuhan dibatasi oleh cahaya dan suhu, bukan oleh ketersediaan nutrien. Sistemekologis cenderung menjadi tidak stabil dan secara periodik crash akibatnya danau mengalami anoksia total diikuti kematian biomassa dalam skala besar Di danau eutrofik, produksi autochtonous bahan organik meningkat dan vegetasi berakar menempati luas permukaan dengan persentase yang lebih besar, sebahagian menyebabkan laju pengendapan badan air. Hasil yang utama peningkatan kesuburan adalah meningkatnya biomassa autotrof. Peningkatan biomassa akan mengakibatkan oksigen super saturasi pada siang hari tetapi pada malam hari karena autototrof dan organisme akuatik lainnya berespirasi maka akan terjadi kekurangan oksigen. Kelimpahan biomassa akhirnya akan menyebabkan deplesi oksigen, karena dekomposisi fitoplanton yang mati (bahan organik) membutuhkan oksigen dengan cepat (Juanda, 2008).Ledakan populasi fitoplankton dapat terjadi apabila kandungan zat hara (terutama nitrat dan fosfat) di dalam air laut meningkat. Peningkatan tersebut dapat disebabkan oleh adanya penambahan zat hara yang melebihi kondisi normal, yang terbawa dari daratan oleh air sungai (Praseno, 2000). Beberapa ahli juga menyebutkan faktor-faktor yang dapat memicu ledakan populasi fitoplankton adalah adanya pengayaan unsur hara atau eutrofikasi, perubahan hidrometorologi secara besar misalnya El Nino, berkurangnya pemangsaan oleh herbivor, adanya upwelling dan adanya hujan lebat dan masuknya air tawar ke perairan laut dalam skala besar.Keragaman kelimpahan fitoplankton dipengaruhi oleh faktor suhu, salinitas, pH, oksigen, nitrat, dan fosfat, atau oleh kombinasi dari faktor-faktor lingkungan tersebut, dan nutrien merupakan faktor paling dominan dalam mempengaruhinya (Kurniawan, 2009).Kesuburan perairan danau secara alamiah umumnya disebabkan pengkayaan oleh unsur hara yang dibawa oleh aliran sungai dari hasil pencucian lapisan tanah permukaan dan limbah organik dari kegiatan pertanian. Setiana (1996) menyatakan bahwa proses masuknya hara ke badan perairan dapat melalui dua cara yaitu: (1) penapisan air drainase lewat pelepasan hara tanaman terlarut dari tanah; dan (2) lewat erosi permukaan tanah atau gerakan dari partikel tanah 18 halus masuk ke sistem drainase. Proses terjadinya pengkayaan perairan danau oleh unsur hara berlangsung dalam waktu yang cukup lama, namun proses tersebut dapat dipercepat oleh berbagai aktivitas penduduk di sekitar perairan danau. Peningkatan jumlah penduduk yang semakin tinggi di sekitar perairandanau, dapat mengganggu keseimbangan lingkungan perairan. Hal ini akan memberikan kontribusi pada laju penambahan zat hara dan limbah organik lainnya yang masuk ke badan air. Jumlah unsur hara yang masuk ke badan perairan biasanya lebih besar dari pemanfaatan unsur hara tersebut oleh biota perairan, sehingga akan terjadi penyuburan yang berlebihan. Eutrofikasi perairan danau dapat terjadi secara cultural eutrophication (kultural) maupun secara naturaleutrophication (alami). Eutrofikasi kultural disebabkan karena terjadinya proses peningkatan unsur hara di perairan oleh aktivitas manusia, sedangkan padaeutrofikasi alami terjadi peningkatan unsur hara bukan karena aktivitas manusia melainkan oleh aktivitas alami.Waduk mempunyai karakteristik yang berbeda dengan badan air lainnya.Waduk menerima masukan air secara terus menerus dari sungai yang mengalirinya. Air sungai ini mengandung bahan organik dan anorganik yang dapat menyuburkan perairan waduk. Pada awal terjadinya inundasi (pengisian air), terjadi dekomposisi bahan organik berlebihan yang berasal dari perlakuan sebelum terjadi inundasi. Dengan demikian, jelas sekali bahwa semua perairan waduk akan mengalami eutrofikasi setelah 12 tahun inundasi karena sebagai hasil dekomposisi bahan organik. Eutrofikasi akan menyebabkan meningkatnya produksi ikan sebagai kelanjutan dari tropik level organik dalam suatu ekosistem ( Apridayanti, 2009).Gejala eutrofikasi di perairan danau biasanya ditunjukkan denganmelimpahnya konsentrasi unsur hara dan perubahan parameter kimia sepertioksigen terlarut (OT), kandungan klorofil-a dan turbiditas serta produktivitasprimer. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi biomassa dibagian epilimnion danau dan tingginya laju pengendapan alga ke bagian dalamkolom air, sehingga menjadikan kondisi anaerobik pada daerah hipolimnion. Meningkatnya unsur hara di danau akan meningkatkan biomassa jenis organismeprimer tetapi akan menurunkan jenis konsumer. Hal ini mengakibatkan melimpahnya salah satu jenis saja dan mengurangi varietas dan kualitas. Salah satu contohnya adalah melimpahnya alga yang biasa didominasi oleh blue green algae (alga biru-hijau) dan berkembangnya gulma air.Di dalam perairan terdapat jasad-jasad hidup, dan salah satunya adalah plankton yang merupakan organisme mikro yang melayang dalam air laut atau tawar. Pergerakannya secara pasif tergantung pada angin dan arus. Plankton terutama terdiri dari tumbuhan mikroskopis yang disebut fitoplankton dan hewan mikroskopis yang disebut zooplankton (Herawati, 1989). Suatu perairan dikatakan subur apabila mengandung banyak unsur hara atau nutrien yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam air terutama fitoplankton dan dapat mempercepat pertumbuhannya. Fitoplankton menduduki tropik level pertama dalam rantai makanan, sehingga keberadaannya akan mendukung organisme tropik level selanjutnya. Sebagai produsen primer, fitoplankton dapat melakukan proses fotosintesis untuk mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik dengan bantuan sinar matahari. Hasil fotosintesis dari produsen akan digunakan bagi dirinya sendiri dan oleh organisme lain (Apridayanti, 2009).Fenomena eutrofikasi juga berdampak terhadap meningkatnya jumlahkematian ikan dan sulitnya pengolahan air untuk air minum. Hal ini disebabkan karena disekresikannya toksin hasil metabolisme alga yang dapat menyebabkan kematian bagi hewan. Kondisi ini pernah terjadi di daerah sub-tropis pada alga jenis Mycrocystis sp yang menghasilkan endotoksin dan eksotoksin yang hasil 19 sekresinya disebut dengan Mycrosystin, dapat menyerang syaraf dan hati, sehingga dapat mengakibatkan kematian bagi hewan-hewan ternak. Ada enam indikator utama yang dapat dipakai untuk mendeteksi terjadinya eutrofikasi di suatu perairan danau yakni : 1. Menurunnya konsentrasi oksigen terlarut di zone hipolimnotik, meningkatnya konsentrasi unsur hara 2. Menigkatnya padatan tersuspensi, terutama bahan organik, bergantinya populasi fitoplankton yang dominan dari kelompok diatome menjadi chlorophyceae 3. Meningkatnya konsentrasi fosfat, dan menurunnya penetrasi cahaya (meningkatnya kekeruhan) (Pengelolaan secara ekologis meliputi pengelolaan komponen yangterdapat dalam ekosistem perairan waduk. Oleh karena permasalahan yang dihadapi perairan waduk adalah masalah pencemaran perairan sebagai akibat proses eutrofikasi, maka perlu diketahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya eutrofikasi yaitu unsur hara, misalnya pospat.Selain itu pengelolaan ekosistem perairan waduk secara ekologi selain dapat dilakukan secara kimia jugadapat dilakukan secara biologi, yaitu menggunakan fitoplankton (Aprliayanti, 2009).Fosfor merupakan komponen biokimia sebagai pengubah energi di dalamsel dan terdapat dalam bentuk adenosin fosfat, yang sangat diperlukan dalam kehidupan sel. Kekurangan fosfor akan menghambat metabolisme secara keseluruhan, sehingga menyebabkan penurunan pertumbuhan biomassa.Yang menyatakan bahwa unsur fosfor merupakan unsur utama yang diperlukan oleh semua ikan untuk pertumbuhan normal, pembentukan tulang, mengatur regulasi asam-basa dan metabolisme lipid dan karbohidrat. Sementara itu, nitrogen adalah merupakan bagian dari struktur protein dan asam amino yang penting untuk kehidupan (Apridayanti, 2009).Dampak negatif lain dari eutrofikasi adalah meningkatnya jumlah algayang mati dan tenggelam ke dasar perairan. Alga tersebut akan diuraikan oleh bakteri, mereduksi kandungan oksigen di dasar perairan, dapat mencapai ke tingkat yang sangat rendah untuk mendukung kehidupan organisme, sehingga 20 menyebabkan kematian ikan. OECD (1982), menyatakan bahwa dampak dari eutrofikasi yang paling sensitif bagi masyarakat adalah yang berkaitan dengan fungsi danau sebagai tempat rekreasi dan wisata air. Aspek-aspek seperti menurunnya transparansi, warna, rasa dan bau, serta meningkatnya penyakit kulit sangat mengurangi daya tarik dan nilai estetika dari obyek wisata tersebut.

Klasifikasi Eutrofikasi Eutrofikasi berasal dari bahasa Junani yang terdiri dari dua kata yakni Eu adalah baik dan Trophe adalah makanan. Kedua kata tersebut bila disatukan diartikan sebagai pemberi makanan yang baik atau penyuburan.Proses penyuburan perairan waduk dandanau dapat terjadi secara alamiah atau kultural. Eutrofikasi alamiah adalah eutrofikasi yang terjadi secara alamiah atau tanpa pengaruh aktifitas manusia, sedangkan eutrofikasi kultural adalah eutrofikasi yang dipengaruhi oleh limbah penduduk, limbah pertanian, limbah industri dan sebagainya.

Eutrofikasi disebabkan oleh proses meningkatnya kadar zat hara, terutama parameter nitrogen dan fosfor, pada air danau dan atau waduk. Wetzel (1975) pada Brahmana,dkk (1993) membagi tingkat eutrofikasi waduk atau danau dalam beberapa tingkatan yaitu : mesotrofik, oligotrofik, eutrofik dan hypereutrofik (dystrofik). Waduk mesotrofik adalah waduk yang kandungan nutrien dan produktivitasnya rendah. Umumnya waduk yang umurnya masih muda termasuk kategori tersebut. Waduk. oligotrofik adalah waduk yang kandungan nutrien dan produktivitasnya sedang. Jenis waduk tersebut sangat cocok untuk perikanan dan pemanfaatan lainnya. Waduk eutroflk adalah waduk yang kandungan nutrient dan produktivitasnya tinggi dan kandungan oksigen pada lapisan hipolimnion rendah. Waduk hypereutrofik adalah waduk yang mengandung banyak material humus, kandungan oksigennya rendah, dan jumlah spesies ganggang sedikit atau keanekaragaman hayati rendah. Sedangkan parameter dan tingkat trofik kategori Wetzels selengkapnya terlihat pada tabel.Sedangkan Sulastri, dkk (2004) menggunakan metoda Riding dan Rast (1989) untuk menentukan trofik Waduk Sutami di Malang, seperti terlihat pada tabel dibawah ini.

Dari berbagai kategori status trofik tersebut diatas, Kementerian Lingkunga Hidup menetapkan Pedoman Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2008), yang terdiri empat kategori status trofik dari UNEP (Tabel 3.9) berdasarkan kadar unsur hara dan kandungan biomasa atau produktivitasnya yaitu: a. Oligotrofik, adalah status trofik air danau dan atau waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar rendah. Status ini menunjukkan kualitas air masih bersifat alamiah belum tercemar dari sumber unsur hara nitrogen dan fosfor. b. Mesotrofik, adalah status trofik air danau dan atau waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar sedang. Status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar Nitrogen dan Fosphor namun masih dalam batas toleransi, karena belum menunjukkan adanya indikasi pencemaran air. c. Eutrofik, adalah status trofik air danau atau waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar oleh peningkatan kadar nitrogen dan fosfor. d. Hipereutrofik, adalah status trofik air danau atau waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar sangat tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar berat oleh peningkatan kadar nitrogen dan fosfor.

Menurut UNEP-IETC/ILEC (2001), fosfor membatasi proses eutrofikasi jika kadar nitrogen lebih dari delapan kali kadar fosfor, sementara nitrogen membatasi proses eutrofikasi jika kadarnya kurang dari delapan kali kadar fosfor. Sedangkan Goldman & Horne (1983) menyatakan bahwa bila rasio N dan P lebih besar dari 12, maka sebagai faktor pembatas adalah unsur Fosfor, sedangkan rasio N dan P lebih kecil dari 7, maka sebagai pembatas adalah senyawa N. Rasio N dan P yang berada antara 7 dan 12 menandakan bahwa N dan P bukan sebagai faktor pembatas (non-limiting factor). Pedoman pengelolaan danau juga memberikan alternatif lain penentuan status trofik dari beban limbah yang mengandung unsur hara yang masuk air waduk atau danau, yaitu melalui Metoda Carlson, seperti terlihat pada Tabel 3.10 dan persamaan sebagai berikut: TSI-TP = 14,42 x Ln[TP] + 4,15 (3.1) TSI-Klorofil-a = 30,6 + 9,81 x Ln[Khlorofil-a] (3.2) TSI-SD = 60 14,41 x Ln[Secchi] (3.3) Rata-rata TSI = (TSI-P + TSI-Cl-a + TSI-SD)/3 (3.4) Dimana : TSI-TP : trofik Status Indeks untuk Total Fosfor, dalam ug/L TSI-Klorofil-a : nilai Trofik Status Indeks untuk klorofil-a, dalam ug/L TSI-SD : nilai Trofik Status Indeks untuk kedalaman cakram Sechi, dalam meter.

Indikator Potensial yang Harus Dikontrol Menurut Goldmen and Horne (1983) pada Brahmana (1993) eutrofikasi perairan danau dapat terjadi secara alami atau natural eutrophication dan secara kultural atau cultural eutrophication. Eutrofikasi alami terjadi karena adanya proses alami yang menimbulkan proses eutrofikasi perairan. Sedangkan aktivitas manusia menyebabkan terjadinya proses peningkatan unsur hara di perairan, sehingga terjadi eutrofikasi kultural. Sedangkan proses masuknya zat hara ke perairan waduk dan danau dapat melalui input sungai yang tercemar oleh zat hara maupun dari lapisan tanah yang mengandung unsur hara dan tererosi masuk ke perairan waduk dan danau. Pencemaran tersebar (diffuse source) adalah zat pencemar yang terbawa akibat limpasan hujan juga menjadi penyebab terjadinya pencemaran waduk dan danau. Novotny,dkk (2004) menjelaskan bahwa sumber pencemaran tersebar di antaranya berasal dari : (1) emisi zat pencemar tersebar yang masuk ke badan air akibat peristiwa meterologi; (2) emisi timbulan limbah yang tersebar pada suatu lahan dan masuk ke air permukaan maupun terinfiltrasi ke air tanah; (3) emisi pencemar tersebar yang sulit dimonitor dan dikendalikan dari sumber asal; (4) emisi zat pencemar akibat kondisi geologis lahan yang tergerus; (5) emisi zat pencemar tersebar dari suatu kegiatan yang menghasilkan partikel tersuspensi, zat hara, bakteri patogen dan senyawa beracun. Machbub, dkk (2003) mengemukakan bahwa terjadinya eutrofikasi di suatu perairan danau dan waduk dapat dideteksi melalui berbagai indikator, yaitu: (1) menurunnya konsentrasi oksigen terlarut di zona hipolimninion; (2) meningkatnya zat hara yaitu nitrogen dan fosfor badan air; (3) menurunnya transparansi perairan, serta (4) meningkatnya padatan tersuspensi, terutama yang mengandung bahan organik. Indikator-indikator tersebut merupakan tanda umum, namun pemantauan paramater kualitas air tetap harus dilakukan, terutama parameter terkait dengan proses eutrofikasi.

Parameter Fisika 1. Suhu. Adanya penyerapan cahaya oleh air danau akan menyebabkan terjadinya lapisan air yang mempunyai suhu yang berbeda. Bagian lapisan yang lebih hangat biasanya berada pada daerah eufotik (bagian atas), sedangkan lapisan yang lebih dingin biasanya berada di bagian afotik (bagian bawah). Menurut Goldman & Horne (1989), bila danau tersebut tidak mengalami pengadukan oleh angin, maka kolam air danau terbagi menjadi beberapa lapisan, yaitu lapisan epilimnion, lapisan hipolimnion dan metalimnion. Lapisan epilimnion adalah yang hangat dengan kerapatan jenis air kurang. Lapisan hipolimnion adalah lapisan yang lebih dingin dengan kerapatan air kurang, dan lapisan metalimnion adalah lapisan yang berada antara lapisan epilimnion dan hipolimnion. Pada daerah metalimnion terdapat lapisan termoklin, yaitu lapisan dimana suhu akan turun sekurang-kurangnya 10C dalam setiap 1 meter kedalaman (Jorgensen & Volleweider, 1989). 2. Padatan Tersuspensi (Suspended Solid) dan Padatan Terlarut (Dissolved Solid). Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas primer perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan. Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan, karena menghalangi penetrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga menghambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Sedangkan padatan terlarut pada badan air berhubungan dengan kadar salinitas perairan. 3. Kekeruhan dan Transparansi. Kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel tersuspensi seperti tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya. Kekeruhan yang tinggi menyebabkan penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga menurun, yang berakibatn produktivitas perairan menjadi turun. Transparansi perairan ditentukan secara visual dengan menggunakan cakram Sechi. Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut, partikel-partikel dan warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai dapat mengakibatkan tingkat kecerahan air danau menjadi rendah, sehingga dapat menurunkan nilai produktivitas perairan. 4. Warna Perairan. Warna perairan dikelompokkan menjadi warna sesungguhnya (true Color) dan warna tampak (apparent color). Warna sesungguhnya dari perairan adalah warna yang hanya disebabkan oleh bahan-bahan terlarut, sedangkan warna tampak adalah warna yang disebabkan oleh bahan tersuspensi dan juga disebabkan oleh bahan organik dan anorganik yang sulit terlarut. Warna tampak umumnya dapat di turunkan melalui proses koagulasi. Bahan-bahan organik seperti tanin, lignin dan asam humus dapat menimbulkan warna kecoklatan di perairan. Perairan yang berwarna dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002 warna air sebaiknya tidak melebihi 15 unit PtCo. Sedangkan pada PP Nomor 82/2001 tidak mengatur tingkat warna air baku.

Parameter Kimia 1. Derajat Keasaman (pH). Sawyer (2003) menyatakan bahwa derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Tingkat keasaman merupakan faktor yang penting dalam proses pengolahan air untuk perbaikan kualitas air. Kondisi perairan bersifat netral apabila nilai pH sama dengan 7, kondisi perairan bersifat asam bila pH kurang dari 7, sedangkan pH lebih dari 7 kondisi perairan bersifat basa Menurut Benjamin (2002) tingkat keasaman mempengaruhi nilai BOD5, fosfat, nitrogen dan nutrien lainnya. Adanya karbonat, dan hidroksida juga menaikkan kebasaan air, sementara adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan keasaman suatu perairan (Canter, 1992). Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitas dari unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai contoh H2S yang bersifat toksik banyak ditemui di perairan tercemar dan perairan dengan nilai pH rendah. Karena itu, nilai pH maksimum untuk air minum adalah 6,5 8,5 sesuai Permenkes Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002. Pada air baku untuk kelas 1 sampai 3 nilai pH adalah 6-9, sedangkan klas IV adalah 5-9, seperti terlihat pada PP Nomor: 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. 2. Karbondioksida (CO2) Agresif. Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO2 yang terlarut di dalam air. CO2 agresif dalam perairan alami merupakan hasil proses difusi dari atmosfer, air hujan, dekomposisi bahan organik dan hasil respirasi organisme akuatik. Tingginya kandungan CO2 agresif pada perairan dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota perairan dan cenderung bersifat korosif. Oleh karena itu, CO2 agresif menjadi salah satu senyawa indikator timbulnya proses korosivitas perairan (Brahmana, 2001) 3. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO) Sawyer (2003) menjelaskan bahwa oksigen terlarut dalam perairan merupakan faktor penting sebagai pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Adanya massa air akibat adanya angin atau gelombang membantu meningkatkan kandungan oksigen terlarut karena meningkatnya proses difusi oksigen dari atmosfer ke badan air. Sebagian besar oksigen pada perairan danau dan waduk merupakan hasil sampingan aktivitas fotosintesis. Pada proses fotosintesis, karbondioksida direduksi menjadi karbohidrat dan air mengalami dehidrogenasi menjadi oksigen, yang dapat dinyatakan sebagai berikut: 6 CO2 + 6 H2Os C6H12O6 + 6 O2. Pada perairan danau ataupun waduk, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh proses fotosintesis alga yang banyak terdapat pada zona epilimnion, sedangkan pada perairan tergenang yang dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air pada zone litoral, keberadaaan oksigen lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan air. Keberadaan oksigen terlarut di perairan sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer (Sawyer,2003). Berdasarkan PP Nomor 82 tahun 2001, badan air dengan kadar oksigen terlarut lebih besar dari 6 mg/l masuk dalam kategori Klas 1, kadar oksigen terlarut antara 4-6 termasuk dalam kategori Klas 2, kadar oksigen terlarut 3-4 mg/l berkategori Klas 3, sedangkan kadar oksigen terlarut kurang dari 3 termasuk dalam kategori Klas 4. 4. Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand, BOD5) dan Kebutuhan Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand, COD) Adanya pencemaran pada badan air yang berasal dari bahan organik dapat diindikasikan dengan parameter BOD5. Bahan pencemar organik yang tinggi akan distabilkan secara biologik dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik, sehingga meningkatkan nilai BOD5. Kondisi anaerob atau tidak adanya oksigen pada perairan dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik. Hal tersebut disebabkan berlangsungnya proses oksidasi secara aerobik yang melibatkan mikroorganisme pengurai, sehingga menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada tingkat terendah. Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 menegaskan bahwa kadar pencemar organik BOD pada badan air dengan Kategori klas 1 adalah maksimum 2 mg/l, kategori Klas 2 yaitu 3-6 mg/l, Klas 3 yaitu dari 6-12 mg/l, sedangkan Klas 4 atau tercemar berat bila kadar BOD lebih dari 12 mg/l. Kadar pencemar organik dalam badan air juga dapat diketahui dari nilai indikator COD atau Chemical Oxygen Demand. Selain BOD5, kadar bahan organik juga dapat diketahui melalui nilai COD. Sawyer, dkk (2003) menjelaskan bahwa COD adalah jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan pencemar organik secara kimiawi, baik yang dapat maupun sukar didegradasi secara biologi menjadi CO2 dan H2O. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa indikator COD paling baik dalam menggambarkan kandungan zat organic, baik yang dapat didekomposisi secara biologis maupun yang tidak. 5. Senyawa-senyawa Nitrogen Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N2, NO2 -, NO3 -, NH3 dan NH4 + serta sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks (Sawyer, 2003). Sumber nitrogen terbesar berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik. Menurut Chester (1990), keberadaan nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ion nitrit (NO2-), ion nitrat (NO3-), ammonia (NH3), ion ammonium (NH4+) dan molekul N2 yang larut dalam air, sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea akan mengendap dalam air. Proses reduksi nitrat berjalan optimal pada kondisi anoksik (tak ada oksigen). Dinitrogen oksida (N2O) adalah produk utama dari denitrifikasi pada perairan dengan kadar oksigen sangat rendah, sedangkan molekul nitrogen (N2) adalah produk utama dari proses denitrifikasi pada kondisi anaerob. Proses denitrifikasi akan berkurang atau lambat pada kondisi pH dan suhu rendah, tetapi akan berjalan optimum pada suhu rata-rata danau pada umumnya. Kondisi anaerob pada lapisan sedimen membuat proses denitrifikasi lebih besar, yaitu dengan laju rata-rata 1 mg/L per hari (Jorgensen, 1980). Kadar nitrogen yang tinggi dalam perairan dapat merangsang pertumbuhan algae secara tak terkendali (blooming). Berdasarkan PP Nomor 21/2008, kandungan zat hara persenyawaan nitrogen dalam perairan adalah maksimum kadar senyawa nitrat (NO3-) adalah 10 mg/l untuk Klas 1 dan 2, sedangkan untuk Klas 3 dan 4 maksimum adalah 20 mg/l. Parameter nitrit (NO2-) kandungan maksimum pada badan air adalah 0,06 mg/l, lebih dari angka tersebut masuk kategori klas 4. Sedangkan kandungan amonia (NH3-N) maksimum adalah 0,5 mg/l, untuk perikanan tidak lebih dari 0,02 mg/l. Sedangkan standar kualitas air untuk air minum, menurut Permenkes Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002 menegaskan bahwa kadar maksimum amonia dan amonium masing-masing adalah 1,5 mg/l dan 0,2 mg/l. 6. Fosfat. Fosfor dalam perairan tawar ataupun air limbah pada umumnya dalam bentuk fosfat, yaitu ortofosfat, fosfat terkondensasi seperti pirofosfat (P2O7), metafosfat (P3O93-) dan polifosfat (P4O13 6- dan P3O105-) serta fosfat yang terikat secara organik. Senyawa ini berada sebagai larutan, partikel atau detritus atau berada di dalam tubuh organisme akuatik (AWWA, 1995). Fosfat dalam perairan yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik adalah dalam bentuk ortofosfat, yaitu hasil hidrolisis dari polifosfat sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Perairan yang mengandung kadar fosfat yang cukup tinggi melebihi kebutuhan normal organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya proses eutrofikasi. Berdasarkan PP Nomor 21/2008, kandungan zat hara Total Fosfat dalam perairan maksimum adalah 0,2 mg/l untuk klas 1 dan 2, sedangkan untuk klas 3 dan 4 masing-masing maksimum 1 mg/l dan 5 mg/l. Sedangkan standar kualitas air untuk air minum parameter fosfor tidak diatur. 7. Pestisida. Limpasan dari daerah pertanian, aliran dari persawahan, buangan limbah domestik, limbah dan industri merupakan sumber Pestisida yang masuk ke badan air Pada umumnya pestisida dalam badan air terserap pada partikel tersuspensi dan partikel yang diam atau terpisah ke dalam subtrat organik. Penggunaan dampak negatif yang berlebihan terutama pada bidang pertanian dapat menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, baik lingkungan perairan, tanah dan udara maupun mahluk hidup yang bukan sasaran. Pestisida cenderung sulit degradasi atau persisten, dan akan terakumulasi, meskipun ada yang bersifat terdegradasi secara alami. Kadar pestisida yang tinggi dapat menimbulkan kematian organisme akuatik secara langsung (keracunan akut), yaitu kontak langsung atau melalui jasad lainnya seperti plankton, perifiton dan bentos, sedangkan kadar rendah dalam badan air kemungkinan besar menyebabkan kematian organisme dalam waktu yang lama, yaitu akibat akumulasi pestisida dalam organ tubuhnya (Soemarwoto et al., 1979). Pada umumnya, pestisida memperlihatkan sifat lebih toksik terhadap zooplankton dan bentos dengan tingkat toksik yang bervariasi, tergantung jenis pestisida dan tingkat stadia komunitas yang bersangkutan. 8. Parameter Mikrobiologi Keberadaan parameter mikrobiologi terutama bakteri digunakan sebagai indikator untuk menilai tingkat higienisitas suatu perairan. Mikroorganisme pathogen atau mikroorganisme yang bersifat berbahaya dari berbagai sumber, seperti permukiman, pertanian dan peternakan mudah, masuk dan mencemari perairan. Bakteri coli merupakan kelompok bakteri yang sangat sering digunakan sebagai indikator pencemaran badan air. Sedangkan Escherichia coli, yang tergolong bakteri koli yang hidup normal di dalam kotoran manusia dan hewan, sehingga kehadirannya dalam perairan menjadi petunjuk adanya pencemaran dari manusia atau hewan. Pencemaran bakteri sangat tidak dikehendaki, baik ditinjau dari segi estetika, kebersihan, sanitasi maupun kemungkinan terjadinya infeksi berbahaya. Berdasarkan PP Nomor 21/2008, kandungan Total coliform dan Fecal coliform dalam perairan adalah maksimum masing-masing 1000/100 ml dan 100/100 ml untuk klas 1, untuk klas 2 masing-masing maksimum 5000/100ml dan 1000/100 ml, sedangkan untuk klas 3 dan 4 masing-masing maksimum adalah 10000/ml dan 5000/100 ml. Sedangkan standar kualitas air untuk air minum menurut Permenkes Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002 dikatakan bahwa kandungan Total coli maupun Fecal Coli adalah 0.

Penanganan EutrofikasiMenyadari bahwa senyawa fosfatlah yang menjadi penyebab terjadinya eutrofikasi, maka perhatian para saintis dan kelompok masyarakat pencinta lingkungan hidup semakin meningkat terhadap permasalahan ini. Ada kelompok yang condong memilih cara-cara penanggulangan melalui pengolahan limbah cair yang mengandung fosfat, seperti detergen dan limbah manusia, ada juga kelompok yang secara tegas melarang keberadaan fosfor dalam detergen. Ada dua cara yang dapat digunakan untuk mengontrol eutrofikasi :a. Attacking symptoms Mencegah pertumbuhan vegetasi penyebab eutrofikasi Menambah atau meningkatkan oksigen terlarut di dalam airBila menggunakan cara ini, ada beberapa metode yang dapat digunakan : Chemical treatment yang dimaksudkan untuk mengurangi kandungan nutrien yang berlebihan di dalam air Aerasi Harvesting algae (memanen alga) yang dimaksudkan untuk mengurangi alga yang tumbuh subur di permukaan airb. Getting at the root cause Mengurangi nutrient dan sedimen berlebih yang masuk ke dalam airBila menggunakan cara ini, ada beberapa metode yang dapat digunakan : Pembatasan penggunaan fosfat Pembuangan limbah fosfat dari rumah tangga dan permukiman. Upaya untuk menyubstitusi pemakaian fosfat dalam detergenCara ini dapat diwujudkan apabila pemerintah dapat menerbitkan suatu peraturan pemerintah atau suatu undang-undang dalam pembatasan penggunaan fosfat untuk melindungi ekosistem air dari cultural eutrofikasi. Di Ameriak Serikat sudah lahir peraturan perundangan mengenai hal ini yang diusahakan oleh sebuah institusi St Lawrence Great Lakes Basin. Di Indonesia sendiri belum terdapat perundangan yang mengatur tentang penguunaan fosfat. Ada beberapa factor yang menyebabkan penanggulangan terhadap probem eutrofikasi ini sulit membuahkan hasil yang memuaskan. Faktor-faktor tersebut adalah : aktivitas peternakan yang intensif dan hemat lahan konsumsi bahan kimiawi yang mengandung unsur fosfat yang berlebihan pertumbuhan penduduk bumi yang semakin cepat urbanisasi yang semakin tinggi lepasnya senyawa kimia fosfat yang telah lama terakumulasi dalam sedimen menuju badan air.Penyisihan fosfat merupakan metode terbaru yang banyak dikembangkan untuk menanggulangi masalah eutrofikasi. Penyisihan fosfat menggunakan media plastik dengan filter biologis mampu meningkatkan efisiensi penyisihan fosfat 85,3 %. Penyisihan dengan kristalisasi pasir kuarsa dilakukan dengan aerasi kontinyu dapat mencapai efisiensi 80% dalam waktu 120 - 150 menit. Pemanfaatan tanah lempung untuk pengolahan air limbah diperoleh bahwa adsorpsi terbesar tercapai pada suasana asam dan dengan penambahan presipitan Fe dapat mencapai efisiensi 80%. Hasil optimum dapat dicapai dalam proses penyisihan fosfor dilakukan dengan menggunakan adsorben tanah yang diasamkan bila ada penambahan presipitan Fe.

DAFTAR PUSTAKA Irianto, E. W dan Triweko. 2011. Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta.