Top Banner
PROBLEM HUKUM DAN PRAKTIK PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL DI BANTEN TAHUN 2016 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : ABDUL RIZAL ASROR NIM : 1113048000006 K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M
120

PROBLEM HUKUM DAN PRAKTIK PENGAWASAN OBAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41303/1/ABDUL... · B. Dasar Hukum Pengawasan Pemerintah ... tradisional yang mengandung

Mar 28, 2019

Download

Documents

lyhanh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

PROBLEM HUKUM DAN PRAKTIK PENGAWASAN OBAT

TRADISIONAL DI BANTEN TAHUN 2016

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

ABDUL RIZAL ASROR

NIM : 1113048000006

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/2017 M

iv

ABSTRAK

ABDUL RIZAL ASROR 1113048000006. PROBLEM HUKUM DAN

PRAKTIK PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL DI BANTEN TAHUN

2016. Konsentrasi Hukum Bisnis. Program Studi Imu Hukum, Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini membahas mengenai problem hukum dan praktik pengawasan

obat tradisional di banten tahun 2016, kondisi yang terjadi di banten terhadap

pelanggaran obat tradisional sangat signifikan, di buktikan dari data yang telah di

dapat dari BPOM Provinsi banten, total pelanggaran yang terjadi dari keseluruhan

sebanyak 116 kasus, dan pelanggran yang terbanyak yaitu dari izin edar obat

tradisional. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui problem hukum dan peraktik

pengawasan obat tradisional di banten.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis

normatif. Penelitian yuridis normatif adalaha penelitian yang dilakukan mengacu

pada norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan perlindungan konsumen obat tradisional dan pengawasan hukum dalam

praktik obat tradisional.

Adapun hasil penulisan ini yaitu obat tradisional harus mempuya izin edar

agar tidak merugikan konsumen. semua bidang instansi harus saling berkoordinasi

untuk menjalin kerjasama, agar tercipta hukum yang bersifat internalization, yaitu

seseorang taat terhadap suatu aturan bener-bener karena ia merasa aturan itu

sesuai dengan nilai-nilai intristik yang di anutnya bukan karena aturan bukan

hanya karena takut terkena sanksi.

Kata kunci : perlindungan hukum; konsumen; obat tradisional; izin

edar.

Dosen Pembimbing : Dr. J. M. Muslimin, MA.

Andi Syafrani, SH.I. MCCL.

Daftar Pustaka : Tahun 1986 s.d. Tahun 2014

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

karunia-Nya yang tak terkira, alhamdulillahi rabbil alamin tiada henti diucapkan

karena dapat terselesaikannya skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu

tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Penelilti menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan, tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya maksimal.

Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan didalamnya karena keterbatasan

pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang

didapat dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan skripsi hingga

terselesaikannya skripsi ini ini tak lepas dari bantuan, bimbingan dan motivasi

dari banyak pihak. Oleh karena itu Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum serta para wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, SH., M.Hum., Sekretaris Program Studi

Ilmu Hukum.

3. Dr. J.M. Muslimin. MA. dan Andi Syafrani, SH.I. MCCL. dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II yang telah bersedia membimbing

dan memberika pengarahan dalam penulisan skripsi ini dengan penuh

kesabaran, perhatian dan ketelitian, memberikan masukan serta

meluangkan waktunya untuk berdiskusidan memberikan bimbingan

hingga skripsi ini selesai.

4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen Program Studi Ilmu Hukum

yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga

ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi

keberkahan dan bermanfaat bagi peneliti dunia dan akhirat.

5. Segenap staf Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah

memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna

menyelesaikan skripsi ini.

6. H. Otib Syatibi dan Hj. Ernih, selaku orang tua serta kakak-adik penelliti, Iin Syarini dan Ihda Khairunnisa yang mendoakan, memotivasi dan kasih

sayang yang telah diberikan dengan tulus sehingga peneliti dapat

menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi.

Serta semua pihak yang telah membantu secara langsung dan tidak langsung, yang

tidak dapat disebutkan satu persatu

vi

Akhirnya, atas jasa dan bantuan semua pihak berupa moril dan materilil

hingga detik ini peneliti panjatkan doa, semoga Allah memberikan balasan yang

berlipat dan menjadikannya amal yang tidak pernah berhenti mengalir hingga akhir.

Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan

bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah senantiasa memberikan

kemudahan bagi kuta semua dalam menjalankan hari esok. Aamiin

Jakarta, 13 September 2017

Abdul Rizal Asror

vii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................... iii

ABSTRAK .......................................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ v

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... vii

BAB I PENDADULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah .............................. 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 6 D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................................. 7 E. Metode Penelitian .............................................................................. 9 F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN

A. Teori Perlindungan Konsumen ......................................................... 14 B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ....................................... 15 C. Hak dan Kewajiban Konsumen .......................................................... 18 D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ..................................................... 22 E. Standarisasi Obat Tradisional ........................................................... 24

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN OBAT TRADISIONAL DI

BANTEN

A. Peraturan-peraturan yang Terkait Perlindungan Konsumen Obat Tradisional ................................................................................. 28

B. Dasar Hukum Pengawasan Pemerintah dalam Perlindungan Konsumen Obat Tradisional ............................................................. 32

C. Dasar Hukum dan Fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap Obat Tradisional .................................................. 35

D. Jenis Pengawasan Obat Tradisional ................................................... 37

BAB IV ANALISIS PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL DI

BANTEN

TAHUN 2016

A. Badan Pengawas Obat dan Makanan Provinsi Banten ...................... 39 B. Pelanggaran Obat Tradisional Provinsi Banten Tahun 2016 ............. 43

C. Pelanggaran Standarisasi izin edar Obat Tradisional di Banten ................................................................................................ 48

D. Hambatan dan Pengawasan Terhadap Obat Tradisional yang Tidak Memiliki Standar ..................................................................... 49

E. Perlindungan Konsumen Terhadap Obat Tradisional yang Tidak Memiliki Standarisasi .............................................................. 51

viii

A. Analisis Temuan Data Pelanggaran Obat Tradsional Terhadap Perubahan Sosial .............................................................. 53

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 55 B. Saran .................................................................................................. 56

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomer 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan menyebutkan bahwa Obat tradisional adalah bahan atau ramuan

bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran digunakan untuk

pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di

masyarakat. Pengguna tumbuh-tumbuhan dalam penyembuhan adalah bentuk

pengobatan tertua di dunia. Setiap budaya di dunia memiliki sistem penobatan

tradisional yang khas dan di setiap daerah dijumpai berbagai macam jenis

tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. WHO (World Health

Organization) pada tahun 1985 memprediksi bahwa skitar 80% penduduk

dunia telah memanfaatkan tumbuhan obat (herbal medicine, phytotherapy

phytomedicine, atau botanical madicine) untuk pemeliharaan kesehatan

primernya.1

Bertambahnya penguna obat tradisional di Indonesia dibuktikan dari

data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pada Tahun 2015

triwulan IV (empat) di bandingkan dengan data triwulan III (tiga) Tahun 2015

yang mana peningkatannya begitu pesat yaitu, dari 1.676 sampel obat

tradisional sampai 7.635 sampel (lokal dan impor). Hasil pengujian

menunjukan 1.455 sampel tidak memenuhi syarat (TMS) mutu dan keamanan

dimana sampel mengandung Bahan Kimia Obat (BKO).2 Tindak lanjut yang

dilakukan berupa pembinaan, pembatalan Nomor Ijin Edar serta penarikan

dan pemusnahan produk.

1Suli Angri, Priyono Prawito, dan Sumarto Widiono, Eksistensi Pemanfaatan Tanaman Obat

Tradisional (TOT) Suku Serawai Diera Medikalisasi Kehidupan,Jurnal Penelitian Pengelolaan Sumber

daya Alam dan Lingkungan, 1:3, (Bengkulu:EGC, 2012), h.1.

2http://www.pom.go.id/ppid/rar/2016/rtw2015-IV.pdf Pada 20/3/2017 13:59 WIB

http://www.pom.go.id/ppid/rar/2016/rtw2015-IV.pdf%20Pada%2020/3/2017%2013:59

2

Pemeriksaan kepatuhan implementasi Cara Pembuatan Obat Tradisional

yang Baik (CPOTB) dari 277 Industri Obat Tradisional (IOT), Usaha Kecil

Obat Tradisional (UKOT) dan Usaha Mikro Tradisional (UMOT),

menunjukan 42 (15,16%) IOT, UKOT dan UMOT yang tidak memenuhui

ketentuan (TMK), penyebab TMK yaitu 2 (0,72%) sarana memproduksi obat

tradisional yang mengandung bahan kimia obat (BKO), 31 (11,19%) sarana

memproduksi produk Tanpa Izin Edar (TIE), 2 (0,72%) sarana yang belum

menerapakan CPOTB, dan 7 (2,53%) sarana memproduksi produk TMK.

Tindak lanjut yang dilakukan berupa pembinaan serta pengamanan dan

pemusnahan produk TIE dan yang mengandung BKO.3 Pada data ini sudah

sangat terlihat obat tradisional yang memenuhi standar hanya 69,68% di

bandingkan dengan obat tradisional yang tidak memiliki ketentuan.

Dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang Perlindungan

Konsumen Nomer. 8 Tahun 1999 telah mengatur tentang perbuatan yang

dilarang bagi pelaku usaha, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan

atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak

sesuai dengan standar yang di persyaratkan dan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Bahwa pelanggaran atas larangan tersebut

dikualifikasikan sebagai perbuatan melanggar hukum.4 tujuan dari pengaturan

ini menurut Nurmadjito, adalah untuk mengupayakan terciptanya tertib

perdagangan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat. Hal ini guna

menjamin terjadinya persaingan usaha antara pelaku usaha.5

Perlindungan konsumen merupakan bagian yang tak terpisahkan dari

kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat

3http://www.pom.go.id/ppid/rar/2016/rtw2015-IV.pdf pada 20/3/2017 13:59 WIB.

4Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta: PT. Raja

Grafindo, 2004), h. 91.

5 Nurmatjito, Kesiapan Perangkat Perundang-Undangan tentang Perlindungan

Konsumen,(Bandung : Mandar maju, 2000), h. 18-19.

http://www.pom.go.id/ppid/rar/2016/rtw2015-IV.pdf

3

keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. Tidak

adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada

posisi yang lemah.6 Lebih-lebih jika produk yang dihasilkan oleh produsen

merupakan jenis produk yang terbatas, produsen dapat menyalah gunakan

posisinya yang monopolitis tersebut. Hal itu tentu saja akan merugikan

konsumen.

Obat tradisional merupakan kebanggaan asli Indonesia yang diwariskan

turun-temurun, digunakan luas oleh masyarakat dan telah menjadi industri,

maka pemerintah harus lebis serius dalam mengawasinya disertai melakukan

penelitian efektifitas dan keamanannya, sesuai dengan Pasal 59 Undang-

Undang Nomer. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Dalam Undang-Undang Kesehatan diatur tentang pelayanan kesehatan

tradisional yakni, Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanannya kesehatan

teradisional yang mengunakan keterampilan, dan Pelayanan kesehatan

tradisional yang mengunakan ramuan. Pelayanan keseahatan teradisional

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi oleh pemerintah agar

dapat dipertanggung jawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak

bertentangan dengan norma agama.

Namun, kenyataannya yang terjadi di pasaran masih banyak terdapat

pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang

kesehatan tersebut. Untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya,

seringkali pelaku usaha menyampingkan hak-hak konsumen serta larangan

yang telah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan. Kebanyakan dari pelaku

usaha menyadari hal tersebut tetapi karena usaha mereka sudah berjalan maka

banyak pelaku usaha yang melabui aparat Kepolisian dan Badan Pengawasan

Obat dan Makanan (BPOM).

6Ahmadi Miru,Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta:

PT Raja Grafindo persada, 2011 Cet. Ke-4), h. 1.

4

Berdasarkan Undang-Undang Nomer. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki sejumlah hak seperti yang

termuat dalam Pasal 4, diantaranya hak konsumen atas kenyamanan,

keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

Sebaliknya pelaku usaha betranggung jawab memenuhi kewajibannya dengan

memberikan informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa tersebut serta memberikan penjelasan pengunaan,

perbaikan dan pemeliharaan.

Tujuan penyelenggaran, pengembangan dan pengaturan perlindungan

konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat dan

kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha

dalam penyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung

jawab.7

Dengan diterapkannya otonomi daerah, BPOM membentuk suatu

balai besar POM di setiap provinsi untuk melakukan pengawasan obat dan

makanan. Salah satunya di Provinsi Banten. Berdasarkan Peraturan Kepala

Badan POM RI Nomor HK.00.05.21.3952 tanggal 9 Mei 2007 tentang

Perubahan Kedua atas Keputusan Kepala Badan POM RI

No.0018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja UPT di

Lingkungan Badan POM, cakupan wilayah kerja balai POM Provinsi Banten

meliputi seluruh wilayah administrasi provinsi banten, yaitu: Kabupaten

Lebak, Kabupateng Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang,

Kota Tangerang, Kota Serang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang Selatan.

BPOM Provinsi Banten melakukan pengawasan pre-market dan post-

market, Pengawasan pre-market merupakan pengawasan sebelum barang

beredar dimasyarakat dengan melakukan pemeriksaan produk dan

pemeriksaaan sarana produksi. Sedangkan pengawasan post-marker

7Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000) , h.18.

5

merupakan pengawasan sebelum barang beredar di masyarakat dengan

melakukan infeksi langsung ke sarana distributor, toko, depot, minimarket dan

hypermarket.

Banten merupakan masyarakat yang masih mengonsumsi obat

tradisional untuk pemeliharaan kesehatan, walaupun Banten hanya memiliki

industri obat tradisional di Kota Tangerang akan tetapi masih sangat minim

industri obat tradisional dibanten tidak seperti kota lainnya, namun jumlah

distribusinya cukup banyak.

Banyaknya orang yang berlomba-lomba memasarkan atau

mempromosikan barang dan jasa, tetapi ketika barang tersebut tidak memiliki

standar yang telah diatur oleh Undang-Undang seperti halnya di Banten masih

banyak mobil obat tradisional keliling yang menjanjikan semua penyakit akan

sembuh hanya dengan konsumsi obat tersebut. Dan obat tradisional yang

dipromosikan tidak memiliki standar uji kelayakan yang diberikan oleh

BPOM dan tidak masuk dalam persyaratan Cara Pembuatan Obat Tradisional

yang Baik (CPOTB), dalam hal ini untuk menjamin pembuatan obat

tradisional yang memenuhi syarat edar agar tidak membahayakan bagi

konsumen.

Dari pemaparan diatas penulis bermaksud untuk melakukan penelitian

dalam bentuk skripsi yang berjudul: PROBLEM HUKUM DAN PRAKTIK

PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL DI BANTEN TAHUN 2016.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Perlindungan konsumen di Banten terhadap promosi obat tradisional

yang tidak memiliki atau memenuhi setandar.

b. Pelaksanaan perlindungan hukum bagi konsumen dari obat tradisional

yang mengandung bahan kimia obat di Banten.

6

c. Hambatan POM di Banten dalam pengawasaan peredaran obat tradisional

yang tidak memiliki izin edar atau tidak memenuhi standar.

d. Kedudukan promosi obat tradisional yang ilegal dalam hukum

perlindungan konsumen.

e. Pengawasan dari pemerintah terhadap konsumen pengguna obat

tradisional ditinjau dari segi keamanan medis.

2. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan dari peraturan perlindungan konsumen

maka disini akan difokuskan pada Problem Hukum dalam Praktik

Pengawasan Obat Tradisional di Banten.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang

telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah

sebagai berikut:

a. Apa bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat

dan Makanan terhadap Obat Tradisional di Banten ?

b. Bagaimana perlindungan konsumen terhadap obat tradisional yang

tidak memiliki ijin edar ?

c. Bagaimana penyelesaian hukum terhadap pelanggaran obat

tradisional di banten?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk menjelaskan bentuk pengawasan terhadap peredaran Obat

Tradisional di Banten;

b. Untuk menjelaskan Perlindungan Konsumen di Banten Terhadap Obat

Tradisional yang tidak memenuhi standar;

c. Untuk menjelaskan penyelesaian hukum terhadap pelanggaran obat

tradisional di Banten.

7

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

wawasan dalam bidang hukum perlindungan konsumen yang berkaitan

dengan obat tradisional yang tidak memenuhi standar atau yang

berkaitan dengan Undang-Undang Kesehatan.

b. Manfaat Peraktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan

sebagai berikut :

1) Memberikan saran bagi pemerintah khususnya pada perlindungan

konsumen untuk lebih teliti dalam perlindungan konsumen

terhadap obat tradisional yang belum mempunyai standar di

Banten.

2) Memberi masukan bagi para penegak hukum dalam rangka

pemberian kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi hak-hak

konsumen.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Pernah ada skripsi yang membahas mengenai tinjauan kajian yuridis

terhadap promosi obat tradisional yang tidak memenuhi standar berdasarkan

hukum perlindungan kunsumen di antaranya ialah:

A. Judul Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Obat Tradisional

Impor (Studi Kasus Shen Long Gingseng Powder) yang disusun oleh

Nur Fika, Fakultas Syariah Dan Hukum, Tahun 2014. Pada Skripsi

pembahasan difokuskan pada kerugian konsumen terhadap label kemasan

obat tradisional impor khususnya hanya pada Obat Shen Long Gingseng

Powder. Perbedaannya dengan Skripsi yang diangkat adalah dari segi

penelitiannya hanya pada satu produk yaitu Obat Shen Long Gingseng

8

Powder. Akan tetapi skripsi yang diangkat yaitu mengenai problem

hukum dan praktik pengawasan obat tradisional di banten tahun 2016.

B. Judul Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Produk Pangan dalam

Kemasan Tanpa Label Halal pada Usaha Kecil yang disusun oleh

Inayatul Aini, Fakultas Syariah dan Hukum, Tahun 2014 Pada skripsi

pembahasan difokuskan pada produk pangan dalam kemasan tanpa label

halal pada usaha kecil dan upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen

dalam memperoleh perlindungan haknya.

C. Buku Ahmadi Miru, berjudul Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum

Bagi Konsumen Di Indonesia. Buku ini membahas mengenai kondisi

konsumen yang banyak dirugikan memerlukan peningkatan upaya untuk

melindunginya sehingga hak-haknya dapat ditegakan. Sedangkan dalam

pembahasan skripsi peneliti membahas mengenai problem hukum dan

praktik Pengawasan Obat Tradisional Berdasarkan Hukum Perlindungan

Konsumen di Banten.

D. Buku Midian Sirait Berjudul Analisa dan Evaluasi Hukum Tentang

Perlindungan dan Pengawasan terhadap Pemakaian Obat

Tradisional.Buku ini membahas tentang permasalahan-permasalahan

yang timbul dari pelaksanaan peraturan di bidang obat tradisional, analisa

hukum tentang perlindungan konsumen dan pengawasan terhadap

pemakaian obat tradisional. Agar diharapkan dapat menambah informasi

hukum kepada masyarakat luas, khususnya kalangan yang berkecimpung

di bidang hukum dan selanjutnya memberikan pemikiran-pemikiran yang

berguna dalam menyusun peraturan perundang-undangan.

Sedangkan dalam pembahasan skripsi peneliti membahas mengenai

problem hukum dan praktik pengawasan obat tradisional berdasarkan

hukum perlindungan konsumen.

E. Jurnal Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Undayana Kajian

Yuridis Tentang Ketentuan Produksi dan Ijin Peredaran Obat Tradisional

9

Berkaitan dengan Perlindungan Konsumen. Jurnal ini membahas

mengenai produksi dan ijin peredaran Obat tradisional yang terkain

dengan perlindungan konsumen dan cara menemukan aturan hukum

dalam peredaran obat tradisional.

Dengan ini sepanjang penelusuran peneliti, penelitian yang

dilakukan penulis, belum ada yang melakukan penelitian mengenai

problem hukum dan praktik pengawasan obat tradisional di Banten

berdasarkan hukum perlindungan konsumen. Merupakan penelitian yang

belum pernah diangkat sebelumnya sebagai judul skripsi.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitan yang dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah research,

pada hakikatnya merupakan sebuah upaya pencarian. Lewat penelitian

(research) orang mencari (search) temuan-temuan baru, berupa

pengetahuan yang bener (truth, true, knowledge), yang dapat dipakai

untuk menjawab suatu pernyataan untuk memecahkan suatu masalah.8

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa

dan konstruksi. Metodologis berarti sesui dengan metode atau cara

tertentu. Sistematis adalah berdasarkan suatu sistem. Sedangkan konsisten

berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka

tertentu.9

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah

yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang

bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu

8 M. Syamsudi, Operasional Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),

h.1.

9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2014), h.42.

10

dengan jalan menganalisanya, kecuali itu, juga diadakan pemeriksaan

yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian mengusahakan

suatu pemecahan permasalahaan-permasalahaan yang timbul di dalam

gejala bersangkutan.10

Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis

normatif yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum

yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

perlindungan konsumen obat tradisional dan pengawasan hukum dalam

praktik obat tradisional.

2. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1) Pasal 28 H Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Tahun 1945.

2) Undang-Undang Nomer. 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan

Konsumen.

3) Undang-Undang Nomer. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,

4) Praturan Menteri Kesehatan Nomer. 07 Tahun 2012 tentang

Registrasi Obat Tradisional.

5) Peraturan Menteri kesehatan Nomer. 06 Tahun 2012 tentang

Registrasi Obat Tradisional,

6) Peraturan Menteri Kesehatan Nomer. 103 Tahun 2014 tentang

Pelayanan Kesehatan Tradisional,

10 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2012), h.38.

11

7) Peraturan Kepala BPOM RI Nomer. 28 Tahun 2013 tentang

Pengawasan Pemasukan Bahan Obat, Bahan Obat Tradisional,

Bahan Suplemen Kesehatan, dan Bahan Pangan dalam Wilayah

Indonesia,

8) berupa wawancara dengan BPOM Provinsi Banten, dan

wawancara ke lapangan mengenai problem hukum obat tradisional

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri

dari buku-buku hukum lainnya, skripsi hukum bisnis, tesis hukum

bisnis, disertasi hukum bisnis, dan Jurnal ataupun materi-materi

mengenai hukum yang berkaitan dengan peraktek pengawasan obat

tradisional di banten ditinjau dari perlindungan konsumen.

c. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang

sumber primer dan sumber hukum sekunder, seperti kamus hukum dan

website resmi dalam internet.

3. Pengelolaan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder maupun bahan hukum nonhukum diuraikan dan dihubungkan

sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih

sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara

mengolahnya dengan mengumpulkan data-data yang diperoleh dari

pendekatan yang dilakukan oleh Penulis yakni pendekatan undang-

undang, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual, kemudian

dihubungkan dengan pendapat para ahli-ahli hukum. Dari sini akan

ditemukan jawaban yang berkaitan dengan permasalahan hukum dan

praktik pengawasan obat tradisional di Banten.

12

4. Metode Penulisan

Metode penulisan skripsi ini mengacu pada Pedoman Penulisan

Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2017.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.

Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub, hal ini dapat membantu dan

mempermudah untuk mengrtahui dan memahaminya. Adapun sistematika

yang dimaksud adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan, yang memuat latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembahasan dan perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) studi

terdahulu, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Berisi tentang uraian pengertian perlindungan konsumen,

tujuan perlindungan konsumen,dan hak konsumen dan

produsen .

BAB III: DASAR HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

OBAT TRADISIONAL

Pada bab ini penulisan menjelaskan dasar hukum perlindungan

konsumen obat tradisional, dasar hukum pengawasan

pemerintah dalam perlindungan konsumen obat tradisional,

dasar hukum dan fungsi badan pengawas obat dan makanan,

dan jenis pengawasan obat tradisional.

13

BAB IV : ANALISIS PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL DI

BANTEN TAHUN 2016

Dalam bab ini penulis menjelaskan secara rinci dari temuan-

temuan data terkait pelanggaran obat tradisional dalam praktIk

pengawasan. Hambatan apa yang menjadi pengawasan obat

teradisional untuk menjawab data yang terkait.

BAB V : PENUTUP

Berisikan kesimpulan dan saran dari Penulis.

14

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Teori Perlindungan Konsumen

Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen merupakan dua

hukum yang sulit untuk dipisahkan dan ditarik batasannya. Pada intinya

hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen

yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan.1Sedangkan menurut Mochtar

Kusumaatmaja hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah

hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama

lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan

hidup.

Sedangkan menurut Az. Nasution hukum konsumen adalah sebagai

keseluruhan asas-asas dan kaidah uang mengatur hubungan dan masalah

penyediaan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan

penggunaannya dalam kehidupan bermasyarakat.2

Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-

asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam

hubungannya dengan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang

dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan

bermasyarakat.3

Oleh karena itu perlindungan konsumen merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat, dan dalam kegiatan bisnis yang

sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan

1AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen suatu pengantar, (Jakarta : Diadit Media,

2011), h. 20-21.

2AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen suatu pengantar, h. 22.

3AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen suatu pengantar, h. 23.

15

produsen. Tidak adanya perlindungan hukum perlindungan yang seimbang

yang menyebabkan kosumen pada posisi yang lemah.4

Menurut Treolstrup, konsumen pada dasarnya memiliki posisi tawar

yang lemah dan terus melemah, hal ini disebab kan5:

a. Terdapat lebih banyak produk, merek, dan cara penjualannya;

b. Daya beli konsumen makin meningkat;

c. Lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum

banyak diketahui semua orang;

d. Model-model produk lebih cepat berubah;

e. Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang

lebih besar kepada bermacam-macam pelaku usaha;

f. Iklan yang menyesatkan; dan

g. Wanprestasi oleh pelaku usaha.

Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak

yang mengadakan hubungan hukum tersebut bermasalah dalam kehidupan

bermasyarakat dan berada dalam kedudukan yang tidak seimbang. Pada

umumnya, kedudukan konsumen lebih lemah dari pada pelaku usaha.

Pada dasarnya, hukum perlindungan konsumen merupakan usaha untuk

mewujudkan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir,

berpendapat dan bertindak.6 Asas-asas pembentukan peraturan perundang-

4Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesi, (Jakarta :

Rajawali Pers, 2011), h.1.

5Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media, 2010), h.9.

6Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : balai Pustaka,

2002), h.7.

16

undangan berarti dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam

penyusunan peraturan perundang-undangan. Asas-asas hukum merupakan

fondasi suatu undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh

pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah berdasarkan

lima asas, yaitu menurut Pasal 2 UUPK adalah:7

1. Asas Manfaat

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen harus

memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan

pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini mempunyai makna bahwa

dalam menerapkan UUPK harus memberikan manfaat kepada pihak-pihak

yang bersangkutan yaitu konsumen dan pelaku usaha sehingga, tidak ada

satu pihak yang merasa kedudukannya lebih tinggi diantara yang lain.

2. Asas Keadilan

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan

kewajibannya secara adil.

Asas keadilan mempunyai makna agar antara pelaku usaha dan konsumen

masing-masing memperoleh keadilan dalam melakukan kewajiban dan

keadilan dalam menerima hak-haknya, karena itu UUPK mengatur han

dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

3. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah;

7Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT. Raja

Grafindo Persada, 2004), h. 25-26.

17

Dengan adanya asas ini diharapkan antara kepentingan konsumen, pelaku

usaha, dan pemerintah dapat terwujud secara seimbang. Tidak ada pihak

yang merasa dirinya lebih dilindungi dari pihak lain.

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberi

jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam

penggunan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang di

konsumsi atau digunakan.

Asas ini mempunyai makna adanya suatu jaminan atas keamanan dan

keselamatan dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang

dan/atau jasa yang akan dimanfaatkan atau digunakan tidak akan

mengancam ketentraman, keselamatan jiwa, dan harta bendanya.

5. Asas Kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen, negara dalam hal

ini turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut.

Selain kelima asas tersebut di atas, UUPK juga merumuskan tujuan

perlindungan konsumen, yang dirumuskan pada Pasal 3 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, yaitu:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri,

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung sistem

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

18

5. Membutuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi baran dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, dan keselamatan konsumen.

C. Hak dan Kewajiban Konsumen

Signifikansi pengaturan hak-hak konsumen melalui Undang-undang

merupakan bagian dari implementasi sebagai suatu negara kesejahteraan,

karena Undang-undang Dasar 1945 di samping sebagai konstitusi politik juga

dapat disebut konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide

negara kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme

sejak abad sembilan belas.8

Secara Umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu:

1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)

2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)

3. Hak untuk memilih (the right to choose)

4. Hak untuk didengar (the right to he heard)

Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam

perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang bergabung dalam

The International Organization of Consumers Union (IOCU) menambahkan

lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak

mendaptkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang

sehat dan baik.

Sedangkan hak konsumen di Indonesia sebagaimana tercantum dalam

Pasal 4 UUPK No. 8 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :

8Jimly Asshidqie, Undang-undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan

Realitas Masa Depan , (Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998), h.298.

19

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan dan/atau jasa

tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat

bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen

merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan

konsumen.9 Barang dan/atau jasa yang penggunanya tidak memberikan

keamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan

konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat.

Selanjutnya, untuk menjamin suatu barang dan/atau jasa yang

dikehendakinya berdasarkan keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan

jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak

9Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media, 2010), h.34

20

untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil,

kompensasi sampai ganti rugi.10

Hak-hak konsumen yang diatur dalam peraturan lainnya, yaitu

a. Hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat

Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan

hak yang diterima sebagi salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai

organisasi konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat

berarti sangat luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas

lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup

dalam arti fisik dan lingkungan non fisik.

Dalam Pasal 6 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan dan Pasal 15 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hak untuk

mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat ini dinyatakan secara

tegas. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup

menyatakan, setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan

hidup yang sehat.

b. Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang

Persaingan curang atau dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999

disebut dengan persaingan usaha tidak sehat dapat terjadi jika

seorang pengusaha berusaha menarik langganan atau klien pengusaha

lain untuk memajukan usahanya atau memperluas penjualan dan

pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana yang

bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan

perekonomian.

Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun

dampak dari persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika

10Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia

Pustaka, 2000), h.30

21

persaingan antara pelaku usaha sehat, konsumen memperoleh

keuntungan. Sebaliknya jika persaingan antara pelaku usaha tidak

sehat konsumen pula yang dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak

dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau lambat pasti terjadi.

Betapa pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan

pemikiran yang berpendapat bahwa hak-hak konsumen merupakan

generasi keempat hak asasi manusia, yang merupakan kata kunci

dalam konsepsi hak asasi manusia dalam perkembangan di masa-masa

yang akan datang.11

Selain memperoleh hak tersebut, sebagai balance, konsumen

juga mempunyai beberapa kewajiban sebagaimana tercantum dalam

Pasal 5 UUPK No. 8 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan

dan keselamatan;

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

dan/atau jasa;

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

Hal tersebut di atas dimaksudkan agar konsumen dapat

memperoleh hasil yang maksimal atas perlindungan dan/atau kepastian

hukum bagi dirinya. Pentingnya kewajiban ini, karena pelaku usaha

telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk,

namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan

kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini, memberikan

konsekuensi hilangnya tanggung jawab pelaku usaha apabila

11Jimliy Asshidqie, Perkembangan Pemikiran Mengenai Hak Asasi Manusia, Instituate For Democracy dan Human Rights (Jakarta, The Habibi Center, 2000), h.12.

22

konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan

kewajiban tersebut.

D. Hak dan kewajiban pelaku usaha

Pasal 1 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

memberikan pengertian pelaku usaha, sebagai berikut:

Pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum maua pun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan

sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada

pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur pada Pasal 6 UUPK.

Hak-hak tersebut sebagai berikut:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan

konsumen yang beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitas nama baik apabila tidak terbukti secara

hukum kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau

jasa yang diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lainnya.

Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah

disebutkan pada uraian terdahulu, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula

23

kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUPK, yakni sebagai

berikut:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan infomasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan,

perbaikan, dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta

tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan mutu barang dan/atau jasa yang

berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/jasa pengganti apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha

merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan

tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Bahwa

perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sedangkan Arrest H.R. di

Negri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahap

pra perjanjian, bahkan kesesatan ditempatkan di bawah itikad tidak baik,

bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya itikad baik tersebut,

sehingga dalam perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak harus

mempunyai itikad baik.12

12Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.52

24

Jika diteliti lebih baik, jelas bahwa kewajiban-kewajiban tersebut

merupakan manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang ditargetkan

untuk menciptakan budaya tanggung jawab, pada diri para pelaku usaha.

E. Standarisasi Obat Tradisional

Meskipun pelayanan kesehatan modern telah semakin berkembang di

Indonesia, jumlah masyarakat yang memanfaatkan pengobatan tradisional

tetap tinggi. Menurut SUSENAS 2015 ditemukan sekitar 57,7% penduduk

indonesia melakukan pengobatan modern, 31,7% menggunakan obat

tradisional, dan 9,8% melakukan pengobatan sendiri.13

Karena begitu banyaknya konsumen obat tradisional, maka Pemerintah

memiliki perhatian khusus untuk itu dibuat kebijakan-kebijakan terkait hal ini

Berikut ini ada dua kebijakan umum dalam pengelolaan obat tradisional:14

1. Pengobatan teradisional merupakan salah satu upaya pengobatan dan/atau

perawatan cara lain diluar ilmu kedokteran dan/atau keperawatan, yang

banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dalam mengatasi masalah

kesehatan.

2. Pengobatan tradisional perlu dibina dan diawasi untuk diarahkan agar

dapat menjadi pengobatan dan/atau perawatan cara lain yang dapat

dipertanggung jawabkan manfaat dan keamanannya.

Ada kebijakan umum adapula kebijakan khusus yaitu;

Pelayanan kesehatan tradisional dibina dan diawasi oleh pemerintah agar

dapat dipertanggung jawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak

bertentangan dengan norma agama. Ini tercantum dalam UU Kesehatan No.

36 Tahun 2009 Pasal 56. Pengobatan tradisional yang dapat dipertanggung

jawabkan manfaat dan keamanannya perlu terus dibina, ditingkatkan,

13Badan Pusat Statistik, Survei Sosial Ekonomi Nasional 2015, diakses pada 5 Mei 2017

pukul 14:00, dari http://microdata.bps.go.id/mikrodata/index.php/catalog/43

14

Abdul Latief, Obat Tradisional, (Jakarta: EGC, 2012), h.4.

http://microdata.bps.go.id/mikrodata/index.php/catalog/43

25

dikembangkan, dan diawasi untuk digunakan dalam mewujudkan derajat

kesehatan yang optimal bagi masyarakat15

.

Obat tradisional sudah sangat pesat perkembangannya di Indonesia.

Peredaran obat tradisional di Indonesia harus memenuhi persyaratan dan

aturan yang telah ditetapkan dalam KEPMENKES No.

661/MENKES/SKVII/1994. Berdasarkan atauran tersebut, maka sangat

penting untuk melakukan suatu prosedur yaitu Standarisasi Obat

Tradisional/Herbal.

Standarisasi adalah sebuah alat untuk melakukan kontrol kualitas

terhadap seluruh proses pembuatan obat Tradisional (OT) dari tahap

penyiapan raw material, bahan jadi (ekstrak), proses produksi obat tradisional,

dan obat tradisional itu sendiri. Salah satu tahap standarisasi yaitu uji

penetapan parameter non spesifik yang meliputi penetapan kadar air (moist

content), cemaran mikroorganisme (microbial contaminant), dan identifikasi

aflatoskin.16

a. Penetapan kadar air

Salah satu jaminan kemurnian dan kontaminasi adalah penetapan

kadar air. Nilai kadar air yang tidak sesuai dengan standar Akan dapat

mempengaruhi kualitas herbal Yaitu Sebagai media tumbuh mikroorganisme

yang Baik. Pertumbuhan jamur ataupun bakteri dapat menyebabkan terjadinya

perubahan metabolit sekunder. Selain itu kadar air yang tinggi dapat

menyebabkan masih berlangsungnya reaksi enzimatis yang dapat merubah

metabolit sekunder di dalam tanaman tersebut. Perubahan metabolit sekunder

Akan sangat mempengaruhi kualitas herbal itu sendiri dalam hal aktivitas

farmakologinya. Penetapan kadar air dapat dilakukan dengan 3 metode

15Abdul Latief, Obat Tradisional, (Jakarta: EGC, 2012), h.4.

16

Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, (Jakarta : BPOM, 2004), h. 121-146.

26

tergantung pada senyawa kimia didalamnya, yakni titrasi, gravimetri, dan

destilasi. Umumnya kadar air ditetapkan dengan cara destilasi apabila terdapat

minyak astir di dalamnya. Metode penetapan kadar air dapat

b. Penetapan kadar Abu

Dalam menentukan kadar Abu, bahan tanaman di bakar dan residu

Abu yang dihasilkan diukur Sebagai kadar Abu total. Kadar Abu total

menunjukkan jumlah senyawa anorganik, mineral internal dan eksternal.

Kadar Abu harus sesuai berdasarkan standar yang sudah ditetapkan di masing-

masing ekstrak bahan tanaman. Dari Abu total yang dihasilkan kita dapat

menentukan kadar Abu tidak larut asam, dengan cara Abu total dilarutkan

dalam asam klorida dan di bakar. Sisa Abu pembakaran merupakan nilai Abu

tidak larut asam. Kadar Abu tidak larut asam menandakan kehadiran silikat

yang terdapat didalam pasir atau tanah.

c. penetapan logam berat

Kontaminasi logam berat dapat terjadi secara tidak sengaja ataupun

sengaja untuk ditambahkan. Logam berat yang berbahaya dan Ada di sediaan

OT adalah merkuri, timbal, tembaga, kadmium, dan arsen. Cara penentuan

logam berat yang sederhana dapat ditemukan dalam pharmacopoeias dan

didasarkan pada reaksi warna menggunakan reagen spesifik Yaitu

thiocetamide atau diethyldithiocarbamate. Kehadiran logam berat diukur

dengan membandingkan menggunakan standar. Penetapan logam berat dapat

menggunakan instrument seperti Atomic Absorption Spectrophotometry

(AAS), Inductively coupled plasma (ICP), dan Neutron Activation Analysis

(NAA).

27

d. penetapan residu pestisida

Obat Tradisional dapat mengandung residu pestisida, yang

terakumulasi melalui proses agricultural seperti penyemprotan, treatment pada

tanah Selama proses penanaman, dan penggunaan pestisida gas Selama

penyimpanan. Banyak pestisida mengandung klorin atau fosfat. Pengukuran

residu pestisida dapat dilakukan dengan menetapkan total organik klorin dan/

total organik fosfat apabila tercemar pestisida lebih dari satu.

Penentuan pestisida tunggal dapat dilakukan dengan metode

kromatografi gas. Tetapi apabila senyawa pestisida atau senyawa lain juga

terdeteksi dalam kromatogram suatu residu pestisida maka perlu dilakukan

suatu perlakuan kimiawi atau Fisika lain untuk menghilangkan atau

mengurangi intervensi senyawa senyawa tersebut sebelum dilakukan

kuantitasi residu pestisida yang ingin ditentukan.

28

BAB III

PERLINDUNGAN KONSUMEN OBAT TRADISIONAL DI BANTEN

A. Peraturan-peraturan yang terkait Perlindungan Konsumen Obat

Tradisional

Peraturan dasar untuk melindungi konsumen terhadap obat tradisional

di Banten, agar konsumen dan pelaku usaha mengetahui adanya aturan dan

batasan yang diberikan oleh Undang-Undang adalah seabagi berikut :

1. ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Rapublik Indonesia Tahun 1945

Pasal 28 H, yang berbunyi:

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan, dan setiap orang berhak mendapatkan

kemudahan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat

yang sama guna mencapai kesamaan dan keadilan.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 disamping

sebagai konstitusi politik juga dapat disebut konstitusi ekonomi, yaitu

konstitusi yang mengandung ide negara kesejahteraan yang tumbuh dan

berkembang, dalam hal ini undang-undang dasar sebagai kiblat dari semua

undang-undang dan peraturan yang ada agar tidak terjadinya suatu

penyimpangan norma hukum

2. Undang-undang Nomer. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Undang-undang ini mengatur perlindungan hukum bagi konsumen

disebabkan posisi tawar konsumen yang lemah. Perlindungan hukum

terhadap konsumen mensyaratkan adanya pemihakan kepada posisi tawar

yang lemah (konsumen).1 Berhubungan dengan itu, mengingat tujuan

negara untuk menjaga dan memelihara tata tertib, diharapkan negara

1 Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1999),

h.90.

29

memberi perhatian. Perhatian negara terhadap hukum perlindungan

konsumen ini, dinamakan politik hukum negara.2

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

dinyatakan bahwa perlindungan hukum bagi konsumen diselenggarakan

sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) prinsip dalam pembangunan

nasional, yaitu:

a. Prinsip manfaat. Dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala

upaya dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen

harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen

dan pelaku usaha secara keseluruhan;

b. Prinsip keadilan. Dimaksud agara partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil;

c. Prinsip keseimbangan. Dimaksud untuk memberikan keseimbangan

antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah;

d. Prinsip keamanan dan keselamatan konsumen. Dimaksud untuk

memberi jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

dalam pengunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang digunakan;

e. Prinsip kepastian hukum. Dimaksud agara baik pelaku usaha maupun

konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaran perlindungan hukum bagi konsumen, diaman negara

turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut.

Melalui kelima asas tersebut, terdapat komitmen untuk mewujudkan

tujuan perlindungan hukum bagi konsumen yang direncanakanan

adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen, serta

2Soediman Kartohadiprodjo, Tata Hukum Indonesia, Cet.12,(Jakarta, Ghalia Indonesia,

1993), h.37.

30

secara tidak langsung mendorong pelaku usaha di dalam

menyelenggarakan kegiatan usaha dengan penuh rasa tanggung

jawab.3

3. Undang-Undang Nomer. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang Nomer. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada

Pasal 105 ayat (2), sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan

kosmetik serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau

persyaratan yang ditentukan. Dalam hal ini obat tradisional harus

mempunyai standar dan/atau izin edar yang diatur secara rinci dalam

peraturan pemerintah, untuk memberikan perlindungan kepada pengguna

dan memberikan kepastian hukum.

Perlindungan kesehatan bagi konsumen adalah perlindungan

terhadap manusia agar kesehatan tidak menurun sebagai akibat pengunaan

produk.4 Perlindungan ini sangat penting bagi konsumen, sehingga perlu

bagi setiap konsumen. Begitu pentingnya hal ini, maka dalam WTO

dijadikan suatu bahasan sendiri, yaitu persetujuan tentang pelaksanaan

tindakan perlindungan kesehatan manusia, hewan dan Tumbuh-tumbuhan

(selanjutnya disebut perlindungan kesehatan manusia), yang mana salah

satu ketentuan yang terkandung di dalamnya adalah perlindungan

kesehatan manusia.

4. Peraturan Menteri Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan tentang

Obat Tradisional.

a. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 007 Tahun 2012 tentang

Registrasi Obat Tradisional.

b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 006 Tahun 2012 tentang

Industri dan Usaha Obat Tradisional.

3Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media, 2010), h.27.

4Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT. Raja

Grafindo Persada, 2004), h.184.

31

c. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 386/MEN.KES/SK/IV/1994

tentang Pedoman Periklanan: Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat

Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan

Makanan dan/atau Minuman.

Bahwa dalam hal ini suatu negara memasuki tahap negara

kesejahteraan (welfare state) tuntutan intervensi pemerintah melalui

pembentukan hukum yang melindungi pihak yang lemah sangatlah kuat.5

Pada priode ini negara mulai memperhatikan antara lain kepentingan

tenaga kerja, konsumen, usaha kecil, dan lingkungan hidup, dengan

membuat peraturan yang tidak bertentangan dengan norma lain.

Dalam rangka melindungi masyarakat dari peradaran obat

tradisional yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, khasiat dan/atau

manfaat, dan mutu perlu dilakukan penilaian melalui registrasi obat

tradisional sebelum diedarkan untuk mengetahui suatu obat tradisional itu

layak atau tidak untuk dipasarkan dan dikonsumsi oleh masyarakat.

5. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap Obat Tradisional

a. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik

Indonesia Nomor HK.00.05.1.23.35.16 tentang Izin Edar Produk

Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Minuman

yang Bersumber, Mengandung, dari Bahan tertentu dan atau

Mengandung Alkohol.

b. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik

Indonesia Nomor HK.00.05.42.2996 tentang Pengawasan Pemasukan

Obat Tradisional.

c. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik

Indonesia Nomor 12 Tahun 2014 tentang Persyaratan Mutu Obat

Tradisional

5Karen S. Fishmen, An Overview of consumer Repoting Service, (Marylan: National Law

Publishing Corporation, 1986), h.7-9.

32

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam hal ini untuk

memberikan jaminan dan/atau perlindungan kepada masyarakat dari

penggunaan obat tradisional yang tidak memiliki izin edar. BPOM

membuat peraturan agar terciptanya keseimbangan perlindungan

kepentingan konsumen dan pelaku usaha dalam suatu perekonomian yang

sehat.

B. Dasar Hukum Pengawasan Pemerintah dalam Perlindungan Konsumen

Obat Tradisional

Peran pemerintah sebagai pemegang regulasi dan kebijakan sangat

penting. Tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pembinaan

penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan untuk

memberdayakan konsumen agar mendapatkan hak-haknya, sementara itu

tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pengaasan penyelenggaraan

perlindungan konsumen juga menjadi bagian yang penting dalam upaya

membangun kegiatan usaha yang positif dan dinamis, sehingga hak-hak

konsumen tetap bisa diperhatikan oleh para pelaku usaha.6

a. Pembinaan dan pengawasan pemerintah dalam melindungi konsumen

1. Pembinaan

Dalam Undang-undang Perlindungan konsumen Pasal 29 Ayat

1 dinyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan

penyelenggraan perlindungan konsumen yang menjamin

diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya

kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 68

Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan

Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa pembinaan perlindungan

6Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta, Grasindo, 2004), h.63.

33

konsumen yang diselenggarakan oleh pemerintah adalah sebagai

upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha

serta dilakukannya kewajiban masing-masing dengan asas keadilan

dan asas keseimbangan kepentingan.

Tugas pembinaan dalam penyelenggaraan perlindungan

konsumen dilakukan oleh menteri atau menteri teknis terkait. Menteri

ini melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan

konsumen beberapa tugas pemerintah dalam melakukan pembinaan

penyelenggaraan perlindungan konsumen telah dijabarkan dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan

Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen untuk

Menciptakan Iklim Usaha dan Tumbuhnya Hubungan Sehat Pelaku

Usaha dan Konsumen. berkembangnya lembaga perlindungan

konsumen swadaya masyarakat.

Dalam peraturan pemerintah Pasal 6 Nomor 58 Tahun 2001

tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan

konsumen, disebutkan bahwa upaya meningkatkan kegiatan

penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen

dengan materi terkait sebagai berikut:

a. Meningkatkan kualitas aparat penyidik pegawai negri sipil di

bidang perlindungan konsumen.

b. Meningkatkan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang

dan/atau jasa.

c. Melakukan pengembangan dan pemberdayaan lembaga penguji

mutu barang.

d. Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi pengujian

dan standar mutu barang dan/atau jasa serta penerapan.

34

2. Pengawasan

Pasal 30 ayat (1) Undang-undang perlindungan konsumen

disebutkan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan

perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan

perundang-undangan diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat,

dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 58

Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan

Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa perlindungan konsumen

dilakukan secara bersama oleh pemerintah, masyarakat dan LPKSM,

mengingat banyak ragam dan jenis barang dan/atau jasa yang beredar

di pasar serta luasnya wilayah indonesia.

Berdasarkan penjelasan tersebut, tugas pengawasan tidak

hanya dibebankan kepada pemerintah, masyarakat umum dan

lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM)

juga bisa terlibat secara aktif. Sebagaimana diatur Pasal 30 ayat (3)

Undang-undang Perlindungan Konsumen bahwa pengawasan oleh

masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di

pasar. Lebih lanjut, Pasal 4 mengatur bahwa, apabila hasil

pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata

menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebar luaskan

kepada masyarakat dan bisa disampaikan kepada menteri terkait dan

menteri teknis.

Dalam hal ini pengujian terhadap barang dan/atau jasa yang

beredar sebagaimana yang diatur pasal 10 Peraturan Pemerintah

Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan

35

Penyelenggraan Perlindungan Konsumen, dilakukan melalui

laboratrium penguji yang telah diakriditasi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku (ketentuan PP No. 58 Tahun

2001). Maksud dari ketentuan ini untuk mendapatkan hasil yang

objektif, transparan, dan dapat dipertanggung jawabkan lembaga

laboratarium yang terakriditas bisa berupa lembaga nasional atau

internasional.

C. Dasar Hukum dan Fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap

Obat Tradisional

1. Dasar Hukum Badan Pengawas Obat dan Makanan

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan Lembaga

Pemerintah Non Departemen (LPND), yaitu sesuai dengan Keputusan

Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001, yakni merupakan

lembaga pemerintah pusat yang di bentuk untuk melakukan tugas

pemerintah tertentu dari Presiden serta bertanggung jawab langsung

kepada Presiden.

Latar belakang terbentuknya Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM) adalah dengan melihat kemajuan teknologi telah membawa

perubahan yang cepat dan signifikan pada industri farmasi. Untuk itu

Indonesia harus memiliki Sistem Pengawasan Obat dan Makanan

(SisPOM) yang aktif dan efesien yang mampu mendeteksi, mencegah dan

mengawasi produk-produk dengan tujuan keamanan, keselamatan, dan

kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negri untuk itu

telah dibentuknya Badan Pengawas Obat dan Makanan yang memiliki

jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum

dalam kredibilitas profesional yang tinggi.7

7http://pom.go.id/profile/latarbelakang. Diakses pada 10 Mei 2017, pukul 23.11 WIB.

http://pom.go.id/profile/latarbelakang

36

2. Fugsi dan Wewenang Badan Pengawas Obat dan Makanan

Menurut Pasal 3 Keputusan Kepala BPOM No.

002001/SK/KBPOM Fungsi dari BPOM yaitu :

a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan norma di bidang pengawasan

obat dan makanan;

b. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan

makanan;

c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPOM;

d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan

instansi pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan;

e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di

bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata

laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian,

perlengkapan rumah tangga.

Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

BPOM mempunyai kewenangan yaitu :

a. Penyusunan secara makro di bidang pengawasan obat dan makanan;

b. Perumusan kebijakan di bidang pengawasn obat dan makanan untuk

mendukung pembangunan secara makro;

c. Penetapan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makana;

d. Penetapan persyaratan pengunaan bahan tambahan (zat adiktif)

tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan

peredaran obat dan makanan;

e. Pemberian ijin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan

industri farmasi;

f. Penetapan pedoman penggunaan, konservasi, pengembangan, dan

pengawasan tanaman obat.

37

D. Jenis Pengawasan Obat Tradisional

Pengawasan obat dan makanan memiliki aspek permasalahan

berdimensi luas dan kompleks, oleh karena itu. Diperlukan sistem

pengawasan yang komprehensip, semenjak awal proses suatu produk hingga

produk tersebut beredar di tengah masyarakat. Ada berberapa jenis

pengawasan obat dan makanan yaitu:

a. Jenis pengawasan obat dan makanan di kewenangan Pusat untuk menekan

sekecil mungkin resiko yang bisa terjadi, dilakukan (SISPOM) Sistem

Pengawasan Obat dan Makanan ada tiga lapis yakni8:

1. Sub-Sistem Pengawasan Produsen

Sistem Pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan cara-

cara produksi yang baik atau good manufacturing practices agar setiap

bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak awal

secara hukum produsen bertanggung jawab atas mutu dan keamanan

produk yang dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan

pelanggaran terhadap standar yang telah ditetapkan maka produsen

dikenakan sanksi, baik administratif maupun pro-justisia.

2. Sub-Sistem pengawasan konsumen

Sistem pengawsan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui

peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai

kualitas produk yang digunakannya dan cara-cara penggunaan produk

yang rasional. Pengawasan oleh masyarakat sendiri sangat penting

dilakukan karena pada akhirnya masyarakatlah yang mengambil

keputusan untuk membeli dang menggunakan suatu produk.

Konsumen dengan kesadaran dan tingkat pengetahuan yang tinggi

terhadap mutu dan kegunaan produk-produk yang tidak memenuhi

8http://www.pom.go.id/new/index.php/view/kerangkakonsepDiakses pada 10 Mei 2017, pukul 23.11 WIB.

http://www.pom.go.id/new/index.php/view/kerangkakonsep

38

syarat dan tidak dibutuhkan sedang pada sisi lain akan mendorong

produsen untuk ekstra hati-hati dalam menjaga kualitasnya.

3. Sub-Sistem Pengawasan Pemrintah/ BPOM

Sistem pengawasan oleh pemerintah melalui pengaturan dan

standardisasi; penilaian keamanan, penilaian keamanan, khasiat dan

mutu produk sebelum diijinkan di Indonesia, inpeksi pengambilan

sampel dan pengujian laboratorium produk yang beredar serta

peringatan kepada publik yang didukung penegakan hukum, untuk

meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen

terhadap mutu, khasiat dan keamanan produk maka pemerintah juga

melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi.

b. Jenis pengawasan obat dan makanan di Provinsi Banten melakukan

dengan dua pengawasan pre-market dan post market, Pengawasan pre-

market merupakan pengawasan sebelum barang beredar di masyarakat

dengan melakukan pemeriksaan produk dan pemeriksaan sarana produksi.

Sedangkan pengawasan post-market merupakan pengawasan sebelum

barang beredar di masyarakat dengan melakukan infeksi ke sarana

distributor, toko, depot, minimarket, dan hypermarket.

39

BAB IV

PROBLEM HUKUM OBAT TRADISIONAL DI BANTEN

A. Badan Pengawas Obat dan Makanan Provinsi Banten

1. Profil dan data umum wilayah kerja Balai POM di banten

Balai POM di Banten dibentuk berdasarkan peraturan kepala Badan

POM RI Nomor HK.00.05.21.3592 tanggal 9 Mei 2007 tentang

perubahan kedua atas keputusan kepala Badan POM RI Nomor :

05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan tata kerja UPT di

lingkungan Badan POM. BPOM banten yang berlokasi di ibu kota serang.

meliputi seluruh Wilayah administrasi Propinsi Banten, yaitu :

Kabupaten Serang

Kabupaten Tangerang

Kabupaten Lebak

Kabupaten Pandeglang

Kota Serang

Kota Cilegon

Kota Tangerang

Kota Tangerang Selatan

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Banten dalam

Angka 2015/ Banten in Figurasi 2015 Propinsi Banten memiliki luas

wilayah sebesar 9662,92 km21. Seluruh wilayah kerja Balai POM di

Serang dapat dijangkau dengan perjalanan darat, dimana Kabupaten

Serang dan Kota Serang dikatgorikan sebagai wilayah dalam kota,

sedangkan wilayah administrasi lainnya dikatagorikan sebagai wilayah

luar kota. Adapun struktur organisasi dari BPOM banten sebagai berikut:

1https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/153#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek1 Pada

22/08/2017 20:32 WIB.

https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/153#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek1

40

Dalam rangka pengawasan obat dan makanan, sarana produksi dan

distribusi yang diawasi di propinsi Banten sampai dengan Desember 2015

sebanyak 4.665 sarana produksi obat dan makanan serta sarana distribusi

yang tersebar di 8 (delapan) wilayah kabupaten /kota.2

2. Tujuan dan Fungsi Pengaturan Regulasi Standarisasi Balai POM di

Banten

2https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/153#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek1 Pada

22/08/2017 20:32 WIB.

Kepala Balai

Dra. Nurjaya Bangsawan, Apt.M.Kes.

Ka. Sub. Bag Tata Usaha

Dra. Renti Sambiring, Apt.

Staf Tata Usaha

Ka. Sie Pengujian Pangan Bahan

Berbahaya dan Mikrobiologi

Akhmad Kurnia, ST.

Ka. Sie Pengujian teranakoko

Hening Setyaningsih, S.

Farm., Apt.

Ka. Sie Pemdik Serlik

Faizal Mustofa Kamil, S.SI.,

Apt.

Staf Pengujian Pangan, Bahan

Berbahaya dan mikrobiologi Staf Pemdik Serlik Staf Pngujian teranakoko

https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/153#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek1

41

Tujuan Balai POM Banten dalam pengaturan regulasi standarisasi

untuk terlindungnya masyarakat dari produk obat dan makanan yang

beresiko terhadap kesehatan.

Fungsi pengaturan regulasi standarisasi Balai POM di Serang untuk

srtifikasi industri di bidang obat dan makanan yang berdasar pada cara

produksi yang baik yaitu :

Pada evaluasi produk sebelum diedarkan di pasar, pengawasan

pasca edar di pasar termasuk sampling, pengujian laboratorium

pemriksaan sarana produksi dan distribusi, serta penyidikan dan

penegakan hukum, pada pre-audit dan pasca audit periklanan dan

kegiatan promosi, pada riset berkelanjutan terhadap pelaksanaan

kebijakaan pengawasan obat dan makanan, pada layanan publik terkait

dengan kegiatan komunikasi, informasi, edukasi dan peringatan publik.

3. Kegiatan utama Balai POM Banten

Untuk mencapai tujuan dan sarana sesuai visi dan misi Balai Pom di

Banten dengan didukung dengan sumber daya terbatas menetapkan

kegiatan utama yang mengacu kepada Rencana Strategis (Renstra) Balai

POM di Banten dan sarana mutu QMS (Quality Managemen System)

Balai POM di Banten yaitu :

a. Pengawasan obat dan makanan terlaksana secara efektif untuk

melindungi konsumen di Provinsi Banten:

Pemenuhan terhadap obat yang memnuhi standar keamanan,

manfaat dan mutu.

Pengawasan terhadap obat tradisional yang mengandung BKO

(Bahan Kimia Obat).

Pengawasan terhadap kosmetik yang mengandung bahan bahaya.

Pengawasan terhadap suplemen makanan yang tidak memenuhi

persyaratan keamanan.

42

Pengawasan iklan obat, obat tradisional, kosmetik suplemen

makanan, serta iklan dan lebel rokok.

Perketatan pengawasan narkotika, pisikotropika, prekursor, dan

adiktif/rokok.

Pemberdayaan konsumen/masyarakat di bidang obat dan

makanan melalui pameran, penyuluhan, sosialisasi, workshop,

seminar.

Penegakan hukum terkait dengan pelanggaran di bidang

kesehatan khususnya obat dan makanan melalui mekanisme

penyidikan.

Peningkatan post market dengan cara pengambilan smpel dan

diuji.

Perkuatan koordinasi lintas sektoral terkait tugas dan fungsi

pokok Balai POM di Banten

b. Terwujudnya laboratorium Pengawas obat dan makanan yang

terakriditasi.

Tercapainya sarana dan prasarana pendukung laboratarium

Ruang lingkup yang bertambah.

c. Meningkatnya kompensi, kapabilitas dan jumlah modal instansi yang

unggul dalam melaksanakan pengawasan obat dan makanan.

Peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia), sistem

manajemen, perangkat hukum, dan profesionalisme sumber daya

manusia serta sarana.

Diterapkannya sistem manajemen mutu di Balai POM di Serang.

43

B. Pelanggaran Obat Tradisional Provinsi Banten Tahun 2016

1. Tinjuan umum tentang pelanggaran obat tradisional di Banten

Pelanggaran yang ada dalam data penelitian yaitu sebagai berikut :

1.1 Tanpa izin edar

Pasal 2 ayat (1) dan (2) obat tradisional yang diedarkan diwilayah

indonesia wajib memiliki izin edar, izin edar sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepala Badan Pengawas

Obat dan Makanan.

2.1 Bahan Kimia Obat

Peraturan Mentri Kesehatan No 07 tahun 2012Pasal 7 ayat (1) obat

tradisional dilarang mengandung etil alkhohol lebih dari 1%

kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang pemakaiannya dengan

pengeceran, bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau

sintestik berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika, dan/atau

bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/atau

berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan.3

3.1 Administrasi

Pelanggaran administrasi yaitu mengedarkan obat keras tanpa

kewenangan, ini diatur pada Peraturan Mentri Kesehatan No 07

tahun 2012 Pasal 7 ayat (1) yaitu obat tradisional dilarang

mengandung psikotropika.

4.1 Kadaluwarsa atau Rusak

Berkaitan dengan kadaluwarsa suatu barang, salah satu perbuatan

yang dilarang bagi pelaku usaha, khususnya terkait produksi obat

tradisional atau perdagangan lainya, menurut Pasal 8 ayat (1)

3http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/berita/144/BAHAYA-BAHAN-KIMIA-

OBAT--BKO--YANG-DIBUBUHKAN-KEDALAM-OBAT-TRADISIONAL--JAMU-.html Pada

22/08/2017 21:00 WIB.

http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/berita/144/BAHAYA-BAHAN-KIMIA-OBAT--BKO--YANG-DIBUBUHKAN-KEDALAM-OBAT-TRADISIONAL--JAMU-.html%20Pada%2022/08/2017%2021:00http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/berita/144/BAHAYA-BAHAN-KIMIA-OBAT--BKO--YANG-DIBUBUHKAN-KEDALAM-OBAT-TRADISIONAL--JAMU-.html%20Pada%2022/08/2017%2021:00http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/berita/144/BAHAYA-BAHAN-KIMIA-OBAT--BKO--YANG-DIBUBUHKAN-KEDALAM-OBAT-TRADISIONAL--JAMU-.html%20Pada%2022/08/2017%2021:00

44

huruf g Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu tidak

mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

pengguna/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.

Ancaman pidana bagi pelaku usaha yang melanggar larangan

tersebut berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan

Konsumen adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau

pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar

rupiah).

5.1 Penandaan

Memiliki klaim berlebihan di labelnya, karena bisa

menyembuhkan penyakit.

2. Sanksi-sanksi

Berbicara soal pertanggung jawaban hukum, maka harus berbicara

soal ada tidaknya suatu kerugian yang telah diderita oleh suatu pihak

sebagai akibat (dalam hal hubungan konsumen dan pelaku usaha) dari

pemakaian, penggunaan, dan/atau pemanfaatan oleh konsumen atas

barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha tertentu.4

Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak

atau perilaku yang pantas. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar

kaidah hukum dipatuhi adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya.

Ketentuan mengenai sanksi diatur dalam UUPK di dalam Bab XIII yang

dimulai dari Pasal 60 sampai dengan Pasal 63. UUPK membedakan

antara sanksi administratif dengan sanksi pidana sebagai berikut:

a. Sanksi Administratif

Sanksi administratif diatur dalam Pasal 60. Sanksi ini

merupakan hak khusus yang diberikan oleh Undang-Undang

4Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media,

2007), h. 44.

45

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen kepada

penyelesaian perlindungan konsumen (BPSK) atas tugas dan

wewenang yang diberikan untuk menyelesaikan sengketa konsumen

di luar pengadilan.

Sanksi asministratif yang dapat dijatuhkan oleh BPSK

berdasarkan Pasal 60 UUPK adalah berupa penetapan ganti rugi

setinggi-tingginya Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) terhadap

pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap /dalam rangka

tidak dilaksanakannya:

a) Pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada konsumen, dalam

bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau

jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian

santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen;

b) Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang

dilakukan oleh pelaku usaha periklanan;

c) Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan

jual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharannya,

serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan

sebelumnya; juga berlaku terhadap pelaku usaha yang

memperdagangkan barang dan/atau jasa.

b. Sanksi Pidana Pokok

Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan

dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum

terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Ketentuan

mengenai sanksi pidana dalam UUPK diatur dalam Pasal 62,

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat diberlakukan dalam

upaya penyelenggaraan perlindungan konsumen.

46

c. Sanksi Pidana Tambahan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen memungkinkan diberikan sanksi pidana tambahan di luar

sanksi pidana pokok. Hal tersebut seperti yang dicantumkan dalam

Pasal 63 UUPK Sanksi-sanksi pidana tambahan yang dapat

dijatuhkan berupa:

a) Perampasan barang tertentu;

b) Pengumuman putusan hakim;

c) Pembayaran ganti rugi;

d) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan

timbulnya kerugian konsumen;

e) Kewajiban penarikan barang dari peredaran;

f) Pencabutan izin usaha.

3. Data temuan pemeriksaan sarana distribusi obat tradisional di Banten

tahun 2016

Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara yang dilakukan oleh

peneliti untuk mengumpulkan data. Pengumpulan data dilakukan untuk

memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan

penelitian. Sedangkan instrumen pengumpulan data merupakan alat yang

digunakan untuk mengumpulkan data. Karena berupa alat, maka

instrumen pengumpulan data dapa berupa check list, kuesioner, pedoman

wawancara, hingga kamrea untuk foto atau merekam gambar dan suara.

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan

cara wawancara terstrukturl, yaitu penulis telah mengetahui dengan pasti

informasi apa yang hendak digali dari narasumber. Dan penulis

menggunakan berbagai instrumen penelitian seperti alat bantu recorder

untuk merekam wawancara dengan narasumber.

Penulis juga menggunakan Studi dokumen yaitu metode pengumpulan

data yang tidak ditujukan langsung kepada sebjek penelitian. Studi

47

dokumen adalah jenis pengumpulan data yang berguna untuk bahan

analisis. Penulis memakai dokumen sekunder yaitu dokumen yang ditulis

berdasarkan laporan yang benar. Seperti data pelanggaran obat tradisonal

di Banten tahun 2016 yang di dapatkan langsung dari BPOM Banten.

Tabel 1

Laporan Pemeriksaan Sarana Distribusi Obat Tradisional Banten 2016

NO KOTA TOTAL

PELANGGARAN

Keterangan

1 Kabupaten

Pandeglang

9 8 Tanpa Izin Edar, 1

Bahan kimia Obat

2 Kabupaten Lebak 6 5 Tanpa Izin Edar, 1

Bahan Kimia Obat

3 Kabupaten

Tangerang

33 25 Tanpa Izin Edar, 7

Bahan Kimia Obat, 1

Adiministrasi

4 Kabupaten Serang 15 10 Tanpa Izin Edar, 4

Bahan Kimia Obat, 1

Penandaan

5 Kota Tangerang 50 43 Tanpa Izin Edar, 17

Bahan Kimia Oba, 3

Penandaan

6 Kota Cilegon 9 7 Tanpa Izin Edar, 1

Administrasi,1Kadaluarsa

7 Kota Tangsel 36 21 Tanpa Izin Edar, 5

Bahan Kimia Obat, 2

Kadaluarsa, 1 Penandaan

8 Kota Serang 12 8 Tanpa Izin Edar, 4

Bahan Kimia Obat

48

- Total Kasus 183 127 Tanpa Izin Edar, 46

Bahan Kimia Obat, 5

penandaan,2Administrasi,

2 Kadaluarsa

Sumber :Badan Pemerikaan Obat dan Makanan (BPOM)

C. Pelanggaran Standarisasi izin edar Obat Tradisional di Banten

Standarisasi obat merupakan hal yang penting sehingga dalam

pengawasannya harus diperketat menyangkut kesehatan dan bahkan nyawa.

Dengan adanya Standarisasi akan memberikan rasa tenang pada publik

bahwa hak, keamanan, dan/atau kesejahteraan akan terlindungi.

Tujuan dari standarisasi obat tradisional untuk5 :

Keseragaman (supaya tidak merusak form