Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902 BUDAYA KESELAMATAN TOTAL DALAM BIDANG INDUSTRI Priyanto M. Joyosukarto The Indonesian Institute of Industrial Safety (INDUS) ABSTRAK BUDAY A KESELAMATAN TOTAL DALAM BIDANG INDUSTRI. Diperkenalkan sebuah konsep barn tentang Budaya Keselamatan Total (Budaya KESTAL) untuk memperjelas interdependensi ketiga unsur keselamatan: manusia, mesin, dan lingkungan menuju pemahaman lebih baik, sistemik, dan holistik terhadap terjadinya kecelakaan serta langkah pencegahannya. Budaya KEST AL ini berintikan introduksi, internalisasi, dan obyektifikasi tiga unsur Nilai Dasar, yaitu Nilai & Norma Keselamatan, Nilai & Norma Kualitas, dan Norma Berpikir Sistemik yang memberikan perspektif totalitas hubungan sebab-akibat yang bersifat spiralistis jangka panjang. Terjadinya kecelakaan selalu dapat dirunut kepada kegagalan alat maupun kesalahan personil. Kedua faktor tersebut terkait erat dengan rendahnya kompetensi personil operasi dan/atau perancang, yang bermuara kepada terjadinya human error yang mengawali terjadinya kecelakaan. Faktor manusia yang relevan adalah sikap mental yang, selain merupakan unsur kompetensi juga merupakan unsur internalisasi Budaya KEST AL. Jenis budaya ini diharapkan dapat ditumbuh-kembangkan melalui introduksi dan internalisasi Nilai, Norma, dan sikap mental yang tepat. Kaitan antara Nilai, sikap mental, dan perilaku dalam Budaya KEST AL dibahas komprehensif. Sedangkan sikap mental didefinisikan, diperinci, dan diperingkat menjadi 6 level. Dibahas pula Faktor MORIS yang mengaktivasi perilaku personil. Keselamatan yang tinggi dapat dihasilkan melalui implementasi Budaya KEST AL, yang mensyaratkan kombinasi optimum antara ketiga unsur kompetensi personil yang bermuara kepada berkurangnya human error. Selanjutnya dibahas pula Tujuh Norma Berpikir Sistemik dalam bidang keselamatan. Diharapkan pula Budaya KEST AL dapat menjadi Kompas Moral yang merupakan acuan bagi pembiakan moralitas publik menuju tercapainya keselamatan kehidupan publik yang tinggi. Kata kunci : Tempat Kerja, faktor manusia, nilai dan norma, sikap mental, berpikir sistemik, faktor MORIS ABSTRACT TOTAL SAFETY CULTURE INSIDE THE INDUSTRY. A novel concept on Total Safety Culture (TSC) has been proposed with the aim of explaining the interdependency among the industrial safety elements, i.e. man, machine, and environment leading to a better, systemic, and holistic understanding on the occurrence of accidents as well as the preventive measures. Embodied in this Concept is the introduction, internalization, and objectivication of the three ingredients: Safety Value & Norm, Quality Value & Norm, and the Norm of Systemic Thinking which calls for a total perspective of long-term- spiraling effect between the actuator, behavior, and the consequences. (Spiraling the ABC). The occurrence of an accident could always be traced toward the equipment failure and/or human error. These two factors are closely related to personnel's III
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902
BUDAYA KESELAMATAN TOTAL DALAM BIDANG INDUSTRI
Priyanto M. JoyosukartoThe Indonesian Institute of Industrial Safety (INDUS)
ABSTRAKBUDAY A KESELAMATAN TOTAL DALAM BIDANG INDUSTRI.
Diperkenalkan sebuah konsep barn tentang Budaya Keselamatan Total (BudayaKESTAL) untuk memperjelas interdependensi ketiga unsur keselamatan: manusia,mesin, dan lingkungan menuju pemahaman lebih baik, sistemik, dan holistik terhadapterjadinya kecelakaan serta langkah pencegahannya. Budaya KEST AL ini berintikanintroduksi, internalisasi, dan obyektifikasi tiga unsur Nilai Dasar, yaitu Nilai & NormaKeselamatan, Nilai & Norma Kualitas, dan Norma Berpikir Sistemik yang memberikanperspektif totalitas hubungan sebab-akibat yang bersifat spiralistis jangka panjang.Terjadinya kecelakaan selalu dapat dirunut kepada kegagalan alat maupun kesalahanpersonil. Kedua faktor tersebut terkait erat dengan rendahnya kompetensi personiloperasi dan/atau perancang, yang bermuara kepada terjadinya human error yangmengawali terjadinya kecelakaan. Faktor manusia yang relevan adalah sikap mentalyang, selain merupakan unsur kompetensi juga merupakan unsur internalisasi BudayaKEST AL. Jenis budaya ini diharapkan dapat ditumbuh-kembangkan melalui introduksidan internalisasi Nilai, Norma, dan sikap mental yang tepat. Kaitan antara Nilai, sikapmental, dan perilaku dalam Budaya KEST AL dibahas komprehensif. Sedangkan sikapmental didefinisikan, diperinci, dan diperingkat menjadi 6 level. Dibahas pula FaktorMORIS yang mengaktivasi perilaku personil. Keselamatan yang tinggi dapat dihasilkanmelalui implementasi Budaya KEST AL, yang mensyaratkan kombinasi optimumantara ketiga unsur kompetensi personil yang bermuara kepada berkurangnya humanerror. Selanjutnya dibahas pula Tujuh Norma Berpikir Sistemik dalam bidangkeselamatan. Diharapkan pula Budaya KEST AL dapat menjadi Kompas Moral yangmerupakan acuan bagi pembiakan moralitas publik menuju tercapainya keselamatankehidupan publik yang tinggi.Kata kunci : Tempat Kerja, faktor manusia, nilai dan norma, sikap mental, berpikir
sistemik, faktor MORIS
ABSTRACT
TOTAL SAFETY CULTURE INSIDE THE INDUSTRY. A novel concept on TotalSafety Culture (TSC) has been proposed with the aim of explaining the interdependencyamong the industrial safety elements, i.e. man, machine, and environment leading to abetter, systemic, and holistic understanding on the occurrence of accidents as well as thepreventive measures. Embodied in this Concept is the introduction, internalization, andobjectivication of the three ingredients: Safety Value & Norm, Quality Value & Norm,and the Norm of Systemic Thinking which calls for a total perspective of long-termspiraling effect between the actuator, behavior, and the consequences. (Spiraling theABC). The occurrence of an accident could always be traced toward the equipmentfailure and/or human error. These two factors are closely related to personnel's
III
Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902
incompetency leading to an inappropiate decision and/or action initiating human error,and hence results in an accident. As a driving factor inside the competency, mentalattitude could also be viewed as an element of TSC. Hence, TSC might be cultivated bythe introduction and internalization of the appropiate Values, Norms, as well asAttitudes. Personnel's mental attitude has been defined, discussed, and graded into sixlevels. Whereas MORIS Factor, a situasional-external driving force activating thepersonnel behavior, also briefly discussed. Highest level of safety could be achieved bymeans of implementing TSC which calls for the optimum combination of thepersonnel's knowledge, skill, and attitude leading to reduced human error. The TSCConcepts is supported with the Seven Norms of System Thinking in Safety. It isfurther expected that TSC could become a Moral Compas serving as the reference fornurturing the public morality results in an excellent public safety.Keywords: Work place, human error, value and norm, attitude, systemic thinking,
MORIS factor
112
Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003
PENDAHULUAN
ISSN 1693 - 7902
Berkat kemampuannya berpikir, berasa, bersikap, bertindak, dan berkomunikasi
maka manusia merupakan makhluk yang paling sempurna di antara semua makhluk
ciptaan Tuhan di muka bumi. Meskipun begitu, manusia memiliki keterbatasan fisik
untuk melakukan aktivitas pemenuhan kebutuhan hidupnya yang nyaris tak pernah bisa
dipuaskan. Dengan pertimbangan itulah, teknologi diciptakan untuk membantu
"memperpanjang tangan" manusia di dalarn mendapatkan pangan, sandang, dan papan;
teknologi sebagai penggerak utama proses nilai tambah. Tetapi dalarn banyak kasus,
khususnya di dunia industri, yang terjadi justru sebaliknya dimana implementasi
teknologi di Tempat Kerja menimbulkan berbagai kecelakaan dan kerugian yang
meminta korban.
Pengertian kecelakaan (accident) dimaksudkan sebagai suatu kejadian (event)
yang tidak diharapkan dan tidak direncanakan dalarn suatu rangkaian kejadian-kejadian,
yang terjadi melalui suatu kombinasi penyebab-penyebab, yang mengakibatkan bahaya
fisik (luka atau sakit) terhadap seseorang, kerusakan hak milik, kondisi harnpir celaka
(near miss), kehilangan, atau sembarang kombinasi dari akibat-akibat tersebut.o) Di
balik kecelakaan tersebut selalu dapat dilacak adanya kesalahan manusia sesuai dengan
Hukum Sebab Akibat yang bekerja dengan berbagai interval "time of response"
berbeda, mulai dari skala detik sampai tahunan, bahkan puluhan tahun dengan
melibatkan satu atau lebih manusia ..
Studi terhadap 75.000 kecelakaan industri sampai akhir tahun 1920 menunjukkan
bahwa 88% faktor penyebabnya adalah tindakan tidak tepat oleh manusia, 10% berupa
kondisi yang tak arnan, dan 2% memang tidak bisa dihindari. (2) Referensi lain
menunjukkan bahwa 70 - 90% kecelakaan industri disebabkan oleh kesalahan manusia
(human error) sehingga berbagai usaha besar telah dilakukan untuk mengatasinya
melalui perbaikan metode pelatihan, karnpanye keselarnatan, dan perbaikan desain
sistem kerja.(3) Terjadinya kecelakaan industri ini cukup memberikan dampak finansial
yang cukup berarti. Sebagai contoh, hasil penelitian di negara-negara Eropa
menunjukkan sekitar 5% GNP hilang akibat kecelakaan industri. (4).
Di Indonesia, diperoleh informasi bahwa, dalam setahun sekitar 9000 orang
meninggal akibat kecelakaan lalu lintas, atau rata-rata 25 orang per hari, yang
disebabkan oleh faktor manusia (90%), faktor jalan (5%), dan faktor lingkungan (5%).(5)
113
Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Oesember 2003 ISSN 1693 - 7902
Khusus di wilayah hukum POLDA Metro Jaya, selama tujuh bulan pertama tahun 2003,
jumlah kecelakaan lalu lintas tercatat 687 kali dengan korban 291 orang tewas, 323
orang luka berat, dan 294 orang luka ringan. Penyebab dominan adalah faktor manusia,
yaitu emosi sesaat. (6) Dari dunia perkeretaapian diperoleh informasi bahwa antara
Januari - April 2003 terjadi 72 kali kecelakaan (40% anjlok/terguling, 35% tabrakan)
yang mengakibatkan 24 orang tewas, 24 rang luka berat, dan 39 orang luka ringan. Ini
menunjukkan kecenderungan yang meningkat dibanding tahun lalu: 67 kecelakaan, 22
orang tewas, 18 luka berat, dan 16 luka ringan. Ditengarai seringnya kecelakaan ini
karena lemahnya manajemen keselamatan KA akibat lemahnya mentalitas dan kinerja
karyawan.(7) Tabrakan bus vs truk di Situbondo, 8 Oktober 2003 yang menewaskan 54
orang semakin menguatkan kesan betapa industri transportasi kita memang mengerikan.
Dalam industri nuklir di Indonesia, khususnya dalam bidang kesehatan perlu
penataan mendesak karena alasan yang berkaitan dengan masalah perilaku, tanggung
jawab, komunikasi, dan birokrasi administrasi(8). Masih dalam lingkup industri nuklir,
identifikasi penyebab kecelakaan PLTN TMI unit 2 tahun 1979 menunjukkan pula
bahwa human error merupakan salah satu faktor penyebabnya(9). Jadi sejarah
mengajarkan bahwa faktor manusia sering menjadi isu utama dalam kecelakaan
industri.
Makalah ini merupakan sumbangan pemikiran awal dari Lembaga INDUS untuk
memperbaiki keselamatan industri. Bahasan berikut berangkat dari hipotesis ini:
"Obyektifikasi Nilai dan Norma Budaya Keselamatan Total (Budaya KESTAL) pada
industri dapat mengurangi human error sehingga keselamatan, produktifitas, dan
kompetitas produknya meningkat." Pembahasan diawali dengan fenomena
ketidakteraturan di dalam kehidupan publik dan operasi industri di Indonesia serta
pentingnya introduksi sebuah Sistem Nilai/Budaya bam untuk mengatasinya; tinjauan
sekilas Budaya Keselamatan versi IAEA dan versi UU No. 10/1997 tentang
Ketenaganukliran; Konsep dan lingkup Budaya KEST AL; Kaitan Nilai, sikap mental,
dan kompetensi personil dalam Budaya KEST AL; Pemeringkatan sikap mental; Faktor
MORIS dalam perilaku personil; Peran Budaya KEST AL dalam mencegah human
error; Tujuh Norma Berpikir Sistemik; dan diakhiri dengan Kesimpulan mengenai
potensi peran dan keberlakuan Konsep Budaya KEST AL di dalam ruang publik ..
114
Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902
FEN OMENA KETIDAKTERATURAN (CHAOS) DALAM KEHIDUPAN
PUBLIK DI INDONESIA
Keterkaitan antara faktor perilaku personil dengan keselamatan aplikasi Teknologi
telah lama menjadi perhatian Penulis. Penyebab kecelakaan dan/atau kegagalan
sistem/komponen selalu dapat dirunut kepada faktor manusia, yang di dalamnya
terdapat faktor sikap mental yang dominan. Teknologi dimaksudkan sebagai cara atau
metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan
berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai tambah bagi pemenuhan
kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan kualitas kehidupan manusiaYO)
Urgensi kesiapan mental ini semakin tinggi untuk sistem teknologi berisiko tinggi
seperti instalasi petrokimia, instalasi nuklir, idan sistem transportasi masal.
Pertimbangan kesiapan sikap mental ini seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari
proses alih teknologi, karena biasanya di pihak penerima teknologi dihinggapi
ketimpangan budaya (cultural lag) sebagai penghambat yang tidak kasat mata (hidden
barriers). Jadi dalam introduksi teknologi baru diperlukan proses adaptasi dan
akulturasi, baik pada tingkat personil pelaksana ataupun masyarakat (publik)Y I)
Pengalaman mengajarkan bahwa sikap mental "nrabas" dan perilaku
menyimpang dari pejabat publik maupun individu dan kelompok dominan lain di dalam
masyarakat dapat memicu reaksi negatif-berantai (disruptive chain reaction, reaksi DC)
yang "katastropis" oleh pihak lain, yang pada akhirnya secara kumulatif bersinergi
negatif menjadi "public error" yang terbukti telah mengakibatkan ketidakteraturan/
kekacauan (chaos) pada ruang publik. Anehnya, dibalik ketidakteraturan terse but selalu
tersimpan keteraturan yang ganjil, yakni selalu berawal dari stimulus lingkungan fisik
sebagai faktor-Iuar pemicu, diperparah oleh faktor pemacu berupa "mental nrabas"
yang menginisiasi Reaksi DC. Selanjutnya reaksi DC ini menimbulkan stimulus
lingkungan psikologis baru yang memicu "mental nrabas" untuk berreaksi DC oleh
pihak lain yang lebih banyak. Di Indonesia, fenomena chaos akibat saling picu dan pacu
antara faktor lingkungan dan sikap mental nrabas semacam ini dapat ditemukan pada
hampir semua kegiatan publik, yang sebagian diantaranya justru dipicu oleh kesalahan
berbagai kebijakan publik pada berbagai jenjang.
Perilaku chaotis ini sangat katastropis sebab pada skala makro, selain
membingungkan dan menumpulkan nalar dan nurani generasi sekarang, juga
115
Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Desember 2003 ISSN 1693 - 7902
mempertontonkan pencucian otak (brainwashing)) dan penjungkir-balikkan moral
(moral-upsiding) kepada generasi mendatang karena telah mengajarkan kebiasaan,
pengetahuan, dan pengalaman hidup bersosial dan bernegara yang salah dan penuh
dengan penyakit sosial yang kronis dan mematikan (deadly diseases), juga telah
menimbulkan ketidakpastian perencanaan, implementasi, dan evaluasi kebijakan publik.
Pada kondisi chaotis ini, deretan asumsi, aksioma, teori, dan hasil perhitungan
keandalan sistem menjadi tidak bermakna karena kecelakaan dan kegagalan sistem itu
benar terjadi. Runtuhnya Gedung WTC pada 11 September 2001 merupakan contoh
betapa standar keselamatan yang teruji puluhan tahun akhirnya gagal karena sikap
mental yang salah dari sekelompok teroris. Menabraknya pesawat Boeing 767-200ER
berbobot 124,3 ton dengan kecepatan 900 km/jam dan berbahan bakar penuh, tepat pada
titik lemah menara WTC tentu masuk klasifikasi Beyond Design Basis Accident
(BDBA), karena dalam analisis desainnya (1964) Gedung WTC "sudah"
memperhitungkan kemungkinan ditabrak Boeing 707 (desain terbaru) berbobot 119, 3
ton berbahan bakar minimal, dan diasumsikan dalam gerakan mendarat darurat pad a
kecepatan 290 km/jam.(12)
Berbagai potret buruk kehidupan publik penuh perilaku chaotis tersebut secara
komulatif mengindikasikan betapa literatur ketidakberadaban dapat ditemukan lengkap
di Indonesia. Kondisi ini juga memberikan sinyal adanya kekosongan moralitas publik
atau Sistem Nilai sejenis yang "workable" pada lingkup publik yang diperlukan untuk
mengarahkan dan mengendalikan perilaku publik. Sedangkan pada dunia industri,
kondisi chaotis terse but sekaligus menunjukkan perlunya diterapkan Sistem Nilai
(Budaya) baru untuk menjamin kinerja yang tinggi dengan tetap mengindahkan
kepentingan ekosistem secara holistik.
TINJAUAN KONSEP BUDAYA KESELAMATAN VERSI IAEA DAN VERSI
UNDANG-UNDANG NO. 10/1997 TENT ANG KETENAGANUKLIRAN
Industri nuklir, yang di dalamnya mengandung proses-proses yang melibatkan
radiasi nuklir, sangatlah tinggi potensi risikonya terhadap keselamatan publik, sehingga
faktor keselamatan menjadi kriteria utama (safety first), bukan faktor perbandingan
antara manfaat dengan mudarat (safety last) sebagaimana Norma yang dipakai dalam
116
Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Desember 2003 ISSN 1693 - 7902
penerapan berbagai Sistem Nilai tertentu. Paradigma ini mensyaratkan tingginya sikap
sadar-keselamatan (safety-awareness).
Sebagai bagian dari sikap tersebut, IAEA memperkenalkan Konsep Budaya
Keselamatan (Budaya K) dengan batasan bahwa Budaya K. pada personil dan
organisasi mengandung tiga substansi, yaitu keunggulan bidang keselamatan produksi,
komitmen tinggi terhadap keselamatan, serta pengetahuan masalah keselamatan terkait
dengan sistem dan personil, dan pengetahuan rinci dan terkini tentang masalah
keselamatan pekerjaan.(I3)
Di Indonesia, Budaya K. yang memiliki landasan konstitusional Undang-Undang
No. 10/1997 Tentang Ketenaganukliran, nampaknya belum diimplementasikan secara
nyata. Pada bab V tentang pengawasan, pasal 14 dan 15 menyebutkan bahwa
pengawasan terhadap pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia dilakukan oleh
BAPETEN, dan dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran hukum pengguna tenaga
nuklir agar tumbuh Budaya K. di bidang nuklir. Selanjutnya, bagian Penjelasan pasal15
menyebutkan bahwa "Budaya Keselamatan adalah sifat dan sikap dalam organisasi dan
individu yang menekankan pentingnya keselamatan." Budaya K. mensyaratkan agar
semua kewajiban yang berkaitan dengan keselamatan hams dilaksanakan secara benar,
saksama, dan penuh rasa tanggung jawab. (14) Jadi ada tiga hal yang ditekankan di dalam
Budaya K. yaitu sifat dan sikap yang berorientasi kepada keselamatan (sifat, sikap, dan
selamat; 3S). Contoh adopsi Budaya K. pada tataran konsep kebijakan adalah dalam
Kebijakan Kepala BATAN Tentang Keselamatan Fasilitas Nuklir yang menyebutkan
bahwa "Di seluruh unit kerja BATAN, keselamatan harus menjadi perhatian utama
pada seluruh tahap kegiatan, dan menjadi pertimbangan utama baik secara organisasi
maupun perorangan. ,,(15) Selanjutnya tertuang pula pada Kebijakan Mutu BAT AN,
yang di antaranya berbunyi: "BATAN menjamin dan memelihara mutu seluruh
pelaksanaan fungsi organisasi dengan mengutamakan aspek keselamatan". (16) Perlu
telaah kritis terhadap efektifitas kebijakan ini.
117
Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003
KONSEP BUDAY A KESELAMA TAN TOTAL DAN POTENSI
KEBELAKUANNYA
ISSN 1693 - 7902
Definisi dan Ruang Lingkup
Telah diketahui bahwa terciptanya keselamatan industri merupakan hasil interaksi
dari ketiga unsur, yaitu manusia, mesin, dan lingkungan kerja sebagaimana ditunjukkan
pada Gambar 1. Pola interaksi tersebut bersifat interaktif, dinamis, dan resiprokal (IDR)
sehingga memiliki kompleksitas situasional sangat beragam (tak terbatas), utamanya
karena kehadiran faktor manusia. Kompleksitas yang tinggi tentu memberikan
paparan risiko yang tinggi pula.
Dengan demikian untuk mencapai keselamatan operasi yang tinggi maka
kompleksitas terse but harus disederhanakan, yang berarti diperlukan adanya kepastian
perilaku kolektif ketiga un sur tersebut. Dari segi signifikansi pengaruhnya, dibedakan
tiga aspek lingkungan kerja industri, yaitu fisik, psikologis, dan virtual-sistemik, yang
ketiganya dapat berpengaruh kuat terhadap perilaku personil maupun pengoperasian
mesin. Oleh karena itu perilaku ketiga unsur keselamatan harus dipahami secara holistik
parallel dengan pemahaman terhadap ketiga aspek lingkungan tersebut.
Perilaku mesin dan lingkungan relatif mudah diprediksi, tidak demikian halnya
dengan perilaku manusia. Agar supaya perilaku manusia dapat diprediksi maka hams
diterapkan Standard Code of Good Conduct, yang berisi nilai-nilai dan norma dasar
sebagai /criteria berperilaku di dalam lingkungan industri yang mengarah kepada
kinerja keselamatan (safety performance pro-progressive behavior, SP 3B). Hal ini
semakin penting dan mendesak mengingat perilaku manusia sangat dinamis, berubah
terhadap waktu. Kompleksitas dinamika kolektif tersebut semakin meningkat bila di
dalam sistem terdapat berbagai tipe man usia. Paradigma inilah yang melatarbelakangi
lahirnya Konsep Budaya Keselamatan Total.
118
Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Desember 2003 ISSN 1693 - 7902
Gambar 1. Interaksi interaktif, dinamis, dan resiprokal (IDR) antara ketiga unsurkeselamatan industri
Dengan paradigma ini maka kedua Konsep Budaya Keselamatan di atas masih
relatif sempit dan parsial, atau setidaknya masih perlu dielaborasi lebih lanjut karena
belum menunjukkan keterkaitan sistemik dan holistik antar atribut dari ketiga unsur
keselamatan industri. Berkaitan dengan hal ini maka selanjutnya akan diperkenalkan
konsep baru, yaitu Budaya Keselamatan Total (Budaya KESTAL)
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang komplek meliputi pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan
yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Definisi lain memerinci adanya
fenomena (wujud) kebudayaan yang terdiri dari sistem budaya (sistem Nilai, gagasan,
dan Norma), sistem sosial (komplek aktifitas dan tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat), serta artefak atau kebudayaan fisiko (17)
Secara analogi, Budaya Keselamatan Total setidaknya dapat diberikan batasan
berikut : Sistemffatanan Nilai yang mengilhami setiap personil untuk memiliki pola
pikir, pola ucap, pola sikap, dan pola tindak (perilaku) yang berbasiskan Nilai dan
Norma Keselamatan serta Kualitas, dimana persepsi terhadap masalah keselamatan
produksi telah mempertimbangkan interdependensi sistemik dan holistik antar
atribut/aspirasi dari ketiga un sur keselamatan (manusia, mesin, dan lingkungan),
sementara kaitan antara faktor penyebab, perilaku, dan akibat tidak hanya dipandang
linier, searah, dan seketika tapi juga sirkular, spiral, dan jangka panjang. (spiraling the
actuators, behavior, and consequencies, Spiraling the ABC).
119
Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11Desember 2003 ISSN 1693-7902
Jadi terdapat tiga pilar penyusun Budaya KEST AL yang sebagian dan/atau
seluruhnya dapat berlaku pada sembarang industri ataupun bersifat "process -specific",
yaitu Nilai dan Norma Keselamatan; Nilai Kualitas 13-} K (18) dan Delapan Norma
Kualitas (19);serta Tujuh Norma Berfikir Sistemik dalam keselamatan.(20) Khusus untuk
Nilai dan Norma Keselamatan, beberapa Norma Keselamatan berikut dapat diterapkan
sesuai dengan karakteristik industri: Norma Keselamatan ABC & TBA (21); Norma