MANAJEMEN KONFLIK TUGAS MATA KULIAH KEPRIBADIAN DAN KOMUNIKASI Dosen: Olih Solihin, S.Sos., M.I.Kom DIOTRA HENRIYAN 10111910 PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA 2015
MANAJEMEN KONFLIK
TUGAS MATA KULIAH KEPRIBADIAN DAN KOMUNIKASI
Dosen:
Olih Solihin, S.Sos., M.I.Kom
DIOTRA HENRIYAN
10111910
PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
2015
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3
BAB III PENUTUP ..................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 19
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap kelompok dalam satu organisasi dimana di dalamnya terjadi interaksi
antara satu dengan yang lainnya, mempunyai kecenderungan timbulnya suatu
konflik yang tidak dapat di hindarkan. Konflik terjadi karena disatu sisi orang-orang
yang terlibat dalam suatu organisasi mempunyai karakter, tujuan, visi dan misi yang
berbeda-beda. Konflik merupakan peristiwa yang wajar dalam suatu kelompok dan
organisasi, konflik tidak dapat di singkirkan tetapi konflik bias menjadi kekuatan
positif dalam suatu kelompok dan organisasi agar menjadi kelompok dan organisasi
berkinerja efektif.
Seorang pimpinan yang ingin memajukan organisasinya, harus memahami
faktor-faktor yang menyebabkan tinbulnya konflik, baik konflik di dalam individu
maupun konflik antar perorangan, konflik di dalam kelompok dan konflik antar
kelompok. Dalam menata sebuah konflik dalam organisasi diperlukan keterbukaan,
kesabaran serta kesadaran semua pihak yang terlibat maupun yang berkepentingan
dengan konflik yang terjadi. Oleh karena itu diperlukan manajemen yang tepat agar
konflik dapat terselesaikan.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, terdapat beberapa rumusan masalah mengenai
manajemen konflik, yaitu:
1. Apakah definisi konflik?
2. Bagaimana pandangan mengenai konflik?
3. Apa sajakah faktor penyebab timbulnya konflik?
4. Apa sajakah jenis-jenis konflik?
5. Bagaimana strategi yang digunakan dalam manajemen konflik?
6. Bagaimana penerapan manajemen konflik dalam organisasi?
2
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui definisi konflik?
2. Mengetahui pandangan mengenai konflik?
3. Mengetahui faktor penyebab timbulnya konflik?
4. Mengetahui jenis-jenis konflik?
5. Mengetahui strategi yang digunakan dalam manajemen konflik?
6. Mengetahui penerapan manajemen konflik dalam organisasi?
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Konflik
Istilah manajemen berasal dari bahasa Italia Maneggiare (Haney dalam
Mardianto, 2000) yang berarti melatih kuda-kuda atau secara harfiah to handle yang
berarti mengendalikan, sedangkan dalam kamus Inggris Indonesia (Echols dan
Shadily, 2000) management berarti pengelolaan dan istilah manager berarti
tindakan membimbing atau memimpin, sedangkan dalam bahasa Cina, manajemen
adalah kuan lee yang berasal dari dua kata yaitu kuan khung (mengawasi orang
kerja) dan lee chai (menmanajemen konfliksi uang) (Mardianto, 2000). Sehingga
manajemem dapat didefinisikan sebagai mengawasi/mengatur orang bekerja dan
menmanajemen konfliksi administrasi dengan baik. Menurut kamus besar bahasa
Indonesia (1997) manajemen adalah proses penggunaan sumber daya secara efektif
dan efisien untuk mencaSpiritual tujuan. Manajemen merupakan proses penting
yang menggerakkan organisasi karena tanpa manajemen yang efektif tidak akan ada
usaha yang berhasil cukup lama.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen
sebuah tindakan yang berhubungan dengan usaha tertentu dan penggunaan sumber
daya secara efektif untuk mencapai tujuan.
Setelah memahami pengertian manajemen, selanjutnya adalah pengertian
konflik. Menurut kamus bahasa Indonesia (1997), konflik berati percekcokan,
pertentangan, atau perselisihan. Konflik juga berarti adanya oposisi atau
pertentangan pendapat antara orang-orang atau kelompok-kelompok. Setiap
hubungan antar pribadi mengandung unsur-unsur konflik, pertentangan pendapat,
atau perbedaan kepentingan. Menurut Johnson (Supratiknya, 1995) konflik adalah
situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat atau
mengganggu tindakan pihak lain. Kendati unsur konflik selalu terdapat setiap
bentuk hubungan antar pribadi, pada umumnya masyarakat memandang konflik
4
sebagai keadaan yang harus dihindarkan karena konflik dianggap sebagai faktor
yang merusak hubungan.
Menurut Vasta (Indati, 1996), konflik akan terjadi bila seseorang melakukan
sesuatu tetapi orang lain menolak, menyangkal, merasa keberatan atau tidak setuju
dengan apa yang dilakukan seseorang. Selanjutnya dikatakan bahwa konflik lebih
mudah terjadi diantara orang-orang yang hubungannya bukan teman dibandingkan
dengan orang-orang yang berteman. Konflik muncul bila terdapat adanya
kesalahpahaman pada sebuah situasi sosial tentang pokok-pokok pikiran tertentu
dan terdapat adanya antagonisme-antagonisme emosional. Konflik-konflik
substantif (sunstantif conflict) meliputi ketidak sesuaian tentang hal-hal seperti
tujuan alokasi sumber daya, distribusi imbalan, kebijaksanaan, prosedur dan
penegasan pekerjaan. Konflik ini biasa terjadi dalam sebuah organisasi sedangkan
konflik-konflik emosional (emotional conflict) timbul karena perasaan marah,
ketidakpercayaan, ketidaksenangan, takut, sikap menentang, maupun bentrokan-
bentrokan kepribadian. Konflik inilah yang sering terjadi pada remaja dengan
teman sebaya. Collins dan Lausen (Farida, 1996) memandang konflik pada remaja
sebagai akibat dari perubahan peran yang diharapkan oleh lingkungan sosial di
sekitarnya karena remaja mengalami transisi tahapan usia dan perubahan-
perubahan menuju kematangan. Kecemasan dan akumulasi stres dari berbagai
transisi tersebut umumnya akan meningkatkan kemungkinan timbulnya konflik
atau efektifnya penangan konflik.
Menurut definisi konflik di atas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah
segala macam interaksi pertentangan antara dua pihak atau lebih. Konflik dapat
timbul pada berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri individu, antar individu,
kelompok, organisasi, maupun negara. Pendapat Deutch yang dikutip oleh Pernt
dan Ladd (Indati, 1996) menyatakan bahwa proses untuk mendapatkan kesesuaian
pada individu yang mengalami konflik disebut dengan pengelolaan konflik atau
bias disebut dengan manajemen konflik.
5
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik
adalah cara yang digunakan individu untuk menghadapi pertentangan atau
perselisihan antara dirinya dengan orang lain yang terjadi di dalam kehidupan.
2.2. Pandangan Mengenai Konflik
Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam kelompok atau
organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari atau dihilangkan,
karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi. Berlawanan dengan ini,
pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik dikelola sedemikian rupa maka
konflik tersebut akan membawa keuntungan bagi kelompok dan organisasi. Stoner
dan Freeman menyebut konflik tersebut sebagai konflik organisasional
(organizational conflict).
Pertentangan pendapat ini oleh Robbins (1996:431) disebut sebagai the
Conflict Paradox, yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat
meningkatkan kinerja kelompok, namun di sisi lain kebanyakan kelompok dan
organisasi berusaha untuk meminimalisir konflik.
Dalam uraian di bawah ini disajikan beberapa pandangan tentang konflik,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Robbins (1996:429) :
1. Pandangan Tradisional (The Traditional View)
Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik
dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari.
Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan
istilah violence, destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten
dengan sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam
dasawarsa 1930-an dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil
disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan
dan keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk
tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
2. Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View)
6
Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang
wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan
konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga
bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi. Pandangan ini
mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai
pertengahan 1970-an.
3. Pandangan Interaksionis (The Interactionist View)
Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar
suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan
serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak
inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu
dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga
kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan
kreatif. Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan tentang
konflik menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan
pandangan modern (current view).
2.3. Faktor Penyebab Timbulnya Konflik
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar -
belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai
sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga kategori, yaitu :
a. Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan
kesalah - pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi
sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan
semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam
saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan
menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
7
b. Struktur
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang
mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan
kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja),
kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya
kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara
kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan
derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya
konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya,
maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
c. Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang
meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik
kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan
(idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan
menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain,
merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi
tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan
hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi
konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan
(perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional,
dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap
bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan
(felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan
keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-
pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya,
serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik,
huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.
8
Berbeda dengan Robbins yang hanya menyebut tiga faktor dalam antecedent
conditions, Schermerhorn merinci antecedent conditions menjadi lima faktor, yaitu:
1. Ketidakjelasan peranan atau peranan yang mendua (role ambiguities)
2. Persaingan untuk mendapatkan sumberdaya yang terbatas
3. Rintangan-rintangan dalam komunikasi (communication barriers)
4. Konflik sebelumnya yang tidak terselesaikan
5. Perbedaan-perbedaan individual, yang mencakup: perbedaan
kebutuhan, nilai-nilai, dan perbedaan tujuan.
Selanjutnya, Kreitner dan Kinicki (1995:284-285) merinci lagi antecedent
conditions itu menjadi 12 faktor sebagai berikut :
1. Ketidakcocokan kepribadian atau sistem nilai.
2. Batas-batas pekerjaan yang tidak jelas atau tumpang-tindih.
3. Persaingan untuk memperoleh sumberdaya yang terbatas.
4. Pertukaran informasi atau komunikasi yang tidak cukup (inadequate
(communication).
5. Kesalingtergantungan dalam pekerjaan (misalnya, seseorang tidak
dapat menyelesaikan pekerjaannya tanpa bantuan orang lain).
6. Kompleksitas organisasi (konflik cenderung meningkat bersamaan
dengan semakin meningkatnya susunan hierarki dan spesialisasi
pekerjaan).
7. Peraturan-peratuan, standar kerja, atau kebijakan yang tidak jelas atau
tidak masuk akal.
8. Batas waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak masuk akal sehingga
sulit dipenuhi (unreasonable deadlines).
9. Pengambilan keputusan secara kolektif (semakin banyak orang yang
terlibat dalam proses pengambilan keputusan, semakin potensial untuk
konflik).
10. Pengambilan keputusan melalui konsensus.
9
11. Harapan-harapan yang tidak terpenuhi (karyawan yang memiliki
harapan yang tidak realistik terhadap pekerjaan, upah, atau promosi,
akan lebih mudah untuk konflik).
12. Tidak menyelesaikan atau menyembunyikan konflik.
Menurut Kreitner dan Kinicki (1995), manajer atau pimpinan organisasi harus
proaktif untuk mengidentifikasikan keberadaan kondisi - kondisi tersebut dalam
organisasinya, dan jika salah satu atau lebih dari kondisi itu muncul, maka ia harus
segera mengambil tindakan, sebelum kondisi itu menjadi konflik terbuka atau
konflik yang nyata (manifest conflict). Dengan cara seperti ini, diharapkan konflik
tidak meluas ke seluruh organisasi dan akhirnya mempengaruhi kinerja karyawan.
Untuk itulah maka manajer harus memiliki kemampuan untuk mengelola konflik,
sehingga konflik tidak menjadi faktor yang mengancam keberlangsungan hidup
organisasi, tetapi menjadi faktor yang fungsional untuk meningkatkan kinerja
organisasi.
2.4. Jenis-Jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang
digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik berdasarkan
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, ada yang membagi konflik dilihat dari
fungsi dan ada juga yang membagi konflik dilihat dari posisi seseorang dalam suatu
organisasi.
1. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Jenis konflik ini disebut juga konflik intra keorganisasian. Dilihat dari posisi
seseorang dalam struktur organisasi, Winardi membagi konflik menjadi empat
macam. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai berikut :
a. Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang
memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi.
Misalnya, antara atasan dan bawahan.
b. Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka
yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam
10
organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar
departemen yang setingkat.
c. Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini
yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf
yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
d. Konflik peranan, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang
mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
2. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner
membagi konflik menjadi lima macam , yaitu:
a. Konflik dalam diri individu (conflict within the individual).
Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang
saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi
batas kemampuannya. Termasuk dalam konflik individual ini,
menurut Altman, adalah frustasi, konflik tujuan dan konflik
peranan .
b. Konflik antar-individu (conflict between individuals). Terjadi
karena perbedaan kepribadian antara individu yang satu dengan
individu yang lain.
c. Konflik antara individu dan kelompok (conflict between
individuals and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan
diri dengan norma-norma kelompok tempat ia bekerja.
d. Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict
among groups in the same organization). Konflik ini terjadi
karena masing-masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda
dan masing-masing berupaya untuk mencapainya. Masalah ini
terjadi karena pada saat kelompok-kelompok makin terikat
dengan tujuan atau norma mereka sendiri, mereka makin
kompetitif satu sama lain dan berusaha mengacau aktivitas
11
pesaing mereka, dan karenanya hal ini mempengaruhi organisasi
secara keseluruhan .
e. Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik
ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi
menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya,
dalam perebutan sumberdaya yang sama.
3. Konflik Dilihat dari Fungsi
Dilihat dari fungsi, Robbins membagi konflik menjadi dua macam,
yaitu:
a. Konflik fungsional (Functional Conflict)
Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian
tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok.
b. Konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict).
Konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian
tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional
atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional
bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula,
konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang
lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional
adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja
individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun
kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional.
Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi
menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional.
2.5. Strategi dalam Manajemen Konflik
a. Menghindar
12
Menghindari konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang
memicu konflik tidak terlalu penting atau jika potensi konfrontasinya
tidak seimbang dengan akibat yang akan ditimbulkannya. Penghindaran
merupakan strategi yang memungkinkan pihak-pihak yang
berkonfrontasi untuk menenangkan diri. Manajer perawat yang terlibat
didalam konflik dapat menepiskan isu dengan mengatakan Biarlah
kedua pihak mengambil waktu untuk memikirkan hal ini dan
menentukan tanggal untuk melakukan diskusi
b. Mengakomodasi
Memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur strategi
pemecahan masalah, khususnya apabila isu tersebut penting bagi orang
lain. Hal ini memungkinkan timbulnya kerjasama dengan memberi
kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan. Perawat yang
menjadi bagian dalam konflik dapat mengakomodasikan pihak lain
dengan menempatkan kebutuhan pihak lain di tempat yang pertama.
c. Kompetisi
Gunakan metode ini jika anda percaya bahwa anda memiliki lebih
banyak informasi dan keahlian yang lebih dibanding yang lainnya atau
ketika anda tidak ingin mengkompromikan nilai-nilai anda. Metode ini
mungkin bisa memicu konflik tetapi bisa jadi merupakan metode yang
penting untuk alasan-alasan keamanan.
d. Kompromi atau Negosiasi
Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang
bersamaan, saling memberi dan menerima, serta meminimalkan
kekurangan semua pihak yang dapat menguntungkan semua pihak.
e. Memecahkan Masalah atau Kolaborasi
Pemecahan sama-sama menang dimana individu yang terlibat
mempunyai tujuan kerja yang sama. Perlu adanya satu komitmen dari
13
semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung dan saling
memperhatikan satu sama lainnya.
f. Pemecahan persoalan
Dalam strategi pemecahan persoalan, diambil asumsi dasar semua
pihak mempunyai keinginan menangualngi konflik yang terjadi dan
karenanya oerlu dicarikan ukuran-ukuran yang dapat memuaskan
pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Atas dasar asumsi tersebut
maka dalam strategi pemecahan persoalan harus selalu dilalui dua tahap
penting, yaitu proses penemuan gagasan dan proses pematangannya.
Hasil penelitian yang pernah dilakukan Amerika membuktikan bahwa
usaha pemecahan persoalan menjadi lebih produktif bila semua gagasan
dikumpulkan terlebih dahulu sebelum dibahas.
Penelitian yang sama juga membuktikan bahwa mutu cara pemecahan
akan lebih baik bila pimpinan terlebih dahulu membahas persoalannya
sebelum membicarakan cara pemecahannya. Karena maksud
pemecahan persoalan ialah untuk membahas berbagai macam
kemungkinan, maka justru menciptakan kemungkinan berbeda
pendapat, bukan menghilangkannya.
g. Musyawarah
Dalam strategi ini terlebih dahulu harus ditentukan secara jelas apa
sebenarnya yang menjadi persoalan. Berdasarkan jelasnya persoalan
itulah kemudian kedua belah pihak yang sedang dalam pertikaian
mengadakan pembahasan untuk mendapatkan titik pertemuan.
Pada waktu perundingan atau musyawarah tersebut dilakukan dapat
pula dikembangkan suatu konsensus bahwa setelah terjadi
kesepakatan, masing-masing pihak harus berusaha mencegah
timbulnya konflik lagi.
h. Persuasi
14
Dalam strategi ini usaha penanggulangan konflik dilakukan dengan
menemukan kepentingan dan tujuan yang lebih tinggi dari tujuan pihak-
pihak yang sedang bertikai.
i. Mencari lawan yang sama
Strategi ini pada prinsipnya hampir sama dengan strategi ketiga.
Perbedaannya adalah bahwa pada strategi ini semua diajak untuk lebih
bersatu kaena harus menghadapi pihak ketiga sebagai pihak yang
dianggap merupakan lawan dari kedua belah pihak yang bertikai.
j. Meminta bantuan pihak ketiga
Hal yang penting adalah mengetahui dibidang apa pertikaian , dalam
arti apakah terjadinya berkaitan dengan konflik politik, konflik
wewenang, konflik hukum, konflik teknis pekerjaan, dan lainnya. Hal
ini penting guna dapat memilih pihak ketiga yang kiranya dapat untuk
menanggulangi akibat yang lebih negatif dari suatu konflik.
k. Peningkatan interaksi dan komunikasi
Alasan penggunaan strategi ini adalah bahwa bila pihak-pihak yang
berkonflik dapat meningkatkan interaksi dan komunikasi mereka, pada
suatu saat mereka akan dapat lebih mengerti dan menghargai dasar
pemikiran dan prilaku pihak lain. Pengertian dan penghargaan ini
penting, karena dapat mengurangi pandangan buruk terhadap kelompok
lain.
l. Latihan kepekaan
Strategi ini bisa disebut encounter session strategi ini umumnya
digunakan untuk menghadapi konflik yang terjadi dalam suatu
kelompok ataupun antar kelompok. Pihak-pihak yang berkonflik diajak
masuk dalam satu kelompok. Dalam kelompok ini masing-masing
pihak diberi kesempatan menyatakan pendapatnya termasuk
pendapatnya yang negatif, mengenai pihak yang lain. Sementara itu,
15
pihak yang dikritik diharapkan mendengarkannya lebih dahulu
kemudian dapat pula mengemukakan pendapatnya. Dengan telah
dikeluarkan, segala perasaan atau ganjalan yang dikandung,
diharapkan masing-masing pihak akan lega.
2.6. Penerapan Manajemen Konflik
Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan, hal ini disebabkan
karena setiap jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung mendatangkan
konflik. Perubahan institusional yang terjadi, baik direncanakan atau tidak, tidak
hanya berdampak pada perubahan struktur dan personalia, tetapi juga berdampak
pada terciptanya hubungan pribadi dan organisasional yang berpotensi
menimbulkan konflik. Di samping itu, jika konflik tidak ditangani secara baik dan
tuntas, maka akan mengganggu keseimbangan sumberdaya, dan menegangkan
hubungan antara orang-orang yang terlibat.
Untuk itulah diperlukan upaya untuk mengelola konflik secara serius agar
keberlangsungan suatu organisasi tidak terganggu. Stoner mengemukakan tiga cara
dalam pengelolaan konflik, yaitu:
1. merangsang konflik di dalam unit atau organisasi yang prestasi kerjanya
rendah karena tingkat konflik yang terlalu kecil. Termasuk dalam cara
ini adalah:
a) minta bantuan orang luar
b) menyimpang dari peraturan (going against the book)
c) menata kembali struktur organisasi
d) menggalakkan kompetisi
e) memilih manajer yang cocok
2. Meredakan atau menumpas konflik jika tingkatnya terlalu tinggi atau
kontra-produktif
3. Menyelesaikan konflik. metode penyelesaian konflik yang disampaikan
Stoner adalah:
16
a) Dominasi dan penguasaan, hal ini dilakukan dengan cara
paksaan, perlunakan, penghindaran, dan penentuan melalui
suara terbanyak.
b) Kompromi
c) Pemecahan masalah secara menyeluruh.
Konflik yang sudah terjadi juga bisa diselesaikan lewat perundingan. Cara ini
dilakukan dengan melakukan dialog terus menerus antar kelompok untuk
menemukan suatu penyelesaian maksimum yang menguntungkan kedua belah
pihak. Melalui perundingan, kepentingan bersama dipenuhi dan ditentukan
penyelesaian yang paling memuaskan. Gaya perundingan untuk mengelola konflik
dapat dilakukan dengan cara :
1. Pencairan, yaitu dengan melakukan dialog untuk mendapat suatu
pengertian
2. Keterbukaan, pihak-pihak yang terlibat bisa jadi tidak terbuka apalagi
jika konflik terjadi dalam hal-hal sensitif dan dalam suasana yang
emosional
3. Belajar empati, yaitu dengan melihat kondisi dan kecemasan orang lain
sehingga didapatkan pengertian baru mengenai orang lain
4. Mencari tema bersama, pihak-pihak yang terlibat dapat dibantu dengan
cara mencari tujuan-tujuan bersama
5. Menghasilkan alternatif, hal ini dilakukan dengan jalan mencari
alternatif untuk menyelesaikan persoalan yang diperselisihkan.
6. Menanggapi berbagai alternatif, setelah ditemukan alternatif-alternatif
penyelesaian hendaknya pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
mempelajari dan memberikan tanggapan
7. Mencari penyelesaian, sejumlah alternatif yang sudah dipelajari secara
mendalam dapat diperoleh suatu konsensus untuk menetapkan suatu
penyelesaian
17
8. Membuka jalan buntu, kadangkala ditemukan jalan buntu sehingga
pihak ketiga yang obyektif dan berpengalaman dapat diikutsertakan
untuk menyelesaikan masalah
9. Mengikat diri kepada penyelesaian di dalam kelompok, setelah
dihasilkan penyelesaian yang disepakati, pihak-pihak yang terlibat
dapat memperdebatkan dan mempertimbangkan penyelesaian dan
mengikatkan diri pada penyelesaian itu
10. Mengikat seluruh kelompok, tahap terakhir dari langkah penyelesaian
konflik adalah dengan penerimaan atas suatu penyelesaian dari pihak-
pihak yang terlibat konflik.
Model penanganan konflik yang lain juga disampaikan oleh Sondang, yaitu
dengan cara tidak menghilangkan konflik, namun dikelola dengan cara :
1. Bersaing
2. Kolaborasi
3. Mengelak
4. Akomodatif
5. Kompromi
Cara lain juga dikemukakan Theo Riyanto, yaitu dengan secara dini
melakukan tindakan yang sifatnya preventif, yaitu dengan cara :
1. Menghindari konflik
2. Mengaburkan konflik
3. Mengatasi konflik dengan cara:
a) Dengan kekuatan (win lose solution)
b) Dengan perundingan.
18
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Konflik dapat terjadi dalam organisasi apapun. Untuk itulah manajer atau
pimpinan dalam organisasi harus mampu mengelola konflik yang terdapat dalam
organisasi secara baik agar tujuan organisasi dapat tercapai tanpa hambatan-
hambatan yang menciptakan terjadinya konflik.
Terdapat banyak cara dalam penanganan suatu konflik. Manajer atau
pimpinan harus mampu mendiagnosis sumber konflik serta memilih strategi
pengelolaan konflik yang sesuai sehingga diperoleh solusi tepat atas konflik
tersebut. Dengan pola pengelolaan konflik yang baik maka akn diperoleh
pengalaman dalam menangani berbagai macam konflik yang akan selalu terus
terjadi dalam organisasi.
19
DAFTAR PUSTAKA
Echols, J.M, and Shadily, H. 1983. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta :Penerbit P.T.
Gramedia.
Fisher, dkkk. 2002. Mengelola Konflik, Ketrampilan Dan Strategi Untuk Bertindak.
The British Council
Madjid, R. 1997. Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan. Bandung : Mizan
Pustaka
Mangunwijaya, Y. B. 1986. Menumbuhkan Sikap Religiusitas Anak. Jakarta :
Gramedia
Mardianto, A. dkk. 2000. Penggunaan Manajemen Konflik Ditinjau Dari Status
Keikutsertaan Dalam Mengikuti Kegiatan Pencinta Alam Di Universitas
Gajah Mada. Jurnal Psikologi, No. 2
Winardi. 1994. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan Dan Pengembangan).
Bandung. Penerbit: CV. Mandarmaju.
Garry Dessler. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jilid 2. Jakarta : PT. Prehelinso.
1989.
Hani Handoko. Manajemen Personalia dan Sumber Daya manusia. Yogyakarta :
BPFE. 2001.
Wahyudi. Manajemen Konflik Dalam Organisasi, Edisi Kedua. Bandung :
Alfabeta. 2006.
Robbins S. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi. Jakarta : PT
Prenhalinddo.1996.
Indrawijaya, Adam I. Perilaku Organisasi. Bandung: Sinar Baru Algesindo.2009.