LAPORAN PRESENTASI KASUS “TINEA” BLOK EARLY CLINICAL AND COMMUNITY EXPOSURE III (ECCE III) Tutor: dr. Ismiralda Okke, Sp. KK Disusun Oleh KELOMPOK C Andrian Novatmiko G1A010025 Firda Sofia G1A010026 Khozatin Zuni F G1A010027 Oryzha Triliany G1A010028 KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN PRESENTASI KASUS
“TINEA”
BLOK EARLY CLINICAL AND COMMUNITY EXPOSURE III
(ECCE III)
Tutor: dr. Ismiralda Okke, Sp. KK
Disusun Oleh
KELOMPOK C
Andrian Novatmiko G1A010025
Firda Sofia G1A010026
Khozatin Zuni F G1A010027
Oryzha Triliany G1A010028
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
2013
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Infeksi jamur dapat superfisial, subkutan dan sistemik, tergantung pada
karateristik dari host. Dermatofita merupakan kelompok jamur yang terkait secara
taksonomi. Kemampuan mereka untuk membentuk lampiran molekul keratin dan
menggunakannya sebagai sumber nutrisi memungkinkan mereka untuk berkoloni
pada jaringan keratin, masuk kedalam stratum korneum dari epidermis, rambut,
kuku dan jaringan pada hewan. Infeksi superfisial yang disebabkan oleh dematofit
yang disebut dermatofitosis, dimana dermatimicosis mengacu pada infeksi jamur.
Insidensi mikosis superfisialis cukup tinggi di Indonesia karena
menyerang masyarakat luas. Faktor iklim yang panas dan lembab serta kepadatan
penduduk yang tinggi menyebabkan seseorang mudah terkena penyakit ini. Selain
itu, terdapat bukti jug bahwa higine dan sanitasi individu serta lingkungan sangat
berpengaruh pada tingginya insidensi kasus ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Tinea adalah penyakit pada jaringan yang disebabkan oleh jamur
dermatofita dan nondermatofita. Jenis jamur ini hanya menginfeksi jaringan
berkeratin superfisial saja (kulit, rambut dan kuku). Tinea dapat dibagi
berdasarkan lokasinya, yaitu tinea kapitis (kulit dan rambut kepala), tinea barbe
(dagu dan jenggot), tinea kruris (genitokrural, bokong, perut bagian bawah),
tinea pedis dan manum (jari tangan dan kaki), tinea korporis (selain bagian
tubuh di atas).
Selain 6 bentuk tinea di atas, ada bentuk lain yang yang mempunyai arti
khusus, yaitu tinea imbrikata (sususnan skuama yang konsentris disebabkan
oleh T. Concentricum), tinea vavosa (T. Schoenleini), tinea fasialis (tinea
fasialis, tinea sirsinata.
B. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Dermatofita merupakan jenis jamur penyebab penyakit ini. Dermatofita
terbagi menjadi tiga genus antara lain Microsporum, Trichopython, dan
Epidermophyton. Berdasarkan habitatnya, dermatofita dikelompokan menjadi
3 yaitu geofilik (tanah), zoofilik (hewan) atau antropofilik (manusia). Jenis
jamur nondermatofita mengabitakan tinea versikolor, tinea nigra palmaris dan
sebagainya.
Faktor penyebab terjadinya penyakit ini adalah dari faktor higinitas/
kebersihan individu, keadaan basah atau lembab, imunitas, pemakaian zat
kimia, kepadatan penduduk.
C. Epidemiologi
Insiden penyakit ini sepertinya meningkat di Amerika utara dan Eropa. Di
Negara seperti Ethopia, dimana akses perawatan medis yangsulit tingkat
infeksi telah mencapai lebih dari 25%. Pathogen yang dominan bervariasi
sesuai lokasi geografi. Angka kejadian penyakit ini tinggi pada daerah yang
mempunyai iklim panas atau lembab serta berpenduduk padat. Infeksi
dermatofit dimulai dikulit setelah trauma atau kontak. Sumber infeksinya pada
kasus dermatofit adalah dermatofit geofilik dan zoofilik.
D. Patogenesis dan Patofisiologi
Jalan masuk yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang
luka, jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh
masuknya artrospora atau konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit yang
paling atas, yaitu pada stratum korneum, lalu menghasilkan enzim keratinase
dan menginduksi reaksi inflamasi pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini
dapat menghilangkan patogen dari tempat infeksi sehingga patogen akan
mecari tempat yang baru di bagian tubuh. Perpindahan organisme inilah yang
menyebabkan gambaran klinis yang khas berupa central healing.
Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena
stratum korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan dermatofita
dan untuk pertumbuhan miselia jamur. Infeksi dermatofita terjadi melalui tiga
tahap: adhesi pada keratinosit, penetrasi, dan perkembangan respon host.
1. Adhesi pada keratinosit
Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia
sebagai elemen yang infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme
ini harus dapat bertahan dari efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan
kelembaban, kompetisi dengan flora normal, dan zat yang dihasilkan oleh
keratinosit. Asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea bersifat
fungistatik.
2. Penetrasi
Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi
pada stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase,
dan enzim musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini.
Trauma dan maserasi juga memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor
yang penting juga pada patogenesis tinea. Mannan yang terdapat pada
dinding sel jamur menyebabkan penurunan proliferasi keratinosit.
Pertahanan yang baru timbul pada lapisan kulit yang lebih dalam,
termasuk kompetisi besi oleh transferin yang belum tersaturasi dan dapat
menghambat pertumbuhan jamur yang didukung oleh progesteron.
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun
penderita dan organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada sel
yang mengalami inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.
Beberapa jamur menghasilkan kemotaktik faktor seperti yang dihasilkan
juga oleh bakteri. Jamur juga bisa mengaktivasi komplemen melalui jalur
alternatif, yang kemudian menghasilkan faktor kemotaktik berasal dari
komplemen.
Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi
dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi
dermatofita yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang meningkat
namun tidak berperan untuk mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam melawan
dermatofita. Respon dari imunitas seluler diperankan oleh interferon-γ
yang diatur oleh sel Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan
paparan dermatofita sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan
inflamasi yang ringan dan tes trikopitin biasanya menunjukkan hasil yang
negatif. Infeksi akan tampak sebagai eritema dan skuama ringan, sebagai
hasil dari percepatan tumbuhnya keratinosit. Ada yang mengungkapkan
hipothesis bahwa antigen dari dermatofita lalu diproses oleh sel
Langerhans dan dipresentasikan di nodus limfatikus kepada sel limfosit T.
Sel limfosit T berproliferasi klonal dan bermigrasi ke tempat infeksi untuk
melawan jamur. Saat itu lesi kulit menunjukkan reaksi inflamasi dan barier
epidermal menjadi permeable untuk migrasi dan perpindahan sel. Sebagai
akibat dari reaksi ini jamur dieliminasi dan lesi menjadi sembuh spontan.
Dalam hal ini tes trikopitin menunjukkan hasil yang positif dan
penyembuhan terhadap infeksi yang kedua kalinya menjadi lebih cepat.
Selain reaksi hipersensitivitas tipe lambat, infeksi jamur juga dapat
menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1). Mekanisme imun
yang terlibat di dalam patogenesis infeksi jamur masih perlu diteliti lebih
jauh lagi. Penelitian yang baru menunjukkan bahwa munculnya respon
imun berupa reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe I) atau tipe lambat
(tipe IV) terjadi pada individu yang berbeda. Antigen dari dermatofita
menstimulasi produksi IgE, yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas
tipe cepat, terutama pada penderita dermatofitosis kronik. Dalam
prosesnya, antigen dermatofita melekat pada antibodi IgE pada permukaan
sel mast kemudian menyebabkan cross-linking dari IgE. Hal ini dapat
menyebabkan terpicunya degranulasi sel mast dan melepaskan histamin
serta mediator proinflamasi lainnya.
Infeksi Dematofita
Mengandung Artrospora atau Konidia
Masuk melalui kulit yang luka, jaringan parut/bekas luka, adanya
luka bakar, atau kulit lembab
Menginvasi lapisan kulit paling atas (stratum korneum)
Menghasilkan ekso-enzim Keratinase
Melisiskan keratin pada stratum korneum
Stratum korneum rusak Terbentuk Skuama
Antigen dermatofita melekat pada antibodi IgE pada permukaan
sel mast
menstimulasi produksi IgE
Menyebabkan cross linking dari IgE
Memicu degranulasi sel mast dan lepasnya
histamin serta mediator inflamasi lainnya
Pruritus
Timbul reaksi hipersensitivitas tipe
cepat (tipe I) dan lambat (tipe IV)
Dermatofit berkompetisi dengan flora normal
Gambar 1. Skema Patogensesis dan Patofisiologi
E. Penegakan Diagnosis
1. Tinea Versikolor (Panu)
a. Anamnesis
Pasien mengeluh timbul bercak dalam berbagai ukuran dan warna,
ditutupi dengan sisik halus dengan rasa gatal. Terkadang tanpa keluhan
dan hanya gangguan kosmetik saja.
b.Pemeriksaan Fisik
Keluhan dapat ditemukan dimana saja di permukaan kulit, lipat
paha, ketiak, leher, punggung, dada, lengan, wajah, dan tempat-tempat
tertutup. Efloresensi berupa makula yang dapat hipopigmentasi,
kecoklatan, keabuan, atau kehitam-hitaman dalam berbagai ukuran,
dengan skuama halus diatasnya.
c.Pemeriksaan Penunjang
1) Sinar Wood : efloresensi kuning keemasan
Jamur menginvasi ke jaringan lebih dalam
Organisme / patogen pindah menjauhi tempat infeksi
Menginduksi reaksi inflamasi lokal
Menghilangkan patogen dari tempat infeksi
Rubor (Eritema)
Tumor (Edema)
Kalor (Demam)
Terbentuk lesi berbentuk cincin (Central Healing)
Alopecia
Dolor (Nyeri)
2) Mikroskopik preparat KOH 10% dari kerokan kulit lesi : tampak