BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang berarti kepala (De jong W, Sjamsuhidajat R., 2005). Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan serebrospinal (CSS) secara aktif yang menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak dimana terjadi akumulasi CSS yang berlebihan pada satu atau lebih ventrikel atau ruang subarachnoid. Keadaan ini disebabkan oleh karena terdapat ketidak seimbangan antara produksi dan absorpsi dari CSS. Bila akumulasi CSS yang berlebihan terjadi diatas hemisfer serebral, keadaan ini disebut higroma subdural atau koleksi cairan subdural. Pada kasus akumulasi cairan yang berlebihan terjadi pada sistem ventrikuler, keadaan ini disebut sebagai hidrosefalus internal.Selain itu beberapa lesi intrakranial menyebabkan peninggian TIK, namun tidak sampai menyebabkan hidrosefalus. Peninggian volume
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang
berarti kepala (De jong W, Sjamsuhidajat R., 2005). Hidrosefalus merupakan
penumpukan cairan serebrospinal (CSS) secara aktif yang menyebabkan
dilatasi sistem ventrikel otak dimana terjadi akumulasi CSS yang berlebihan
pada satu atau lebih ventrikel atau ruang subarachnoid. Keadaan ini
disebabkan oleh karena terdapat ketidak seimbangan antara produksi dan
absorpsi dari CSS. Bila akumulasi CSS yang berlebihan terjadi diatas
hemisfer serebral, keadaan ini disebut higroma subdural atau koleksi cairan
subdural. Pada kasus akumulasi cairan yang berlebihan terjadi pada sistem
ventrikuler, keadaan ini disebut sebagai hidrosefalus internal.Selain itu
beberapa lesi intrakranial menyebabkan peninggian TIK, namun tidak sampai
menyebabkan hidrosefalus. Peninggian volume CSS tidak ekivalen dengan
hidrosefalus; ini juga terjadi pada atrofi serebral. Hidrosefalus sebagai
kesatuan klinik dibedakan oleh tiga faktor: a).peninggian tekanan
intraventrikuler, b).penambahan volume CSS, c).dilatasi rongga CSS. Secara
keseluruhan, insiden dari hidrosefalus diperkirakan mendekati 1 : 1000.
sedangkan insiden hidrosefalus kongenital bervariasi untuk tiap-tiap populasi
yang berbeda. Hershey BL mengatakan kebanyakan hidrosefalus pada anak-
anak adalah kongenital yang biasanya sudah tampak pada masa bayi. Jika
hidrosefalus tampak setelah umur 6 bulan biasanya bukan oleh karena
kongenital. Mujahid Anwar dkk mendapatkan 40 – 50% bayi dengan
perdarahan intraventrikular derajat 3 dan 4 mengalami hidrosefalus.
Pongsakdi Visudiphan dkk pada penelitiannya mendapatkan 36 dari 49 anak-
anak dengan meningitis TB mengalami hidrosefalus, dengan 3 catatan 8 anak
dengan hidrosefalus obstruktif dan 26 anak dengan hidrosefalus komunikans.
Hidrosefalus yang terjadi sebagai komplikasi meningitis bakteri dapat
dijumpai pada semua usia (Sri M., et. al. 2006).
B. HIDROSEFALUS
1. DEFINISI
Hidrosefalus dapat didefinisikan secarfa luas sebagai suatu gangguan
pembentukan,aliran, atau penyerapan cerebrospinal fluid (CSF) yang
mengarah ke peningkatan volume cairan di dalam SSP. Kondisi ini juga
bisa disebut sebagai gangguan hidrodinamik dari CSF (Rekate, 2009)
2. KLASIFIKASI
Hidrosefalus adalah suatu kondisi yang ditandai oleh volume intrakranial
cairan cerebrospinal fluid yang berlebihan. Dapat berupa communicant
dan noncommunicant, tergantung pada apakah atau tidak hubungan cairan
cerebrospinal antara sistem ventrikel dan subarachnoid space (De Jong, W.
dan Sjamsuhidajat, R.; 2005).
a. Hidrosefalus Obstruktif (Non-komunikans)
Terjadi peningkatan tekanan cairan serebrospinal yang disebabkan
obstruksi pada salah satu tempat pembentukan likuor, antara pleksus
koroidalis sampai tempat keluarnya dari ventrikel IV melalui foramen
Magendi dan Luschka.
2
b. Hidrosefalus Komunikans
Terjadi peningkatan tekanan cairan serebrospinal tanpa disertai
penyumbatan system ventrikel.
Hidrosefalus kongenital terjadi pada sekitar satu per seribu kelahiran.
Hal ini umumnya terkait dengan malformasi congenital lain dan
mungkin disebabkan oleh gangguan genetik atau gangguan intra uterine
seperti infeksi dan perdarahan7.
3. EPIDEMIOLOGI
Insidensi kongenital hidrosefalus pada United States adalah 3 per
1.000 kelahiran hidup; insiden hidrosefalus yang didapat tidak diketahui
secara pasti persis karena berbagai gangguan yang dapat menyebabkan
kondisi tersebut. sekitar 100,000 shunts digunakan setiap tahunnya di
beberapa Negara, namun sedikit informasi yang tersedia untuk Negara
lainnya. Jika hidrosefalus tidak ditatalaksana, kematian dapat terjadi akibat
sekunder tonsilar herniasi akibat kompresi sel otak dan menyebabkan
respiratory arrest (Rekate, 2009).
Ketergantungan shunt terjadi pada 75% dari semua kasus
hidrosefalus yang ditatalaksana dan 50% pada anak anak dengan
hydrocephalus tipe communicant. Pasien tersebut sering datang ke rumah
sakit untuk revisi shunt atau untuk pengobatan komplikasi shunt atau
kegagalan shunt. Gangguan pengembangan fungsi kognitif pada bayi dan
anak-anak, atau hilangnya fungsi kognitif pada orang dewasa, merupakan
komplikasi pada hidrosefalus yang tidak di obati. Hal ini dapat menetap
setelah pengobatan. Kehilangan visual juga merupakan penyulit dari
3
hidrosefalus yang tidak diobati dan dapat menetap setelah pengobatan
(Rekate, 2009).
Insiden hidrosefalus berdasarkan usia menyajikan kurva bimodal.
Satu puncak terjadi pada masa bayi dan terkait dengan berbagai bentuk
cacat bawaan. Puncak lain yang terjadi di masa dewasa, sebagian besar
dihasilkan dari NPH. Hidrosefalus dewasa dijumpai sekitar 40% dari total
kasus hidrosefalus. berdasarkan usia tidak dijumpai perbedaan insidensi
hidrosefalus (Espay, A.J., et. al.; 2010).
4. FAKTOR RESIKO DAN ETIOLOGI
Hidrosefalus terjadi karena gangguan sirkulasi likuor di dalam
system ventrikel atau oleh produksi likuor yang berlebihan. Hidrosefalus
terjadi bila terdapat penyumbatan aliran likuor pada salah satu tempat,
antara tempat pembentukan likuor dalam system ventrikel dan tempat
absorpsi dalam ruang subarachnoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi
ruangan CSS di bagian proksimal sumbatan. Tempat yang sering
tersumbat dan terdapat dalam klinis adalah foramen Monro, foramen
Luschka dan Magendi, sisterna magna dan sisterna basalis (De Jong, W.
dan Sjamsuhidajat, R.; 2005).
Secara teoritis, pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan
kecepatan absorpsi yang normal akan menyebabkan terjadinya
hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi, misalnya terlihat
pelebaran ventrikel tanpa penyumbatan pada adenomata pleksus
koroidalis. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada
4
bayi dan anak yaitu kelainan bawaan, infeksi, neoplasma dan perdarahan
(De Jong, W. dan Sjamsuhidajat, R.; 2005).
a. Kelainan Bawaaan (Hasan R. dan Alatas H.; 2002)
1) Stenosis Akuaduktus Sylvius, merupakan penyebab terbanyak pada
hidrosefalus bayi dan anak ( 60-90% ). Akuaduktus dapat merupakan
saluran buntu atau abnormal lebih sempit dari biasa. Umumnya ge-
jala hidrosefalus terlihat sejak lahir atau progresif dengan cepat pada
bulan-bulan pertama setelah lahir.
2) Spina bifida dan cranium bifida, hidrosefalus pada kelainan ini bi-
asanya berhubungan dengan sindroma Arnord-Chiari akibat ter-
tariknya medulla spinalis, dengan medulla oblongata dan serebelum
letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum sehingga ter-
Tampak lesi hiperdens dikelilingi ring enhancement regio temporal dan
parietal dekstra ukuran 0,5x 0,5, ventrikulomegali +,
periventrikel inhibisi
44
D. DIAGNOSIS
Hidrocephalus obstruktif dan abses multipel dengan riwayat Tb paru kasus
putus obat
E. PENATALAKSANAAN
1. Dokter umum IGD konsul ke Bagian Bedah
Penatalaksanaan yaitu :
a IVFD RL 20 tpm
b Citicolin 2x250mg iv
c Dexametasone 3x1A iv
d Levofoxacin 1x1A iv
e Piracetam 1x1g iv
f Pemeriksaan Rontgen thorax AP
g Pemeriksaan Head CT scan
h Pemeriksaan darah perifer lengkap
i Konsul ke Bagian Bedah
2. Bagian Bedah konsul ke Bagian Anestesi
Penatalaksanaan yaitu :
a Pro Ventrikuloperitoneal Shunt Cito
b Diamox 3x500mg
c KCl 3x500mg
d Ceftriaxon 2x2 gr
e Kemicetin 4x1gr
f Ketorolac 3x1 Amp
g Rantin 2x1 Amp
h Piracetam 3x3g
i Fenitoin 3x100mg
j Rontgen thorax AP
k Informed Consent Operasi
l Konsul ke Bagian Anestesi
m Sedia WB 2 kolf
45
b. Informed Conset Pembiusan
c. Rencana Post op : HCU
3. Dilakukan operasi dengan general anastesi dgn status ASA III dengan
diagnosis pasca bedah sesuai dengan diagnosis awal
F. KESIMPULAN
ACC ASA III
G. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
Hidrocephalus obstruktif dan abses multipel dengan riwayat Tb paru
kasus putus obat
2. Diagnosis Pasca Bedah
Hidrocephalus obstruktif dan abses multipel dengan riwayat Tb paru
kasus putus obat
3. Penatalaksanaan Preoperasi
a Cukur rambut kepala
b. Sedia WB 2 Kolf
4. Penatalaksanaan Operasi
a. Jenis Pembedahan : Vp Shunt
b. Jenis Anestesi : General Anestesi
c. Teknik Anestesi : ET-Semiclosed
d. Mulai Anestesi : 5 Januari 2012 pukul 06.00 WIB
e. Mulai Operasi : 5 Januari 2012 pukul 06.15 WIB
f. Premedikasi : -
g. Medikasi : Propofol 80mg, Fentanyl 100μg
h. Maintanance : O2,N2O, Isofluran
i. Relaksasi : Rocuronium 25 mg
j. Respirasi : Ventilator
k. Posisi : Supine
l. Cairan Durante Operasi : NaCl 1000ml
46
m. Pemantauan Tekanan Darah dan HR
Waktu Hasil Pantauan Tindakan06.00 WIB TD 133/94
mmHgHR 104x/mSpO2100%
Pasien masuk ke ruang OK IGD dan dilakukan pemasangan NIBP dan saturasi O2. Infus NaCl terpasang pada tangan kanan. Mulai anestesi dengan GA semiclosed dengan Propofol dan Fentanyl. Dipasang ET No.7. Nafas dikontrol ventilator
06.15 WIB TD 116/94 mmHgHR 125x/mSpO2100%
Dimulai pembedahan
06.30 WIB TD 110/60 mmHg
Dimaukkan Ondansetron 4 mg iv, dan ketorolac 30 mg iv
HR 100x/mSpO2100%
06.45 WIB TD 115/57 mmHg
Dimasukkan NaCl 500 cc
HR 98x/mSpO2100%
07.00 WIB TD100/52 mmHgHR 90x/m\SpO2100%
07.15 WIB TD 110/52 mmHgHR 100x/mSpO2100%
07.30 WIB TD 112/52 mmHg
Operasi selesai. Pasien dikirim ke HCU
HR 98 x/mSpO2100%
n . Selesai operasi : 07.30 WIB
o. Selesai anestesi : 07.40 WIB
p. Perdarahan : 80 cc
q. Urin Tampung : 100 cc
47
H. PEMBAHASAN
1. Preoperatif
Pasien yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang untuk menentukan ASA. Kondisi pasien yang
akan di operasi dalam kasus ini adalah ASA III yaitu pasien dengan
kelainan sistemik berat yang mengganggu aktivutas. Selanjutnya
ditentukan rencana jenis anestesi yang akan digunakan yaitu anestesi
general. Persiapan yang dilakukan pada pasien ini sebelum operasi :
a. Informed consent
Informed consent ini meliputi penjelasan mengenai penyakit yang
diderita pasien, tindakan-tindakan yang akan dilakukan, alasan
dilakukannya tindakan tersebut, resiko dilakukannya tindakan,
komplikasi, prognosis, biaya dan hal-hal lainnya yang berhubungan
dengan kondisi pasien maupun tindakan yang dilakukan kepada pasien
dan keluarga terdekat yang bertanggung jawab terhadap pasien.
Tujuannya untuk mendapatkan persetujuan dan ijin dari pasien atau
keluarga pasien dalam melakukan tindakan anestesi dan operasi sehingga
resiko-resiko yang mungkin akan terjadi pada saat operasi dapat
dipertimbangkan dengan baik.
b. Puasa
Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung
karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi
akibat efek samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga
refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Pada pasien
48
dewasa umumnya dipuasakan selama 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan
pada bayi 3-4 jam (Latief, 2001). Pada kasus ini, pasien dapat
dipuasakan selama 6 jam karena operasi baru dilakukan pada pukul 06.00
WIB sementara pasien telah diminta berpuasa sejak pukul 00.00 WIB.
c. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini secara umum
baik sehingga memenuhi toleransi operasi. Adapun pemeriksaan
laboratorium pada pasien ini meliputi: pemeriksaan darah lengkap, hitung
jenis, waktu perdarahan, waktu pembekuan, kimia klinik, dan sero
imunologi. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk menilai ada
tidaknya gangguan dan merencanakan koreksi jika terdapat gangguan.
Kadar hemoglobin yang baik, diperlukan guna memfasilitasi
distribusi oksigenasi ke jaringan dan pengangkutan karbon dioksida.
Oksigenasi atau perfusi yang baik diperlukan jaringan guna mencegah
terjadinya syok. Jumlah trombosit,masa pembekuan dan defisiensi faktor
pembekuan perlu dievaluasi agar dapat diantispasi risiko komplikasi
perdarahan. Trombosit merupakan unsur dasar dalam darah yang dapat
meningkatkan koagulasi. Penurunan trombosit dalam sirkulasi sebanyak
kurang dari 50% nilai normal akan menyebabkan perdarahan. Protombin
time (PT) akan mengukur kemampuan pembekuan faktor I (fibrinogen),
II (protrombin), V, VII, dan X. Protrombin akan dikonversi menjadi
trombin akibat aksi tromboplastin, yang diperlukan dalam pembekuan
darah. Activated protrombin time (APTT) digunakan untuk mendeteksi
apakah terdapat defisiensi terhadap seluruh faktor pembekuan kecuali
49
faktor VII dan XII. Pada pasien ini, nilai trombosit, PT, dan APTT dalam
batas normal sehingga diharapkan tidak terjadi perdarahan hebat (Kee,
2008).
Elektrolit penting juga untuk dievaluasi mengingat peranannya
dalam berbagai proses fisiologis tubuh. Natrium adalah ion yang
dominan berada di petak cairan ekstrasel dengan nilai normal 135-145
mEq/L. Keadaan hiponatremia, bila tidak dikoreksi secara cepat dan tepat
dapat mengakibatkan oedem otak, selanjutnya menimbulkan kerusakan
otak yang ireversibel. Hipernatremia jarang terjadi, sebagai akibat ginjal
sangat efisien dalam mengeksresikan Na. Hipo- dan hiperkalemia
merupakan keadaan yang gawat karena dapat menyebabkan aritmia
jantung dan perlu segera dikoreksi (Mangku, 2010). Pada pasien ini
kadar Na dan K dalam batas normal.
2. Durante Operasi
Pada pasien ini dilakukan teknik General Anestesi (GA) dengan
ET- semiclosed, yaitu pemberian obat anestesi melalui intravena dan
dilakukan intubasi dengan endotracheal tube kemudian disambungkan
dengan ventilator oksigen. Teknik ini dilakukan pada operasi-operasi
besar, pembiusan secara total dan memerlukan waktu lama, sehingga
diperlukan pembebasan jalan nafas dengan ET dan bantuan oksigen yang
adekuat. Pasien berada dalam posisi supine kemudian dilakukan
pemberian obat anestesi secara intravena.
Tujuan anestesi pada prosedur intrakranial adalah hipsnosis,
amnesia, imobilitas, kontrol tekanan intrakranial, dan penjagaan tekanan
50
perfusi jaringan. Pasien diberikan medikasi dengan propofol sebanyak 80
mg dan fentanil sebanyak 100μg. Propofol merupakan derivat fenol
dengan nama kimia di-iso-profil fenol, berupa cairan berwarna putih
susu, tidak larut dalam air, dan bersifat asam. Sebagai obat induksi, mulai
kerjanya cepat, dengan dosis 2-2,5 mg/KgBB. Penurunan kesadaran
segera terjadi setelah pemberian obat ini secara intravena. Pada
pemberian dosis induksi (2mg/kgBB), pemulihan kesadaran berlangsung
cepat, pasien akan bangun setelah 4-5 menit tanpa disertai efek samping
misalnya mual, muntah, sakit kepala, dan lainnya.
Propofol bersifat mendepresi respirasi yang beratnya sesuai dengan dosis
yang diberikan. Selain itu, propofol juga mendepresi sistem
kardiovaskuler sehingga terjadi penurunan tekanan darah yang segera
dengan kompensasi peningkatan denyut nadi. Propofol tidak mendepresi
sinitesis hormon adrenal dan tidak menimbulkan pelepasan histamin.
Khasiat farmakologiknya adalah hipnotik murni, tidak memiliki efek
analgetik maupun relaksasi otot (Mangku, 2010). Oleh karena itu, pada
pasien ini diberikan tambahan fentanyl sebagai analgetik.
Fentanil merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang
bekerja terutama pada reseptor μ dengan sedikit berpengaruh pada
reseptor δ dan κ. Fentanil merupakan opioid yang poten, mempunyai
potensi analgesia 50-100 kali efek morfin, dan bersifat lipofilik yang
memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat.
Fentanyl bersifat depresan terhadap saraf pusat , pernapasan, menekan
respon sistem hormonal dan metabolik akibat stress anestesia dan
51
pembedahan, namun tidak mempengaruhi sistem kardiovaskular. Dosis
fentanyl sebagai analgesia adalah 1-2μg/KgBB (Mangku, 2010).
Untuk mencapai trias anestesi yang ketiga, yaitu relaksasi,
digunakan rocuronium 25mg yang merupakan obat pelumpuh otot non
depolarisasi. Penggunaannya dalam klinik adalah untuk memfasilitasi
intubasi endotrakea, menghilangkan refleks laring dan refleks jalan
napas, memudahkan napas kendali, dan membuat relaksasi lapangan
operasi. Dosis awal rokuronium adalah 0,6-1 mg/KgBB, sedangkan dosis
pemeliharaannya 0,10-0,15mg/KgBB, dengan durasi 30-60 menit
(Mangku, 2010).
Tahapan maintenance dilakuakan dengan pemberian O2, N2O,
dan Isofluran. Nitrous oksida (N2O) berkhasiat sebagai analgesia dan
tidak memiliki khasiat hipnotikum. Khasiat analgesianya relatif lemah
oleh karena itu dikombinasikan dengan oksigen. Padapemakaiannya yang
lazim dalam anestesia, N2O tidak menimbulkan pengaruh negatif
terhadap sistim kardiovaskuler, hanya menimbulkan sedikit dilatasi pada
jantung. Sistem organ lain seperti sistem respirasi, ginjal, reproduksi, otot
rangka, endokrin, dan metabolisme tidak mengalami perubahan. Dalam
penggunaannya, N2O dapat dikombinasikan dengan O2 dengan
perbandingan yang bervariasi, N2O:O2=70:30 pada pasien normal,
N2O:O2=60:40 pada pasien yang memerlukan tunjangan oksigen lebih
banyak, dan N2O:O2=70:30 pada pasien risiko tinggi (Mangku, 2010).
Pada kasus ini digunakan N2O sebanyak 2L demikian O2 sebanyak 2L.
52
Pada kasus ini, Isofluran 1,5% digunakan sebagai komponen
hipnotik dalam pemeliharaan anaestesia umum. Selain itu, isofluran
memiliki efek analgesi ringan dan relaksasi otot ringan. Dosis
pemeliharaan dengan pola napas spontan adalah 1-2,5%, sedangkan pada
napas kendali berkisar antara 0,5-1%> Isofluran akan mendepresi sistem
saraf pusat sesuai dengan dosis yang diberikan, pada dosis anestesia tidak
menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebral serta
mekanisme autoregulasi tetap stabil. Kelebihan lainnya adalah penurunan
konsumsi oksigen otak sehingga isofluran merupakan obat pilihan untuk
anestesia pada kraniotomi karena tidak mempengaruhi tekanan
intrakranial dan mempunyai efek proteksi serebral dan efek metaboliknya
yang menguntungkan pada teknik hipotensi kendali (Mangku, 2010).
Tekanan darah dipantau setiap 15 menit sekali untuk
mengetahui penurunan tekanan darah yang bermakna. Penurunan tekanan
sistole pada pasien sekitar 20 mmHg dan belum mencapai 20% dari
tekanan darah awal sehingga tidak perlu diberi tindakan untuk menaikkan
tekanan darah. Selain itu, nadi dan SpO2 juga dipantau dengan bantuan
pulse oxymetri untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan atau
penurunan nadi maupun gangguan perfusi O2.
Selanjutnya, pasien diberikan ketorolac 30mg iv dan
ondansetron 4mg iv. Ketorolac 30mg diindikasikan untuk
penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat
setelah prosedur pembedahan. Ketorolac adalah anti inflamasi non
steroid dengan durasi kerja sedang dengan waktu paruh 4-6 jam sehingga
53
digunakan sebagai analgesik dalam penggunaan intravena bukan sebagai
antiinfalamasi. Ketorolac memiliki ikatan protein yang tinggi den di
metabolisme secara ekstensif menjadi metabolit yang aktif dan tidak
aktif. Obat ini mempunyai efektiftas analgesik yang nyata dan telah
dipakai dengan hasil yang baik untuk menggantikan morfin pada nyeri
ringan hingga sedang sesudah operasi. Kebanyakan dinerikan secara
intramuskular dan intravena, tetap terdapat juga dalam bentuk obat oral.
(Katzung, 2002).
Ondansetron secara selektif akan menghambat reseptor
serotonin 5-HT3, dengan sedikit atau tanpa efek terhadap reseptor
dopamin. Reseptor 5-HT3 yang terdapat perifer (eferen vagal abdominal)
dan sentral (kemoreseptor trigger zone pada area postrema dan nukleus
traktus solitarius) yang mempunyai peranan penting dalam permulaan
refleks muntah. Tidak seperti metoklopramid, obat ini tidak mempunyai
efek terhadap motilitas saluran cerna dan tonus sfingter esofagus bagian
bawah. Dosis dewasa intravena yang direkomendasikan untuk
ondansetron sebagai pencegahan mual muntah perioperatif adalah 4 mg
yang dapat diberikan sebelum induksi anestesi atau pada akhir operasi.
Mual muntah post operatif juga dapat diterapi dengan pemberian dosis 4
mg, yang dapat diulangi sesuai kebutuhan setiap 4 – 8 jam.
Pada pasien ini digunakan cairan infus NaCl 1000ml untuk
mempertahankan circulating blood volume dengan mencukupi kebutuhan
maintenance, pengganti puasa, dan stress operasi. Terapi cairan durante
operasi dijabarkan sebagai berikut :
54
Usia : 20 tahun
Berat badan : 38 kg
Terapi Cairan :
Maintanance = 2cc x BB (kg)
= 2 x 38
= 76 cc
Pengganti Puasa
(PP)
=
=
=
6 x maintenance
6 x 76
456
Stress Operasi = 6cc/kgBB (Sedang)
= 6cc x 38
= 228 cc
Jam I = ½ PP + M + SO
= 228 + 76 + 228
= 532 cc
Jam II = ¼ PP + M + SO
=
=
114 + 76 + 228 cc
418 cc
Jam III = ¼ PP + M + SO
= 418 cc
Jam IV = M + SO
= 76+228
= 304 cc
Estimated Blood Volume = 65xBB
= 65x38 kg
= 2470 cc
Allowed Blood Loss = 20%xEBV
= 20%x2470
= 494 cc
55
3. Post operatif
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang HCU. Pasien di
observasi selama 5 jam meliputi vital sign, input cairan, dan urine
output. Hasil pemantauan di HCU sebagai berikut
PemantauanPukul
08.00
Pukul
09.00
Pukul
10.00
Pukul
11.00
Pukul
12.00
Tekanan
darah
133/93
mmHg
138/97
mmHg
138/97
mmHg
114/87
mmHg
120/86
mmHg
Nadi 115 x/m 90 x/m 90 x/m 103 x/m 88 x/m
Laju
respirasi18 x/m 20 x/m 15 x/m 21 x/m 17 x/m
Suhu 36°C
Saturasi O2 100% 100% 100% 100% 100%
Terapi O2 Binasal 3L/m
Infus NaCl, KaEN mg3 1500cc/24jam
Urine
output250cc
Terapi yang diberikan selama di berikan selama dirawat di ruang
HCU adalah :
1. Ceftriaxon 2x2gr
2. Kemicetin 4x1gr
3. Rantin 2x1Amp
4. Ketorolac 3x1Amp
5. Phenitoin 3x100mg
6. Piracetam 3x1Amp
56
Sebelum pasien dipindahkan ke ruang cempaka pada pukul 13.00 WIB,
dilakukan pemeriksaan darah dan analisis cairan serebrospinal dengan