Top Banner
* Kairo - Mesir * Media Silaturahmi, Informasi dan Analisa RESTãSI RESTãSI RESTãSI RESTãSI P P P Office : 7/1 Ahmed E1 Zumr St. Block 21 Tenth District Nasr City Cairo Egypt Edisi 97 Mei 2014 Pendidikan Integritas Indonesia Pendidikan Indonesia Sebatas Pakaian (?) Analisa Nusantara Pendidikan Integritas; Masisir sebagai Solusi Moralitas Bangsa Teras Wawancara dengan Bapak H. Sugeng Haryadi, MA. “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.” -Pram, Bumi Manusia-
28

PRESTãSI 97

May 09, 2017

Download

Documents

KarimAl-Muzakky
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PRESTãSI 97

* Kairo - Mesir * Media Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPPP

Of

fic

e :

7/

1 A

hm

ed

E1

Zu

mr

St

. B

lo

ck

21

Te

nt

h D

ist

ric

t N

as

r C

ity

Ca

iro

Eg

yp

t

Edis i 97Mei 2014

Pendidikan Integritas Indonesia

Pendidikan Indonesia Sebatas Pakaian (?)

Analisa Nusantara

Pendidikan Integritas;Masisir sebagai Solusi Moralitas Bangsa

Teras

Wawancara

dengan

Bapak H. Sugeng Haryadi, MA.

“Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran,

apalagi perbuatan.”-Pram, Bumi Manusia-

Page 2: PRESTãSI 97

Assalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh. Alhamdulillah. Selaksa syukur, lagi, kami tak henti hembuskan bersama nafas kami, sebabMu telah terus memberi celah untuk segala kesulitan, hambatan, dan rintangan. Kemudian juga, Buletin PRESTãSI Edisi Ke-97 telah lahir dari rahim hiperbola di pembukaan musim panas ini, kepasrahan-kepasrahan yang berdatangan dari segala arah dan rengekan-rengekan yang berlebihan. Demi meredam kepatah-hatian sebab keinginan yang tak terwujudkan, cinta yang bertepuk sebelah tangan, bahkan belum siap ujian, kali ini kami dari kru redaksi PRESTãSI mengangkat tema “Pendidikan Integritas Indonesia” menyambut Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei tahun ini, sebagai wujud ekspresi yang melebih-lebihkan kondisi Masisir dan potret pendidikan Indonesia dimana waktunya tidak tepat, namun kami tetap tepat-tepatkan momen ini sebagai ekpresi kejujuran remaja yang tak gagal berdinamika. Pendidikan di Indonesia, tak lepas dari problem-problem, keluhan-keluhan tak berkesudahan, sanggahan-sanggahan sinikal berdatangan. Apa yang perlu dibenahi?Pendidikan tak hanya teruntuk para peserta didiknya, tapi juga datang dari dukungan mereka. Dalam artian, semuanya saling mendukung demi keberlangsungan sistem yang sudah ditetapkan. Jadi semua bertanggung jawab, tidak hanya penyelanggara. Apapun yang terjadi nantinya, setiap siapa perlu saling membenahi, bukannya saling menyalahkan. Tim redaksi tidak bermaksud menjawab pertanyaan mengenai pembenahan sistem pendidikan di edisi kali ini, melainkan merangsang kesadaran akan tanggung jawab dari setiap kita. Mengapa integritas dan moralitas yang senantiasa diajarkan di bangku-bangku sekolah jarang teraplikasi di bangku-bangku pekerjaan? Atau malah memang tidak terajarkan dengan baik, atau sekedar tidak jadi prioritas? Mari dukung pendidikan integritas yang lebih baik demi mewujudkan kesadaran diri, mengurangi embrio koruptor di perwakilan rakyat nusantara. Lalu, selamat membaca!

Media Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPPP

Pelindung: Ketua KSW | Dewan Redaksi: Ronny G. Brahmanto, Landy T. Abdurrahman, Muhammad Fardan Satrio Wibowo, Uly Ni'matil Izzah, Nashifuddin Luthfi | Pimpinan

Umum: Choiriya Dina Safina | Pimpinan Redaksi: Muhammad Fadhilah Rizqi | Pimpinan Usaha: Sopandi | Sekretaris Redaksi: Wais Al-Qorny | Redaktur Pelaksana: Muhammad Miftakhuddin Wibowo, Zulfah Nur Alimah, Zuhal Qobili, Rizqi Fitrianto | Reporter: Muhammad Nurul Mahdi, Iis Isti'anah, Fathimah Imam Syuhodo | Distributor: Azhar Hanif, Mahfud Washim | Layouter: Alaik Fashalli, al-Muzakky | Karikaturis: Rijal Rizkillah | Editor: Muhammad Ulul Albab Mushaffa, Annisa Fadlilah, Abdul Wahid Satunggal

Redaksi menerima tulisan dan artikel yang sesuai dengan visi-misi

buletin. Saran dan kritik kirim ke e-mail kami:

[email protected]

Dari Redaksi 02

Editorial 03

Teras 04

Analisa Nusantara 06

Timur Tengah 08

Opini 10

Kajian 12

Lensa KSW 16

Wawancara 18

Resensi 20

Oase 22

Sastra 24

Serba-Serbi 26

Catatan Pojok 27

Daftar Isi

PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

Dari Redaksi

02 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Edisi 97, Mei 2014

Page 3: PRESTãSI 97

alah satu faktor terwujudnya kesatuan

Sbangsa adalah integritas pendidikan. Bangsa manapun pasti intim dengan

pendidikan. Karena buahnya bukan hanya kemajuan tapi “keutuhan bangsa” juga akan terjaga. Oleh karena itu pendidikan integritas sangatlah penting dalam mendidik bangsa.Dalam sejarah pendidikan Bangsa Indonesia banyak tokoh yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi. Diantaranya, Ki Hajar Dewantara dengan ju lukan Bapak Pend id ikan , dan KH. Abdurrahman Wahid sebagai Guru Bangsa. Kedua tokoh yang sangat berpengaruh dalam sejarah mendidik bangsa. Merekalah contoh karakter pendidikan yang berhasil menjaga keutuhan bangsa.Tapi, itu dulu. Sejarah yang harus dicontoh bangsa Indonesia saat ini. Akhir-akhir ini bangsa Indonesia makin tampak kegelisahannya. Pendidikan yang diharapkan memberikan kesejahteraan bangsa mulai buram. Entah memang pendidikannya yang buram atau sistemnya yang gelap dan ataukah budaya pelaku pendidiknya yang mulai agak rabun? Sehingga bangsa ini mulai mendakwa pendidikan dan menuntut integritasnya.Pengetahuan dan moral itu satu. Terkumpul dalam wadah yang namanya pendidikan. Namun melihat para pemimpin dewasa ini, nilai-nilai pendidikan nampak mulai buram. Mereka membiaskan cahaya yang kurang sehat di mata rakyat. Pemimpin yang seharusnya menjadi panutan malah menjadi hujatan. Bangsa mana yang mengajarkan rakyatnya mencuri? Penulis sedikit resah ketika membaca salah satu tulisan pada edisi kemarin yang berjudul “Politikus Negeri Tikus Sudah Kehilangan Etika (?)”. Sejak kapan negeri ini menjadi negeri tikus? Bukankah pendidikan seharusnya membangun

kesadaran ber-etika bukan mengedepankan kecerdasan intelektual saja? Jika seperti ini pendidikan sama saja seperti buang-buang waktu saja, karena tidak ada jejaknya. Selain itu, mengenai sistem pendidikan di Indonesia agaknya masih sangat perlu perhatian penuh dari cendekiawan yang beretika. Mengapa nilai-nilai Tenggang Rasa, Gotong Royong, Menjaga Persatuan dan Kesatuan hanya diwejangkan di Sekolah Dasar saja? Sehingga tidak jarang dari kalangan pemuda yang lupa wejangan tersebut. Kemudian kasus-kasus juga bermunculan dari kalangan pendidik. Ada seorang pengajar mencabuli siswinya, ada pengajar memukuli siswanya, bahkan ada orang memakai udeng-udeng menginjak kepala orang dengan lututnya. Hal tersebut tidaklah patut disuguhkan pada bangsa ini.Apa yang terjadi pada budaya pendidik bangsa ini? Apakah mereka lupa wejangan Ki Hajar Dewantara? Karena jika pendidikan tidak bisa membangun kesadaran maka dampaknya bangsa ini akan mengalami krisis kemanusiaan yang sangat serius. Dalam hal ini Masisir harus mempunyai peran dalam mengatasi pendidikan b a n g s a nya . N a m u n te r b e s i t s e b u a h pertanyaan, sejauh mana pendidikan integritas Masisir? Sudahkah siap mereka membawa pendidikan bangsa yang lebih baik?“Konon, mendidik itu beda dengan mengajar”. Ujar salah satu guru penulis. “Mendidik itu menyepuh akal juga hati dengan ilmu dan moral. Sedangkan mengajar itu menyepuh akal saja dengan pengetahuan saja. Maka jangan kaget jika ada ahli ekonomi justru malah merusak ekonomi”, lanjutnya.Sebagaimana buah, tulisan ini hanya kulitnya saja. Sedangkan daging dan isinya akan dikupas pada lembaran-lembaran berikutnya.

Mendidik Bangsa;

Pendidikan IntegritasOleh: Azhar Hanif

Editorial

03PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Page 4: PRESTãSI 97

Ketika orang-orang bersibuk-sibuk menentukan apa yang salah dan apa yang benar, kebanyakan akan cenderung pada kepentingan pribadi sembari mengabaikan kebenaran hakiki. Kekorupan yang bertebaran di birokrasi tidak jauh dari situasi ini, bahkan cendekiawan dari golongan akademisi, para hero dari golongan militer, status tumpuan bangsa rasanya tidak terlalu berat hingga dapat terabaikan dengan mudah begitu saja. Saling menjatuhkan untuk kekuasaan, permainan politik tampak naif, dan polos. Kedewasaan diukur oleh kekuatan koneksi. Mungkin semacam keluhan yang tak jelas dari mana berasal, namun -iya tidaknya- tidak bisa hanya diselesaikan dengan tanggapan bertema kewajaran berpolitik. Rakyat tetap saja marah tak berkesudah. Sewajar apapun, mahasiswa-mahasiswa akan terus punya alasan untuk termotivasi berdemo set iap harinya, mengeluhkan sistem pemerintahan. Konsep demokrasi yang tidak utuh. Jika masalahnya adalah transparansi, seharusnya masalah-masalah payah ini selesai sejak tahun 1998 silam saat runtuhnya rezim orde baru. Sekarang media masa yang berfungsi jadi sumber transparansi kenegaraan untuk rakyat malah jadi wadah untuk kepentingan. Kurang apa pendidikan formal di Indonesia dalam mendikte mengenai kejujuran, toleransi, dan gotong-royong di materi Pendidikan Kewarganegaraan, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Kemudian Masisir, yang sedang ber-perguruantinggi, kurang lebih juga secara tidak langsung dipertanyakan. Siapkah untuk menjadi beda, menjadi produk duta bangsa di bidang pendidikan yang sesungguhnya, yang setia dan berbakti pada negara?Sebenarnya, Masisir tidak perlu sekhawatir itu, kerumitan-kerumitan itu mungkin terjadi di masa depan. Namun kenyataan status sebagai duta bangsa di bidang pendidikan hanya menuntut untuk menjaga nama baik negara di

mata dunia, yang bahkan sebagian masih ragu apakah nama baik itu sudah cukup baik hingga perlu kita lindungi. Pendidikan sering kali jadi isu di tanah air, terutama kurikulum dan konsep belajar mengajar yang akhir-akhir ini mulai dirasa tidak efektif. Hampir tiap tahun ada perubahan, sejak 2004 dengan kurikulum terbaru Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), kemudian 2006 ada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan terakhir Kurikulum 2013. Semuanya mengusung revolusi sistem pendidikan yang tidak hanya menjadi teori di bangku-bangku sekolahan dan perkuliahan dan konsep belajar mengajar yang lebih konstruktif serta aplikatif. Kesadaran akan ketidakberesan lingkaran siklus akademisi yang sering berakhir di bui kurang menjadi perhatian, atau penulis akan istilahkan sebagai pendidikan integritas atau moralitas putra-putri Indonesia yang terabaikan dan tidak diperhatikan. Perombakan kurikulum masih berkutat pada solusi pencapaian standar kompetensi yang tepat sasaran, penjaminan akan kemapanan di masa depan. Secara umum, kecenderungan seseorang berporos di masa perkuliahan. Tentu saja, penjurusan bidang masing-masing mulai diseriusi dan dikhususkan secara eksklusif. Sehingga ia akan jadi apa di masa matangnya, hampir keseluruhan ditentukan oleh kehidupan perkuliahan. Kecenderungan yang berlebih bagi mahasiswa untuk mencapai cita-citanya bisa saja menjadi awal mula peningkatan secara drastis ambisinya dalam hidup, yang terkadang ambisi tak terkendali membuatnya lupa akan daratan. Katakanlah, batas-batas akan dilampaui. Batas-batas yang tidak semestinya dilewati, terlebih tanpa pegangan nilai-nilai keagamaan yang kuat, demi ambisi duniawi agar dapat diraih. Menjadi tidak tanggap lingkungan, tidak peka sosial, menyikut teman sendiri, memalsukan karya ilmiah dengan membayar jasa pembuatan skripsi dan lain-lain.

Pendidikan Integritas;Masisir sebagai Solusi Moralitas Bangsa

Oleh: Fadhilah Rizqi

Teras

04 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Edisi 97, Mei 2014

Page 5: PRESTãSI 97

Sederhana, serpihan dari bab-bab di pelajaran PMP, PPKn, atau PKn sekarang, namun merupakan embrio koruptor di masa depan. Mengkhawatirkan. Kemudian kembali ke Masisir, sebagai Masisir sendiri, jujur saja untuk ambisi atau gairah berlebih dalam kompetisi kemapanan akademis tidak terlalu tinggi. Sebagai WNI di negara asing, menyatukan kekuatan, pikiran dan tetap bersama-sama serta menghindari perpecahan adalah bijaksana. Sistem perkuliahan yang memang berbeda, serta lingkungan yang berbeda pula. Maka ada celah terang, dari sekian lamanya tersesat di gua yang dalam.Sistem perkuliahan di Al-Azhar, sebagian besar Masisir berkuliah di sana, tidak terlalu jauh beda dengan sistem sekolah menengah, hanya saja kurikulumnya ditinggikan levelnya. Ini punya pengaruh pada rasa tuntutan yang tidak begitu muluk-muluk bagi mahasiswa, selain bisa mengerjakan soal ujian. Ini juga meredam arogansi dan ambisi seseorang di situasi kemahasiswaan yang ingin segera berkompetisi di dunia luar. Kemudian ada pengajian talaqqi yang sarat dengan petuah-petuah kiai-kiai Azhar, yang mampu mengerim gairah duniawi seseorang. Maka ini akan menghasilkan sudut pandang yang berbeda antara mahasiswa di tanah air, dengan Masisir. Atau juga mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di belahan dunia lainnya, yang agaknya akan keluar dari pembahasan kali ini.Forum-Forum Pendidikan di Lingkungan MasisirMasisir memiliki banyak macam lingkungan. Selain di lingkungan keilmuan Al-Azhar, tentunya, edukasi juga ditemukan banyak di perkumpulan orang-orang Indonesia sendiri. Mereka berkumpul dan berdiskusi. Komunitas-komunitas yang sarat dengan penimbaan edukasi didirikan, mulai dari Persatuan Pelajar d a n M a h a s i s w a I n d o n e s i a ( P P M I ) , kekeluargaan-kekeluargaan, almamater, ormas, kemudian yang bersatu atas nama persamaan tema, minat, bakat seperti komunitas-komunitas kebudayaan, kesenian, jurnalistik dan lain-lain bertebaran di antara belantara debu Kairo. Biasanya setiap komunitas

mempunyai filosofi dan tujuan masing-masing, yang hebatnya meski jauh dari tanah air, mereka tak pernah lupa mengkritik kondisi sosial budaya Indonesia kekinian. Kritisi terhadap negeri sendiri merupakan kepedulian yang tinggi. Pertama, forum-forum kajian yang diadakan oleh banyak komunitas. Kajian keilmuan, kajian kebudayaan, kajian sosial dan lain-lain. Dalam kajian, tiap anggota dituntut untuk berpikir, setidaknya berlatih bagaimana menyampaikan pendapat dengan baik dan dapat dipahami kebanyakan orang. Bahwa hasil dari pelatihan ini sepenuhnya berorientasi pada pengetahuan dan meluaskan pemikiran kemudian tidak sama sekali berujung memproduksi materi, tidak menjadi pertimbangan yang sulit bagi Masisir. Katakanlah ketulusan dalam belajar, saling membagi pengetahuan tanpa pamrih, jadi orientasi luhur untuk menerapkan ilmu yang bermanfaat bagi sesama. Kedua, forum-forum pendidikan jurnalistik. Jurnalisme cukup pesat perkembangannya di lingkungan Masisir, meski di perkuliyahan strata satu tidak sering menuntut pembuatan makalah dan tidak ada skripsi di penghujung kuliah, atau malah justru sebab hal tersebut. Yang pasti, penyebaran tulisan-tulisan buah tangan Masisir tidak sedikit, diunggah melalui social media, diterbitkan di buletin dan lain-lain. Dengan kualitas yang tidak kalah dengan tulisan-tulisan mahasiswa di tanah air yang kesehariannya bergelut dengan deadline makalah dari dosen di kampus. Kemauan untuk menulis tanpa ada unsur prosedural akademis, bagi penulis, merupakan fondasi kuat untuk menjadi penulis-penulis berkarakter luhur yang akan banyak berkontribusi untuk bangsa dan negara. Kemudian ketiga, ada di forum-forum pendidikan seni Masisir, sastra, musik yang punya orientasi sama dengan forum-forum sebelumnya. Penanaman karakter kebangsaan serta nilai kepribadian yang kuat sebagai pegangan agar tidak mudah rapuh dan mengabaikan integritas yang ditanamkan sejak kecil.

(Bersambung ke halaman 26)

Teras

05PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Page 6: PRESTãSI 97

Sebuah kalimat bijak mengatakan “barang siapa bertambah ilmu namun tidak bertambah rasa takutnya kepada Tuhan, maka tidak ada baginya kecuali semakin menjauh”.

Korupsi. Satu dari beberapa kata yang terlintas ketika orang mempertanyakan ihwal pejabat pemerintahan di Indonesia. Korupsi menjadi langganan isi berita di beberapa situs berita nasional. Sebut saja kasus korupsi di tahun 2013. Berdasarkan pernyataan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tercatat 1.343 kasus tindak pidana korupsi telah ditangani pihak kepolisian, dan 70 kasus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan beberapa menteri.

Apa sebenarnya masalah utama yang menyebabkan para petinggi Negara ini tega melakukan korupsi dan bukan menggunakan jabatannya untuk memperbaiki nasib bangsa? Apakah benar karena faktor background pendidikan mereka sebelumnya?

Mengamati keadaan pendidikan Indonesia sampai saat ini, mungkin jawaban dari pertanyaan tersebut adalah “Iya”. Hal ini sepadan dengan sebuah pepatah “experience is the best teacher” dimana kelangsungan hidup dan keputusan-keputusan yang diambil oleh masing-masing individu merupakan kumpulan dari hasil pengalaman sebelumnya. Dari sini bisa dilihat bahwa pendidikan baik formal maupun non formal mempunyai peran yang sangat signifikan dalam mencetak kader-kader bangsa. Karena pendidikanlah peletak karakter, ideologi, dan pemikiran pada setiap individu.

Berangkat dari pengamatan tersebut, penulis melihat setidaknya ada tiga masalah dasar yang menjadi faktor penyebab moralitas para pemimpin Indonesia kurang baik. Moral yang membuat sifat sebagai negarawan sama sekali tidak nampak dalam diri mereka.

Masalah pertama adalah kesalahan dari pihak keluarga.

Pendidikan non formal merupakan pelatihan individu dengan lingkup yang sangat luas, yaitu meliputi keluarga dan seluruh lingkungan yang dijumpai oleh individu tersebut selama perjalanan hidupnya. Lingkungan yang sangat luas ini sejatinya tetap bisa di kontrol ketika pihak keluarga terutama orang tua ingin dan mau mendidik putra-putrinya dengan sebaik mungkin. Sedangkan kenyataan yang terjadi, pada umumnya para orang tua lebih memilih membebaskan putra-putrinya tanpa tanggung jawab. Bahkan hal ini semakin membudaya seiring semakin maraknya para perempuan yang ikut berkarir, sehingga sang anak pun hampir tidak pernah mendapatkan perhatian.

Akibatnya lingkungan yang digeluti oleh putra-putri calon kader bangsa ini menjadi tidak t e r k o n t r o l d a n y a n g p a s t i s a n g a t mempengaruhi pandangan hidup dan pola pikirnya. Sehingga pada akhirnya ketika lingkungan sekitarnya merupakan lingkungan yang buruk, karakter, ideologi dan pemikiran-pemikiran mereka akan tercemari oleh buruknya lingkungan tersebut. Sehingga bukan sesuatu yang aneh jika ketika mereka di beri amanah berupa kekuasaan, mereka tidak menggunakan sebagaimana semestinya.

Kedua adalah kesalahan sistem pendidikan formal.

Yaitu diterapkannya sistem yang memisahkan antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Bisa disaksikan sistem ini masih sangat populer di tanah air di kalangan SD, SMP, SMA, dan lainnya, yang lebih fokus kepada pemberian ilmu umum dengan sedikit sekali porsi untuk pelajaran ilmu agama. Sebaliknya pesantren-pesantren salaf hanya fokus membimbing ilmu agama tanpa tertarik dengan ilmu umum, walaupun akhir-akhir ini sudah ada beberapa yang mendeklarasikan diri sebagai pesantren modern yang berusaha menyeimbangkan antara keduanya.

Karena pemisahan tersebut tercipta lah generasi terdidik namun cacat. Lulusan

Pendidikan Indonesia Sebatas Pakaian (?)Oleh: Zuhal Qobili

Analisa Nusantara

06 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Edisi 97, Mei 2014

Page 7: PRESTãSI 97

pesantren terdidik agamanya, tapi lumpuh karena tidak mampu mengimbangi lajunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Begitu pula lulusan SMA dan sekolah umum lainnya, terdidik namun buta karena hanya mempelajari ilmu umum dengan sentuhan keagamaan yang sangat minim, sehingga kehilangan dimensi moralitas dan spiritualitas.

Ketiga adalah kesalahan sang guru dan atau yayasan.

Kenyataan yang ter jad i d i lapangan memperlihatkan kebanyakan guru sekarang sudah bukanlah guru yang di kenal pada zaman dahulu dengan sebutan pahlawan tanpa tanda jasa. Sekarang orang berlomba-lomba berprofesi sebagai guru karena ia merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terjamin kehidupannya. Bahkan karena kurang puas dengan gajinya sebagai PNS, setiap tahun ajaran baru ditemukan pungutan-pungutan liar yang dibebankan sebagai syarat penerimaan siswa baru.

Selanjutnya, guru yang dulu digugu dan ditiru tingkah lakunya dalam kebaikan sekarang menjadi terbalik, dicemooh dan dikritik, dan secara tidak langsung juga memberi contoh kepada para siswanya untuk berbuat demikian di kemudian hari. Sehingga tujuan siswa dalam belajar hanya agar lulus ujian, bukan sebagai pengisi jiwa sebagaimana pepatah “orang berilmu itu ibarat padi, semakin berisi semakin merunduk”.

Tak jauh beda dengan mahasiswa sekarang yang melanjutkan kuliahnya bukan semata-semata karena dia suka dengan jurusan yang ia ambil, tapi lebih karena tuntutan zaman dengan melihat prospek kerja ke depan. Sehingga yang hanya terpikir diotaknya adalah lulus, mendapatkan gelar kemudian mencari uang (bekerja) dengan gelar yang diperolehnya. Oleh karena itu, banyak sekali generasi penerus bangsa sekarang yang kurang siap menghadapi globalisasi zaman. Baik kurang siap secara mental spiritual dan moralitas maupun kurang siap dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kira-kira bagaimana solusinya?

Kalau Indonesia ingin menjadi lebih baik secara menyeluruh, maka pendidikan Indonesia baik yang formal maupun non formal haruslah mampu mengganti otak-otak bangsanya. Dengan artian pendidikan harus bisa memperbaiki pribadi setiap individu bangsa secara menyeluruh.

Pertama, dari lingkup pendidikan non formal yang dikendalikan oleh keluarga. Sebuah keluarga khususnya orang tua haruslah sadar akan tanggung jawabnya sebagai orang tua, sebenar-benarnya orang tua. Yaitu menjadi pengayom bagi anak, pendidik moral, penasihat dan pengawas yang bertanggung jawab. Minimal mencarikan lingkungan yang baik dan pendidikan formal yang baik.

Kedua, karena masalah sistem pendidikan formalnya adalah dikotomi, maka solusinya adalah integrasi. Integrasi antara ilmu agama dengan ilmu yang lain, integrasi antara ilmu dengan etika, dan seterusnya. Dengan ini, anak didik yang dihasilkan siap menghadapi tantangan globalisasi tanpa kehilangan dimensi moralitas dan spiritualitas.

Terakhir karena guru merupakan tokoh utama dalam proses transfer ilmu pendidikan formal, baik itu pengetahuan teknologi maupun ideologi serta moralitas, maka seyogianya pihak yayasan pendidikan benar-benar selektif, setidaknya menguatkan komitmennya untuk bertujuan mendidik kader bangsa dengan sebaik-baiknya, bukan sekedar menciptakan wahana pengumpul harta.

Akhirnya, mari kita bersama-sama turut serta berpartisipasi membangun bangsa mulai dari diri kita sendiri. Kemudian berusaha menjadi bagian dari agent of change sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Dengan ini, pendidikan di Indonesia bisa dirasakan menyeluruh, baik dengan akal ataupun hati. Tidak hanya menjadi formalitas kasat mata agar dianggap bahwa Indonesia juga memliki sistem pendidikan yang baik. Pendidikan menjadi bagian dari diri seseorang, bukan hanya sebagai pakaian yang menyembunyikan kecacatan tubuh pemakainya. Semoga Indonesia menjadi semakin baik.

Analisa Nusantara

07PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Page 8: PRESTãSI 97

K e b i j a k a n p e m e r i n t a h ( k e m e n a g ) menyelenggarakan ujian seleksi pendaftaran bagi calon mahasiswa baru ke Timur Tengah –Al-Azhar- 2014-2015 merupakan angin segar. Walaupun stabilitas keamanan Mesir sendiri masih dikatakan belum benar-benar dalam suasana dingin, setidaknya tercium geliat keseriusan pemerintah dengan turut serta dalam melancarkan atmosfer akademik bagi pelajar Indonesia yang ingin melanjutkan strata pendidikannya ke Mesir. Dengan adanya pengiriman Camaba tahun ini minimal menyejukkan kembali kegersangan proses akademik tahun lalu, dan juga menegaskan ulang terhadap integritas Al-Azhar sebagai tempat bernaung yang tepat dalam mendalami ilmu-ilmu agama; terlepas banyaknya opini sentimen-sektarian yang berkembang di tataran publik terhadap Al-Azhar dan para masyayikhnya pasca runtuhnya rezim Moursi, dengan melabeli bahwa Al-A z h a r s e r t a p a r a masyayikhnya itu Pro-Barat –dengan segala bentuk istilahnya- sehingga perlu ditentang demi alasan 'menjaga keutuhan pendidikan agama Islam'.Barangkali saat-saat ini memang iklim di Timur Tengah sedang menunjukan hawa panasnya; baik itu di Suria dengan perang saudaranya, Libya dengan perang kapitalisnya terhadap sekutu dan Mesir sendiri yang tak kunjung selesai akan ideologinya. Karenanya terkadang kita mendengar ada dari sebagian orang yang memberikan peringatan atau nasihat bagi seorang yang ingin melanjutkan jenjang studi ke Timur Tengah: “jangan sampai ikut paham yang menyimpang” atau “belajarlah pada guru yang benar agar tidak keblinger”. Seolah-olah itu merupakan 'nasihat' yang baik, setidaknya memang terlihat baik: banyak pelajar ketika masih di Indonesia berkelakuan 'anteng' biasa-

biasa saja, namun lain cerita ketika mereka melanjutkan studinya ke Timur Tengah lalu kembali ke tanah air, banyak dari mereka yang bertingkah bagai 'ulama' yang sangat berpengetahuan luas; melakukan ini dianggap salah, tidak mengerjakan itu juga salah. Jika tadi itu contoh tindakan yang terlalu keras, sekarang lebih terlihat 'lunak'; terlalu menyederhanakan agama, dengan bermaksud membuat Islam lebih modern dan progres. Lalu, apakah semua pendidikan di Timur Tengah menjadikan kita 'bringas' terhadap keadaan? Atau bahkan lebih memberikan impresi 'vulgar' pada suatu persoalan? Pertanyaan yang rajin ditanyakan bagi seorang yang ingin mengetahui lebih dalam tentang pendidikan di Timur Tengah, namun setidaknya perlu adanya cross-

check pembenaran kala Timur Tengah dijadikan refrensi dalam melanjutkan pendidikan Islam, sehingga tidak tidak ada lagi isu-isu yang bertendensi miring terhadap pendidikan di Timur Tengah yang kerap kali menjadi objek kebencian dalam wacana ke-Islam-an.****

Al-Azhar, mungkin semua orang tidak asing lagi dengan nama ini, khususnya di Timur Tengah. Selain menjadi universitas tertua di dunia dalam pemikiran Islam, dan terkenal dengan tekstur corak bangunan yang tua namun otentik dan eksotik, namun ia juga dapat menjadi pilihan yang tepat untuk menyelami ilmu agama bagi mereka yang kerap merasa kebingungan dan tidak menemukan tempat pilihan di Timur Tengah. Akan tapi meski Al-Azhar merupakan pusat 'peradaban ilmu Islam' terbukti dengan banyaknya para ilmuan Islam yang lahir dari sini dan tempat-tempat bersejarah yang menjadi saksi bisu atas kelamnya peradaban sampai k u l m i n a s i ke j a y a a n , n a m u n d a l a m perjalanannya tidak sedikit yang memunculkan

Al-Azhar

dan SantrinyaOleh: Wais al Qarni

Timur Tengah

08 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Edisi 97, Mei 2014

Page 9: PRESTãSI 97

sikap sentimentilnya terhadap Al-Azhar; baik dalam bentuk fisik dengan banyaknya pengerusakan gedung maupun berupa opini-opini dengan menebarkan isu terkait adanya dugaan-dugaan konspirasi antara masyayikhul Azhar dengan sekutu dalam agresi terhadap rezim Moersi, dengan mengangkat terma-terma yang muncul dari Barat dengan mengantongi istilah liberalisme, sekulerisme wa akhwatuha. Melihat kontestasi di atas, menjadikan janggal bagi kita untuk mengiyakan tindakan pengecaman yang dilakukan pihak 'anti-sekutu' terhadap masyayikhul Azhar dan santrinya dalam rangka 'menjaga keutuhan pendidikan agama Islam'. Terdengar sangat 'polos' memang, saat mereka menyuarakannya, namun di sini juga kita dibingungkan, ketika masyayikhul Azhar dianggap mengancam 'keutuhan ajaran atau pendidikan tentang Islam' yang disebarkan kepada santrinya. Sehingga dapat dipastikan paradoksnya bukanlah dari masyayikhul Azhar atau santri yang belajar di Azhar tetapi hadir dari mereka sendiri –'anti-sekutu'- yang tak jelas arah tujuannya, antara pretensi untuk menjaga dan ambisi untuk merusak. Dalam hal ini perlunya suatu 'kearifan interpretasi' tersendiri dalam memaknai hal-hal yang problematis: karena ketika Al-Azhar dan masyayikhnya 'digosipkan' sebagai 'perusak pendidikan atau ajaran Islam' namun sebaliknya, justru mereka-lah yang membangun dan merintis bagaimana pendidikan itu bisa dikatakan baik dan benar serta dapat merangkul berbagai golongan (moderatisme).Jika model cara pandang Al-Azhar yang modera- seperti ini, tidak terlalu ke-kanan-an; dengan tidak bersifat ekstrem dan kaku dalam persoalan, namun juga tidak sampai ke-kiri-an; berpola pikir yang maju namun ndak kemajon –tidak terlalu maju juga-, maka ada rasa ketidakmungkinan ketika Al-Azhar dan para masyayikhnya 'dinobatkan' sebagai 'ancaman dalam pendidikan Islam'. Karena pendidikan atau ajaran yang diberikan masyayikhul Azhar terhadap santrinya sudahlah sangat baik: ketika menghadapi golongan yang memil ik i

kecendrungan ke-kanan-an, masyayikhul Azhar sangat mendorong terjadinya dialog di antara berbagai kecendrungan pemikiran Islam dan sebisa mungkin menghindari suasana perdebatan yang berkepanjangan, saling caci dan perpecahan, karena dengan dialog menawarkan untuk mencari titik persamaan lalu kemudian disatukan, sedang pada titik perbedaan kita saling menghormati. Sedang menyikapi kelompok yang berkecendrungan ke-kiri-an, dengan tetap menjaga tradisi rakyat meskipun dengan adanya revital isasi peradaban dalam sejarah.Setidaknya, uraian di atas sudah cukup mewakilkan –walaupun belum sepenuhnya- bahwa Al-Azhar dan para masyayikhnya tidaklah termakan oleh opini-opini absurd mereka, yang mereka tebarkan di ladang-ladang publik, tapi justru wacana-wacana mereka-lah yang seharusnya kembali dipertanyakan dan di koreksi kembali akan kebenarannya, mengenai 'Al-Azhar merusak pendidikan Islam'. Sebab dalam menyikapi segala sesuatu Al-Azhar dan para masyayikhnya tidak memandang dari satu sisi saja namun juga melihat dari sisi yang lain: ketika melihat dari sudut pandang re l ig ius i tas d i Mesir –berkumpulnya agama-agama- atau pada tataran sosial dan budaya di Indonesia –dengan banyaknya suku, adat-istiadat dan bahasa yang menjadi satu- Al-Azhar dan para masyayikhnya selalu mengajarkan bagaimana saling menghormati dan menghargai serta mengajari betapa pentingnya arti sebuah kerukunan; beragama, berbangsa dan bernegara. Selain dalam penyelesaian masalah: baik melalui strategi pendekatan kultural ataupun pendekatan nasionalis dalam menghadapi dan menyikapi suatu problem sosial, masyayikhul Azhar se la lu mengajarkan s i fat -s i fat moderatnya dengan berakidah ahlu sunnah wal jama'ah yang selalu beliau-beliau tularkan kepada santri-santrinya agar nanti tidak menjadi Azhari yang 'tukang mengkafirkan', 'mbakul dalil' dan lain-lain, karena Islam bukanlah milik satu madzhab, satu golongan atau bahkan satu partai melainkan rahmatan lil 'alamin.

Timur Tengah

09PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Page 10: PRESTãSI 97

Tak jarang kita temui seorang yang berada di ujung kematian, karena ia gagal mengendalikan sebuah setir yang bernama emosi. Tak jauh berbeda, kita juga sering mendapati seseorang yang terjerembab dalam lubang jurang, karena ia berani berjalan di kegelapan lorong kebodohan, tanpa memegang senter keilmuan. Ya, seseorang memang dapat mempertahankan eksistensinya, ketika ia mampu menguasai emosi dan berbekal ilmu pengetahuan. Begitu pula nasib negara, eksistensi negara hanya akan bertahan dan terus tampil di panggung sejarah, ketika negara berada di genggaman masyarakat beradab yang berbekal ilmu pengetahuan!Akhir-akhir ini, berita yang disuguhkan oleh media menggambarkan sebuah keadaan menyeramkan yang tengah terjadi di negeri kita tercinta, Indonesia. Tentu, kita sangat akrab dengan berita seorang bernama Ade Sara, seorang remaja berumur 18 tahun, yang harus menemui ajalnya dengan disetrum dan disumpal oleh Hafidz (mantan kekasih korban) dan Syifa (kekasih Hafidz). Supendi yang mengakhiri hidupnya sendiri dalam sel tahanan setelah sebelumnya mengakhiri hidup sang kekasih. Di Bandar lampung, lima siswa SMP swasta terlibat kasus pemerkosaan yang dilakukan di sebuah hotel. Kasus tawuran antar pelajar yang tak jarang memakan korban jiwa, seperti yang terjadi di Bogor, antara SMA Wiyata Karisma dengan SMK Mensin di kabupaten Kemang. Dan tentu saja, kasus klasik, korupsi, yang semakin tumbuh dan menjamur. Mungkin, korupsi memang telah menjadi kesadaran umum para politisi negeri ini!Hati dan pikiran siapa yang tidak terusik dengan hadirnya fenomena anak-anak bangsa yang terang-terangan mengul i t i n i la i -n i la i kemanusiaan tersebut? Rangkaian fenomena tersebut adalah sebuah potret kegagalan pendidikan, berpulang pada kenyataan ini, pesta perayaan Hari Pendidikan Nasional yang dirayakan di setiap tahun, menjadi sebatas

simbol sejarah, yaitu bahwa di masa lalu, negeri ini mempunyai sebuah emas, bernama Soewardi Suryadiningrat (Ki Hajar Diwantoro) yang berhasil memberikan kontribusi dalam d u n i a p e n d i d i k a n b a n g s a , h i n g g a mengantarkan mereka meraih kebebasan dan terlepas dari genggaman para penjajah. Apa yang salah dengan sistem pendidikan di negeri kita, Indonesia? Bukankah sudah seratus lebih medali emas olimpiade yang diraih anak bangsa di kancah internasional, seperti yang dituturkan oleh Prof. Yohanes Surya, pendiri Tim Olimpiade Fisika (TOFI)? Bukankah 1. 043 sekolah, sebagaimana yang dilaporkan oleh Depdiknas dalam capaian kinerjanya, telah m e n c a p a i s t a t u s s e k o l a h b e r t a r a f internasional? Bukankah sudah ribuan anak bangsa yang dapat mengenyam pendidikan akademik di luar negeri dan banyak di antara mereka yang memberi pengaruh cukup signifikan bagi dinamika akademik, sosial dan politik negeri ini?Lalu, faktor apakah yang salah? Apakah karena minimnya tenaga pengajar? Rasanya tidak! Bukankah profesi mulia, guru, beberapa tahun ini menjadi profesi yang paling diminati? Terbukti dari pendaftaran CPNS yang selalu dibanjiri oleh ribuan pelamar. Bukankah pelajaran keagamaan yang sarat dengan pesan moral, mendapatkan porsinya baik di sekolah-sekolah negeri dan swasta? Apakah anak-anak bangsa ini lupa dengan pelajaran etika dan kewarnegaraan? Apakah pelajaran moral atau PKN harus diujikan juga pada ujian akhir nasional? Beberapa pertanyaan keraguan yang terlintas untuk mencari akar masalah yang dihadapi negara ini.Harus diakui bahwa negara tidaklah gagal menyuguhkan sistem pendidikan yang terbukti mampu meningkatkan kualitas intelektual anak bangsa. Kita bersama menjadi saksi, jika anak-anak bangsa mampu bersaing dan tidak hanya menjadi sebatas jago kandang. Contoh yang paling konkret, sebutlah Sri Mulyani yang

Yang Terabaikan!Oleh: Zulfah Nur Alimah

Opini

10 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Edisi 97, Mei 2014

Page 11: PRESTãSI 97

prestasinya diakui di kancah internasional. Dia meraih Madhuri dan Jangdsih N Sheth Internasional Alumni Award for Exceptional Achievement dari Unversity of Illionis di Urbana-Champaign, Amerika Serikat. Ataupun A n a s U r b a n i n g r u m , y a n g k a r e n a kecerdasannya, terpilih menjadi ketua Partai Demokrat di umur muda, yaitu 40 tahun dan menjadi ketua partai termuda di Indonesia. Namun ternyata, titik problem tidaklah berada pada ruang ini. Dengan bangga kita mengatakan, "Intelektualitas anak bangsa baik-baik saja! "Ternyata, masih ada satu ruang lagi yang hampir membusuk dan lenyap, ruang yang terabaikan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat negeri ini, baik dari golongan kecil, kaum elit, kaum intelektual hingga tokoh agama. Ruang yang terabaikan ini tak lain adalah moral. Ya, MORAL!Memang, manusia terikat oleh sebuah kecenderungan yang bernama kecenderungan egoistis. Senada dengan yang ditulis oleh Andrew Koreson dalam bukunya Problematika Moral dan Filsafat, yang telah diterjemahkan oleh Dr. Abdul halim Mahmud ke dalam bahasa Arab. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, mengingat pula bahwa manusia diberi dua potensi oleh Tuhan: potensi malaikat dan potensi iblis. Untuk itu selain pendidikan intelektual, pendidikan moral mutlak harus diberi porsi khusus dan dirancang dengan sistem sedemikian rupa. Misalnya saja dengan melibatkan seluruh lapisan untuk bekerja sama aktif. Karena, ketika masyarakat di sebuah negara memprioritaskan ke-aku-an, saling menyikut dan bermuka masam, hal yang paling terancam adalah integritas bangsa itu sendiri. Fanatisme golongan yang lahir di tangan-tangan kaum politisi negeri kita, Indonesia, adalah secuil potret dari goyahnya integritas bangsa. Jika keadaan terus berjalan seperti ini, maka mempersiapkan diri untuk beranjak dari panggung sejarah, adalah satu-satunya usaha.Sangatlah tidak bijak, ketika kita hanya mengambinghitamkan negara dan pemerintah, karena pada hakikatnya bencana moral yang melanda negeri kita adalah tanggung jawab bersama. Orang tua, guru, masyarakat dan

media pun memainkan peranan sebagai pengontrol pendidikan. Seluruh unsur ini harus memperhatikan keseimbangan dua asupan yang harus disantap oleh setiap peserta didik: santapan intelektual dan santapan emosional. Media yang juga mempunyai peran signifikan terhadap perkembangan moral bangsa harus bisa memilah apa dan bagaimana berita yang diterbitkan berguna bagi kebutuhan moral bangsa. Tidak hanya menyuguhkan berita yang layak jual, tetapi berita yang berhubungan dengan kepentingan sosial guna menjadi cermin sekaligus kontrol terhadap suatu perbuatan. Sebagai orang berakal, tentu kita tidak akan mau berjalan dengan satu kaki, yang membuat kita rentan untuk goyah dan akhirnya terjatuh. Ketika negara mampu bekerja sama dengan para pelaku pengontrol pendidikan lainnya dalam mewujudkan keseimbangan ini, maka pendidikan di Indonesia bisa dikatakan berhasil dan tidaklah menjadi aneh ketika 2 Mei nanti, kita bersama-sama merayakan Hari Pendidikan Indonesia. Sebuah perayaan yang selanjutnya tidak hanya kita anggap sebagai formalitas belaka. Hidup Indonesiaku!

Opini

11PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Page 12: PRESTãSI 97

Krisis Paradigma; Secuil Pendasaran Masalah

Pendidikan menjadi salah satu instrumen terpenting dalam membangun peradaban Bangsa. Melaluinya, kemajuan bangsa bisa terealisasikan; mandiri, progesif, demokratis dan bertanggungjawab pada negara. Hal ini senada dengan tujuan pendidikan nasional Republik Indonesia yang tertuang dalam UUD (Undang-Undang Dasar) no 4 tahun 1950 dan Undang-Undang Dasar nomor 20 tahun 2003, mengembangkan pribadi yang mandiri, arif, bijaksana dan bertanggungjawab sebagai warga negara.

Pembentukan UDD di atas itu tak lepas dari ide besar Ki Hadjar Dewantoro dalam merumuskan falsafah pendidikan Bangsa Indonesia saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan pertama kali. Beliau berharap, rakyat Indonesia bisa menjadi manusia seutuhnya, merdeka sejak dalam dirinya. Menurut beliau ada tiga hal manusia dikatakan merdeka: pertama, berdiri sendiri. Kedua, tidak tergantung pada orang lain. Ketiga, dapat mengatur diri sendiri.

Tiga dimensi manusia merdeka tersebut, sering dituturkan oleh beliau saat memberikan pengajaran dan pengetahuan kepada masyarakat, saat bertutur maupun laku. Tujuannya adalah mampu membenuk watak dan jiwa manusia semangat, progesif dan merdeka, sehingga mampu untuk memberi contoh yang baik kepada generasi selanjutnya; m e m b a n t u m e m b e r i s e m a n ga t d a n memberikan dorongan untuk selalu bergerak maju. Sehingga dinamika pembangunan bangsa dan masyarakatnya terkondisikan dengan baik sejak dalam pikirannya; selalu memberikan dukungan positif atas kreatifitas yang dibangun. Bukan menghancurkan kreatifitasnya.

Penekanan menjadi manusia merdeka seutuhnya ini, mengilhami lahirnya semboyan “ing ngarso sang tulodha, ing madyo mbangun karyo, tut wuri handayani. Dari semboyan tersebut juga, membuat beliau terkenal sebagai bapak pendidikan nasional. Seseorang yang

memperjuangkan nasib bangsa melalui pendidikan yang terstruktur, terorganisir, filosofis, mandiri, kreatif agar menjadi warga cerdas dan progesif untuk perkembangan bangsanya.

Dari makna filsofis dan berkarater tersebut, saat ini pendidikan telah memudar maknanya. Sehingga terjadi pergeseran makna pendidikan dan tujuannya. Pemahaman manusia mengenai pendidikan tidak lagi untuk menjadi makhluk sosial yang intregal sebagai masyarakat dan bangsa tapi menjadi manusia individualis.

Pergeseran paradigma mengenai pendidikan inilah, meresahkan istilah pendidikan itu sendiri, apalagi digunakan untuk memperingati harinya. Masih pantaskan untuk dirayakan, sedangkan manusianya tidak lagi mengerti makna pendidikan itu sendiri. Perihal inilah, pernah menjadi sorotan dalam Koran Kompas, Sabtu, Mei, 2009.

Untuk mendedah lebih lanjut mengenai konsep pendidikan di atas, sebagai alat rekayasa sosial dalam mencipta masyarakat intregal saat membangun kemajuan bangsa, relasi kehadiran pendidikan dengan makna bangsa, negara, di sini penting untuk dihadirkan kembali. Supaya kita tidak lagi lupa makna yang dipendam oleh istilah pendidikan itu sendiri. Sehingga wujudnya pendidikan secara lembaga di ruang realitas mampu dicecap maknanya di ruang idealitas. Dan wujud pendidikan di ruang realitas saat ini, bisa dipahami dalam laku sehari-hari manusia.

Dengan terwujudnya relasi antara idealitas dan realitas dalam praktek laku kehidupan, membangkitkah gairah onto-kritik terhadap u s a h a - u s a h a p e m e r i n t a h d a l a m memperjuangkan sekolah wajib dua belas tahun dari zaman orde baru sampai era r e f o r m a s i . D a n j e m b a t a n u n t u k memahamankan masyarakat mengenai pendidikan, terbangun kesadarannya dengan baik, bahwa pendidikan bukan hanya formalitas dan latah. Tapi sebuah kesadaran untuk

Menggugat Makna PendidikanDalam Praktek Realitas

Oleh: Nashifuddin Luthfi

Kajian

12 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Edisi 97, Mei 2014

1

Page 13: PRESTãSI 97

bergerak melaksanakan pendidikan dari jiwanya.

Makna Pendidikan Di Antara Ketegangan Realitas

Pendidikan berasal dari suku kata didik mendapat imbuhan 'pe dan an' yang menekankan pada –peristiwa itu sendiri atau perbuatan yang dialami oleh kata pendidikan—. Sedangkan makna didik itu sendiri mempunyai makna –memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran—. Jika kata didik telah diobjektifikasi menjadi kata pendidikan, dalam kamus KBBI mempunyai ar t i proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.

Arti dan makna yang telah ditetapkan oleh kamus Bahasa Indonesia tersebut, memangku t a n g g u n g j a w a b p r i m o d i a l u n t u k diejawantahkan dalam dunia realitas material ini. Kata tersebut tidak bisa menghindar tanggungjawabnya ketika disandarkan dengan kata lain apalagi dilekatkan pada instutisi negara Republ ik , sepert i Indones ia . Tanggungjawabnya melampui artikata tersebut, yakni membentuk manusia merdeka sejak pemikirannya. Maka tak heran, kata tersebut menjadi pusat perhatian sejak awal berdirinya negara Indonesia; pondasi pertama dalam membangun bangsa adalah pendidikan. Sebelum dideklarasikan kemerdekaan, ide tersebut pernah didialog-kan oleh Muhammad Hatta bersama Soekarno, bahwa pertama yang harus dimerdekakan dari penjajahan adalah pemikiran masyarakatnya, yakni dengan memberikan pendidikan kepada mereka, bukan kemedekaan kontitusional. Karena gagasan itu membutuhkan waktu lama, menurut Soekarna yang terpenting saat ini (tempo dulu) merdeka terlebih dahulu secara de facto dan de jure, baru pembangunan masyarakatnya dengan pendidikan.

Peristiwa dialog dari dua tokoh tersebut, menunjukan pendidikan adalah bekal awal menjadi manusia merdeka. Pendapat ini

dikuatkan oleh Paulo Fariere dalam bukunya 'education as the practice of fredoom', bahwa pendidikan adalah modal penting menjadi manusia yang bebas dari segala ke-naifan, kebodohan, ketundukan dari segala hal. Dan bisa menjadi manusia yang mandiri untuk dirinya sendiri, mengatasi permasalahan dirinya, mengerti cara berprilaku baik dengan orang lain.

Peristiwa di atas dan konsep dasar Paulo Fariere mengingatkan dengan cerita Nabi Adam saat diciptakan di dunia oleh Allah SWT, terjadi proses transfer ilmu dari Yang Maha Kuasa kepada nabi Adam. Di mana semua makhluk hidup yang tercipta lebih dahulu, tidak mampu berkata apa-apa saat terjadi dialog antara Nabi Adam dengan lainnya. Sebagaimana Malaikat dan Ib l is , keduanya mengakui kalau pengetahuan Nabi Adam lebih tinggi daripada mereka.

Cerita nabi Adam dengan para malaikat dan Iblis, di sini sebagai manisfestasi teologis betapa pentingnya pendidikan transfer ilmu untuk mendidik manusia berpengetahuan arif dan bijaksana. Sisi lain, sebagai sebuah objektifikasi fenomena pendidikan di beberapa negara maju. Bahwa transfer ilmu dalam kehidupan manusia adalah langkah awal membangun negara. Dengan melaksanakan pendidikan, ada transfer ilmu, ada pembentukan nalar berpikir menjadi lebih baik. Mengingat bahwa dengan nalar kritis, dengan ilmu juga, ragamnya keinginan manusia bisa terkendali karena tahu batas. Dengan pengetahuan, batas-batas keinginan terjembatani secara natural. Tanpa saling memerkosa hak-hak lain. Sehingga makna proses transfer ilmu untuk mendidik manusia berbudi dan berpengetahuan diakui idealitasnya; makna untuk merdeka. Hingga cita-cita awal Ki Hadjar Dewantoro untuk pendidikan nasional terpenuhi haknya di dunia modern saat ini.

Dari deksripsi di atas, makna dasarnya untuk mengajari manusia berbudi dan berpikir kreatif, seharusnya mampu ditemukan pengaruhnya dalam kehidupan manusia Indonesia saat ini. Anak-anak SMP, SMA, tidak lagi ada tawuran.

Kajian

13PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Page 14: PRESTãSI 97

Tidak ada lagi pelecehan seksual; tidak lagi ada pengaturan nilai-nilai Ujian Nasional. Akan tetapi tetap saja, fenomena tawuran antar siswa, pelecehan seksual kepada siswi dan s i swa kera p ter j a d i . Sa mp a i - s a m p a i pembunuhan dan kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak SMP dan SMA sering dijumpai dalam berita-beria di televisi atau pun koran. Ini menunjuk-kan bahwa makna pendidikan yang dibangun oleh Ki Hadjar Dewantoro dan pengamat pendidikan lain, tidak mampu dipahami lebih baik di zaman modern saat ini. Dan sudah saatnya, pendidikan modern saat ini dikritisi lebih lanjut konsepnya dan dampaknya, untuk membangun bangsa!

Antara Sikap dan Hak

Jika makna pendidikan mempunyai titik tekan pada proses pengubahan manusia dari tidak berbudi menjadi manusia berbudi, dari tidak kritis menjadi kritis, dari berpikir tidak kreatif menjadi berpikir kreatif, perlu ada usaha membangkitkan kembali semangat zaman manusia saat ini. Alasannya adalah makna tersebut tidak akan tersentuh sama sekali, tanpa ada usaha-usaha bersama dari para pelaksana pendididikan dan pelaku pendidikan. Yang ada hanyalah formalitas belaka.

Salah satu jalan untuk membangkitkan semangat zaman adalah mengurangi budaya hafalan dan menyusaikan materi-materi yang diajarkan di Sekolah Dasar. Karena budaya hafalan menghilangkan pengalaman bernalar manusia sejak dini dan menghilangkan rasa untuk mengenali cara pandang orang lain. Sehingga yang terjadi adalah keroposnya rasa untuk berempati pada orang lain dan jiwa untuk bernalar di saat telah lulus dari sekolah negara. Oleh karena itu, tak heran ada beberapa pandangan untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia, karena di nilai kurang sesuai dengan perkembangan psikologi murid-murid.

Tapi hal ini, akan berbeda jika diperbandingkan dengan sistem pendidikan di Francis dan Jerman, tahapan berpikir diperhatikan dengan baik serta penyesuaian materi terhadap psikologis murid menjadi hal penting saat terjadi belajar-mengajar. Karena tujuannya

satu, untuk membangun manusia sejak dini berpikir kritis dan kreatif. Karena dengan berpikir kritis dan kreatif akan timbul pengetahuan mengenai hal yang buruk dan baik.

Perbedaan tersebut bermula dari perbedaan sistem pendidikan dan sistem pengajaran di sekolah sebuah negara. Jelas membawa dampak perbedaan jelas; yaitu masyarakat di negara maju mampu menjadi sumber daya p e m b a n g u n a n b a n g s a nya . D a n ra s a nasionalisme mereka sangat tinggi dan kuat. Ini karena cara mereka memahami negara dan bangsa telah ada sejak bernalar. Sejak mereka dikenalkan tentang sejarah mengenai bangsa dan budaya.

Sedangkan dalam negara berkembang dan t e r b e l a n g k a n g s e r i n g d i t e m u k a n masyarakatnya menjadi beban negara, karena cara berpikirnya tidak ditata terlebih dahulu sejak di pengajaran dasarnya. Mereka, masyarakat, berpangku tangan menunggu negara bergerak. Tidak bergerak dari dirinya sendiri. Kurang adanya kreatifitas dalam dirinya ketika dihadapkan pada realitas semu.

Di sini, pembetukan kurikulum di negara berkembang seperti Indonesia, patut di evaluasi kembali. Karena pendidikan ada beberapa tahap dalam pengajaran di lembanya kurang sesuai dengan perkembangan manusia. Hingga tidak terjadi hafalisasi atas proses belajar mengajar di Sekolah Dasar sampai sekolah SMA. Hingga anak-anak merasa bahwa dengan mengikuti pendidikan, mendapat perhargaan secara afektif, kognitif dan psikomotorik. Bahwa pendidikan bukan hanya untuk mendapat ijazah dan pekerjaan, tapi untuk menjadi manusia seutuhnya.

Yang paling penting juga adalah proses mimesis oleh guru kepada anak dan lingkungan sekitar. Peniruan karakter menjadi bom atom untuk di waspadai, agar anak tidak lepas tandas diluar batas kemampuan manusia. Maka wajib bagi pendidik untuk menjaga pola intraksi yang baik agar ada asimilasi kreatifitas untuk saling melengkapi. Baik itu keluarga, atau pun pengajaran di institusi pendidikan formal.

Kajian

14 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Edisi 97, Mei 2014

2

3

Page 15: PRESTãSI 97

Sehingga pendidikan lebur dalam satu entitas merdeka, pendidikan jasmani dan rohani.

Hubungan timbal balik, peniruan, kreatifitas, menandakan keberhasilan membangun nalar dengan baik dan kesadaran awam sebagai manusia. Sehingga tanpa ada aturan apapun yang memerintahkan dirinya, akan berkorban untuk membela kesatuan negara. Rasa nasionalisme dalam jiwa mereka lebur bersama-sama da lam pembangunan. Sebagaimana sejarah sumpah pemuda dan reformasi di Indonesia yang di wakili oleh kalangan-kalangan terdidik. Tapi jika saat ini kalangan pendidik tidak lagi menjadi penunjang kemajuan bangsa, pergeseran pemahaman pendidikan telah mengganti penuh fungsi menjadi manusia seutuhnya; menjaga dan mengontrol keharmonisan sosial.

Maka dari sana, penghianatan tidak lagi pada makna pendidikan bangsa, tapi juga dasar falsafah bangsa-pancasila- tercerabut nilai oleh manusia modern. Sehingga kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi kemanusiaan individualis dan pragmatis serta apatis. Oleh karena itu, agar falsafah pancasila sebagai dasar negara terealisasikan –membentuk masyarakat adil dan beradab. Mari bangun pendidikan bangsa berkarakter nasional dan lokal tapi menjangkau internasional dari diri kita masing-masing.

Kesimpulan

Untuk menjadi manusia merdeka perlu ada wadah yang akan mengelola keraguan tiap saat dalam jiwa manusia. Karena rasa ragu mempengaruhi manusia untuk bertindak tegas dan sulit menentukan sikap. Dengan berhasil mengelola rasa ragu, keyakinan untuk m e m u t u s k a n k e b e n a r a n m u t l a k dipertahankan. Tanpa mengenal lagi rasa takut dan di sia-siakan oleh realitas. Dan untuk mencapai semua itu tentunya dengan pendidikan mandiri sejak dalam dirinya, tidak sebuah formalitas dan rutinitas.

Dari sini, persatuan bangsa dan keadilan sosial yang beradab bisa terbangun dalam kenyataan sebenarnya. Mahasiswa tidak lagi menjadi ekor p o l i t i k ya n g m e n ge n d u s ka n b a nya k

kepentingan. Bapak guru tidak lagi mengajar setelah mendapat gaji, tapi senantiasa berkorban untuk ilmu; pahlawan tanpa jasa. Anak-anak SD mampu mengenal etika untuk mengucapkan salam dan mengerjakan tugas dari sekolah. Serta membantu kerja bapak dan ibu ketika di rumah.

Sehingga cita-cita pendidikan menjadi manusia berbudi dan kreat i f tertanam untuk memerdekakan dirinya dari jerat kolinialisme, pragmatisme orang lain dan negara lain. Keberadaannya disadari sejak awal untuk memajukan tatanan sosial dan memajukan kebudayaan serta peradaban bangsa. Bangsa tidak lagi sebuah pencitraan untuk mencari status tertinggi dan terpintar, tapi bangsa sebagai wadah untuk bekerja sama dalam segala apapun. Dan penghargaan di setiap event lomba dari lembaga pendidikan tidak lagi hanya untuk murid berprestasi, tapi juga untuk mereka yang mampu giat belajar di sekolah meskipun tidak berprestasi tenar, sebagai cara untuk menghargai kemanusiaan dan menjadikannya manusia seutuhnya.

Dan tulisan ini untuk menyambut hari pendidikan nasional. Semoga pendidikan nasional kedepan mampu menjadi wadah untuk menggodok manusia yang benar-benar merdeka. Tidak lagi ada penjajahan berpikir dan kreatifitas. Manusia mampu merasakan nafas alam untuk menjadi dirinya. Murni sebagai manusia tanpa dibebani kepentingan untuk menguasai satu sama lainnya. Karena kemerdekaan sesungguhnya adalah lepas dari beban untuk menjadi apapun, hanya belajar untuk menjadi manusia yang manusiawi. Semua itu karena adanya pendidikan.

1.http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=264

2.Berita terkakhir tentang pelecehan seksual k e p a d a a n a k m u r i d d i J I S . http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/3049/1/kejahatan.seksual.di.jis?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Ktpwp

3.http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=946

Kajian

15PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Page 16: PRESTãSI 97

Semua warga KSW, saya kira, tahu bahwa embrio kemunculan Kelompok Studi Walisongo adalah sebuah forum diskusi Hadis al-Ahad yang anggotanya bukan hanya terdiri dari Warga Negara Indonesia (WNI), tapi juga dari Warga Negara Asing (WNA), seperti Malaysia. Dari namanya saja dapat menjelaskan bahwa komunitas ini muncul dari kajian ilmiah, bukan lainnya. Malah, pada tanggal 31 Januari 1987/1 Jumadi Tsaniyah 1407 H. forum Hadits al-Ahad memutuskan tiga konsensus umum yang salah satu poinnya adalah agar organisasi ini menonjolkan semangat akademis, bukannya semangat sosial, sebelum akhirnya forum ini berubah menjadi Kelompok Studi Walisongo. Melihat sejarah di atas sudah sepantasnya agenda kegiatan KSW saat ini selalu berorientasi pada pengembangan dunia intelektual. Di samping memberikan stimulasi bagi semua jajaran pengurus, agenda kegiatan KSW juga diharapkan dapat mendorong warganya agar mampu meraih prestasi selama menempuh pendidikan di Negeri Seribu Menara in i dengan berbagai macam karakteristik stimulannya.Pada dasarnya pandangan di atas mempunyai kesesuaian dengan tiga filosofi hidup yang dicetuskan Pahlawan Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh yang mendorong pemberian hak pendidikan bagi pribumi pada periode penjajahan Belanda. Filosofi itu adalah: 1) Ing ngarsa sung tulada; 2) Ing madya mangun karsa, dan; 3) Tut wuri handayani. Artinya, eksistensi KSW sudah seharusnya mampu memberikan teladan bagi orang-orang di bawahnya, menciptakan ide-ide kreatif bagi sesama, dan memberikan dorongan dari belakang untuk menciptakan insan berkualitas. Berbicara pendidikan, ada yang menarik dari pedoman umum pembelajaran untuk implementasi kurikulum 2013 yang diambil dari

Kemendiknas, yaitu daya kompetensi yang berprinsip pada muatan nilai, logika, etika, e s t e t i k a d a n k i n e s t e t i k a . P e n u l i s membayangkan KSW sebagai organisasi berbasis mahasiswa memfasilitasi masing-masing kecenderungan warganya dengan mengacu pada prinsip itu agar KSW tidak kehilangan ruh sejarah sekaligus namanya. Kalau dipikir lebih dalam, bisa jadi semua filosofi hidup dan prinsip pendidikan di atas telah difasilitasi KSW melalui sejumlah agenda kegiatannya, meskipun tak dapat dipungkiri di sana masih jauh dari kata sempurna.Di term awal kepengurusan periode ini, KSW mencoba membuat sebuah acara yang dihadiri oleh warganya sebagai upaya memetakan strategi apa yang harus dilakukan kedepan melalui subtema Suara Akar Rumput. Dari pertemuan itu diharapkan KSW mampu mengakomodasi ide-ide bagus untuk kemudian diimplementasikan dalam sejumlah agenda kegiatan. Subtema yang dipandu langsung oleh Mas Rosyad (ketua KSW) dan penulis sendiri mendapat cukup banyak masukan dan tampak dengan jelas semuanya seragam bahwa KSW harus lebih menekankan nilai-nilai intelektual di setiap kegiatannya dari pada sosial. Aura-aura harapan itu terlihat dengan jelas terpancar dari wajah mereka terhadap apa yang disampaikan saat itu. Anehnya, pasca pertemuan itu, sejumlah agenda KSW yang bernuansa ilmiah tetap tidak berubah alias sepi peminat. Andai ada peminat itu pun harus berupaya keras terlebih dahulu untuk mendapatkan. Di mana kesalahannya?Ada beberapa kemungkinan menurut penulis mengapa hal itu terjadi. Pertama, KSW tidak akan cukup hanya dilempar ide-ide bagus jika lantas setelah itu ditinggal pergi begitu saja tanpa peran aktif dari warganya dengan cara melibatkan diri. Kedua, jajaran kepengurusan sedang mati gaya dalam berkreasi sehingga

Lensa KSW

16 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Edisi 97, Mei 2014

Mencermati Problematika Intelektualitas di Tubuh KSW

Oleh: Nurul Ahsan

Page 17: PRESTãSI 97

Lensa KSW

17PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

agenda-agenda yang diciptakan selama ini cenderung kurang seksi untuk diminati. Ketiga, gaung prestasi olah raga KSW jauh lebih menggema daripada prestasi-prestasi lain, otomatis hal ini membentuk sebuah anggapan bahwa KSW tidak akan mampu menciptakan forum diskusi berkualitas kecuali di bidang olah raga.

KSW memang telah berubah dan perubahan itu telah dialami berkali-kali sehingga eksistensinya tidak perlu terlalu dirisaukan. Sementara ini prestasi KSW yang menjadi perbincangan luar biasa memang di dunia olah raga, tapi perlu

diketahui -seperti cerita Roni Giat Brahmantyo, manager Walisongo FC- bahwa prestasi olah raga KSW itu bisa menjadi motivasi penyemangat untuk mensukseskan forum-forum ilmiah di KSW agar eksis hingga saat ini. Barangkali ini sesuai dengan ungkapan mahakarya sastra seorang pujangga Romawi, Decimus Iunius Juvenalis, "Mens sana in corpore sano” (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat). Jika prestasi olah raga KSW luar biasa sudah sepantasnya prestasi intelektualitasnya juga mampu menjadi luar biasa. Selamat Hari Pendidikan Nasional!

SONGSONG MASA DEPAN CERAH

atau

SUSAH ?

Page 18: PRESTãSI 97

Menyambut Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei tahun ini, Kru redaksi PRESTãSI menggaet salah satu sesepuh KSW, Bapak H. Sugeng Haryadi, MA., untuk berbincang mengenai pendidikan integritas di Indonesia. Berikut hasil wawancara Kru redaksi kami (KP) dengan Bapak Sugeng (BS).KP: Menurut Bapak, Pendidikan Integritas di Indonesia itu seperti apa?BS: Pendidikan Integritas di Indonesia merupakan sebuah wacana besar sekaligus tantangan bagi pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, karena menuntut seluruh pihak yang berkaitan erat dengan pendidikan, menuntut mereka semua untuk memberikan pendidikan sebagaimana mestinya, memahami benar arti penting pendidikan, kemudian senantiasa memiliki acuan tujuan-tujuan pendidikan, kemudian juga punya kaidah-kaidah pokok dalam pendidikan, dan tentunya punya sistem atau metodologi dalam pendidikan, semua yang berkaitan dengan pendidikan, baik tingkat individu, kemudian keluarga, masyarakat, merambah ke lembaga-lembaga formal maupun, baik yang mempunyai latar belakang agama ataupun pendidikan umum. Kemudian pendidikan kita sebut integritasnya memiliki nilai yang tinggi jika benar-benar dapat mncapai tujuan pendidikan, tujuan itu sendiri banyak, nanti kita akan kembangkan, kemudian sekali lagi pendidikan harus mempunyai kaidah yang matang, kemudian juga menggunakan metodologi atau sistematika dalam mendidik yang lurus, nilai integritas pendidikan harus mencakup itu semua. Sehingga pendidikan bisa dikatakan benar-benar integral atau sesuai dengan kaidah, sesuai dengan harapan, tentunya cita-cita semua orang yang memiliki perhatian terhadap pendidikan itu.KP: Menurut Bapak, apakah sistem pendidikan di Indonesia sudah terkonsep dengan baik dan

m e l a h i r k a n akademisi yang c e r d a s d a n bertanggung jawab?BS: Tentu, ada beberapa hal, semuanya berusaha untuk mencapai kesempurnaan dalam menentukan metodologi pendidikan, secara objektif barangkali ada sebuah pertanyaan besar yang menuntut kita untuk terus mangkaji bidang ini. Setiap institusi, mempunyai sistem pendidikan sesuai dengan latar belakang dan tujuan institusi itu, pendidikan agama memiliki latar belakang dan tujuan keagamaan yang mayoritas mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik tentunya banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama, kemudian pendidikan sekolah umum juga beda. Saya ingin fokus kepada satu sekolah yang berlatar belakang agama, misalnya madrasah, metodologi yang diterapkan di madrasah terus berkembang, dari model tradisional, sang guru datang menyampaikan mata pelajaran, membaca atau bercerita ataupun berdialog, terus berkembang dari zaman saya SD, SMP, terus SMA, berbagai macam metodolog i pendid ikan atau pembalajaran yang saya rasakan sangat berbeda-beda, jadi kita tidak bisa mengatakan secara penuh bahwasanya sistem pendidikan di Indonesia semuanya sudah baik atau masih banyak kekurangan, karena dipengaruhi latar belakang pendidikan itu masing-masing. Di pesantren mengembangkan berbagai macam pendidikan, terutama di pesantren-pesantren m o d e r n , Po n d o k Pe s a n t r e n G o n t o r Darussalam misalkan, memiliki sistem pendidikan yang berbeda dengan sistem pendidikan Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri, juga dengan pondok pesantren tradisional, semuanya mengacu pada metode masing-masing yang paling tepat bagi mereka.KP: Terkait para akademisi yang terjun menjadi

Wawancara

dengan

Bapak H. Sugeng Haryadi, MA.

Wawancara

18 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Edisi 97, Mei 2014

Page 19: PRESTãSI 97

politisi, mengapa kebanyakan tidak bisa menjaga amanahnya dengan baik padahal sejak dini sudah ditanamkan betul selama bertahun-tahun bersekolah?BS: Ada beberapa tokoh pendidikan yang kemudian terjun ke dunia politik tetapi tidak bisa atau terpaksa harus melupakan norma-norma pendidikan yang dia sendiri ajarkan. Karena ketika dia terjun ke dunia politik dia akan terpengaruh oleh partai yang dia ikuti. Sehingga ketika dia mau mengambil sikap independen akan sulit, karena kebebasan berpikirnya terikat, sikap yang lahir juga akan terbatas. Oleh karena itu, bagi mereka keputusan atau sikap yang akan diambil secara politis itu sesuai dengan arah pendidikan yang mereka dapatkan. Tetapi pada kenyataannya ketika kita dihadapkan dengan fenomena permasalahan korupsi dan lain sebagainya yang melibatkan sejumlah tokoh, dalam hal ini, kita tidak bisa menyalahkan sistem pendidikan yang ada, karena ketika dia masuk dalam kasus seperti itu, banyak faktor yang mempengaruhi dia kenapa sampai terjebak dalam permasalahan itu. Ada yang terkena suatu kasus, sebab terpaksa atau tidak tahu, ada yang karena sengaja, karena faktor-faktor yang bersifat manusiawi, seperti ingin menumpuk harta, ingin mendapatkan kekayaan yang lebih, ingin dihormati, semuanya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi sikap psikologi manusia secara umum, bukan hanya orang yang berpendidikan, siapa saja bisa terpengaruh kondisi psikologis tersebut ketika di hadapkan dengan fenomena kehidupan.KP: Bagaimana menurut Bapak, membentuk pendidikan integritas yang kuat untuk para pelajar agar dapat mengaplikasikan ilmunya di masyarakat dengan bertanggung jawab?BS: Seseorang akan terdorong untuk mengaplikasikan pendidikan yang dia dapatkan, itu yang pertama, pendidikan itu sejauh mana bisa mempengaruhi cara dia berfikir? Dari berpikir akan muncul kata hati, dari kata hati itulah yang akan membulatkan tekad seseorang untuk melakukan atau mengambil sikap tertentu. Oleh karena itu terkadang dalam hal ini ketika seseorang memiliki pemikiran yang

lurus itu secara umum otomatis sikapnya juga akan lurus. Kemudian ditopang atau didukung dengan keyakinan yang bulat, keyakinan ini bisa timbul dari pendidikan, ajaran-ajaran yang dia dapatkan melaui keimanan, keyakinan. Kemudian pengaruh lingkungan, pengaruh tokoh, keteladanan, semua itu akan mempengaruhi dan memotivasi seseorang untuk melakukan, mengambil sikap tertentu. Ketika dia mendapatkan ajaran atau doktrin yang sudah tidak benar, dari awal pola pikirnya sudah tidak benar, dari situ kemudian timbul keragua-raguan dan berdampak pada keputusan yang salah bahkan merugikan orang banyak terlebih tidak diimbangi dengan landasan agama yang kuat. Oleh karena itu ketika seorang pelajar memiliki cara berpikir yang lurus dengan ajaran yang lurus dan keyakinannya didukung oleh doktrin atau ajaran keluarga dan lain sebagainya, disinilah timbul sikap seorang anak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinan pola pikirnya itu.KP: Mungkinkah eksistensi dan pengabdian Masisir di tanah air nanti dapat menjadi solusi untuk kemorosotan integritas bangsa?BS: Mungkin bisa mungkin tidak, karena Masisir adalah pelajar dan mahasiswa yang cuma memiliki satu kelebihan. Kita berada di tanah negeri para ulama. Kelebihan ini apabila bisa di manfaatkan dengan sebaik-baiknya akan mempunyai nilai pengaruh yang lebih kuat daripada mereka yang tidak bersinggungan langsung atau tidak hidup di lingkungan seperti ini. Pola pikirnya terbangun, keyakinannya sudah matang, kemudian dipengaruhi oleh lingkungan-lingkungan dengan berbagai macam pandangan yang berkembang, kemudian pengaruh-pengaruh lingkungan dari para staf pengajar ataupun dosen, atau para syaikh dan teman-teman ketika berdiskusi dan berdialog, semuanya akan mempengaruhi dia dan ketika dia bisa memanfaatkan lingkungan seperti ini, otomatis dia akan mampu memberikan sesuatu yang positif untuk menyelesaikan problematika integritas tersebut.

(Bersambung ke halaman 25)

Lensa KSW

19PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Page 20: PRESTãSI 97

“Kau dapat itu dari Work in Essex Country punya Vicker, kan? Halaman 98, benar? Aku juga membacanya, apa kau akan menjiplak semuanya untuk kami? Apa kau punya pendapatmu sendiri tentang ini? Atau kau memang begitu? Masuk ke dalam bar, membaca beberapa paragraf penting dan berpura-pura itu pikiranmu sendiri? Seperti itukah caramu membuat para gadis terkesan? Mempermalukan temanku? Hal menyedihkan bagi orang sepertimu, dalam 50 tahun, kau baru akan melakukan apa yang kau pikirkan. Kau akan berangkat dari fakta bahwa ada dua kepastian dalam hidup. Pertama: Jangan lakukan itu. Kedua: Kau menghabiskan 1.500 dolar untuk pendidikan yang bisa kau peroleh hanya dengan 1,5 dolar di perpustakaan umum.” –Will Hunting (Matt Damon, Good Will Hunting, 1997) ***Good Will Hunting, film klasik ini agaknya terasa baru di angkatan pemuda-pemuda sekarang. Naif memang, seberapa banyak film klasik yang berkualitas tidak diketahui oleh pemuda zaman sekarang. Mungkin film garapan Gus Van Sant yang dirilis pada tahun 1997 ini salah satunya. Sutradara yang seringkali mengangkat tema nyentrik seperti homoseksual pada filmnya “Milk” yang belum lama rilis tahun 2008 silam, atau budaya-budaya pinggiran yang termarjinalkan, menggarap tema besar edukasi pada film Good Will Hunting. Karena sebagaimana riwayat penyutradaraannya, Gus juga menyisipkan gambaran sosok orang pinggiran yang termarjinalkan di GWH pada pemeran utamanya. Yang menunjukkan bahwa pendidikan tidak hanya diukur dengan kesiapan intelejensi peserta didiknya, namun juga

psikologinya. Memperlihatkan bahwa di lingkungan yang terpinggirkan sekalipun, kepribadian yang baik perlu dibentuk.Matt Damon yang mendapat peran utama sebagai Will Hunting juga menulis skenario GWH bersama Ben Affleck, yang berperan sebagai teman karib Will, Chuckie Sullivan. Will adalah seorang janitor (petugas bersih-bersih) di sebuah kampus teknik ternama di Boston, AS, Massachussettes Institute of Technology (MIT) yang tidak sengaja ketahuan mengerjakan soal matematika yang sulit dari Profesor Gerald Lambeau (diperankan oleh Stellan Skarsgård) tentang teori algebraic graph. Teori yang tak s a t u p u n m a h a s i s w a n y a m a m p u menyelesaikannya. Sejak saat itu, Will yang tidak tertarik pada kehidupan akademis, dikejar-kejar oleh salah satu dosen di MIT itu, Gerald Lambeau, untuk bertanggung jawab atas kecerdasannya. Will, Chuckie dan kedua teman lainnya digambarkan sebagai orang-orang pinggiran tak berpendidikan yang menghabiskan waktunya untuk bekerja paruh waktu dan minum-minuman di bar pada malam hari, menggoda gadis-gadis, bersenang-senang. Gambaran remaja Amerika yang brutal juga dideskripsikan pada adegan pemukulan terhadap seorang teman Will hanya karena ia kesal padanya, hingga memukul polisi dan berujung penjaminan untuk lepas tahanan oleh Gerald Lambeau asal Wil l mau bekerjasama dengannya. Will mungkin adalah satu dari orang-orang genius yang bermasalah, membawa luka di hatinya kemana-mana, cenderung defensif dan sensitif. Tidak diceritakan bagaimana ia bisa begitu cerdas, diperkirakan ia mempunyai photographic memory, semacam ingatan super kuat. Sebagai

Pendidikan Bagi Seorang Pinggiran; Problematika Intelektualitas dan Mentalitas

Judul Film� : Good Will HuntingSutradara� : Gus Van SantPemain� � : Matt Damon, Ben Affleck, Robbin Williams, Minnie Driver, Stellan SkarsgårdTahun Rilis� : 1997Durasi� � : 126 Menit

Resensi

20 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Edisi 97, Mei 2014

Page 21: PRESTãSI 97

anak yatim yang tidak punya apa-apa, Will memiliki harga diri yang sangat tinggi. Di samping itu, ia punya cara berkomunikasi dengan orang asing yang buruk dan selalu berkata kasar pada orang-orang yang baru dilihatnya. Kecuali Skylar (diperankan oleh Minnie Driver), gadis inggris mahasiswi Harvard yang dikenalnya di bar para mahasiswa Harvard. Ia kemudian menjadi kekasihnya, sebagai bumbu romantisme di film ini.Saking payah-nya kepribadian Will, lima psikolog kenalan Gerald tidak mampu mengatasinya. Maka kemudian sampailah pada pemeran pendukung utama di film ini, Sean Maguire (diperankan oleh Robbin Williams), teman karib Gerald semasa kuliah, yang merupakan dosen psikologi di kampus Bunker Hill Community College. Masa-masa terapi psikologi Will dengan Sean merupakan, bagi penulis, bagian-bagian penting di GWH. Bukan karena Will menemukan jati dirinya bersama Sean. Will sudah menemukan jati dirinya sejak awal, ia hanya menyembunyikannya, Seanlah yang membuat ia berani mengakuinya. Perkenalan yang tidak berjalan dengan cukup baik, seperti halnya dengan psikolog-psikolog sebelumnya, juga terjadi antara Will dan Sean, dimana Will terlalu merasa bisa mengenal seseorang hanya dengan melihat salah satu bagian dari dirinya. Will merasa bahwa masalahnya adalah pada orang-orang di sekitarnya yang tidak mampu memahami dirinya. Dengan kebaikan, kesabaran dan pengertian yang berlebih, Sean mencoba memahamkan Will bahwa dirinyalah yang harus membuka dan mengenalkan dirinya pada dunia. Yang kemudian menarik dari klimaks film ini adalah ketika Sean dan Gerald berdebat akan situasi dan kondisi Will, Gerald bersikeras Will harus segera siap mental untuk menghadapi dunia, memanfaatkan kegeniusannya. Dan ia tak harus menyia-nyiakan uangnya untuk Will. Namun sebaliknya, Sean justru merasa Will masih jauh dari kesiapannya, bahkan masih perlu menentukan apa yang ia ingin lakukan, meskipun itu bukan bidang matematika. Serta perdebatan Will dan kekasihnya, Skylar,

mengenai ketidakberanian Will untuk membiarkan Skylar mencintai dirinya apa adanya. Tidak banyak kutipan-kutipan indah di film ini, justru umpatan-umpatan khas Amerika bertebaran hampir di semua adegan, hampir dari semua tokoh, yang mengurangi keindahan makna dari perkataan tersebut. Dan ada adegan membingungkan di bagian ending, ketika Will dan Sean membicarakan suatu berkas tentang kejahatan yang dilakukan Will, atau sebaliknya Will sebagai korban, dan membicarakan ayah angkatnya yang belum pernah disebut sebelumnya. Kemudian Sean terus menerus berkata “Ini bukan salahmu.” Berulang-ulang. Adegan inilah yang membuat Will akhirnya berani mengambil keputusan untuk hidupnya sendiri dan berani memilih mana yang ia yakini benar untuk dirinya. Dan emosi Will di sini, sangat alami dan menunjukkan kepiawaiannaya sebagai aktor papan atas.Film ini memenangkan beberapa nominasi, Aktor Pendukung Terbaik dan Skenario Terbaik

th thdi 70 Academy Awards, dan di 55 Golden Globe Awards. Serta beberapa penghargaan lain. Pendidikan memang harus untuk siapa saja, namun film ini menunjukkan bahwa tidak semua, bahkan yang dengan kecerdasan tinggi, siap menghadapi pendidikan. Ada bagian pada diri manusia, yang harus selalu terobati, hati nurani. Menonton film ini merupakan pilihan yang baik, sembari merenung-renungkan Hari Pendidikan Nasional. Betapa pendidikan tidak hanya membuka pikiran kita, tapi juga hati kita.***“Kau berhutang padaku. Karena besok aku akan bangun, berusia 50 tahun dan aku masih melakukan hal ini. Itu tidak apa-apa. Maksudku, kau hanya bisa duduk dengan lotre yang menang undian, tapi kau terlalu takut untuk meng-uangkan-nya. Dan itu omong kosong. Karena aku akan melakukan apa saja untuk memiliki apa yang kau miliki. Adalah sebuah penghinaan jika kau masih di sini 20 tahun lagi, berada di sini hanya membuang waktumu.” –Chuckie Sullivan, pada sahabatnya agar ia berani menghadapi dunia. (Kru Redaksi)

Resensi

21PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Page 22: PRESTãSI 97

Kepadamu, Engkau yang ada di sanaAku tulis surat ini dengan seluruh doa dan mantra dari sepanjang hari. Agar engkau yang ada di sana selalu dalam keindahan. Dan semoga, saat ini engkau juga dalam rindu. Meski tak harus sama denganku.Sejujurnya, surat ini tiada penting bagimu, saat engkau tak merasakan yang sama dengan apa yang aku rasa di sini. Dari tempat aku berdiri, melihat, dan berperilaku, ada semacam kerinduan mendalam. Dalam karena mulai tak bisa disamarkan, dan dalam karena saat ini harus aku ungkapkan.Sebelumnya, ijinkan aku mengingatkan kita pada pesan Dr. Martinet pada Minke saat menghadapi Annalies yang sakit. Ia berkata pada Minke; “Cinta tak lain dari sumber kekuatan tanpa bendungan bisa mengubah, m e n g h a n c u r k a n a t a u m e n i a d a k a n , membangun atau menggalang.” Semoga ini tak berlebihan untukmu. Begitu sederhananya aku teringat kata-kata itu sesaat memanjatkan doa dan mantra di awal surat ini. Karena memang semua ini didasarkan cinta, untuk mengubah, m e n g h a n c u r k a n , d a n m e m b a n g u n ; berperilaku. Bukan sekedar hasrat dan minat. Karena keduanya bersifat lebih temporari dari pada cinta. Semoga engkau mengawali membaca surat ini dengan dasar yang sama; cinta.Ijinkan lah aku untuk kembali mengingatkan kita tentang kenangan. Kenangan kita, bukan sekedar momentum yang berlalu di masa lampau kita. Tapi ia juga tinggal dalam pikiran. Suka-benci, baik-buruknya terkadang lebih

pada bagaimana cara kita mengingat. Dulu, sebelum jalan kita ada dan terbentang di depan mata kita, kita hanya memiliki keinginan. Rasa ingin untuk jalan yang bisa dilalui, meski kita tahu, tidak akan mudah. Dan kini, jalan itu terbentang di depan mata, memang terjal, tapi bukan berarti tak bisa dilalui untuk terus berjalan, menuju seberang; masa depan. Dahulu, bahkan saat masih berupa keinginan, belum ada impian, jalan itu dulu tetap kita tapaki.Waktu pun berjalan. Menjalani jalan yang tetap tidak mulus, setapak demi setapak. Bangunan keinginan yang menjadi modal awal pun sudah mulai bertambah; impian dan harapan. Layaknya hal yang terus berperilaku dan bergerak; bertambah dan berkurang. Tapi selama bisa melangkah, langkah itu kiranya cukup untuk menjadi alasan kita tetap bergerak menapaki jalan kita.Dan kini, di pertengahan jalan tak mulus kita ini, langkah kita sedikit melambat. Mungkin bukan karena jalan yang terlalu terjal, tapi hasrat dan minat untuk menapaki sudah mulai pudar; terlebih wujudnya cinta untuk berperilaku. Lalu seolah ada yang tak lengkap saat kita bersama menapaki jalan ini; limbung. Dan pada saat itu, kita mulai saling bertanya; apa, bagaimana, dan kenapa?Ego kita pun kadang tak kalah terjal, tapi harus dilalui. Bahkan kadang ego melupakan kita tentang bagaimana cara menapaki jalan ini; kebersamaan. Meski tak harus sama saat mengayun, meski jarak jengkal tetap berbeda, tapi setidaknya kita tetap bersama mengisi

Surat RinduOleh: Landy T. Abdurrahman*

Oase

22 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Edisi 97, Mei 2014

Page 23: PRESTãSI 97

langkah di jalan ini. Dan itu berarti, kita harus bergotong royong melalui terjal ini. Seperti Soekarno pernah mengartikan gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua untuk semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Begitu pula kita, kelak dan semoga, kita bisa bahagia bersama.Tapi, tak semua ego masing-masing kita harus menyingkir. Setidaknya, harus ada keinginan untuk menolong diri kita sendiri, karena hal ini kerap lebih sukar dari pada menolong orang lain. Dan seperti apa yang ditulis Kartini pada Nyonya Abendannon bahwa barang siapa yang dapat menolong diri sendiri, akan dapat menolong orang lain dengan lebih sempurna pula. Ya, ini yang aku harapkan dari kita, menolong diri untuk bersama. Demi langkah kita, demi terjalnya jalan kita, menuju arah depan. Bahkan, arah yang lebih jauh dari jangkauan nyawa kita; keabadian. Pram pernah menulis; “Pada akhirnya persoalan hidup adalah persoalan menunda mati, biarpun orang-orang yang bijaksana lebih suka mati sekali daripada berkali-kali.”Keabadian. Ya, ini yang ingin aku gapai bersamamu. Keabadian bukan sekedar tentang keberadaan secara wujud sepanjang waktu. Tapi juga keberlangsungan kita, jejak langkah kita, perilaku kita di jalan ini. Dan untuk menujunya, kita harus tetap melangkah, menyusuri terjal. Karena terjal tak akan pernah bisa digerus oleh waktu, tapi dengan melangkah, terjal akan terlewati. Dan juga, aku tidak ingin kita bermusuhan dengan waktu. Justru aku ingin kita berjalan bersama waktu m e n u j u m a s a d e p a n ; k e a b a d i a n . Keberlangsungan.Keabadian langkah kita mungkin sekarang hanya sebatas impian. Tapi semoga tidak ada keraguan. Bahwa akan terus ada yang menapaki jalan kita ini. Bahwa cerita di jalan kita ini tidak terhenti oleh nyawa dan waktu. Dan aku berharap kelak, akan ada yang memahami tentang kita di jalan ini. Agar jalan yang kita lalui ini tidak terlupa, agar jalan ini tidak usang oleh keangkuhan masa depan. Dan justru jalan ini

menjadi tanda bahwa kita pernah ada, menapaki, dan berperilaku di jalan ini. Semoga ini bukan sekedar impian, atau doa. Semoga ini awal untuk adanya jejak baru di jalan ini.Wahai engkau yang ada di sana.Aku tulis surat ini untuk sekedar mengingatkan kita. Bahwa jalan ini masih panjang, lebih panjang dari nyawa kita. Dan sengaja aku ingatkan diri kita tentang cerita kenangan di masa lampau dan cerita impian di masa depan. “Karena ilmu pengetahuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin yang dibuat oleh sehebat-hebatnya manusia, dia pun tidak berpribadi. Tapi sesederhana-sederhananya cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malah bisa juga (mewakili) bangsanya.” – Pram, Jejak Langkah.Terlebih, jika ada yang membaca surat ini selainmu. Agar yang membaca juga memahami bagaimana kita melangkah di terjal ini. Bagaimana kita berdamai dengan waktu untuk menuju keberlangsungan yang abadi. Semoga bukan sebagai alasan bagi yang membaca untuk sekedar hiburan atau sekedar tahu. Tapi untuk ikut menapaki jejak kita di jalan ini.Oh ya, bukan kah sudah cukup lama kita beristirahat dari langkah kita? Mari kita menapaki lagi terjalnya jalan ini. Karena seperti aku katakan tadi bahwa terjal tidak akan pernah tergerus oleh waktu, tapi dengan melangkah, terjal akan terlewati. Dan juga, seperti yang terucap saat dahulu awal kita melangkah; bahwa kita sedang bekerja untuk keabadian. Mari kita menapak lagi, mari menuju keberlangsungan masa depan. Mari menuju keabadian.Sebelum aku menulis salam penutup di surat ini, perkenankan aku untuk mengutip kata Pram di buku “Anak Semua Bangsa”nya; “Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang g i l a . B a ra n g s i a p a m e m a n d a n g p a d a penderitaannya saja, dia sakit.”Salam rindu, dariku, yang merindukan keabadian bersamamu.

*Seorang Pinggiran

Oase

23PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Page 24: PRESTãSI 97

“Aku lagi-lagi kehabisan akal.” Kau mengerutkan kening, seperti biasanya. Meniup-niup ujung rambutmu, itu tidak biasa. Agaknya kau meniru kebiasaanku. Kau masih saja ingin mengajakku kembali ke masa lalu, aku jadi tak habis pikir, juga. Di tiap lakumu, aku tak bisa membaca maksudmu. Kau terlalu misterius. Seperti di gudang tua belakang rumah tempo hari, kau membuka tiap kotak kayu di sana, menerobos lautan perkakas milik Bapak yang sudah berkarat. Aku bertanya apa kau masih bermimpi, kau hanya menggeleng dan mengerutkan kening. Tampak agak aneh, yah, sebenarnya memang sangat aneh. Aku meninggalkanmu dalam kemahsyukan yang tak bisa aku nikmati sama sekali, dan kembali ke duniaku sendiri. Sejujurnya, aku tak begitu menikmati duniaku. Aku ingin bersamamu, meski itu di luar batas logika.

***Sampai pada kaki bukit, aku menurunkan keranjang pakan ternak yang baru penuh separuh. Mengusap peluh. Paman tak tanggung-tanggung menyuruhku menelusuri belantara rumput gajah, mengarit satu keranjang rerumput yang hampir sama tinggi denganku. Aku lelah, dan kemudian kau datang dari kejauhan, sumringah. Berteriak agar suaramu terdengar olehku. Aku belum mendengarnya, kemudian kau hilang. Kulihat kau masih tersenyum. Melupakan separuh keranjangku yang masih kosong. Aku berlari mengejarmu. Ingin segera meredam rasa penasaranku. Apa gerangan yang sedang terjadi? Aku juga sebenarnya belum yakin, kalau kau sumringah, atau kau tersenyum. Menyebrangi sungai dangkal yang airnya tak jernih, keruh oleh limbah payah dari pabrik milik politisi itu, katanya. Namun kau sudah tak terlihat. Aku kembali pada monolog yang sepi. Dedaun kering yang berderak di kakiku menemani lariku yang sunyi. Rasanya bawaanku meringan, entah berjatuhan, atau memang sejak awal memang ringan. Aku mempercepat langkah dan memutuskan untuk menyusul dunia khayalmu. Tak peduli harus merenda warna kelabu di langit masa depanku sendiri. Mengikuti kegilaanmu.

“Badung!”Aku bahkan belum mulai gila, suara itu membuatku gila prematur. Paman berdiri di sana. Di depan gudang tua yang kau jadikan markas untuk laskar imajinasimu. Dan kau tak ada, seperti biasa lolos dengan mudah dari Paman tua itu. “Kambing-kambing sudah berisik tuh, kelaparan! Kamu juga kalau lapar berisik!” Serunya, berisik.“Iya, Paman.” Sautku datar.Aku bergegas ke kandang di belakang gudang tua, yang tentunya lebih tua lagi. Sesekali aku mengintipmu lewat celah-celah retakan dinding gudang, atau semerbak imajinasimu mungkin akan menyebar sampai ke kandang. Aku tak yakin sampai kapan aku akan menunggumu keluar, atau mungkin aku belum siap menjadi segila dirimu. Rumput-rumput sudah habis. Namun agaknya waktumu belum habis juga. Hingga aku berkeringat, dalam kegersangan yang melanda benakku yang tandus. Aku mundur, dan mungkin juga menyerah mengejar mimpi-mimpimu, yang bagiku hanya sekedar imajinasi. Aku mengangkat keranjang rumput. Dan menanggalkan rasa penasaranku.“Badung!” Suara itu parau, bukan paman.Aku menoleh, dan kau tersenyum, lebar. “Ayolah, ikut aku, kita kembali ke tahun 1992!” Aku merinding. “Semuanya sudah siap! Mesin waktunya sudah ketemu. Aku jamin keamanannya!” Kau terus saja mengoceh, terkekeh. Dan aku masih memikirkan bagaimana harus mendebatmu. Kau terlalu berseri-seri. Kemudian mendekatiku. “Kamu boleh saja ragu dan kehabisan waktu. Perjalanan pertama akan gratis, selanjutnya kamu harus mentraktirku. Jangan khawatir!”Aku dalam-dalam menatapmu. “Ah,..bukan begitu, Lis. Aku belum ikut asuransi kesehatan.”

***Paman tua itu bukan yang sebenarnya bagi kami, ia hanya mendapat pesan untuk merawat kami kemudian mendapat upah. Entah dari mana. Entah dari siapa. Kau selalu menduga seseorang dari masa lalu membayarnya agar mau merawat dan menyekolahkan kita. Aku tidak. Aku pikir seseorang dari masa depan yang membayarnya. Kau tak ada, lagi. Aku sendiri

Sulis HiperbolisOleh: Fulan Fulana

Sastra

24 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Edisi 97, Mei 2014

Page 25: PRESTãSI 97

melewati trotoar samping jalanan raya, dekat sekolah, mungkin ramai namun aku tidak peduli. Aku membawa seikat bunga, mawar. Hari itu hari ibu. Anak-anak di sekolah belomba memberi kata-kata yang indah untuk ibunya, atau membeli pakaian. Aku dicemooh, dikira untuk pacar, dikira tidak ingat hari ibu, lebih naas lagi dikira Sangkuriang jaman sekarang. Aku hanya berlalu, seperti biasa.Di persimpangan sebelum rumah kita, aku melihatmu sudah berada di situ. Bersama Ibu. Aku senang kau di sana bukannya di gudang tua tempat kau berimajinasi besar-besaran. Kau tampak tenang. Aku kemudian menaruh bunga yang kubawa di pusara Ibu. Aku melihat aliran itu, matamu sudah basah. Aku tak mengerti, kau tak pernah menangis. Di depanku setidaknya.“Banyak yang ingin aku rubah di masa lalu, berbagai kesalahan. Tapi bila dipikir-pikir, setidaknya aku sadar aku berbuat salah dan itu cukup. Lalu, jika itu kesalahan orang lain, apa yang harus aku putuskan?” Tangismu semakin menjadi. Aku pun semakin tak mengerti, kemana mimpi-mimpimu selama ini? Atau itu hanya bayanganku saja. “Aku ingin menjadi bijak, agar tidak perlu kamu, Paman tua itu ikut terluka.” Kamu meneruskan, terbata.“Aku juga ingin bijak, Lis. Aku ingin berada di sisimu, melindungimu sebagai saudara laki-laki yang kuat.” Aku khawatir kau terjebak kesedihan yang tak berkesudah. Aku akan bersama mimpi-mimpimu, laskar imajinasimu. “Tapi-““Tapi kamu tak percaya, Dung. Itu masalahnya, ini bukan mimpi, bukan imajinasi, ini fakta. Dan aku akan buktikan.” Kau mengerutkan kening, meredam otoritasku sebagai saudara laki-laki yang kuat. Membuatku lemah tak berdaya, tak mampu menyanding khayalanmu. “Sepertinya kamu akan terus tidak percaya.” Nada bicaramu meninggi, dan p e r g i . M e n i n g g a l k a n a k u d e n g a n I b u y a n g memperhatikan kita dari tidurnya di peristirahatan terakhirnya. Atau entah dari mana. Atau sama sekali tidak.Aku tak mau lagi berada di monolog yang sepi. Aku mengejarmu, sungguh-sungguh kali ini. Hingga aku benar-benar bersamamu. Meraih tanganmu yang terayun-ayun menampar udara. Langkahmu begiu terburu.Aku meraihmu. “Lis!” Aku menyeru padamu. “Aku ikut sekarang, bawa aku bersamamu!”

“Tapi kamu masih tak percaya, Dung.” Kau masih menangis. Aku memilih diam saja dan terus mengikuti langkah cepatmu. Meski nyatanya kau tak lebih cepat dariku. Ketika kita hampir sampai di gudang tua, markas untuk laskar imajinasimu yang nyata, Paman tua sudah ada di sampingnya menggendong keranjang rumput yang penuh hingga berjatuhan, aku teringat tugas kaki-bukit-sepulang-sekolahku. Maka aku hanya mengabaikan teriakan-teriakannya. Di telingaku, teriakan-teriakan itu begitu absurd, begitu tidak nyata. Seperti kumandang adzan dan aku sedang bermain waktu kecil, dan kadang sekarang. Aku tidak akan menyesal mengikutimu sampai ke pintu gudang tua, seolah Paman tidak akan bisa mengejar kami sampai ke sana.Dan benar saja, secara mengejutkan, ia tidak mengejar kita setelah pintu gudang tua tertutup. Pintu gudang yang tua, bila kuingat. Seperti sebelum-sebelumnya, tak ada yang berubah, lautan perkakas Bapak yang berkarat. Kau menerobosnya. Membuka salah satu kotak kayu yang cukup besar, itu yang berbeda kali ini, kau tidak lagi mencari-cari. Cahaya memendar terang di gudang yang redup ini, kau mengangkat wajahmu, menenggalamkannya dalam cahaya itu. Aku diam saja. Tiba-tiba gudang tua ini dipenuhi cahaya, aku tenggelam dengan sendirinya.

***Gudang tua kembali gelap, namun perkakas Bapak tidak lagi tercecer bekas jajahanmu. Dan juga, tidak atau belum berkarat! Aku belum selesai terkejut, kau sudah menarik tanganku, keluar dari gudang yang agaknya belum tua ini. Rumah kita masih terlihat rapih, dan ramah, tidak ada teriakan dari Paman tua itu. Seorang lelaki yang berbeda berdiri menggatikannya, aku tak begitu mengenalnya. Tapi kau mengerutkan kening, seperti biasanya. Meniup-niup ujung rambutmu, dan itu tidak biasa; agaknya kau masih sering meniru kebiasaanku. Kau langsung mengenalnya dan memilih beberapa kata untukku. Berbisik.“Sekarang tahun 1992, lihat kalender di pintu gudang!” Aku menelan ludah, tak percaya. “Kita harus mencegah Bapak pergi, Dung. Aku ingat dia pergi sekitar hari ini, atau besok, atau lusa. Hanya aku belum tahu dia pergi selamanya dari rumah waktu itu. Yang pasti kita tidak boleh sia-siakan kesempatan ini, dan kita tak akan menyesal di masa depan.”

Sastra

25PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Page 26: PRESTãSI 97

(Sambungan halaman 05, Pendidikan Integritas...)

Masisir sebagai Solusi

Sebagian besar yang membuat penulis begitu percaya diri akan peran Masisir, adalah dibarenginya segala macam forum-forum yang dibentuk oleh Masisir dengan lingkungan keilmuan sakral dari Al-Azhar yang akan mengerim ambisi berlebih bagi pelajar, dalam mengejar materi. Masisir adalah salah satu produk murni orang-orang yang belajar untuk ilmu pengetahuan, sistem prosedural yang terkadang agak rumit di Azhar membutuhkan kesabaran ekstrem bagi mahasiswa-mahasiswanya, kemudian kurikulum yang disusun masih berorientasi pada pengetahuan secara utuh dan sedikit sangkut-pautnya dengan mata pencaharian menambah kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi semua, yang jauh dari komersialisasi, untuk siapa saja. Tidak saja untuk siapa tertentu.

Akhirnya, sebagaimana disampaikan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, disebutkan bahwa pendidikan tidak hanya bertujuan untuk melahirkan generasi yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia, namun juga keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sebagai salah satu aset negara, Masisir pun perlu kembali ke negerinya dan kemudian mengabdi. Sedikit banyak memberi sumbangsih untuk kemajuan negara, mengurangi rasa pesimis ratusan juta penduduknya. Dengan berbagai kemungkinan yang diurai di atas, Masisir harus mampu hadir sebagai solusi. Integritas yang bisa dijamin, pengabdian seutuhnya untuk negara. Negara yang carut-marut oleh benturan-benturan kabar burung, yang menimbulkan ketidakpercayaan rakyat. Maka sekarang, dan sejak puluhan tahun lalu, adalah waktunya untuk mengembalikan kepercayaan itu. Untuk bangsa yang lebih jujur, tidak korup dan segala apa diraup. Selamat berpendidikan, lebih baik lagi!

(Sambungan halaman 19, Wawancara)

KP: Sejauh apa menurut Bapak peran Masisir untuk kemajuan pendidikan di Indonesia?

BS: Peran para alumni dari Mesir di Indonesia akan sangat besar ketika, pertama mampu mengakomodasikan minimal mempersatukan pandangan alumni Mesir di Indonesia, kedua mampu mempersatukan pandangan bahwa kita harus membangun pendidikan, paling tidak pendidikan agama. Kalau memang tekad itu sudah ada, in sya Allah perannya akan sangat besar. Karena yang saya lihat sampai sekarang, kita disinipun seakan-akan tidak punya tali yang kuat untuk mengikat kita, sesama Masisir, saya yakin belum ada sesuatu yang bisa mengikat kita semua untuk punya satu tujuan yang sama, apalagi para alumninya yang belum bisa bersatu atau bertemu secara langsung di Indonesia, disini saja kita masih harus terkotak-kotak dengan berbagai macam organisasi, belum karena pengaruh organisasi politik, belum karena organisasi yang lain, yang salah satu dampak negatifnya adalah memecah belah pemikiran dan pandangan kita untuk mempersatukan pandangan masa depan untuk membangun Indonesia.

KP: Terakhir, apa pesan Bapak untuk para pelajar terkait pendidikan integritas?

BS: Pesan saya, bagi kita semua yang masih belajar, sekali lagi benar-benar kita harus bisa menempatkan diri pada tantangan besar di lingkungan kita, yang barang kali kita tidak menghiraukan atau mengabaikan, tetapi suatu saat kita harus ingat, bahwasanya barangkali kondisi ini terjadi pada anak didik kita nanti, kita harus mencari solusi, agar suatu saat jika saya dituntut untuk mendidik orang lain kita punya bekal. Bahwasanya kita nanti mempunyai tanggung jawab besar terhadap diri kita sendiri untuk membenahi pola pikir kita, untuk memperkuat keyakinan komitmen kita, dan dari situ kita bisa terus mengikuti perkembangan berbagai permasalahan, kemudian kita ambil sikap dengan komitmen sesuai pemikiran kita. (Reporter: Mahfuzh Washim)

Serba-Serbi

26 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Edisi 97, Mei 2014

Page 27: PRESTãSI 97

Pilar hadir tatkala pondasi dalam proses pembangunan selesai. Agar bangunan tecipta utuh. Pilar: tiang penguat. Pilar dibangun untuk menyangga, menjadi penyangga berdirinya bangunan. Tanpa hadirnya sebuah pilar, mustahil sebuah bangunan itu akan dapat berdiri tegak, kokoh, gagah yang tak goyah sebab terjangan badai angin. Maka pilar bukan sekedar urgen tapi juga genting. Tentu, bukan sembarang pilar yang mampu bertahan kokoh menopang terjangan badai. Pilar yang telah dibubuhi dan dibalut bermacam bahan berkualitas-lah pada akhirnya tak mudah goyah. Apalagi terkikis. Kokoh. Ia bertahan bak karang tatkala diterjang ombak lautan yang buas.Pilar pendidikan di Indonesia, merujuk pada perkataan Ki Hajar Dewantara adalah pilihan terbaik buat Bangsa Indonesia. Layaknya sebuah bangunan/pembangunan integritas pendidikan bangsa Indonesia. Pondasi pendidikan bangsa adalah keluarga, sedari kecil oleh kedua orang tua, pertama dan diutamakan. Yaitu, dalam keluarga dipupuk rasa ketaatan kepada Sang Pencipta dan orang tua, kasih sayang, dan kejujuran, agar dapat menjadi pribadi makhluk Tuhan yang baik. Kemudian dilanjutkan pendidikan formal. Sekolah Dasar(SD) yang ditempuh oleh seorang anak melalui Pendidikan Kewarganegaraannya. Di SD, pendidikan hadir lebih dominan melalui praktik: sikap tenggang rasa, toleransi dan gotong royong. Hal ini berfungsi: agar menjadi manusia yang dapat bersosialisasi dengan baik. Pondasi yang ditanamkan dari dua lingkup lingkungan yang berbeda namun saling melengkapi. Lalu, bagaimana semestinya pilar pendidikan itu dihadirkan?Dalam dunia pendidikan, setidaknya manusia menempuh pendidikan formal selama tiga belas tahun. Mulai pendidikan TK, SD, SMP dan SMA. Setelah itu menempuh pendidikan strata satu, magister, doctoral. Setelah matang dalam sekolah, seorang manusia memasuki dunia pekerjaan -pengejawantahan atas keilmuan yang didalami sehingga mempunyai rupa keahlian tersendiri- baik dalam institusi negara maupun swasta. Tidak menafikan dalam dunia

pekerjaan yang sarat akan materi. Karena berhubungan dengan materi tak jarang merebak laku suap dan korupsi. Berbagai macam bentuk cara, laku dan hasil yang menggoda, menuntut seorang manusia untuk bertahan dan/atau membentengi diri dengan keras dan kuat. Pertahanan grendhel atas integritas harus jadi salah satu pilar, bukan sekedar penguat pondasi. Menjadi tidak bernilai, jika akademik dan intelektualitas seseorang yang didapat dari jenjang pendidikan yang tidak sebentar dan ditambah biaya yang tidak sedikit itu, pada akhirnya hanya berakhir dalam jeruji besi. Di penjara karena korupsi dan perilaku lacur lainnya. Maka seberapa lama pendidikan yang ditempuh serta keilmuan yang didapat, tidak dapat jadi barometer seseorang berlaku baik sesuai undang-undang kehidupan nyata.Kemudian, balutan sikap, sifat, perilaku terpuji merupakan penopang segala bujukan keburukan. Sudah selayaknya kualitas intelektual seseorang dibalut dan dihiasi dengan laku perbuatan yang terpuji. Karena, akhir-akhir ini di negeriku, Indonesia, terlalu banyak koruptor yang bertitel Doktor, alias mereka berpendidikan formal baik, tapi korupsi. Oleh karena itu intelektual dan akhlak karîmah selayaknya jadi satu kesatuan utuh. Kudu disatukan dan diserasikan, agar keduanya sama-sama bernilai secara proporsional. Maka pondasi di sini adalah segala bentuk penanaman, pelajaran dan pengajaran sikap, kemudian pilarnya berwujud kualitas akademik dan intelektual seseorang itu sendiri. Karena pencarian ilmu sejatinya tidak lain adalah pencarian kebijaksanaan. Semakin berilmu seseorang itu, semakin bijak pula pikiran, perkataan dan perbuatannya. Akhirnya, sebagai mahasiswa, kita agaknya perlu mengingat kembali perkataan bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara: “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mbagun Karso, Tut Wuri Handayani”. Figur seseorang yang baik adalah tidak hanya mampu menjadi suri tauladan dan berinovasi, namun juga mampu memberi semangat dan contoh moral yang tak amoral.

PilarOleh: Choiriya Safina

Catatan Pojok

27PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

* Kairo - Mesir *

Page 28: PRESTãSI 97