PRESENTASI KASUS
SEORANGLAKI-LAKI 51 TAHUN DENGAN FRAKTUR PROCESUS CORONOIDEUS
DEXTRA
Oleh :Anindya OktafianiG.99131015Mario
AlexanderG.99131005Martinus NuherwanG.99122115
Pembimbing:dr.Amru Sungkar, Sp.B., Sp.BP-RE.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH SUB BAGIAN PLASTIK &
REKONSTRUKSIFAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR.
MOEWARDISURAKARTA2013STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIENNama: Tn. SUmur: 51 tahunJenis Kelamin:
Laki-lakiAgama: IslamPekerjaan: BuruhAlamat: bibis baruNo. RM:
01235251Masuk RS: 25 Desember 2013
B. ANAMNESA1. Keluhan UtamaNyeri pada wajah kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang1 jam SMRS pasien mengalami
kecelakaan sepeda motor, menabrak seorang penyebrang jalan. Posisi
pasien saat jatuh, dengan wajah membentur aspal. Pasien merasakan
nyeri pada pipi kanan atas. Nyeri dirasakan terus menerus,
bertambah ketika pasien membuka mulut. Pingsan (-), muntah (-),
kejang (-), pusing (-), perdarahan (-). Oleh penolong pasien dibawa
langsung ke RS moewardi. 3. Riwayat Penyakit DahuluR. Asma:
disangkalR. Alergi makanan: disangkalR. Alergi makanan: disangkalR.
Jatuh sebelumnya: disangkalR. Mondok: disangkal
4. Riwayat Penyakit KeluargaR. Sakit jantung : disangkalR.
Hipertensi: disangkalR. DM: disangkalR. Asma: disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIKPrimary Survey1. Airway: bebas2. BreathingI:
pengembangan dada kanan = kirim RR 20 x/menitP: krepitasi (-/-)P:
sonor/sonorA: SDV (+/+), ronkhi (-/-)3. Circulation: Tekanan darah
: 100/70 mmHg, Nadi 80 x/menit4. Disability: GCS E4V5M6, reflek
cahaya (-/-), pupil isokor, lateralisasi (-)5. Exposure: suhu
36,7C, jejas (-)
Secondary Survey1. Keadaan Umum Keadaan umum: baik
Derajatkesadaran: compos mentis Derajat gizi : gizi normal2.
KepalaBentuk mesosefal, jejas (+) lihat status lokalis3. Wajah
Odema (+) lihat status lokalis4. MataHematom periorbita (-/-),
visus (N/N), pergerakan bola mata (-/-), vulnus appertum (-)5.
HidungNapascuping hidung (-), sekret (-/-), darah
(-/-),deviasi(-/-)6. MulutMukosa basah (+), sianosis (-), maloklusi
gigi (-)7. TelingaDaun telinga dalam batas normal, sekret (-), luka
(-)8. TenggorokUvula di tengah, mukosa pharing hiperemis (-),
tonsil T1 - T19. LeherBentuk normocolli, limfonodi tidak membesar,
glandula thyroid tidak membesar, kaku kuduk (-), gerak bebas,
deviasi trakhea (-), JVP tidak meningkat10. ToraksCor:Inspeksi :
iktus kordis tidak tampak Palpasi : iktus kordis tidak kuat
angkatPerkusi : batas jantung kesan tidak melebar Auskultasi: BJ
I-II intensitas normal, reguler, bising (-)Pulmo: Inspeksi:
Pengembangan dada kanan = kiriPalpasi: Fremitus raba dada kanan =
kiriPerkusi: Sonor di seluruh lapang paruAuskultasi: Suara dasar
vesikuler (+/+)Suara tambahan (-/-)11. AbdomenInspeksi: Perut
distended(-)Palpasi:SupelPerkusi: TimpaniAuskultasi: Bising usus
(+) normal12. Ekstremitas
------------Akral dingin Oedem Ikterik
13. GenitalDarah (-), urin (+)14. Status Lokalisa. Regio
maxilarisb. Regio c. Regio MandibulaI: oedem (+), vulnus ekskoriasi
1,5 x 2 cm, 0,5 x 0,5 cmP: nyeri tekan (+) regio frontal (D)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG1. Pemeriksaan LaboratoriumDarah RutinHb
: 14,6 g/dlHct : 44 %AL : 8,7 . 103 ULAT : 157 . 103 ULAE : 4,93 .
106 ULHbsAg : (-)Gol. Darah: AAPTT: 28,2 detikPT: 13,5 detikGlukosa
darah sewaktu: 112 mg/dlNatrium darah: 138 mmol/LKalium darah: 3,5
mmol/LChlorida darah: 108 mmol/L
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto WatersTampak garis fraktur pada ramus os mandibula
kananSinus frontalis kanan kiri normalSinus ethmoidalis kanan kiri
normalSinus maxilaris kanan tertutup perselubungan, kiri
normalSinus sphenoidalis kanan kiri normalMukosa cavum nasi dan
conchae nasalis inferior dalam batas normalSeptum nasi di
tengah
Kesimpulan Fraktur ramus os mandibula kananSinusitis maksilaris
kanan
Foto PanoramikTampak garis fraktur pada condylus os mandibula
kananTrabekulasi tulang di luar lesi normalCondylus kiri, ramus,
angulus, dan corpus mandibula kanan kiri tak tampak kelainanTampak
caries gigi 1.4, 1.7, 2.4, 2.6, 3.2, 4.7Tampak sisa radix gigi 1.5,
1.6, 2.7, 3.6, 3.7, 3.8, 4.6Tampak missing gigi 1.7, 2.8, 4.8Tak
tampak unerupted, impected, amalgamTak tampak cyste, granulomaTak
tampak erosi/destruksi tulangTak tampak soft tissue
mass/swelling
Kesimpulan:Fraktur condylus os mandibula kanancaries gigi 1.4,
1.7, 2.4, 2.6, 3.2, 4.7sisa radix gigi 1.5, 1.6, 2.7, 3.6, 3.7,
3.8, 4.6missing gigi 1.7, 2.8, 4.8
Foto thoraks APfoto thoraks AP (kurang inspirasi)Cor : besar dan
bentuk normalPulmo : tak tampak infiltrat di kedua lapang paru,
corakan bronkovaskuler normalSinus phrenicocostalis kanan kiri
tajamHemidiaphragma kanan kiri normalTrachea ditengahSistema tulang
baik
Kesimpulan:Cor dan pulmo tak tampak kelainan
E. ASSESMENT Fraktur os mandibula (D) Fraktur condylus os
mandibula (D)
F. PLANNING IVFD NaCl 0,9% 20 tpm Inj. Ceftriaxon 2g/24 jam Inj.
Ranitidin 50 mg/12 jam Inj Metamizole 1g/8 jam Inj. Piracetam 3g/8
jam
TINJAUAN PUSTAKATRAUMA MAKSILOFACIAL
Trauma maksilofacial ini dibagi atas fraktur pada organ yang
terjadi yaitu1 :1. Fraktur tulang hidung2. Fraktur tulang zigoma
dan arkus zigoma3. Fraktur tulang maksila (mid facial)4. Fraktur
tulang orbita5. Fraktur tulang mandibula
1. Fraktur Tulang HidungPada trauma muka paling sering terjadi
fraktur hidung.1,2,5 Diagnosis fraktur hidung dapat dilakukan
dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan hidung bagian dalam
dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai oleh adanya
pembengkakan mukosa hidung, terdapatnya bekuan dan kemungkinan
adanya robekan pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau
deviasi pada septum. Arah gaya cedera pada hidung menentukan pola
fraktur. Bila arahnya dari depan akan menyebabkan fraktur sederhana
pada tulang hidung yang kemudian dapat menyebabkan tulang hidung
menjadi datar secara keseluruhan. Bila arahnya dari lateral dapat
menekan hanya salah satu tulang hidung namun dengan kekuatan yang
cukup, kedua tulang dapat berpindah tempat. Gaya lateral dapat
menyebabkan perpindahan septum yang parah. Sedangkan gaya dari
bawah yang diarahkan ke atas dapat menyebabkan fraktur septum parah
dan dislokasi tulang rawan berbentuk segi empat.3,5
Gambaran klinis yang biasa ditemukan pada pasien dengan riwayat
trauma pada hidung atau wajah, antara lain4,5 :- Epiktasis -
Perubahan bentuk hidung- Obstruksi jalan nafas- Ekimosis
infraorbitalPemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto
sinusparanasal posisi Water dan juga bila perlu dapat dilakukan
pemeriksaan CT scan untuk melihat fraktur hidung atau kemungkinan
fraktur penyerta lainnya.2,4Fraktur nasal dapat diklasifikasikan
menjadi2,6,22 :1. Fraktur hidung sederhana, merupakan fraktur pada
tulang hidung saja sehingga dapat dilakukan reposisi fraktur
tersebut dalam analgesi lokal. Akan tetapi pada anak-anak atau
orang dewasa yang tidak kooperatif tindakan penanggulangan
memerlukan anestesi umum. 2. Fraktur tulang hidung terbuka,
menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung tersebut yang juga
disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga hidung.
Kerusakan atau kelainan pada kulit dari hidung diusahakan untuk
diperbaiki atau direkonstruksi pada saat tindakan.3. Fraktur tulang
nasoorbitoetmoid kompleksJika nasal piramid rusak karena tekanan
atau pukulan dengan beban berat akan menimbulkan fraktur yang hebat
pada tulang hidung, lakrimal, etmoid, maksila dan frontal. Tulang
hidung bersambungan dengan prosesus frontalis os maksila dan
prosesua nasalis os frontal. Bagian dari nasal piramid yang
terletak antara dua bola mata akan terdorong ke belakang.
Terjadilah fraktur nasoetmoid, fraktur nasomaksila dan fraktur
nasoorbita.
Untuk memperbaiki patah pada tulang hidung tersebut, tindakan
yang dapat dilakukan ialah2,5,7,21 :1. Reduksi tertutup, yang
dilakukan dengan analgesia lokal atau analgesia lokal dengan sedasi
ringan.Indikasi :- Fraktur sederhana tulang hidung- Fraktur
sederhana septum hidungReduksi tertutup paling baik dilakukan 1-2
jam sesudah trauma karena pada waktu tersebut edem yang terjadi
mungkin sangat sedikit. 2. Reduksi terbuka, dilakukan dengan sedasi
yang kuat atau analgesi umum. Indikasi :- Fraktur dislokasi
ekstensif tulang dan septum hidung- Fraktur septum terbuka- Fraktur
dislokasi septum kaudal- Persisten deformitas setelah reduksi
tertutup
2. Fraktur Tulang Zigoma dan Arkus Zigomaa. Fraktur
ZigomaFraktur tulang zigoma atau tulang malar selalu disebabkan
oleh kekerasan langsung. Tulang ini biasanya ke belakang atau ke
medial menuju antrum maksila sehingga berdampak disana. Fraktur
sering berupa communited fracture dan mungkin memiliki ekstensi
sepanjang dasar dari rongga orbita atau rima orbita.1,3,5,8Tulang
zigoma ini dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari tulang
temporal, tulang frontal, tulang sfenoid dan tulang maksia.
Bagian-bagian dari tulang yang membentuk zigoma ini memberikan
sebuah penonjolam pada pipi di bawah mata sedikit ke arah lateral.
Fraktur tulang zigoma ini agak berbeda dengan fraktur tripod atau
trimalar.2,9,10,24Gejala dari fraktur zigoma antara lain
adalah2,6,7,11:1) Pipi menjadi lebih rata (jika dibandingkan dengan
sisi kontralateral atau sebelum trauma)2) Diplopia dan terbatasnya
gerakan bola mata3) Edem periorbita dan ekinosis4) Perdarahan
subkonjungtiva5) Enoftalmus 6) Ptosis7) Karena kerusakan saraf
infra-orbita8) Terbatasnya gerakan mandibula9) Emfisema subkutis10)
Epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrumPenanggulangan
fraktur tulang zigoma2,12 :1) Reduksi tidak langsung dari fraktur
zigoma (oleh Keen dan Goldthwaite) Pada cara ini reduksi fraktur
dilakukan melalui sulkus gingivobukalis. Dibuat sayatan kecil pada
mukosa bukal di belakang tuberositas maksila. Elevator melengkung
dimasukkan di belakang tuberositas tersebut dan dengan sedikit
tekanan tulang zygoma yang fraktur dikembalikan pada tempatnya.
Cara reduksi fraktur ini mudah dikerjakan dan memberi hasil yang
baik.2) Reduksi terbuka dari tulang zigomaTulang zigoma yang patah
harus ditanggulangi dengan reduksi terbuka dengan menggunakan kawat
atau mini plate. Laserasi yang timbul di atas zigoma dapat dipakai
sebagai marka untuk melakukan inisis permulaan pada reduksi terbuka
tersebut. Adanya fraktur pada rima orbita inferior, dasar orbita,
dapat direkonstruksi dengan melakukan insisi di bawah palpebra
inferior untuk mencapai fraktur di sekitar tulang orbita tersebut.
Tindakan ini harus dilakukan hati-hati karena dapat merusak bola
mata.b. Fraktur arkus zigoma Arkus zigoma merupakan bagian dari
subunit wajah yang dikenal sebagai zygomaticomaxillary complex
(ZMC), yang memiliki 4 fusi tulang dengan tengkorak.7 Fraktur arkus
zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab pada tempat ini timbul rasa
nyeri waktu bicaraatau mengunyah. Kadang-kadang timbul trismus.
Gejala ini timbul karena terdapatnya perubahan letak dari arkus
zigoma terhadap prosesus koroid dan otot temporal. Fraktur arkus
zigoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan mudah dikenal
dengan palpasi.2,8,22Terdapatnya fraktur arkus zigoma yang ditandai
dengan perubahan tempat dari arkus dapat ditanggulangi dengan
melakukan elevasi arkus zigoma tersebut. Pada tindakan reduksi ini
kadang-kadang diperlukanreduksi terbuka, selanjutnya dipasang kawat
baja atau mini plate pada arkus zigoma yang patah tersebut. Insisi
pada reduksi terbuka dilakukan di atas arkus zigoma, diteruskan ke
bawah sampai ke bagian zigoma preaurikuler.
3. Fraktur Tulang Maksila (Mid Facial)Maksila (rahang atas)
menggambarkan jembatan antara superior dasar tengkorak dengan
bidang oklusal gigi inferior. Hubungan intim dengan rongga mulut,
rongga hidung dan orbita serta banyak struktur yang terkandung di
dalam dan bersebelahan dengannya membuat maksila merupakan struktur
yang penting secara fungsional dan kosmetik.Fraktur dari tulang
maksila ini berpotensi mengancam nyawa karena dapat menimbulkan
gangguan jalan nafas serta perdarahan hebat yang berasal dari
arteri maksilaris interna atau arteri ethmoidalis sering terjadi
pada fraktur maksila.2,9,14Menstabilkan pasien dengan menangani
penyulit yang serius seperti pada jalan nafas, sistem neurologis,
tulang belakang leher dan perut harus dilakukan segera sebelum
pengobatan definitif pada maksila. Jika kondisi pasien cukup baik
sesudah trauma tersebut, reduksi fraktur maksila biasanya tidak
sulit dikerjakan kecuali kerusakan tulang yang sangat hebat dan
disertai infeksi.2,9Mathog menggunakan pembagian klasifikasi
fraktur maksila menjadi 3 kategori2,7,9,15 :a. Fraktur Maksila Le
Fort IFraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur
horizontal bagian bawah antara maksila dan palatum atau arkus
alveolar kompleks. Garis fraktur berjalan ke belakang melalui
lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral.
Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah trauma dari
anteroposterior bawah dapat mengenai nasomaksila dan
zigomatikomaksila vertikal buttress, bagian bawah lamina pterigoid,
anterolateral maksila, palatum durum, dasar hidung, septum dan
apertura piriformis.
Gambar 1. Le Fort
Ihttp://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview#a0104
b. Fraktur Maksila Le Fort IIGaris fraktur Le Fort II (fraktur
piramid) berjalan melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang
lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan menyebarang ke
bagian atas dari sinus maksila juga ke arah lamin pterigoid samapi
ke fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina kirimbiformis dan
atap sel etmoid dapat merusak sistem lakrimalis.
Gambar 2. Le Fort
IIhttp://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview#a0104
c. Fraktur Maksila Le Fort IIIFraktur Le Fort III (craniofacial
dysjunction) adalah suatu fraktur yang memisahkan secara lengkap
antara tulang dan tulang kranial. Garis fraktur berjalan melalui
sutura nasofrontal diteruskan sepanjang taut etmoid melalui fisura
orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita,
sutura zigomatiko frontal dan sutura temporo-zigomatik. Fraktur Le
Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan
dishface. Fraktur maksila Le Fort III ini sering menimbulkan
komplikasi intrakranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak
melalui atap sel etmoid dan lamina kribriformis.
Gambar 3. Le Fort
IIIhttp://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview#a0104Fiksasi
dari segmen fraktur yang tidak stabil menjadi strutur yang stabil
adalah tujuan pengobatan bedah definitif pada fraktur maksila.
Prinsip ini tampak sederhana namun menjadi lebih kompleks pada
pasien dengan fraktur luas.9,21 Fiksasi yang dipakai pada fraktur
maksila ini dapat berupa2,19 :1) Fiksasi inter maksilar menggunakan
kawat baja untuk mengikat gigi.2) Fiksasi inter maksilar
menggunakan kombinasi dari reduksi terbuka dan pemasangan kawat
baja atau mini plate.3) Fiksasi dengan pin.Penanggulangan fraktur
maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang bawah dapat
menutup. Dilakukan fiksasi inter maksilar sehingga oklusi gigi
menjadi sempurna.2
4. Fraktur Tulang OrbitaFraktur maksila sangat erat hubungannya
dengan timbulnya fraktur orbita terutama pada penderita yang
menaiki kendaraan bermotor.2,17Orbita dibentuk oleh 7 tulang wajah,
yaitu tulang frontal, tulang zigoma,tulang maksila, tulang
lakrimal, tulang etmoid, tualang sphenoid dan tulang
palatina.10,13,18
Gambar 4. Orbita
menschhttp://en.wikipedia.org/wiki/File:Orbita_mensch.jpgDi dalam
orbita, selain bola mata, juga terdapat otot-otot ekstraokuler,
syaraf, pembuluh darah, jaringan ikat, dan jaringan lemak, yang
kesemuanya ini berguna untuk menyokong fungsi mata. Orbita
merupakan pelindung bola mata terhadap pengaruh dari dalam dan
belakang, sedangkan dari depan bola mata dilindungi oleh palpebra.
Dasar orbita yang tipis mudah rusak oleh trauma langsung terhadap
bola mata, berakibat timbulnya fraktur blow out dengan herniasi isi
orbita ke dalam antrum maksilaris. Infeksi dalam sinus sphenoidalis
dan ethmoidalis dapat mengikis dinding medialnya yang setipis
kertas (lamina papyracea) dan mengenai isi orbita.10,16Fraktur
orbita ini menimbulkan gejala-gejala berupa2 :a. Enoftalmusb.
Eksoftalmusc. Diplopia d. Asimetris pada muka Kelainan ini tidak
lazim terdapat pada blow out fracture dari dasar orbita. Kelainan
ini sangat spesifik terdapat pada fraktur yang meliputi pinggir
orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zigoma.e.
Gangguan saraf sensorisHipestesia dan anestesia dari saraf sensoris
nervus infra orbitalis berhubungan erat dengan fraktur yang
terdapat pada dasar orbita. Bila pada fraktur timbul kelainan ini,
sangat mungkin sudah mengenai kanalis infra orbitalis. Selanjutnya
gangguan fungsi nervus infra orbita sangat mungkin disebabkan oleh
timbulnya kerusakan pada rima orbita.
5. Fraktur Tulang MandibulaDisebabkan oleh kondisi mandibula
yang terpisah dari kranium. Penanganan fraktur mandibula ini sangat
penting terutama untuk mendapatkan efek kosmetik yang memuaskan,
oklusi gigi yang sempurna, proses mengunyah dan menelan yang
sempurna.2,10,16Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakkan
berdasarkan adanya riwayat kerusakan rahang bawah dengan
memperhatikan gejala sebagai berikut2,7 :a. Pembengkakan, ekimosis
ataupun laserasi pada kulit yang meliputi mandibula.b. Rasa nyeri
yang disebabkan kerusakan pada nervus alveolaris inferior.c.
Anestesia dapat terjadi pada satu bibir bawah, pada gusi atau pada
gigi dimana nervus alveolaris inferior menjadi rusak. d. Maloklusi,
adanya fraktur mandibula sangat sering menimbulkan maloklusi.e.
Gangguan morbilitas atau adanya krepitasi.f. Rasa nyeri saat
mengunyah.g. Gangguan jalan nafas, kerusakan hebat pada mandibula
menyebabkan perubahan posisi, trismus, hematoma, serta edema pada
jaringan lunak.Dingman mengklasifikasi fraktur mandibula secara
simpel dan praktis. Mandibula dibagi menjadi 7 regio2,7 : a. Badan
atau korpus mandibulab. Simfisis mandibulac. Angulus mandibulad.
Ramus mandibulae. Prosesus koronoidf. Prosesus kondilusg. Prosesus
alveolarisFraktur yang terjadi dapat pada satu, dua atau lebih pada
regio mandibula ini. Frekuensi tersering terjadinya fraktur ialah
prosesus kondilus kemudian diikuti oleh korpus mandibula, angulus
mandibula, simfisis mandibula, prosesus alveolaris, ramus mandibula
dan prosesus koronoid.2,7,11,19
Gambar 5. Mandibula dan
bagiannyahttp://www.darplastic.com/umum/bagian-ketiga.html
Perbaikan fraktur mandibula menerapkan prinsip-prinsip umum
pembidaian mandibula dengan geligi utuh terhadap maksila. Lengkung
geligi atas biasanya diikatkan pada lengkung gigi bawah memakai
batang-batang lengkung ligasi dengan kawat. Batang-batang lengkung
ini memiliki kait kecil yang dapat menerima simpai kawat atau
elastis guna mengikatkan lengkung gigi atas ke lengkung kiki bawah.
Fraktur mandibula yang lebih kompleks mungkin memerlukan reduksi
terbuka dan pemasangan kawat ataupun pelat secara langsung pada
fragmen-fragmen guna mencapai stabilitas, disamping melakukan
fiksasi intermaksilaris dengan batang-batang lengkung. 7
6. Evaluasi dan PenatalaksanaanPerawatan awal bergantung pada
kepatahan cedera. Cedera rahang wajah dan sedera laring dapat
bervariasi mulai dari fraktur tulang hidung tanpa epistaksis
bermakna dan hanya dengan deeformitas hidung minor hingga cedera
remuk wajah yang paling luas dimana melibatkan secara luas seluruh
kepala dan leher. Perawatan awal berupa evaluasi umum secara cepat
dari tanda-tanda vital pasien dan bila perlu pelaksanaan
tindakan-tindakan dasar penyokong hidup.11,19,25Pemeliharaan jalan
nafas merupakan prioritas pertama dan dapat memerlukan penghisapan
rongga mulut dan hidung untuk mengeluarkan darah atau debris
lainnya. Bila pasien dalam keadaan koma atau bila fraktur mandibula
mengakibatkan dasar mulut menjadi tidak stabil disertai prolaps
lidah ke dalam faring, maka suatu jalan nafas oral mungkin
diperlukan. Jika untuk alasan apapun suatu jalan nafas oral
ternyata tidak memuasakan dan ventilasi trakea merupakan keharusan
maka intubasi endotrakea merupakan metode terpilih. Trakeostomi
darurat perlu dihindarkan bila mungkin, oleh karena prosedur ini
penuh bahaya jika operator tidak btul-betul mengenal anatomi dan
telah berpengalaman dalam teknik bedah ini. Trakeostomi darurat
perlu harus dibatasi pada keadaan dimana segala tindakan lain telah
gagal atau jika dicurigai terjadi cedera laring.11,19,23Prioritas
kedua dalam penatalaksanaan awal pasien trauma adalah pemeliharaan
curah jantung yang memadai. Penyebab tersering dari curah jantung
yang tidak adekuat pada pasien trauma adalah syok hipovolemik.
Keadaan ini biasany berespon dengan penggantian volume dan tindakan
hemostatik yang tepat. Setelah stabilitas tercapai maka menyusul
tindakan resusitatif awal, dilakukan pemeriksaan kepala dan leher
secara sistematis.11,23a. Anamnesis dan pemeriksaan fisikSeperti
cedera pada sistem organ lain, maka evaluasi awal pada trauma
kepala dan leher memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
lengkap dan akurat. Riwayat peristiwa trauma harus termasuk saat
cedera serta deskripsi rinci mengenai keadaan sekeliling pada saat
insiden terjadi. Detil seperti apakah pasien mengenakan sabuk
pengaman, kecepatan kendaraan, dapat memberi petunjuk cedera yang
harus dicari.1,5,11Pemeriksaan fisik harus dilakukan sesegera
mungkin oleh karena pembengkakan akan menyamarkan deformitas tulang
maupun tulang rawan. Hal pertama yang harus diamati adalah status
kesadaran pasien, oleh karena adanya cedera otak merupakan
prioritas pertama dalam penatalaksanaan pasien setelah fungsi
pernapasan dan kardiovaskular stabil. Jaringan lunak yang menutup
kepala dan leher perlu di inspeksi secara cermat dan menyeluruh
guna mencari laserasi termasuk bagian dalam telinga, hidung dan
mulut. Mobilitas wajah perlu perhatian khusus karena ada tidaknya
paralisis saraf ketujuh sangat penting artinya dalam
penatalaksanaan pasien berikutnya. Semua luka perlu dieksplorasi
cukup dalam untuk menentukan apakah ada cedera tulang atau tulang
menjadi terpapar atau apakah terdapat benda asing dalam luka.11,
19Pemeriksaan mempalpasi seluruh kepala dan leher mulai dari puncak
kepala dan bergerak kebawah, untuk mencari fraktur yang tergeser
atau struktur gerak yang abnormal. Integritas sutura
frontozigomatikus perlu diperhatikan, dimana biasanya mengalami
fraktur. Perhatian khusus diarahkan pada daerah frontal dimana
fraktur sinus dapat menimbulkan komplikasi intrakranial yang cukup
bermakna, seperti fistula cairan cerebrospinal, yang mana
memerlukan penanganan segera. Fraktur sinus frontalis biasanya
ditandai dengan suatu lekukan pada daerah tengah dahi. Terkadang
fragmen-fragmen fraktur dapat dipalpasi pada lapisan epidermis,
atau sedalam luka jaringan lunak. Pada palpasi hidung, perlu
diperhatikan adanya deformitas tulang atau gerakan abnormal,
khususnya septum. Mobilitas septum paling baik ditentukan dengan
memegang septum anterior dengan ibu jari dan jari tengah dan
ditekan dari samping. Pipi perlu dipalpasi apakah ada nyeri tekan
yang biasanya menunjukan fraktur zigoma. Seluruh mandibula
seharusnya dipalpasi untuk menentukan ada nyeri tekan yang
mengesankan fraktur. Gerakan mandibula yang abnormal ataupun
fraktur tergeser dapat juag diketahui dari palpasi. Gigi perlu
duperiksa apakah ada gerakan abnormal ataupun peka nyeri oleh
karena fraktur dan luksasi gigi memerlukan penanganan segera. Leher
perlu dipalpasi untuk menentukan apakah ada udara bebas yang
memberi kesan ruptur percabangan trakeobronkhial, serta untuk
mencari krepitasi atau nyeri tekan di atas laring yang mengesankan
fraktur laring.11,23Cedera vertebra cervikalis, seperti cedera
ataupun dislokasi dapat disyaratkan oleh spasme otot tengkuk, namun
hal itu tidak selalu terjadi. Dianjurkan imobilisasi pada cedera
berat adalah seolah-olah telah terjadi suatu cedera vertebra
servikalis, sampai secara radiografi danklinis dapat dibuktikan
bahwa vertebra servikalis dalam keadaan normal.11,25b. Pemeriksaan
radiografiPemeriksaan radiografi dan pemeriksaan lainnya dapat
membantu mencapai diagnosis yang akurat setelah dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Fraktur hidung biasanya paling baik terlihat
dengan radiogram lateral, sementara fraktur sepertiga tengah wajah
dan sinus paranasal paling jelas diperlihatkan dengan proyeksi
waters. Penilaian laminagrafik dapat sangat membantu dalam usaha
menentukan apakah ada fraktur dasar orbit ataupun fossa kranii
anterior. Fraktur mandibula paling jelas terlihat dalam pandangan
oblik atau lebih disukai dengan radiogram panoramik. CT scan
mungkin akan sangat membantu dalam mendiagnosis cedera tulang wajah
ataupun laring. Laserasi pipi yang hebat dapat dievaluasi
menggunakan teknik sialografi guna menentukan apakah duktus parotis
masih utuh.11,19c. Prioritas tindakanDalam perawatan pasien trauma
telah dikembangkan suatu skala prioritas yang sangat jelas menyusul
tindakan resusitasi yang bertujuan menstabilkan jalan napas dan
mempertahankan curah jantung. Urutannya adalah : 1. Evaluasi dan
penanganan tiap cedera SSP, 2. Evaluasi dan penanganan tiap cedera
abdomen ataupun toraks, 3. Penanganan trauma pada jaringan lunak,
wajah dan ekstremitas dan 4. Reduksi dan fiksasi dari fraktur wajah
dan ekstremitas. Bilamana diterapkan pada kasus trauma wajah maka
panduan ini mengharuskan luka jaringan lunak ditutup dalam empat
hingga enam jam pertama setelah cedera.11,25
DAFTAR PUSTAKA
1. Ceallaigh PO, Ekanaykaee K, Beirne CJ, Patton DW. 2006.
Diagnosis and management of common maxillofacial injuries in the
emergency department. Part 1: advanced trauma life support. Emerg
Med J, volume : 23, pp. 796-797.2. Ranjit BS, Jeevan VP, Chaitan
SN, Prakash ST, Shilpa Kokate. 2011. Maxillofacial injuries in the
pediatric patient: an overview. World Journal of Dentistry, volume
1, pp. 77-81.3. Scariot R, Oliveira IA, Luis AP, Rebellato NL,
Muller PR. 2009. Maxillofacial injuries in a group of brazilian
subjects under 18 years of age. J Appl Oral Sci, volume : 17 (3),
pp 195-8.4. Exadaktylos AK, Bournakas T, Eggli S, Zimmermann H,
Lizuka T. 2001. Maxillofacial injuries related to work accidents: a
new concept of a hospital-based full electronic occuptional traum
surveillance system. Occup. Med, volume: 52(1), pp: 45-48.5.
Stewart C, Flechti JF, Wolf SJ. 2008. Maxillofacial Trauma:
Challenges in ED diagnosis and management. Emerg Med Practice,
volume 10 (2), pp 1-20.6. Raval CB, Rashiduddin M. 2011. Airway
management in patients with maxillofacial trauma A retrospective
study of 177 cases. Saudi Journal of Anaesthesia, volume : 5, pp
9-14.7. Adeyemo WL, Ldeinde AL, Ogunlewet MO, James O. 2005. Trends
and characteristics of oral and maxillofacial injuries in Nigeria:
a review of the literature. Head and Face Medicine, volume 1(7), pp
1-9.8. Yadav SK, Mandal BK, Karn A, Sah AK. 2012. Maxillofacial
trauma with head injuries at a tertiary care hospital in Chitwan,
Nepal: clinical, medico-legal, and critical care concerns. Turk J
Med Sci, volume : 42, pp 1505-1512.9. Aldelaimi TN. 2012. Surgical
management of maxillofacial injuries in Iraq. Dentistry volume : 2,
p 11310. Agrawal M, Kang LS. 2010. Midline submental orotracheal
intubation in maxillofacial injuries: a substitute to tracheostomy
where postoperative mechanical ventilation is not required. J
Anaesth Clin Pharmacol, volume : 26 (4), pp:498-50211. Peterson K,
Hayes DK, Blice JP, Hale RG. 2008. Prevention and management of
infections associated with combat-related head and neck injuries. J
Trauma, volume : 64, pp 265-276.12. Saddki N, Suhaimi AA, Daud R.
2010. Maxillofacial injuries associated with intimate partner
violence in women. BMC Public Health. Volume : 10, p: 26813. Chen
CT, Chen YR (2010). Traumatic superior orbital fissure syndrome :
current management. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction, 3:
9-1614. Kraft A, Abermann E, Stigler R, Zsikovits C, Pedross F,
Kloss F , Gassner R (2012). Craniomaxillofacial trauma : synopsis
of 14654 cases with 35129 injuries in 15 years. Craniomaxillofac
Trauma Reconstruction, 5 : 41-50.15. Krausz A, el Naaj IA, Barak M
(2009). Maxillofacial trauma patient : coping with the difficult
airway. World Journal of Emergency Surgery, 4 : 21.16. Pappachan B,
Alexander M (2012). Biomechanics of cranio-maxillofacial trauma. J.
Maxillofac Ora; Surg, 11(2) : 224-230.17. Bali R, Sharma P, Ggarg
A, Dhillon G (2013). A comprehensive study on maxillofacial trauma
conducted in Yamunanagar, India. J Inj Violence Res, 5(2): 108-116.
18. Movahed R, Pinto L, Ryan CM, Allen W, Wolford L (2013).
Application of cranial bone grafts for reconstruction of
maxillofacial deformities. Proc (Bayl Univ Med Cent),
26(3):252255.19. Lee E, Mohan K, Koshy J, Holier L (2010).
Optimizing the Surgical Management ofZygomaticomaxillary Complex
Fractures. Semin Plast Surg, 24:389397.20. Roth F, Koshy J,
Goldberg J, Soparkar C (2010). Pearls of Orbital Trauma Management
. Semin Plast Surg, 24:398-410.21. Pau C, Barrera J, Kwon J, Most S
(2010). Three-Dimensional Analysis of Zygomatic-Maxillary Complex
Fracture Patterns. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction,
3:167176. 22. Guly CM, Guly HR, Bouamra O, Gray RH, Lecky FE
(2010). Ocular injuries in patients with major trauma. Emerg Med J,
23:915917.23. Yates DW (1990). Scoring systems for trauma. BMJ, 301
: 1090-1094.24. Kretlow J, Aisha J, Izaddost S (2010). Facial Soft
Tissue Trauma. Semin Plast Surg, 24:349-356.25. Olate S, Assis A,
Pozzer L, Pereira L, Moraes M (2013). Pattern and treatment of
mandible body fracture. Int J Burn Trauma 3(3):164-168.
11