PREEKLAMPSIA BERAT, HELLP SINDROM PARSIAL DENGAN HIPERTIROID PRESENTASI KASUS Universitas Andalas Oleh : Mairunzi Pembimbing : Dr. Hj. Putri Sri Lasmini, SpOG (K) BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND RS Dr. M.DJAMIL PADANG 2013
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PREEKLAMPSIA BERAT, HELLP SINDROM
PARSIAL DENGAN HIPERTIROID
PRESENTASI KASUS
Universitas Andalas
Oleh :
Mairunzi
Pembimbing :
Dr. Hj. Putri Sri Lasmini, SpOG (K)
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND
RS Dr. M.DJAMIL PADANG 2013
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................i
DAFTAR TABEL ......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS ......................................................................... 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 24
A. PREEKLAMPSIA BERAT DENGAN HELLP SINDROM ......... 24
Penurunan dosis menjadi 300 mg sehari setelah tercapai remisi
Dosis diturunkan menjadi 150 mg sehari sampai kelahiran anak dan
dinaikkan kembali menjadi 300 mg jika dengan dosis 150 mg sehari
tidak bisa mengontrol hipertiroid.
Jika terapi medikamentosa tidak dapat mengontrol keadaan
hipertiroid atau terdapat toksik atas terapi medikamentosa, dapat
dipertimbangkan untuk melakukan tiroidektomi. Tiroidektomi dalam
kehamilan harus dilakukan dengan hati-hati dan pertimbangan yang
matang, karena bahaya badai tiroid dan vaskularisasi kelenjar yang
meningkat. (Negro and Mestman, 2011)
Propranolol telah banyak dipakai pada hipetiroid dengan
kehamilan. Penggunaan propranolol pada wanita hamil dilaporkan
dapat mengakibatkan plasenta kecil, gangguan pertumbuhan
janin, postnatal bradikardi dan hipoglikemi. Atas dasar ini maka
40
beta bloker tidak dianjurkan sebagai obat pilihan pertama pada
hipertiroid dengan kehamilan. Walaupun demikian pada keadaan
tertentu misalnya hipertiroid berat, krisis tiroid maka propranolol
dapat dipakai secara kombinasi misalnya dengan iodida.
Pemakaian jangka pendek agaknya tidak mempengaruhi
janin.(Negro and Mestman, 2011)
Pembedahan hanya dilakukan pada penderita yang sangat
alergi terhadap tionamid, tidak berhasil dengan pengobatan anti
tiroid dan sekat-beta atau pada mereka dengan gejala mekanik
akibat penekanan dari struma. Biasanya pembedahan baru
dilakukan pada trisemester kedua. Worley dan Crosby dari
Oklahoma Universtiy meneliti secara restrospektif kasus-kasus
hipertiroid hamil selama 12 tahun. Ternyata pada penderita
hipertiroid hamil yang mendapat obat anti tiroid (pada penelitian ini
dipergunakan PTU) sebanyak 70% melahirkan bayi aterm.
Sebaliknya mereka yang diobati dengan pembedahan ternyata
hanya mendapat pengobatan bedah sebanyak 43% sedang yang
hanya mendapat obat antitiroid hanya 20%. Oleh karena itu
mereka menyimpulkan bahwa pengobatan yang terbaik untuk
wanita hamil dengan hipertiroid ialah dengan obat anti tiroid.
Pembedahan hanya dilakukan pada keadaan-keadaan tertentu.
(Negro and Mestman, 2011)
Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa persalinan
hipertiroid dapat menjadi lebih berat. Oleh karena itu dengan
sendirinya dosis obat antitiroid perlu dinaikkan lagi. Dengan
sendirinya harus dicari obat yang aman, yang tidak melalui air
susu ibu sehingga tidak mempengaruhi keadaan tiroid bayi.
Menurut penelitian, PTU hampir tidak melewati air susu ibu dan
dianggap aman untuk dipakai selama laktasi. (Mestman, 2004)
Badai tiroid jarang terjadi dan terutama didapatkan pada pasien
yang tidak mendapat terapi. Badai tiroid adalah suatu keadaan
emergensi endokrin, dimana terjadi suatu status hipermetabolik yang
41
ditandai oleh hiperpireksia, takikardi dan agitasi. Tekanan darah bisa
normal atau meningkat. Bisa terjadi sinus takikardi, disritmia atrium dan
kadang-kadang gagal jantung kongestif. Jika keadaan tersebut tidak
segera ditangani, bisa terjadi hipotensi dan kolaps kardiovaskuler karena
pelepasan katekolamin periferal dalam jumlah besar.. Penatalaksanaan
mencakup pemberian -bloker intravena, dapat berupa propranolol,
labetalol atau esmolol. Esmolol dikatakan memiliki efek kardioselektif
yang lebih baik. Diberikan propranolol 20 mg intravena dan dilanjutkan
dengan dosis oral sebanyak 20-80 mg setiap 6 jam. Harus diperhatikan
pemberian cairan, karena terjadi peningkatan perspirasi.(Mestman, 2004)
PTU diberikan dengan dosis 1 gram oral atau melalui NGT. PTU
dilanjutkan dengan dosis 200 mg tiap 6 jam. 1 jam setelah pemberian
PTU, harus diberikan iodida untuk menghambat pelepasan T3 dan T4
dari kelenjar tiroid. Diberikan sebagai tetesan larutan supersaturasi
sebanyak 5 tetes (SSKI/supersaturated potassium iodide) tiap 8 jam
atau larutan Lugol 10 tetes tiap 8 jam. Jika alergi terhadap iodida, dapat
diberikan litium karbonat 300 mg tiap 6 jam. (Mestman, 2004)
42
BAB IV
DISKUSI
Telah dilaporkan kasus seorang pasien 32 tahun masuk KB IGD
RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 03 Januari 2013 dengan
diagnosa G2P1A0H1 Gravid aterm + PEB dalam regimen SM dosis
maintenance + HELLP Syndrom parsial + Hipertiroid. Janin hidup tunggal
intrauterin presentasi kepala HI.
Pasien ditatalaksana dengan seksio sesarea atas indikasi gravid
aterm, tidak inpartu + PEB + HELLP Syndrom parsial dengan penyulit.
Lahir seorang bayi perempuan ( ♀ ) dengan berat badan 3156 gram,
panjang badan 47 cm, dengan Apgar score 7/9.
Pada kasus ini terdapat beberapa hal yang akan menjadi fokus
diskusi antara lain :
1. Apakah diagnosa pada pasien ini sudah tepat ?
2. Apakan penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat ?
3. Apakah pengaruh hipertiroid terhadap kehamilan ?
1. Apakah diagnosa pada pasien ini sudah tepat ?
Pasien ini didiagnosa dengan G2P1A0H1 Gravid aterm + PEB dalam
regimen SM dosis maintenance + HELLP Syndrom parsial + Hipertiroid.
Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala HI. Diagnosa ditegakkan
berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosa G2P1A0H1 gravid aterm ditegakkan atas dasar pasien
tidak haid sejak ± 9 bulan yang lalu, dengan hari pertama haid terakhir
lupa. Tidak terdapat tanda – tanda inpartu dan tanda – tanda impending
eklampsia. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesimpulan gravid aterm,
punggung dikiri, presentasi kepala. Taksiran berat janin sekitar 3255 gram,
tidak ada his, dan denyut jantung janin dalam batas normal.
Diagnosa pre eklampsia berat dan HELLP sindrom parsial
ditegakkan atas dasar tekanan darah 170/110 mmHg, proteinuria ++, LDH
694 u/L. Tetapi tidak didapatkannya tanda-tanda nyeri epigastrium,
43
pandangan kabur, dan nyeri kepala. Dimana menurut kepustakaan
terutama nyeri epigastrium adalah gejala yang paling penting pada HELLP
sindrom, ditemukan pada semua (100%) kasus (29 kasus) oleh Weinstein
pada tahun 1982. Setengah dari pasien (50%) pada sindrom HELLP kelas
1, 33% pada kelas 2, dan 16% pada kelas 3 dibandingkan dengan hanya
13% pada pasien preeklampsia berat tanpa HELLP sindrom. Nyeri
epigastrium yang sering terjadi berhubungan dengan mual atau muntah.
Secara keseluruhan, insiden nyeri epigastrium / mual / muntah antara 30-
90%. Setiap pasien hamil dengan myeri epigastrium atau nyeri kuadran
atas kanan yang muncul pada trimester kedua, terutama dengan mual dan
/ atau muntah, diagnosa sebagai sindrom HELLP sampai terbukti tidak.
Seorang pasien hamil dengan tanda-tanda dan gejala preeklamsia berat
yang tiba-tiba menjadi bertambah parah, nyeri sangat pada epigastrium /
nyeri perut atas kemungkinan terjadi perdarahan atau ruptur hepar dan
merupakan suatu kegawatdaruratan di kebidanan.(James N. Martin Jr et al., 2006)
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, ada dua klasifikasi
pada sindroma HELLP. Menurut Audibert dkk (1996) dikatakan sindroma
HELLP parsial apabila hanya dijumpai satu atau lebih perubahan
parameter sindroma HELLP seperti hemolysis (H), elevates liver enzymes
(EL) dan low platelet (LP). Dan sindroma HELLP murni apabila dijumpai
perubahan pada ketiga parameter tersebut. Selanjutnya sindroma HELLP
parsial dapat dibagi atas beberapa sub grup, yaitu Hemolysis (H), Low
Platelet counts (LP), Hemolysis + low platelet counts (H+LP), dan
hemolysis + elevated liver enzymes (H+EL). (Roeshadi, 2004, James N. Martin Jr et al.,
2006)
Klasifikasi yang kedua hanya berdasarkan jumlah platelet. Menurut
klasifikasi ini, Martin (1991) mengelompokkan penderita sindroma HELLP
dalam 3 kategori, yaitu: kelas I jumlah platelet 50.000/mm3, kelas II
jumlah platelet > 50.000 - 100.000/mm3, dan Kelas III jumlah platelet
>100.000 - 150.000/mm3.(Roeshadi, 2004)
44
Diagnosa hipertiroid ditegakkan atas dasar riwayat menderita
hipertiroid sejak ± 1 tahun yang lalu, minum obat secara teratur, PTU,
kemudian sejak hamil pasien tidak minum obat lagi.
Pada pasien ini didapatkan kadar T4 yang tinggi, tetapi nilai T4 total
saja tidak bermanfaat pada wanita hamil, karena nilainya yang tinggi
merupakan respon terhadap estrogen yang meningkatkan TBG. Kadar T3
dan T4 total meningkat seiring meningkatnya konsentrasi TBG. Free T3
dan T4 dalam batas normal tinggi pada trimester pertama dan kembali
normal pada trimester kedua. Peningkatan kadar T3 menunjukkan
toksisitas. Pemeriksaan TSH saja sebaiknya tidak dijadikan acuan dalam
mendiagnosa hipertiroid dalam kehamilan.
PEB pada pasien ini kemungkinan berhubungan dengan hipertiroid.
Wanita dengan tirotoksikosis memperlihatkan hasil akhir kehamilan yang
umumnya bergantung pada tercapainya kontrol metabolik. Tiroksin yang
berlebihan dapat menyebabkan keguguran. Pada wanita hamil yang tidak
diobati atau tetap hipertiroid meskipun diterapi, terjadi peningkatan insiden
preeklampsia, gagal jantung, dan outcome perinatal. (Cunningham et al., 2010c)
Diagnosa pada pasien ini perlu ditambahkan anemia ringan karena
didapatkan hemoglobin yang menurun ( 10 gr% ). Dimana anemia
didefinisikan sebagai kadar hemoglobin yang kurang dari 12 gr/dL pada
wanita tidak hamil dan kurang dari 10 gr/dL selama hamil dan masa nifas.
Sedangkan menurut The Centers for Disease Control and Prevention
(1998), anemia pada wanita hamil, dimana didapatkan kadar hemoglobin
kurang atau sama dengan 11 gr/dL pada trimester satu dan tiga, dan 10,5
gr/dL pada trimester kedua.(Cunningham et al., 2010a)
2. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat ?
Setelah diagnosa ditegakkan, didapatkan kesimpulan pasien hamil
anak kedua, cukup bulan dengan PEB, HELLP sindrom dan hipertiroid.
Kemudian diputuskan untuk dilakukan terminasi secara seksio sesarea.
Keputusan diambil atas dasar kehamilan aterm dengan PEB dan HELLP
sindrom parsial ditambah dengan penyulit berupa hipertiroid.
45
Sampai saat ini penangan sindroma HELLP masih kontroversi.
Beberapa peneliti menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera
tanpa memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya resiko
maternal serta jeleknya luaran perinatal apabila kehamilan diteruskan.
Beberapa peneliti lain menganjurkan pendekatan yang konservatif untuk
mematangkan paru-paru janin dan memperbaiki gejala klinis ibu . Namun
semua peneliti sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satu-
satunya terapi defenitif. (Roeshadi, 2004)
Penanganan sindroma HELLP lebih sulit bila dibandingkan dengan
penanganan pre eklampsia, disamping itu perlu penanganan bersifat multi
disiplin. Prioritas pertama adalah stabilisasi kondisi ibu terutama terhadap
tekanan darah, balans cairan dan abnormalitas pembekuan darah.
(Roeshadi, 2004)
Seperti penanganan preeklampsia, pemberian sulfas magnesikus
masih merupakan pilihan utama. Transfusi dan pemberian trombosit
sering diperlukan untuk mengatasi anemia ataupun koagulopati, tetapi
pemberian transfusi darah harus hati-hati dengan memperhitungkan
keseimbangan cairan, apalagi pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal. Pemberian trombosit dapat dipertimbangkan apabila kadar
trombosit kurang dari 50.000 /mm3, apalagi jika seksio sesarea akan
dilakukan.(Roeshadi, 2004)
Kadang-kadang hasil pemeriksaan laboratorium tidak
menggambarkan jauhnya kerusakan yang terjadi pada jaringan hepar,
jumlah penumpukan fibrin, perdarahan dan lobular nekrosis. Itulah
sebabnya beberapa peneliti seperti Weinstein kurang menyetujui
penanganan konservatif dan lebih menganjurkan untuk segera melakukan
terminasi kehamilan.(Roeshadi, 2004)
Tompkins dan Thigarajah (1999) melaporkan pemberian
kortikosteroid baik Betametason maupun Deksametason untuk
meningkatkan pematangan paru, meningkatkan jumlah platelet,
mempengaruhi fungsi hepar (kadar SGOT,SGPT dan LDH menurun) serta
46
memungkinkan untuk pemberian anastesia regional.(James N. Martin Jr et al.,
2006)
Adanya sindroma HELLP tidak merupakan indikasi untuk
melahirkan segera dengan cara seksio sesarea. Yang harus
dipertimbangkan adalah kondisi ibu dan anak. Ibu yang telah mengalami
stabilisasi dapat melahirkan pervaginam, bila tidak ada kontra indikasi
obstetrik. Persalinan dapat diinduksi dengan oksitosin pada semua
kehamilan 32 minggu. Ataupun kehamilan < 32 minggu dengan serviks
yang telah matang untuk diinduksi. Pada kehamilan < 32 minggu dengan
serviks yang belum matang, seksio sesarea elektif merupakan
pilihan.(Roeshadi, 2004)
3. Apakah pengaruh hipertiroid terhadap kehamilan ?
Selama kehamilan disimpulkan terjadi peningkatan kebutuhan
hormon tiroid T3 dan T4 akibat peningkatan metabolisme ibu dan janin
terutama T3 yang merupakan hasil konversi T4 dijaringan otak berfungsi
untuk perkembangan susunan saraf pusat janin, peningkatan kebutuhan
T3 dan T4 diikuti dengan peningkatan kebutuhan iodida, peningkatan
proses coupling Iodine dengan thyroglobulin di folikel tiroid menjadi T3 dan
T4. selama trimester pertama hormon tiroid ibu bisa langsung masuk ke
sirkulasi janin dan mencukupi kebutuhan janin. Ini terbukti dari penelitian
Contempre yang mengukur kadar hormon tiroid janin pada kehamilan 5
minggu pada coelomic dan cairan amnion didapatkan kosentrasi 10 kali
lebih tinggi dari sirkulasi ibu dan ketika mencapai usia kehamilan 11
minggu kosentrasinya meningkat sampai 100 kali dibandingkan
konsentrasi darah ibu, kondisi ini disertai peningkatan kadar hormon tiroid
terutama pada sirkulasi fetomaternal dibandingkan pada sirkulasi organ di
tempat lain.
Kebutuhan tiroid ibu selama trimester pertama ini dipacu dengan
peningkatan Tiroid Stimulating Hormon ( TSH ), Adanya peningkatan HCG
trimester pertama yang ternyata juga mempunyai efek stimulasi pada
reseptor TSH di kelenjar tiroid ibu, Peningkatan produksi Thyroid binding
globulin ketika trimester pertama pada sirkulasi ibu sebagai sarana
47
transpor hormon, peningkatan kebutuhan iodida. Efek dari keseluruhan
hal diatas ditandai dengan pembesaran fisiologis kelenjar tiroid selama
hamil.
Selama trimester kedua, tiroid janin telah terbentuk dan berfungsi,
sejalan dengan telah diproduksinya TSH janin dari otak, maka hormon
tiroid ibu tidak lagi mutlak diperlukan ini terbukti setelah trimester kedua fre
T4 (FT4) ibu sangat sedikit ditemukan pada sirkulasi janin. Hal ini
disebabkan permeabilitas yang rendah villichorialis plasenta terhadap T3
dan T4 ibu dan pada plasenta juga terdapat enzim placental deiodinase III
yang menonaktifkan setiap T4 ibu yang memasuki ruang intervillie. T4
yang dinonaktifkan ini dipecah dan sisa ion iodine yang lepas masuk
kesirkulasi darah janin. Sehingga setelah trimester kedua kehamilan,
peningkatan hormon tiroid ibu tidak banyak mempengaruhi kondisi hormon
tiroid janin.
Kondisi hipertiroid dalam kehamilan berhubungan dengan kedaan
ibu dan janin. Menurut penelitian Davis keadaan hipertiroid pada maternal
berhubungan dengan kejadian PEB dan kelainan jantung, sedangkan
pada janin berhubungan dengan IUGR, kelahiran preterm, IUFD, kejadian
tirotoksikosis janin, goiter dan hipotiroid pada janin. Keadaan ini
berhubungan dengan derajat hipertiroid ibu dan insidennya berbeda
tergantung apakah terkendali (treated) atau tidak terkendali (untreated)
serta usia kehamilan saat kondisi hipertiroid terjadi.(Cunningham et al., 2010c)
Pada pasien ini, keadaan hipertiroidnya telah diketahui sejak 1
tahun yang lalu dan ketika awal kehamilan pasien masih minum obat PTU
tetapi sejak kehamilan 3 bulan berhenti makan obat. Kondisi hormon tiroid
pasien bisa dikatakan cukup terkontrol pada saat 12 minggu pertama
kehamilan. Hal ini salah satu faktor yang bisa menerangkan kenapa
kondisi janin masih baik dan kehamilan berlanjut. Keadaan hipertiroid
berbahaya terutama pada trimester pertama kehamilan karena
peningkatan tiroid ibu langsung memasuki sirkulasi janin. Kondisi
hipertiroid yang tidak terkontrol pada trimester pertama ini sering
berhubungan dengan IUFD atau abortus.
48
Keadaan tirotoksikosis akan menyebabkan peningkatan
metabolisme ibu serta peningkatan kejadian jantung tiroid dan PEB pada
ibu yang pada akhirnya akan menyebabkan gangguan pada janin.
Pemakaian PTU ini berlanjut sampai aterm dan nifas untuk
mengontrol hormon tiroid ibu. PTU secara literatur drug of choise untuk
hipertiroid dalam kehamilan karena menghambat produksi T3 dan T4 ibu
(proses organification) dengan berat molekul besar sehingga impermiabel
terhadap sawar plasenta dan sukar masuk ke sirkulasijanin. obat ini juga
tidak mempengaruhi (insensitive) terhadap kerja enzim placental
deiodinase III sehingga cukup aman terhadap janin. Tetapi perlu
diperhatikan ternyata pada pemakaian lama selama kehamilan terdapat
akumulasi kadar PTU yang lolos pada janin sehingga menimbulkan suatu
goiter dan kondisi hipotiroid janin. Keadaan goiter atau struma pada tiroid
janin menimbulkan gangguan menelan janin sehingga bisa menimbulkan
suatu polihidramnion.
Ketika persalinan perlu diperhatikan kondisi nyeri dan stress
persalinan, karena merupakan salah satu faktor predisposisi peningkatan
kadar hormon tiroid bahkan sampai terjadi badai tiroid, pilihan persalinan
berdasarkan indikasi obstetrik.
49
BAB V
KESIMPULAN
1. Diagnosis pada pasien ini belum tepat.
2. Penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat. Tindakan seksio
sesarea atas indikasi PEB + HELLP sindrom parsial dengan
penyulit pada pasien ini sudah tepat.
3. Preeklampsia berat pada pasien ini kemungkinan berhubungan
dengan hipertiroid. Diagnosa hipertiroid ditegakkan dengan melihat
manifestasi klinik dan pemeriksaan laboratorium hormon tiroid.
Pilihan pengobatan saat ini dengan mengendalikan tirotoksikosis
ibu tanpa menganggu fungsi tiroid janin. Pilihan pengobatan yang
dianjurkan adalah golongan tionamid yaitu propilthiourasil (PTU).
1
DAFTAR PUSTAKA
AGHAJANIAN, P., AINBINDER, S. W., AKHTER, M. W., ANDREW, D. E., DENNIS R. ANTI, E., ARCHIE, C. L. & ARNETT, C. 2007. Thyroid and Others Endocrin during Pregnancy In: DECHERNEY, A. H., NATHAN, L. & GOODWIN, T. M. (eds.) Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology. 10 ed.: McGraw-Hill Companies.
CUNNINGHAM, F. G., LEVENO, K. J., BLOOM, S. L., HAUTH, J. C.,
ROUSE, D. J. & SPONG, C. Y. 2010a. Hematological Disorders. Williams Obstetrics. 23 ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
CUNNINGHAM, F. G., LEVENO, K. J., BLOOM, S. L., HAUTH, J. C.,
ROUSE, D. J. & SPONG, C. Y. 2010b. Pregnancy Hypertension. Williams Obstetrics. 23 ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
CUNNINGHAM, F. G., LEVENO, K. J., BLOOM, S. L., HAUTH, J. C.,
ROUSE, D. J. & SPONG, C. Y. 2010c. Thyroid and Other Endocrine Disorders. Williams Obstetrics. 23 ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
DJOKOMOELJANTO, R. 2006. Kelenjar Tiroid, Hipotiroid, dan Hipertiroid.
In: SUDOYO, A. R., SETIYOHADI, B., ALWI, I., K, M. S. & SETIATI, S. (eds.) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
GRIGORIU, C., CEZAR, C., GRIGORAS, M. & HORHOIANU, I. 2008.
Management of hyperthyroidism in pregnancy. Journal of Medicine and Life, 1, 390-396.
JAMES N. MARTIN JR, M., CARL H. ROSE, M. & CHRISTIAN M.
BRIERY, M. 2006. Understanding and managing HELLP syndrome : The integral role of aggressive glucocorticoids for mother and child American Journal of Obstetrics and Gynecology, 195, 914–934.
KRAKOW, D. 2008. Medical and Surgical Complications of Pregnancy. In:
GIBBS, S, R., KARLAN, Y, B., HANEY, F, A., NYGAARD & E, I. (eds.) Danforth's Obstetrics and Gynecology, 10th Edition. 10 ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
MESTMAN, J. H. 2004. Hyperthyroidism in pregnancy. Best Practice &
Research Clinical Endocrinology & Metabolism, 18, 267-288.
2
NEGRO, R. & MESTMAN, J. H. 2011. Thyroid disease in pregnancy. Best Practice & Research Clinical Endocrinology & Metabolism 25, 927-943.
ROESHADI, R. H. 2004. SINDROMA HELLP. In: HARIADI, R. (ed.) ILMU
KEDOKTERAN FETOMATERNAL. 1 ed. Surabaya: Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
SIBAI, B. M. 2011. Evaluation and management of severe preeclampsia
before 34 weeks’ gestation. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 191 - 198.
SPEROFF, L. & FRITZ, M. A. 2005. Reproduction and The Thyroid.
Clinical Gynecology Endocrinology and Infertility. 7 ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.