BAB IPENDAHULUAN
Rata- rata orang dewasa memiliki jumlah sel darah merat
(eritrosit) kira-kira 5 juta per milimeter kubik, masing-masing
eritrosit memiliki siklus hidup sekitar 120 hari. Keseimbangan
tetap dipertahankan antara kehilangan dan penggantian normal sel
darah sehari-hari. Seiring dengan eritrosit yang semakin tua, sel
tersebut menjadi kaku dan fragil, akhirnya pecah. Perubahan massa
eritrosit menimbulkan dua keadaan yang berbeda. Jika jumlah
eritrosit kurang, maka timbul anemia, sebaliknya keadaan yang
jumlah eritrosit terlalu banyak disebut polisitemia. Anemia
merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di
seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama
masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan
penyebab debilitas kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak
besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan
fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, anemia
terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan
dilewati oleh para dokter di praktek klinik.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA1.1. Sistem EritroidSistem Eritroid
terdiri atas sel darah merah (eritrosit), dan precursor eritroid
(eritroid precursor). Eritron merupakan unit fungsional yang
mempunyai fungsi sebagai pembawa oksigen (oxygen carrier).
Prekursor eritroid dalam sumsum tulang berasal dari sel induk
hemopoetik, melalui jalur sel induk myeloid, kemudian menjadi sel
induk eritroid, yaitu BFU-E selanjutnya CFU-E. Prekursor eritroid
yang dapat dikenal secara morfologik konvensional dalam sumsum
tulang dikenal sebagai pronormoblast, kemudian berkembang menjadi
basophilic, selanjutnya poluchromatophilic normoblast, dan
acidophilic normoblast. Sel ini kemudian kehilangan intinya, masih
tertinggal sisa RNA, sehingga disebut retikulosit. Retikulosit
dilepas ke darah tepi kehilangan sisa RNA sehingga menjadi
eritrosit dewasa. Proses ini dikenal sebagai eritropoesis. Apabila
sumsum tulang mengalami kelainan, eritropoesis dapat terjadi di
luar sumsum tulang seperti lien dan hati, maka proses ini disebut
eritropoesis ekstramedular.Proses pembentukan eritrosit
memerlukan:a. Sel induk: BFU-E, CFU-E, normoblastb. Bahan pembentuk
eritrosit: besi, vitamin B12, asam folat, protein, dan lain-lainc.
Mekanisme regulasi: faktor pembentukan hemopoetik dan hormone
eritropoetin.Eritrosit hidup dan beredar di darah tepi rata-rata
selama 120 hari. Apabila destruksi terjadi sebelum waktunya, maka
proses ini disebut hemolysis. (Bakta, 2006)
1.2. Struktur EritrositEritrosit merupakan sel dengan struktur
yang tidak lengkap. Sel ini hanya terdiri atas membrane dan
sitoplasma tanpa inti sel. Komponen eritrosit terdiri dari:1.
Membran eritrosit2. Sistem enzim: Embden Meyerhoff pathway,
pyruvate kinase, dalam pentose pathway: G6PD (glucose 6 phosphate
dehydrogenase).3. Hemoglobin yang berfungsi sebagai alat angkut
oksigen (Bakta, 2006)
2.1. Definisi AnemiaAnemia adalah berkurangnya hingga di bawah
nilai normal jumlah sel darah merah (SDM), kuantitas hemoglobin,
dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah.
Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu
cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan
melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan konfirmasi
laboratorium. (Price, 2006).
KRITERIA ANEMIA
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan
massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit
dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling
bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin
yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi
secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya
kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Di Negara Barat kadar
hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14 g/dl dan 12
gr/dl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain
memberi angka berbeda yaitu 12 gr/dl (hematokrit 38%) untuk
perempuan dewasa, 11g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil,
dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia
untuk keperluarn penelitian lapangan yaitu (Bakta, 2009): Tabel
1.1. Kriteria anemia (Means, 2009)KelompokKriteria Anemia (Hb)
Neonatus< 14 g/dl
Bayi 1 bulan< 12 g/dl
Bayi 2 bulan< 10,5 g/dl
Bayi 3 6 bulan< 10,5 g/dl
Anak umur 6 bulan 1 tahun< 11 g/dl
Anak umur 1 - 4 tahun< 11 g/dl
Anak umur 4 remaja pubertas< 11,5 g/dl
Laki-laki Dewasa< 14 g/dl
Wanita Dewasa tidak hamil< 12 g/dl
Wanita Hamil< 11 g/dl
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di
Indonesia dan negara berkembang lainnya, kriteria WHO sulit
dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO
dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang
mengunjungi poliklinik atau dirawat di Rmuah Sakit akan memerlukan
pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena itu bebrapa
peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai
kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up
anemia, atau di India dipakai angka 10-11 g/dl. (Bakta, 2009)2.2.
Etiologi dan Klasifikasi AnemiaPada dasarnya anemia disebabkan
oleh: 1) Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2)
Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); 3) Proses penghancuran
eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Gambaran lebih
rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat pada tabel di bawah :
(Bakta, 2006)Tabel. Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis1.
Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang1.
Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit 1. Anemia defisiensi
besi1. Anemia defisiensi asam folat1. Anemia defisiensi vitamin
B121. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi1. Anemia akibat penyakit
kronik1. Anemia sideroblastik1. Kerusakan sumsum tulang1. Anemia
aplastik1. Anemia mieloptisik1. Anemia pada keganasan hematologi1.
Anemia diseritropoietik1. Anemia pada sindrom mielodisplastik1.
Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal
kronik1. Anemia akibat hemoragi1. Anemia pasca perdarahan akut1.
Anemia akibat perdarahan kronik1. Anemia hemolitik1. Anemia
Hemolitik intrakorpuskular1. Gangguan membran eritrosit
(membranopati)1. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia
akibat defisiensi G6PD1. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll1. Anemia
Hemolitik ekstrakorpuskular1. Anemia Hemolitik autoimun1. Anemia
Hemolitik mikroangiopatik1. Lain-lain1. Anemia dengan penyebab
tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran
morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi.
Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan :1.
Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV1 g/dl per minggu. Anemia
Hemolitik intravaskular juga sering terjadi dengan cepat, seperti
misalnya akibat salah transfusi, atau episode hemolisis pada anemia
akibat defisiensi G6PD 3) Anemia yang timbul akibat leukemia akut,
4) krisis Aplastik pada anemia hemolitik kronik.Anemia yang timbul
pelan pelan biasanya disebabkan oleh : anemia defisiensi besi,
anemia defisiensi folat dan vitamin B12, anemia akibat penyakit
kronik, anemia hemolitik kronik yang bersifat kongenital. (Bakta,
2009)Pendekatan berdasarkan Beratnya AnemiaDerajat anemia dapat
dipakai sebagai petunjuk ke arah etiologi. Anemia berat biasanya
disebabkan oleh: anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia
pada leukimia akut, aneia hemolitik didapat atau kongenital seperti
misalnya pada thalasemia major, anemia pasca perdarahan akut,
anemia pada GGK stadium terminal.Jenis anemia yang lebih sering
bersifat ringan sampai sedang, jarang sampai derajat berat ialah
anemia akibat penyakit kronik, anemia pada penyakit sistemik,
thalasemia thrait.Jika pada keriga anemia tersebut di atas dijumpai
anemia berat,maka harus dipikirkan diagnosa lain. Atau adanya
penyebab lain yang dapat memperberat derajat anemia tersebut.
(Bakta, 2009)Pendekatan Berdasarkan Sifat Gejala anemiaSifat-sifat
gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis.Gejala anemia
dapat dipakai untuk membantu diagnosis. Gejala anemia lebih
menonjol dibandingkan gejala penyakit dasar dijumpai pada: anemia
defisiensi besi, anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan pada
anemia akibat penyakit kronik dan anemia sekunder lainnya (anemia
akibat penyakit sistemik, penyakit hati, atau ginjal),
gejala-gejala penyakit dasar sering lebih menonjol. (Bakta,
2009)
Pendekatan Diagnosis Berdasarkan Tuntunan Hasil
laboratoriumPendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil
penilaian klinis dan laboratorik merupakan cara yang ideal tetapi
memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinis yang cukup. Di bawah
ini diajukan algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan
hasil pemeriksaan laboratorium. (Bakta, 2009)Algoritme pendekatan
diagnosis anemia (Bakta, 2009)Hapusan darah tepi dan indeks
eritrosit (MCV,MCH,MCHC)Anemia hipokromik mikrositerAnemia
normokromik normositerAnemia makrositerANEMIA
Algoritma Anemia Hipokromik Mikrositer (Bakta, 2009)
Algoritma Anemia Normokromik Normositer (Bakta, 2009)
Algoritma Anemia Makrositer (Bakta, 2009)
2.6. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan LaboratoriumPendekatan
laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis
anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari: 1) Pemeriksaan penyaring
(screening test); 2) Pemeriksaan darah seri anemia; 3) Pemeriksaan
sumsum tulang; 4) Pemeriksaan khusus. (Bakta, 2009)
Pemeriksaan PenyaringPemeriksaan penyaring untuk kasus anemia
terdiri dari pegukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit, dan
hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta
jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk
pengarahan diagnosis lebih lanjut. (Bakta, 2009)
Pemeriksaan Darah Seri AnemiaPemeriksaan darah seri anemia
meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan laju
endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology
analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.
(Bakta, 2009)
Pemeriksaan Sumsum TulangPemeriksaan sumsum tulang memberikan
informasi yang sangat berharga mengenai keadaan sistem hemapoesis.
Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada beberapa
jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk
diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik serta pada kelainan
hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid. (Bakta,
2009)
Pemeriksaan KhususPemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi
khusus, misalnya pada :1. Anemia Defisiensi Besi: serum iron, TIBC
(total iron biding capacity), saturasi transferin, protoporfirin
eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi
pada sumsum tulang ( Perls stain).1. Anemia Megaloblastik: folat
serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksirudin, dan tes
Schiling.1. Anemia Hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb,
elektroforesis hemoglobin dan lain lain.1. Anemia Aplastik: biopsi
Sumsum tulang.
Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti
misalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal tiroid.
(Bakta, 2009)
2.7. Tatalaksana AnemiaBeberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah :1. Pengobatan
hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah
ditegakkan terlebih dahulu 1. Pemberian hematinik tanpa indikasi
yang jelas tidak dianjurkan1. Pengobatan anemia dapat berupa :1.
Terapi untuk keadaan darurat seperti misanya pada perdarahan akut
akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia
pasca perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik1. Terapi
suportif1. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia1. Terapi
kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemi
tersebut.1. Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat
ditegakkan, kita terpaksa memberikan terapi percobaan (terapi ex
juvantivus), disini harus dilakukan pemantauan yang ketat terhadap
respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan
dilakukan evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan
diagnosis. (Bakta, 2006)
Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan
tanda-tanda gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi
hanya diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman
payah jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan whole
blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah,
oleh karena itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat
juga diberikan diuretik kerja cepat seperti furosemid sebelum
transfusi. (Bakta, 2006)3.1. Transfusi Tranfusi darah adalah suatu
rangkain proses pemindahan darah donor ke dalam sirkulasi dari
resipien sebagai upaya pengobatan. Bahkan sebagai upaya untuk
menyelamatkan kehidupan. Berdasarkan asal darah yang diberikan
tranfusi dikenal: 1) Homologous tranfusi (berasal dari darah orang
lain); 2) Autologous tranfusi (berasal dari diri sendiri). Indikasi
Tranfusi darah secara garis besar Indikasi Tranfusi darah adalah
:a. Untuk mengembalikan dan mempertahankan suatu volume peredaran
darah yang normal, misalnya pada anemia karena perdarahan, trauma
bedah, atau luka bakar luas.b. Untuk mengganti kekurangan komponen
seluler atau kimia darah, misalnya pada anemia, trombositopenia,
hipotrombinemia, dan lain-lain. (PMI, 2002; Latief, 2002)
Keadaan yang memerlukan Tranfusi darah :a. Anemia karena
perdarahan, biasanya digunakan batas Hb 7-8 g/dL. Bila telah turun
hingga 4,5 g/dL, maka penderita tersebut telah sampai kepada fase
yang membahayakan dan tranfusi harus dilakukan secara hati-hati.b.
Anemia haemolitik, biasanya kadar Hb dipertahankan hingga penderita
dapat mengatasinya sendiri. Umumnya digunakan patokan 5g/dL. Hal
ini dipertimbangkan untuk menghindari terlalu seringnya tranfusi
darah dilakukan.c. Anemia aplastikd. Leukimia dan anemia
refrektere. Anemia karena sepsis (PMI, 2002; Latief, 2002)
PROSEDUR PELAKSANAAN TRANFUSI DARAH
Banyak laporan mengenai kesalahan tatalaksana tranfusi, misalnya
kesalahan pemberian darahmilik pasien lain. Untuk menghindari
berbagai kesalahan, maka perlu diperhatikan :a. Identitas pasien
harus dicocokan secara lisan maupun tulisan. b. Identitas dan
jumlah darah dalam kemasan dicocokkan dengan formulir permintaan
darahc. Tekanan darah, frekuensi denyut jantung dan suhu harus
diperiksa sebelumnya, serta diulang secra rutin.d. Observasi ketat,
terutama pada 15menit pertama setelah tranfusi darah dimulai.
Sebaiknya 1 unit darah diberikan dalam waktu 1-2 jam tergantung
status kardiovaskuler dan dianjurkan tidak lebih dari 4 jam
mengingat kemungkinan proliferasi bakteri pada suhu kamar.
(Sudarmanto, 2005; Hoffbrand, 1996)
Kebutuhan darah:Hb (Hb Target Hb Aktual) x 3 x BB
DAFTAR PUSTAKA
Bakta IM. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC. 2006. h:
9-25Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia dalam Buku Ajar
Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: EGC. 2009. h:
1109-1115Hoffbrand, A.V. Kapita selekta Hematologi; oleh A.V
Hoffbrand dan J.E. Pettit; alih bahasa, Iyan Darmawan.
Ed.2.-Jakarta: EGC. 1996.Latief SA, Suryadi KA, Cachlan MR.
Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua, Jakarta : Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2002.Means RT and Glader B.
Anemia: General Consideration in Wintrobes Clinical Haematology.
12th Edition. 2009. p: 780-807Price S, Wilson AM, Lorraine.
Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006Palang Merah Indonesia.
2002. Pelayanan Transfusi Darah, [Internet]
http://www.palangmerah.org/pelayanan transfusi.asp. Update: 12
Maret 2015Sudarmanto B, Mudrik T, AG Sumantri. Transfusi Darah dan
Transplantasi dalam Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak. Jakarta.
Balai Penerbit IDAI. 2005.h: 217-225.
12