POSISI UMAT ISLAM DALAM PERKEMBANGAN ILMU DAN FILSAFAT Makalah Tugas Mata Kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan Pengampu: Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Koordinator) Oleh: Ahmad Fadhil NIM: 10.3.00.1.02.01.0012 1
POSISI UMAT ISLAM
DALAM PERKEMBANGAN ILMU DAN FILSAFAT
Makalah Tugas Mata Kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan
Pengampu:
Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Koordinator)
Oleh:
Ahmad Fadhil
NIM: 10.3.00.1.02.01.0012
1
Pendahuluan
Al-Afghani pernah menyindir umat Islam yang gemar
bersikap romantis, yaitu membangga-banggakan prestasi kaum
Muslimin pada zaman dulu. Diceritakan di dalam buku Zu‘ama’
al-Islah bahwa Al-Afghani pernah dikunjungi oleh Shakib
Arsalan, lalu Arsalan mengemukakan bahwa bangsa Arab adalah
yang pertama-tama menyeberangi samudera Atlantis dan
menemukan benua Amerika. Al-Afghani pun menjawab, “Kini
umat Islam adalah umat yang setiap kali orang-orang berkata
kepada mereka, ‘Berprestasilah,’ mereka menjawab, ‘Dulu,
leluhur kami telah melakukan ini itu.’ Mereka hidup di
dunia khayal tentang prestasi leluhur mereka dan tidak
berpikir bahwa kemuliaan leluhur mereka tidak menafikan
kemunduran dan kerendahan mereka. Orang-orang Timur, jika
hendak berapologi atas kemunduran mereka saat ini, akan
mengatakan, ‘Apa kalian tidak tahu prestasi leluhur kami.’
Leluhur kalian memang orang-orang besar. Tapi, kalian tetap
seperti keadaan kalian saat ini. Kalian tidak pantas untuk
membangga-banggakan prestasi-prestasi leluhur kalian,
kecuali kalian berbuat seperti mereka.”1
Sikap tersebut tidak benar dan tidak produktif. Tapi
tidak benar juga sikap menolak jasa umat Islam terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan seperti yang diutarakan oleh
Ernest Renan. Menurut Renan, tidak mendorong berkembangnya
1 Al-Islam fi al-Fikr al-Gharbi, Mahmud Hamdi Zaqzuq, h. 13.3
ilmu, filsafat, dan kajian bebas, melainkan penghalang
baginya.2
Tulisan ini posisi umat Islam dalam perkembangan
pemikiran ilmu pengetahuan, terutama ilmu filsafat. Tulisan
terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan
bahwa ilmu dan filsafat itu muncul di Timur, dan bukannya
di Barat. Bagian kedua menunjukkan pandangan Islam terhadap
akal. Dan bagian ketiga menunjukkan bahwa umat Islam
memainkan peran penting dalam perkembangan filsafat Barat,
baik pada zaman pertengahan maupun modern.
2 Al-Islam fi al-Fikr al-Gharbi: ‘Ard wa Munaqashah, Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Kuwait: Dar al-Qalam, cetakan II, 1406 H./1986 M., h. 15.
4
Ilmu dan Filsafat Terbit di Timur
Menurut kamus, timur artinya arah mata angin tempat
matahari terbit, lawan barat tempat matahari terbenam.
Timur Dekat adalah bagian Timur yang dekat ke Eropa, lawan
Timur Jauh seperti Cina, Korea, dan Jepang, wilayah di
antara keduanya disebut Timur Tengah. Blok Timur artinya
negara-negara yang menganut paham komunis yaitu negara-
negara Eropa di sebelah Timur. Orang Timur artinya bangsa
yang diam di bagian Timur dunia (dari India sampai ke
Jepang), lawan orang Barat yaitu orang Eropa (orang yang
mendiami Benua Eropa). Ketimuran artinya yang bersifat
timur, misalnya seseorang mengatakan, “Kita harus
mempertahankan adat ketimuran kita.”3
Dalam bahasa Arab, Timur adalah sharq. Dari kata ini,
bisa diderivasi kata ishraq dan mashriq. Dalam bahasa Inggris
east dan orient. Echols dan Shadili mengatakan bahwa “The
Orient” artinya Asia Timur dan “Oriental” artinya orang
timur/Asia.4 Munir al-Ba‘labaki mengatakan, east itu al-sharq
dan al-mashriq itu al-buldan al-waqi‘ah sharqi urubah. Ba‘labaki
mengatakan orient itu al-sharq atau al-mashriq, orientalism itu
ma‘rifah wa dirasah al-lughat wa al-adab al-sharqiyyah dan orientalist itu
al-daris li al-lughat al-sharq wa fununuh wa hadaratuh.5
3 Kamus Umum Bahasa Indonesia, J.S. Badudu dan Sutan MohammadZain, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, cet. III, Desember 1996, h.1510.
4 Kamus Bahasa Inggris Indonesia, john m. Echols dan Hassan Shadili, Jakarta: Gramedia, cet. XXV, 2000, h. 205 dan 408.
5 Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, Munir al-Ba‘labaki, Beirut:Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 2005, h. 302 dan 638.
5
Bangsa-bangsa Barat, misalnya Perancis dan Inggris,
sangat memperhatikan dan mendorong kajian peradaban-
peradaban kuno sebagai warisan umat manusia. Mereka
membiayai dan mendorong penelitian-penelitian tentang
sejarah, bahasa, penggalian benda-benda peninggalan kuno
agar dapat merekonstruksi gambaran kehidupan pada masa lalu
dalam berbagai aspek. Mereka memasukkannya ke dalam mata
kuliah di perguruan tinggi, mengadakan seminar-seminar, dan
menerbitkan jurnal-jurnal ilmiah, sehingga kini kajian ini
sudah mencakup berbagai cabang keahlian yang mustahil
dikuasai oleh seseorang secara keseluruhan.6
Meskipun demikian, patut dikatakan bahwa terkadang
mereka melakukannya terkadang dengan mengikuti keinginan,
kepentingan, dan ideologi mereka sendiri.7
Bangsa-bangsa Timur terlambat dalam memperhatikan hal
ini. Mesir baru mulai mempelajari ilmu Pra Historis pada
abad 19 berkat jasa ilmuwan Inggris, Perancis, Jerman,
Hongaria terutama Flinders Petrie dan Jacques de Morgan
yang menemukan Kebudayaan Niqadah pada tahun 1895 dan
1897.8 Untuk kita orang Indonesia, mengetahui bahwa
Pithecanthropus Erectus, fosil tertua makhluk yang
menyerupai manusia modern yang ditemukan, itu dikenal di
dunia sebagai “Manusia Jawa” (insan jawah, homo javanensis) yang6 Ma‘alim Hadarat al-Sharq al-Adna al-Qadim, Muhammad Abu al-Mahasin
‘Usfur, Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1408 H./1987 M., h. d.7 Muhammad Khalifah Hasan Ahmad, Ru’yah ‘Arabiyyah fi Tarikh al-Sharq al-
Adna al-Qadim wa Hadaratih, Kairo: Dar Quba li al-Tiba‘ah wa al-Nashr waal-Tawzi‘, 1998, cover belakang.
8 ‘Abd al-Latif Ahmad ‘Ali, Muhadarat fi Tarikh al-Sharq al-Adna al-Qadim, Beirut: Maktab Karidiyyah Ikhwan, 1991, h. 15-16.
6
ditemukan oleh E. Dubois di Trinil Jawa Tengah pada tahun
1891 dan kini masih tersimpan di Musium Teyler di kota
Haarlem Belanda, boleh jadi mencukupi sebagai pendorong
mempelajari sejarah kuno. Boleh jadi leluhur kita telah
memiliki “peradaban” dan “kebudayaan”.
Mereka sering disebut hidup pada masa “Pra historis”.
Istilah “sebelum” dan “setelah” sejarah ini salah dan tidak
mengenakkan bagi kita, “Orang Timur”, tapi kadung lumrah.
Sebutan ini menurut al-Mahasin dan Ahmad ‘Ali salah. Kajian
tentang manusia pra historis adalah kajian historis juga.
Jika kita ingin menekankan bahwa mengenal tulisan adalah
peristiwa yang sangat penting dalam sejarah manusia, maka
menurut al-Mahasin lebih tepat kita menyebut masa itu
dengan nama “Masa sebelum mengenal tulisan” dan masa
setelahnya dengan sebutan “Masa dokumen tertulis atau masa
kodifikasi”, dan menurut Ahmad ‘Ali sebagai masa “Fajar
Sejarah”. Terkadang para ahli memperiodisasi sejarah
berdasarkan materi yang digunakan manusia untuk membuat
peralatan, seperti Zaman Batu dan Zaman Tembaga; atau
berdasarkan aspek ekonomi menjadi Zaman Berburu
(mengumpulkan makanan) dan Zaman memproduksi makanan. Tidak
ada batasan yang jelas antar periode-periode tersebut.9
9 Boucher de Perthes dan Edward Lartet dari Perancis diakuisebagai pendiri ilmu Sebelum Sejarah, juga Gabriel de Mortilllet,Joseph Dechelette. Lihat: Muhammad Abu al-Mahasin ‘Usfur, al-Sharq al-AdnaQabla ‘Usurih al-Tarikhiyyah, Kairo: Matba‘ah al-Misri, 1962, h. 2, footnoteno. 1-4; ‘Abd al-Latif Ahmad ‘Ali, Muhadarat fi Tarikh al-Sharq al-Adna al-Qadim, Beirut: Maktab Karidiyyah Ikhwan, 1991, h. 2-3, 14.
7
Kajian tentang peran Timur dalam perkembangan ilmu dan
filsafat hingga saat ini sangat penting. Penyebabnya adalah
masih adanya carut marut pemikiran dan etika seputar
orisinalitas, urgensi, dan posisi kebudayaan atau peradaban
Timur. Banyak ahli sejarah, saintis, dan filsuf Barat yang
berusaha memaksakan pandangan bahwa bangsa Yunani adalah
pencipta pemikiran, ilmu, etika, sosial, politik, seni,
matematika, astronomi, kedokteran, logika, dan filsafat.
Seolah-olah kebudayaan Yunani adalah ciptaan para jenius
yang tidak belajar kepada pendahulu, tidak didahului
kebudayaan lain, tidak berkaitan dengan Mesir Kuno, Kan’an,
Babilonia, Asyur, Persia, India, dan Cina. Seolah-olah
kebudayaan Yunani itu kemunculan dan perkembangannya murni
Eropa.10
Jika kita mengajukan pertanyaan, “Di manakah filsafat
dan ilmu pengetahuan lahir?” kepada orang terpelajar di
sekitar kita, maka kebanyakan dari mereka akan menjawab,
“Yunani.” Jawaban ini tidak benar. Ilmu dan filsafat
sesungguhnya terbit di Timur.
Mereka berpendapat bahwa sumber tertua filsafat adalah
flsafat Yunani. Tapi, kajian dan penelitian menyingkap
tabir bahwa pendapat itu tidak benar. Filsafat India lebih
tua daripada Filsafat Yunani. Ada keserupaan yang sempurna
antara tema-tema filsafat dan ilmu di India dengan tema-
tema filsafat dan ilmu di Yunani. Dalil-dalil yang pasti10 Al-Usul al-Sharqiyyah li al-‘Ilm al-Yunani, Mahmud Muhammad ‘Ali Muhammad,
Elharam: Ein for Human and Social Studies, cet. I, 1998, h. 5; Turathunawa Fajr al-‘Ilm al-Hadith, Wa’il Bashir al-Atasi, Damaskus: Wizarah al-Thaqafah, 1999, h. 11-13.
8
lainnya mendorong banyak peneliti memastikan bahwa sumber
filsafat dan ilmu Yunani adalah filsafat dan ilmu India.
Beberapa ulama meragukan hal ini, tapi mereka tidak
memiliki dalil yang menguatkan keraguan ini.11
“Mukjizat Yunani” adalah omong kosong. Tidak mungkin
ilmu dan filsafat lahir secara tiba-tiba di Yunani tanpa
pendahuluan apa pun, tanpa berhutang budi pada bangsa dan
kebudayaan sebelumnya seperti yang dikatakan sejumlah orang
aneh penganut mazhab Erosentris. Timurlah sumber ilmu dan
filsafat yang selanjutnya dikembangkan oleh bangsa-bangsa
dari peradaban yang muncul belakangan. Orang-orang aneh itu
tahu bahwa kebudayaan tertua muncul di negeri-negeri Timur,
bahwa kebudayaan Timur sangat gemilang dan matang dalam
ukuran zamannya dan karena itu tentu saja berdiri di atas
pondasi ilmu; tapi mereka mengatakan bahwa ilmu timur
adalah ilmu yang berlandaskan pada pengalaman dan
eksperimen turun temurun; Cuma mengejar manfaat praktis
atau tidak dilandasi penelitian demi pengetahuan tentang
penyebab-penyebab fenomena semata-mata; tidak cemerlang
dalam aspek analisa rasional teoritis untuk mengungkap
prinsip umum di balik aplikasi praktis seperti yang dicapai
oleh peradaban Yunani.12
Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa bangsa Mesir
telah menggunakan matematika dalam mengukur tanah, menggali
sungai, dan tujuan praktis lainnya. Mereka juga menggunakan11 Al-Falsafah al-Hindiyyah Dirasah Ba‘d Nawahiha ma‘a al-Muqaranah bi al-Falsafah
al-Gharbiyyah, Abu al-Nasr Ahmad al-Husayni, Kairo: Matba‘ah Misr, cet.I, h. 7.
12 Al-Usul al-Sharqiyyah li al-‘Ilm al-Yunani, h. 5-6.9
matematika dan mekanika dalam membangun piramida yang
hingga sekarang masih menjadi keajaiban dunia untuk
menyimpan jenazah yang telah dimumi karena keyakinan akan
keabadian jiwa dan hisab pada hari akhir. Untuk hal ini,
diperlukan ilmu kimia dalam membalsem jenazah dan
memproduksi minyak, celupan, dan pewarna. Juga tujuan
keagamaan lainnya. Tapi, mereka mengatakan bahwa bangsa
Yunanilah yang telah menciptakan ilmu-ilmu tersebut dalam
bentuk teoritis murni, melampaui periode individual
inderawi kepada periode definisi dan bukti demonstratif,
mencapai hukum dan teori yang bersandar kepada demonstrasi
rasional. Bangsa Yunanilah yang pertama mengkaji ilmu-ilmu
dengan semangat ilmiah dan Aristoteleslah yang berjasa
mendirikan ilmu teoritis.13
Pandangan ini tidak ilmiah dan bertentangan dengan
prinsip-prinsip ilmiah yang menegaskan bahwa kebudayaan
saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan lainnya.
Kebudayaan terdahulu mempengaruhi kebudayaan yang kemudian.
Pandangan ini adalah salah satu buah sikap fanatik buta,
yaitu keyakinan seseorang bahwa dirinya memonopoli
kebenaran dan kebaikan sedangkan orang lain tidak
memilikinya. Sikap fanatik itu tercela karena membuat
seseorang tidak hanya menisbahkan pada dirinya segala
kebaikan, tapi juga membuat dirinya tidak dapat melihat
kelebihan dirinya kecuali dengan mengingkari kelebihan
orang lain.
13 Al-Usul al-Sharqiyyah li al-‘Ilm al-Yunani, h. 6.10
Na‘im Farh mengatakan bahwa sebuah kebudayaan boleh
jadi tidak orisinal dalam pengertian hasil ciptaan satu
masyarakat tertentu, melainkan buah dari komunikasi dan
asimilasi berbagai bangsa. Kian berkembang bangsa-bangsa
dan sarana-sarana komunikasi, kian jelas hal tersebut.14
Dan, berkaitan dengan akar Timur bagi kebudayaan Yunani,
banyak penulis yang telah menegaskannya. Di antaranya
Mustafa al-Nashshar dalam dua bukunya Madrasah al-Iskandariyyah
al-Falsafiyyah Bayna al-Turath al-Sharqi wa al-Falsafah al-Yunaniyyah dan
Tarikh al-Falsafah al-Yunaniyyah min Manzur Sharqi karya Mustafa al-
Nashshar.
Clement al-Iskandarani mengatakan bahwa Democritos
mempelajari hikmah dari Babilonia dan menukil amthal, asatir,
dan khurafat (fabel) Ahiqar ke dalam bahasa Yunani (al-
Ighriqiyyah) dalam bentuk yang sesuai dengan pola pikir
Yunani.15 Ahiqar adalah menteri Raja Ashur.16 Literatur
kisah Ahiqar tertua ditemukan oleh Delegasi Jerman (1906-
1908) di pulau al-Filah, Mesir, yang ditulis pada kertas-
kertas al-burdi pada zaman Kerajaan Iran pada masa
pemerintahan Darius dan Ahshuyirush, yakni pada abad 5 SM,
atau menurut perkiraan Edward Sachau, pada tahun 550-450
SM..17
14 Na‘im Farh, Mujaz Tarikh al-Sharq al-Adna al-Qadim al-Siyasi wa al-Ijtima‘i waal-Iqtisadi wa al-Thaqafi, Beirut: Dar al-Fikr, tt., h. 8.
15 Anis Farihah, Ahiqar Hakim min al-Sharq al-Adna al-Qadim, Beirut:Manshurat Kulliyyah al-‘Ulum wa al-Adab Jami‘ah Beirut al-Amrikiyyah,1962, h. 21. Amthal ini dipaparkan oleh Farihah pada h. 22-146 (dariteks berbahasa Arami, Suryani, dan Arab, dan dari kisah Alf Laylah waLaylah).
16 Ahiqar Hakim min al-Sharq al-Adna al-Qadim, h. 7.17 Ahiqar Hakim min al-Sharq al-Adna al-Qadim, h. 18-19.
11
Al-Husayni mengatakan bahwa akar filsafat Yunani ada
di India.18 Dia berdalil dengan perkataan Gorres, peneliti
Jerman yang hidup pada tahun 1776-1848, yang berpendapat
bahwa Iskandar dari Makedonia, ketika menyerang India,
mengambil beberapa buku India dalam bidang filsafat dan
logika, lalu mengirimkannya kepada gurunya, Aristoteles,
yang kemudian mengambil dan mensistematisasinya di dalam
filsafat dan logikanya. Phitagoras melakukan perjalanan ke
India, Mesir, dan Ashuria dan mempelajari rahasia-rahasia
ilmiah mereka. Democritos pun melakukan perjalanan ke
Mesir, Etiopia, Iran dan India untuk mempelajari ilmu.19
Aristoxinos, penulis ternama dalam ilmu alhan (nada)
yang hidup semasa dengan Socrates, menerangkan bahwa
beberapa ulama India datang ke Athena dan berdiskusi dengan
Socrates. Mereka memintanya untuk menjelaskan tujuan
filsafat. Socrates menjawab, “Mengkaji hal-hal yang
berkaitan dengan manusia.” Salah seorang dari mereka
tertawa dan bertanya, “Bagaimana seseorang dapat mengetahui
hal-hal yang berkaitan dengan manusia tanpa memiliki
pengetahuan yang sempurna tentang masalah ketuhanan.”20
18 Al-Falsafah al-Hindiyyah Dirasah Ba‘d Nawahiha ma‘a al-Muqaranah bi al-Falsafahal-Gharbiyyah, Abu al-Nasr Ahmad al-Husayni, Kairo: Matba‘ah Misr, cet.I, h. 7, 8,.
19 Dikutip oleh al-Husayni dari buku Six Sistems of Indian Philosophy, h.386 karya Maxmuller dan buku History of European Morals vol. I, h. 96, karyaLeckey. al-Falsafah al-Hindiyyah Dirasah Ba’d Nawahiha ma’a al-Muqaranah bi al-Falsafahal-Gharbiyyah, h. 8
20 Dikutip oleh al-Husayni dari buku India in European Thought &Literature, h. 8. Lihat al-Falsafah al-Hindiyyah Dirasah Ba’d Nawahiha ma’a al-Muqaranah bi al-Falsafah al-Gharbiyyah, h. 9.
12
Clement al-Iskandarani (150-218 M) penulis Yunani
pertama yang menyebut nama Budha, mengatakan bahwa bangsa
Yunani mencuri filsafat dari orang-orang Barbar, dan yang
dia maksud dengan orang-orang Barbar adalah orang-orang non
Yunani. Teori Plato tentang Allah, keesaan-Nya, sifat-sifat
Dhatiyah-Nya, materi, alam, dan keabadian substansi roh
berasal dari India.21
Begitu juga halnya dengan Plotinus pendiri aliran Neo-
Platonisme, Pyrhoo pemuka aliran Sofisme Yunani,
Anaxagoras, semuanya belajar ke Timur, India atau Mesir.
Bukan dalam pandangan filosofis saja, tapi juga dalam gaya
hidup seperti vegetarian yang dilakukan oleh Phytagoras dan
asketisme yang dilakukan oleh sejumlah filsuf Yunani dan
Romawi.22
Arab sangat berpengaruh pada kebudayaan dan peradaban
Barat modern. Sigrid Hunke, seorang penulis Jerman, di
dalam buku Shams al-‘Arab Tasta‘ ‘Ala al-Gharb: Athar al-Hadarah
al-‘Arabiyyah fi Urubah, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh
Faruq Baidun dan Kamal Dasuqi dari buku berjudul Allahs Sonne
Uber Dem Adendland Unser Arabisches Erbe dan diterbitkan di Beirut
oleh Dar al-Jayl dan Dar al-Afaq al-Jadidah (cet. 8, 14413
H./1993 M.) pada menuliskan kata-kata Arab yang diserap ke
dalam bahasa Eropa.
21 Dikutip oleh al-Husayni dari buku The Intellectual Developmentof Europe, vol. I, h. 153, karya Draper. Lihat al-Falsafah al-HindiyyahDirasah Ba’d Nawahiha ma’a al-Muqaranah bi al-Falsafah al-Gharbiyyah, h. 10.
22 al-Falsafah al-Hindiyyah Dirasah Ba’d Nawahiha ma’a al-Muqaranah bi al-Falsafahal-Gharbiyyah, h. 12-13.
13
Paparan ini tidak berarti mengagungkan Timur atas
Barat atau merendahkan Barat di hadapan Timur, atau
mengingkari jasa bangsa Yunani terhadap ilmu dan filsafat.
Pendahuluan ini hendak menyatakan bahwa ilmu adalah
akumulasi pemikiran manusia atau umat dari masa ke masa dan
menggugurkan klaim suatu bangsa tertentu adalah satu-
satunya pemilik dan pembangun ilmu dan bangsa tertentu
adalah tidak memiliki kemampuan dalam mengembangkan ilmu.
Karena itu, sikap fanatik, rasis, dan keyakinan akan satu
sumber pengetahuan adalah perilaku buruk yang harus
ditanggalkan.
Bangsa Yunani memiliki peran dan orisinalitas ilmiah.
Tapi, orisinalitas dan keistimewaan mereka itu tidak
berasal dari nol. Keagungan Yunani terletak pada kemampuan
mereka mentransfer khazanah kebudayaan lain yang tertangkap
oleh indera dan akal mereka, lalu melokalkannya. Artinya,
mencerna kebudayaan itu hingga selaras dengan lingkungan
mereka sendiri, sesuai dengan jati diri mereka, atau
mengkritisinya sedikit demi sedikit sehingga mereka
berhasil melampaui periode timur dalam ilmu dan memulai
periode baru yang berbeda.
Sifat akumulasi ilmu pengetahuan ini menunjukkan
adanya komunikasi dan dialog antar peradaban. Dialog itu
telah terjadi di masa lalu, dan juga akan berlangsung
sekarang dan di masa depan. Tidak ada penghalang antara
satu peradaban dengan peradaban lainnya. Semua peradaban
itu adalah milik umat manusia. Setiap orang dan setiap
14
bangsa berhak dan berkewajiban mengembangkan atau
memperkaya warisan kebudayaan yang mereka terima dari
generasi terdahulu, yang pada waktunya dulu juga telah
memperkaya apa yang mereka terima dari generasi yang lebih
terdahulu. Setiap peradaban saling mempengaruhi satu dengan
lainnya tanpa kehilangan ciri khas mereka masing-masing
akibat keistimewaan tempat dan zaman masing-masing.
Cakrawala kemanusiaan itu sangat luas, palungnya
sangat dalam, dan bentangan zamannya sangat panjang. Dan
Yunani bukanlah ujung cakrawala, dasar palung, dan akhir
bentangan zaman. Al-‘Aqqad mengatakan manusia seyogyanya
melipat cakrawala itu, menyelami palung itu, dan mengarungi
bentangan zaman itu. Bukan saja karena hal ini akan
mengajarkan orang itu tentang sejarah seorang tokoh,23
membuatnya memahami sejarah sebuah bangsa, tapi juga karena
hal ini akan mewujudkan makna dirinya, mengantarkannya
kepada kesempurnaan, seiring dengan pengetahuannya tentang
satu dari sekian tujuan yang bisa diraih oleh kekuatan
manusia.24
Sikap Islam terhadap Akal
23 Untuk mengenal Ghandi misalnya, bacalah buku-buku: Ruh ‘Azim al-Mahatma Ghandi karya ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad, Ghandi, Ghandi Nash’atuh,Ghandi Muqatil bila Hurub,
24 Ruh ‘Azim al-Mahatma Ghandi, Abbas Mahmud al-‘Aqqad, Kairo: ShirkahFann al-Tiba‘ah, tt., h. 5. Jalan paling mudah untuk melakukan haltersebut menurut al-‘Aqqad adalah mempelajari kehidupan tokoh-tokohagung, karena mereka serupa tapi juga sekaligus berbeda satu samalain. Mereka memberikan kepada kita bentuk-bentuk kemampuan, jenis-jenis fitrah, dan lebih dari itu mereka memiliki akhlak yang mulia.
15
Sebelum Islam bangsa Arab tidak memiliki pemikiran
filosofis. Mereka tidak berusaha mencari ‘illat atau relasi
antara premis dengan konklusi di dalam opini-opini dan
kisah-kisah yang tersebar di antara mereka. Mereka memang
mempunyai pengetahuan-pengetahuan astronomis dan fisika
yang berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan Kaldanian
dan Shabiah, serta pengetahuan-pengetahuan medis empiris
yang beriringan dengan mantra-mantra, peribahasa dan
kebijakan-kebijakan moral dan spiritual, tapi semua itu
tidak menyusun mazhab filsafat yang komprehensif.
Islam-lah yang membangkitkan pemikiran filsafat di
kalangan bangsa Arab. Hal ini tidak akan terjadi kecuali
karena Islam memiliki ajaran-ajaran yang memuat unsur-unsur
fundamental untuk transformasi revolusioner tersebut. Soko
guru struktur baru ini terdapat pada persepsi Islam tentang
manusia. Manusia adalah khalifah Allah. Penghormatan ini
didapat manusia karena akal yang menjadi karakteristik
istimewanya. Itu terlihat jelas di dalam al-Quran.25
Al-Ghazali di dalam Mishkah al-Anwar mengatakan bahwa
akal adalah “model dari cahaya Allah.” Al-Jahiz mengatakan
bahwa akal adalah “wakil Allah pada manusia.”
Islam memberikan pedoman untuk menghilangkan
penghalang akal untuk memperoleh pemahaman dan pemikiran
25 Dawr al-Islam fi Tatawwur al-Fikr al-Falsafi, Mahmud Hamdi Zaqzuq, Kairo:Maktabah Wahbah, Cetakan I, 1404 H./1984 M, h. 3-8. Tulisan inimenjadi bab pertama buku al-Manhaj al-Falsafi Bayna al-Ghazali wa Dikart, MahmudHamdi Zaqzuq, Kairo: Dar al-Ma‘arif, cetakan IV, 1997.; Al-Islam fi al-Fikr al-Gharbi: ‘Ard wa Munaqashah, Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Kuwait: Dar al-Qalam,cetakan II, 1406 H./1986 M.; Al-Manhaj al-Falsafi Bayna al-Ghazali wa Dikart,Mahmud Hamdi Zaqzuq, Kairo: Dar al-Ma‘arif, cetakan IV, 1998.
16
yang benar dengan mengidentifikasi penghalang-penghalang
tersebut. Yaitu:
1. Subordinasi pemikiran dan taklid buta.
2. Khurafat, waham, dan omong kosong perdukunan.
3. Penolakan pada tanggung jawab pribadi.
4. Ketakutan pada kekuasaan duniawi.26
Zaqzuq mengatakan, “Islam telah memenuhi semua syarat
yang dibutuhkan untuk terlaksananya gerakan pemikiran di
kalangan umat Islam. Gerakan pemikiran itu telah benar-
benar terjadi dan tersebar di seluruh negeri Islam.
Berbagai bentuk thaqafah tersebar di tengah-tengah mereka
dan terkoneksi dengan pemikiran Islam, tidak mereka tolak
begitu saja, tapi diuji terlebih dulu sisi-sisi positif dan
negatifnya.”27
Negeri Islam adalah negeri yang paling terbuka
terhadap filsafat dan para filsuf. Jika ada filsuf yang
pernah mendapat perlakuan tidak baik, maka itu karena
pengaruh politik, dan bukannya karena penolakan terhadap
filsafat atau pemasungan pemikiran. Islam tidak pernah
menghalangi kajian ilmu-ilmu alam seperti yang pernah
terjadi di Eropa pada abad-abad pertengahan.28
Penghargaan terhadap kebebasan pemikiran dicontohkan
oleh al-Quran.
1. Al-Quran memaparkan dengan jujur dan subtil
pendapat-pendapat kaum yang menentang pandangan dunia26 Dawr al-Islam fi Tatawwur al-Fikr al-Falsafi, Mahmud Hamdi Zaqzuq, h. 9-11.27 Dawr al-Islam fi Tatawwur al-Fikr al-Falsafi, Mahmud Hamdi Zaqzuq, h. 12.28 Dawr al-Islam fi Tatawwur al-Fikr al-Falsafi, Mahmud Hamdi Zaqzuq, h. 12-
13.17
Islam, seperti para paganis, dahri, materialis, orang-orang
kafir dan orang-orang munafis, baru kemudian membantahnya
secara logis. Islam melarang keras memberi penilaian tentng
sesuatu tanpa didasari ilmu.
2. Kisah perdebatan para nabi dengan kaumnya memuat
dalil-dalil rasional yang mengindikasikan kemampuan akal
untuk mencapai keyakinan.29
Pemikiran filsafat adalah pemikiran yang evolutif dan
bukannya pemikiran yang stagnatif. Struktur filsafat,
sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakar al-Razi (864-925 M)
dibangun oleh banyak generasi. Al-Razi (Manahij al-‘Ulama al-
Muslimin, Franz Rosenthal, diterjemahkan oleh Anis Farihah,
Beirut: Dar al-Thaqafah, 1980, h. 185) mengatakan,
“Ketahuilah, setiap filsuf yang hidup belakangan, jika
berkonsentrasi mengkaji filsafat, menekuninya dengan
bersungguh-sungguh, dan mengkaji hal-hal yang diperdebatkan
para filsuf karena sangat subtil dan rumit, maka dia akan
mengetahui pengetahuan para filsuf terdahulu itu, lalu
dengan kecerdasan dan ketekunannya dalam kajian dia akan
memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru, karena dia akan
menjadi mahir berkat pengetahuan para filsuf terdahulu itu
dan menangkap pengetahuan-pengetahuan baru dan karena
kajian, perenungan, dan kesungguh-sungguhan meniscayakan
pertambahan pengetahuan.”30
29 Dawr al-Islam fi Tatawwur al-Fikr al-Falsafi, Mahmud Hamdi Zaqzuq, h. 13-14.
30 Dawr al-Islam fi Tatawwur al-Fikr al-Falsafi, Mahmud Hamdi Zaqzuq, h. 15,footnote nomor 1.
18
Sumbangan umat Islam untuk pemikiran dunia secara umum
misalnya pada:
1. Penciptaan ilmu aljabar.
2. Penambahan angka 0 bagi bilangan yang sudah
dikenal umat manusia hingga melahirkan revolusi dalam ilmu
hisab (aritmatika)
3. Penemuan logaritma oleh al-Khawarizmi (w. 847 M)
Kemudian, Zaqzuq mengemukakan tiga konsep penting
persembahan Islam yang memiliki pengaruh penting dalam
perkembangan pemikiran dan peradaban, yaitu: pertama,
prinsip ijtihad atau independensi rasional; kedua, konsep
tawfiq atau moderasi; ketiga, perspektif historis Islam.
Peran Islam terhadap Filsafat Eropa
A. Pengaruh Islam terhadap filsafat abad pertengahan
Sebelum membahas tema ini, Zaqzuq juga mengulas
pengaruh Islam terhadap filsafat abad-abad pertengahan. Dia
menganggap aneh sikap beberapa peneliti Eropa yang memberi
nilai sangat besar bagi pengaruh filsafat Yunani terhadap
filsafat Islam, sehingga sebagian dari mereka mengatakan
bahwa filsafat Islam itu tidak lebih daripada filsafat
Yunani yang ditulis dalam bahasa Arab, tapi pada waktu yang
sama memberi nilai sangat kecil, bahkan menolak sama sekali
adanya pengaruh filsafat Islam terhadap pemikiran Eropa.
Sebab, menurut Zaqzuq, mengambil dan memberi (al-akhdh wa al-
19
ata’) adalah hukum yang berlaku pada setiap peradaban, baik
peradaban Eropa maupun Islam.31
Selanjutnya, Zaqzuq mengatakan bahwa relasi pemikiran
Barat Modern dengan pemikiran Islam terlihat pada poin-poin
berikut:
Pertama, penerjemahan filsafat dari bahasa Arab ke
bahasa Latin.
Sejak tahun 1130 para ulama Kristen di Eropa mulai
bersungguh-sungguh dalam menerjemahkan filsafat dari bahasa
Arab ke dalam bahasa Latin. Dunia Kristen Eropa bertemu
dengan dunia Islam di dua tempat, yaitu di Italia Selatan
dan Spanyol. Di Spanyol ada gerakan penerjemahan yang
sangat aktif. Ada perpustakaan bahasa Arab yang sangat
besar di salah satu masjid di kota Talitalah ketika kota
ini ditaklukkan oleh pasukan Kristen. Raymund, kepala uskup
Talitalah 1130-1150, lalu kepala uskup Spanyol, sangat
terlibat dalam penerjemahan filsafat dari bahasa Arab ke
bahasa Latin. Dia mendirikan lembaga penerjemahan dan
mengangkat Dominic Gondisalvi sebagai ketuanya, dan
menugasinya untuk menerjemahkan sejumlah buku-buku penting
dalam bidang filsafat dan sains. Terjemahan-terjemahan ini
lalu menjadi pondasi bagi filsafat Skolastik di Eropa.
Pada tahun 1220 M Frederick II menjadi kaisar. Dia
menguasai bahasa Arab dan sangat terpesona pada buku-buku
para filsuf Arab. Ilmu-ilmu Arab dikembangkan dengan penuh
gairah di istananya di Palermo dan diterjemahkan ke dalam
31 Dawr al-Islam fi Tatawwur al-Fikr al-Falsafi, Mahmud Hamdi Zaqzuq, h. 28.20
bahasa latin. Dia dan anaknya (Manfred) menghadiahkan
kepada Universitas Bologna dan Paris terjemahan buku-buku
filsafat dari bahasa Arab. Pada tahun 1224 dia mendirikan
Universitas Napoli dan menjadikannya gerbang untuk
memasukkan ilmu-ilmu Arab ke dunia Barat. Thomas Aquinas,
sebelum menjadi pendeta, telah belajar di universitas ini.
Boleh jadi ini adalah sebab perhatian besarnya terhadap
ajaran-ajaran para filsuf Arab.
Kedua, Avicennisme di Eropa.
Albertus Magnus dan Thomas Aquinas mengambil pendapat
Ibnu Sina dalam teori epistemologi, universalia, pemisahan
yang tegas antara esensi (mahiyah) dengan eksistensi
(wujud). Duns Scotus, dalam membangun pandangan
metafisikanya, juga mengambil pandangan Ibnu Sina. Sejumlah
pemikir mengatakan ada pengaruh Ibnu Sina dalam konsep
Cogito-nya Rene Descartes.
Carra de Vaux menegaskan adanya Avicennisme Latin pada
abad-abad pertengahan yang lebih diwarnai oleh unsur Arab
daripada unsur Augustinisme. Selain itu, Roger Bacon tidak
menyembunyikan bahwa dirinya adalah penggemar Ibnu Sina.
Teori Bacon tentang kesucian Pope sangat serupa dengan
teori Ibnu Sina tentang khilafah.
Ketiga, Farabianisme di Eropa.
Pendapat-pendapat al-Farabi juga berpengaruh terhadap
Albertus Magnus. Buku al-Farabi Ihsa’ al-‘Ulum berpengaruh
pada banyak pemikir Eropa abad pertengahan. Di dalam buku
ini al-Farabi menjelaskan objek ilmu-ilmu yang terkenal
21
pada zamannya, serta faidah teoritis dan praktisnya.
Gundissalinus dari Spanyol pada abad 12 mengambil sebagian
besar isi buku ini ke dalam bukunya tentang klasifikasi
filsafat. Pada abad 13, Jerome de Moravie juga banyak
memanfaatkan pemikiran al-Farabi, khususnya pemikirannya
tentang musik.
Keempat, Averroisme di Eropa.
Bersama dengan Avicennisme, Averroisme adalah aliran
yang paling pesat perkembangannya di Eropa pada abad
pertengahan. Bahkan, pemikirannya menjadi pijakan bagi
perkembangan baru di dunia Barat. Pemikiran Thomas Aquinas
tidak dapat digambarkan tanpa pemikiran Ibnu Rushd. Pada
pertengahan abad 13 semua karya filsafat Ibnu Rushd telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Renan menegaskan
adanya Averroisme Latin di dalam bukunya Ibn Rushd wa al-
Rushdiyyah. Aliran ini hidup selama berabad-abad di Eropa
dan berkontribusi besar dalam wacana kebebasan pemikiran
pada abad-abad pertengahan di Eropa. William of Auvergne,
mitran di Paris, memuji Ibnu Rushd sebagai pembela
kebenaran yang sejati, mengutip banyak pemikirannya, dan
menilainya sebagai guru yang paling banyak benarnya. Thomas
Aquinas mengikuti Ibnu Rushd dalam menjelaskan relasi
filsafat dengan pengetahuan filosofis. Asin Palacios
mengatakan bahwa kesamaan antara Thomas Aquinas dengan Ibnu
Rushd tidak terbatas pada perspektif umum, konsep-konsep,
dan contoh-contoh, bahkan seringkali juga di dalam kata-
22
kata. Menurut Palacios, ini bukan karena Aquinas dan Ibnu
Rushd merujuk akar pemikiran yang sama, tapi karena Aquinas
mengenal dan memanfaatkan pendapat-pendapat Ibnu Rushd.
Averroisme berkembang di Eropa sampai abad 17 dan
melahirkan mazhab Rasionalisme yang berkuasa di Eropa pada
abad Renaisance Eropa.
Kelima, Ghazalianisme di Eropa.
Pemikiran al-Ghazali berpengaruh secara langsung atau
tidak langsung terhadap dunia pemikiran Eropa, bahkan
terhadap pemikiran Eropa modern. Pengaruh ini pertama-tama
pada Raimund Martin dan Thomas Aquinas, lalu pada Pascal.
Martin, di dalam bukunya al-Ta‘nah al-Najla’ Didd al-Magharibah wa al-
Yahud, mengambil sebagian besar argumentasinya dari kitab
Tahafut al-Falasifah, sementara Aquinas membantah mazhab wahdah
al-‘uqul dengan argumentasi-argumentasi para teolog muslim
Ahlussunnah yang diketahuinya lewat al-Ghazali.
Salvador Gomez Nogales, ketika menerangkan relasi
filsafat Islam dengan filsafat Eropa, mengatakan, “Saya
sangat yakin bahwa ada pengaruh langsung dari filsafat
Islam terhadap Eropa pada abad-abad pertengahan. Lebih dari
itu saya katakan bahwa kalau bukan karena pengaruh filsafat
Islam terhadap agama Kristen ini, maka filsafat Kristen
tidak akan mampu melakukan langkah raksasa yang kita
apresiasi pada diri para jenius aliran Skolastisme seperti
St. Thomas, minimal tidak akan melakukan langkah raksasa
itu dengan kecepatan yang telah kita ketahui. …. Filsafat
23
Islam telah berpengaruh sangat besar dalam pemikiran Eropa
pada abad-abad pertengahan.”32
B. Pengaruh Islam terhadap pemikiran filsafat modern
Karena filsafat Eropa abad pertengahan mempengaruhi
filsafat Eropa modern, maka kita dapat mengatakan bahwa
filsafat Islam telah berpengaruh terhadap filsafat Eropa
modern. Tapi, yang ingin dibuktikan oleh Zaqzuq di dalam
bagian ini adalah pengaruh langsung filsafat Islam terhadap
filsafat Eropa modern. Aspek pertama yang dia ungkap adalah
pengaruh al-Ghazali terhadap Descartes.
Al-Ghazali menggunakan skeptisisme metodis sebagai
jalan untuk memperoleh keyakinan filosofis. Al-Ghazali
menjelaskan langkah-langkah keraguan metodis terutama di
dalam bukunya al-Munqidz min al-Dalal. Pertama, al-Ghazali
menegaskan pentingnya penolakan terhadap taklid dan
subordinasi pemikiran dan pentingnya independensi rasional
dalam pencarian kebenaran. Kedua, al-Ghazali mengkritik
pengetahuan-pengetahuan manusia mulai dari pengetahuan
inderawi hingga pengetahuan rasional. Ketiga, al-Ghazali
mendiskusikan masalah keyakinan, wacana akidah, dan problem
pembedaan pengetahuan manusia yang diperolehnya ketika
terjaga dan tertidur. Keempat, al-Ghazali menjelaskan
keraguan metafisis yang terwujud dalam persepsi tentang
setan penipu atau makhluk penyesat, hingga akhirnya sampai
kepada keyakinan filosofis yang tidak tergoyahkan dan32 Dawr al-Islam fi Tatawwur al-Fikr al-Falsafi, Mahmud Hamdi Zaqzuq, h. 28-
35.24
disebutnya sebagai kembalinya keyakinan terhadap aksioma-
aksioma rasional. Al-Ghazali, dengan metode rasional, dan
bukannya dengan metode mistis seperti yang dikatakan banyak
peneliti, sampai kepada pengetahuan tentang diri dan
pengetahuan tentang Allah.
Semua langkah yang dilakukan al-Ghazali tersebut
sangat berpengaruh terhadap pemikiran Descartes yang
disebut para ahli sejarah sebagai Bapak Filsafat Modern.
Langkah-langkah yang disebutkan al-Ghazali ini sama persis
dengan langkah-langkah yang ditetapkan oleh Descartes 500
tahun kemudian, dan selanjutnya metode Descartian ini
dianggap sebagai gerbang baru di dunia filsafat.
Zaqzuq telah menulis buku berkaitan dengan tema
pengaruh al-Ghazali terhadap Descartes ini dan
dipublikasikan dalam dua bahasa, Arab dan Inggris. Dalam
bahasa Arab judulnya al-Manhaj al-Falsafi Bayna al-Ghazali wa Dikart33
dan dalam bahasa Jerman judulnya Al Ghazalis Grundlegung der
Philosophie. Di dalam buku ini Zaqzuq menyimpulkan ada
kemiripan yang nyaris sempurna antara pemikiran al-Ghazali
dengan pemikiran Descartes. Dalam buku tersebut, Zaqzuq
hanya melakukan penelitian dengan pendekatan filosofis dan
tidak melakukan penelitian dengan pendekatan historis. Yang
terakhir ini, menurut Zaqzuq, telah dilakukan oleh peneliti
lain, yaitu ahli sejarah dari Tunisia, yaitu ‘Uthman al-
Ka‘‘ak, pada tahun 1976, yang menegaskan adanya bukti
material di perpustakaan Descartes yang mengafirmasi33 Al-Manhaj al-Falsafi Bayna al-Ghazali wa Dikart, Mahmud Hamdi Zaqzuq,
Kairo: Dar al-Ma‘arif, cetakan IV, 1998.25
pengetahuan Descartes terhadap pemikiran al-Ghazali dan
terpengaruh oleh terjemahan buku al-Munqidh min al-Dhalal.
Ada aspek lain dalam pemikiran al-Ghazali yang
mempengaruhi filsuf Barat modern, yaitu kritik al-Ghazali
terhadap prinsip kausalitas yang menyatakan relasi sebab
dengan akibat hanya berbasis kepada kebiasaan dan sekadar
relasi temporal antara dua hal. Kritik seperti ini kita
dapati juga pada pemikiran David Hume. Bahkan, Hume tidak
menyebutkan hal yang baru dalam hal ini. Itulah yang
ditegaskan oleh Renan dalam perkataannya, “Hume, dalam
kritiknya terhadap prinsip kausalitas, tidak mengatakan
sesuatu yang di luar apa yang telah dikatakan oleh al-
Ghazali.”
Zaqzuq mengusulkan kajian-kajian komparatif lainnya
antara filsuf Islam dengan filsuf Eropa modern. Misalnya,
keterpengaruhan Spinoza oleh Ibnu Maimun (1135-1204 M) yang
terpengaruh oleh para filsuf muslim seperti terlihat di
dalam bukunya Dilalah al-Ha’irin.34
Mengaitkan kemunduran Islam pada saat ini dengan
ajaran Islam adalah sikap yang naif. Malik bin Nabi di
dalam buku Mushkilah al-Afkar fi al-‘Alam al-Islami mengatakan,
“Penyebab kemunduran dunia Islam pada saat ini bukan Islam.
Kemunduran ini adalah hukuman yang pantas dari Islam kepada
kaum Muslimin karena mereka telah meninggalkannya, dan
bukannya karena mereka memegang teguh ajarannya seperti
dianggap oleh beberapa orang yang naif.” Hal ini disebut34 Dawr al-Islam fi Tatawwur al-Fikr al-Falsafi, Mahmud Hamdi Zaqzuq, h. 35-
38.26
oleh Zaqzuq sebagai Khoja Complex, yaitu nalar bahwa Eropa
kini maju, agama yang dianut oleh kebanyakan orang Eropa
adalah Kristen, maka kemajuan Eropa adalah berkat Kristen;
dan negeri-negeri Arab kini terbelakanga, agama yang dianut
oleh kebanyakan orang Arab adalah Islam, maka kemunduran
bangsa-bangsa Arab adalah berkat Islam.35
Menurut Muhammad al-Bahi, Zaqzuq membuktikan, “Adanya
kesesuaian pemikiran antara al-Ghazali dengan Descartes dan
tidak mengklaim Descartes terpengaruh oleh al-Ghazali,
karena untuk klaim ini, keselarasan pemikiran tidak cukup
sebagai bukti, begitu juga kelebihduluan kronologis, tapi
harus ada bukti empiris yang menunjukkan pengaruh tersebut
baik secara langsung atau tidak langsung.”36
Langkah menuju pengetahuan dalam metode al-Ghazali:
Pertama, meragukan nilai-nilai pengetahuan inderawi
dan rasional yang diperoleh dari berbagai aliran.
Kedua, menemukan dua hakikat yang tidak dapat
diragukan, yaitu hakikat akal pada badan dan hakikat Allah
pada wujud. Akal manusia adalah nur ilahi di badan manusia
dan Allah adalah Cahaya Sempurna di dalam wujud. Di dalam
al-Ihya al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh al-Bahi,
mengatakan bahwa di dalam hati ada insting yang disebut nur
ilahi, akal, basirah batin, nurul iman, atau yakin. Di sini
dijelaskan relasi akal dengan syariat. Akal itu laksana
pondasi sedangkan syariat laksana bangunan. Wahyu tidak
35 Al-Islam fi al-Fikr al-Gharbi, Mahmud Hamdi Zaqzuq, h. 15.36 Tadqim, Muhammad al-Bahi, dalam Al-Manhaj al-Falsafi Bayna al-Ghazali wa
Dikart, Mahmud Hamdi Zaqzuq, h. 5.27
akan memuat keterangan yang pasti yang bertentangan dengan
pengetahuan akal.
Ketiga, tasawuf, yaitu membersihkan hati dari ikatan-
ikatan badaniah inderawi dan fokus pada pengetahuan
rasional.
Keraguan al-Ghazali adalah penolakan untuk mengikuti
dan bertaklid kepada aliran-aliran dan sekte-sekte yang
berbeda-beda yang ada padazamannya, yang perbedaannya telah
mengakibatkan pecahnya kaum muslimin menjadi kelompok-
kelompok yang bermusuhan dan menyebabkan umat Islam lemah
dan mundur pada level politik, relasi-relasi sosial, dan
keterikatan pada dasar keimanan kepada Allah. Pada waktu
yang sama, keraguan ini berarti kritik terhadap aliran-
aliran tersebut.
Lalu, al-Bahi mengatakan bahwa metode penelitian al-
Ghazali adalah: dari keraguan, kepada keimanan kepada Allah
dan akal manusia, kepada tuntutan asketisme kepada ulama
peneliti. Seorang peneliti harus ragu, yakni menghindari
subordinasi pemikiran dan taklid, lalu harus menggunakan
akal dan tunduk kepada Kitabullah dan Sunnah yang sahih. Di
dalam al-Ihya al-Ghazali menegaskan, “Orang yang menyerukan
taklid buta dan mengasingkan akal secara keseluruhan adalah
orang yang bodoh, sedangkan orang yang mencukupkan diri
dengan akal dan mengabaikan cahaya-cahaya al-Quran dan
Sunnah adalah orang yang menipu diri sendiri.”37
37 Tadqim, Muhammad al-Bahi, dalam Al-Manhaj al-Falsafi Bayna al-Ghazali waDikart, Mahmud Hamdi Zaqzuq, h. 6-8.
28
Berdasarkan penelitian tersebut, Zaqzuq, seperti Max
Horton, menyatakan bahwa filsafat di dunia Islam tidak mati
pasca al-Ghazali.38 Buku Al-Manhaj al-Falsafi Bayna al-Ghazali wa
Dikart adalah buku yang penting dibaca untuk mengetahui
secara lebih mendalam kesalahan persepsi populer yang
menuduh al-Ghazali sebagai orang yang telah membasmi
filsafat secara menyeluruh sehingga tidak pernah bangkit
kembali.39
38 Al-Manhaj al-Falsafi Bayna al-Ghazali wa Dikart, Mahmud Hamdi Zaqzuq, h.9, footnote no. 1.
39 Al-Manhaj al-Falsafi Bayna al-Ghazali wa Dikart, Mahmud Hamdi Zaqzuq, h.11.
29
Daftar Pustaka
Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Islam fi al-Fikr al-Gharbi: ‘Ard wa Munaqashah,
Al-Kuwait: Dar al-Qalam, cetakan II, 1406 H./1986 M..
J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, cet. III,
Desember 1996, h. 1510.
‘Affaf Mas‘ad al-‘Abd, Dirasat fi Tarikh al-Sharq al-Aqsa,
Iskandariyyah: Dar al-Ma‘rifah al-Jami‘iyyah, tt..
John m. Echols dan Hassan Shadili, Kamus Bahasa Inggris
Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet. XXV, 2000, h. 205
dan 408.
Munir al-Ba‘labaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary,
Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 2005, h. 302 dan
638.
Muhammad Abu al-Mahasin ‘Usfur, Ma‘alim Hadarat al-Sharq al-Adna
al-Qadim, Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1408
H./1987 M., h. d.
Ru’yah ‘Arabiyyah fi Tarikh al-Sharq al-Adna al-Qadim wa Hadaratih,
Muhammad Khalifah Hasan Ahmad, Kairo: Dar Quba li al-
Tiba‘ah wa al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1998, cover
belakang.
‘Abd al-Latif Ahmad ‘Ali, Muhadarat fi Tarikh al-Sharq al-Adna al-
Qadim, Beirut: Maktab Karidiyyah Ikhwan, 1991, h. 15-
16.
Mahmud Muhammad ‘Ali Muhammad, Al-Usul al-Sharqiyyah li al-‘Ilm al-
Yunani, Elharam: Ein for Human and Social Studies,
30
cet. I, 1998, h. 5; Turathuna wa Fajr al-‘Ilm al-Hadith, Wa’il
Bashir al-Atasi, Damaskus: Wizarah al-Thaqafah, 1999,
h. 11-13.
Abu al-Nasr Ahmad al-Husayni, Al-Falsafah al-Hindiyyah Dirasah Ba‘d
Nawahiha ma‘a al-Muqaranah bi al-Falsafah al-Gharbiyyah, Kairo:
Matba‘ah Misr, cet. I.
Anis Farihah, Ahiqar Hakim min al-Sharq al-Adna al-Qadim, Beirut:
Manshurat Kulliyyah al-‘Ulum wa al-Adab Jami‘ah Beirut
al-Amrikiyyah, 1962.
Abu al-Nasr Ahmad al-Husayni, Al-Falsafah al-Hindiyyah Dirasah Ba‘d
Nawahiha ma‘a al-Muqaranah bi al-Falsafah al-Gharbiyyah, Kairo:
Matba‘ah Misr, cet. I, h. 7, 8,.
Ruh ‘Azim al-Mahatma Ghandi, Abbas Mahmud al-‘Aqqad, Kairo:
Shirkah Fann al-Tiba‘ah, tt..
Mahmud Hamdi Zaqzuq, Dawr al-Islam fi Tatawwur al-Fikr al-Falsafi,
Kairo: Maktabah Wahbah, Cetakan I, 1404 H./1984 M.
Mahmud Hamdi Zaqzuq, al-Manhaj al-Falsafi Bayna al-Ghazali wa Dikart,
Kairo: Dar al-Ma‘arif, cetakan IV, 1997..
Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Islam fi al-Fikr al-Gharbi: ‘Ard wa Munaqashah,
Al-Kuwait: Dar al-Qalam, cetakan II, 1406 H./1986 M..
31