Top Banner
Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desa
56

Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

Aug 23, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

Policy Paper

Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desa

Page 2: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,
Page 3: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

Policy Paper

Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desa

Tim Penulis:Sukasmanto

Dina MarianaRajif Dri Angga

Reviewer:Dr. Krisdyatmiko

Editor:Titok Hariyanto

Page 4: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

ii Institute for Research and Empowerment 2020

Policy PaperAdvokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desa

Diterbitkan olehInstitute for Reserach and Empowerment (IRE) YogyakartaDidukung oleh Knowledge Sector Initiative (KSI)Cetakan Pertam, 2020

Tim Penulis: SukasmantoDina MarianaRajif Dri Angga

Reviewer:Dr. Krisdyatmiko

Editor:Titok Hariyanto

Desain dan Tata Letak:Suparmo

Institute for Research and Empowerment (IRE) YogyakartaJl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5 Dusun Tegalrejo RT 01/RW 09 Sariharjo Ngaglik Sleman Yogyakarta 55581T: +62 274 867 686 F: +62 274 867 686E: [email protected] www.ireyogya.org

Page 5: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

iiiAdvokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

Executive Summary

Policy Advocacy for the Implementation of

the Village Law

The Village Law (Law No. 6 of 2014 concerning “Desa”) provides the mandate for village governance that must pay attention to the principles of recognition and subsidiarity, including in the formulation of derivative policies at the central and regional levels.

Therefore, all forms of legislation as the implementation of the Village Law must respect those principle including the position and authority of the village.

Since 2014 after the issuance of Government Regulation (Peraturan Pemerintah/PP) No. 43 of 2014 concerning Regulations for Implementing Law No. 6 of 2014 concerning Villages, IRE has compiled a Critical Review of the existence of the PP which, based on the perspective of IRE and the norms of the Village Law, experienced distortions and threatened village authority. In spite of changes in PP No. 47 of 2015, the overall meaning in the regulation remains the same, where this regulation failed in translating the will of the Village Law. Likewise, other Government Regulations (PPs) governing villages such as PP No. 60 of 2014 jo PP No. 22 of 2015 in conjunction with PP No. 8 of 2016 concerning Village Funds sourced from the State Budget was created with a centralized nuance.

On that basis, IRE Yogyakarta has an interest in realigning the mandate of the Village Law in various derivative regulations, including Government Regulations. Therefore, IRE began by conducting research with qualitative methods and document studies on the implementation of the Village Law, by taking samples in 3 districts, namely Bantul, Serdang Bedagai and Pasangkayu. These findings give birth to this Policy Paper whose purpose is to align village roads. The purpose of this “village road” is the village ways, the perspective established by the Village Law, and the mandates set forth in the articles, as well verses and their following explanation.

This Policy Paper notes conclusions based on the results of the research that are important for reflection together, especially policy makers. First, there is a misalignment between the Village Law and the PP which is currently used as the basis for operationalizing the Village Law. Second, the role of the supra-village government (regency, province, and central government) which in the Village Law is more obliged to conduct guidance and supervision has become increasingly authoritative in regulating and determining villages. Third, the

Page 6: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

iv Institute for Research and Empowerment 2020

perspective in the PP still places the village as the object of development is urgently needed to b changed paradigmatically and comprehensively, both in terms of governance, community empowerment, asset utilization, and village finance. Fourth, PPs on Village Funds tend to reduce fund which is originally village’s rights by reclaiming it into state finance.

The inconsistency of the regulation is a strong reason for IRE to recommend the revocation and replacement of the two PPs that have been used as the basis for implementing the Village Law, namely PP No. 43 of 2014 as last amended to PP No. 11 of 2019 and PP No. 60 of 2014 and finally amended by PP No. 8 of 2016. Therefore, the government needs to immediately make a new PP as a substitute for the two PPs above, whose contents are in line with the spirit and values contained in the Village Law.

Keywords: Village Law, PP No. 43 of 2014, village authority

Page 7: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

vAdvokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desa Policy Paper

Kata Pengantar

Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desa

Sejak Tahun 2007 hingga di penghujung Tahun 2013, IRE Yogyakarta secara konsisten terus mengawal lahirnya UU yang dapat memberikan kewenangan lebih besar bagi desa dalam mengurus dirinya sendiri, hingga pada akhirnya lahirlah UU No. 6 Tahun

2014 tentang Desa. Namun IRE Yogyakarta menyadari bahwa kelahiran UU Desa barulah awal perjuangan bagi terwujudnya mimpi besar mewujudkan desa yang berdaulat, mandiri dan sejahtera. IRE menyadari bahwa tugas penting berikutnya adalah mengawal implementasi UU Desa, baik berupa kebijakan turunannya maupun praktek implementasinya, mulai dari tingkat pusat hingga desa itu sendiri. Kelahiran Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan awal kritik IRE terhadap regulasi turunan UU Desa, mengingat ada banyak kekeliruan dalam menerjemahkan kehendak UU Desa. Akan tetapi tidak ada perubahan, justeru dari regulasi tersebut berlahiran juga aturan-aturan teknis yang semakin bias dan menimbulkan kerumitan dalam implementasinya.

Tahun 2019, IRE atas dukungan Knowledge Sector Initiative (KSI) berkesempatan untuk melakukan refleksi atas implementasi UU Desa. Kegiatan dimulai dengan melakukan desk study terhadap norma serta mandat yang ada dalam UU Desa terkait aspek-aspek yang telah dirumuskan dan hasil-hasil riset dan advokasi yang telah dilakukan IRE maupun lembaga-lembaga lain yang selama ini menggeluti desa. Selanjutnya melakukan riset lapangan di 3 wilayah, yaitu: Kabupaten Serdang Bedagai (Sumatera Utara), Bantul (DIY) dan Pasang Kayu (Sulawesi Barat). Hasil penelitian tersebut menjadi bahan dalam proses penyusunan policy paper ini. Sedikitnya ada beberapa isu krusial dalam penelitian tersebut yang menjadi fokus pembahasan, antara lain penataan desa, aset desa, kewenangan desa, demokratisasi desa, pemberdayaan ekonomi, keuangan desa, perencanaan dan penganggaran desa, akuntabilitas dan inklusi sosial, sistem informasi desa, pendampingan desa, pengisian perangkat, dan kawasan perdesaan.

IRE Yogyakarta berharap policy paper ini menjadi materi yang dapat dikonsumsi oleh para pihak, khususnya pembuat kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah, maupun bagi para akademisi, pegiat desa, maupun desa itu sendiri sebagai bahan dalam penyusunan kebijakan maupun agenda kerja kelembagaan. Terima kasih kepada para peneliti dan tim administrasi atas dedikasinya sehingga dapat melahirkan Policy Paper “Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desa” ini sebagai bentuk tanggung jawab IRE Yogyakarta untuk terus produktif melahirkan produk-produk pengetahuan yang dapat dimanfaatkan dalam rangka penguatan demokrasi lokal guna menciptakan kesejahteraan.

Yogyakarta, 2020

Page 8: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

vi Institute for Research and Empowerment 2020

Page 9: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

viiAdvokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desa Policy Paper

Daftar Singkatan

ADD : Alokasi Dana DesaAD : Anggaran DasarAHU : Administrasi Hukum UmumART : Anggaran Rumah TanggaAPBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja DaerahAPB Desa : Anggaran Pendapatan dan Belanja DesaAPBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja NegaraBalkondes : Balai Ekonomi Desa Bimtek : Bimbingan TeknisBUMDesa : Badan Usaha Milik DesaBUMN : Badan Usaha Milik NegaraBPD : Badan Permusyawaratan DesaCSR : Corporate Social ResponsibilityDD : Dana DesaDIY : Daerah Istimewa YogyakartaHGU : Hak Guna UsahaIRE : Institute for Research and EmpowermentJatim : Jawa TimurKab. : KabupatenKades : Kepala DesaKaltim : Kalimantan TimurKAT : Komunitas Adat TerpencilKemenkumham : Kementrian Hukum dan Hak Asasi ManusiaKPMD : Kader Pemberdayaan Masyarakat DesaLPPD : Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan DesaLSM : Lembaga Swadaya MasyarakatMusdes : Musyawarah Desa Musdus : Musyawarah DusunNAD : Nangro Aceh DarussalamNGO : Non Government OrganizationOMS : Organisasi Masyarakat SipilPAUD : Pendidikan Anak Usia DiniPKK : Pembinaan Kesejahteraan KeluargaPerda : Peraturan DaerahPermen : Peraturan MenteriPermendagri : Peraturan Menteri Dalam Negeri

Page 10: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

viii Institute for Research and Empowerment 2020

Permendesa PDTT : Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan TransmigrasiPerpres : Peraturan PresidenPID : Program Inovasi DesaPIR : Perkebunan Inti RakyatPLD : Pendamping Lokal DesaPNPM : Program Nasional Pemberdayaan MasyarakatPP : Peraturan PemerintahPT : Perseroan TerbatasRAB : Rencana Anggaran BiayaRKP Desa : Rencana Kerja Pemerintah DesaRPJM Desa : Rencana Pembangunan Jangka Menengah DesaRT/RW : Rukun Tetangga/Rukun WargaSDM : Sumber Daya ManusiaSID : Sistem Informasi DesaSulbar : Sulawesi BaratUU : Undang-Undang

Page 11: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

ixAdvokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desa Policy Paper

Daftar Isi

Executive Summary ........................................................................ iiiKata Pengantar ................................................................................ vDaftar Singkatan .............................................................................. vii

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................... 11.1. Pengantar ................................................................................. 11.2. Tujuan ....................................................................................... 21.3. Kerangka Konseptual ............................................................... 2

BAB II TEMUAN-TEMUAN PROBLEM PELAKSANAAN UU DESA ..... 52.1. Penataan Desa ........................................................................ 52.2. Aset Desa ................................................................................ 72. 3. Kewenangan ........................................................................... 112.4. Demokratisasi Desa ................................................................ 132.5. Pemberdayaan Ekonomi Desa ................................................ 152.6. Keuangan Desa ....................................................................... 192.7. Perencanaan dan Penganggaran Desa .................................... 242.8. Akuntabilitas dan Inklusi Sosial ............................................... 282.9. Sitem Informasi Desa .............................................................. 292.10. Pendampingan Desa ............................................................... 30

2.11. Pengisian Perangkat ............................................................... 322.12. Kawasan Perdesaan ................................................................ 34

BAB III Kesimpulan dan Rekomendasi ............................................ 39

Page 12: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

x Institute for Research and Empowerment 2020 Foto

: IRE

/Ipa

nk

Page 13: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

1Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

1.1. Pengantar

Sejak diundangkannya Undang Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa, IRE sebagai lembaga yang

ikut meng inisiasi lahirnya UU tersebut ter libat secara aktif menata jalur implementasi; mengadvokasi kebija-kan di tingkat nasional, daerah, dan desa; bermitra dengan desa-desa dalam melakukan penataan perencanaan dan penganggaran partisipatif di desa; mendorong perbaikan akuntabilitas dan inklusi social di desa; bermitra dengan desa dalam pelembagaan ekonomi lokal, dll. Selain itu, IRE juga melakukan riset untuk mendalami berbagai isu dalam rangka implementasi UU Desa.

Ada banyak hal yang bisa dicatat sebagai bahan refleksi bersama. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini tidak sedikit desa yang mampu tampil sebagai subyek yang berdaulat dalam mengurus kepentingan masyarakatnya. Dalam pembangunan infrastruktur fisik terjadi perbaikan secara signifikan. Demikian pula dengan pembangunan fasilitas-fasilitas layanan sosial dasar seperti posyandu dan PAUD. Upaya-upaya yang dilakukan desa dalam mengoptimalkan potensi aset yang dimiliki mampu menumbuhkan lapangan

pekerjaan baru dan meningkatkan pen-dapa tan masyarakat.

Di sisi lain, desa juga masih meng-hadapi sejumlah persoalan dalam mengimplementasikan UU Desa. Di antaranya adalah masih ada desa yang tidak dapat memprioritaskan pro-gram pembangunan sesuai harapan masyarakat. Kebijakan pemerintah yang mengarahkan penggunaan dana desa (top-down) telah mempersulit desa untuk mengembangkan program inovasi sesuai dengan tantangan ke depan, dan masih ada desa yang tidak dapat mengembangkan program pro-job dan pro-poor karena kebijakan pemerintah lebih mengarahkan penggunaan dana desa untuk pembangunan fisik yang cenderung dinikmati oleh kelas mene-ngah ke atas yang telah mapan secara sosial ekonomi. Pendek kata, masih ada problem stuktural pelaksanaan UU Desa yang menghambat berkembangnya inovasi-inovasi pembangunan yang ber-pijak pada aspirasi warga.

Kami memandang pangkal tolaknya bermula dari masih belum sinkronnya regulasi turunan UU Desa dengan norma yang ada dalam UU Desa, dan gagalnya pemerintah memahami rea-

BAB 1PENDAHULUAN

Page 14: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

2 Institute for Research and Empowerment 2020

22 Tahun 2015 jo PP No. 8 Tahun 2016 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN) yang dalam beberapa pasalnya justru bertolak belakang dengan asas rekognisi dan subsidiaritas yang dianut UU Desa. Kekeliruan ini mengakibatkan seolah-olah desa masih dikontrol penuh oleh pihak supradesa.

1.2. TujuanBerangkat dari temuan awal di atas, IRE melakukan pendalaman dengan melakukan penelitian di tiga kabupaten, yaitu Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta, Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, dan Pasangkayu Provinsi Sulawesi Barat. Hasil temuan tersebut kami racik dalam naskah Policy Paper ini yang tujuannya adalah untuk meluruskan jalan desa. Maksud dari “jalan desa” ini adalah mazhab desa, perspektif yang dibangun UU Desa, serta mandat-mandat yang dituangkan dalam pasal-pasal maupun ayat dan penjelasannya. Kedudukan dua Peraturan Pemerintah ini menjadi induk regulasi teknis turunan UU Desa, maka konstruksi dan muatan materinya harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut, maka turunan berikutnya di tingkat peraturan menteri sampai regulasi daerah akan menimbulkan komplikasi masalah.

1.3. Kerangka KonseptualSecara konseptual, rujukan utama riset adalah norma, nilai, mandat yang terkandung dalam UU Desa. Secara lebih khusus ada 12 isu yang didalami, yaitu tentang Aset Desa, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Pengisian Perangkat Desa, Pemberdayaan Ekonomi Desa,

litas kebutuhan serta kapasitas yang dimiliki oleh desa. Akibatnya, aturan teknis yang ada justru gagal memandu desa menjalankan rute menjadikan desa sebagai ”wilayah otonom” dengan kewenangan yang dimiliki.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan berbasis bukti (evidence based policy) masih belum menjadi tradisi kuat dari para pengambil kebijakan di berbagai tingkatan pemerintahan. Pemangku ke-we nangan pembuat kebijakan berpikir bahwa menerbitkan kebijakan tidak harus ber alaskan bukti-bukti pengetahuan. Terlebih aturan formal tidak tegas men syaratkannya, serta rona politik kebijakan cenderung berkiblat kepada kekuasaan ketimbang pengetahuan. Walhasil, pelaksanaan UU Desa sekarang ini kaya akan kebijakan, namun miskin pengetahuan yang menjadi alas bukti-buktinya.

Alih-alih memberikan panduan kepada desa untuk bisa lebih mandiri, regulasi teknis yang sekarang ini ada justeru semakin menyandera desa. Temuan IRE selama 5 tahun ini melalui riset, advokasi, dan pendampingan mengkonfirmasi fenomena tersebut. Sejumlah organisasi masyarakat sipil (OMS) menemukan pula fenomena secara umum, bahwa desa-desa mengalami kebingungan dalam menjalankan kewenangannya karena adanya regulasi teknis tersebut. Regulasi tersebut tak hanya lemah secara koherensi, namun juga tidak sinkron satu sama lain dan cenderung mendikte secara kaku. Di level peraturan pemerintah (PP), terdapat dua PP (PP No. 43 Tahun 2014 jo PP No. 47 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa dan PP No. 60 Tahun 2014 jo PP No.

Page 15: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

3Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

Demokratisasi Desa, Perencanaan dan Penganggaran Desa, Keuangan Desa, Akuntabilitas dan Inklusi Sosial di Desa, Pendampingan Desa, Sistem Informasi Desa, serta Penataan Kawasan Perdesaan.

Pendalaman tersebut kami lakukan dengan menggunakan dua cara, yaitu melakukan desk study terhadap hasil-hasil riset dan advokasi yang telah dilakukan IRE maupun lembaga-lembaga lain yang selama ini menggeluti desa, dan melakukan riset lapangan. Secara umum kerangka konseptual pendalaman tersebut seperti tergambar pada alur di bawah.

METODENorma serta mandat yang ada dalam

UU Desa terkait aspek-aspek yang telah dirumuskan

Praktik-praktik yang telah dilakukan desa• Kendala serta tantangan yang dihadapi dari

sisi internal desa (kapasitas perangkat desa, partisipasi masyarakat)

• Kendala eksternal (regulasi yang dibuat oleh kabupaten, dan peran kabupaten dalam melakukan pembinaan dan pengawasan)

Tujuan Pendalaman

Membongkar regulasi turunan UU Desa dengan pertanyaan besar apakah regulasi turunan UU Desa tersebut memberikan kemudahan atau justeru mempersulit

pelaksanaan UU Desa

Norma ideal yang mesti dirumuskan dalam regulasi turunan baru sebagai pengganti

regulasi yang sudah ada

Page 16: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

4 Institute for Research and Empowerment 2020

Foto

: IRE

/Ipa

nk

Page 17: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

5Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

Dari kajian dengan menggunakan metode desk study dan temuan-temuan di ketiga kabupaten yang

menjadi lokasi riset, kami menemukan sejumlah persoalan sebagai berikut:

2.1. Penataan DesaPasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menyebutkan ‘desa, atau yang disebut dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat ber-dasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal ini menegaskan definisi desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah. Dalam konteks penataan desa, batas wilayah desa merupakan variabel penting dan seringkali menjadi sumber potensi konflik antardesa maupun antara desa dengan supradesa. Atas dasar itu, Pasal 17 UU Desa memandatkan pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan desa berikut batas wilayahnya.

Sebagai regulasi pelaksanaan UU Desa, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 (PP. 43/2014) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2015 (PP 47/2015) tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa mengatur penataan desa mulai dari Pasal 2 hingga Pasal 32. Ada sejumlah pengaturan yang problematis dalam regulasi turunan UU Desa ini. Pertama, peraturan pemerintah ini mengingkari prakarsa masyarakat dalam penataan desa. Regulasi ini justru menghilangkan peluang prakarsa masyarakat dalam proses pembentukan desa. Padahal, UU Desa menempatkan prakarsa masyarakat sebagai per-timbangan utama dalam penyusunan Perda Pembentukan (Zamroni et al., 2014). Pasal 2 PP. No. 4 Tahun 2014 mengatur bahwa “Pembentukan Desa diprakarsai oleh: a) pemerintah; atau b) pemerintah daerah kabupaten/kota. Pengaturan ini sama sekali tidak memberi ruang partisipasi bagi masyarakat dalam proses pembentukan desa. Peluang masyarakat memberikan pertimbangan masih dimungkinkan ketika pembentukan desa atas prakarsa pemerintah daerah kabupaten/kota. Peluang ini terbuka pada saat ada sosialisasi pembentukan desa oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.

BAB 2TEMUAN-TEMUAN PROBLEM

PELAKSANAAN UU DESA

Page 18: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

6 Institute for Research and Empowerment 2020

Kedua, sebagai peraturan pelaksanaan regulasi di atasnya, PP No 43 Tahun 2015 tidak mengatur lebih lanjut dan memadai ketentuan mengenai penataan desa yang seharusnya dijabarkan dalam PP. Ketentuan yang tidak diatur secara lebih rinci dan memadai dalam peraturan pemerintah tersebut, antara lain: pengaturan mengenai penghapusan desa dan ketentuan tentang pembentukan desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis. Pasal 19 PP No 43 Tahun 2014 hanya mengatur penghapusan desa dapat dilakukan dalam hal terdapat kepentingan program nasional yang strategis atau karena bencana alam. Meski dalam penjelasan Pasal 9 UU Desa mencontohkan kepentingan program nasional, yakni pembangunan waduk atau bendungan, namun PP meng-anggap Pasal 19 telah jelas dan tidak memberikan contoh lebih lanjut tentang program nasional tersebut. PP juga tidak memberikan pengaturan mengenai tahapan atau mekanisme penghapusan desa tersebut. Selain itu, pengaturan mengenai pembentukan desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis tidak menjelaskan definisi dan indikator suatu kawasan dikategorikan sebagai kawasan khusus dan strategis. Penjelasan Pasal 3 PP ini hanya mencontohkan kawasan terluar/perbatasan atau program transmigrasi. Hal ini tentu saja berpotensi menimbulkan perbedaan penafsiran dan kerancuan secara hukum (Zamroni et al., 2014).

Ketiga, PP tidak mengatur lebih lanjut mekanisme perubahan status dari kelurahan menjadi desa. Pasal 24 PP No 43 Tahun 2015 hanya mengatur prasyarat

perubahan status kelurahan menjadi desa, di antaranya corak kehidupan masyarakatnya yang bersifat perdesaan dan perubahan status tersebut dapat mencakup seluruh atau sebagian wilayah nya saja. Pengaturan mengenai perubahan status kelurahan menjadi desa justru diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 1 Tahun 2017 tentang Penataan Desa. Ketentuan mengenai kelurahan sebenarnya diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun demikian, regulasi ini juga tidak mengatur mengenai perubahan status dari kelurahan menjadi desa atau melimpahkan pengaturannya pada peraturan teknis di bawahnya. Sehingga kekosongan regulasi ini mestinya diatur di dalam PP tentang pelaksanaan UU Desa.

Problem regulasi di atas berdampak pada munculnya sejumlah persoalan baik di level daerah maupun desa. Bagian ini akan menjelaskan sejumlah persoalan yang muncul terkait penataan desa.

Pertama, desa-desa menghadapi per-masalahan ketidakjelasan tata batas desa, terutama desa yang berbatasan dengan kawasan HGU/perkebunan. Ketidakjelasan dan ketidakpastian batas wilayah administrasi desa ini diperparah oleh tidak adanya pemahaman mengenai kewenangan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat dalam wilayah yurisdiksinya. Studi IRE di Desa Alur Baning (Kab. Aceh Tenggara, NAD), Desa PIR ADB (Kab. Langkat, Sumut), Kampung Tepian Buah dan Labanan Makmur (Kab. Berau, Kaltim), serta Desa Gunungsari (Kab. Pasangkayu,

Page 19: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

7Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

Sulbar) menunjukkan bahwa desa masih belum memiliki kejelasan status dan tata batas desa yang definitif. Akibatnya, muncul konflik tenurial yang melibatkan pihak supradesa baik pemangku kawasan hutan konservasi, pemegang HGU perkebunan (sawit), maupun pemegang hak kelola kehutanan. Di tengah situasi ini, desa tidak mampu mengambil peran strategis meskipun permasalahan tersebut berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang berada di dalam wilayah yurisdiksinya.

Kedua, pemerintah kabupaten belum mampu memfasilitasi penataan desa (perubahan status, penggabungan, dan/atau pemekaran desa) dan penyelesaian sengketa batas desa. Meski banyak desa belum memiliki batas desa yang jelas, pemerintah kabupaten/kota belum memiliki desain penataan desa. Di Kabupaten Pasangkayu, misalnya, pemerintah kabupaten belum memiliki regulasi tentang penataan desa dan penetapan tata batas desa. Kendala kabupaten dalam menyusun regulasi tentang penataan desa ini adalah belum adanya pemetaan titik koordinat batas wilayah desa untuk menghasilkan peta geografis batas desa yang lebih akurat. Selain itu, kendala yang dihadapi kabupaten adalah masih adanya wilayah Pasangkayu yang belum jelas batas administrasinya, terutama wilayah yang berbatasan dengan kabupaten tetangga (Kabupaten Donggala) atau provinsi tetangga (Sulawesi Tengah). Di Kabupaten Bantul, meskipun telah memiliki regulasi tentang penataan desa (Perda No. 1 Tahun 2015), peraturan tentang penataan desa ini belum mampu menjangkau kebutuhan

desa untuk menetapkan batas desa dan menyusun batas desa. Pemerintah desa seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan fasilitasi dari pemerintah kabupaten melalui dinas terkait ketika desa membutuhkan penentuan batas desa.

2.2 Aset DesaUndang-Undang No. 6 Tahun 2014  ten-tang Desa (UU Desa) menegaskan kewenangan yang dimiliki desa untuk menata dan mengelola aset desa. Bahkan secara spesifik, salah satu tujuan pengaturan desa adalah untuk mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama. Dengan demikian, aset desa menjadi salah satu pengaturan yang penting dan berkedudukan strategis. Pasal 1 UU No. 6 Tahun 2014 mendefinsikan aset desa sebagai ‘barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah’.Pasal 76 UU ayat 1 merinci aset desa yang antara lain dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa.

Jenis-jenis aset milik desa yang diatur dalam regulasi ini, antara lain: (1) kekayaan Desa yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan

Page 20: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

8 Institute for Research and Empowerment 2020

dan Belanja Daerah, serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa; (2) kekayaan desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis; (3) kekayaan desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan lain-lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;hasil kerja sama Desa; dan (4) kekayaan desa yang berasal dari perolehan lainnya yang sah. Meski regulasi ini membatasi aset desa dari aspek kepemilikan, UU Desa juga memberikan kemungkinan adanya penambahan aset melalui hibah baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah atau pihak ketiga, pasal 76 ayat 3 UU Desa.

Lebih lanjut, Pasal 77 UU Desa  menegaskan rambu-rambu dalam penge-lolaan aset atau kekayaan milik desa. Dalam ayat 2 pasal ini, dijelaskan bahwa penge lolaan kekayaan milik desa tidak hanya diperuntukkan bagi peningkatan pen dapatan desa, namun juga dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perbaikan taraf hidup masyarakat desa. Prinsip akuntabilitas juga dikedepankan melalui ketentuan pelibatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pembahasan pengelolaan aset desa oleh pemerintah desa. Secara khusus dalam ketentuan mengenai musyawarah desa (musdes), penambahan dan pelepasan aset desa menjadi salah satu hal strategis yang harus dibahas dan diputuskan melalui musdes, Pasal 54 ayat 2 UU Desa.

Berkaitan dengan relasi desa dengan pemerintah supradesa dalam pemanfa-a t an aset desa, Pasal 84 UU Desa menegaskan bahwa pembangunan

kawasan perdesaan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabu-paten/kota, dan/atau pihak ketiga dalam pemanfaatan aset desa dan tata ruang desa wajib melibatkan pemerintah desa dengan merujuk pada hasil musdes. Ketentuan ini menegaskan adanya kedaulatan desa dalam mengelola aset dan tata ruang yang dimilikinya. Terakhir, dalam ketentuan peralihan di Pasal 116 ayat 4, UU ini memandatkan agar paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Desa melakukan inventarisasi Aset Desa. Sayangnya, sebagaimana nanti akan diuraikan lebih lanjut, ketentuan ini tidak banyak dijalankan oleh kabupaten/kota sehingga menghambat implementasi UU Desa sekaligus desa dalam memanfaatkan aset yang ada di desa.

Bagian ini akan menjelaskan sejumlah pasal problematis tentang aset desa dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa. Pertama, PP mempertukarkan istilah aset dengan kekayaan desa. Padahal UU Desa menyebutnya sebagai aset yang salah satunya mencakup kekayaan desa. Konstruksi ini tentu saja mereduksi makna aset desa yang telah dijelaskan baik dalam ketentuan umum maupun Pasal 76 UU Desa. Pada bagian tentang kekayaan milik desa tidak ada sama sekali istilah aset desa yang dipakai untuk menjabarkan ketentuan pada Pasal 76 UU Desa.Kedua, mekanisme pengalihan kepe-milikan aset belum diatur secara

Page 21: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

9Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

memadai. Pasal 76 ayat (3) dan (5) UU Desa menyebutkan tentang pengalihan aset, yakni hibah kekayaan milik pemerintah dan pemerintah daerah yang ada di desa dan pengembalian kekayaan milik desa yang telah diambil alih pemerintah kabupaten/kota. Namun demikian, PP No 43 Tahun 2014 hanya menyalin ketentuan dalam UU Desa tanpa menjabarkan lebih lanjut bagaimana mekanisme pengalihan kepemilikan aset tersebut. PP tidak mampu memandu proses transisi pasca UU Desa yang memandatkan adanya kejelasan status aset yang ada di desa yang dimiliki atau diambil alih oleh pemerintah supradesa.

PP tidak mengatur apa, bagaimana, dan tahapan proses inventarisasi aset yang diamanatkan UU Desa di Pasal 116. PP hanya mengatur tentang tata cara pengelolaan kekayaan milik desa tanpa menjelaskan bagaimana desa melakukan identifikasi dan inventarisasi aset yang ada di desa. PP juga tidak memberikan terobosan bagaimana mengidentifikasi, melakukan inventarisasi, dan menentukan kejelasan status aset yang berkaitan dengan regulasi lain, misalnya kawasan kehutanan maupun kawasan hak guna usaha perusahaan. Terobosan ini menjadi penting mengingat regulasi lain di sektor kehutanan seperti Perpres No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan membuka peluang bagi desa untuk mengelola aset agraria yang ada di wilayahnya.

Di samping regulasi turunan yang pro-blematis di atas, ditemukan juga sejumlah persoalan dalam pengelolaan aset desa. Ada sejumlah persoalan yang muncul

di level praktis berkaitan dengan aset desa ini. Pertama, problem kejelasan status aset di desa. Tak dapat dipungkiri, desa-desa menghadapi permasalahan kejelasan status aset yang ada di desa. Merujuk pada hasil Stock Taking Study IRE-JAVLEC (2017), IRE menemukan sejumlah aset di desa yang tidak jelas status kepemilikan dan kepenguasaannya.

Meski aset lahan ada di wilayah desanya, namun desa tidak mampu menentukan apakah aset tersebut dapat dikelola desa menjadi aset desa atau dikelola oleh masyarakat. Ketidakjelasan status aset ini pada akhirnya memicu konflik antara masyarakat dengan pihak pemangku kawasan baik negara (Balai Taman Nasional) maupun perusahaan swasta. Contoh konkrit permasalahan ini nampak dari hasil pemetaan AURIGA (2017) di Kampung Tepian Buah (Berau, Kaltim) yang menunjukkan adanya lahan seluas 135,4 hektare yang berpotensi menjadi aset milik desa melalui opsi pelepasan kawasan areal HGU yang ditelantarkan perusahaan.

Dari tiga kabupaten (Serdang Bedagai, Bantul, dan Pasangkayu) yang menjadi lokasi riset implementasi UU Desa, desa-desa di Kabupaten Bantul relatif telah melakukan identifikasi, inventarisasi, dan pengelolaan aset desa. Meski demikian, proses penataan aset ini lebih banyak diprakarsai oleh desa dengan kewenangan yang dimilikinya. Beberapa desa di kabupaten ini juga telah memiliki peraturan desa yang mengatur penataan, pengelolaan, dan pemanfaatan aset desa. Di Serdang Bedagai dan Pasangkayu, desa dan kabupaten belum menjalankan

Page 22: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

10 Institute for Research and Empowerment 2020

proses identifikasi dan inventarisasi aset seperti yang dimandatkan Pasal 116 UU Desa. Hal ini menyebabkan lemahnya prakarsa desa dalam pengelolaan aset desa. Secara umum, desa pun dihadapkan pada kerancuan untuk mengelola aset yang belum jelas status penguasaannya.

Kedua, kabupaten belum memfasilitasi desa dalam mengidentifikasi dan melakukan verifikasi aset desa baik melalui kebijakan, kelembagaan, dan peningkatan kapasitas desa. Proses identifikasi dan inventarisasi aset desa idealnya memerlukan peran kabupaten/kota untuk memfasilitasi desa baik melalui panduan kerangka kebijakan penataan aset, fasilitasi kelembagaan pengelola aset, dan upaya peningkatan kapasitas desa untuk melakukan pena-taan aset yang ada di desa. Hal ini penting dilakukan mengingat banyaknya aset pemerintah supradesa yang berada di desa dan bisa jadi belum jelas status pengelolaannya. Kasus yang terjadi di Desa Tampaure, Kabupaten Pasangkayu mencerminkan problem pengelolaan aset di banyak desa. Belum jelasnya kerangka regulasi yang memandu desa dalam identifikasi dan inventarisasi aset desa menyebabkan kendala bagi pemerintah desa yang berkomitmen untuk mengelola aset tersebut. Meskipun pengelolaan aset telah diatur dalam Permendagri No. 1 Tahun 2016, namun desa tidak cukup ‘berani’ untuk melampaui regulasi teknis yang dibuat oleh kabupaten. Hal ini menyebabkan desa harus menunggu komitmen kabupaten dalam penataan dan pengelolaan aset desa.

Ketiga, problem inklusivitas dalam pengelolaan aset desa. Riset dan pendampingan IRE di lima desa di Pulau Jawa menunjukkan bahwa banyak aset desa yang belum dikelola secara inklusif dan memberikan manfaat bagi kelompok rentan dan marjinal. Di Desa Karangrejo, IRE menemukan adanya aset yang dibangun perusahaan BUMN di atas tanah kas desa, yakni Balai Ekonomi Desa (Balkondes). Namun aset ini belum mampu memberikan manfaat bagi warga, termasuk kelompok rentan dan marjinal. Kasus di Desa Nglanggeran (Gunungkidul, DIY) dan Desa Umbulharjo (Sleman, DIY), menunjukkan bahwa meskipun wisata desa berkembang dengan pesat berbasis aset desa, namun geliat ekonomi tersebut belum memberikan manfaat bagi kelompok perempuan produsen makanan olahan.

Di Desa Gadungan (Blitar, Jatim), petani miskin menghadapi konflik dengan perkebunan karena aksi reclaim lahan eks HGU perkebunan.Pemerintah desa yang mestinya berperan memediasi problem aset di desa justru tidak satu suara membela kepentingan warga. Di tiga kabupaten, prinsip inklusi sosial belum menjadi pemahaman bersama dalam pengelolaan aset desa. Pada umumnya, desa masih belum mengetahui arti penting dan strategi pelibatan kelompok rentan dan marjinal dalam pengelolaan aset desa. Desa yang telah memiliki kesadaran mengenai inklusi sosial biasanya mampu menyusun agenda kebijakan pengelolaan aset desa yang inklusif.

Page 23: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

11Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

2. 3. KewenanganAzas rekognisi dan subsidiaritas dalam UU Desa memberikan pengakuan bagi desa untuk menjalankan kewenangan guna mengatur dan mengurus kepen-tingan masyarakat setempat. Pasal 18 UU Desa merinci bidang kewenangan desa yang meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Sedangkan Pasal 19 regulasi ini men-jelaskan jenis-jenis kewenangan desa yang meliputi: (1) kewenangan berdasarkan hak asal usul; (2) kewenangan lokal berskala Desa; (3) kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan (4) kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Meski demikian, di tingkat relasi turunannya terdapat sejumlah per-masalahan. Ketentuan Pasal 34 ayat (3) PP No 43 Tahun 2014, yang telah diubah ke dalam ketentuan pasal 34 ayat (3) PP. No. 47 Tahun 2015, dimana Menteri Dalam Negeri diberi otoritas untuk menetapkan jenis kewenangan desa sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan lokal, selain kewenangan lokal berskala desa, justru menimbulkan permasalahan baru. Ketentuan dalam pasal ini malah menimbulkan kebingungan bagi desa dalam memahami dan menjalankan azas rekognisi dan subsidiaritas.

Rute penetapan kewenangan desa melalui peraturan bupati, sesuai yang dimandatkan dalam ketentuan pasal 37 PP No. 43 Tahun 2014, ternyata baru belakangan ini dijalankan oleh kabupaten. Peraturan bupati yang tidak segera diterbitkan justru menyurutkan makna paling fundamental dalam UU Desa. Hal ini sekaligus menghalangi prakarsa dan keberanian desa dalam menetapkan peraturan desa tentang kewenangan desa.

Permasalahan selanjutnya, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 jo PP. 47 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan UU Desa tidak memberi penjelasan lebih lanjut mengenai jenis kewenangan yang ditugaskan dan skema pembiayaannya dari pemerintah maupun pemerintah daerah ke pemerintah desa sebagaimana disebutkan dalam pasal 22 UU Desa. Dalam pasal 34 ayat (3) PP No 43 Tahun 2014 memberikan ketentuan mengenai otoritas menteri untuk menetapkan kewenangan desa selain kewenangan asal usul dan lokal berskala desa. Kewenangan desa yang dimaksud jika merujuk pada pasal 19 UU Desa dan pasal 33 PP No 43 Tahun 2014 adalah kewenangan yang ditugaskan. Persoalannya, PP No 43 Tahun 2014 tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai jenis-jenis kewenangan yang ditugaskan.

Padahal UU Desa menegaskan bahwa kewenangan yang ditugaskan dari supradesa harus disertai biaya. PP No 43 Tahun 2014 tidak mengatur skema pembiayaan sebagaimana dimandatkan, namun justru mendelegasikan ketentuan mengenai mekanisme pembiayaan

Page 24: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

12 Institute for Research and Empowerment 2020

kewenangan yang ditugaskan ini ke dalam peraturan menteri. Seharusnya, PP No 43 Tahun 2014 menjelaskan aspek pembiayaan tersebut secara jelas agar menteri terkait tidak melampaui azas dan norma yang terkandung dalam pasal 22 UU Desa.

Pertama, banyak desa belum memiliki peraturan desa tentang daftar kewe-na ngan desa. Problem ini seringkali berangkat dari belum adanya regulasi di tingkat kabupaten (peraturan bupati/walikota) tentang daftar kewenangan desa. Meskipun dimungkinkan untuk mengacu secara langsung pada UU Desa maupun PP, kenayataannya banyak desa yang memilih menunggu regulasi dari kabupaten sebagai institusi yang paling dekat dengan desa. Akibatnya, desa enggan menetapkan daftar kewenangan karena kabupaten pun belum menetapkan regulasi tersebut. Di kabupaten yang terlambat dalam menyusun peraturan bupati tentang daftar kewenangan desa, pada umumnya desa-desa di kabupaten tersebut belum memiliki peraturan desa tentang daftar kewenangan.

Kedua, tidak adanya regulasi baik perbup maupun perdes tentang daftar kewenangan menyebabkan kerancuan desa dalam menjalankan kewenangannya. Hal ini berdampak pada kualitas perencanaan pembangunan karena desa tidak memiliki panduan apa yang menjadi kewenangannya. Kejelasan kewenangan desa mestinya menjadi prasyarat bagi desa agar lebih mudah menjalankan kewenangannya sesuai mandat UU Desa. Dalam beberapa kasus, ketidakjelasan kewenangan ini membuat

desa lemah dalam mengembangkan inisiatif perencanaan pembangunan. Di sisi lain, desa juga dibuat kebingungan dalam menjalankan kewenangannya karena proses review atas program-program pembangunan desa tidak didasarkan pada pedoman yang jelas. Belum lagi, desa mesti dibebani dengan berbagai program ‘titipan’ dari pemerintah supradesa yang sebenarnya bukan menjadi kewenangan desa namun dibebankan melalui anggaran desa.

Ketiga, penyusunan regulasi kabupaten seringkali tidak mengacu pada kondisi dan konteks di masing-masing desa sehingga berpotensi adanya kewenangan desa yang tidak sesuai dengan situasi riil di desa. Tahapan penyusunan regulasi tentang daftar kewenangan desa semestinya membuka ruang partisipasi bagi desa untuk memilih daftar kewenangan yang mampu dijalankan oleh desa dan sesuai dengan kapasitas desa. Sayangnya, banyak kabupaten yang menyusun daftar kewenangan semata-mata dengan mengambil semua daftar kewenangan yang ada di Permendagri No. 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa. Akibatnya, ada sejumlah kewenangan yang tidak relevan dan tidak sesuai dengan konteks lokal yang mesti diambil oleh desa. Usulan penambahan atau pengurangan kewenangan desa dalam rancangan peraturan bupati/walikota seringkali tidak diakomodasi oleh Kementerian Dalam Negeri yang melakukan review serta harus menyesuaikan dengan daftar kewenangan desa yang tercantum dalam permendagri.

Page 25: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

13Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

2.4. Demokratisasi DesaUU tentang Desa merupakan instrumen untuk membangun visi menuju kehidupan baru Desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Oleh karena semangat mewujudkan visi tersebut, UU Desa akhirnya menjadikan nilai demokrasi sebagai salah satu azas pengaturan desa (Pasal 3). Demokrasi sebagaimana diatur dalam pasal tersebut dipastikan bukan sekedar berbicara pada aspek prosedural saja, melainkan demokrasi substantive yang menginginkan desa memiliki kedaulatan dan kemandirian, baik yang mengatur pada aspek kelembagaan maupun kehidupan sehari-hari (everyday democrcacy). Demokrasi diharapkan mampu berkontribusi pada kesejahteraan yang selama ini seringkali menjadi persoalan serius desa.

Setidaknya ada 5 (lima) kata “demokrasi” yang secara eksplisit tertulis dalam UU Desa, dan secara implisit diatur juga terkait tentang partisipasi, transparansi, akuntabilitas, keadilan, musyawarah, kesetaraan, pemilihan kepala desa secara langsung, pengisian anggota BPD secara demokratis, serta masih banyak pengaturan lainnya yang mengandung makna pentingnya penguatan demokrasi lokal dalam kerangka mendorong kemandirian dan kesejahteraan desa. Dan setidaknya yang juga penting diperhatikan pada aspek kelembagaan, UU Desa selalu mengingatkan tentang makna demokrasi pada aspek kelembagaan, seperti pe-ng aturan tentang pelayanan publik, perencanaan dan penganggaran desa, musyawarah desa, pentingnya penguatan peran lembaga-lembaga kemasyarakatan

desa serta mendorong pengelolaan sumber daya lokal secara inklusif yang membuka akses kelompok marginal. Artinya, UU Desa sebagai regulasi yang memayungi seluruh kebijakan tentang desa memberikan mandat yang jelas bahwa demokrasi harus didudukkan sebagai azas yang mewarnai seluruh dinamika yang ada di tingkat lokal, baik di aspek pemerintahan maupun kemasyarakatan.

Sedangkan dalam PP No. 43 Tahun 2014 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, meski kata “demokrasi” tidak disebutkan secara eksplisit, namun partisipasi dan transparansi tetap masih menjadi mandat kuat dalam tatakelola pemerintahan desa. Selain itu, PP ini juga semakin menjelaskan tentang peran Pemerintahan Desa, mulai dari Kepala Desa, perangkat desa, hingga BPD dalam membangun ruang-ruang demokrasi di desa. Namun sayangnya, PP ini beum banyak mengatur tentang pentingnya penguatan peran masyarakat sipil mulai dari pengetahuan hingga idiologisasi sehingga memiliki kapasitas yang setara dalam membangun negosiasi dengan pemdes.

Beberapa pengaturan strategis di PP dalam rangka menterjemahkan UU Desa dalam frame demokrasi lokal, antara lain: musyawarah desa, pengaturan tentang pemilihan kades dan pengisian keanggotaan BPD, peran, tugas, hak dan kewajiban serta mekanisme kerja pemerintah desa dan BPD, proses legislasi desa, pengaturan tentang keuangan dan kekayaan desa, pembangunan desa

Page 26: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

14 Institute for Research and Empowerment 2020

dan pembangunan kawasan perdesaan, Badan Usaha Milik Desa dan Kerjasama desa, serta Lembaga Kemasyarakatan Desa.

Demokrasi desa adalah mainstreaming yang harusnya menjadi landasan dalam pengaturan berbagai bab yang ada dalam Peraturan Pemerintah maupun regulasi turunan lainnya, sehingga mainstreaming ini penting untuk diperhatikan secara lebih cermat sehingga membuka peluang terjadi upaya-upaya penguatan peran pemerintah desa, BPD dan masyarakat yang saling bersinergi dalam rangka mendorong kemandirian dan kesejahteraan desa.

Riset ini mencatat beberapa temuan krusial terkait dengan pelembagaan demokrasi di tingkat desa, khususnya pada aspek kepemimpinan, representasi dan inisiatif warga, diantaranya Pertama, pemilihan kepala desa secara langsung di desa masih dihadapkan pada tantangan potensi politik uang dan politik identitas, yang berpotensi melemahkan demokrasi di tingkat desa. Tidak dapat dipungkiri bahwa pilkades langsung sebagai eksperimen demokrasi di desa telah menghasilkan banyak pemimpin yang memang sesuai dengan kehendak masyarakat, namun tidak bisa dipungkiri juga, praktek money politic juga masih rawan terjadi dan berpotensi merusak struktur demokrasi di desa.

Kedua, pelembagaan musyawarah desa sebagai forum pengambilan keputusan strategis sudah terselenggara atas inisiatif BPD, meski prinsip inklusi sosial belum secara kuat mewarnai baik dari

sisi keterlibatan kelompok marginal maupun keputusan yang dihasilkan karena masih kuatnya kooptasi elite lokal. PP No. 43 Tahun 2014 sudah menyebutkan salah satu peserta musdes adalah perwakilan kelompok miskin, namun banyak BPD yang belum menjadikan aturan ini sebagai panduan, terlebih dalam pelibatan kelompok marginal lainnya, seperti penyandang disabilitas dan perempuan kepala keluarga (janda) yang belum tertulis secara eksplisit dalam PP tersebut.

Ketiga, BPD masih dihadapkan pada tantangan minimnya fasilitas (tunjangan dan operasional) dan lemahnya kapasitas anggota dalam menjalankan fungsi pengawasan, legislasi dan anggaran. Hal ini berdampak pada a-simetris pengetahuan antara BPD dengan Pemdes, serta kapasitas dalam mengakomodasi dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Pengaturan terkait biaya operasional, tunjangan-tunjangan serta biaya pengembangangan kapasitas BPD yang dimandatkan oleh UU Desa untuk diatur dalam Peraturan Daerah, faktanya diatur dalam berbagai peraturan yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa serta sub delegasi lagi, dimana besaran tunjangan BPD ditetapkan oleh Bupati/Wali kota serta terkait pengaturan pelaksanaan penghargaan diatur dalam Peraturan Menteri. Sehingga ketika peraturan yang merupakan sub delegasi tersebut belum ada atau belum jelas, tidak ada dasar hukum yang dapat digunakan oleh desa dalam merumuskan tunjangan dan biaya operasional bagi BPD.

Page 27: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

15Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

Keempat, keanggotaan BPD masih minim keterwakilan perempuan sehingga berpengaruh pada kebijakan yang dihasilkan di tingkat desa. Diskursus yang berkembang dalam rapat BPD masih didominasi oleh isu pembangunan infrastruktur lokal, belum banyak menyentuh pada isu pelayanan dasar/publik (pendidikan, kesehatan, air bersih, sampah, dan lain-lain), kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan maupun pernikahan dini yang justeru masih banyak terjadi di desa. Meski UU Desa telah memandatkan pentingnya keterwakilan perempuan, sayangnya PP No. 43 Tahun 2014 tidak memperjelas dengan kuota keterwakilan perempuan, sehingga prakteknya tidak jarang jumlah anggota BPD perempuan rata-rata hanya 1 orang di tiap desa. Riset IRE (2017) menyebutkan bahwa minimnya keterwakilan perempuan di desa berpengaruh pada jenis kebijakan yang dihasilkan di tingkat desa. Demokrasi desa sebagaimana mandat UU Desa idealnya mampu membuka kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk berpartisipasi termasuk dalam lembaga BPD, namun dalam kultur lokal yang masih maskulin, dibutuhkan afirmasi dalam rangka mendorong keterwakilan perempuan di BPD.

2.5. Pemberdayaan Ekonomi DesaPemberdayaan ekonomi desa dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa menggunakan istilah pemberdayaan masyarakat desa yang memiliki pengertian upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan,

kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. Pemberdayaan masyarakat desa di bidang ekonomi dalam UU Desa terdapat pada Pasal 83 ayat 3 huruf c yang menyebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi.

UU Desa membahas pengembangan ekonomi desa lebih rinci pasal 87 tentang Badan Usaha Milik Desa di mana desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUMDesa, BUMDesa dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan, dan BUMDesa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BUMDesa kemu-dian dijelaskan lebih lanjut dalam penjela san pasal 87 UU Desa.

Selain itu, BUMDesa juga diatur dalam Pasal 88 UU No.6 Tahun 2014 di mana pendirian BUMDesa disepakati melalui Musyawarah Desa, pendirian BUMDesa ditetapkan dengan Peraturan Desa. Selanjutnya pada Pasal 89 menyatakan bahwa hasil usaha BUMDesa dimanfaatkan untuk pengembangan usaha dan pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa, dan pemberian bantuan untuk masya-rakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam APB Desa. Pasal 90 menyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah

Page 28: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

16 Institute for Research and Empowerment 2020

Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong perkembangan BUM-Desa dengan memberikan hibah dan/atau akses permodalan, melakukan pen -dampingan teknis dan akses ke pasar dan memprioritaskan BUMDesa dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa.

Beberapa ketentuan yang seharusnya diatur lebih lanjut tentang BUMDesa dalam peraturan turunan dari UU Desa yaitu PP adalah organisasi dan pengelola, proses pendirian, permodalan, status badan hukum BUMDesa, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, serta kerugian dan kepailitan. Namun PP No. 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Desa baru mengatur tentang organisasi dan pengelola, permodalan, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, serta kerugian dan kepailitan dengan berbagai catatan. Pertama, Kepala desa dalam kedudukannya secara ex-officio sebagai penasehat akan berpotensi mendominasi jalannya BUMDesa. Pasal 133 PP No 43 Tahun 2014 yang memberikan kewenangan kuat bagi penasehat BUMDesa (Kades) untuk mengawasi dan menasihati pelaksana operasional BUMDesa, dikhawatirkan akan memunculkan abuse of power. penasehat BUMDesa selain dijabat oleh kepala desa sebaiknya perlu diisi juga oleh kalangan profesional dan tokoh masyarakat di desa desa sesuai dengan kebutuhan pengembangan BUMDesa.

Kedua, pengelolaan aset desa oleh BUMDesa belum memperoleh kepastian hukum. Pasal 135 ayat (5) PP No 43 Tahun 2014 memberikan peluang bagi BUMDesa untuk memperoleh penyertaan modal

desa dan modal masyarakat desa. Salah satu bentuk penyertaan modal desa adalah aset desa yang telah diserahkan kepada APB Desa. Logikanya, aset desa adalah aset yang dimiliki oleh desa. Otomatis aset ini akan dikelola dalam APB Desa bukan diserahkan kepada APB Desa. Seharusnya dalam PP ini mengatur proses pengalihan aset-aset di desa yang dapat dialihkan kepemilikannya kepada pemerintah desa untuk dikelola oleh BUMDesa. PP belum memperjelas dan mempertegas tentang aset-aset apa yang dapat diserahkan kepada desa, misalnya aset-aset dari program/kegiatan K/L, PNPM, CSR, dan lain-lain.

Ketiga, rumusan Anggaran Dasar (AD) BUMDesa seharusnya disusun pada saat Musdes, bukan diserahkan kepada pelaksana operasional BUMDesa. Pasal 136 PP No 43 Tahun 2014 memberikan kewenangan kepada pelaksana operasional BUMDesa untuk menysusun AD/ART BUMDesa, setelah mendapatkan pertimbangan kepala Desa. Idealnya anggaran dasar (AD) disusun dan disepakati oleh forum Musdes pendirian BUMDesa. Pelaksana operasional BUMDesa sebaiknya hanya diberi kewenangan menysun dan menetapkan ART dengan memperhatikan pertimbangan kepala Desa. Ketentuan ini kemudian dirubah dalam PP No. 47 Tahun 2015 di mana Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga disepakati melalui musyawarah Desa dan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.

Keempat, PP No 43 Tahun 2014 sebaiknya mem perjelas badan hukum yang dimaksud “telah ditetapkan

Page 29: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

17Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

dalam ketentuan peraturan perundang-undangan”, karena berdasarkan uraian kami tadi sebenarnya sudah sangat jelas badan hukum yang dapat digunakan oleh BUMDesa. Badan hukum yang dapat digunakan adalah badan usaha yang berbadan hukum di mana subjek hukumnya adalah badan usaha itu sendiri serta harta kekayaan perusahaan terpisah dari harta kekayaan pribadi para pengurus/anggotanya. Sehingga jika unit usaha BUMDesa pailit, yang terkena sita hanyalah harta unit usaha BUMDesa saja (harta pribadi pengurus/anggotanya tetap bebas dari sitaan).

Kelima, tanggung jawab pelaksana operasional BUMDesa pada penge-lolaan penyertaan modal desa harus menggunakan prinsip business judge-ment role. Doktrin “business judgement” yang menetapkan bahwa Direksi suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari satu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan kepada itikad baik dan hati-hati. Direksi mendapatkan perlindungan tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan yang dambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan.

Penyertaan modal desa pada BUMDesa dilakukan oleh pemerintah desa dengan mengeluarkan dana dari APB Desa yang merupakan kekayaan desa yang dipisahkan. Kekayaan desa yang dipisahkan ini ketika disetorkan maka saat itu menjadi modal BUMDesa, bukan lagi bagian dari kekayaan desa. Kerugian BUMDesa bukan merupakan

kerugian desa. Pelaksana operasional BUMDesa dalam pelaksanaan tugasnya mengelola BUMDesa, tidak bisa dibebani untuk menanggung kerugian, sepanjang telah melaksanakan pengelolaan usaha degan baik, beritikad baik, penuh kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab. PP sebaiknya mengatur lebih komprehensif dan mengadopsi business judgement tentang tanggung jawab pelaksana operasional BUMDesa pada pengelolaan penyertaan modal desa dalam hal terjadi kerugian. Hal ini harus diatur secara jelas dan tegas agar pelaksana operasional BUMDesa berani mengambil risiko untuk menjalankan BUMDesa.

Keenam, PP No 43 Tahun 2014 baru memasukkan sebagian ciri-ciri baik yang seharusnya membedakan BUMDesa dengan badan usaha lainnya. Ciri-ciri baik BUMDesa yang sebaiknya dimasukkan dalam PP adalah (1) pengawasan dilakukan, baik secara hirarki maupun secara fungsional dilakukan oleh pemerintah desa; (2) pemerintah desa berwenang menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan usaha; (3) bertujuan agar pengusaha swasta tidak memonopoli usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak di desa; (4) merupakan lembaga ekonomi yang tidak mempunyai tujuan utama mencari keuntungan, tetapi dibenarkan untuk memupuk keuntungan; dan (5) modal seluruhnya dimiliki oleh desa dari kekayaan desa yang dipisahkan dan tidak dalam bentuk saham di mana bila modalnya dimiliki oleh masyarakat, besarnya tidak lebih dari 49%, sedangkan minimal 51% modal dimiliki oleh desa.

Page 30: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

18 Institute for Research and Empowerment 2020

Ketujuh, BUMDesa adalah badan usaha yang berstatus badan hukum. Mandat pasal 1 UU Desa menegaskan bahwa BUMDesa adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa. PP seharusnya memperjelas tentang BUMDesa sebagai badan usaha yang berstatus badan hukum. Badan usaha yang berbadan hukum adalah (a) subjek hukumnya adalah badan usaha itu sendiri, karena ia telah menjadi badan hukum yang juga termasuk subyek hukum di samping manusia serta (b) harta kekayaan perusahaan terpisah dari harta kekayaan pribadi para pengurus/anggotanya. BUMDesa jelas-jelas adalah badan usaha yang berbadan hukum di mana subjek hukumnya adalah badan usaha itu sendiri, karena ia telah menjadi badan hukum yang juga termasuk subyek hukum serta seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan. BUMDesa dikukuhkan dengan peraturan desa (perdes) sebagai payung hukumnya. Hal ini juga untuk mencegah desa membawa perdes ke notaris untuk mendapatkan kekuatan hukum.

Legalitas Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) masih menjadi polemik. Polemik yang muncul adalah desa bukan sebagai subyek hukum sehingga konsekuensinya desa tidak bisa menjadi pemegang saham atau tidak dapat membentuk BUMDesa berbadan hukum dan atau mendirikan Perseroan Terbatas (PT). Walaupun sesungguhnya desa merupakan subjek hukum publik menurut UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa pasal 26 ayat 2. Dalam penjelasan

pasal 87 UU No. 6/2014 tentang desa dinyatakan bahwa dalam hal kegiatan usaha dapat berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUMDesa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan.

Adanya tuntutan status BUMDesa berbadan hukum, maka status badan hukum BUMDesa sangat perlu segera ditetapkan mengingat fenomena yang terjadi mengenai berbagai macam status hukum BUMDesa. Pertama, BUMDesa tidak berbadan hukum, hanya berbadan usaha, yang di bentuk berdasarkan peraturan desa sehingga jangkauan usahanya terbatas berskala usaha UMKM. Kedua, BUMDesa berbadan Hukum (PT) di mana desa diwakili oleh kepala desa mendirikan PT BUMDesa dengan usaha berskala besar. Ketiga, BUMDesa membentuk Unit Usaha Berbadan Hukum (PT).

Permasalahan utamanya adalah ketika pemerintahan desa dapat membentuk BUMDesa berbadan hukum, sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Namun, hal ini berbeda dengan pendapat AHU Kemenkumham yang menggunakan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas di mana BUMDesa tidak dapat diberikan status Badan Hukum. Selain itu, terdapat permasalahan adanya kekosongan hukum dalam pasal 87 tentang BUMDesa pada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, mengenai adanya jeda waktu jeda waktu terbentuknya BUMDesa yang tidak berbadan Hukum, kemudian setelah berkembang dapat menjadi badan

Page 31: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

19Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

hukum. Permasalahan ini perlu segera diatasi dengan segera memperbaiki PP implementasi UU Desa yang memperjelas dan mempertegas agar BUMDesa dapat diberikan status Badan Hukum.Kajian regulasi dan riset yang telah dilakukan oleh IRE di 3 desa di Kabupaten Bantul, Serdang Bedagai, dan Pasangkayu menemukan bukti empiris tentang permasalahan dalam pemberdayaan ekonomi desa. Pertama, pemberdayaan ekonomi desa khususnya melalui BUMDesa belum menjadi prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama. Kedua, Desa belum memiliki visi/skema pemberdayaan ekonomi yang terintegrasi dengan perencanaan pembangunan desa. Ketiga, kurangnya dukungan dan komitmen dari pemerintah desa pada pengembangan BUMDesa. Keempat, pengembangan ekonomi desa melalui BUMDesa belum mengakar pada aset dan potensi, kebutuhan, serta penghidupan masyarakat desa. Kelima, belum adanya indentifikasi dan upaya memperjelas kewenangan desa dalam pengelolaan aset yang ada di desa. Terakhir, kejelasan dan kepastian status badan hukum BUM Desa.

2.6. Keuangan DesaKeuangan desa berdasarkan Pasal 1 ayat 10 UU No. 6 Tahun 2014 (UU Desa) adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Keuangan desa diatur dalam Bab VII tentang keuangan

desa dan aset desa, pada Bagian Kesatu keuangan desa, pasal 71 – 75. UU Desa mengatur tentang definisi keuangan desa, sumber pendapatan desa, anggaran pendapatan dan belanja desa, dan pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa. UU Desa memandatkan pengaturan lebih lanjut mengenai keuangan desa untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 75 ayat 3 UU Desa).

Salah satu ketentuan penting tentang keuangan desa dalam UU Desa adalah adanya sumber pendapatan desa dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam penjelasan pasal 72 ayat 1 huruf b, anggaran bersumber dari APBN tersebut adalah anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pem -bangu nan, serta pemberdayaan masya-rakat, dan kemasyarakatan. Lebih lanjut kemudian dijelaskan dalam penjelasan pasal 72 ayat (2) besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap. Anggaran yang bersumber dari APBN dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa.

Page 32: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

20 Institute for Research and Empowerment 2020

Berdasarkan mandat dari pasal 75 UU Desa kemudian terbit Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Desa. Keuangan desa diatur dalam pasal 1 Bab I Ketentuan Umum dan Bagian Kesatu Keuangan Desa pada pasal 90 – 106 pada Bab VII Keuangan dan Kekayaan Desa. Istilah Dana Desa untuk mulai diperkenalkan di PP ini. Dana Desa adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyeleng garaan pemerintahan, pelak-sa naan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. PP ini juga mengatur tentang Alokasi Dana Desa (ADD). ADD adalah dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD kabupaten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Selain itu PP No. 43 Tahun 2014 memuat ketentuan tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) sebagai rencana keuangan tahunan pemerintahan desa.

Pasal 90 menegaskan bahwa APB-Desa digunakan untuk mendanai penyelenggaraan kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan kewe-nangan lokal berskala desa selain didanai oleh APBN dan APBD. Selain itu juga mengatur pendanaan APBN untuk penyelenggaraan kewenangan desa yang ditugaskan oleh pemerintah dengan skema pengalokasian pada bagian anggaran kementerian/lembaga dan disalurkan melalui satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota. Sementara

pendanaan APBD untuk penyelenggaraan kewenangan desa yang ditugaskan oleh pemerintah daerah.

Jika merujuk pada pasal 72 ayat  (1) UU Desa sudah ditegaskan bahwa pembiayaan kewenangan desa bersumber dari pen-dapatan desa yang berasal dari; a) PADesa, b) Dana Desa/APBN, c) bagi hasil pajak daerah dan retribusi, d) ADD, e) bantuan keuangan pemerintah propinsi dan kab/kota, f) hibah dan sumbangan dari pihak ketiga, g) lain-lain pendapatan desa yang sah. Ketentuan yang diatur dalam pasal 90 ayat (2) PP 43 Tahun 2014 menjadi rancu dan membingungkan. Jika kewenangan lokal berskala desa dapat didanai dari APBN dan APBD, selain dari APBDesa, pintu masuknya akan melalui mekanisme yang mana? Pasal ini juga tidak memberikan penjelasan terhadap mekanisme pendanaan APBN dan APBD untuk penyelenggaraan kewenangan lokal berskala desa. Pasal-pasal berikutnya dalam PP No. 43 Tahun 2014 yang khusus mengatur tentang keuangan desa tidak menindaklanjuti norma di dalam pasal 90 ayat (2) PP No. 43 Tahun 2014.

Pasal 91 – 94 PP No. 43 Tahun 2014 mengatur tentang APB Desa, penggunaan rekening kas desa, dan pengelolaan keuangan desa. Pasal 91 menjelaskan bahwa seluruh pendapatan desa diterima dan disalurkan melalui rekening kas Desa dan penggunaannya ditetapkan dalam APB Desa. Pada paragraf 2 (pasal 95 – 98) mengatur tentang pengalokasian bersumber dari APBN dan APBD. PP ini mengatur secara lengkap tentang Alokasi Dana Desa (ADD), bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah, dan bantuan

Page 33: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

21Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

keuangan tetapi tidak mengatur secara lengkap tentang DD.

PP ini justru menyisakan pekerjaan rumah yang besar dalam implementasi UU Desa yaitu tentang pendapatan desa yang bersumber dari APBN atau Dana Desa (DD). Hal tersebut nampak pada Pasal 95 PP No. 43 Tahun 2014 yang memandatkan ketentuan mengenai pengalokasian Dana Desa untuk diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah. PP memandatkan pengaturan lebih lanjut untuk diatur dalam PP lain. Maka terbitlah PP No. 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN. PP ini kemudian dirubah dengan PP No. 22 Tahun 2015 tentang Perubahan PP No. 60 Tahun 2014. Pada tahun 2016 diterbitkan PP No. 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua PP No. 60 tahun 2014.

Laporan realisasi pelaksanaan APBDesa dan pertanggungjawaban realisasi pelaskanaan APBDesa, sebagaimana diatur dalam pasal 103 dan 104 PP 43 Tahun 2014, harus dimaknai sebagai sistem pelaporan yang terkonsolidasi terhadap semua pendapatan desa, belanja desa dan pembiayaan desa. Karena itu, desa tidak perlu membuat laporan yang terpisah-pisah terhadap Dana Desa (DD), ADD, Bantuan keuangan, bagi hasil pajak dan retribusi, serta pendapatan desa lainnya. Hal ini dimaksudkan agar Pemdes tidak disibukkan oleh urusan administrasi sehingga melupakan tugas yang lebih substantif. Pasal 103 dan 104 PP No. 43Tahun 2014 sudah mengatur tentang laporan APBDesa ini, tetapi belum mempertegas sistem laporan yang terkonsolidasi ini.

Ketentuan pasal 104 PP 43/2014 mengingkari mandat pasal 82 ayat (4) dan (5) tentang kewajiban pemerintah desa untuk menginformasikan dan melaporkan realisasi pelaksanaan APBDesa kepada masyarakat desa dan forum Musyawarah Desa (Musdes). Laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (LPPD), sehingga selain disampaikan ke Bupati/ walikota melalui camat, harus disampaikan pula ke masyarakat dan Forum Musdes yang diselenggarakan BPD. Pengingkaran tentang laporan LPPD ini erat kaitannya dengan ketentuan pasal 80 PP 43 Tahun 2014 yang mengaburkan peran, fungsi dan mekanisme forum Musdes.

Pada tahun 2015 keluar PP No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pada keuangan desa perubahan yang signifikan terdapat pada pasal 96 tentang ketentuan mengenai pengalokasian dan pembagian ADD kepada setiap Desa diatur dengan peraturan bupati/walikota. Perubahan pada pasal 96 dilakukan dengan menambah 4 pasal yang mengatur tentang batas waktu penyampaian peraturan bupati/walikota paling lambat bulan Oktober tahun anggaran berjalan kepada kementerian keuangan dengan tembusan kepada menteri dalam negeri dan menteri desa, PDTT. Selain itu ada penambahan pasal yang mengatur sanksi bagi kabupaten/

Page 34: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

22 Institute for Research and Empowerment 2020

kota tidak mengalokasikan ADD paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) berupa penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi dana alokasi khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Namun dalam prakteknya peraturan bupati tentang ADD terlambat diterbitan bahkan sampai bulan Januari tahun berikutnya. Keterlambatan ini memiliki dampak beruntun pada keterlambatan penyusunan APB Desa.

Ketentuan Pasal 100 PP No. 43 Tahun 2014 juga diubah dengan menambahkan pasal yang mengatur tentang status tanah bengkok. Setelah terjadi pro dan kontra tentang status tanah bengkok yang harus dimasukkan dalam APBDesa. Perubahan ini sebagai upaya agar status tanah bengkok dikembalikan pada posisi semula, yaitu tidak termasuk sebagai sumber pendapatan desa yang masuk dalam APB Desa, tetapi dikelola oleh kepala desa dan perangkatnya seperti sebelumnya. Pemerintah menilai bahwa pemerintahan sangat peduli terhadap kesejahteraan aparatur desa, sekaligus hal ini juga menjadi stimulan bagi aparatur desa untuk lebih semangat dan lebih keras kerjanya dalam membangun desanya. Hasil pengelolaan tanah bengkok tidak hanya untuk tambahan tunjangan aparatur desa, tetapi juga dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat yang arahnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa karena kebutuhan dana untuk pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa sangat besar, tidak tercukupi hanya

dari dana desa bantuan pusat maupun daerah.

Terbitnya PP No. 22 Tahun 2015 menegaskan 2 kementerian yang mengurusi DD, yaitu Kementerian Keuangan yang mengurusi tentang tata cara pengalokasian, penyaluran, penggunaan, pemantauan, dan evaluasi DD dan Kementerian Desa, PDTT yang menetapkan prioritas penggunaan DD dan pedoman umum pelaksanaan penggunaannya. Sementara itu Kementerian Dalam Negeri berdasarkan mandat dari PP No. 43 Tahun 2014 mengurusi tentang pengelolaan keuangan desa. Setiap kementerian kemudian mengeluarkan peraturan menteri (permen) yang kemudian harus diikuti oleh pemda kabupaten/kota dengan menerbitkan peraturan daerah dan/atau peraturan bupati.

Terbitnya kedua PP dan perubahannya tersebut menjadikan regulasi teknis tentang keuangan desa terlalu banyak dan sering berubah menjadi tantangan dan kendala bagi pemda kabupaten/kota dan desa. Selain itu menunjukkan bahwa sistem dan tata kelola keuangan desa terutama Dana Desa (DD) yang dibangun oleh pemerintah belum konsisten dalam memenuhi mandat dari UU Desa. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan regulasi teknis tentang keuangan desa dalam satu PP dan kemudian diatur lebih lanjut dalam perda dan/atau perbup saja.

Saat ini kabupaten masih sangat disibukkan dengan pengaturan tentang keuangan desa dan pemerintahan desa dalam implementasi UU Desa akibat dari

Page 35: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

23Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

seringnya keluar regulasi baru maupun perubahan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Terutama regulasi turunan UU Desa tentang dana desa (DD) sehingga pemda kabupaten/kota masih kurang fokus dalam menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan dalam implementasi UU Desa terutama dalam mengawal isu-isu penataan desa, kewenangan desa, perencanaan dan penganggaran desa, dan isu strategis lainnya.

Pemerintah belum membuat terobosan baru dalam pembangunan desa karena peraturan turunan dari UU Desa tentang keuangan desa justru membuat kebijakan dana desa masih terfragmentasi, program based, dan kebijakan top down. Hal ini menunjukkan bahwa cara pandang pemerintah (pusat dan kabupaten) terhadap desa belum sejalan dengan mandat UU Desa.

Kajian regulasi dan riset yang telah dilakukan oleh IRE di 3 desa di Kabupaten Bantul, Serdang Bedagai, dan Pasangkayu menemukan bukti empiris ketidaksinkronan antara UU Desa dengan peraturan-peraturan yang ada di bawahnya dalam keuangan desa. Pertama, keleluasaan menggunakan dana yang masuk ke desa (dana desa dan alokasi dana desa) untuk membiayai kewenangan desa terbatas. Keuangan Desa dan Kewenangan Desa. Kedua, isu tranparansi dan akuntabiltas dalam pengelolaan keuangan desa dengan melibatkan aparatur penegak hukum telah disalahgunakan menjadi instrumen bagi pihak pemburu rente untuk melakukan pemerasan dan kriminalisasi terhadap kepala desa.

Ketiga, pemerataan dan keadilan (proporsional) dalam praktik perhitungan dan pengalokasian Dana Desa (DD) berdasarkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis belum mampu diwujudkan secara optimal. Perhitungan dan pengalokasian DD berdasar bobot luas wilayah masih bermasalah terkait masih banyaknya desa yang belum memiliki wilayah definitif yang jelas, desa di kawasan hutan dan perkebunan, sebagai wilayah yang menjadi kewenangan desa.

Keempat, Dana Desa memberikan manfaat bagi desa tetapi menimbulkan beban yang sangat besar bagi desa dalam penatausahaan dan pelaporannya. Dana desa oleh desa dinilai sebagai berkah karena desa memiliki kapasitas keuangan yang cukup untuk dapat menjalankan kewenangannya namun DD juga melahirkan beberapa persoalan mulai dari kerumitan administrasi hingga perburuan rente dari pihak luar yang memanfaatkan beberapa momentum untuk melakukan pemerasan terhadap desa.

Kelima, mekanisme penggunaan dan pelaporan keuangan desa belum terintegrasi dalam APBDesa dan belum memberikan kemudahan kepada desa dalam melakukan penatausahaan keuangan desa. Kemampuan pemerin-tahan desa dalam hal penatausahaan keuangan desa (terutama pemakaian aplikasi Siskeudes) masih sangat terbatas.

Keenam, diskresi keuangan desa makin menurun. Rendahnya jumlah ADD yang dapat digunakan untuk membiayai

Page 36: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

24 Institute for Research and Empowerment 2020

kewenangan desa ketika kebutuhan dana untuk penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa besar paska terbitnya PP No. 11 Tahun 2019. Desa-desa yang memiliki sisa ADD setelah dikurangi penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa dan hanya memiliki pendapatan asli desa yang rendah akan sangat mengandalkan dana desa (DD) untuk membiayai kewenangan desa. Namun, keleluasaan penggunaan DD untuk membiayai kewenangan desa juga dibatasi. Komposisi belanja desa menimal 70% untuk mendanai kewenangan desa dan maksimal 30% untuk penghasilan tetap dan operasional pemdes hanya dapat dipenuhi jika desa memiliki PADes yang tinggi.

2.7. Perencanaan dan Penganggaran DesaPerencanaan pembangunan desa meru-pa kan proses awal pembangunan yang dilakukan oleh desa dalam rangka mewujudkan dan memperkuat kemandirian dan kedaulatan desa, artinya perencanaan pembangunan menjadi kunci penting pembangunan di desa. Ketika perencanaannya tidak dilakukan sesuai dengan prinsip yang benar sesuai kehendak UU Desa, maka dapat dipastikan hasilnya pun akan bermasalah. Prinsip-prinsip itu, antara lain: 1) Konsistensi dalam penyusunan dokumen perencanaan, 2) Inklusi Sosial. 3) Kemandirian dalam pemanfaatan aset lokal, 4) Demokrasi, 5) Keberlanjutan, dan 6) Pemberdayaan masyarakat.

Perencanaan pembangunan desa sebagaimana disebutkan dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, diartikan

sebagai proses tahapan kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah Desa dengan melibatkan Badan Permusyawaratan Desa dan unsur masyarakat secara partisipatif guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya desa dalam rangka mencapai tujuan pembangunan desa. Di mana perencanaan pembangunan Desa sendiri menghasilkan dua jenis keluaran, yaitu:1. Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Desa (RPJM Desa) adalah Rencana Kegiatan Pembangunan Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun, dan

2. Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) adalah penjabaran dari RPJM Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun

UU Desa sebenarnya tidak membatasi waktu penyusunan RPJMDesa tetapi PP No. 43 Tahun 2014 dan Permendagri No. 114 Tahun 2014 membatasi watu penyusunan RPJM Desa di mana harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak pelantikan kepala Desa. Di mana dalam kurun waktu tersebut, desa sudah harus menyelesaikan dokumen perencanaan pembangunan yang selain menceritakan tentang gambar kondisi desa juga berisi peta potensi dan persoalan yang ada, serta desain program yang dirancang dalam rangka menyelesaikan berbagai tantangan yang ada di desa. Namun bukan hanya itu, dokumen ini juga harus dilengkapi dengan lampiran-lampiran form yang sangat banyak dan detail sebagaimana diatur Permendagri No. 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.

Page 37: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

25Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

Selain itu, terkait dengan perencanaan pembangunan desa, UU No. 6 Tahun 2014 Pasal 78 ayat 2 juga menyatakan bahwa pembangunan desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, di mana perencanaan pembangunan desa disusun sesuai dengan kewenangan desa dengan mengacu pada perencanaan pemba-ngunan kabupaten/kota, artinya UU memandatkan adanya sinergi antara pembangunan di kabupaten/kota dan di desa. Ini mengandung konsekuensi, bahwa desa harus mengetahui desain pembangunan di tingkat kabupaten/kota serta program apa yang akan dilakukan di desa.

Selanjutnya, pasca tersusunnya dokumen perencanaan pembangunan desa, desa berkewajiban menyusun dokumen penganggaran atau yang biasa dikenal dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). Terkait dengan itu, yang penting diperhatikan adalah kepada kelompok mana pemerintah desa berpihak? Untuk progran/kegiatan apa pemerintah desa bertindak? Apakah pendapatan desa diperoleh dengan membebani masyarakat desa? Dan apakah belanja desa berdampak pada kesejahteraan masyarakat desa? Sehingga prinsip inklusi sosial menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam proses perencanaan dan penganggaran desa ini, dengan memastikan peruntukkan anggaran, kecukupan anggaran serta metode transfer program dan anggaran agar tepat sasaran.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh IRE di 3 daerah, beberapa

catatan penting yang terangkum terkait isu perencanaan dan penganggaran, antara lain:Perencanaan Pembangunan DesaPertama, dokumen RPJM Desa yang detail dan waktu penyusunan yang singkat (3 bulan), dinilai pemerintah desa tidak realistis sehingga berpotensi banyak mengalami revisi dalam implementasinya. Kepala Desa terpilih memiliki kewajiban untuk menyusun dokumen RPJM Desa 3 bulan pasca pelantikan yang berisi seluruh rencana pembangunan yang akan diselenggarakan oleh desa dalam kurun waktu 6 tahun yang tersusun hingga rencana kegiatan serta kebutuhan anggarannya. Bagi kepala desa yang baru menjabat untuk periode pertama, tantangannya justru dirasa lebih berat karena dibutuhkan waktu untuk mempelajari dan beradaptasi dengan berbagai kebijakan yang mengatur soal desa, mengenal desa dan pemerintahan desa secara lebih komprehensif, ditambah harus melakukan rekonsiliasi pasca pilkades yang biasanya menyisakan konflik dengan berbagai lawan politik. UU Desa sendiri sesungguhnya tidak memberi batas waktu terkait penyusunan dokumen RPJM Desa, pengaturan soal batas waktu ditemukan pada PP No. 43 Tahun 2014, terlebih PP ini juga membatasi revisi RPJM Desa hanya dapat dilakukan karena 2 hal, yaitu: terjadi peristiwa khusus, seperti bencana alam, krisis politik, krisis ekonomi, dan/atau kerusuhan sosial yang berkepanjangan; atau terdapat perubahan mendasar atas kebijakan Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota.

Page 38: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

26 Institute for Research and Empowerment 2020

Kedua, diskoneksi perencanaan kabupaten dan desa karena akses informasi yang terbatas dan minimnya pendampingan selama proses penyusunan dokumen perencanaan pembangunan desa. Pasal 79 ayat (1) UU Desa menyebutkan bahwa Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Dalam prakteknya hal ini jarang terjadi di desa karena tidak adanya pendampingan yang intensif dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota selama proses penyusunan dokumen perencanaan, sehingga desa tidak memiliki kecukupan informasi dalam membangun sinergi pembangunan dengan perencanaan daerah.

Ketiga, masih terbatasnya kapasitas desa dalam merumuskan program-program yang inklusif karena terbatasnya pengetahuan. Banyak desa hingga saat ini yang masih memprioritaskan pembangunan desanya pada program pembangunan infrastruktur, meski tidak sedikit juga yang sudah mulai bergerak pada program pengembangan ekonomi lokal. Namun sayangnya, akses kelompok marginal terhadap pengelolaan sumber daya publik terbilang masih minim, sehingga program yang diinisiasi oleh desa ini masih belum secara kuat berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan kelompok marginal. Meski PP No. 43 Tahun 2014 Pasal 127 ayat (2) butir d menyebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat desa oleh pemerintah supra desa dilakukan dengan menyusun perencanaan dan penganggaran yang

berpihak kepada kepentingan warga miskin, warga disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok marginal, namun kenyataannya, karena minimnya pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah supra desa, prinsip ini belum secara kuat mewarnai proses perencanaan dan penganggaran desa.

Keempat, praktik baik musyawarah dusun (musdus) terjadi di Dusun Kalendapo dan Dusun Saluira (Komunitas Adat Terpencil/KAT), di mana musdus dijadi kan sebagai arena membicarakan isu-isu publik warga, yang melibatkan hampir semua anggota masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Musdus merupakan tahapan yang sebenarnya tidak diatur dalam UU Desa maupun PP No. 43 Tahun 2014, melainkan oleh Permendagri No. 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. Namun di sebagian besar desa, musyawarah dusun maupun musyawarah kelompok sektoral (petani, nelayan, peternak, penyandang disabilitas, perempuan, dan lain-lain) dirasakan lebih bermakna karena dianggap selain dapat secara fokus membicarakan isu tertentu juga musyawarah terjadi dalam relasi yang relatif setara sehingga masyarakat dapat berbicara secara terbuka.

Kelima, masih terdapat program yang bersifat top down dan instruktif, baik yang dibiayai oleh APBD maupun yang dibebankan pembiayaannya pada APB Desa. Di Kabupaten Pasangkayu misalnya, ada komunitas adat terpencil (suku Topodaa) yang terbiasa tinggal di rumah panggung terbuat dari kayu dengan atap ilalang. Sayangnya rumah tersebut

Page 39: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

27Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

dianggap tidak layak huni menurut versi Pemerintah Daerah, sehingga diberi program bantuan pembuatan rumah yang semi permanen dengan atap seng. Namun karena warga suku Topodaa tidak terbiasa dengan rumah seng, akhirnya mereka pun kembali ke rumah panggung milik mereka sebelumnya. Di Kabupaten Bantul dan beberapa daerah lainnya, saat ini juga diresahkan dengan kebijakan Pemerintah Pusat terkait dengan program penanganan stunting di tingkat desa dengan alokasi anggaran 20% dari APB Desa. Intervensi program semacam ini sesungguhnya telah menyalahi semangat UU Desa yang mengusung azas rekognisi dan subsidiaritas, dimana desa diberi keleluasaan untuk merancang program sesuai kebutuhan dalam kerangka kewenangan desa.

Penganggaran DesaPenganggaran desa sesungguhnya hanya merupakan fase turunan dari perencanaan desa yang sudah tertulis secara detail baik judul program dan kegiatan hingga rencana kebutuhan anggarannya, sehingga fase ini relatif aman penyelenggaraannya di desa. Namun demikian, beberapa temuan penting terdokumentasikan dalam penelitian ini, diantaranya:

Pertama, desa mengalami kesulitan untuk menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB), selain karena keterbatasan dalam teknis perhitungan juga karena kegiatan yang akan dilakukan selama 1 tahun terbilang cukup banyak. Pengaturan tentang RAB muncul pada Permendagri No. 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa, di

mana Permen tersebut mewajibkan desa untuk melampirkan RAB pada dokumen RKP Desa. Sedangkan UU Desa dan PP turunannya tidak memandatkan soal RAB.

Kedua, penyusunan APB Desa terbentur pada kesulitan dalam mengimplementasikan komposisi anggaran 30:70 serta pemenuhan standar penghasilan tetap (siltap) karena inkonsistensi antar regulasi. Meski UU Desa menekankan azas rekognisi dan subsidiaritas dalam pengaturan desa, namun faktanya ada banyak kebijakan di tingkat pusat khususnya, yang mengatur secara rinci terkait pengalokasian anggaran desa, baik di level PP maupun Peraturan Menteri, terlebih regulasi-regulasi tersebut seringkali tidak dapat diimplementasikan karena tidak sinkron satu dengan lainnya, misalnya antara Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa yang tidak sinergi dengan PP No. 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, di mana sebagai contoh kasus di Desa Kutapinang akan terjadi defisit bila memaksakan pemberlakuan PP tersebut.

Ketiga, kebijakan prioritas penggunaan dana desa menabrak azas rekognisi dan subsidiaritas, sehingga membatasi desa dalam memanfaatkan anggaran yang sebenarnya sudah menjadi hak desa yang dapat digunakan untuk menjalankan kewenangan yang dimiliki. Skema prioritas penggunaan dana yang masuk ke desa berdasarkan sumber

Page 40: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

28 Institute for Research and Empowerment 2020

pendanaan membuat desa di satu sisi cukup dimudahkan karena sudah ada aturan yang harus didahulukan. Namun disisi lain, desa cukup kesulitan dalam mengalokasikan anggaran berdasarkan program yang diusulkan masyarakat. Hal ini menyebabkan pemerintah desa harus bersiasat, sebagai contoh, Desa Guwosari berencana membangun gedung serba guna menggunakan dana desa, namun karena dana desa prioritasnya untuk membangun sarana olahraga maka gedung tersebut di setting sebagai gedung olah raga.

Keempat, banyaknya program atau kegiatan “titipan” atau “insidental” yang datang pasca tersusunnya dokumen perencanaan, mengganggu proses penganggaran desa. Desa terpaksa melakukan berbagai siasat agar program titipan tersebut dapat terselenggara, mengingat program datang dari instansi penegak hukum maupun pemerintah supra desa. Di Kabupaten Sergei, pola seperti ini sudah umum terjadi, dimana pihak penegak hukum atas dalih pencegahan korupsi, meminta desa untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) yang wajib diikuti oleh desa dengan alokasi anggaran yang dibebankan pada APB Desa. Terhitung, dalam 1 tahun Kepala Desa terpaksa wajib mengikuti 8 jenis Bimtek dengan anggaran sekitar 160 juta rupiah.

2.8. Akuntabilitas dan Inklusi SosialUU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa atau lebih akrab dikenal dengan UU Desa

memberikan peluang yang cukup luas untuk mendorong hadirnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa. Melalui azas akuntabilitas dan inklusifitas sosial, UU Desa hendak mendorong lahirnya partisipasi masyarakat di desa. Akutabilitas memungkinkan pemerintah desa bertanggung jawab atas setiap rupiah uang desa yang dialokasikan dan dibelanjakan untuk mendanai pembangunan desa. Selain menjadi sarana pertanggung jawaban pemerintah desa, akuntabilitas sosial juga mampu menjadi arena bagi warga desa terlibat aktif mengontrol kegiatan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah desa. Selain akuntabilitas sosial, partisipasi masyarakat desa juga dihidupkan melalui pemerintah desa yang inklusif. Pemerintahan desa yang inklusif memungkinkan tumbuhnya lingkungan yang mendukung (enabling environment) bagi masyarakat desa untuk terlibat dalam kegiatan perencanaan dan penganggaran di desa. Inklusifitas sosial menjadi arus baru dalam pembangunan yang sedang dikembangkan oleh banyak pihak. Inklusifitas dinilai mampu mengurangi kemiskinan yang ada di desa. Hal ini disebabkan karena inklusifitas memberikan kesempatan yang sama bagi warga desa untuk terlibat aktif. Kesempatan tersebut memungkinkan lahirnya insiatif warga desa untuk terlibat dan berkontribusi dalam pembangunan yang ada di desa.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di 3 daerah terkait tema akuntabilitas dan inklusi sosial, beberapa temuan penting yang dapat dirangkum,

Page 41: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

29Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

antara lain:Pertama, prinsip transparansi dan akuntabilitas sosial direspon positif, baik oleh Pemdes maupun warga, namun juga berpotensi memunculkan aksi premanisme/pemalakan yang justeru dilakukan oleh aparat penegak hukum, media maupun Lembaga Swadaya Masyarakat “abal-abal” di tingkat lokal. Di Sergei, informasi tentang penggunaan anggaran dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum/media/LSM untuk melakukan pemerasan terhadap desa dengan dengan alasan adanya dugaan penyelewengan anggaran. Di Desa Melati II, Kepala Desa tahun ini saja sudah 2 kali dipanggil oleh kejaksaan atas tuduhan dugaan penyelewenangan anggaran pembangunan desa, meski program tersebut sudah dilaksanakan setransparan mungkin dan dikerjakan sesuai dengan RAB oleh warga desa sendiri. Selalu ada celah untuk melakukan kriminalisasi terhadap desa, terlebih bila kepala desa tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam mengimplementasikan UU Desa.

Kedua, transparansi dan akuntabilitas masih dimaknai sebatas memajang baleho APB Desa di ruang-ruang publik, namun masih belum kuat dimaknai sebagai kontrol publik atas sumber daya yang ada di desa. Saat ini, informasi APB Desa sudah bukan sekedar milik Pemerintah Desa saja, melainkan menjadi milik publik yang diinformasikan melalui berbagai media, termasuk baleho yang biasa dijumpai di depan kantor desa, berisi informasi tentang pendapatan dan belanja desa, sehingga publik diharapkan mengetahui penggunaan sumber

daya keuangan desa. Sayangnya meski hampir semua desa sudah memajang informasi APB Desa, warga yang kritis atas penggunaan anggaran tersebut masih sangat terbatas, justru pihak luar yang memanfaatkan untuk kepentingan yang destruktif sebagaimana cerita sebelumnya.

Ketiga, pertemuan RT/RW, PKK, pertemuan kelompok, musyawarah dusun, dan musyawarah desa serta media sosial dimanfaatkan sebagai arena komunikasi publik terutama dalam mempertanggungjawabkan program pembangunan, baik yang dilakukan oleh BPD maupun Pemerintah Desa. Pemdes dan BPD mampu memanfaatkan berbagai media dan ruang pertemuan sebagai arena menciptakan akuntabilitas sosial, sehingga warga merasa turut memiliki sumber daya finansial yang ada di desa, sehingga pertanggungjawaban penggunaan anggaran desa tidak sebatas pada musdes dan musrenbang saja, namun telah terjadi perluasan ruang publik di desa.

2.9. Sitem Informasi DesaPengaturan mengenai sitem informasi desa diatur dalam pasal 86 UU Desa yakni desa berhak mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi Desa yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Kemudian UU Desa juga memandatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan. Sistem informasi Desa (SID) membutuhkan fasilitas perangkat keras dan perangkat lunak, jaringan, serta

Page 42: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

30 Institute for Research and Empowerment 2020

sumber daya manusia. PP No. 43 Tahun 2014 mengabaikan pengaturan lebih rinci dan operasional terhadap mandat pasal 86 UU Desa terkait SID. Akibatnya masih sedikit kabupaten/kota yang mengembangan SID untuk memenuhi hak desa dalam mendapatkan akses informasi.

Dalam UU Desa, konten SID meliputi data Desa, data pembangunan Desa, kawasan perdesaan, serta informasi lain yang berkaitan dengan pembangunan Desa dan pembangunan kawasan perdesaan. SID dikelola oleh Pemerintah Desa dan dapat diakses oleh masyarakat Desa dan semua pemangku kepentingan. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyediakan informasi perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota untuk Desa. Namun kebanyakan konten SID belum optimal dari penyajian data, hal ini terkait dengan ketersediaan anggaran dan SDM pengelola SID.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh IRE di 3 daerah, beberapa catatan penting yang terangkum terkait SID, antara lain Pertama, Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah walaupun wajib mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan kawasan perdesaan namun baru sebagian kecil Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang telah mengembangkan sistem informasi Desa sehingga desa belum memperoleh akses informasi. Desa dan Pemda Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sergei sudah mengembangkan SID dengan baik karena adanya dampingan dari Non Governmental Organization (NGO) dalam pengembangan SID.

Kedua, konten Sistem informasi Desa (SID) masih terbatas pada profil desa dan belum mampu memberikan informasi tentang data Desa, data Pembangunan Desa, kawasan perdesaan, serta informasi lain yang berkaitan dengan Pembangunan Desa dan pembangunan kawasan perdesaan. SID di beberapa kabupaten hanya berwujud web site desa yang masih minim informasi. Ketiga, dorongan dari pemerintah dan inisiatif dari pemerintahan desa sangat dibutuhkan dalam pengembangan SID. Sebagai contoh Desa Panggungharjo sudah mengembangkan SID yang menyajikan data desa cukup lengkap, mulai dari data profil desa, data pembangunan desa, pengumuman-pengumuman, data aset desa, dan peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh desa.

Keempat, SID sangat menentukan kualitas perencanaan pembangunan desa dan kawasan perdesaaan namun hingga saat ini SID belum dikembangkan secara optimal minimnya fasilitasi dari pemda, minimnya sumberdaya di desa yang mampu mengelola SID, dan tingginya biaya yang diperlukan untuk mengembangkan SID.

2.10. Pendampingan DesaDi dalam UU Desa, tidak ada pasal yang secara khusus menyebutkan tentang pendampingan desa. Kata pendampingan yang ada adalah bagian dari peran pembinaan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah supra desa kepada desa. Disebutkan dalam pasal 115 UU Desa bahwa pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kab/kota sebagaimana dimaksud dalam

Page 43: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

31Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

pasal 112 ayat (1) salah satunya adalah melakukan upaya percepatan pembangu-nan desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan teknis.

Pengaturan tentang pendampingan masyarakat sulit untuk ditemukan rujukannya secara jelas dalam UU Desa. Sementara itu PP No. 43 Tahun 2014 pasal 129 ayat (2) mengatur perihal tenaga pendamping profesional harus memiliki sertifikasi kompetensi dan kualifikasi pendampingan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan atau teknik. Tenaga pendamping sebagaimana dimaksud adalah pendamping lokal desa, pendamping kecamatan, pendamping teknis, dan tenaga ahli. Selain itu, dikenal juga Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) yang berasal dari unsur masyarakat yang dipilih oleh desa untuk menumbuhkan dan mengembangkan serta menggerakkan prakarsa, partisipasi, dan swadaya gotong royong.

Pengaturan tentang pendampingan desa dalam PP No. 43 Tahun 2014 secara tidak langsung mengaburkan tanggungjawab utama pendampingan yang harusnya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/kota dalam kerangka pembinaan dan pengawasan. Selain itu, Pemerintah Kabupaten pun banyak mendapat informasi atau laporan terkait dinamika pendampingan yang dilakukan oleh tenaga profesional tersebut, mengingat koordinasi mereka lebih banyak langsung dilakukan dengan Pemerintah Pusat. Inilah yang menyebabkan diskoneksi

dalam proses pendampingan desa yang terjadi hampir di seluruh daerah yang menjadi lokasi riset ini.

Secara khusus, riset ini juga mencatat beberapa temuan terkait dengan dinamika pendampingan baik di tingkat daerah maupun desa, antara lain Pertama, rekrutmen dan peningkatan kapasitas Pendamping Desa dan Pendamping Lokal Desa (PLD) dilakukan langsung oleh Pemerintah Pusat tanpa melibatkan desa dan kabupaten. Sejak awal dilakukan rekrutmen pendamping desa, Pemerintah Daerah tidak pernah dilibatkan dalam proses rekrutmen maupun kegiatan peningkatan kapasitas pendamping, semua proses ditangani oleh Pemerintah Pusat, dan daerah hanya diinformasikan saja terkait hal tersebut. Tidak jarang kritik disampaikan oleh daerah terkait dengan kapasitas dan metode pendampingan yang terjadi di daerah dan desa, namun Pemerintah Pusat tidak pernah mengabaikan masukan tersebut. Sehingga pendampingan yang sudah dilakukan bertahun-tahun ini pun tidak banyak membawa perubahan signifikan bagi upaya pemberdayaan masyarakat desa.

Kedua, kapasitas dan integritas pendamping lokal desa yang lemah berdampak pada pola relasi antara pendamping dan pemdes yang bersifat administratif bukan substantif. Tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak pendamping lokal desa yang datang ke desa hanya untuk memenuhi aspek administrasi (pertanggungjawaban kinerja) dan tidak melakukan pendamping atau pemberdayaan masyarakat. Sudah

Page 44: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

32 Institute for Research and Empowerment 2020

bukan hal baru lagi begi Pemdes ketika PLD datang ke desa hanya untuk meminta tanda tangan dan stempel saja tanpa melakukan kegiatan pendampingan atau pemberdayaan masyarakat, terlebih bila posisi desa jauh dari pusat kecamatan. Selain soal lemahnya koordinasi dan sinergi yang terjalin, Pemdes juga mengeluhkan tentang lemahnya kapasitas pendamping lokal desa dalam memahami substansi UU Desa (terutama aspek pemberdayaan masyarakat) dan aspek-aspek teknokratis seperti tentang perencanaan dan penganggaran pembangunan yang sangat dibutuhkan oleh desa. Di beberapa desa, seperti di Panggungharjo, Kutapinang, Melati 2, dan Gowasari, yang terjadi justru sebaliknya, kapasitas Kepala Desa yang baik justeru akhirnya harus membriefing PLD terkait aspek-aspek teknokrasi.

Ketiga, pendampingan masih ter-fokus pada kegiatan teknokratis, belum pada aspek pemberdayaan. Sebagaimana cerita  di atas, program pendampingan desa yang sudah berlangsung 5 tahun, hingga saat ini pun masih disibukkan pada aspek-aspek teknokrasi, belum menyentuh pada substansi pemberdayaan masyarakat dan penguatan desa. Inisiatif pendirian dan penguatan BUM Desa lebih banyak diinisiasi oleh Pemdes dan masyarakat, begitu pula dengan Program Inovasi Desa (PID) yang menjadi bagian dari program kementerian desa yang harusnya dikawal oleh pendamping, faktanya pendamping hanya sekedar melaporkan inisiatif-inisiatif program yang berkembang di desa kepada kementerian dalam kerangka PID, atau dengan kata lain, yang

terjadi hanya klaim atas inovasi lokal tanpa pendampingan. Keempat, pendamping desa jarang berkomunikasi dengan kelompok warga/masyarakat, sehingga banyak warga tidak mengetahui keberadaan pendamping desa. Masih terkait dengan cerita pendampingan sebelumnya, karena pendamping terfokus pada pendampingan pemdes di aspek teknokrasi, maka ketika dikonfirmasi ke kelompok-kelompok warga terutama kelompok sektoral, seperti: kelompok tani, kelompok ternak, kelompok nelayan, PKK, dan lain-lain, sangat sedikit dari mereka yang mengenal identitas PLD, terlebih lagi ketika ditanyakan proses pendampingan atau pemberdayaan, kelompok-kelompok ini pun merasa tidak pernah dilakukan kegiatan pendampingan dalam rangka pemberdayaan kelompok. Fakta ini semakin memperkuat lemahnya peran pendamping desa dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, sehingga penting untuk kembali mendudukkan peran pendamping desa dalam kerangka mendorong kemandirian dan kedaulatan desa.

2.11. Pengisian PerangkatNorma mengenai perangkat desa diatur dalam Pasal 48-53 UU Desa yang meliputi lingkup tugas perangkat desa, persyaratan pengangkatan perangkat desa, larangan, dan pemberhentian perangkat desa. Secara normatif, UU Desa memberikan kewenangan bagi kepala desa untuk mengangkat perangkat desa setelah dikonsultasikan dengan Camat. Pasal 50 UU Desa mengatur tentang persyaratan menjadi perangkat desa, antara lain: (1) pendidikan paling

Page 45: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

33Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat; (2) berusia 20 tahun sampai dengan 42 tahun; (3) terdaftar sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di desa paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran. UU Desa juga memberi peluang bagi kabupaten/kota untuk mencantumkan persyaratan lain yang ditentukan dalam peraturan daerah. Pasal 53 UU Desa mengatur tentang alasan pemberhentian perangkat desa, yakni meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Lebih lanjut, UU Desa mengatur mengenai alasan pemberhentian sebagai perangkat desa, antara lain: (1) batas usia (60 tahun), (2) berhalangan tetap, (3) tidak lagi memenuhi syarat sebagai perangkat desa; atau (4) melanggar larangan sebagai perangkat desa. Seperti halnya pengangkatan, pemberhentian perangkat desa ditetapkan oleh kepala desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota.

Beberapa ketentuan mengenai perangkat desa dalam UU Desa didelegasikan pengaturannya pada peraturan peme-rintah atau peraturan daerah kabupaten/kota. Misalnya, ketentuan mengenai lingkup tugas dan wewenang perangkat desa serta ketentuan mengenai pemberhentian perangkat desa. Namun demikian, sejumlah pengaturan dalam regulasi teknis, yakni PP. No. 43 Tahun 2014 jo PP No. 47 Tahun 2015 belum mampu menjelaskan kemauan dalam UU Desa. PP No. 43 Tahun 2014, misalnya, mengunci mekanisme konsultasi dengan camat dalam pengangkatan dan pem-berhentian perangkat desa dengan klausul rekomendasi tertulis. Lebih lanjut,

rekomendasi tertulis ini dijadikan dasar oleh kepala desa dalam pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa. Di level peraturan daerah, setidaknya di dua kabupaten, Perda Kabupaten Bantul No. 5 Tahun 2018 tentang Pamong Desa dan Perda Kabupaten Pasangkayu No. 4 Tahun 2017 memaknai rekomendasi tertulis ini dalam bentuk persetujuan atau penolakan. Dalam hal camat menolak calon yang diajukan, kepala desa harus melakukan penjaringan dan penyaringan kembali calon perangkat desa.

Di level implementasi, terdapat sejumlah permasalahan terkait dengan pengisian perangkat desa ini. Pertama, pemerintah desa sulit untuk memberhentikan aparat desa yang kapasitas dan kinerjanya rendah. Meskipun UU Desa mengatur mekanisme dan alasan pemberhentian perangkat desa, namun PP No. 43 Tahun 2014 jo PP No. 47 Tahun 2015 tidak menguraikan secara lebih operasional alasan pemberhentian perangkat desa. Klausul pada Pasal 53 huruf c dan d dalam UU Desa, yakni ‘tidak lagi memenuhi syarat sebagai perangkat desa’ atau ‘melanggar larangan sebagai perangkat desa’ tidak dirinci dalam PP. Lebih lanjut, Pasal 51 UU Desa merinci larangan-larangan bagi perangkat desa. Klausul mengenai larangan ini mestinya diatur secara lebih indikatif dan operasional di level peraturan pemerintah. Sayangnya, regulasi turunan baik PP No. 43 Tahun 2014 maupun Permendagri No. 83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa tidak menjelaskan secara lebih rinci larangan tersebut. Bagi kepala desa, memberhentikan perangkat desa karena

Page 46: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

34 Institute for Research and Empowerment 2020

alasan buruknya kinerja sulit untuk dijalankan karena aturan yang ada tidak operasional untuk diterapkan. Meskipun menjadi kewenangannya, kepala desa sulit untuk menjalankan ketentuan ini karena tidak adanya indikator yang jelas untuk mengukur kinerja perangkat desa yang dinilai tidak mampu bekerja dengan baik.

Kedua, desa seringkali menghadapi situasi dilematis untuk memilih perangkat desa berdasarkan kualifikasi pendidikan atau ketokohan. Keragaman desa dengan kondisi ketersediaan sumberdaya manusia yang beragam pula seringkali menghadapi rendahnya input SDM perangkat desa. UU Desa dan PP mensyaratkan perangkat desa berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat. Desa seringkali menghadapi adanya calon perangkat desa yang memenuhi kualifikasi pendidikan, namun ketoko-han nya di masyarakat dianggap kurang. Demikian pula sebaliknya, meski kualifikasi pendidikannya tidak terpenuhi, namun calon perangkat desa memiliki kapasitas sosial dan ketokohan yang kuat. Hal ini biasanya berlaku bagi calon perangkat desa pelaksana kewilayahan. Di Pasangkayu, ditemukan desa yang lebih memprioritaskan kualitas ketokohan calon kepala dusun meskipun kualifikasi pendidikannya tidak terpenuhi. Pertimbangannya, lebih baik pemerintah desa memilih kepala dusun yang mampu merepresentasikan kepentingan dusun yang sebagian besar didiami oleh komunitas adat terpencil (KAT). Kualifikasi pendidikan hampir tak dapat dipenuhi karena rendahnya

SDM dan juga konteks lokal yang sangat spesifik tersebut. Desa seringkali menemukan calon perangkat desa dari unsur kewilayahan memiliki modal sosial (ketokohan) yang baik, namun terkendala persyaratan pendidikan. Bagi pemerintah desa, desa seringkali lebih membutuhkan sosok kepala dusun yang memahami persoalan dan kebutuhan warganya, serta—yang tidak kalah pentingnya—mampu menggerakkan masyarakat. Meskipun secara administratif, kualifikasi pendidikannya tak memenuhi.

Ketiga, seleksi perangkat desa oleh pihak ketiga berpotensi meminggirkan semangat lokal karena hanya mem-pertimbangkan kualifikasi capaian akademik semata. Desa seringkali memilih menggunakan opsi pihak pihak ketiga dengan alasan untuk meminimalisasi konflik kepentingan dan menjamin independensi panitia seleksi perangkat desa. Sayangnya, dalam beberapa kasus, pemilihan oleh pihak ketiga ini menghilangkan semangat lokal. Pengisian perangkat desa tidak bisa hanya didasarkan pada penilaian akademik semata. Calon perangkat desa juga mesti memiliki kualifikasi sosial kemasyarakatan terutama bagi perangkat desa pelaksana kewilayahan. Di Bantul, banyak kasus calon kepala dusun yang memiliki kualitas kepemimpinan dan aspek sosial kemasyarakatan namun dikalahkan oleh calon yang memiliki nilai akademik lebih tinggi.

2.12. Kawasan PerdesaanUU Desa pasal 1 mendefinisikan kawasan perdesaan sebagai kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian,

Page 47: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

35Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Subyek kebijakan ini adalah desa yang memiliki peluang untuk mengembangkan prog-ram/kegiatan pembangunan secara partisipatif melalui kabupaten. Selain itu, desa mampu mendapatkan hak rekognisi dan subsidiaritas dalam pengembangan pembangunan desa dari pemerintahan regional dan diharapkan tetap memiliki karakteristik desa dari berbagai aspek.

Pasal 13 UU Desa menyebutkan bahwa pemerintah dapat memprakarsai pem-bentukan Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional. PP No. 43 Tahun 2014 tidak menjelaskan secara memadai berkaitan dengan maksud pemerintah dapat memprakarsai pembentukan desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis. Dalam bagian penjelasan terhadap pasal 3 ayat (1) PP No. 43 Tahun 2014 hanya memberi contoh kawasan bersifat khusus dan strategis seperti kawasan terluar dalam wilayah perbatasan atau program transmigrasi. Tetapi tidak ada definisi maupun indikator terhadap apa yang disebut kawasan bersifat khusus maupun kawasan yang bersifat strategis. Tiadanya definisi atau indikator tersebut berpotensi menimbulkan penafsiran yang berbeda diantara para pihak yang memiliki kepentingan. Apalagi, ketentuan dalam pasal 3 (1) PP No. 43 Tahun 2014 dengan pasal 13 UU Desa sama persis.

Pasal 83 UU Desa menjelaskan bahwa pembangunan Kawasan Perdesaan

merupakan perpaduan pembangunan antar-Desa dalam 1 (satu) Kabupaten/ Kota. Pembangunan Kawasan Perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif. Pembangunan Kawasan Perdesaan meliputi: (a) penggunaan dan pemanfaatan wilayah Desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota; (b) pelayanan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan; (c) pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi per-desaan, dan pengembangan teknologi tepat guna; dan (d) pemberdayaan masyarakat Desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi.

Peran pemerintah desa strategis dalam pembahasan rancangan pembangunan kawasan perdesaan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 83 UU Desa di mana rancangan pembangunan Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah, Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa. Rencana pembangunan Kawasan Perdesaan ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan RPJMD. Pasal 84 menegaskan bahwa pembangunan Kawasan Perdesaan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau pihak ketiga yang terkait dengan pemanfaatan Aset Desa dan tata ruang Desa wajib melibatkan Pemerintah Desa. Selain itu, perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan,

Page 48: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

36 Institute for Research and Empowerment 2020

dan pendayagunaan Aset Desa untuk pembangunan Kawasan Perdesaan merujuk pada hasil Musyawarah Desa. Jadi UU Desa menempatkan desa sebagai subjek pada posisi strategis dalam pembangunan kawasan perdesaan. UU Desa memandatkan pengaturan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan pembangunan Kawasan Perdesaan, pemanfaatan, dan pen da ya-gunaan diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Peran strategis pemerintah desa dan masyarakat desa juga ditegaskan dalam pasal 85 UU Desa. Pertama, pembangunan Kawasan Perdesaan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui satuan kerja perangkat daerah, Pemerintah Desa, dan/atau BUM Desa dengan mengikutsertakan masyarakat Desa. Kedua, pembangunan Kawasan Perdesaan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan pihak ketiga wajib mendayagunakan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta mengikutsertakan Pemerintah Desa dan masyarakat Desa. Ketiga, pembangunan Kawasan Perdesaan yang berskala lokal Desa wajib diserahkan pelaksanaannya kepada Desa dan/atau kerja sama antar-Desa.

Walaupun UU Desa hanya memandatkan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota namun PP No. 43 Tahun 2014 melakukan pengaturan

lebih lanjut tentang pembangunan kawasan perdesaan pada pasal 123 – 125. Bahkan pada pasal 131 memberikan kewenangan kepada menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional menetapkan pedoman pelaksanaan pembangunan Desa, pembangunan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat Desa, dan pendampingan Desa sesuai dengan kewenangan masing-masing. Selain itu, PP ini juga memberikan kewenangan kepada menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian teknis terkait dapat menetapkan pedoman pelaksanaan pembangunan Desa, pembangunan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat Desa, dan pendampingan Desa sesuai dengan kewenangannya setelah berkoordinasi dengan Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. Ketika menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional tidak segera mengeluarkan pedoman maka pada tahun 2016 menteri desa, PDTT menerbitkan Permendesa, PDTT No. 5 Tahun 2016 tentang Pembangunan Kawasan Perdesaan.

UU Desa memandatkan pengaturan lebih lanjut mengenai pembangunan kawasan perdesaan diatur dalam Perda Kabupaten/Kota bukan dalam PP atau Permen. Peran pemerintah Pemerintah dan Pemda Provinsi bukan menerbitkan aturan tetapi membahas bersama. PP 43 Tahun 2014 pasal 124 mengatur secara berjenjang. Bupati/walikota memiliki kewenangan

Page 49: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

37Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

untuk menetapkan lokasi pembangunan kawasan perdesaan berdasar usulan dari desa dengan keputusan bupati/walikota dan mengusulkan program pembangunan kawasan perdesaan di lokasi yang telah ditetapkannya kepada gubernur dan kepada Pemerintah melalui gubernur. Program pembangunan kawasan perdesaan yang berasal dari Pemerintah dan pemda provinsi dibahas bersama pemerintah daerah kabupaten/kota untuk ditetapkan sebagai program pembangunan kawasan perdesaan. Namun ketika turun menjadi program pembangunan kawasan perdesaan masing-masing jenjang pemerintahan memiliki kewenangan untuk menetapkan programnya. Pengaturan seperti ini berpotensi untuk terjadinya fragmentasi dan munculnya program-program pem-bangunan kawasan perdesaan secara top down di mana desa hanya menjadi objek pembangunan.

Kajian regulasi dan riset yang telah dilakukan oleh IRE di 3 desa di 3 kabupaten menemukan bukti empiris tentang permasalahan dalam implementasi UU Desa tentang pembangunan kawasan perdesaan. Pertama, Desa belum mampu memadukan kebijakan pembangunan kawasan karena kabupaten dan desa belum membuat master plan kawasan pembangunan sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota sebagai acuan bagi desa. Tantangan utama dalam pembangunan kawasan adalah carut marut dalam tata ruang kabupaten terutama di daerah yang banyak memiliki desa dalam kawasan hutan maupun kawasan perkebunan. Desa-desa nampak dibiarkan sendiri mengembangkan kawasan perdesaan

tanpa fasilitasi dan pedoman dari pemerintah maupun pemerintah daerah.

Kedua, tujuan pembangunan kawasan perdesaan belum menjadi perpaduan pembangunan antar-Desa yang dilaksa-nakan dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masya rakat Desa. Proses perencanaan pembangunan desa masih mengabaikan perpaduan pembangunan antar-desa karena desa hanya memikirkan pem-banunan desanya sendiri dan meng-abaikan pengembangan kawasan. Hal ini lagi-lagi karena kabupaten tidak memandu dalam sebuah rencana induk pengembangan kawasan perdesaan.

Ketiga, Pemerintah kabupaten belum menetapkan lokasi, konsep, dan program pengembangan kawasan per desaaan, selain itu juga belum memiliki peraturan mengenai kawasan perdesaan, sehingga desa belum memiliki panduan dalam pengembangan kawasan perdesaan. Namun pemerintah pusat melalui kementerian/lembaga sudah banyak membuat program pengembangan kawasan. Program-program pengembangan kawasan dari pusat tersebut menjadi tidak efektif karena tanpa dukungan perencanaan pembangunan kawasan perdesaan dari pemerintah desa dan pemerintah daerah.

Keempat, belum ada kejelasan tanggung jawab dalam pembangunan kawasan perdesaan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kab/kota, pemerintah desa, dan/atau BUMDesa dengan mengikutsertakan

Page 50: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

38 Institute for Research and Empowerment 2020

masyarakat. Pemerintah kabupaten banyak yang belum memiliki konsep dan regulasi mengenai kawasan perdesaan, sehingga desa belum memiliki panduan dalam pengembangan kawasan perdesaan. Padahal dalam hal pembangunan kawasan perdesaan ini tanggung jawabnya ada pada pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kab/kota, pemerintah desa, dan/atau BUMDesa dengan mengikutsertakan masyarakat. Sedangkan pembangunan kawasan perdesaan yang berskala lokal desa wajib pelaksanaannya wajib diserahkan kepada desa dan/atau kerjasama antar desa.

Kelima, pembangunan kawasan per-desaan yang berskala lokal desa pelaksanaannya sudah diserahkan kepada desa dan/atau kerjasama antar desa tetapi masih bersifat instan dan belum berbasis isu dan kebutuhan strategis antar-desa dalam kawasan. Bahkan seringkali gagasan kerja sama antar-desa dan BUMDesa bersama tersebut muncul karena adanya proyek pusat yang turun di desa, misal program kementerian desa, PDTT untuk pengembangan ekonomi lokal (local economic development – LED). Proyek ini memaksa desa-desa yang menjadi lokasi proyek tergopoh-gopoh mendesain pengembangan kawasan ekonomi perdesaan tanpa rencana pengembangan yang memadai.

Page 51: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

39Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

Lahirnya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa bertujuan mendorong lahirnya desa yang mandiri, demokratis,

dan sejahtera. Berpijak pada tujuan tersebut keberadaan desa tidak bisa dipahami semata-mata sebagai wilayah administrarif. Keberadaan desa mesti dipahami sebagai entitas sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum. Gagasan diundangkannya desa dalam satu payung hukum tersendiri yeng terpisah dari pemerintahan daerah salah satunya ingin mentransformasikan desa sebagai wilayah yang otonom agar desa memiliki hak dan kewenangan untuk mengelola sumberdaya ekonomi politiknya, menge-lola barang-barang publik dan kepen-tingan masyarakat setempat, serta untuk mengurus kepentingan publik desa melalui pelayanan publik.

Karena itu dalam UU Desa terdapat dua azas utama yang dipakai sebagai pilar otonomi desa, yaitu pertama rekognisi atau pengakuan terhadap hak asal usul desa. Termasuk dalam azas ini adalah pengakuan terhadap kewenangan/hak asal usul dan memulihkan kembali struktur lokal yang ada. Dan kedua, subsidiaritas. Dengan azas ini desa memiliki kewenangan lokal di aras desa

untuk mengambil keputusan sendiri berdasarkan kepentingan masyarakat setempat. Dengan azas subsidiaritas ini urusan-urusan lokal yang berskala lokal diputuskan secara lokal berdasarkan pada kewenangan yang dimiliki desa. Dengan demikian desa mempunyai hak dan kewenangan jika berhadapan dengan pemerintah, sekaligus mempunyai tanggungjawab jika berhadapan dengan rakyat. Agar ketiganya berjalan, Desa mem butuhkan keleluasaan untuk meng ambil keputusan yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, serta kapasitas (kemampuan) untuk menopang tanggungjawab mengurus masyarakat.

Jika kita menilik pada temuan-temuan yang sudah dipaparkan di atas, setidaknya ada dua kesimpulan utama dalam pelaksanaan UU Desa saat ini: pertama, terdapat ketidaksinkronan antara UU Desa dengan PP yang sekarang ini dipakai dasar mengoperasionalkan pelaksanaan UU Desa. Alih-alih memberikan panduan yang bisa mempermudah desa dalam melaksanakan UU Desa, PP yang ada justru menenggelamkan azas rekognisi dan subsidiaritas yang ada dalam UU Desa. Kerancuan pengaturan yang menyimpang dari ketentuan UU Desa

BAB IIIKesimpulan dan Rekomendasi

Page 52: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

40 Institute for Research and Empowerment 2020

yang terdapat dalam PP tersebut tidak hanya membuat desa dan kabupaten mengalami kebingunan ketika hendak mengimplementasikan UU Desa, lebih dari, hal tersebut telah mengakibatkan implementasinya menjadi berbeda dengan apa yang telah dimandatkan UU Desa.

Kedua, peran pemerintah supra desa (kabupaten, provinsi, dan pusat) yang dalam UU Desa lebih banyak berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan berubah menjadi semakin otoritatif dalam mengatur dan menentukan desa. Hal tersebut tentu sangat berbeda dengan peran pembinaan dan pengawasan sebagaimana ter-cantum dalam UU Desa. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa yang dimaui UU Desa adalah penegasan pada peran masing-masing susunan pemerintahan dalam rangka meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan desa. Dalam hal ini pembinaan dapat berbentuk penyusunan regulasi, standar, panduan teknis, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, asistensi teknis dan lain-lain. Sedangkan pengawasan dilakukan secara preventif dan represif atas penyelenggaraan pemerintahan desa, termasuk monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan, baik dari atas maupun secara partisipatif di tingkat desa.

Ketiga, UU Desa memberikan mandat kewenangan pembangunan kepada desa, sehingga desa tidak lagi semata-mata sebagai obyek pembangunan, melainkan sebagai arena dan subyek pembangunan.

Cara pandang yang ada dalam PP yang masih menempatkan desa sebagai obyek pembangunan harus berubah secara paradigmatic dan komprehensif, baik berkaitan dengan pemerintahannya, pemberdayaan masyarakat, pemanfaatan aset, maupun keuangan desa. PP yang ada sekarang tidak memberikan ‘jalan lurus’ yang mempermudah desa sebagai subyek pembangunan.

Keempat, dalam pasal 72 UU Desa disebutkan bahwa Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan konsekuensi dari penggunaan azas rekognisi dan subsidiaritas yang dipakai sebagai landasan pengaturan UU Desa. Dalam pasal tersebut disebutkan adanya tujuh sumber pendapatan desa diantaranya adalah anggaran yang bersumber dari APBN (Dana Desa) dan yang bersumber dari APBD (ADD). Kesemua sumber pendapatkan tersebut menjadi hak dan kewajiban desa. Sementara, PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana diubah terakhir dengan PP No. 8 Tahun 2016 (PP No. 60 Tahun 2014) lebih cenderung mereduksi hak desa tersebut menjadi keuangan negara.

Kerancuan pengaturan dalam PP seperti dipaparkan di atas menjadi alasan kuat bagi kami untuk merekomendasikan mencabut dan mengganti kedua PP yang selama ini digunakan sebagai dasar pelaksanaan UU Desa, yaitu PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana

Page 53: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

41Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU DesaPolicy Paper

diubah terakhir PP No. 11 Tahun 2019 (PP No.43 Tahun 2014) dan PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana diubah terakhir dengan PP No. 8 Tahun 2016 (PP No.60 Tahun 2014). Dengan demikian pemerintah mesti segera membuat PP baru sebagai pengganti kedua PP di atas yang isi dari PP tersebut sejalan dengan semangat serta nilai yang terkandung dalam UU Desa.

Page 54: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

42 Institute for Research and Empowerment 2020

Page 55: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,
Page 56: Policy Paper Advokasi Kebijakan Pelaksanaan UU Desaireyogya.org/uploads/PP Advokasi Kebijakan... · harus sebangun dengan UU Desa. Jika ada penyimpangan pada regulasi teknis tersebut,

Institute for Research and Empowerment (IRE)Jalan Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5Dusun Tegalrejo RT 01/RW 09 Sariharjo Ngaglik Sleman Yogyakarta 55581T: +62 274 867 686 F: +62 274 867 686E: [email protected] www.ireyogya.org