KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur kami penulis
panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan
rahmat-Nya kepada kita semua selaku para hamba-Nya. Shalawat dan
salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita menuju terangnya Iman dan Islam, sehingga kami penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Alasan kami
penulis memilih judul:"MANTIK; HAKIKAT DAN SEJARAHNYA" adalah agar
kami lebih memahami tentang masalah Mantik; Hakikat dan Sejarahnya
dan sebagai salah satu tugas kuliah pada semester IV B fakultas
Agama Islam pada mata kuliah Ilmu Mantik. Dan ucapan terima kasih
kami sampaikan kepada : 1. Bapak. H. Ahmad Badawi S.Pd, M.M selaku
Rektor Universitas Muhammadiyah Tangerang. 2. Bapak Drs. H.
Nahrawi, M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Ilmu Mantik. 3.
Rekan-rekan seperjuangan dalam menuntut ilmu di Kampus Universitas
Muhammadiyah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami penulis
khususnya dan rekan-rekan mahasiswa umumnya. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu segala
kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan
diskusi atau pun ilmu pengetahuan kami selanjutnya dimasa yang akan
datang.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..i DAFTAR ISI.ii BAB I PENDAHULUAN1 A. Latar
Belakang Masalah1 B. Rumusan Masalah..1 C. Tujuan Penulisan1 D.
Sistematika Penulisan2
BAB II MANTIK; HAKIKAT DAN SEJARAHNYA ...3 A. Hakikat Mantik..3
B. Sejarah Mantik..5
BAB III PENUTUP.9 A. Kesimpulan......9 B. Saran9
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................................10
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahMenuju keharusan ijtihad guna
mengiringi gerak zaman memaksa kita untuk mengkaji semua perangkat
yang mendukung sahnya sebuah ijtihad. Sebab ijtihad, yang disebut
ahli ushul sebagai pengerahan segenap upaya (bazlul majhud) untuk
menyimpulkan hukum syara' dari sumber-sumber aslinya, bukan perkara
mudah. Paling tidak, upaya ini memaksa kita untuk mengkaji ulang
furu' dan ushul fiqih kita, bahkan pola pikir yang mendasari produk
pemikiran ini. Salah satunya adalah pembahasan tentang mantik
sebagai aturan-aturan berpikir yang, diakui atau tidak, berpengaruh
sangat besar dalam proses penyimpulan hukum. Berikut ini diskusi
antar generasi yang terpisahkan jarak ratusan tahun, dengan Al
Ghazali dan Ibn Taymiah sebagai aktor pelakunya.
B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah di atas
maka permasalahan yang dapat kami penulis rumuskan adalah sebagai
berikut : 1. Apa itu Hakikat Mantik? 2. Apa itu Sejarah Mantik?
C . Tujuan Penulisan Berdasarkan latar belakang di atas, maka
tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk
mengetahui Hakikat Mantik. 2. Untuk mengetahui Sejarah Mantik .
D. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan makalah ini
dibagi menjadi 3 bab, yaitu : BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan berisi
uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penulisan dan sistematika penulisan. BAB II MANTIK; HAKIKAT DAN
SEJARAHNYA Mantik; Hakikat dan Sejarahnya berisi uraian tentang
Hakekat Mantik dan Sejarah Mantik. BAB III PENUTUP Penutup berisi
tentang kesimpulan dan saran. DAFTAR PUSTAKA Daftar Pustaka berisi
referensi kami penulis dalam menyusun makalah ini.
BAB II MANTIK; HAKIKAT DAN SEJARAHNYA A. Hakikat Mantik Salah
satu perbedaan manusia dari binatang adalah kemampuannya
untukmengabstraksi sesuatu. Yakni, ketika inderanya mencerap suatu
benda, akal bekerja melepaskan benda itu dari sifat-sifat material,
lalu membandingkannya dengan benda-benda lain yang serupa dengannya
dan memproduksi sebuah konsep bersama. Akal terus menerus
mengabstraksi hingga mencapai sebuah konsepsi universal paling
abstrak (basith) yang mewadahisemua wujud. Ketika ia melihat
manusia, misalnya, imajinasinya mengabstraksi benda itu menjadi
sebuah spiecies (nau') yang menaungi semua manusia yang lain. Ia
kemudian membandingkan konsep ini dengan konsep binatang, lalu
mengabstraksinya menjadi sebuah genus (jenis) yang menaungi
keduanya. Proses abstraksi ini berlanjut ketika ia membandingkannya
dengan konsep tumbuhan, demikian seterusnya hingga mencapai genus
tertinggi yang disebut substansi (jauhar). Pada saat itu, akal
berhenti mengabstraksi. Ahli mantik berkata bahwa pengetahuan yang
dicapai manusia hanya dua macam, yakni tashawwur (pengetahuan
konseptual),tanpa menetapkan hukum apa-apa atasnya, dan tashdiq
(pengetahuan relasional) antara dua hal dengan menetapkan penilaian
benar atau salah. Atas dasar ini, aktifitas berpikirmanusia
hanyalah menyusun satu persatu konsepsi universal (kulliyyat) di
otaknya untuk menghasilkan konsepsi universal baru yang sesuai
dengan realitas, atau menilai sesuatu dengan sesuatu lainnya.
Aktifitas berpikir ini bisa keliru dan bisa juga benar. Maka
dibutuhkan sebuah aturan-aturan berpikir tertentu untuk menjaga
akal dari kekeliruan berpikir. Dan kumpulan aturan-aturan berpikir
itu disebut mantik (logika). B. Sejarah Mantik Sebenarnya,
Aristoteles bukan orang pertama yang menyusun aturan-aturan
berpikir ini, sebab sebelumnya Socrates dan Plato pernah berbicara
tentang hal ini. Namun karena Aristoteles adalah orang pertama yang
mengumpulkan danmenyusunnya, menetapkannya sebagai kunci ilmu
pengetahuan serta menulisnya dalam sebuah karya, ia digelari
sebagai "guru pertama". Organon, bukunya tentang mantik, terdiri
dari delapan bagian: Categoria (membahas tentang genus dan
bagian-bagiannya), Hermeneutika (tentang proposisi), Sylogisme
(tentang qiyas), Demonstrasi (tentang qiyas yang menyimpulkan
keyakinan), Dialektika (ilmu debat),Sofistika (qiyas yang
menyesatkan), Retorika (seni agitasi massa) dan Poetica (seni
menyusun kata-kata puitis). Pada masa penerjemahan literatur asing
atas perintah Khalifah Al Makmun (w.218 H), buku-buku ini menarik
perhatian banyak cendikiawan muslim pada saat itu hingga beberapa
dekade setelahnya. Abu Nashr Al Farabi, Abu Ali Ibn Sina dan Ibn
Rusyd menulis berbagai komentar dan penjelasan tentang cabang
ilmuini. Kemudian datang generasi selanjutnya yang menyempurnakan
ilmu ini dengan memandangnya sebagai ilmu tersendiri, bukan hanya
ilmu alat (organon), dengan menambah yang kurang dan membuang yang
tidak perlu. Orang pertama yang melakukan ini adalah Imam Fajruddin
bin Al Khatib laluAfdhaluddin Khawanji. Proyek mereka sungguh
sukses sehingga berhasil menenggelamkan karya tokoh-tokoh
sebelumnya danmengalahkan metode mereka. Al Ghazali dan Mantik
Sejak awal kehadirannya di dunia Islam, mantik menyalakan
perdebatan sengit di kalangan para ulama, terutama ahli kalam.
Mereka sangat anti kepada mantik dan melarang manusia untuk
mempelajarinya. Ibn Khaldun berkata bahwa antipati ini lahir karena
persinggungan prinsip ilmu kalam dengan mantik yang melahirkan
pilihan: terima mantik maka tinggalkan kalam atau terima kalam maka
tinggalkan mantik. Padahal, ilmu kalam adalah ilmu dasar yang
bertugas menetapkan akidah islamiah menyangkut keesaan Allah dan
kebaharuan alam semesta. Bahkan Al Qadhi Abu Bakar Al Baqillani
menyatakan bahwa prinsip-prinsip ilmu kalam adalah bagian dari
akidah. Menyerangnya sama dengan berusaha menghancurkan sendi-sendi
akidah islamiah. Kemudian datang Hujjatul Islam Abu Hamid Al
Ghazali (w. 505 H) yang mendamaikan keduanya. Kharisma dan
argumentasinya berhasil mengakhiri perdebatan ini dan membuat ilmu
mantik diterima di kalangan sunni. Mesk iterkenal sebagai musuh
besar filsafat, bahkan berhasil membuatnya pingsan dengan Tahafut
ul Falasifah-nya, Al Ghazali sangat menyayang anak kandungfilsafat
ini. Ia menulis beberapa karya tentangnya, antara lain Mi'yar ul-
'Ilm, Al Mankhul, Mihak un-Nazhar, beberapa lembar di mukaddimah Al
Mustashfa dan secara tersirat dalam dialog dengan seorang penganut
Syiah Ismailiah di Al Qisthas ul-Mustaqim. Berikut sedikit
ringkasan tentang mantikala Al Ghazali yang bisa penulis tampilkan
pada kesempatan kali ini. Seperti Al Farabi dan Ibn Sina, Al
Ghazali berpendapat bahwa mantik adalah aturan-aturan berpikir yang
berfungsi meluruskan akal dalam menarik kesimpulan dan
membebaskannya dari campuran prasangka dan imajinasi. Tugas utama
mantik dengan demikian adalah menjaga akal dari kesalahan berpikir.
Mantik bagi akal sepadan dengan posisi nahwu bagi bahasa Arab dan
ilmu 'Arud bagi ritme puisi (syair). Meminjam analogi Al-Farabi,
mantik bagi akal ibarat neraca dan takaran yang berfungsi mengukur
bobot benda yang tak bisa diketahui ukurannya dengan tepat jika
hanya menggunakan indera. Atau ibarat penggaris untuk mengukur
panjang dan lebar sesuatu yang indera manusia sering keliru dalam
memastikannya. Al-Ghazali bahkan menegaskan bahwa mantik merupakan
mukaddimah (organon) seluruh ilmu bukan hanya pengantar filsafat.
Maka barangsiapa yang tidak menguasai mantik, seluruh
pengetahuannya rusak dan diragukan. Sebagaimana telah dijelaskan di
muka, pengetahuan manusia terbagi dua, yaitu tashawur dan tashdiq.
Pengetahuan tashawur terbagi dua: pertama, pengetahuan yang telah
ada di otak manusia sejak awal (apriori) sehingga pengetahuan
tentangnya tidak membutuhkan penjelasan panjang lebar. Contoh,
pengetahuan tentang makna "ada", "banyak" dan beberapa benda-benda
inderawi lainnya. Kedua, pengetahuan tentang konsep-konsep samar
yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Untuk yang kedua ini
diperlukan sebuah definisi (had/ta'rif) yang memperjelas makna kata
tersebut. Sementara itu, pengetahuan tashdiq juga terbagi menjadi
dua: relasi aksiomatik (musallamah) yang kebenarannya tidak perlu
pembuktian dan relasi hipotetik (nazhariah) yang harus dibuktikan
kebenarannya. Alat pembuktian itu disebut demonstrasi (sylogisme).
Dengan demikian, pokok bahasan mantik tersimpul pada empat
komponen, yaitu pembahasan tentang tashawwur, had (definisi),
tashdiq dan sylogisme. Di atas kita telah membahas tentang makna
tashawwur dan tashdiq, maka pembahasan berikutnya adalah tentang
had dan sylogisme. 1. Definisi (Had) Ahli mantik sepakat bahwa
definisi menghasilkan pengetahuan hakikat sesuatu dan tanpanya
pengetahuan tashawwur tidak bisa didapatkan. Untuk membuat sebuah
definisi sempurna, harus diperhatikan beberapa aturan (qanun)
penting berikut ini. Aturan pertama, definisi adalah jawaban untuk
sebuah pertanyaan. Karena bentuk pertanyaan yang dilontarkan
bermacam-macam, maka jawabannya pun bermacam-macam pula, sehingga
mempengaruhi bentuk definisi. Memahami bentuk pertanyaan dengan
demikian menentukan kualitas sebuah jawaban, maka pembahasan
tentang bentuk-bentuk pertanyaan harus dikuasai terlebih dahulu.
Pertanyaan "apa" menuntut tiga hal: penjelasan kata (apa itu
reformasi? Reformasi adalah pembentukan kembali), penjelasan
tentang uraian sesuatu yang membedakannya dengan sesuatu yang lain
dengan ciri-ciri lazimnya (apa itu khamr? Khamr adalah benda cair
yang berbusa), dan penjelasan hakikat serta essensi sesuatu (apa
itu khamr? Khamr adalah minuman memabukkan yang dibuat dari perasan
anggur). Definisi pertama disebut definisi lafzhi, sebab hanya
menjelaskan makna kata. Kedua disebut rasmi, sebab hanya
menjelaskan ciri eksternal (rasm) sesuatu, bukan hakikatnya. Dan
yang ketiga disebut definisi hakiki, sebab ia menjelaskan hakikat
dan essensi sesuatu dengan mendalam. Pertanyaan 'mengapa' menuntut
pembuktian dengan sylogisme yang akan dijelaskan nanti. Dan
pertanyaan 'yang mana' meminta pemilahan antara dua hal yang hampir
serupa. Pertanyaan dengan "bagaimana", "dimana", "kapan" dan
bentuk-bentuk lain termasuk dalam penjelasan dari pertanyaan
"apakah"' yakni menuntut penjelasan tentang sifat sesuatu. Aturan
kedua, seorang pembuat definisi harus bisa membedakan antara sifat
essensial (dzati), aksidental ('aridh) dan lazim dari sesuatu.
Sifat essensial (dzati) adalah sifat yang masuk dalam essensi dan
hakikat sesuatu, tidak mungkin sesuatu itu dipahami tanpa
menyertakan sifat ini. Contoh sifat essensial adalah makna "warna"
yang dipahami dari kata "hitam", dan makna "benda" dari kata
"pohon", misalnya. Sifat lazim adalah sifat yang selalu menyertai
benda namun pemahaman hakikat benda itu tidak tergantung padanya.
Seperti bayangan yang menyertai fostur manusia ketika matahari
terbit. Memahami hakikat manusia bisa dilakukan tanpa menyertai
kata bayangan sedikitpun. Sifat aksidental ('aridh) adalah sifat
yang harus menyertai benda namun bisa hilang cepat atau lambat.
Untuk menyusun sebuah definisi yang logis, diperlukan sifat
essensial untuk menjelaskan hakikat sesuatu. Sifat essensial
terbagi menjadi umum, selanjutnya disebut genus (jins), dan khusus,
selanjutnya disebut spesies (nau'). Makhluk adalah genus untuk kata
manusia, binatang dan tumbuhan. Selanjutnya, manusia adalah genus
untuk kata Usman, Fatimah dan lain-lain. Aturan ketiga, dalam
membuat definisi logis, pertama kali yang harus Anda lakukan adalah
memasukkan semua komponen definisi, yakni genus dan differensia
(fashal). Contoh, manusia adalah hewan (genus) yang berpikir
(differensia). Kedua, Anda harus inventaris sifat-sifat essensial
dari obyek yang hendak didefinisikan. Ketiga, jika Anda menemukan
genus yang dekat, jangan pilih yang lebih jauh. Contoh, genus
terdekat untuk khamar adalah minuman, maka jangan pilih kata benda
cair untuk mendefinisikannya. Keempat, hindari sebisa mungkin
kata-kata samar dan kiasan. Singkatnya,sebuah definisi yang baik
harus terbuka-tertutup (muththarid wa mun'akis), yakni terbuka
untuk semua entitas dari sesuatu yang hendak didefinisikan (kulli
fardin min afrad al mu'arraf) dan tertutup untuk selain
entitas-entitas itu. 2. Sylogisme Ahli mantik sepakat bahwa
sylogisme adalah satu-satunya jalan mencapai pengetahuan tashdiq
dan melahirkan pengetahuan meyakinkan. Sylogisme adalah beberapa
proposisi yang disusun sedemikian rupa dengan syarat-syarat
tertentu sehingga melahirkan kesimpulan (natijah) yang dicari.
Proposisi ini disebut premis (muqaddimah), ysng terbagi dua menjadi
mayor (muqaddimah kubra) dan minor (muqaddimah shughra). Sylogisme
yang baik adalah yang tersusun dari premis-premis sahih dan
meyakinkan, serta disusun dengan cara yang benar. Ibarat membangun
sebuah rumah, yang harus diperhatikan pertama kali adalah bahan
material (batu, semen dan kayu) yang membentuk rumah itu, kemudian
cara pembuatannya dan terakhir bentuk rumah tersebut. Begitu juga
dalam membangun sebuah sylogisme, yang harus diperhatikan pertama
kali adalah kata dan makna yang menjadi materi premis, kemudian
cara penyusunan premis-premis yang sah, lalu bentuk sylogisme yang
dapat menghasilkan kesimpulan. Maka pembahasan sylogisme ini akan
dimulai dengan pembahasan tentang makna dan kata, dilanjutkan
dengan pembahasan tentang cara penyusunan premis dan terakhir
pembahasan tentang bentuk-bentuk sylogisme. a. Makna dan Kata
Penunjukan kata untuk makna terjadi dalam tiga bentuk: muthabaqah,
tadhdmmun dan iltizam. Kata rumah disebut muthabaqah jika merefers
kepada makna rumah secarakonvensional. Disebut tadhammun jika kata
tersebut merefers kepada atap saja, misalnya. Dan relasi sebuah
kata dengan makna disebut iltizam jika kata tersebut merefers
kepada hal yang diluar pengertian kata itu namun sesuatu yang
selalu mengiringinya. Seperti menyebut kata atap untuk menunjuk
tembok. Relasi kata dan makna yang lain adalah sebuah kata disebut
mu'ayyan jika hanya merujuk kepada satu obyek tertentu, namun jika
merujuk kepada banyak obyek disebut mutlaq. Contoh mu'ayyan, kata
Zaid, Ahmad dan lain-lain. Contoh mutlaq, kata manusia, pohon dan
seterusnya. Pembagian kata yang lain adalah mutaradifah,
mutabayinah, mutawathiah dan musytarakah. Hubungan antara kata
"bisa" dan "racun" disebut mutaradifah (sinonim). Hubungan antara
kata "singa", "langit", "kunci" disebut mutabayinah (tak ada
kesamaan). Hubungan antara kata "Zaid", "Ahmad", "Hasan" dengan
kata laki-laki disebut mutawathiah (hiponimi). Hubungan antara kata
"bisa" yang berarti racun dan kata "bisa" yang berarti mampu
disebut musytarakah (homonim). b. Proposisi Penyusunan dua makna
yang melahirkan justifikasi benar-salah disebut proposisi
(qadhiyah). Proposisi terbagi empat: ta'yin (contoh, Zaid seorang
sekretaris), umum (contoh, setiap benda pasti berbobot), khusus
(contoh, sebagian manusia berilmu) dan muhmal (contoh, manusia
dalam kerugian). c. Kontradiksi Suatu proposisi kadang dengan mudah
disimpulkan kebenarannya hanya dengan melihat kelirunya proposisi
yang menjadi lawannya. Contoh, alam ini kekal atau alam ini tidak
kekal. Jika proposisi yang pertama benar, maka yang kedua salah,
demikian sebaliknya. Syarat sahnya kontradiksi ada enam, yaitu satu
dalam subyek, satu dalam predikat, satu dalam relasi (idhafah),
satu alam potensi dan aktual, satu dalam universal dan partikular,
satu dalam tempat dan waktu. d. Macam-macam Qiyas (Sylogisme) Ahli
mantik berkata bahwa dalil yang menghasilkan pengetahuan hanya
tiga, yaitu deduksi, induksi dan penyerupaan (tamtsili). Sebab
pembuktian hanya bisa dilakukan dengan pembuktian universal atas
particular (kulli 'ala juz'i), partikular atas universal (juz'i
'ala kulli) dan partikular atas particular (juz'i 'ala juz'i). Yang
pertama disebut deduksi (menempati peringkat pertama dalam
pembuktian). Yang kedua disebut induksi (menempati peringkat
kedua). Dan yang ketiga disebut penyerupaan (menempati peringkat
terendah). Qiyas penyerupaan adalah perpindahan dari satu
particular ke particular lain yang memiliki keserupaan dalam sifat
dengannya. Qiyas ini sering digunakanpara fuqaha dalam menyimpulkan
hukum syar'i atas sesuatu. Jika seseorangbertanya, "Apa itu roti,"
lalu diperlihatkan kepadanya sebuah roti, maka selanjutnya ia akan
menyebut roti untuk sesuatu yang serupa dengan yang ia lihat itu,
meski bentuk dan warnanya berbeda. Induksi terbagi dua: jika
bagian-bagiannya (al afrad) terbatas sehingga bisa diteliti
semuanya maka induksi ini sempurna dan melahirkan pengetahuan
meyakinkan. Namun jika bagian-bagiannya takterbatas sehingga hanya
menetapkan hukum atas sebagian besarnya, maka disebut induksi tidak
sempurna dan tidak menghasilkan keyakinan (zhan). Terakhir deduksi,
jika premis-premisnya terdiri dari materi meyakinkan dengan
bersandarkan kepada dalil-dalil aksiomatik (yaitu inderawi lahir,
perasaan batin, ekperimental, berita mutawatir dan kepastian
rasional), menghasilkan kesimpulan meyakinkan. Qiyas ini disebut
demonstrasi (burhan). Jika tidak, maka salah satu dari retorika
(khithabi), dialektika (jadali), poetika (syi'ri) atau sofistika
(sufusthah). e. Bentuk demonstrasi Bentuk demonstrasi ada tiga:
Bentuk pertama, yakni proposisi yang saling sepadan (ta'adul)
terdiri dari tiga skema; Pertama, illat (kopula) berada di predikat
(premis I) dan di subyek (premis II). Setiap bir memabukkan. Setiap
yang memabukkan hukumnya haram Kesimpulan : Setiap bir hukumnya
haram
Kedua, illat berada di predikat kedua premis. Sang Pencipta
tidak tersusun Setiap benda tersusun Kesimpulan : Sang Pencipta
bukan benda
Ketiga, illat berada di subyek kedua premis. Setiap hitam adalah
sifat Setiap hitam adalah warna Kesimpulan : Sebagian sifat adalah
warna
Bentuk kedua, yaitu proposisi yang saling menentukan (talazum).
Pakar logika menyebutnya syarat bersambung (syarti al muttashil).
Bentuk ini terdiri dari empat skema, namun hanya dua yang
berkesimpulan. Keduanya adalah:
Pertama, menerima sebab berarti menerima akibat. Jika shalat
sah, maka pelakunya suci (telah berwudhu) Shalat itu sah Kesimpulan
: pelakunya suci
Kedua, menerima negasi akibat berarti menerima negasi sebab.
Jika shalat sah, maka pelakunya suci (telah berwudhu) Pelakunya
tidak suci Kesimpulan : shalatnya tidak sah
Kedua skema yang tidak berkesimpulan adalah: Pertama, menerima
akibat belum tentu menerima sebab. Jika shalat sah, maka pelakunya
suci (telah berwudhu) Pelakunya suci, tapi belum tentu shalatnya
sah (sebab boleh jadi shalat itu batal karena hal lain). Kedua,
menerima negasi sebab, belum tentu menyimpulkan akibat atau negasi
akibat. Jika shalat sah, maka pelakunya suci (telah berwudhu)
Shalatnya tidak sah, belum tentu karena pelakunya tidak suci.
Bentuk ketiga, disebut bentuk saling menentang (ta'anud). Pakar
logika menyebutnya syarat terpisah (syarti al munfashil), sementara
ahli kalam menyebutnya Sabr wa Taqsim. Bentuk ini juga terbagi
menjadi empat pengandaian: Contoh: Alam ini kekal atau diciptakan
Pengandaian pertama: Alam ini diciptakan Kesimpulan: Alam ini tidak
kekal
Pengandaian kedua: Alam ini kekal Kesimpulan: Alam ini tidak
diciptakan
Pengandaian ketiga: Alam ini tidak diciptakan Kesimpulan: Alam
ini kekal
Pengandaian keempat: Alam ini tidak kekal Kesimpulan: Alam ini
diciptakan
f. Mantik di Dalam Al Qur'an? Menariknya, Abu Hamid al Ghazali
mengatakan bahwa Al Qur'an menggunakan tiga cara penyimpulan logis
ini (ta'adul, talazum dan ta'anud) dalam menjawab argumentasi
penentangnya. Sang Hujjatul Islam menamakan ketiganya dengan
'Neraca Al Qur'an' (mizan Al Qur'an), serta menafsirkan ayat-ayat
Al Qur'an yang menyebut mizan dengan model pembuktian logis ini.
Untuk neraca ta' anud, Al Ghazali mengajukan tiga ayat yang
sekaligus menandai tiga bentuk skemanya. Ayat pertama, ucapan
Ibrahim As ketika berdebat dengan Namruz, "Sesungguhnya Allah
menerbitkan matahari dari timur, maka (jika kau Tuhan) terbitkanlah
dari barat!" (Qs Al Baqarah [2]: 258). Al Ghazali kemudian
merangkainya dalam bentuk burhan, ia berkata:
Setiap yang mampu menerbitkan matahari adalah tuhan (premis I)
Allah mampu menerbitkan matahari (premis II) Kesimpulan: Allah
tuhan
Al-Ghazali menamakan skema pertama dari neraca ta'adul ini
dengan neraca besar. Berikutnya adalah neraca pertengahan, yaitu
terdapat dalam ayat (masih tentang Ibrahim As, kali ini ketika ia
mencari tuhan lalu kebetulan melihat bulan), "Ketika bulan itu
terbenam, ia berkata aku tak suka sesuatu yang tenggelam." (Qs Al
An'am [6]: 7) Uraiannya sebagai berikut: Bulan tenggelam Tuhan
tidak mungkin tenggelam Kesimpulan: Bulan bukan tuhan Skema
terakhir dari neraca ta'adul adalah neraca kecil, yaitu terdapat
dalam firman Allah, "Mereka tidak menghargai Allah dengan
seharusnya ketika mereka berkata Allah tidak menurunkan (wahyu)
apapun kepada manusia. Katakanlah, 'Lalu siapa yang menurunkan
Kitab kepada Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia?'"
Uraian logisnya sebagai berikut: Musa As manusia Musa As menerima
wahyu (Al Kitab) dari Allah Kesimpulan: Sebagian manusia ada yang
menerima wahyu
Neraca talazum terdapat dalam ayat, "Jika ada tuhan selain
Allah, niscaya langit dan bumi akan hancur." (Qs Al Anbiya [21]:
22). Rinciannya: Jika di dunia ini ada tuhan lain, maka dunia akan
hancur Nyatanya dunia tidak hancur Kesimpulan: Tidak ada tuhan
lain
Terakhir, neraca ta'anud terdapat dalam ayat, "Katakanlah (wahai
Muhammad), 'Siapa yang memberi rizki kepada kalian dari langit dan
bumi?' katakanlah, 'Allah, dan kami atau kalian yang mendapat
petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.'" (Qs Saba [34]: 24).
Uraiannya adalah: Kami atau kalian (salah satu dari kita) berada di
dalam kesesatan Kami tidak dalam kesesatan Kesimpulan: Kalian
berada dalam kesesatan
Perhatikan bagaimana Al Ghazali menempatkan mantik bukan sebagai
warisan tradisi Hellenistik, tetapi merupakan bagian inheren dari
Al Qur'an. Maka jangan heran jika kemudian hari Hujjatul Islam ini
memfatwakan bahwa mempelajari ilmu mantik sebuah fardhu kifayah,
dan barangsiapa tidak menguasai ilmu ini pengetahuannya patut
diragukan. Ibn Taymiah dan Kritik Mantik Abul Abbas Ahmad bin Abdul
Halim bin Abdussalam bin Abdullah Ibn Taymiah lahir di Haran pada
Rabi' ul Awal 661 H. Pada tahun 667 H, ayahnya membawanya ke
Damaskus ketika bangsa Tartar menyerbu Haran. Di kota ini, ia
mempelajari hadis, fiqih, ushul, tafsir bahkan juga fiksafat dan
logika. Allah menganugerahinya banyak buku, kecerdasan dalam
memahami sesuatu serta hafalan kuat sehingga tidak pernah melupakan
sesuatu yang pernah dihafalnya. Selain itu, ia juga seorang zuhud
dan ikhlas dalam memerintahkan kebaikan dan melarang kemunkaran.
Persengketaan yang terjadi antara dirinya dan para pendengki
membuahkan penahanan dirinya di benteng (qal'ah) Damaskus, dekat
makam Abu Darda. Setelah beberapa hari menderita sakit
dipengasingannya, pada tahun 728 H beliau meninggal dunia lalu
dimakamkan di pekuburan Shufiah dengan diiringi ribuan manusia. Ibn
Taymiah terkenal sebagai ulama yang sangat keras mempertahankan
sunnah dan menentang bid'ah. Termasuk dalam hal ini adalah
penentangannya terhadap mantik sebagai produk pemikiran Yunani yang
bertentangan dengan tradisi para salaf saleh. Buku-bukunya tentang
hal ini antara lain adalah Naqdh ul-Mantiq, Ar-Rad 'ala
Manthiqiyyin dan Nashihat Ahl il-Iman fir Radd 'ala Mantiq
il-Yunan. Dalam tulisan kali ini, saya akan memfokuskan pembahasan
kritik mantik Ibn Taymiah kepada satu pengantar, yaitu pernyataan
bahwa hukum mempelajari mantik adalah fardhu kifayah, dan dua
bahasan pokok yang berkenaan dengan definisi dan sylogisme. a.
Pengantar: Mantik Wajib Dipelajari? Penegasan Al Ghazali yang
menyatakan bahwa hukum mempelajari mantik fardhu kifayah menyulut
kritikan dari berbagai ulama hingga berabad-abad kemudian. Abu
Bakar Ibn Al 'Arabi, murid Al Ghazali sendiri, mengomentari, "Al
Ghazali, guru kita, menelan filsafat lalu mencoba memuntahkannya
kembali, namun ia tidak bias. Abu Amr Ibn Shalah menolak pendapat
Al Ghazali dan mengatakan bahwa setiap orang yang otaknya cerdas
otomatis berpikirnya logis tanpa harus belajar mantik. Berdiri
dalam barisan penolak ini, Ibn Taymiah berkata, "Pendapat Abu Hamid
(Al Ghazali) ini salah besar, baik dilihat dari segi rasional
maupun agama. Dari segi rasional, terbukti bahwa manusia-manusia
cerdas yang berbicara tentang ilmu bisa menguraikan pengetahuan
mereka tanpa mantik Yunani. Secara agama, siapapun tahu bahwa agama
tidak pernah mewajibkan kita untuk mempelajari mantik.
Ibn Taymiah juga menyalahkan penafsiran kata al mizan dalam Al
Qur'an dengan mantik Yunani dengan beberapa alasan. Pertama, Allah
telah menurunkan Neraca Qur'ani jauh sebelum Aristoteles menemukan
mantik. Kedua, umat Islam telah menggunakan Neraca Qur'ani ini
sebelum buku-buku mantik diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Ketiga, sejak masa penerjemahan buku-buku ini hingga sekarang,
tokoh-tokoh Islam selalu mengajukan keberatannya terhadap mantik
dan menulis bantahan-bantahan terhadapnya. Neraca yang Allah
turunkan bersama Al Kitab itu, menurut Ibn Taymiah, adalah neraca
keseimbangan (mizan 'adilah) yang memuat aktualisasi fitrah manusia
yang menyamakan dua hal yang mirip satu sama lain (mutamatsilain)
dan memisahkan dua hal yang berbeda (mukhtalifain). Sebagai contoh,
firman Allah, "Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga
padahal kalian belum menemui (kesulitan) seperti umat sebelum
kalian?" (Qs Al Baqarah [2]: 214) dalam menyamakan antara generasi
saat ini dengan generasi sebelumnya. Dan Allah berfirman, "Apakah
(kalian mengira) bahwa Kami akan memperlakukan orang-orang yang
beriman seperti para durjana?" (Qs Al Qalam [68]: 35) dalam
membedakan antara kedua golongan yang berbeda ini. b. Bantahan
Terhadap Definisi Benarkah pengetahuan tashawwuri tidak bisa
diperoleh tanpa definisi logis dengan lima universalitasnya
(kulliyat al khams), yakni genus (jins), differensia (fashl),
species (nau'), aksiden umum ('ardh 'am) dan aksiden khusus ('ardh
khash)? Ibn Taymiah mengajukan 11 kritik untuk membantah pernyataan
ini. Pada kesempatan kali ini, saya hanya akan mencantumkan empat
dari sebelas kritik itu. 1. Penegasian (nafy), seperti juga
penetapan (itsbat), jika bukan aksiomatik harus dilandasi bukti.
Karena tidak ada bukti yang mendukungnya, maka pernyataan ini wajib
ditolak. 2. Jika definisi adalah ucapan seorang pembuat definisi,
maka ia telah mengetahui benda yang akan didefinisikan ini lewat
definisi atau tidak. Jika ya, maka mewajibkan argumentasi berputar
(daur) dan berantai (tasalsul) yang tidak akan habis. Jika tidak,
maka batal ucapan negasi mereka. 3. Konsepsi hakikat tidak bisa
dilakukan kecuali lewat definisi hakiki yang terdiri dari essensi
universal (musytarakah) dan terpilah (mutamayyizah), yakni yang
tersusun dari genus dan defferensia, dan ini mustahil atau sangat
sulit sebagaimana pengakuan mereka sendiri. Dengan demikian,
mustahil atau sangat sulit mengkonsepsikan hakikat, padahal
terbukti hakikat itu bisa dikonsepsikan manusia, maka batallah
pernyataan mereka. 4. Benda-benda konseptual bisa diketahui dengan
indera lahir (seperti warna, rasa dan bau) atau dengan indera batin
(seperti lapar, cinta, benci, keinginan dan lain-lain). Semua ini
bisa diketahui tanpa memerlukan definisi. Jadi, batal pernyataan
mereka bahwa konsepsi (tashawwur) tidak bisa dicapai tanpa
definisi. Persoalan berikutnya, benarkan definisi menghasilkan
pengetahuan tentang hakikat sesuatu? Menurut Ibn Taymiah, definisi
tidak memberikan pengetahuan tentang hakikat, akan tetapi hanya
membedakan sesuatu dari lainnya. Definisi seperti nama, hanya
membedakan seseorang dari orang lain tanpa menjelaskan hakikatnya.
Untuk ini, Ibn Taymiah mengajukan beberapa bukti 1. Definisi
hanyalah pernyataan pembuatnya tanpa bukti. Ketika seseorang
berkata, "Manusia adalah hewan yang berpikir", ini hanya kalimat
informatif tanpa bukti. Maka sudahkah pendengar mengetahui
kebenarannya tanpa ucapan ini atau belum? Jika sudah, definisi ini
tidak menghasilkan pengetahuan tentang sesuatu itu. Jika belum,
bagaimana ia bisa meyakini kebenarannya hanya berdasarkan informasi
satu orang yang tidak terjaga dari kesalahan? 2. Mereka berkata
bahwa definisi tidak bisa dibuktikan, hanya bisa ditentang. Jawab:
jika seorang pembuat definisi tidak mengajukan bukti, pendengar
bisa saja tidak menerima definisi itu. Sebab ia tidak bisa
mengetahui sesuatu yang didefinisikan itu tanpa ucapannya,
sementara ucapannya mengandung kemungkinan benar dan salah, maka ia
bisa menolak menerimanya. Sumber kesalahan ahli mantik yang lain
adalah pemilahan antara hakikat dan wujud sesuatu. Menurut mereka,
keduanya ada di alam nyata. Jadi, hakikat-hakikat universal dari
benda-benda parsial, seperti manusia, kuda dan lain-lain, adalah
realitas sebagaimana wujudnya yang kita lihat ini.
Realitas-realitas ini azali dan tidak bisa berubah, inilah yang
mereka sebut sebagai "ide-ide platonis". Menurut Ibn Taymiah, ini
pemilahan yang sangat keliru. Pemilahan yang benar adalah pemilahan
antara abstraksi yang ada di otak manusia dengan benda yang ada di
alam nyata, sebab pemilahan ini tak diragukan kebenarannya. Dan
hakikat berada di alam nyata, bukan di benak manusia (al haqiqah
fil a'yan la fil azhan). Sementara memperkirakan adanya hakikat
yang tidak didukung dalil ilmiah dan realitas hanyalah sebuah
kebodohan. c. Bantahan Terhadap Sylogisme Menurut Ibn Taymiah,
sylogisme tidak menghasilkan apa-apa selain kerumitan dan
kepusingan. Seperti orang yang ditanya, "Mana telingamu?", ia lalu
mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi kemudian menunjukkan
telinga kirinya. Meski begitu, Ibn Taymiah mengakui bahwa sebuah
sylogisme yang terdiri dari premis-premis meyakinkan (atau disebut
demonstrasi [burhan]) menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan.
Kritik Ibn Taymiah hanya ditujukan kepada pernyataan mereka bahwa
sylogisme satu-satunya cara mencapai kesimpulan meyakinkan dengan
menafikan cara-cara lainnya. "Mereka benar dalam apa yang mereka
tetapkan, namun keliru dalam apa yang mereka negasikan," demikian
Ibn Taymiah, "dan negasi mereka inilah sumber kesesatan dan
kefasikan mereka. Ibn Taymiah kemudian menyebutkan bukti-bukti
kelirunya pernyataan ini. Ia menyebutkan bahwa para nabi dan para
wali memiliki pengetahuan yang merekaperoleh tanpa jalan sylogisme.
Begitu juga, ilmu firasat yang terbukti kebenarannya, diperoleh
tanpa sylogisme. Bagi orang tertentu, terbit bintang tertentu
menunjukkan arah Ka'bah, terbitnya bintang ini menunjukkan
tenggelam atau terbitnya bintang lain di ufuk, dan lain-lain. Allah
berfirman, "Dan dengan bintang, mereka mendapatkan petunjuk." Juga,
bagi orang yang mengetahui jarak antar bintang, melihat posisi
bintang memberitahunya waktu malam yang tersisa. Begitu juga, orang
tertentu bisa mengetahui nama negeri yang ia datangi dengan gunung,
sungai dan angin yang ia lihat dan rasakan. Semua ini tidak
menggunakan sylogisme logis ala Yunani sama sekali. Oleh karena
itu, para tokoh muslim tidak menggunakan dalil sylogisme ini. Sebab
menurut mereka, dalil adalah sarana yang membawa kepada tujuan.
Yakni mengetahui dalil harus membawa kepada pengetahuan yang
dituju, atau kepada keyakinan yang benar. Mereka lebih menyukai
pembuktian dengan dalil persamaan (tamsil), sebab pembuktian ini
lebih meyakinkan dan lebih dekat dengan metode Al Qur'an.
Pembuktian ini bertumpu kepada dalil sesuatu melazimkan sesuatu
yang lain, atau keduanya saling me-lazim-kan. Contoh: adanya alam
semesta melazimkan adanya pencipta. Selain itu, pembuktian ini juga
bertumpu kepada kemungkinan yang benar-benar nyata (imkan khariji),
bukan kemungkinan rasional semata (imkan dzihni) yang belum tentu
ada kenyataannya. Kemungkinan nyata dapat diketahui dengan melihat
terjadinya sesuatu yang mirip dengannya atau yang lebih sulit
darinya. Ini cara Al Qur'an dalam membuktikan adanya hari
kebangkitan. Yakni dengan menguraikan fakta historis terjadinya
kebangkitan orang yang telah mati sebagaimana yang terjadi pada
kaum Nabi Musa, penghuni gua (ashhabul kahfi), dan mukjidzat Nabi
Isa. Atau dengan menjelaskan proses penciptaan manusia, sebab
menghidupkan kembali lebih mudah daripada menciptakannya pertama
kali.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Pengaruh ibn Taymiah: Ketika
sekilas saya mengamati buku "Kubra Al Yaqiniat Al Kauniah: Wujud
ul-Khaliq wa Wazifat ul-Makhluq" karya Dr Said Ramadhan Al Buthi,
saya menemukan sedikit peninggalan Ibn Taymiah di dalamnya. Dalam
pengantar cetakan ketiga-nya, Dr Said menulis, "Apakah dalam
menguraikan pembahasan akidah islamiah dalam buku ini kami
berpedoman kepada filsafat Yunani dan logika formal (mantik shuri)?
Kami tidak menggunakannya sama sekali. Kami hanya menyajikan kepada
pembaca dalil-dalil dan bukti-bukti yang diakui akurasinya
sepanjang sejarah meski diungkapkan dengan bahasa yang
berbeda-beda. Selanjutnya, setelah menyebutkan kekurangan dan
kelebihan mantik, Dr Buthi berkata, "Kami tidak berkata bahwa
filsafat Yunani dan logika Aristoteles semuanya salah. Tidak ada
alasan sama sekali untuk menutup mata dan pikiran darinya. Di
dalamnya banyak hal yang bermanfaat, namun banyak pula yang
menyulut kritikan dari para ulama dan filosof muslim. Orang yang
selalu hendak membangun pemikirannya dengan dasar-dasar ilmiah
harus mampu memilih yang baik dari orang lain, daripada menolaknya
sama sekali. Ini pendirian Ibn Taymiah yang mengakui adanya hal-hal
positif dalam mantik, karena itu ia tidak membantah demonstrasi
yang didukung premis-premis meyakinkan, meski negatifnya lebih
banyak daripada positifnya. Kemudian, di pembukaan (tamhid) yang
membandingkan metode ilmiah pemikir muslim dan pemikir Barat, Dr
Buthi menyebutkan bahwa analisa rasional yang digunakan kaum
muslimin dalam membahas sesuatu yang tidak diberitakan oleh Al
Qur'an dan hadis mutawatir adalah dilalah iltizam dan qiyas 'illat.
Dan keduanya benar-benar metode alternatif yang ditawarkan Ibn
Taymiah. Wallahu A'lam bish-shawwab.
B. Saran Penyusun makalah ini hanya manusia biasa yang dangkal
ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu
penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah
Ilmu Mantik, agar setelah membaca makalah ini, membaca
sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca
makalah ini saja.
DAFTAR PUSTAKA
Al Buthi, Said Ramadhan. 1998. Kubra Al Yaqiniat il Kauniah:
Wujud ul-Khaliq wa Wazifat ul-Makhluq. Damaskus: Dar ul-Fikr
Khaldun, Abdurrahman bin. 2003. Diwan ul-Mubtada wal Khabar fi
Tarikh 'Arab wal Barbar wa man 'asharahum min Dzaw il-Sya'n
il-Akbar (Muqaddimah Ibn Khaldun) Damaskus: Dar ul-Fikr. Muflih bin
Ibrahim ,Muhammad bin. 1990. Al Maqshad Al Al Arsyad fi Dzikr
Ashhab Al Imam Ahmad. Riyad: Maktabah Rusyd.