Etika Kedokteran dalam Euthanasia Pasif
Disusun Oleh:Kelompok B4Richard Yehezkiel (102011044) Celina
Manna (102011047) Femmy Yolanda Marice Dwaa (102011103) Gladys Irma
Hartono (102011191) Alvin Wijaya Rustam (102011239) Candy Novia
Agustini (102011292) Bio Swadi Ghutama (102011388) Steaffie Eunike
Cassandra (102011391)
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJalan Arjuna
Utara No. 6 Jakarta Barat 115102015PENDAHULUANSeiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pola pikir masyarakat
sekarang ini pun kian maju oleh karena mudahnya pengaksesan
informasi, termasuk informasi kesehatan. Hal itu membuat sebagian
besar masyarakat menjadi lebih kritis dalam menilai setiap tindakan
medis yang diperolehnya. Sehingga hubungan dokter-pasien yang pada
awalnya adalah hubungan yang bersifat paternalistic lambat laun
berubah menjadi hubungan yang kontraktual di mana dokter dan pasien
adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan
kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai. Dokter
akan mengemban tanggung jawab atas segala keputusan teknis,
sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama
yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan
kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi
sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan peluang
kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada
dokter.1
SKENARIOSeorang pasien berumur 62 tahun datang ke rumah sakit
dengan karsinoma kolon yang telah terminal. Pasien masih cukup
sadar, berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi
kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini.
Ia juga memiliki pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang
ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan bermacam-macam tampak
sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya
memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu, ia meminta
kepada dokter apabila dia mendekati ajalnya agar menerima terapi
yang minimal saja (tanpa antibiotika, tanpa peralatan ICU, dan
lain-lain), dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun, ia
tetap setuju apabila ia menerima obat-obatan penghilang rasa sakit
bila memang dibutuhkan.
KARSINOMA KOLONCarsinoma colon atau kanker usus besar adalah
suatu bentuk keganasan yang terjadi pada kolon, rektum, dan
appendix (usus buntu). Di negara maju, kanker ini menduduki
peringkat ke tiga yang paling sering terjadi, dan menjadi penyebab
kematian yang utama di dunia barat.2
Mula-mula gejalanya tidak jelas, seperti berat badan menurun
(sebagai gejala umum keganasan) dan kelelahan yang tidak jelas
sebabnya. Setelah berlangsung beberapa waktu barulah muncul
gejala-gejala lain yang berhubungan dengan keberadaan tumor dalam
ukuran yang bermakna di usus besar. Makin dekat lokasi tumor dengan
anus biasanya gejalanya makin banyak. Bila kita berbicara tentang
gejala tumor usus besar, gejala tersebut terbagi tiga, yaitu gejala
lokal, gejala umum, dan gejala penyebaran (metastasis).2
Gejala lokalnya adalah, antara lain :2 Perubahan kebiasaan buang
air. Perubahan frekuensi buang air, berkurang (konstipasi) atau
bertambah (diare)Sensasi seperti belum selesai buang air, (masih
ingin tapi sudah tidak bisa keluar) dan perubahan diameter serta
ukuran kotoran (feses). Keduanya adalah ciri khas dari kanker
kolorektal Perubahan wujud fisik kotoran/fesesFeses bercampur darah
atau keluar darah dari lubang pembuangan saat buang air besar,
feses bercampur lender. Feses berwarna kehitaman, biasanya
berhubungan dengan terjadinya perdarahan di saluran pencernaan
bagian atas. Timbul rasa nyeri disertai mual dan muntah saat buang
air besar, terjadi akibat sumbatan saluran pembuangan kotoran oleh
massa tumor. Adanya benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh
penderita. Timbul gejala-gejala lainnya di sekitar lokasi tumor,
karena kanker dapat tumbuh mengenai organ dan jaringan sekitar
tumor tersebut, seperti kandung kemih (timbul darah pada air seni,
timbul gelembung udara, dan lain-lain), vagina (keputihan yang
berbau, muncul lendir berlebihan, dan lain-lain). Gejala-gejala ini
terjadi belakangan, menunjukkan semakin besar tumor dan semakin
luas penyebarannya.ETIKA PROFESI KEDOKTERANEtika adalah disiplin
ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap
dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari
moralitas. Penilaian baik-buruk dan benar-salah dari sisi moral
tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak
jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang
adalah teori deontologi dan teleologi. Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa, Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu
perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri (I Kant),
sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan
dengan melihat hasilnya atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS
Mills). Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi
dan budaya, sedangkan teleologi lebih ke arah penalaran (reasoning)
dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran
utilitarian).3
Etika adalah cabang ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar
salahnya suatu sikap atau perbuatan dilihat dari moralitas. Etik
deskriptif yaitu bidang sains yang mempelajari moralitas merupakan
pengatuan empiris tentang moralitas dan menjelaskan pandangan moral
tentang isu-isu yang terjadi pada ketika itu. Etika sendiri terbagi
kepada : 3 Etika normatif : Penegakan terhadap apa yang benar
secara moral dan mana yang salah secara moral dalam kaitannya.
Etika metaetik: Memperlihatkan analisis dari kedua konsep moral
yang telah disebutkan.Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa:
seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya
sesuai dengan standar profesi tertinggi. Jelasnya bahwa seorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang
profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum
dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa setiap dokter
harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani.
Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk
memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam
menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan:41.
Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus), 2. Mengakhiri
kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak
mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Sumpah dokter yang paling banyak dikenal adalah sumpah
Hippocrates yang berisikan kewajipan-kewajipan dokter dalam
berprilaku dan bersikap atau seperti code of conduct bagi dokter.
1
Kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI) dibuat dengan mengacu
kepada Kode Etik Kedokteran Internasional yang berunsurkan tentang
kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajipan terhadap
sesame dan kewajipan terhadap diri sendiri.
KODEKI berisikan:1 KEWAJIBAN UMUMPasal 1:Setiap dokter harus
menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2:Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.
Pasal 3:Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter
tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4:Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan
yang bersifat memuji diri.
Pasal 5:Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya
tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan
kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
Pasal 6:Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam
mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan
baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.Pasal 7:Seorang dokter hanya
memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.
Pasal 7a:Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya,
memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis
dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan
penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b:Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan
dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan
sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam
menangani pasien
Pasal 7c:Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien,
hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus
menjaga kepercayaan pasien
Pasal 7d:Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani.
Pasal 8:Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus
memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek
pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9:Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di
bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling
menghormati.2
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIENPasal 10:Setiap dokten wajib
bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas
persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada dokten yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11:Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien
agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya
dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal 12:Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia.
Pasal 13:Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat
sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain bersedia dan mampu memberikannya. 2
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWATPasal 14:Setiap dokter
memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 15:Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan
teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur
yang etis. 2
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRIPasal 16:Setiap dokter
harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan
baik.
Pasal 17:Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan. 2Bioetika
adalah salah satu cabang dari etik normatif di atas. Bioetik atau
Biomedical ethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek
kedokteran dan atau penelitian di bidang biomedis.5
Beberapa contoh pertanyaan di dalam bioetika adalah : Apakah
seorang dokter berkewajiban secara moral untuk memberitahukan
kepada seorang yang berada dalam stadium terminal bahwa ia sedang
sekarat? Apakah membuka rahasia kedokteran dapat dibenarkan secara
moral? Apakah aborsi ataupun euthanasia dapat dibenarkan secara
moral??5
Pertanyaan bioetik juga dapat menyangkut tentang dapat
dibenarkan atau tidaknya suatu hukum dilihat dari segi etik,
seperti: Apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan
perundang-undangan yang mewajibkan seseorang untuk menerima
tindakan medis yang bersifat life-saving, meskipun bertentangan
dengan keinginannya? Apakah dapat dibenarkan secara etik apabila
dibuat suatu hukum yang mengharuskan memasukkan seseorang sakit
jiwa ke dalam rumah sakit, meskipun bertentangan dengan keinginan
pasien ? Apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan yang
membolehkan tindakan medis apa saja yang diminta oleh pasien kepada
dokternya, meskipun sebenarnya tidak ada indikasi? 5
Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau
kedokteran, selain mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar di
atas, keputusan hendaknya juga mempertimbangkan hak-hak asasi
pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan juga
pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas terutama kebutuhan kreatif
dan spiritual pasien.
Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai
ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral
principle) dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral
tersebut adalah : 51. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang
menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights
to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian
melahirkan doktrin informed consent;2. Princip beneficence, yaitu
prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan
pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk
kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat)
lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat);3. Prinsip
non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai "primum non
nocere" atau "above all do no harm".4. Prinsip justice, yaitu
prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive
justice).Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara
benar, jujur dan terbuka), privacy (menghormati hak privasi
pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity
(loyalitas dan promise keeping). 5
Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus
dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan klinis, profesional
kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai panduan dalam
bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct). Sebagaimana
diuraikan pada pendahuluan, nilai-nilai dalam etika profesi
tercermin di dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Sumpah
dokter berisikan suatu "kontrak moral" antara dokter dengan Tuhan
sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan "kontrak
kewajiban moral" antara dokter dengan peer-group-nya, yaitu
masyarakat profesinya. 5
ASPEK HUKUM(PERMENKES No.1419/MENKES/PER/2005 tentang
Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi pasal 17) Dokter
atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi terlebih dahlu harus memberika penjelasan
kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan dan
mendapat persetujuan pasien.6Pasien berhak menolak tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta
perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi
yang jelas tentang penyakitnya. 6Pemberian obat-obatan juga harus
dengan persetujuan pasien dan bila pasien meminta untuk dihentikan
pengobatan, maka terapi harus dihentikan kecuali dengan penghentian
terapi akan mengakibatkan keadaan gawat darurat atau kehilangan
nyawa pasien. 6Dalam Pedoman Penegakkan Disiplin Kedokteran tahun
2008 seorang dokter dapat dikategorikan melakukan bentuk
pelanggaran disiplin kedokteran apabila tidak memberikan penjelasan
yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien
atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran. 6Hak Pasien
atas Informasi Penyakit dan Tindakan Medis dari Aspek Hukum
Kedokteran.Merima pelayanan praktik kedokteran mempunyai hak
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang
akan diterimanya (Undan-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran pasal 52). Penjelasan tersebut sekurang-kurangnya
mencakup :1,51. Diagnosis dan tata cara tindakan medis2. Tujuan
tindakan medis yang dilakukan3. Alternatif tindakan lain dan
resikonya4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi5. Prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan. (Pasal 45 ayat 3).Dalam praktek
kedokteran dikenal dua macam euthanasia yaitu: 1,5a. Euthanasia
pasif: Ialah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan
memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Alasan yang
lazim dikemukakan dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan
hanya akan memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi
keadaan sakitnya yang memang sudah parah.
b. Euthanasia pasif: Tindakan dokter berupa penghentian
pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis
sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pemberian
obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas,
sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi,
sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak
efektif lagi. Tindakan upaya dokter menghentikan pengobatan
terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin bisa
sembuh. Umumnya alasannya adalah ketidakmampuan pasien dari segi
ekonomi padahal biaya pengobatannya yang dibutuhkan sangat tinggi.
5
Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia
hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang
dilakukan atas permintaan pasien atau korban itu sendiri (voluntary
euthanasia). 5
Pasal 344 KUHP. Yang menyatakan : Barang siapa merampas nyawa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara palinglama
dua belas tahun.6 Maka disimpulkan, bahwa pembunuhan atas
permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya.
Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia
euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang dan tidak
dimungkinkan dilakukan pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas
permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap
dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang
diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut5.
Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, Barang
siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 6
Pasal 340 KUHP menyatakan, Barang siapa dengan sengaja dan
dengan rencana lebih dulu merampas nyawa oranglain diancam, karena
pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjaraseumur
hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. 6
Pasal 356 (3) KUHP Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan
bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau
diminum. 6
Pasal 304 KUHP dinyatakan, Barang siapa dengan sengaja
menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia
wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah 6.
Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, Jika mengakibatkan kematian,
perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan
tahun. 6
KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama
euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai
pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa
seseorang. Akibatnya, dokter sering dipersalahkan dalam tindakan
euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia
tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan
pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan
pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang
belum diketahui pengobatannya. 5
Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi
seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup,
dan tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat
menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang
dalam KUHP. Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia
antara lain 338, 340, 344, 345, dan 359. Hubungan hukum
dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain
pasal 1313, 1314, 1315, dan 1319 KUH Perdata. Secara formal
tindakan euthanasia di Indonesia belum memiliki dasar hukum
sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan hukum
terhadap euthanasia yang dilakukan. 5,6
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berperan dalam menghadapi
perkembangan iptekdok, telah menyiapkan perangkat lunak berupa SK
PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter Indonesia tentang
Informed Consent. Disebutkan di sana, manusia dewasa dan sehat
rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan
terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis
yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan
pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai
Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati. Sayangnya SKPB IDI ini
tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI
sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap
dokter dan rumah sakit masih memiliki pandangan dan kebijakan yang
berlainan.5Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum,
yakni pasal 338 dan 344 KUHP. 5 Dalam hal ini terdapat apa yang
disebut concursus idealis yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang
menyebutkan bahwa: (1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari
satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara
aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat
ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Jika suatu perbuatan
yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam
aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang
dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas lex specialis
derogat legi generalis, yaitu peraturan yang khusus akan
mengalahkan peraturan yang sifatnya umum. 5,6PROSDUR
MEDIKOLEGALPersetujuan tindakan medikPeraturan menteri kesehatan No
585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medisPasal 1.
Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/19891. Persetujuan tindakan
medik/informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan
medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut;2. Tindakan
medik adalah suatu tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien
berupa diagnostik atau terapeutik;3. Tindakan invasif adalah
tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan
tubuh;4. Dokter adalh dokter umum/spesialis dan dokter gigi/dokter
gigi spesialis yang bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik, atau
praktek perorangan atau bersama. 6
Pasal 2. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/19891. Semua tindakan
medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.2. Persetujuan dapat diberi secara bertulis atau
lisan3. Persetujuan sebagaiman dimaksud ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medik yang bersangkutan serta risiko yang dapat ditimbulkannya.4.
Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat
pendidikan serta kondisi dan situasi pasien6
Pasal 3. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/19891. Setiap tindakan
medis yang berisiko tinggi harus dengan persetujuan bertulis yang
ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan6
Pasal 4. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/19891. Informasi tentang
tindakan medik harus diberi kepada pasien, baik diminta maupun
tidak diminta.2. Dokter harus memberikan informasi
selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi
tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien
menolak diberikan informasi. 6
Pasal 5. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/19891. Informasi yang
diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang
kan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik2. Informasi
diberikan secara lisan3. Informasi harus diberiakn jujur dan benar
kecuali bila dokter menilai bahwa hal itu dapat merugikan
kepentingan kesehatan pasien,4. Dalam hal dimaksud dalam ayat (3)
dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi
tersebut kepada keluarga terdekat pasien. 6
Pasal 8. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/19891. Persetujuan
diberiakan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sedar dan
sehat mental2. Pasien dewasa yang dimaksud ayat (1) adalah yang
telah berumur 21 tahun atau telah menikah. 6
Panitia Pertimbangan Dan Pembinaan Etik KedokteranPeraturan
menteri kesehatan No 554/MenKes/Per/XII/1982 tentang Panitia
pertimbangan dan Pembinaan Etik KedokteranPasal 8 Permenkes No
554/MenKes/Per/XII/1982Panitia Pertimbangan Dan Pembinaan Etik
Kedokteran (P3EK) Pusat dalam persoalan Etik Kedokteran dan
khusunya dalam menangani pelanggaran kode etik masing-masing
bekerjasam dengan IDI atau PDGI6
Pasal 22 Permenkes No 554/MenKes/Per/XII/1982(1) P3EK Propinsi
dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) mengusulkan
kepada Kakanwil DepKes Propinsi untuk mengambil tindakan yang
diperlukan terhadap dokter atau dokter gigi yang bersngkutan(2)
Kakanwil DepKes Propinsi dapat mengambil tindakan berupa peringatan
atau tindakan administratif terhadap dokter atau dokter gigi sesuai
dengan berat ringannya pelanggaran6
Dalam aspek hukum kesehatan, hubungan dokter dengan pasien
terjalin dalam ikatan transaksi atau kontrak terapeutik. Tiap-tiap
pihak, yaitu yang memberi pelayanan (medical providers) dan yang
menerima pelayanan (medical receivers) mempunyai hak dan kewajiban
yang harus dihormati. Dalam ikatan demikianlah masalah Persetujuan
Tindakan Medik atau yang sekarang disebut Persetujuan Tindakan
Kedokteran (PTM) ini timbul. Artinya, di satu pihak dokter (tim
dokter) mempunyai kewajiban untuk melakukan diagnosis, pengobatan,
dan tindakan medik yang terbaik menurut jalan pikiran dan
pertimbangannya (mereka), dan di lain pihak pasien atau keluarga
pasien memiliki hak untuk menentukan pengobatan atau tindakan medik
apa yang akan dilaluinya.7
Masalahnya adalah, tidak semua jalan pikiran dan pertimbangan
terbaik dari dokter akan sejalan dengan apa yang diinginkan' atau
dapat diterima oleh pasien atau keluarga pasien. Hal ini dapat
terjadi karena dokter umumnya melihat pasien hanya dari segi medik
saja, sedangkan pasien mungkin melihat dan mempertimbangkan dari
segi lain yang tidak kalah pentingnya, seperti keuangan, psikis,
agama, dan pertimbangan keluarga.7
Perkembangan terakhir di Indonesia mengenai PTM adalah
ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan No.
585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik (informed
consent).
Yang dimaksud dengan informed consent adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau walinya yang berhak kepada dokter untuk
melakukan suatu tindakan medis terhadap pasien sesudah pasien atau
wali itu memperoleh informasi lengkap dan memahami tindakan itu.
Dengan kata lain, informed consent juga disebut persetujuan
tindakan medis. Persetujuan (consent) dapat dibagi menjadi 2,
yaitu:5,71. expressed, dapat secara lisan atau secara tulisan,
dan2. implied, yang dianggap telah diberikan.
Persetujuan yang paling sederhana ialah persetujuan yang
diberikan secara lisan, misal untuk tindakan-tindakan rutin.
Tindakan-tindakan, yang lebih kompleks yang mempunyai risiko yang
kadang-kadang tidak dapat diperhitungkan dari awal dan yang dapat
menyebabkan hilangnya nyawa atau cacat permanen, memperoleh
persetujuan yang tertulis agar suatu saat apabila diperlukan
persetujuan itu dapat dijadikan bukti. 5,7
Namun, persetujuan yang dibuat secara tertulis tersebut tidak
dapat dipakai sebagai alat untuk melepaskan diri dari tuntutan
apabila terjadi suatu yang merugikan pasien. Hal ini harus diingat
karena secara etik dokter diharapkan untuk memberikan yang terbaik
bagi pasien. Apabila dalam suatu kasus ditemukan unsur kelalaian
dari pihak dokter, maka dokter tersebut harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Begitu pula dari pihak
pasien; mereka tidak bisa langsung menuntut apabila terjadi hal-hal
di luar dugaan karena hams ada bukti-bukti yang menunjukkan adanya
kelalaian. Dalam hal ini, harus dibedakan antara kelalaian dan
kegagalan. Apabila hal tersebut merupakan risiko dari tindakan yang
telah disebutkan dalam persetujuan tertulis, maka pasien tidak bisa
menuntut. Oleh sebab itu, untuk memperoleh persetujuan dari pasien
dan untuk menghindari adanya salah satu pihak yang dirugikan,
dokter wajib memberikan informasi sejelas-jelasnya agar pasien
dapat mempertimbangkan apa yang akan terjadi terhadap dirinya.
Biasanya informasi itu meliputi: 5,7a. sifat dan tujuan tindakan
medik;b. keadaan pasien yang memerlukan tindakan medis;c. risiko
dari tindakan itu apabila dilakukan atau tidak.
Implied consent adalah peristiwa yang terjadi sehari-hari.
Misalnya, seorang ibu datang ke poliklinik kebidanan dengan keluhan
terasa ada yang aneh pada alat-alat genital. Dalam hal ini, ia
dianggap telah memberikan persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan
sesuai prosedur. Meskipun demikian, secara etik/santunnya dokter
diharapkan meminta persetujuan lisan. 5,7
Implied consent juga dapat terjadi pada keadaan gawat darurat
apabila pasien dalam keadaan tidak sadar, kritis, sementara
persetujuan dari wali tidak diperoleh karena tidak ada di tempat.
Dalam hal ini dokter secara etik berkewajiban menolong pasien jika
memang diyakini tidak ada orang lain yang sanggup.7
Dalam memberikan informasi tentang tindakan medis yang akan
dilakukan, harus diingat kondisi pasien pada saat itu. Mengingat
pasien biasanya datang dalam keadaan yang tidak sehat, diharapkan
dokter tidak memberikan informasi yang dapat mempengaruhi keputusan
pasien karena dalam keadaan yang demikian itu pikiran pasien
tersebut mudah terpengaruh. Atau apabila kondisi pasien tidak
memungkinkan untuk menerima informasi tersebut, diharapkan wali
yang berhak dapat menggantikannya. Apabila wali tidak ada dan
kondisi pasien kritis, maka implied consent dapat diambil sebagai
pegangan untuk melakukan tindakan medis.7
Selain terhadap kondisi pasien pada saat ia datang, dokter juga
harus dapat menyesuaikan diri terhadap tingkat pendidikan pasien
agar pasien mengerti dan memahami pembicaraan. Pasien mempunyai hak
untuk memperoleh informasi dan dokter berkewajiban menyampaikan
informasi tersebut, baik diminta atau tidak, kecuali jika
penyampaian informasi tersebut akan memperburuk kondisi pasien. Ini
sesuai dengan hak dan kewajiban dokter dan pasien.7Tujuan dari
informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup
untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan.
Informed consent juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak
pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna
apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan
sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat
dibuat apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan
psikis pada pasien.7Elemen-elemen informed consent Suatu informed
consent harus meliputi :81. Dokter harus menjelaskan pada pasien
mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya2. Pasien harus diberitahu
tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar kemungkinan
keberhasilannya3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa
alternatif yang ada dan akibat apabila penyakit tidak diobati4.
Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau
menolak terapiRisiko yang harus disampaikan meliputi efek samping
yang mungkin terjadi dalam penggunaan obat atau tindakan
pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.
HAL-HAL YANG DIINFORMASIKAN Hasil PemeriksaanPasien memiliki hak
untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya
perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah
diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan
pasien.Risiko Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus
diungkapkan disertai upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk
terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian
yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan
dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut
juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang dokter mengetahui
bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif
pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada
pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk
melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat
melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.AlternatifDokter
harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan
terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan
bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai
contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi
yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter
harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian serta
komplikasi yang mungkin timbul.Rujukan/ konsultasiDokter
berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan
dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi
pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter
harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena
keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang
dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.Prognosis Pasien
berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele,
ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan
termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan
apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan
apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas
kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian
yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari informed
consent.2REKAM MEDISDalam pelayanan kedokteran/kesehatan, terutama
yang dilakukan para dokter baik di rumah sakit maupun praktik
pribadi, peran pencatatan rekam medis (RM) sangat penting dan
sangat melekat dengan kegiatan pelayanan tersebut. Dengan demikian,
ada ungkapan bahwa rekam medis adalah orang ketiga pada saat dokter
menerima pasien. Hal tersebut dapat dipahami karena catatan
demikian akan berguna untuk merekam keadaan pasien, hasil
pemeriksaan serta tindakan pengobatan yang diberikan pada waktu
itu. Catatan atau rekaman itu menjadi sangat berguna untuk
mengingatkan kembali dokter tentang keadaan, hasil pemeriksaan, dan
pengobatan yang telah diberikan bila pasien datang kembali untuk
berobat ulang setelah beberapa hari, beberapa bulan, bahkan setelah
beberapa tahun kemudian. Dengan adanya rekam medis, ia bisa
mengingat atau mengenali keadaan pasien saat diperiksa sehingga
lebih mudah melanjutkan strategi pengobatan dan perawatannya.
Namun, kini makin dipahami bahwa peran rekam medis tidak terbatas
pada asumsi yang dikemukakan di atas, tetapi jauh lebih luas. Oleh
karena itu, para tenaga kesehatan masa kini harus memahami dengan
baik hal-hal yang berkaitan dengan rekam medis.8
Dalam Undang-undang Kesehatan, walaupun tidak ada bab yang
mengatur tentang rekam medis secara khusus, secara implisit
Undang-undang ini jelas membutuhkan adanya rekam medis yang bermutu
sebagai bukti pelaksanaan pelayanan kedokteran/ kesehatan yang
berkualitas.8
Kewajiban dokter untruk membuat rekam medis dalam pelayanan
kesehatan dipertegas dalam UUPK seperti terdapat pada pasal 46:
(1). Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik
kedokteran wajib membuat rekam medis. (2) Rekam medis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien
selesai menerima pelayanan kesehatan. Setiap catatan rekam medis
harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan. Selanjutnya dalam pasal 79
diingatkan tentang sanksi hukum yang cukup berat, yaitu denda
paling banyak Rp.50.000.000,- bila dokter terbukti sengaja tidak
membuat rekam medis.5-8
Dalam Permenkes No. 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang RM, disebut
pengertian RM adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan
lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
Isi Rekam Medis : 8Di rumah sakit didapat dua jenis RM, yaitu:
RM untuk pasien rawat jalan RM untuk pasien rawat inapUntuk pasien
rawat jalan, termasuk pasien gawat darurat, RM memiliki informasi
pasien, antara lain:8a. Identitas dan formulir perizinan (lembar
hak kuasa)b. Riwayat penyakit (anamnesis) tentang : keluhan utama
riwayat sekarang riwayat penyakit yang pernah diderita riwayat
keluarga tentang penyakit yang mungkin diturunkanc. Laporan
pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan laboratorium, foto rontgen,
scanning, MRI, dan lain lain.d. Diagnosis dan/atau diagnosis
bandinge. Instruksi diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan
pejabat kesehatan yang berwenang.Untuk rawat inap, memuat informasi
yang sama dengan yang terdapat dalam rawat jalan, dengan tambahan
:8 Persetujuan tindakan medik Catatan konsultasi Catatan perawat
dan tenaga kesehatan lainnya Catatan observasi klinik dan hasil
pengobatan Resume akhir dan evaluasi pengobatan.Secara umum
kegunaan RM adalah:81. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan
tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil bagian dalam memberi
pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien. Dengan membaca RM,
dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang terlibat dalam merawat
pasien (misalnya, pada pasien rawat bersama atau dalam konsultasi)
dapat mengetahui penyakit, perkembangan penyakit, terapi yang
diberikan, dan lain-lain tanpa harus berjumpa satu sama lain. Ini
tentu merupa-kan sarana komunikasi yang efisien.2. Sebagai dasar
untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada
pasien. Segala instruksi kepada perawat atau komunikasi sesama
dokter ditulis agar rencana pengobatan dan perawatan dapat
dilaksanakan.3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan,
perkembangan penyakit dan pengobatan selama pasien
berkunjung/dirawat di rumah sakit. Bila suatu waktu diperlukan
bukti bahwa pasien pernah dirawat atau jenis pelayanan yang
diberikan serta perkembangan penyakit selama dirawat, tentu data
dari RM dapat mengungkapkan dengan jelas.4. Sebagai dasar analisis,
studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan kepada
pasien. Baik buruknya pelayanan yang diberikan tercermin dari
catatan yang ditulis atau data yang didapati dalam RM. Hal ini
tentu dapat dipakai sebagai bahan studi ataupun evaluasi dari
pelayanan yang diberikan.5. Melindungi kepentingan hukum bagi
pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Bila timbul permasalahan (tuntutan) dari pasien kepada dokter
maupun rumah sakit, data dan keterangan yang diambil dari RM tentu
dapat diterima semua pihak. Di sinilah akan terungkap aspek hukum
dari RM tersebut. Bila catatan dan data terisi lengkap, RM akan
menolong semua yang terlibat. Sebaliknya, bila catatan yang ada
hanya sekedarnya saja, apalagi kosong pasti akan merugikan dokter
dan rumah sakit. Penjelasan yang bagaimanapun baiknya tanpa bukti
tertulis, pasti sulit dipercaya.6. Menyediakan data-data khusus
yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan pendidikan.
Setiap penelitian yang melibatkan data klinik pasien hanya dapat
diper-gunakan bila telah direncanakan terlebih dahulu. Oleh karena
itu, RM di rumah sakit pendidikan biasanya tersusun lebih rinci
karena sering digunakan untuk bahan penelitian.7. Sebagai dasar di
dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien. Bila
pasien mau dipulangkan, bagian administrasi keuangan cukup melihat
RM, dan segala biaya yang harus dibayar pasien/keluarga dapat
ditentukan.8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan,
serta sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan.Data dan
infomasi yang didapat dari RM sebagai bahan dokumentasi, bila
diperlukan dapat digunakan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban
atau laporan kepada pihak yang memerlukan masa mendatang.
PROSEDUR TINDAKAN MEDISPerawatan penderita tergantung pada
tingkat staging kanker itu sendiri. Terapi akan jauh lebih mudah
bila kanker ditemukan pada stadium dini. Tingkat kesembuhan kanker
stadium 1 dan 2 masih sangat baik. Namun bila kanker ditemukan pada
stadium yang lanjut, atau ditemukan pada stadium dini dan tidak
diobati, maka kemungkinan sembuhnya pun akan jauh lebih
sulit.Klasifikasi menurut kanker usus besar menurut Dukes :2
Stadium 1 : Kanker terjadi di dalam dinding kolon Stadium 2 :
Kanker telah menyebar hingga ke lapisan otot kolon Stadium 3 :
Kanker telah menyebar ke kelenjar-kelenjar limfa Stadium 4 : Kanker
telah menyebar ke organ-organ lain.6Tujuan pengobatan kanker ada
dua, yaitu kuratif dan paliatif. Pengobatan kuratif merupakan upaya
yang ditujukan untuk mencapai kesembuhan penyakit kanker. Sementara
pengobatan paliatif ditujukan pada penderita kanker yang sudah
tidak memungkinkan kembali dicapainya kesembuhan.Di antara pilihan
terapi untuk penderitanya, pilihan operasi masih menduduki
peringkat pertama, dengan ditunjang oleh kemoterapi dan/atau
radioterapi (mungkin diperlukan).
Pemeriksaan Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan abdomen dan
rektalPemeriksaan Penunjang meliputi :2 Pengujian darah samar Enema
barium: tumor dan kelainan lain pada kolon memberikan gambaran
bayangan gelap pada gambaran rontgen. Kolonoskopi. Biopsi:
ditemukan adenokarsinoma. Ultrasonografi: melihat metastasis kanker
ke kelenjar getah bening di hati dan abdomen. CT scan Pemeriksaan
antigen karsinoembrionik (CEA)7Indikasi / Penatalaksanaan
Medis8Pengobatan pada pasien tergantung pada tahap penyakit dan
komplikasi yang berhubungan. Endoskopi, ultrasonografi dan
laparoskopi telah terbukti berhasil dalam pentahapan kanker
kolorektal. Pengobatan medis untuk kanker kolorektal paling sering
dalam bentuk pendukung atau terapi adjuvan. Terapi adjuvan biasanya
diberikan selain pengobatan bedah. Pilihan mencakup kemoterapi,
terapi radiasi atau imunoterapi.Medika Mentosa1. Kemoterapi
5-flurouracil merupakan obat pilihan untuk kemoterapi karsinoma
kolon. Lemavisole serta leucovorin digunakan untuk pasien stadium 3
pasca operasi.2. Agen biologicContoh obat yang digunakan adalah
bevacizumab (Avastin) dan Panitumumab (Vectibix). 3.
RadioterapiPeran radioterapi dalam pengobatan kanker kolon masih
terbatas tetapi radioterapi tetap menjadi modalitas terapi standar.
Untuk memperkecil tumor, mencapai hasil yang lebih baik dari
pembedahan, dan untuk mengurangi resiko kekambuhan. Untuk tumor
yang tidak dioperasi atau tidak dapat disekresi, radiasi digunakan
untuk menghilangkan gejala secara bermakna4. Terapi
simptomatikTermasuk antibiotic, analgesik dan lain-lain. Antara
analgesik yang dugunakan adalah golongan non steroid seperti
aspirin dan ibuprofen dan golongan opiod seperti morfin, fentanil,
oxycodone,codein dan tramadol. Pemberian dimulai dengan analgesik
lemah dosis rendah dan ditingkatkan sesuai kebutuhan pasien.Non
Medika Mentosa21. PembedahanPembedahan masih merupakan terapi
pilihan untuk memperpanjang kehidupan pasien. Prosedur pembedahan
pilihan adalah sebagai berikut (Doughty & Jackson, 1993) :
Reseksi segmental dengan anostomosis (pengangkatan tumor dan porsi
usus pada sisi pertumbuhan, pembuluh darah dan nodus limfatik)
Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid isbandin
(pengangkatan tumor dan porsi sigmoid dan semua isban serta
sfingter anal ) Kolostomi sementara diikuti dengan reseksi
segmental dan anostomosis serta reanastomosis lanjut dari kolostomi
(memungkinkan dekompresi usus awal dan persiapan usus sebelum
reseksi) Kolostomi isbandin atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi
obstruksi yang tidak dapat direseksi). 2. DietBerdasarkan kajian,
pasien yang mengamalkan pemakanan daging merah, biji-bijian, lemak
dan makanan bergula tinggi lebih rentan untuk kambuh isbanding
pasien yang mengamalkan diet tinggi serat dan protein.
KESIMPULAN
Seorang dokter itu haruslah memastikan dirinya berada dalam
keadaan yang optimum dengan senantiasa menerapkan etika profesi
kedokteran yang berlandaskan konsep dasar moral yaitu prinsip
otonomi, prinsip beneficence, prinsip non-maleficence, dan prinsip
justice. Suatu tindakan medis terhadap pasien tanpa memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari pasien tersebut dapat dianggap
sebagai penyerangan atas hak orang lain atau melanggar hukum.
Namun, euthanasia dari segi hukum yang antaranya dibahas pada Pasal
338, 340, 344, 345, dan 359, tetap dianggap sebagai perbuatan yang
dilarang dan tidak dimungkinkan dilakukan pengakhiran hidup
seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan
tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai
perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar
larangan beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan eutanasia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sampurna. Budi., Syamsu. Zulhasmar., Siswaja. Tjetjep
Dwidja.Bioetik dan Hukum Kedokteran.Jakarta:Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran UI.2007.h.418.2. Perhimpunan dokter
spesialis penyakit dalam Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid I. Edisi IV. Jakarta: Departemen penyakit dalam
UI;2008.h.150-3.3. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku ajar ilmu bedah.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG;2001.h.34-6.4. Bagian
kedokteran forensik FKUI. Permenkes RI No 585/ Menkes/ PER/ IX/
1989.Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Jakarta:Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran UI; 1994. h. 2-44.5. FK UI.
Persetujuan Tindakan Medik.Peraturan perundang-undangan bidang
kedokteran. Edisi 1, cetakan ke-2. Jakarta: Bagian Kedokteran
forensic FK UI.2005.hal.5-15.6. Moeljatno. Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Cetakan 21. Jakarta : Bumi Aksara ;2005.h.159.7.
Mulyatno. KUHP. Cetakan 28. Jakarta : Bumi Aksara; 2009. h.2348.
Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja T. Informed consent. Rahasia
kedokteran. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta : Pustaka Dwipar
; 2007. h. 72-81.
26