1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global (Global Warming) dapat diartikan secara sederhana, yakni kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi yang diakibatkan panas yang diserap oleh lapisan ozon sebagian dan sisanya sebagian dipantulkan kembali ke bumi. Sebagian dari panas ini mengandung radiasi infra merah gelombang panjang ke luar angkasa. Namun, sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca. Gas-gas tersebut menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi, akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Jika konserntrasi gas-gas tersebut terus meningkat di atmosfer, maka akan semakin banyak panas yang terpantul ke bumi. Pemanasan global menjadi faktor penting bagi berlangsungya suatu kehidupan, yang telah menjadi isu global yang menyita perhatian masyarakat dunia, sebagaimana telah diproyeksikan ilmuwan hingga puluhan tahun kedepan, pemansan global menimbulkan perubahan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemanasan global (Global Warming) dapat diartikan secara sederhana, yakni
kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi yang
diakibatkan panas yang diserap oleh lapisan ozon sebagian dan sisanya sebagian
dipantulkan kembali ke bumi. Sebagian dari panas ini mengandung radiasi infra
merah gelombang panjang ke luar angkasa. Namun, sebagian panas tetap
terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca. Gas-gas
tersebut menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan
bumi, akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi. Hal tersebut
terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus
meningkat. Jika konserntrasi gas-gas tersebut terus meningkat di atmosfer, maka akan
semakin banyak panas yang terpantul ke bumi.
Pemanasan global menjadi faktor penting bagi berlangsungya suatu
kehidupan, yang telah menjadi isu global yang menyita perhatian masyarakat dunia,
sebagaimana telah diproyeksikan ilmuwan hingga puluhan tahun kedepan, pemansan
global menimbulkan perubahan berskala luas menyangkut semua unsur di bumi yang
melibatkan berbagai unsur, antara lain atmosfer, lautan, daratan dan biota. Perubahan
ini dapat terjadi secara berskala dengan perulangan yang cukup teratur, namun juga
dapat terjadi tanpa memperlihatkan keteraturan perulangan.
Fenomena tersebut dikuatkan dengan data anomali suhu global (Gambar 1)
dari tahun 1880 sampai 2000 yang menunjukkan adanya gejala pemanasan suhu.
Sd 16,73 350 67,08 33,20 150,29 C. rotundata X 416,7 11,25 19,50 37,44 Sd 104,1 6,16 3,14 7,87
PB-2 E. acoroides X 78,00 99,7 468,27 18,61 636,87 Sd 10,95 3,1 25,65 95,36 113,34 T.hemprichii X 650,0 103,66 121,94 225,65 Sd 377,5 6,93 37,22 40,46 C. rotundata X 366,7 23,29 24,93 48,22 Sd 175,6 14,77 14,88 29,45
PU E. acoroides X 21,50 77,5 344,93 152,32 497,25 Sd 8,00 17,3 166,87 60,60 227,40
Fitoplankton sebagai Rosot Karbon
Fitoplankton akan mengekstrak karbon dari gas karbon dioksida dari atmosfer
untuk proses fotosintesa. Proses sederhana ini dapat terjadi di permukaan laut dan
membutuhkan beberapa syarat seperti cukupnya sinar matahari untuk proses
12
fotosintesa dan nutrisi di permukaan laut untuk mendukung pertumbuhan plankton di
permukaan laut. Nutrisi tersebut berupa nutrient (nitrat dan fosfat) yang berasal dari
aliran sungai, aktifitas industri dan manusia yang bermuara di laut serta dari proses
alamiah seperti kenaikan massa air laut ke atas (upwelling).
Reaksi sederhana fotosintesis adalah sebagai berikut : 6CO2+6H2O→C6 H
12O6+6O2. Dari reaksi tersebut terlihat bahwa 6 molekul CO2 menghasilkan 6 molekul
O2. Dengan demikian untuk menghitung laju fotosintesis bisa dilakukan dengan
mengukur CO2 yang diserap, atau mengukur O2 yang dihasilkan
Nilai penyerapan karbon oleh fitoplankton dapat diestimasi dari laju
fotosintesis atau produktivitas primer fitoplankton. Apabila produktivitas primer
diukur dengan metode karbon, maka data tersebut dapat langsung digunakan. Apabila
produktivitas primer diukur dengan metode oksigen, maka nilai oksigen yang
dihasilkan dikonversi terlebih dahulu menjadi karbon, baru digunakan dalam
perhitungan. Perhitungan metode oksigen dinyatakan dalam satuan mgC/I/jam dan
mgO2/I/jam. Nilai produktivitas primer di perairan pantai dan laut Indonesia adalah
50 mgC/m2/th. Luas perairan Indonesia (Teritorial dan ZEE) kurang lebih 6 juta km 2
atau sama dengan 6 X (1.000.000)2=36.000.000.000.000 m2. Jadi untuk keseluruhan
Indonesia:
Serapan CO2 = 50 X 36.000.000.000.000 gC/tahun= 1.800.000.000.000.000 gC/tahun= 1.800.000.000 C/tahun= 1,8 milyar ton C/tahun
Jika satu persen dari nilai tersebut tenggelam sampai ke dasar laut, maka akan ada
sekitar 0,0186 milyar ton C/tahun disimpan di dasar laut.
KESIMPULAN
13
Analisis Perbandingan dari Ekosistem Mangrove, Lamun, Terumbu Karang,
dan Fitoplankton
Tabel 6. Data perbandingan Ekosistem Mangrove, Lamun, Terumbu Karang, dan
Fitoplankton
Parameter Hutan Mangrove Padang Lamun Terumbu Karang Fitoplankton
*Potensi Daya
Serap Karbon
67,7 juta ton/tahun
(L 93.000 km2)
50,3 juta ton/tahun
(30.000 km2)
65,7 juta ton/tahun
(61.000 km2)
36,1 juta ton/tahun
(L 5,8juta km2)
Cara
Penyerapan
Melalui fotosintesis Melalui foteosintesis Melalui fotosintesis,
kalsifikasi
Melalui fotosintesis
*Produktifitas 22,90 ton/hektar/tahun Belum diketahui Belum diketahui 50mgC/m2/tahun
Faktor
PembatasKecerahan:Temperatur
:Substrat: Berhubungan
Pemanfaatan oleh
masyarakat Suhu
Kecerahan Temperatur
Salinitas Substrat
Kecepatan Arus Suhu
Temperature Salinitas
Suhu
Cahaya, Nutrisi,
Pencemaran
Nilai Estetika) Menunjang demi
pariwisata
Menunjang demi
pariwisata
Menunjang demi
pariwisata
Tidak ada
Kekurangan Tidak ada Tidak ada Rentan terhadap suhu
panas yang bisa
menyebabkan bleching
Menyebabkan red
tide/blooming
*Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007
Dari hasil analisa perbandingan pada tabel 6. didapat bahwa ekosistem padang
lamun memiliki nilai rosot karbon yang lebih besar dibandingkan dengan ketiga
ekosistem lainnya. Hal ini dibuktikan dengan analisis dalam kisaran luas relatif kecil
tetapi memiliki potensi daya serap karbon yang cukup besar. Adapun dilihat dari
parameter kekurangan, terumbu karang dan fitoplankton masing-masing memiliki
kekurangan yaitu terumbu karang sangat rentan dengan suhu tinggi yang
mengakibatkan bleaching, sedangkan pada fitoplankton apabila pertumbuhannya
berlebihan akan menyebabkan red tide. Maka dalam perencanaan ekosistem laut
14
seharusnya padang lamun diberikan persentasi yang lebih besar dibandingkan dengan
hutan mangrove dan terumbu karang.
Rekomendasi Konsep Pengelolaan Ekosistem Laut Terpadu Sebagai solusi
perubahan iklim
Berdasarkan hasil kajian dan analisis pustaka tentang kemampuan ekosistem
laut dalam mereduksi karbon yang merujuk penelitian dari Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI dan PKSPL IPB (Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut
Institut Pertanian Bogor) menunjukkan bahwa kemampuan laut Indonesia mampu
menyerap karbon secara efektif. Kemampuan laut dalam menyerap karbon tersebut
bisa efektif dan maksimal apabila keempat ekosisitem tersebut berjalan secara
sinergis. Adapun konsep yang dapat direkomendasikan dalam rangka mencapai
sinergisme pemanfaatan ekosistem laut tersebut antara lain sebagai berikut :
Perencanaan
Perencanaan dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Kawasan Konservasi
Terpadu (Integrated Conservation Zone Management) yang mengintegrasikan
berbagai perencanaan, sehingga terjadi sinergisme antara empat elemen ekosistem
sebagai rosot karbon. Konsep perencanaan kawasan konservasi terpadu merupakan
upaya bertahap dan terprogram yang disertai dengan upaya pengendalian dampak
implementatif yang mungkin timbul dalam rangka mengurangi dampak perubahan
iklim. Perencanaan Kawasan Konservasi Terpadu dibagi ke dalam empat tahapan
utama yaitu ; (i) rencana strategis ; (ii) rencana zonasi ; (iii) rencana pengelolaan ;
dan (iv) rencana aksi.
Pengelolaan
Pengelolaan Kawasan Konservasi Terpadu (Integrated Conservation Zone
Management) meliputi proses perencanaan, pemanfaatan, pelaksanaan,
15
pengendalian, pengawasan, dan pemberdayaan masyarakat, penentuan
kewenangan, kelembagaan, sampai dengan tindakan pencegahan demi kelestarian
ekossitem laut sebgai rosot karbon.
Pengawasan dan Pengendalian
Secara umum upaya pengawasan dan pengendalian Kawasan Konservasi
Terpadu (Integrated Conservation Zone) dilakukan dalam rangka :
1) Mengetahui adanya penyimpangan implementasi pelaksanaan rencana
strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, serta implikasi penyimpangan
tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem.
2) Mendorong agar pola pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya di kawasan
konservasi berjalan sinergis sesuai dengan rencana pengelolaannya, serta
menjamin terpenuhinya hak pengelolaan oleh pihak-pihak (negara) terkait.
3) Memberikan sanksi pelanggaran baik berupa sanksi administratif, sanksi
perdata, maupun sanksi pidana berdasarkan kesepakatan hukum yang telah
disepakati.
DAFTAR PUSTAKA
Boyd, P. W. 2000. A mesosscle phytoplankton bloom in the plar southhern ocean stimulated by iron Fertilization. Nature, 407:695-702.
Dahuri, R. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta.
Dittmar, T. et al. 2006. Mangroves, a major source of dissolved organic carbon to the oceans. Global Biogeochem. Cycles.20(1).
Duarte, C.M.; J.J. Middleburg & C. Caraco, 2005. Major role of marine vegetation on the oceanic carbon Cycle. Biogeoscience. 2: 1-8.
16
IPCC.2001.Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovrnental Panel on Climate Change [Houghton,J.T.,Y.Ding,D.J.Griggs, M Nouger, P.J. van der Linden, et al. (eds.)]. Cambridge University Press,Cambridge, United Kingdom and New York, NY,881pp.
IPCC (Interngovernmental Panel on Climate Change), 2007. Summary for Policy Makers of IPCC Fouth Assessment Report, Working Group III – climate change 2007: mitigation of climate change, IPCC, Bangkok, Thailand.
Jarred D., 2006. Collapse. How societies choose to fail or survive. Penguin Books.
Komiyama, A., Jin E.O., Sasitorn P. 2008. Allometry, biomass and produktivity of mangrove forest. A review. Acuatiq Botany.89:128-137.
Purwadianto.2009. Pengelolaan Bidang Kesehatan Dalam Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Di Indonesia. Disampaikan dalam Workshop: Laut Sebagai Pengendali Perubahan Iklim.Bogor, 4 Agustus 2009, Indonesia.
WWF and the University of Queensland, 2009. The Coral Triangle and Climate Change ecosystem,People and societies at risk, Sydney, Australia.