Page 1
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 1, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
1
PERSEPSI MAHASISWI UNTIRTA TERHADAP KESEHATAN
REPRODUKSI DAN PERMASALAHANNYA
Dwi Ratnasari1*
, Ika Rifqiawati1, Indria Wahyuni
1, Indah Juwita Sari
1, Siti Gia Syauqiah
1
1Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
*Cc: [email protected]
Abstrak
Minimnya pengetahuan remaja dalam persoalan kesehatan reproduksi menyebabkan banyaknya
remaja yang mengalami perilaku seksual yang menyimpang. Tujuan dilakukannya penelitian ini
adalah untuk menganalisis persepsi mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta)
mengenai kesehatan reproduksi dan permasalahannya. Metode yang digunakan pada penelitian
adalah metode survei dengan subjek penelitian 100 mahasiswi Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa. Instrumen yang digunakan adalah angket dan wawancara persepsi tentang kesehatan
reproduksi dan permasalahannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi mahasiswi
tentang kesehatan reproduksi yang terendah tentang kelainan dan penyakit seksual. Salah satu
cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan persepsi mahasiswi tentang pentingnya kesehatan
reproduksi adalah melalui pembinaan dan penyuluhan, serta pendalaman materi yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksi yang dapat disisipkan pada materi dalam mata kuliah tertentu.
Keywords: kesehatan reproduksi, mahasiswi Untirta, persepsi.
PENDAHULUAN
Letak geografis Banten menjadi
strategis untuk berbagai sektor, seperti
perdagangan, dan pariwisata. Seiring
bertambahnya waktu, Banten tumbuh menjadi
daerah yang berkembang pesat karena banyak
investor-investor sudah mulai mengisi berbagai
ranah, para pendatang juga datang dari berbagai
kalangan. Faktor ini juga yang menjadi
tantangan bagi Banten untuk terus berkembang
tanpa mengurangi atau melepas identitas
khasnya yaitu “daerah santri, yang
mengedapankan sikap agamis.” Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) terletak di
Provinsi Banten, sehingga sebaiknya mahasiswa
dan mahasiswi yang menjalani proses
pendidikan di dalamnya juga memiliki
kepribadian yang baik.
Mahasiswi selaku remaja merupakan
generasi penerus yang diharapkan dapat menjadi
pembangun Banten agar lebih baik lagi dan tetap
mengedepankan sikap agamis. Mahasiswi perlu
mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi yang baik, karena dikhawatirkan
akan meningkatkan jumlah kasus pernikahan
dini, hamil di luar nikah, dan menurunnya
kualitas hidup masyarakat.
Kesehatan reproduksi diartikan tidak
hanya sebagai pengetahuan tentang organ
reproduksi dan fungsinya saja. Menurut PP No.
61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi
menyebutkan bahwa kesehatan reproduksi
adalah kesehatan secara fisik, mental dan sosial
yang utuh, tidak semata-mata bebas dari
penyakit atau kecacatan dalam segala aspek
yang berhubungan dengan sistem reproduksi,
fungsi serta prosesnya.
Penelitian Ismawati (2011) menyatakan
bahwa remaja usia sekolah di daerah Banten
memiliki pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi yang rendah. Sesuai dengan
perkembangan psikologisnya, usia ini rentan
terhadap penyimpangan perilaku, salah satunya
perilaku seksual. Bagian dari kelompok usia
remaja adalah mahasiswi, yang dalam
perkembangannya sudah mulai memiliki
kematangan berpikir, namun tidak dipungkiri
karena masa ini merupakan masa pra nikah,
maka cenderung memiliki tingkat problem yang
lebih tinggi, seperti mulai mencari pasangan
Page 2
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
6
Peningkatan Hasil Belajar Siswa Melalui PBL Pada Materi Jaringan
Fahriyah Fahmawati1*
1SMAN 1 Tambun Utara
*Cc: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar biologi materi jaringan melalui PBL
(Problem Based Learning). Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1
SMAN 1 Tambun Utara yang berjumlah 34 siswa. Data yang dikumpulkan berupa informasi
hasil belajar siswa dalam pelajaran biologi materi jaringan. Alat pengumpul data berupa daftar
nilai siswa dilakukan dengan teknik tes. Prosedur penelitian dilakukan dengan prosedur
penilaian tindakan kelas menggunakan dua siklus yaitu siklus I dan siklus II. Tiap siklus
memiliki 4 tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi. Hasil
penelitian ini adalah: pada siklus I, didapatkan nilai terendah pada siswa yaitu sebesar 45 dan
nilai tertinggi yaitu 83 dengan rata-rata nilai 70,7, sedangkan pada siklus II didapatkan
peningkatan nilai dengan nilai terendah siswa sebesar 75 dan nilai tertinggi sebesar 86 dengan
rata-rata nilai 81,2. Hasil penelitian dari siklus I ke siklus II dapat disimpukan bahwa, PBL
(Problem Based Learning) dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi jaringan siswa
kelas XI IPA 1 SMAN 1 Tambun Utara Tahun 2019/2020.
Kata Kunci: Hasil belajar siswa, Problem Based Learning, materi jaringan, Penelitian Tindakan
Kelas
Abstract
This study aims to improve the learning outcome of tissue material biology through PBL
(Problem Based Learning). Research subjects in this study were students of class XI IPA 1
SMAN 1 Tambun Utara, amounting to 34 students. Data collected in the form of information on
students learning outcomes in biology lessons tissue material. A data collection tool is the list of
student value is done by testing techniques. Research procedures performed by classroom action
research procedure using two cycles of the cycle I and cycle II. Each cycle has stages of
planning, implementation of action, observation, and reflection. The results of this study are: in
the first cycle, the lowest value obtained in students is equal to 45 and the highest value is 83
with an average value of 70,7, while in the second cycle an increase in values with the lowest
value of students is 75 and the highest value is 86 with an average value of 81,2. The results of
the research from cycle I to cycle II can be concluded that, the PBL (Problem Based Learning)
can improve student learning outcomes on student tissue materials class XI IPA 1 SMAN 1
Tambun Utara of 2019/2020.
Keywords: Student learning outcomes, Problem Based Learning, tissue materials, Classroom
action research.
Page 3
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
7
PENDAHULUAN
Pendidikan sangatlah penting bagi
kehidupan, seluruh proses kehidupan adalah
tentang proses belajar. Belajar dari tidak
tahu menjadi tahu, belajar dari yang tidak
bisa menjadi mampu. Pendidikan juga
merupakan suatu kebutuhan yang harus
dipenuhi dalam kehidupan manusia
sepanjang hayat. Pendidikan juga
dimaksudkan supaya siswa dapat melakukan
pembelajaran dengan memecahkan
permasalahan yang ada.
Astuti & Iwan (2013) menyatakan
bahwa, kemampuan memecahkan masalah
dipandang perlu dimiliki siswa, terutama
siswa SMA, karena kemampuan ini dapat
membantu siswa membuat keputusan yang
tepat, cermat, sistematis, logis, dan
mempertimbangkan berbagai sudut pandang.
Sebaliknya, kurangnya kemampuan-
kemampuan ini mengakibatkan siswa pada
kebiasaan melakukan berbagai kegiatan
tanpa mengetahui tujuan dan alasan
melakukannya. Hal ini tentunya didukung
dan dipengaruhi oleh kurikulum yang
berlaku.
Kurikulum dibuat sebagai alat bagi
keberlangsungan proses pembelajaran
dengan tujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa. Kini mulai diterapkannya
Kurikulum 2013 yang memiliki beberapa
perbedaan dari kurikulum sebelumnya
diantaranya adalah pergeseran pola pikir
dari pemikiran faktual ke pemikiran kritis
(membutuhkan pemikiran kreatif). Adanya
pergeseran seperti itu, maka berubah pula
pola pembelajaran dari terpusat oleh guru
(teacher center) menjadi terpusat kepada
siswa (student center) yang diterapkan
dalam model-model pembelajaran.
Salah satu model pembelajaran pada
kurikulum 2013 saat ini adalah Problem
Based Learning (PBL). Astuti & Iwan
(2013) menyatakan bahwa, lingkungan
belajar PBL sifatnya terbuka, ada proses
demokrasi dan peranan siswa yang aktif,
sedangkan norma di sekitar pelajaran adalah
norma inkuiri terbuka dan bebas
mengemukakan pendapat. Fitri (2011) juga
menyatakan bahwa, pembelajaran berbasis
masalah dirancang untuk membantu siswa
mengembangkan keterampilan berpikir,
menyelesaikan masalah, dan keterampilan
intelektualnya melalui berbagai situasi riil
atau situasi yang disimulasikan, menjadi
pelajar yang mandiri, dan otonom. Hal ini
tentunya dapat mempengaruhi hasil belajar
siswa.
Slameto (2003) menyatakan bahwa
hasil belajar siswa dipengaruhi faktor dalam
Page 4
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
8
diri siswa dan faktor yang datang dari luar
diri siswa atau faktor lingkungan. Darsono
(2007) menyatakan bahwa, keaktifan siswa
merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi hasil belajar siswa. Oleh
sebab itu, Problem Based Learning (PBL)
ini melatih siswa agar meningkatkan
kecakapan serta kemampuannya untuk
mendapatkan materi pembelajaran dengan
lebih baik. Dengan begitu hasil belajar siswa
yang rendah dapat terkurangi frekuensinya
karena tercapainya peningkatan kemampuan
dan hasil belajar siswa.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Model yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Penelitian Tindakan
Kelas (PTK). Prosedur penelitian terdiri dari
4 kegiatan yang dilakukan dalam siklus yang
berulang, yaitu perencanaan, tindakan,
pengamatan dan refleksi. Pada tahap
perencanaan, peneliti mengidentifikasi dan
menganalisis masalah, menetapkan latar
belakang, merumuskan masalah, membuat
rancangan tindakan seperti menyusun
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
sesuai strategi yang digunakan. Pada tahap
pelaksanaan tindakan, peneliti
mengimplementasi atau menerapkan isi
rancangan, yaitu menggunakan tindakan
kelas. Tahap observasi dilaksanakan
bersamaan dengan pelaksanaan tindakan.
Tahap refleksi merupakan kegiatan
mengutarakan yang telah dilakukan dengan
mengkaji secara menyeluruh tindakan yang
telah terkumpul, kemudian dilakukan
evaluasi untuk memperbaiki dan
menyempurnakan tindakan pada siklus
berikutnya.
Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA
Negeri 1 Tambun Utara, Jalan Raya Siamur,
Kecamatan Tambun Utara. Penelitian ini
dilakukan selama dua kali pertemuan.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI
IPA 1 tahun pelajaran 2019/2020 sebanyak
34 orang siswa dengan rincian 11 siswa laki-
laki dan 23 siswa perempuan.
Data dan Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian tindakan kelas
meliputi jenis data dan sumber data. Analisis
data yang digunakan adalah analisis data
kuantitatif dan kualitatif. Menurut Sugiyono
(2010), data kuantitatif adalah data yang
berbentuk angka, atau data kualitatif yang
diangkakan (skoring). Pengambilan data
dilakukan dengan teknik tes, yaitu ulangan
Page 5
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
9
harian pada siklus satu dan siklus dua. Data
kuantitatif dalam penelitian ini berupa data
hasil belajar siswa pada materi jaringan yang
diperoleh dari nilai ulangan harian yang
dilaksanakan pada siklus I dan II. Data yang
diperoleh berupa data nilai ulangan harian
siswa kelas XI pada tahun ajaran 2019/2020
setelah pembelajaran dengan model PBL.
Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang digunakan
untuk mengumpulkan data dalam penelitian
ini yaitu tes. Alat tes dalam penelitian ini
digunakan untuk memperoleh data hasil
belajar siswa setelah pembelajaran dengan
model PBL.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang dilakukan pada
siklus I dan II di kelas XI IPA 1 SMAN 1
Tambun Utara menunjukkan adanya
peningkatan hasil belajar siswa materi
jaringan dengan model PBL. Berdasarkan
hasil penelitian yang telah diperoleh peneliti,
hasil belajar siswa mengalami peningkatan
dari siklus I ke siklus II. Peningkatan hasil
belajar siswa dapat dilihat pada tabel I.
Tabel 1. Hasil Siklus I dan Siklus II
No. Keterangan Siklus I Siklus II
Kriteria
Ketuntasan
Minimal (KKM)
1. Nilai terendah 45 75
75 2. Nilai tertinggi 83 86
3. Nilai rata-rata 70.70 81.20
4. Rentang nilai 38 11
Berdasarkan data diatas dapat dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Nilai Siklus I dan Siklus II
Interval Frekuensi
Siklus I Siklus II
45 – 50 1 0
51 – 56 2 0
57 – 62 3 0
63 – 68 3 0
69 – 74 11 0
75 – 80 11 13
81 – 86 3 21
Page 6
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
10
Gambar 1. Frekuensi Nilai Ulangan Harian Jaringan pada Sikus I dan Siklus II
Tabel 3. Peningkatan Hasil Belajar Siswa
Hasil Belajar Siswa Siklus I Siklus II
Banyak Siswa Persentase (%) Banyak Siswa Persentase (%)
Nilai ≥ 75 (tuntas) 14 41.18 34 100
Nilai ˂ 75 (tidak tuntas) 20 58.82 0 0
Nilai rata-rata 70.70 81.20
Berdasarkan hasil analisis data yang
telah dilakukan, hasil belajar siswa pada
materi jaringan menunjukkan peningkatan
pada siklus II, dengan nilai rata-rata 81,20
lebih besar daripada nilai rata-rata pada
siklus I yaitu sebesar 70,70. Selanjutnya,
pada nilai terendah pada siklus I memiliki
nilai 45 sedangkan siklus II nilai terendah
sebesar 75 artinya terjadi peningkatan nilai
sebesar 30. Lalu, pada nilai tertinggi siklus I
memiliki nilai sebesar 83 tidak berbeda jauh
dengan nilai tertinggi siklus II sebesar 86.
Tabel 3 menunjukkan nilai rata-rata
hasil belajar siswa pada siklus I sebesar
70.70 dan belum mencapai indikator
keberhasilan yang telah ditentukan yaitu ≥
75. Persentase tuntas belajar pada siklus I
41.18% atau terdapat 14 siswa yang
memperoleh nilai ≥ 75, sedangkan 20 siswa
(85,82%) tidak tuntas belajar. Persentase
tuntas belajar belum mencapai indikator
keberhasilan yang ditentukan yaitu ≥ 75,
sehingga dapat dikatakan bahwa hasil
belajar siswa pada siklus I belum berhasil.
Nilai rata-rata pada siklus II mencapai
Page 7
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
11
81,20. Nilai rata-rata sudah mencapai
indikator keberhasilan yang ditentukan yaitu
≥ 75. Persentase tuntas belajar pada siklus II
mencapai 100% atau terdapat 34 siswa yang
sudah tuntas belajar. Berdasarkan hasil
belajar siswa pada siklus II, dapat
disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang
dilihat dari nilai rata-rata dan persentase
tuntas belajar dalam pembelajaran dengan
model problem based learning dapat
dikatakan sudah berhasil karena sudah
mencapai indikator keberhasilan yang
ditentukan.
Pada umumnya, materi jaringan pada
mata pelajaran biologi yang wajib diampu
oleh kelas XI MIPA memiliki kesulitan
tersendiri. Selain materi yang memerlukan
kemampuan imajinasi yang tinggi sebagai
bukti bahwa materi jaringan bersifat abstrak,
perlu adanya model pembelajaran agar siswa
dapat menerima sepenuhnya materi ini
karena jika salah menyampaikan materi
maka pemikiran siswa menjadi miskonsepsi.
Model pembelajaran problem based
learning cukup baik diterapkan untuk
mengatasi masalah ini. Hasil percobaan
membuktikan bahwa PBL mampu
meningkatkan hasil belajar siswa karena
model pembelajaran problem based learning
memberikan kemampuan kognitif yang
menghasilkan peningkatan pembelajaran
dan kemampuan untuk lebih baik
mempertahankan atau menerapkan
pengetahuan.
Dalam penerapannya, strategi pada
model pembelajaran problem based learning
melibatkan berbagai tahapan yang mampu
meningkatkan kognitif siswa, berbasis
masalah yang dekat dengan siswa sehingga
mampu melibatkan seluruh mental dan fisik,
syaraf, indera termasuk kecakapan sosial
dengan melakukan banyak hal sekaligus.
Pembelajaran dengan model problem based
learning juga dapat menimbulkan aktivitas
belajar siswa. Dalam proses pembelajaran,
siswa lebih terlibat aktif dalam
melaksanakan tugas belajarnya, lebih berani
bertanya, bekerjasama dalam kelompok
untuk memecahkan masalah, berani untuk
menanggapi atau memberi pendapat
terhadap hasil kerja siswa atau kelompok
lain, serta mempresentasikan hasil kerjanya
di depan kelas. Timbulnya aktivitas belajar
siswa dapat meningkatkan pemahamannya
terhadap materi dan menjadi lebih ingat
karena mengalami sendiri proses belajarnya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Slameto
(2003), bahwa penerimaan pelajaran jika
dengan aktivitas siswa sendiri, kesan itu
tidak akan berlalu begitu saja, tetapi
Page 8
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
12
dipikirkan, diolah kemudian dikeluarkan
lagi dalam bentuk yang berbeda. Siswa akan
bertanya, mengajukan pendapat, maupun
berdiskusi dengan guru, menjalankan
perintah, melaksanakan tugas, membuat
grafik, diagram, inti sari dari pelajaran yang
disajikan. Bila siswa menjadi partisipasi
yang aktif, maka ia memiliki ilmu atau
pengetahuan itu dengan baik
Berdasarkan pelaksanaan tindakan
kelas pada siklus I dan II, aktivitas belajar
siswa mengalami peningkatan. Hal ini sesuai
dengan Amir (2010), yang menyatakan
bahwa model problem based learning dapat
mendorong terjadinya perkembangan
kecakapan kerja tim dan kecakapan sosial
karena dilaksanakan dalam kelompok-
kelompok kecil. Peningkatan hasil dan
aktivitas belajar siswa juga disebabkan
karena peningkatan performansi guru dalam
pembelajaran dengan model problem based
learning. Performansi guru menjadi lebih
baik karena guru semakin baik dalam
menerapkan pembelajaran dengan model
problem based learning pada materi
jaringan.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa
model Problem Based Learning dapat
meningkatkan hasil belajar siswa dalam
pembelajaran biologi pada materi jaringan.
Peningkatan tersebut ditunjukkan oleh
peningkatan hasil belajar siswa pada siklus I
didapatkan nilai terendah pada siswa yaitu
sebesar 45 dan nilai tertinggi yaitu 83
dengan rata-rata nilai 70,7, sedangkan pada
siklus II didapatkan peningkatan nilai
dengan nilai terendah siswa sebesar 75 dan
nilai tertinggi sebesar 86 dengan rata-rata
nilai 81,2. Hal ini menunjukkan bahwa,
model PBL (Problem Based Learning) dapat
meningkatkan hasil belajar siswa pada
materi jaringan siswa kelas XI IPA 1 SMAN
1 Tambun Utara Tahun 2019/2020.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, M. T. (2010). Inovasi Pendidikan
melalui Problem Based Learning.
Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Arikunto, S. (2008). Dasar-Dasar Evaluasi
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Astuti, R.A. & Iwan, J. (2013). Peningkatan
Aktivitas dan Hasil Belajar melalui
PBL pada Siswa Kelas X SMA.
Lembaran Ilmu Kependidikan 42 (2):
93—100.
Page 9
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
13
Darsono, M. (2007). Belajar dan
Pembelajaran. Semarang: IKIP
Semarang.
Dickinson, G., and Jackson, J.K. (2008).
Planning for Success. How to Design
and Implement Project Base Science
Activities. The Science Teacher 2
(8): 29—32.
Fitri, A. (2011) Pengembangan Perangkat
Pembelajaran Statistika Dasar
Bermuatan Pendidikan Karakter
dengan Metode Pembelajaran
Berbasis Masalah. Jurnal Pp 1 (2)
Desember 2011, ISSN 2089-3639
Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Prenadamedia.
Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-faktor
yang Mempengaruhinya. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian
Kualitatif dan Kuantitatif, Dan
R&D. Bandung : Alfabeta.
Yance, R. (2013). Pengaruh Model Project
Based Learning (PBL) Terhadap
Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas Xi
Mipa Sma Negeri 1 Batipuh
Kabupaten Tanah Datar. Pillar of
Physics Education 1 (2): 53--54.
Page 10
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
14
EVALUASI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPE JIGSAW PADA MATA KULIAH BIOLOGI UMUM
Iing Dwi Lestari1*
1Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
*Cc: [email protected]
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw dan tingkat ketercapaian hasil belajar mahasiswa pada Mata Kuliah
Biologi Umum Semester I Tahun Ajaran 2019/2020 di Pendidikan Biologi Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan model
evaluasi kualitas dan output pembelajaran (Model EKOP). Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kuesioner, pedoman observasi, dan dokumentasi. Hasil analisis diperoleh
tingkat keberhasilan pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berkategori sangat
baik dengan persentase 88% dan tingkat ketercapaian hasil belajar mahasiswa berkategori baik
dengan persentase 78%.
Kata kunci: Biologi, Evaluasi, Hasil Belajar, Jigsaw
PENDAHULUAN
Pemerintah dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia No. 65 Tahun 2013 tentang
standar proses pendidikan dasar dan
menengah menjelaskan bahwa dalam
mengimplementasikan proses pembelajaran
kurikulum 2013 pada satuan pendidikan
harus diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menantang,
memotivasi,menyenangkan siswa untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang
yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan minat, bakat, dan
perkembangan fisik serta psikologis siswa.
Hal ini sejalan denganProgram
StudiPendidikan Biologi dalam
menghasilkan lulusan yang mampu
memahami konsep teoritis pendidikan
biologi dan mampu merancang
pembelajaran biologi dengan memanfaatkan
media berbasis sains, lingkungan, teknologi,
dan masyarakat. Peran dosen sebagai
pendidik sangatlah pentinggunamenggali
dan mengembangkan kemampuan
mahasiswacalon guru biologi agar memiliki
kompetensi lulusan yang sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional. Dosen tidak
hanya mengajar untuk mentransfer ilmu
pengetahuan tetapi juga harus memberikan
contoh bagaimana cara guru mengelola
kelas dalam kegiatan belajar mengajarnya.
Salah satu carayang dapat dilakukan oleh
dosen guna mengembangkan kompetensi
Page 11
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
15
mahasiswa calon guru biologi adalah dengan
melibatkan mahasiswa secara aktif dalam
proses pembelajaran saat perkuliahan
berlangsung. Keterlibatan mahasiswa secara
langsung mampu mengembangkan
kompetensi-kompetensi yang diinginkan
oleh kurikulum. Selain itu dosen
memberikan contoh bagaimana mengelola
kelas selama kegiatan belajar mengajar
dengan melaksanakan dan menerapkan
model pembelajaran kooperatif.
Dosen Mata Kuliah Biologi Umum
memilih melaksanakan dan menerapkan
model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
karena mahasiswa dapat mengembangkan
kemampuan berpikir kritis melalui kegiatan
diskusi dan kerja kelompok sehingga
mahasiswa dapat aktif selama proses
pembelajaran/perkuliahan. Selain itu model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini
mampu memfasilitasi untuk berkembangnya
kompetensi mahasiswa seperti kemampuan
berkomunikasi, kemandirian dalam belajar,
bertanggung jawab, dan memberikan
prestasi belajar mahasiswa yang lebih baik.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
menyatakan bahwa penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat
mempengaruhi hasil belajar peserta didik
(Naibaho, 2014 dan Nurfitriyanti, 2017).
Berdasarkan observasi dosen Mata
Kuliah Biologi Umum telah melaksanakan
model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
ini sejak tahun 2018. Namun hasil
pelaksanaan dan penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini
belum terukur. Sehingga permasalahan atau
hambatan dosen dan mahasiswa dalam
pelaksanaan dan penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini
belum diketahui. Jika pelaksanaan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini tidak
sesuai dengan konsep dan tidak maksimal
maka akan berdampak pada tidak
tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh sebab
itu evaluasi perlu dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw telah
dilaksanakan, apakah ditemukan hambatan
atau permasalahan, bagaimana
ketercapaiannya dengan tujuan
pembelajaran dan hasil belajar mahasiswa,
serta keberlanjutan dari pelaksanaan dan
penggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw ini.
Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui tingkat
keberhasilan pelaksanaan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan
tingkat ketercapaian hasil belajar mahasiswa
pada Mata Kuliah Biologi Umum Semester I
Page 12
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
16
Tahun Ajaran 2019/2020 di Pendidikan
Biologi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
METODE
Metode penelitian yang digunakan
adalah metode penelitian evaluatif.
Penelitian evaluatif merupakan penelitian
yang dilakukan dan dilaksanakan untuk
mengetahui kualitas dari keterlaksanaan dari
suatu kegiatan pengumpulan data atau
informasi untuk dibandingkan dengan
kriteria, kemudian diambil kesimpulan.
Model evaluasi yang digunakan adalah
model EKOP (evaluasi kualitas dan output
pembelajaran). Model EKOP adalah
modifikasi dan kombinasi model evaluasi
CIPP dan Kirkpatrick yang dilakukan
dengan cara mengevaluasi pembelajaran di
kelas hanya pada tahap proses dan output
saja(Susanto dan Lamijan, 2014).
Objek evaluasi pada penelitian ini
adalah komponen proses dan produk tentang
keterlaksanaan pembelajaran yang
digunakan yaitu model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw pada Mata Kuliah
Biologi Umum. Subjek penelitian ini adalah
mahasiswa kelas IC semester 1 tahun ajaran
2019/2020 yang berjumlah 28 orang.
Metode pengumpulan data yang
dilakukan adalah kuesioner/angket,
observasi, dan dokumentasi. Angket
merupakan kuesioner tertutup dengan
penskoran menggunakan skala likert,
observasi diukur pada saat pengamatan
perkuliahan dengan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw dengan skala likert,
dan dokumentasi Rencana Satuan
Perkuliahan (RPS).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat keberhasilan pelaksanaan
model pembelajaran tipe jigsaw pada
perkuliahan Biologi Umum menunjukkan
hasil yang sangat baik dengan nilai
persentase 88%. Hal ini diperoleh dari hasil
analisis instrumenpanduan observasi tentang
kegiatan dosen dalam pelaksanaan model
pembelajaran jigsaw di kelas. Aktivitas
dosen dalam melaksanakan dan menerapkan
model pembelajaran jigsaw sesuai dengan
prosedur dan sintaknya. Berdasarkan hasil
observasi juga diperoleh bahwa aktivitas
kegiatan mahasiswa dalam pelaksanaan
model pembelajaran jigsaw adalah baik
dengan persentase 79%. Mahasiswa
mengerjakan tugas dengan baik, berdiskusi
dan bekerja sama dengan anggota kelompok,
dan bertanggung jawab akan tugasnya dalam
kelompok.
Hasil analisis data yang berasal dari
instrumen angket tentang keberhasilan
pelaksanaan model pembelajaran jigsaw
Page 13
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
17
sebesar 81% dengan kategori sangat baik.
Anget yang diisi oleh mahasiswa ini terkait
dengan aktivitas penerapan model
pembelajaran jigsaw yang dilakukan oleh
dosen. Menurut mahasiswa tahap
pendahuluan dalam perkuliahan sudah
terlaksana dengan baik dengan perolehan
persentase76% dengan kategori baik. Hal ini
karena dosen telah mampu mempersiapkan
mahasiswa belajar, memberikan apersepsi
dan motivasi, serta menyampaikantujuan
pembelajaran. Sehingga mahasiswa merasa
benar-benar siap untuk belajar pada
perkuliahan biologi umum. Selain itu
mahasiswa cukup termotivasi karena
memahami tujuan pembelajaran dalam
perkuliahan dan mengerti tentang
topik/materi yang akan dibahas dalam
perkuliahan biologi umum. Tahap kegiatan
inti dalam perkuliahan sudah terlaksana
dengan persentase 84% dengan kategori
sangat baik. Pada kegiatan inti ini dosen
telah membagi kelompok mahasiswa
menjadi kelompok asal secara acak dan
heterogen berdasarkan kemampuan masing-
masing mahasiswa. Saat diskusi pada
kelompok ahli, dosen memberikan
bimbingan kelompok bekerja dan belajar.
Sehingga mahasiswa dapat menyelesaikan
tugas dengan baik dan benar. Selain itu saat
terjadi diskusi kelompok asal, dosen juga
memberikan arahan dan bimbingannya
sehingga setiap anggota kelompok dapat
berdiskusi, saling memberikan informasi,
dan mencatat materi yang penting. Dosen
memberikan kesempatan kepada salah satu
kelompok untuk melakukan presentasi di
depan kelas dan dosen memberikan
penekanan-penekanan tertentu terkait materi
yang penting yang harus dikuasai oleh
mahasiswa. Kesempatan untuk bertanya dan
menjawab selama presentasi kelas juga telah
dilakukan oleh dosen, sehingga mahasiswa
merasa terpuaskan dalam belajarnya. Tahap
akhir dalam perkuliahan adalah membuat
kesimpulan, mengevaluasi, dan memberikan
penghargaan kepada kelompok yang telah
melaksanakan diskusi dengan baik. Pada
tahan ini memperoleh persentase sebesar
79% dengan kategori baik. Dosen
memberikan kesempatan kepada mahasiswa
untuk membuat kesimpulan diakhir
perkuliahan. Dosen juga mengukur
pemahaman mahasiswa tentang materi/topik
perkuliahan dengan melaksanakan postes.
Setelah itu dosen memberikan penghargaan
berupa tepuk tangan bagi kelompok yang
aktif berdiskusi selama proses perkuliahan
berlangsung.
Hasil analisis berdasarkan data
dokumentasi terhadap Rencana
Pembelajaran Semester (RPS) yang telah
Page 14
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
18
disusun dan dikembangkan oleh dosen
dinyatakan sangat baik dengan persentase
98%. Hal ini dikarenakan komponen-
komponen dalam RPS yang sudah disusun
oleh dosen telah tercantum sesuai dengan
standar yang telah ditentukan dan telah
menggambarkan secara detail pelaksanaan
model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
di kelas yang dilakukan oleh dosen dan
mahasiswa. Komponen RPS dimulai dengan
pencantuman identitas mata kuliah,
deskripsi mata kuliah, capaian pembelajaran
mata kuliah, tujuan pembelajaran, materi
ajar, metode pembelajaran, langkah-langkah
pembelajaran, media, sumber belajar, dan
penilaian.
Tingkat ketercapaian hasil belajar
mahasiswa dengan pelaksanaan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menurut
mahasiswa mampu meningkatkan
pemahaman mereka terkait materi/topik
yang dipelajari di kelas. Hal ini didasari oleh
hasil analisis angket terkait adakah
peningkatan hasil belajar mahasiswa
terhadap penerapan model pembelajaran
jigsaw. Hasil analisisnya berkategori baik
dengan nilai persentase sebesar 78%. Pada
pertemuan pertama, dosen melakukan pretes
diawal pembelajaran diperoleh nilai rata-rata
kelas sebesar 55 dan setelah dilakukan
pembelajaran dengan menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, rata-
rata nilai postes mahasiswa sebesar 73.Hasil
pretes pada pertemuan pertama diperoleh
hanya 3 mahasiswa yang tuntas dari 28
orang mahasiswa karena memperoleh nilai
diatas 75, sedangkan setelah postes
diperoleh 14 mahasiswa yang tuntas.
Sedangkan pada pertemuan ke tujuh, dosen
melakukan pretes lagi diperoleh nilai rata-
rata kelas 65 dan setelah menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
dilakukan postes diperoleh nilai rata-rata
kelas sebesar 82. Hasil pretes pada
pertemuan ketujuh diperoleh 8 orang
mahasiswayang tuntas karena memperoleh
nilai di atas 75, sedangkan hasil postes
diperoleh 26 orang mahasiswayang tuntas.
Hal ini menunjukkan bahwa penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
dapat memberikan hasil belajar yang baik
bagi mahasiswa.
Menurut Arikunto (2013) terdapat
tiga komponen yang saling berhubungan
erat dalam kegiatan evaluasi yaitu tujuan
pembelajaran, kegiatan belajar mengajar,
dan penilaian. Tujuan
pembelajaran/perkuliahan yang jelas telah
tercantum dalam RPS menyebabkan
mahasiswa dapat mengetahui apa yang harus
mereka capai selama perkuliahan. Kegiatan
belajar mengajar menggunakanmodel
Page 15
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
19
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada
perkuliahan telah dilaksanakan dengan baik
yang menunjukkan aktivitas dosen dan
mahasiswa dengan jelas. Dosen sebagai
fasilitator dalam perkuliahan. Mahasiswa
yang aktif belajar dalam berbagi
pengalaman ataupun pendapat kepada
mahasiswa lain sehingga mengembangkan
rasa kebersamaan dan kerja sama antar
mahasiswa di dalam kelompoknya, serta
rasa tanggung jawab dan kemadirian dalam
belajarnya. Selain itupenerapan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
merupakan model pembelajaran yang
manarik dan menyenangkan (Zaini, 2008).
Proses penilaian hasil belajar mahasiswa
yang jelas, sehingga mahasiswa mampu
mengukur ketercapaiannya dalam belajar.
Dengan demikian penelitian ini
menunjukkan bahwa hasil evaluasi proses
perkuliahan biologi umum dapat dilanjutkan
karena memberi dampak yang baik bagi
dosen dan mahasiswa.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan
pelaksanaan model pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw berkategori sangat baik dengan
persentase 88% dan tingkat ketercapaian
hasil belajar mahasiswa berkategori baik
dengan persentase 78%. Dengan demikian
pelaksanaan penerapan model pembelajaran
jigsaw dapat dilanjutkan dan disarankan
diterapkan pada mata kuliah lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2013. Dasar-dasar Evaluasi
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Bhakti, Y.B. 2017. Evaluasi Program Model
CIPP Pada Proses Pembelajaran IPA.
Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika dan
Riset Ilmiah. Vol. 1 No. 2.
Nurfitriyanti, Maya. 2017. Pengaruh Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw Terhadap Hasil Belajar
Matematika ditinjau Dari
Kecerdasan Emosional. Jurnal
Formatif Vol. 7 No. 2 pp 153-162.
Naibaho, David G.T. 2014. Penerapan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw Untuk MeningkatkanHasil
Belajar Fisika Pada Kosep Zat di
Kelas VII SMP Negeri 3 Hinai
Tahun Ajaran 2010/2011. Jurnal
Pendidikan Fisika. Vol. 3 No. 1
Susanto, Redita Dhony dan Lamijan Hadi S.
2014. Evaluasi Implementasi Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw untuk Mata Pelajaran Biologi
Pada Kelas XI IPA di SMA Negeri 1
Page 16
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
20
Jombang. Jurnal Evaluasi Vol. 1 No.
1.
Zaini, Hisyam, dkk. 2008. Strategi
Pembelajaran Aktif. Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani.
Page 17
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
21
IDENTIFIKASI TELUR CACING PARASIT
PADA FESES HEWAN TERNAK DI PROPINSI BANTEN
Hadi Susilo1*
, Nurullah Asep Abdilah1, Kiki Rizki Amelia
1
1Universitas Mathla’ul Anwar
*Cc: [email protected]
ABSTRAK
Hewan ternak mamalia seperti: sapi, kambing, kerbau dan kelompok unggas seperti: ayam
dan bebek memiliki peran penting, salah satunya untuk kebutuhan pangan. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahuidan mengidentifikasi telur cacing parasit pada feses hewan
ternak Di Propinsi Banten. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
flotasi dan sedimentasi dengan menggunakan sampel feses hewan ternak (sapi, domba dan
kerbau). Hasil penelitian menunjukan bahwa hewan ternak di Provinsi Banten terinfeksi
Nematoda, Trematoda dan Cestoda pada fesesnya. Telur cacing parasit yang ditemukan
sebanyak 9 jenis, yaitu: Haemochus, Trichostronylus, Toxocara, Cooperia,Trichiuris
trichiura, Strongyloid sp.,Moniezia sp.,Fasciola sp.dan Paramphistomum sp. Prevalensi
tertinggi dan intensitas tertinggi dari jenis Haemochus. Infeksi pada ternak juga dapat terjadi
secara tunggal atau campuran (terdiri atas dua atau lebih cacing parasit). Prevalensi tertinggi
adalah infeksi tunggal Nematoda 56,25% dan infeksi campuran (kombinasi Trematoda dan
Nematoda) sebanyak 28,75%. Tingkat prevalensi dan intensitas telur cacing parasit di hewan
ternak di Provinsi Banten tergolong rendah.
Kata Kunci: identifikasi parasit, feses, telur cacing, hewan ternak
PENDAHULUAN
Salah satu sektor yang berperan
penting bagi kehidupan masyarakat
Indonesia adalah sektor peternakan.
Hewan ternak mamalia, seperti: sapi,
kambing, kerbau dan kelompok unggas,
seperti: ayam dan bebek memiliki peran
penting untuk kebutuhan pangan. Faktor
yang menyebabkan penurunan jumlah
produksi ternak salah satunya yaitu
gangguan kesehatan. Gangguan kesehatan
biasanya disebabkan oleh: bakteri, virus,
dan parasit (Pradana dkk, 2015).
Berdasarkan survei di beberapa
pasar hewan di Indonesia, menunjukkan
bahwa 90% hewan ternak sapi dan kerbau
mengidap penyakit cacingan, yaitu: cacing
hati (Fasciola hepatica),cacinggelang
(Neoascaris vitulorum) dan cacing
lambung(Haemonchuscontortus).Penyebab
penyakit cacingan antara lain: konsumsi
hijauan yang masih berembun dan
tercemar vektor pembawa cacing (Nofyan
Page 18
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
22
dkk, 2010). Larva dan telur cacing Kelas Trematoda (Gambar 1).
Gambar 1. Larva dan telur cacing Kelas Trematoda; A. Schistosoma sp.jantan dan betina B.
Paramphistomum sp.C. Fasciola sp.,D. Telur Schistosoma sp.,E. Telur Paramphistomum
sp.,F. Telur Fasciola sp. (Novese et al., 2013).
Infeksi cacing parasit usus pada
sapi, domba, dan kerbau akan mengurangi
fungsi kemampuan mukosa usus dalam
transpor glukosa dan metabolit. Apabila
ketidakseimbangan ini cukup besar akan
menyebabkan menurunnya nafsu makan,
dan tingginya kadar nitrogen di dalam tinja
yang dibuang karena tidak dipergunakan.
Akibatnya keterlambatan pertumbuhan
akan terjadi, terutama pada ternak muda
pada masa pertumbuhan. Oleh karena itu
infeksi cacing parasit usus akan bersifat
patogenik, terutama jika bersamaan
dengan kondisi pakan ternak yang buruk
(Muthiadin dkk., 2018). Tujuan dari
penelitian adalah untuk mengetahui dan
mengidentifikasi telur cacing parasit pada
feses hewan ternak Di Provinsi Banten.
METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitisn ini
adalah: air, larutan gula jenuh, Methylene
blue dan feses segar atau dalam pengawet
formalin (sapi, domba, dan kerbau).
Metode
1. Pengujian Apung
Sampel feses ditimbang seberat 3
gpada wadah yg sudah diberi label
sesuai nomor sampel, ditambahkan
larutan gula jenuh sebanyak 10 ml,
di aduk sampai homogen. Sampel
dituang kedalam gelas dan
disaring sebanyak 3 kali,
kemudian dituang kedalam tabung
reaksi. Larutan apisan feses teratas
diambil dengan pipet pada penutup
kaca, diamati dibawah mikroskop
dengan perbesaran 100 kali.
Page 19
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
23
2. Pengujian Sedimentasi
Sampel feses ditimbang seberat 3
g pada wadah yang sudah diberi
label sesuai nomor sampel, diberi
larutan gula jenuh sebanyak 10 ml,
di aduk sampai homogen. Sampel
dituang kedalam gelas dan
disaring sebanyak 3 kali, dituang
kedalam tabung reaksi, ditunggu
hingga terbentuk endapan pada
larutan feses. Air larutan feses
dibuang hingga tersisa endapan.
Endapan larutan feses diberi air
sebanyak 3x pengulangan dengan
masing-masing waktu selama 10
menit/pengulangan. Larutan feses
dituang kedalam cawan petri
ditetesi dengan 1-2 tetes metil
biru, diamati dibawah mikroskop
perbesaran 100 kali.
Analisis Data
Data jenis dan jumlah telur/larva cacing
parasit dianalisis secara
deskriptifkuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi telur cacing parasit
yang ditemukan berbeda-beda. Hasil
pengamatan cacing parasit pada ternak
(sapi, domba, dan kerbau) (Gambar 1).
Total sampel feses yang diperiksa
berasal dari 80 ekor ternak (sapi,
domba, dan kerbau), dari jumlah ternak
yang diperiksa, menunjukkan bahwa
sejumlah sampel terinfeksi telur
cacing parasit.
Fasciola hepatica Paramphistomums
Moniezia sp. Trichuris trichiura
Gambar 1. Pengamatan Cacing Parasit Pada Fese Ternak (Perbesaran 10x)
Page 20
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
24
Nilai prevalensi tertinggi
ditemukan pada Haemochus (100%),
sedangkan intensitas tertinggi pada
Haemochus (32,11ind/ ekor) (Tabel 1).
Tabel 1. Identififikasi dan Prevalensi (%) dan Intensitas Telur Cacing Parasit yang
Ditemukan Pada Sampel Feses
Jenis Telur
Ʃ
Sampel
Ternak
(n)(ekor)
Ʃ Tenak
terinfeksi
(ekor)
Prevalensi
(%) N
Intensitas
(Ind/ ekor)
Paramphistomums
N = 80
15 18.75 68 4.53
Fasciola hepatica 19 23.75 25 1.31
Toxocara 3 3.75 333 111
Strongyloid 31 38.75 373 12.03
Haemochus 80** 100** 2569** 32.11**
Trichostronylus 5 6.25 7 1.4
Trichuris
trichiura
5 6.25 7 1.4
Cooperia 5 6.25 7 1.4
Moniezia sp. 9 11.25 30 3.33
Infeksi telur parasit cacing
terbanyak adalah Nematoda. Prevalensi
tertinggi yaitu: Ascaris sp. infertil
sedangkan intensitas tertinggi
yaitu:Haemochus.Terdapat dua
kombinasi infeksi yaitu tunggal dan
campuran yang ditemukan. Namun
yang tertinggi adalah infeksi tunggal
Nematoda diikuti infeksi campuran
Trematoda dan Cestoda (Tabel 2).
Tabel 2. Identififikasi dan Prevalensi Infeksi Telur Cacing Parasit Tunggal dan Campuran
Jenis Parasit
Ʃ Sampel
Ternak (n)
(ekor)
Ʃ Sampel
Terinfeksi
(ekor)
Prevalensi
(%)
Trematoda + Cestoda 0 0
Trematoda+ Nematoda 23 28.75
Page 21
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
25
Jenis Parasit
Ʃ Sampel
Ternak (n)
(ekor)
Ʃ Sampel
Terinfeksi
(ekor)
Prevalensi
(%)
Cestoda+ Nematoda 6 7.5
Trematoda + Cestoda +
Nematoda 80 6 7.5
Nematoda 45 56.25
Trematoda 0 0
Cestoda 0 0
Prevalensi tertinggi dari infeksi
telur cacing parasit adalah Haemochus
terdapat pada semua sampel dengan
jumlah pada tiap sampel yang
diperiksa hampir merata (Tabel 2).
Menurut Wakelin (1996), infeksi yang
terjadi mencapai seluruh sampel
dikarenakan serangan Haemochus
merupakan serangan alami yang
apabila ditemukan dalam jumlah kecil
merupakan hewan normal yang berada
di tubuh inang. Menurut Herdayani
(2011), infeksi telur pada sapi potong
berkisar antara 0-240 butir per gram
feses atau derajat infeksinya ringan
belum perlu dilakukan pengobatan.
Kisaran infeksi rendah atau ringan
belum terlalu menimbulkan gangguan
kesehatan dan banyak mempengaruhi
produktifitas. Prevalensi terendah yang
ditemukan jenis telur Haemochus
hanya menyerang 3 ekor ternak (sapi,
domba, dan kerbau). Walaupun
prevalensi tersebut rendah, namun
jumlah terinfeksi cukup banyak yaitu
32,11 ind/ekor (Tabel 2).
Ternak (sapi, domba, dan
kerbau)yang terinfeksi cacing di
Provinsi Banten disebabkan karena
lingkungan kandang yang kotor,
lembap, dan adanya genangan air pada
selokan di sekitar kandang. Hal ini
menyebabkan larva cacing infektif
berkembang menjadi metaserkaria
kemudian mengontaminasi pakan dan
air minum yang dikonsumsi oleh
ternak (sapi, domba, dan kerbau).
Waktu yang dibutuhkan untuk
perkembangan telur menjadi larva
infektif tergantung kondisi lingkungan,
apabila kondisi kelembaban tinggi dan
temperatur hangat maka
perkembangannya membutuhkan
sekitar 7˗˗10 hari.
Intensitas terendah terjadi pada
jenis telur Fasciola hepatica sebesar.
Page 22
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
26
F. hepatica merupakan cacing
Trematoda yang mengalami siklus
hidup yang cukup panjang.Cacing F.
hepatica bersifat zoonosis (dapat
menular dan menginfeksi dari ternak
ke manusia baik mekemudiani ingesti
atau kulit). Telur cacing yang keluar
bersama feses akan berkembang
menjadi telur berembrio dalam waktu
9-15 hari jika menemukan
air/genangan dengan suhu sesuai antara
23-26 ºC
Fasciola dapat menginfeksi
inang melalui makanan. Inang yang
memakan rerumputan basah yang
mengandung telur Fasciola yang
terbawa oleh siput Lymnaea sp. Siput
tersebut membawa serkaria dari telur
yang tertelan bersama makanan.
Infeksi dapat pula terjadi akibat sapi
yang meminum air yang bersumber
dari aliran air yang mengandung telur
yang terbawa oleh siput tersebut.
Setelah serkaria menemukan inang,
serkaria tersebut menuju usus halus
kemudian menjadi mirasidium yang
akan berkembang dan menuju hati
inang.
Wiliams & Loyacano (2001)
menyatakan, vegetasi yang menjadi
makanan dan tempat berlindung induk
semang, baik definitif atau intermediet
berpengaruh besar pada populasi
parasit, termasuk air. Untuk mencegah
terjadinya perkembangan dan
penyebaran cacing trematoda
sebaiknya saluran dan kubangan air
atau tanaman yang bisa dijadikan
vegetasi rutin dibersihkan agar siklus
hidupnya dapat terputus dan tidak
berkembang.
Ternak (sapi, domba, dan
kerbau) dapat terinfeksi cacing secara
tunggal (terdiri dari satu jenis cacing)
atau terinfeksi campuran (terdiri atas
dua atau lebih cacing) (Tabel 1).
Infeksi tunggal oleh Nematoda dengan
prevalensi tertinggi. Infeksi campuran
yang terjadi sebanyak 3 kombinasi
yaitu: kombinasi infeksi Trematoda
dan Nematoda, Cestoda dan Nematoda
serta Trematoda, Nematoda dan
Cestoda. Berdasarkan jenis cacing
yang ditemukan dalam pemeriksaan
sampel feses, seharusnya dapat terjadi
dua jenis campuran infeksi (Trematoda
dan Nematoda, Trematoda dan
Cestoda, Cestoda dan Nematoda).
Namun pada hasil pemeriksaan hanya
terjadi satu infeksi tunggal dan 2
bentuk infeksi campuran.
Infeksi tunggal cacing
Paramphistomum sp. banyak
ditemukan terutama pada ternak (sapi,
domba, dan kerbau) yang berada di
Provinsi Banten. Hal ini disebabkan
Page 23
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
27
karena di sekitar kandang terdapat
genangan air yang kotor. Genangan air
tersebut menyebabkan berkembangnya
cacing Paramphistomum sp. yang
membutuhkan inang perantara berupa
siput yang banyak terdapat di
genangan-genangan air.
Menurut Nugraheni dkk.
(2015), cacing Paramphistomum sp.
dari kelas trematoda memerlukan siput
sebagai hospes perantara, kemudian
infestasi pada hospes definitif terjadi
pada saat ternak memakan rumput atau
meminum air yang mengandung
metaserkaria cacing tersebut. Cacing
Paramphistomum sp. merupakan
cacing yang berasal dari kelas
trematoda dengan persentase tertinggi
kedua yang ditemukan pada sapi perah
di Provinsi Banten. Cacing ini
memiliki siklus hidup membutuhkan
inang perantara untuk dapat
berkembang. Penyebab tingginya
persentase cacing Paramphistomum sp.
adalah cacing berkembang di dalam
rumen kemudian menjadi dewasa dan
menggigit mukosa rumen dan dapat
bertahan hidup lama. Horak (1967)
menambahkan bahwa cacing dewasa
Paramphistomum sp. bertelur kira-kira
75 butir telur/ekor/hari
Infesksi tunggal cacing
Haemonchus sp. yang terjadi di
Provinsi Banten disebabkan oleh siklus
hidupnya bersifat langsung, tidak
membutuhkan inang perantara. Telur
dikeluarkan oleh sapi bersama-sama
pengeluaran feses kemudian pada
kondisi yang sesuai di luar tubuh
hospes atau inang, telur menetas dan
menjadi larva. Larva infektif
menempel pada rumput-rumputan dan
teringesti oleh ternak, selanjutnya larva
akan dewasa di abomasums (Whittier
dkk., 2003).
Cacing Haemonchus sp.
merupakan cacing dengan persentase
tertinggi pertama di Provinsi Banten
dan berasal dari kelas nematoda.
Cacing ini memiliki siklus hidup
secara langsung, tidak membutuhkan
inang perantara. Cacing dewasa
bertelur 5.000˗˗10.000 butir setiap hari
di dalam abomasum ternak ruminansia.
Perkembangan telur ini dapat
dikatakan cukup banyak pada setiap
harinya sehingga menyebabkan cacing
Haemonchus sp. paling banyak
ditemukan. Abomasum termasuk
bagian perut besar, sehingga
memungkinkan telur cacing
Haemonchus sp. untuk berkembang
lebih banyak. Abomasum merupakan
organ dalam sistem pencernaan yang
mencerna makanan secara kimiawi
Page 24
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
28
dengan bantuan enzim-enzim
pencernaan.
Infeksi cacing tunggal
Cooperia sp. ditemukan pada ternak
(sapi, domba, dan kerbau) . Hal ini
disebabkan karena umur sapi yang
masih terbilang muda sehingga mudah
terinfestasi telur Cooperia sp..
Penyakit endoparasit terutama cacing
menyerang hewan pada usia muda
(kurang dari 1 tahun). Infeksi cacing
tunggal Cooperia sp. juga disebabkan
karena kandang terletak di sekitar
kebun dengan berbagai macam
tumbuhan. Menurut Nugraheni dkk.
(2015), lingkungan yang terdapat
semak yang lebat mendukung
ditemukan dan berkembangnya vektor-
vektor parasit.
Menurut Lavine (1994), infeksi
campuran atau tunggal sering terjadi
pada sapi, sehingga sulit untuk
mengetahui pengaruh khusus yang
ditimbulkan. Mengingat infeksi yang
terjadi biasanya dilakukan oleh
bermacam-macam jenis cacing baik
pada abomasum, usus dan organ lain,
maka pengaruhnya berupa kombinasi
atau campuran akibat dari parasit yang
ada.Kerugian yang ditimbulkan oleh
cacing-cacing parasit secara umum
mengganggu sistem pencernaan,
menyebabkan diare, enteritis (inflamasi
usus), pendarahan, gastritis, anemia
akibat pecahnya pembuluh darah pada
usus, penurunan berat badan yang
drastis dan dehidrasi.Efek paling
merusak cacing adalah: akumulasi
cairan di abdomen, thoraks dan
jaringan submandibular (bottle jaw)
(Nofyan et al., 2010).
Untuk mengurangi
perkembangan populasi cacing, perlu
dilakukan pemantauan rutin setiap 2
atau 3 bulan sekali kemudian
dilakukan pemeriksaan feses. Sehingga
dapat diketahui langkah pengobatan
dan antisipasi yang harus dilakukan.
Tingginya angka infeksi pada ternak
anakan dapat diantisipasi dengan
pemberian antihelmintik secara berkala
setiap 3 bulan sekali. Pemberian
anthelmintik juga dapat diberikan sejak
ternak masih pedet (usia ±7 hari) untuk
menekan angka perkembangan
populasi cacing dan tindakan
pencegahan. Pencegahan paling utama
adalah sanitasi kandang juga
lingkungan, dengan menjaga drainase
kandang dan lingkungan agar tidak
lembab dan berkubang, membersihkan
tanaman dan rumput liar di sekitar
kandang juga diberikan desinfektan
kandang. Menghindari tempat
penggembalaan berkubang karena
Page 25
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
29
larva cacing trematoda dominan pada
daerah basah.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis diatas, dapat
disimpulkan yaitu: ternak di Provinsi
Banten terinfeksi Nematoda, Trematoda
dan Cestoda pada fesesnya. Telur cacing
parasit yang ditemukan sebanyak 9 jenis,
yaitu: Haemochus, Trichostronylus,
Toxocara, Cooperia, Trichiuris Trichiura,
Strongyloid sp., Moniezia sp., Fasciola sp.
dan Paramphistomum sp. Prevalensi
tertinggi dan intensitas tertinggi dari jenis
Haemochus. Infeksi pada ternak juga dapat
terjadi secara tunggal atau campuran
(terdiri atas dua atau lebih cacing parasit).
Prevalensi tertinggi adalah infeksi tunggal
Nematoda 56,25% dan infeksi campuran
(Trematoda+ Nematoda) sebanyak
28,75%. Tingkat prevalensi dan intensitas
telur cacing parasit di ternak di Provinsi
Banten tergolong rendah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan
kepada Unit Pelaksana Teknis Daerah
(UPTD) Pengujian dan Pemeriksaan
Veteriner Dinas Pertanian Propinsi Banten.
DAFTAR PUSTAKA
Herdayani, F. R. 2011. Prevalensi
Helminthiasis Saluran Pencernaan
pada Sapi Potong di Dukuh
Jengglong Kecamatan Wangir
Kabupaten Malang. Artikel Ilmiah.
Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. P
Muthiadin C., Aziz IR, dan Firdayana.
2018.Identifikasi Dan Prevalensi
Telur Cacing Parasit Pada Feses
Sapi (Bos sp.) Yang Digembalakan
Di Tempat Pembuangan Akhir
Sampah (Tpas) Tamangapa
Makassar.BIOTROPIC The Journal
of Tropical biology. 2(1): 1-7.
Nofyan, E, Kamal M, dan Rosdiana I.
2010. Identitas Jenis Telur Cacing
Parasit Usus Pada Ternak Sapi
(Bos sp) dan Kerbau (Bubalus sp)
Di Rumah Potong Hewan
Palembang. Jurnal Penelitian Sains.
6(10):6-11.
Nugraheni, N., M. T. Eulis, dan H. A.
Yuli. 2015. Identifikasi cacing
endoparasit pada feses sapi potong
sebelum dan sesudah proses
pembentukan biogas digester
fixeddome. Student e-Journals. 4 (3)
: 1-8.
Lavine. 1994. Buku Pelajaran
Parasitologi Veteriner.
Diterjemahkan oleh Prof. Dr. Gatut
Ashadi. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Pradana D.P., Haryono T., Ambarwati
R.. 2015. Identifikasi Cacing
Endoparasit pada Feses Ayam
Pedaging dan Ayam Petelur.
Lentera Bio. 4(2) : 119–123.
Wakelin. 1996. How Parasitic Infection
are Controlled. 2nd Edition.
Cambridge University Press.
Syndicate Of The University Of
Cambridge
Wiliams JC and Loyacano AF. 2001.
Internal Parasites of Cattle in
Lousiana and others Southern
States. LSU Agricultural Center
Research Studies. United States.
Page 26
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
30
Whittier, W. D., A. M. Zajac, and S. M.
Umberger. 2003. Control of
Internal Parasites in Sheep.
Virginia Cooperative Extension.
Blacksburg.
Page 27
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
43
PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI JARINGAN
HEWAN MELALUI DIGITAL BOOK TERHADAP SISWA KELAS XI IPA 1
SMAN NEGERI 3 BOGOR TAHUN AJARAN 2019/2020
Devi Rozalina1*
1SMA Negeri 3 Bogor
*Cc: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada
materi jaringan hewan melalui digital book. Sampel yang digunakan yaitu kelas XI IPA 1 SMAN
3 Bogor tahun ajaran 2019/2020 sebanyak 36 siswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian tindakan kelas yang terdiri dari dua siklus yaitu siklus I dan siklus II.
Berdasarkan hasil analsis data pada siklus I memperoleh nilai rata-rata keseluruhan sebesar
78,58, dalam siklus I masih terdapat siswa yang memperoleh nilai dibawah KKM sehingga dari
hasil refleksi guru perlu dilakukan siklus II untuk memperbaiki siklus I. Hasil analisis data pada
siklus II memperoleh nilai-rata-rata keseluruhan sebesar 82,06, dalam siklus II ini seluruh siswa
memperoleh nilai ulangan jaringan hewan diatas KKM. Selain itu diperoleh nilai gain score
sebesar 3,48. Hasil dari ketiga analisis data tersebut dapat diartikan bahwa proses pembelajaran
dengan menggunakan digital book jaringan hewan mampu meningkatkan hasil belajar siswa.
Kata kunci: digital book, hasil belajar, jaringan hewan
PENDAHULUAN
Pendidikan pada hakikatnya
merupakan usaha pembentukan dan
pengembangan diri manusia dalam sebuah
proses tertentu untuk mewujudkan generasi
yang berkualitas dalam hal keagamaan,
keilmuan, maupun kepribadian. Pendidikan
sebagai suatu kegiatan, proses hasil, dan
sebagai ilmu pada dasarnya adalah usaha
sadar yang dilakukan manusia sepanjang
hayat demi memenuhi kebutuhan hidup.
Mengenai pendidikan pastilah berkenaan
dengan proses belajar dan mengajar.
Menurut slameto belajar merupakan suatu
proses yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan sebagai hasil
dari pengalamannya sendiri dalam
Page 28
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
44
berinteraksi dengan lingkungan
(Patmonodewo,2003). Dalam proses belajar
mengajar media memiliki peran penting,
Karena media dapat menjadi perantara
anatara penjelasan guru dengan pemahaman
siswa ketika suatu materi tidak dapat
dijelaskan secara verbal. Media
pembelajaran memiliki fungsi dan peran
sebagai pembawa informasi dan sumber
informasi itu sendiri (guru) menuju
penerima informasi (siswa).
Masalah mendasar yang dialami
dalam kegiatan pembelajaran biologi pada
materi jaringan hewan adalah kurangnya
pemahaman siswa terhadap materi yang
disajikan. Hal tersebut dikarenakan materi
jaringan hewan berkaitan dengan submateri
struktur dan fungsi jaringan pokok (jaringan
epitel, jaringan ikat, jaringan otot, jaringan
saraf) pada hewan, komponen jaringan
penyusun organ yang membentuk system
pencernaan, pernapasan,ekskresi,
reproduksi, sirkulasi, koordinasi dan
endokrin pada hewan. Oleh sebab itu,
penjelasan tidak dapat hanya disampaikan
secara verbal saja, maka dari itu
membutuhkan media sebagai alat bantu
dalam memahami materi, sehingga siswa
dapat dengan mudah memahami materi
pembelajaran dan memperoleh hasil belajar
yang baik. Disamping itu juga, banyak
faktor yang menyebabkan siswa kurang
memahami materi, selain faktor dari
siswasendiri, guru juga menjadi faktor yang
cukup signifikan dalam menentukan
keberhasilan belajar siswa. Masalah yang
cukup urgentterkaitpemahaman materi oleh
siswa adalah ketersediaan media belajar
disekolah.
Pemanfaatan sumber belajar digital
dinilai dipengaruhi oleh persepsi pendidik
tentang digital native(Dopo & Ismaniati,
2016). Sumber belajar digital dapat
didefinisikan sebagai segala sesuatu dalam
format digital yang dapat dimanfaatkan oleh
guru dan siswa untuk tujuan pembelajaran
(Surjono, 2014). Digital bookmerupakan
sebuah publikasi yang terdiri dari teks,
gambar, maupun suara dan dipublikasikan
dalam bentu digital yang dapat dibaca di
komputer maupun perangkat elektronik
lainnya seperti android atau
tablet(Andikaningrum et al. 2014). Digital
book merupakan sumber belajar digital yang
dapat dimanfaatkan secara fleksibel untuk
memfasilitasi kegiatan belajar mengajar
yang dapat diakses secara klasikal maupun
mandiri. Teknologi digital dapat
meningkatkan pemahaman siswa terhadap
suatu materi pelajaran dan juga dapat
memberikan konten yang kaya (rich content)
Page 29
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
45
serta lebih cocok untuk diterapkan dalam
model pembelajaran abad ke-21.
Mengingat perkembangan teknologi
infomasi dan komunikasi salah satunya
adalah media digital seperti digital book.
Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yang berkaitan dengan
problematika tersebut. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui: Efektifitas
penggunaan digital book dalam
meningkatkan hasil belajar siswa.
LANDASAN TEORI
Pengertian Belajar
Belajar dalam arti luas merupakan
suatu proses yang memungkinkan timbulnya
atau berubahnya suatu tingkah laku baru
yang bukan disebabkan oleh kematangan
dan sesuatu hal yang bersifat sementara
sebagai hasil dari terbentuknya respon utama
(Nasution, 1991). Belajar merupakan
aktivitas, baik fisik maupun psikis yang
menghasilkan perubahan tingkah laku pada
diri individu yang belajar dalam bentuk
kemampuan yang relatif konstan dan bukan
disebabkan oleh kematangan atau sesuatu
yang bersifat sementara. Menurut Slameto
(2003) bahwa belajar ialah suatu proses
yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan sebagai hasil
dari pengalamannya sendiri dalam
berinteraksi dengan lingkungan. Perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari perbuatan
belajar terjadi secara sadar, bersifat kontinue
dan konstan bertujuan atau terarah. Dari
beberapa pengertian belajar dapatdikatakan
bahwa proses belajar yang dialami oleh
siswa menghasilkan perubahan-perubahan
dalam aspek pengetahuan, keterampilan,
nilai, sikap dan sifat.
Pengertian hasil belajar
Hasil belajar adalah kemampuan
yang dimiliki siswa setelah ia menerima
pengalaman belajarnya. Kingsley (Sudjana,
2010) membagi menjadi tiga macam
pengertian, tiga sikap dan cita-cita yang
masing-masing golongan dapat diisi dengan
bahan yag ada pada kurikulum sekolah.
Hasil belajar terjadi apabila seseorang telah
belajar akan terjadi perubahan tingkah laku
pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu
menjadi tahu. Hasil belajar mencakup
kemampuan kognitif (intelektual), afektif
(sikap), dan kemampuan psikomotor
(bertindak). Sedangkan menurut Agus
Suprijono (2011) hasil belajar adalah pola-
pola berbuatan, nilai-nilai, pengertian-
pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan
keterampilan.
Page 30
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
46
Media pembelajaran
Media adalah alat bantu untuk
mengantarkan informasi dari satu tempat ke
tempat lain. Jadi media pembelajaran dapat
diartikan sebagai alat bantu yang dapat
digunakan untuk menyampaikan informasi
khususnya bahan pelajaran, sehingga dalam
proses belajar mengajar dapat
mempermudah pendidik dalam
menyampaikan bahan ajar kepada peserta
didik. Media pembelajaran dapat
merangsang perhatian, minat, pikiran, dan
perasaan peserta didik dalam kegiatan
belajar untuk mencapai tujuan belajar
(Heinich et.al., 2002). Media pembelajaran
menempati posisi yang cukup penting
sebagai salah satu komponen sistem
pembelajaran. Media merupakan bagian
penting yang terlibat dalam proses
pembelajaran karena fungsi serta manfaat
dapat dirasakan secara langsung oleh guru
maupun siswa.
Kegiatan belajar mengajar dengan
menggunakan media, sumber belajar dan
bahan ajar akan lebih efektif dari pada tanpa
menggunakan media konvensional atau
sumber belajar. Pemilihan sumber belajar
yang akan digunakan menunjukan
efektivitas yang berbeda pada hasil
pembelajaran. Penggunaan media berbasis
multimedia tersebut dapat memiliki
efetivitas yang baik dalam meningkatkan
pemahaman siswa. Multimedia dikatakan
dapat memvisualisasikan konsep abstrak
menjadi konsep yang jelas. Gambar, video,
dan menulis yang dikombinasikan dengan
desain yang menarik akan meningkatkan
minat peserta didik dan selanjutnya
menyederhanakan konsep abstrak menjadi
lebih mudah untuk dipahami (Suprapto,
2018).
Digital book
Digital book adalah buku berbasis
multimedia yang berisi informasi tertentu.
Suwarno (2011) berpendapat bahwa digital
book adalah buku elektronik dari buku pada
umumnya yang berisi kumpulan kertas
tulisan dan kertas gambar. Buku berbasis
multimedia ini mempunyai beberapa
kelebihan dari pada buku berbahan kertas,
yaitu dapat menghemat penggunaan kertas,
mudah untuk dibawa kemana-mana, gambar
serta tulisan dapat terlihat lebih jelas. Buku
berbasis multi media ini menggunakan
internet sebagai sumber untuk
mengaksesnya.
Suprapto (2018) mengatakan belajar
menggunakan buku berbasis multi media
dapat membantu siswa untuk belajar secara
aktif dan mandiri jika dibandingkan dengan
pembelajaran tradisional. Berdasarkan hasil
Page 31
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
47
penelitian yang dilakukan bahwa
penggunaan buku berbasis multimedia dapat
meningkatkan independensi peserta didik
dalam pembelajaran. Selain itu buku
berbasis multimedia ini memiliki kelebihan
dan daya tarik terendiri bagi siswa seperti
mudah diakses, penampilan yang mudah
dibawa dan menarik. Ketertarikan tersebut
akan mengembangkan motivasi siswa dalam
belajar, sehingga hasil atau tujuan dari
belajarpun akan tercapai dengan baik
(Suprapto, 2018).
METODE
Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian
tindakan dengan metode penelitian tindakan
kelas (classroom action research). Metode
tersebut digunakan karena terdapatnya
masalah dan tujuan sebuah penelitan yang
menuntut adanya perbaikan didalam kelas
untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Kasihani (1998) menjelaskan penelitian
tindakan kelas merupakan penelitian yang
dilakukan oleh guru dalam berbagai kegiatan
yang dilakukan bertujuan untuk
memperbaiki atau menaikan mutu
pembelajaran yang dilakukan di dalam
kelas. Penelitian tindakan kelas dilakukan
sebagai upaya untuk pemecahan masalah
dengan melakukan tindakan nyata,
kemudian melakukan refleksi pada akhir
kegiatan.
Penelitian ini dilaksanakan di SMA
Negeri 3 Bogor, jalan Pakuan 4 Bogor, Jawa
Barat. Penelitian dilakukan selama dua kali
pertemuan, 2 September 2019 dan 9
September 2019. Subyek penelitian adalah
siswa kelas XI IPA 1 tahun pelajaran
2019/2020 sebanyak 36 orang siswa.
Adapun faktor yang diteliti dalam penelitian
, yaitu penilaian hasil belajar siswa
menggunakan media pembelajaran digital
book. Model yang digunakan yaitu, model
Kemmis & Mc. Taggart. Model tersebut
menggabungkan dua komponen berupa
tindakan dan pengamatan menjadi satu
kesatuan. Wijaya (2010) mengatakan bahwa
kegiatan tindakan dan pengamatan
merupakan kegiatan gabungan yang tidak
dapat dipisahkan , karena saat guru
melakukan tindakan maka saat itu pula guru
melakukan pengamatan.
Data yang diperoleh sebagai
informasi dalam penelitian ini berasal dari
instrumen tes hasil belajar yang diberikan
guru kepada siswa. Teknik tes ini dilakukan
untuk mengetahui peningkatan hasil belajar
siswa setelah menggunakan media
pembelajaran digital book. Indikator
keberhasilan penelitian tindakan kelas ini
adalah apabila rata-rata nilai ulangan harian
Page 32
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
48
siswa mencapai atau diatas KKM yang telah
ditetapkan.Selain itu juga dilihat dari
kualitas peningkatan hasil belajar (gain
score) yang diperoleh dari rata-rata pada
siklus 2 dikurangi dengan rata rata pada
siklus 1. Prosedur penelitian terdiri dari 4
kegiatan yang dilakukan dalam siklus yang
berulang. Empat kegiatan utama yang ada
pada setiap siklus, yaitu perencanaan,
tindakan, pengamatan, refleksi
(Arikunto,2006).
Prosedur Penelitian:
1. Perencanaan
Mepersiapkan kelengkapan yang
digunakan dalam proses
pembelajaran seperti, RPP, media
pembelajaran dan instrument
penelitian berupa tes tertulis.
2. Tindakan
Pada saat proses pembelajaran siswa
menggunakan digital book sebagai
media pembelajaran, kemudian
untuk mengetahui pemahaman siswa
guru memberikan tes tertulis ulangan
harian.
3. Pengamatan
Pengamatan dilakukan bersamaan
dengan kegitan refleksi, yaitu
mengamati hasil belajar berupa tes
tertulis ulangan harian
4. Refleksi
Diakhir kegiatan pembelajaran siswa
diberikan ter tertulis
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Kondisi awal dalam pembelajaran
memiliki hasil belajar yang rendah, kerena
sumber belajar yang digunakan dalam
pembelajaran masih konvensional.
Penggunaan sumber belajar yang
konvensional menyebabkan proses
pembelajaran menjadi membosankan,
sehingga siswa menjadi tidak bersemangat
dalam melakukan pembelajaran. Hal ini
dijadikan sebagai tolak ukur untuk
meningkatkan hasil belajar siswa pada
materi jaringan hewan dengan menggunakan
digital book sebagai media pembelajaran.
Hasil penelitian pada siklus 1
1. Perencanaan
Perencaan terdiri dari kegiatan
mempersiapkan kelengkapan yang
dibutuhkan dalam proses
pembelajaran, meliputi : RPP, media
pembelajaran, dan instrumen berupa
soal ulangan harian jaringan hewan.
2. Pelaksanaan
Pelaksanaan yang dilakukan selama
proses pembelajaran sama halnya
dengan proses pembelajaran pada
Page 33
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
49
umumnya, meliputi : kegiatan
pendahuluan, kegiatan inti, dan
penutupan. Inti yang
membedakannya adalah terdapat
penggunaan digital book sebagai
media pembelajaran.
3. Pengamatan
Hasil belajar yang didapatkan
berdasarkan analisis data yang
diperoleh pada siklus I nilai tertinggi
dengan nilai 88 dan nilai terendah
sebesar 75. Selain itu, diperoleh nilai
rat-rata keseluruhan dari ulangan
harian jaringan hewan sebesar 78,58.
Dari hasil tersebut dapat diketahui
bahwa adanya penggunaan digital
book yang kurang maksimal sebagai
media pembelajaran, hal ini ditandai
dengan adanya siswa yang
memperoleh nilai dibawah KKM
dikelas X IPA 1 SMAN 3 Bogor.
4. Refleksi
Hasil refleksi yang didapatkan
berdasarkan hasil analisis data dapat
diketahui masih adanya siswa yang
memperoleh nilai dibawah KKM
pada nilai ulangan jaringan hewan
dengan menggunakan media
pembelajaran berupa digital book
dalam proses pembelajaran, maka
perlu diadakan tindakanperbaikan
pada sikius II agar seluruh siswa
kelas X IPA 1 SMAN 3 Bogor
memperoleh nilai ulangan jaringan
hewan diatas KKM dengan
menggunakan digital book dalam
proses pembelajarannya.
Hasil penelitian pada siklus II
1. Perencanaan
Hasil refleksi dari siklus I dijadikan
sebagi bahan perbaikan dalam siklus
ke II ini, dengan lebih menekankan
kembali peranan digital book selama
proses pembelajaran.
2. Pelaksanaan
Dalam proses pelaksanaan guru
menjelaskan kembali materi jaringan
hewan melalui digital book.
Perbedaan pelaksanaan yang
dilakukan pada siklus I, siswa
diberikan kesempatan untuk mencari
tahu sendiri terkait dengan hal-hal
yang belum dipahami pada digital
book, sehingga siswa dan guru saling
bertukar ilmu pengetahuan dan
menjadi terbiasa dalam
menggunakan digital book dalam
proses pembelajaran.
3. Pengamatan
Hasil belajar yang didapatkan
berdasarkan hasil analisis data yang
Page 34
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
50
diperoleh pada siklus II, diperoleh
nilai tertinggi dengan nilai 90 dan
nilai terendah sebesar 78. Selain itu,
diperoleh nilai rata-rata keseluruhan
dari ulangan harian jaringan hewan
sebesar 82,06. Dari hasil analisis data
dapat diketahui bahwa seluruh siswa
kelas X IPA 1 SMA Negeri 3 Bogor
memperoleh nilai ulangan harian
diatas KKM. Selain itu, diperoleh
gain scoresebesar 3,48 yang
menunjukkan peningkatan hasil
belajar siswa dengan kategori tinggi
berdasarkan pengkategorian yang
mengacu pada Melzer (2002).
4. Refleksi
Hasil refleksi yang didapatkan
berdasarkan analisis data yang telah
dilakukan siswa yang memperoleh
nilai terendah sebesar 78, hal ini
menunjukan seluruh siswa kelas X
IPA 1 SMA Negeri 3 Bogor
mendapatkan nilai diatas KKM.
Standar KKM yang berlaku di
SMAN 3 Bogor sebesar 76. Dari
hasil tersebut dapat diketahui hasil
ulangan harian jaringan hewan
dengan menggunakan digital book
dalam proses pembelajarannya sudah
sesuai dengan yang diharapkan.
Tabel 1. Hasil Siklus I dan II
N
o
Keterangan Siklus I Siklus II
1 Nilai terendah 75 78
2 Nilai tertinggi 88 90
3 Nilai rata-rata 78,58 82,06
4 Rentang nilai 13 12
Berdasarkan data di atas dapat dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut:
Page 35
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
51
Tabel 2. Distribusi frekuensi Nilai Siklus 1 dan II
Interval Frekuensi
Siklus 1 Siklus 2
75-76 9 0
77-78 14 5
79-80 9 15
81-82 0 2
83-84 0 5
85-86 2 4
87-88 2 1
89-90 0 4
91-92 0 0
Hasil tabel distribusi frekuensi Siklus I dan Siklus II bila digambarkan dalam bentuk
diagram chart sebagai berikut :
Gambar 1. Frekuensi nilai ulangan harian jaringan hewan pada Siklus I da Siklus II
Berdasarkan diagram diatas dapat
diketahui bahwa nilai ulangan jaringan
hewan baik pada Siklus I maupun Siklus II
tidak ada yang memperoleh nilai 91 sampai
dengan 92. Nilai yang diperoleh pada Siklus
I dan Siklus II memiliki rentang nilai antara
75 sampai dengan 90.Peningkatan hasil
belajar (gain score) yang diperoleh adalah
3,48, yang diperoleh dari selisih antara rata-
rata Siklus I Siklus II dengan kategori tinggi.
Page 36
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
52
PEMBAHASAN
Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
merupakan satu penelitian yang dilakukan
oleh guru dengan tujuan untuk
meningkatkkan proses pembelajaran melalui
suatu tindakan yang memiliki siklus. Hal ini
sesuai dengan pendapat Kunandar (2008)
yang menyatakan bahwa PTK merupakan
penelitian tindakan yang dilakukan oleh
guru dalam rangka memperbaiki atau
meningkatkan proses pembelajaran di kelas
melalui suatu tindakan dan memiliki siklus.
Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan
pada bulan september yang dilakukan
sebanyak dua kali pertemuan, dimana
pertemuan pertama dilaksanakan pada
tanggal 2 September 2019 dan pertemuan
kedua dilaksanakan pada tanggal 9
September 2019. Sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI
IPA 1 tahun pelajaran 2019/2020 sebanyak
36 orang siswa. PTK (Penelitian Tindakan
Kelas) dilakukan dengan memberikan
perlakuan berupa penerapan digital book
dalam proses pembelajaran pada materi
jaringan hewan, dalam penelitian ini
terdapat dua Siklus yaitu Siklus I dan Siklus
II.
Hasil analisis data Siklus I pada tabel
1 menunjukkan adanya nilai peserta didik
yang belum mencapai batas minimum KKM
yang telah ditentukan oleh pihak sekolah,
sehingga pada tahapan refleksi guru
memutuskan untuk melakukan PTK dengan
Siklus ke II. Berdasarkan hasil analisis data
pada Siklus II nilai ulangan harian jaringan
hewan seluruh peserta didik secara
keseluruhan sudah melebihi batas KKM
yang telah ditentukan dengan nilai terendah
78 dan nilai tertinggi sebesar 90. Hasil dari
perhitungan gain score juga menunjukan
terjadinya peningkatan pada hasil belajar
yang terjadi pada siklus I ke siklus II dengan
kategori tinggi sebesar 3,48. Adanya
peningkatan hasil belajar pada materi
jaringan hewan ini karena pada Siklus II
siswa sudah terbiasa untuk menggunakan
digital book dalam proses pemebelajaran
dibandingkan dengan Siklus I.
Penerapan digital book dalam proses
pembelajaran membuat siswa lebih mandiri
dalam melakukan pembelajaran. Proses
pembelajaran yang dilakukan dikelas sering
kali memiliki keterbatasan waktu pada saat
melakukan pembelajaran, dengan adanya
digital book ini peserta didik dapat
melakukan pembelajaran tanpa dibatasi
waktu. Pernyataan tersebut diperkuat dengan
pendapat Suryani dan Khoiriyah(2018) yang
menyatakan bahwa digital book dapat
dijadikan sebagai sumber belajar mandiri
yang berperan untuk mengatasi keterbatasan
Page 37
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
53
waktu pada saat melakukan pembelajaran di
kelas, karena peserta didik dapat
mempelajari materi tanpa harus terpaku
dengan penjelasan yang diberikan oleh guru.
Perkembangan zaman menuntut guru
untuk lebih kreatif dalam mengemas
pembelajaran, sehingga pembelajaran
menjadi lebih efektif dan tidak
membosankan pada saat proses
pembelajaran berlangsung. Digital
bookmenjadi salah satu cara untuk
mengemas pembelajaran menjadi menarik
dibandingkan dengan menggunakan buku
cetak, karena digital book ini dapat diakses
kapan saja dan dimana saja dengan cepat.
Hal ini sesuai dengan pendapat Suprapto
(2018) yang menyatakan bahwa
pembelajaran dengan menggunakan buku
berbasis multimedia dapat membantu siswa
dalam belajar mandiri dibandingkan
pembelajaran tradisional dengan
menggunakan buku cetak. Lebih lanjut
Suprapto (2018) menjelaskan bahwa digital
book memiliki kelebihan dan daya tarik
tersendiri bagi siswa seperti mudah diakses,
mudah dibawa kemana saja dan tampilan
yang menarik. Sehingga dengan adanya
penggunaan digital book dalam proses
pembelajaran mampu meningkatkan hasil
belajar siswa sesuai dengan hasil penelitian
yang ditandai dengan adanya peningkatan
dari Siklus I ke Siklus II.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa
melalui penerapan media pembelajaran
digital book dapat meningkatkan hasil
belajar. Adanya peningkatan hasil belajar
dikarenakan siswa yang sudah terbiasa
menggunakan media pembelajaran digital
book dalam proses pembelajaran. Melalui
digital book siswa menjadi lebih paham
pada materi yang dipelajari, dengan digital
book pula siswa dapat belajar tanpa dibatasi
oleh waktu dan tidak hanya terpaku oleh
penjelasan guru di dalam kelas.Digital book
dapat mengemas pembelajaran menjadi
lebih menarik dan dapat diakses dimana saja
dan kapan saja dengan cepat.
Saran
Penelitian dengan menggunakan
digital bookyang digunakan dalam rangka
meningkatkan hasil belajar siswa perlu lebih
disosialisasikan kembali terkait cara
menerapkan digital book dalam proses
pembelajaran juga perlu diadakannya
pembinaan terhadap guru cara penggunaan
media digital book agar guru dan siswa
menjadi terbiasa ketika di implementasikan.
Page 38
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
54
DAFTAR PUSTAKA
Andikaningrum, L., Damayanti, W., &
Dewi, C. (2014). Efektivitas E-Book
Berbasis Multimedia Menggunakan
Flip Book Maker sebagai Media
Pembelajaran dalam Meningkatkan
Keaktifan Belajar Siswa (Studi Kasus
pada Mata Pelajaran TIK Kelas XI
SMA Kristen Satya Wacana
Salatiga). Doctoral dissertation,
Program Studi Pendidikan Teknologi
Informasi dan Komunikasi FTI-
UKSW.
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik.Jakarta: Rineka Cipta.
Dopo, F. B., & Ismaniati, C. (2016).
Persepsi guru tentang digital natives,
sumber belajar digital dan motivasi
memanfaatkan sumber belajar
digital. Jurnal Inovasi Teknologi
Pendidikan. 3(1): 13–24.
Heinich, R., Molenda, M., Russell, J. D., &
Smaldino, S.E. (2002).
Instructionalmedia and technology
for learning. 7th edition. New
Jersey: Prentice Hall, Inc.
Kasbolah, E.S. Kasihani. (1998). Penelitian
Tindakan Kelas (PTK). Malang: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Kunandar. (2008). Langkah Mudah
Penelitian Tindakan Kelas Sebagai
Pengembangan Profesi Guru.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Meltzer, D. E. (2002). The relationship
between mathematics preparation
and conceptual learning gains in
physics: A possible “hidden
variable” in diagnostic pretest score.
American Journal of Physics.
70(12): 1259- 1268.
Patmonodewo, Soemiarti. 2003. Pendidikan
Anak Prasekolah, Cet. 23. Jakarta:
Pusat Perbukuan Dapertemen
Pendidikan & Kebudayaan
Bekerjasama dengan PT Rineka
Cipta.
Slameto. 2003. BelajardanFaktor-
faktormempengaruhinya. Jakarta: PT
RinekaCipta.
Sudjana, Nana. 2010. Dasar-
dasarProsesBelajar.
Bandung:SinarBaru: Bandung.
Surjono, H. D. (2014). Peran Teknologi
Pembelajaran Dalam Pengembangan
& Peningkatan Mutu SDM di Era
Global. In Seminar Nasional
Teknologi Pembelajaran, di
Universitas Negri Yogyakarta.
Suprapto, M. (2018). An Innovation
Developing Flip Flop Book (Digital)
On Organ System In Human.
International Conference ON
Mathematics And Science Education,
3(1): 50-54
Suprijono, Agus. (2011). Cooperative
Learning (Teori dan Aplikasi
PAIKEM). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Suryani, E. Khoiriyah A.S.I. (2018).
Pemanfaatan E-Book
SebagaiSumberBelajarMandiribagiSi
swa SMK/SMK/MA.International
Journal of Community Service
Learning, 2(3): 177-184.
Suwarno, W. (2010). Dasar-Dasar Ilmu
perpustakaan. Yogyakarta: Ar-ruzz
media.
Wijaya, K &Dedi, D. (2010). Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta: Indeks
Page 39
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
31
ANALISIS MATRIKS USG (URGENCY, SERIOUSNESS AND GROWTH)
BANTEN MANGROVE CENTER BAGI MASYARAKAT KELURAHAN
SAWAH LUHUR KECAMATAN KASEMEN KOTA SERANG
Enggar Utari1*
, dan Indria Wahyuni1
1Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
*Cc: [email protected]
Abstract
Damaged of mangroves, and conversion of forests to other uses due, directly development of
population, it will pose a danger of sea intrusion from the sea towards slavery. Mangrove habitat
is damaging caused by natural factors and human factors. Efforts to save mangrove ecosystems
are a way to establish effective communication and coordination between together. Banten
Mangrove Center is organization used to save Mangrove Ecosystems in Banten Province with
less than 3,000 ha remaining. This research is a qualitative study conducted in January 2020. The
population of the study is the entire community of Sawah Luhur Village. The subjects of the
study were community leaders who lived around Sawah Luhur Sub-district, Kasemen, Serang
City, where mangrove forest habitat and communities outside the mangrove forest area used
USG Matrix Analysis. The results of the study stated that (1) priority issues in the old paradigm
in the community (Anthropocentric) are still attached, low understanding of the community
about mangrove conservation, high ecological pressure, priorities in areas near mangrove forests
and assistance for supervision of mangrove safety, (2) the shape of the Banten Mangrove Center
as an effort to save the Mangrove Ecosystem in Sawah Luhur Village, Kasemen.
Keywords: Banten Mangrove Center, USG matrix (Urgency, Seriousness and Growth)
Abstrak
Kerusakan hutan mangrove, dan konversi hutan untuk dijadikan tambak atau pengguna lainnya
akibat adanya perkembangan penduduk akan menimbulkan bahaya intrusi air laut dari laut ke
arah daratan. Kerusakan habitat mangrove ini diakibatkan oleh faktor alam dan faktor
manusia. Upaya-upaya penyelamatan ekosistem mangrove adalah bagaimana menjalin
komunikasi dan koordinasi yang efektif diantara para aktor. Banten Mangrove Center adalah
wadah yang digunakan untuk penyelamatan Ekosistem Mangrove di Provinsi Banten yang masih
tersisa kurang dari 3.000 ha. Penelitian ini adalah penelitian Kualitatif yang dilaksanakan pada
bulan Januari 2020. Populasipenelitian adalahSeluruh Masyarakat Kelurahan Sawah Luhur.
Adapun subyek penelitian adalah tokoh masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar Kelurahan
Sawah Luhur kecamatan Kasemen Kota Serang , tempat habitat hutan mangrove dan masyarakat
di luar kawasan hutan mangrove dengan menggunakan Analisis Matriks USG. Hasil penelitian
menyatakan bahwa (1) isue prioritas masalah terdapat pada Paradigma lama di masyarakat
(Antrhoposentris) yang masih lekat, rendahnya pemahaman masyarakat tentang konservasi
Page 40
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
32
mangrove, Tingginya tekanan ekologis, kerentanan pada Daerah dekat kawasan hutan mangrove
dan kurangnya komitmen penyelamatan lingkungan hutan mangrove, (2) perlu di bentuk Banten
Mangrove Center sebagai upaya penyelamatan Ekosistem Mangrove di Desa Sawah Luhur
Kecamatan Kasemen.
Kata Kunci: Banten Mangrove Center, matriks USG (Urgency, Seriousness and Growth)
Pendahuluan
Hutan pantai, hutan pasang surut, hutan
payau atau hutan bakau dikenal dengan
sebutan Hutan Mangrove. Hutan mangrove
merupakan komunitas vegetasi pantai tropis,
yang didominasi oleh beberapa spesies
pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang-surut
pantai berlumpur dan khas terdapat di
sepanjang pantai atau muara sungai yang
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hal
ini diperkuat oleh Bengen (2000)
menyatakan bahwa Hutan mangrove
merupakan komunitas vegetasi pantai tropis
yang didominasi oleh beberapa jenis pohon
mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai
berlumpur dan ditemukan pada pantai-pantai
teluk yang dangkal, estuaria, delta dan
daerah pantai terlindung.
Dalam 5 tahun ini, berbagai hasil
kajian memberikan informasi bahwa
mangrove berperan dalam mitigasi
perubahan iklim, diantaranya yaitu bahwa
mangrove di Indonesia menyimpan 1/3 dari
cadangan karbon dunia. Disamping itu
disebutkan bahwa setiap 1 ha luas hutan
mangrove, dapat menyimpan 4x karbon
lebih banyak dibanding hutan terrestrial, dan
menyerap 20x lebih besar emisi CO2
dibanding hutan tropis terrestrial. Fungsi
lain hutan mangrove yaitu sebagai pelindung
abrasi, erosi, intrusi air laut dan kenaikan
permukaan air laut serta berperan bagi
ketahanan pangan. Berbagai diskusi
menghasilkan kesepakatan bahwa jika
penanaman mangrove dengan densitas 3.000
pohon/ha dan lebar 200 m, maka
akanmampu mengurangi gelombang
tsunami 50-60% dan kecepatan tsunami 40-
60%. Hal ini telah dibuktikan saat terjadinya
bencana tsunami di Donggala, Palu,
Sulawesi Tengah.
Dinas Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Provinsi Banten menyebutkan
bahwa pemetaan potensi mangrove Banten
setiap tahunnya menunjukkan pengurangan
luasan yang cukup besar. Saat ini masih
tersisa kurang dari 3.000 ha di seluruh
Provinsi Banten.Faktor utama yang sering
dituding sebagai faktor penyebab
berkurangnya area mangrove adalah
Page 41
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
33
konversi/alih fungsi lahan mangrove untuk
jalan, industri, dan pertambangan, serta
terjadinya abrasi, dan penebangan yang
tidak terkendali ataupun pemanfaatan yang
berlebihan. Dengan demikian, secara
empiris kondisi potensi mangrove di
Provinsi Banten semakin berkurang.
Provinsi Banten merupakan provinsi
di Pulau Jawa yang belum mempunyai
mangrove center. Mangrove center adalah
Pusat Informasi terkait penanganan dan
pengelolaan ekosistem mangrove melalui
fasilitasi dan koordinasi perencanaan,
rehabilitasi, konservasi dan pemanfaatan
ekosistem mangrove sekaligus destinasi
wisata alam guna mendukung pengelolaan
ekosistem mangrove secara lestari dan
bermanfaat bagi masyarakat. Seperti dilansir
dalam berita online Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah Provinsi Banten
bahwa Rencana Pembangunan mangrove
center di Provinsi Banten (Banten Mangrove
Center) merupakan wujud komitmen
bersama dan langkah pemersatu dalam
melaksanakan upaya konservasi mangrove.
Analisis Matriks USG adalah salah
satu metode analisis sosial secara kualitatif
yang bisa digunakan untuk mengukur
apakah Banten Mangrove Centermeemiliki
derajat kemendesakan isu, kegawatan isu
dan berkembangnya isu. Derajat
kemendesakan isu memiliki tingkatan yang
lebih tinggi dibanding kegawatan isu dan
berkembangnya isu. Namun demikian,
ketiga indikator tersebut mampu
memberikan kepastian secara kualitatif
bahwa permasalahan tentang Mangrove
sudah saatnya dapat diatasi.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian Kualitatif
yang dilaksanakan pada bulan Januari 2020.
Populasipenelitian adalahSeluruh
Masyarakat Kelurahan Sawah Luhur.
Adapun subyek penelitian adalah tokoh
masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar
Kelurahan Sawah Luhur kecamatan
Kasemen Kota Serang , tempat habitat hutan
mangrove dan masyarakat di luar kawasan
hutan mangrove. Dengan demikian, maka
Subyek Penelitian terdiri dari masyarakat (1)
bertempat tinggal dan memanfaatkan hutan
mangrove, (2) masyarakat yang bertempat
tinggal di pulau dua dan tidak
memanfaatkan hutan mangrove dan (3)
masyarakat yang tidak tinggal di pulau dua
namun memanfaatkan hutan managrove dan
(4) masyarakat yang tidak tinggal dan tidak
memanfaatkan hutan mangrove. Ke empat
subyek penelitian tersebut sebagai key
persons
Teknik analisis data yang digunakan
Page 42
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
34
dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif-
kualitatif dengan menggali informasi dari
subyek penelitian melalui wawancara
mendalam (depthinterview). Selanjutnya
dilakukan analisis USG Banten Mangrove
Center yang kemudian bisa dijadikan
sebagai model Model Solusi Strategis
pengelolaan hutan mangrove di Kota Serang
. Adapun acuan dalam menganalisis data
menggunakan pendekatan need assessment
(Mundiharto.2000) dengan menentukan
peringkat/ranking dan skor 1 sampai 5
sesuai dengan kebutuhan, yaitu :
1. Urgency (kemendesakan isu): masalah
harus segera dipecahkan berkaitan
dengan ketersediaan waktu
2. Seriousness (kegawatan isu): seberapa
serius suatu masalah dapat menimbulkan
masalah lain yang lebih serius
3. Growth (berkembangnya isu):
kemungkinan masalah tersebut
berkembangan semakin memburuk jika
tidak ditanggulangi
Hasil Penelitian
MATRIK USG PENENTUAN MASALAH SPESIFIK PEMAHAMAN HUTAN
MANGROVE
Masalah Spesifik U S G Total
Skor Ranking
1. Jumlah penduduk yang padat, 2 3 2 7 6
2. Kebutuhan biaya hidup 5 4 4 13 3
3. Ketersediaan/keterbatasan lapangan
pekerjaan, 3 2 4 9 4
4. Tingkat Pendidikan, 4 4 4 12 5
5. Paradigma lama di
masyarakat(Antrhoposentris) 5 5 5 15 1
6. Paradigma Baru di Masyarakat (Ecosentris) 5 5 4 14 2
Analisis Matriks USG memberikan
hasil bahwa secara faktual (analisis USG)
bahwa pandangan masyarakat di Kecamatan
Sawah Luhur sangat dominan terhadap
Page 43
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
35
paradigm lama di masyarakat. Paradigma
tersebutyaitu Anthroposentrisme.
Antroposentris seperti yang diungkapkan
oleh Ibrahim, A.M. (2006) merupakan
sebuah keyakinan bahwa manusia
merupakan sebuah pusat dari segalanya.
Manusia dianggap sebagai makhluk paling
istimewa dan paling mulia. Manusia
merupakan hal yang paling penting di alam
semesta. Ditinjau dari sisi keberlanjutan,
ketika Banten Mangrove Center ada di
Kecamatan Sawah Luhur, maka upaya
upaya dalam mengedukasi masyarakat
tentang konservasi mangrove serta
pengelolaan yang bijak harus tetap
dilaksanakan agar cara pandang
Antroposentris sebagian masyarakat bisa
beralih dan menerima cara paandang
Ekosentris.
Paradigma Baru di Masyarakat
berkait tentang Ekosentris menempati posisi
kedua. Ekosentris merupakan sebuah
keyakinan bahwa pandangan harus sejalan
dengan ekologi atau lingkungan. Pandangan
yang mengatakan bahwa setiap kegiatan kita
harus memperhatikan lingkungan
(Chapman, D., dan Sharma, K., 2001). Oleh
karena itu, kepedulian moral tidak hanya
ditujukan pada makhluk hidup saja, tetapi
untuk benda abiotik yang terkait pula.
Ekosisterisme memberikan pandangan
lingkungan harus diperhatikan karena
manusia hanyalah salah satu sub sistem atau
bagian kecil dari seluruh ekosistem.
Pandangan ekosentris umumnya dianut oleh
manusia Timur, termasuk orang Indonesia,
yang sangat menekankan hubungan erat
antara manusia dengan lingkungan
hidupnya. Manusia adalah mikro dari makro
kosmos. Menurut pandangan ini bumi
memiliki nilai hakiki (intrinsicvalue) yang
harus dihormati oleh manusia. Maka alam
atau lingkungan tidak boleh diperlakukan
semena-mena, karena bumi mempunyai
nilainya yang luhur yang harus dijaga,
dihormati dan dianggap suci.Gambaran
tersebut sesuai dengan sebagian pandangan
masyarakat di kecamatan Sawahluhur.
Artinya, kesadaran serta kepedulian akan
mangrove terhadap generasi mendatang
harus terus menerus diberikan. Upaya untuk
penyelamatan lingkungan melalui Banten
Mangrove Center adalah salah satu langkah
yang strategis.
Page 44
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
36
MATRIK USG PENENTUAN MASALAH SPESIFIK PRIORITAS DARI
MASALAHPENGELOLAAN HUTAN MANGROVE
Masalah Spesifik U S G Total
Skor Ranking
1. Pendidikan rendah, 4 4 3 11 4
2. Keterampilan kurang, 4 4 4 12 3
3. Kemiskinan, 3 4 5 12 3
4. pemahaman tentang mangrove kurang, 5 4 4 13 2
5. pemahaman konservasi mangrove kurang 5 5 5 15 1
Matrik analisis USG memberikan
hasil bahwa prioritas permasalahan yang
menduduki peringkat pertama adalah
mengenai pemahaman konservasi mangrove
yang masih kurang. Tujuan dari konservasi
mangrove adalah: Melestarikan contoh-
contoh perwakilan habitat dengan tipe-tipe
ekosistemnya. Melindungi jenis-jenis biota
(dengan habitatnya) yang terancam punah.
Mengelola daerah yang penting bagi
pembiakan jenis-jenis biota yang bernilai
ekonomi. Diketahui bahwa Ekosistem
Mangrove di Sawahluhur kecamatan
Kasemen adalah bagian dari Cagar Alam
Pulau Dua. Kawasan sekitar CA Pulau Dua
merupakan kawasan yang penting bagi
manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya dan juga bagi satwa terutama
burung air sebagai habitat dan tempat
persinggahan (Milton dan Marhadi, 1985).
Hasil penelitian Mariana
Takandjandji1 dan/and Rozza Tri Kwatrina
dan kawan kawan (2011) menyebutkan
Pengelolaan kawasan sekitar CA Pulau Dua
di Kasemen Sawah Luhur tidak terlepas dari
pengelolaan kawasan budidaya milik
masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah
daerah perlu merencanakan pengembangan
kawasan budidaya dan tambak menjadi
habitat kedua dan kawasan persinggahan
burung air. Langkah tersebut dapat
dicapaimelalui pengaturan pemanfaatan dan
optimasi penggunaan ruang dan
penambahan vegetasi terutama di pematang-
pematang, sempadan pantai dan di
sepanjang perbatasan dengan kawasan CA.
Page 45
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
37
Pengamatan di lapangan,
tambaktambak milik masyarakat berbatasan
langsung dengan kawasan CA. Kondisi ini
dapat berdampak terhadap CA, yaitu adanya
kekhawatiran apabila masyarakat
menggunakan jenis bukan asli, yang
kemudian lepas dan masuk ke dalam
kawasan CA. Penggunaan jenis yang bukan
asli bisa diakibatkan dari rendahnya
pemahaman akan konservasi mangrove.
Hasil analisis matriks USG memberikan
rekomendasi bahwa penting dilakukan
penataan tambak termasuk saluran air ke
arah laut. Selain itu, sangat penting juga
dilakukan penanaman vegetasi (upaya
tindakan nyata dari konservasi) sebagai
penyangga antara kawasan CA dengan
kawasan budidaya. Jalur hijau ini selain
sebagai penyangga, dapat pula bermanfaat
bagi satwa dan burungburung di kawasan
tersebut.
MATRIK USG PENENTUAN MASALAH SPESIFIK PRIORITAS DARI MASALAH
KRITERIA KASUS KERUSAKAN HUTAN MANGROVE
Masalah Spesifik U S G Total
Skor Ranking
1. Lemahnya deteksi kerusakan hutan
mangrove 3 4 2 9 3
2. Tingginya tekanan ekologis 4 4 5 13 1
3. Tingginya alih fungsi kawasan mangrove 4 4 4 12 2
Matrik analisis USG memberikan hasil
bahwa prioritas dari masalah kriteria kasus
kerusakan hutan mangrove adalah tingginya
tekanan ekologis. Pertumbuhan penduduk
yang tinggi dan meningkatkanya
pembangunan di pesisir untuk berbagai
peruntukan menyebabkan terjadinya tekanan
ekologis terhadap ekosistem pesisir,
khususnya ekosistem mangrove.
Meninkatnya tekanan ini berdampak kepada
kerusakan hutan mangrove, baik secara
langsung (kegiatan penambangan dan
koversi lahan) maupun secara tidak
langsung (Pencemaran atau limbah perbagai
kegiatan akibat kegiatan manusia).
Jumlah penduduk di Kecamatan
Kasemen (Pulau Dua terletak pada
Kecamatan Kasemen) berjumlah97.430
Page 46
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
38
orang dengan perbandingan sex rasio 106
(BPS, 2020) yang artinya bahwa penduduk
kecamatan Kasemen lebih banyak laki laki
dibanding perempuan. Mata pencaharian
penduduk di sekitar tempat kegiatan
sebagian besar adalah petani dengan hasil
utamanya adalah padi dan palawija, hanya
sebagian kecil penduduk yang bermata
pencaharian sebagai pedagang, tukang atau
buruh dan sisanya adalah pensiunan pegawai
negeri. Berdasarkan peruntukannya, tata
guna tanah di Kecamatan Kasemen,
Kabupaten Dati II Serang terdiri dari sawah,
tegal atau kebun, pekarangan, ladang
penggembalaan dan hutan.
Hasil Penelitian Dewi (1995)
menyatakan banyaak ditemui Tambak
tumpansari (silvofishery) yaitu pola
pemanfaatan hutan mangrove yang
dikombinasikan dengan tambak/empang.
Sebagaimana tambak di Desa Sawah Luhur
sebagian sudah dilakukan penanaman atau
difungsikan sebagai tambak tumpangsari
yang tersebar di wilayah pesisir pantai
dengan luas kurang lebih 20 ha.
Erosi pantai atau abrasi merupakan
ancaman serius yang perlu diperhatikan
dalam pelaksanaan penanaman mangrove,
terutama di daerah bibir pantai. Berdasarkan
pengamatan di lapangan, telah terjadi abrasi
di wilayah buffer zone. Setelah dilakukan
penanaman Rhizophora spp. dan Avecennia
spp., di lokasi buffer zone, pada tahun 2007,
maka sebagian telah hilang karena terkena
abrasi. Wilayah ini memang rawan abrasi,
karena bentuk geomorfologi pantai yang
pendek dan sempit. Di wilayah buffer zone
sangat penting dilakukan penanaman
mangrove, terutama untuk mencegah
terjadinya abrasi, dan melindungi daerah
sekitarnya. Banten MangroveCenter menjadi
salah satu model solusi strategis dalam
upaya pemulihan terhadap hutan mangrove
yang telah rusak.
MATRIK USG PENENTUAN MASALAH SPESIFIK PRIORITAS DARI MASALAH
KRITERIA GEOGRAFIS
Masalah Spesifik U S G Total
Skor Ranking
1. Sumber daya alam kurang 1 1 1 3 3
2. Daerah dekat kawasan hutan mangrove
yang rentan 3 2 4 9 1
Page 47
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
39
Masalah Spesifik U S G Total
Skor Ranking
3. Daerah di luar kawasan hutan mangrove
yang rentan 2 4 2 8 2
Matrik analisis USG memberikan hasil
bahwa daerah yang rentan adalah daerah
yang dekat dengan kawasan hutan
mangrove. Diketahui bahwa daerah yang
dekat dengan kawasan mangrove banyak
menyimpan sumberdaya energi baik dari
hewan dan tumbuhan. Oleh karena itu perlu
dilakukan penyelamatan hutan mangrove.
Hal ini perlu dilakukan dengan
mempertimbangkan kemampuan lingkungan
menyediakan berbagai sumberdaya energy,
lahan, hewan, tumbuhan yang bisa
digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Masyarakat tidak
akan melakukan pemanfaatan secara nyata
jika lingkungan tidak menunjukan
kemampuan daya dukungnya. Pemaknaan
hidup masyarakat terhadap alamnya juga
dapat dipengaruhi oleh bagaimana alam
menyediakan kebutuhan hidup masyarakat.
Pada tahun 1970an wilayah Desa
Sawah Luhur memiliki hutan mangrove
yang sangat baik.Namun seiring berjalannya
waktu, telah terjadi perubahan pemanfaatan
lahan mangrove, menjadi lahan pertanian,
pertambakan, dan pemukiman. Namun
demikian, ditemui fakta bahwa pendapatan
masyarakat di bidang pertambakan yang
sangat kurang, akibat terjadinya pencemaran
air, dan fasilitas pengairan yang sangat
buruk. Masyarakat sudah mulai resah
dengan hal ini, dampak yang terjadi tidak
hanya di wilayah desa yang dekat dengan
bibir pantai, tetap juga wilayah pertanian
Desa Sawah Luhur.
Konflik kepentingan antara
kebutuhan masyarakat dan kebutuhan
konservasi mangrove menjadi hal pelik yang
tak kunjung reda. Banten Mangrove Center
diharapkan memiliki langkah yang solutif
dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Kriteria geografis menjadi indikator dalam
melakukan pemetaan kebutuhan masyarakat
dan kebutuhan konservsi mangrove.
Page 48
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
40
MATRIK USG PENENTUAN MASALAH SPESIFIK PRIORITAS DARI MASALAH
KEBIJAKAN PUBLIK
Masalah Spesifik U S G Total
Skor Ranking
1. Peraturan daerah tentang pemanfaatan
hutan mangrove 5 4 4 13 2
2. Komitmen penyelamatan lingkungan hutan
mangrove yang rendah,
5 5 5 15 1
3. kurangnya pemahaman pada pemangku
kepentingan, 5 3 3 11 3
4. Informasi media yang sangat terbuka
3 3 3 9 4
Matriks USG menghasilkan bahwa Prioritas
dari masalah kebijakan publik terletak padaa
Komitmen penyelamatan lingkungan hutan
mangrove. Komitmen tersebut dikuatkan
dengan membangun mangrove center. Oleh
karen itu perludilakukan langkah-langkah
konkrit lainnya seperti penetapan kebijakan
dan kerangka regulasi dalam pengelolaan
ekosistem mangrove yang disesuaikan
dengan kondisi dan kearifan lokal, serta
mendorong promosi manfaat mangrove yang
dapat meningkatkan perekonomian
masyarakat baik hasil hutan bukan kayu
maupun jasa lingkungan. Selain itu
koordinasi integrasi, sinkronisasi dan sinergi
lintas sektor instansi dan lembaga
diperlukan untuk menyelenggarakan
pengelolaan ekosistem mangrove
berkelanjutan yang merupakan bagian
integral dari pengelolaan wilayah pesisir
yang terpadu.Hal ini dapat dilakukan
melalui Kelompok Kerja Mangrove Daerah
(KKMD) Provinsi Banten yang telah
dibentuk, terakhir berdasarkan Keputusan
Gubernur Banten Nomor:
522.75.05/Kep.81-Huk/2019 tanggal 1
Februari 2019.
Regulasi lain yang menguatkan yaitu
Peraturan Daerah Kota Serang No. 6 Tahun
2011. Perda tersebut antaralain berisi Desa
Sawah Luhur memiliki daerah berhutan
yang sekaligus berfungsi fungsi Cagar
Alam. Cagar Alam yang dikenal dengan
Cagar Alam Pulau Dua atau disebut pula
Page 49
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
41
dengan istilah Pulau Burung ini memiliki
luas 30 hektar. Cagar Alam ini memiliki
fungsi ganda yaitu pelindung habitat
berbagai macam burung pantai dan
berfungsi sebagai daerah penyangga.
Selanjutnya penetapan Jalur hijau
merupakan suatu kebijakan yang ditetapkan
dari pemerintah daerah setempat untuk
mengelola suatu wilayah dengan tata ruang
yang seimbang. Tujuan dari adanya
kebijakan pengelolaan kawasan pantai
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat yang kehidupannya tergantung
pada sumberdaya pesisir dan laut sekaligus
melindungi keanekaragaman hayatinya
sehingga produktifitas sumberdaya tersebut
dapat terjaga secara berkelanjutan.
Dengan demikian, kebijakan publik
sebagai salah satu komitmen pemerintah
daerah dalam penyelamatan hutan mangrove
sudah ada. Permasalahannya adalah bahwa
itu harus didukung oleh peran serta
masyarakat dengan turut serta melakukan
penyelamataan Hutan Mangrove dengan
memahami konservasinya, memahami
pengelolaannnya dan memahami
dampaknya jika hutan Mangrove tersebut
mengalami kerusakan. Banten Mangrove
Center diharapkan menjadi wahana dalam
menyelaraskaan kebijakan publik serta
implementsinya di lapangan sehingga
memiliki dampak yang nyata untuk
masyaarakat dan penyelamatan ekosistem
mangrove.
KESIMPULAN
Hasil analisis matriks Urgency
(kemendesakan isu) , Seriousness
(kegawatan isu) dan Growth
(berkembangnya isu) menunjukkan bahwa
isue prioritas masalah terdapat
padaParadigma lama di masyarakat
(Antrhoposentris) yang masih lekat,
rendahnya pemahaman masyarakat tentang
konservasi mangrove, Tingginya tekanan
ekologis, kerentanan pada Daerah dekat
kawasan hutan mangrove dan kurangnya
komitmen penyelamatan lingkungan hutan
mangrove. Perlu di bentuk Banten
Mangrove Center sebagai upaya
penyelamatan Ekosistem Mangrove di Desa
Sawah Luhur Kecamatan Kasemen.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2020. Kota Serang
Dalam Angka. Kota Serang
Chapman, D., dan Sharma, K. (2001).
Environmental attitudes and behaviour
of primary and secondary students in
Asian cities: An overview strategy for
implementing an eco-schools
Page 50
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
42
programme. The Environmentalist. 21.
h. 265– 272.
Ibrahim, A.M. (2006). An anthropocentric
approach to saving biodiversity:
Kenyan pupils’ attitudes towards parks
and wildlife. Applied Environmental
Education and Communication. 5(1).
h.21–32.
Milton, R dan A. Marhadi. 1985. The bird
life of the nature reserve Pulau Dua.
Kukila 1985 (2). Indonesia
Ornithological Society. Jakarta.
Mariana Takandjandji1 dan/and Rozza Tri
Kwatrina2. Pengelolaan Cagar Alam
Pulau Dua Di Provinsi Banten Sebagai
Ekosistem Bernilai Penting
(Management of Pulau Dua Natural
Reserve In Banten Province as
Important Value Ecosystem)*). Jurnal
Penelitian Hiutan dan Konservasi
Alam. Vol. 8 No. 1 : 95-108, 2011
Rosyid, Novi Utami. 2020. Ekoliterasi
Mangrove. Penerbit Guepedia.
Jakarta
https://bappeda.bantenprov.go.id/menanti-
terwujudnya-banten-mangrove-center
Page 51
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
55
IMPLEMENTASI MODEL DISCOVERY LEARNING TERHADAP
LITERASI SAINS DAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK PADA
SUB KONSEP PENCEMARAN LINGKUNGAN
Nenden Nur Sayyidah Kulsum1*
, Endang Surahman1, Mufti Ali
1
Universitas Siliwangi
*Cc: [email protected] , [email protected] , [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this study is to know the impact of discovery learning model to scientific literacy and learning
outcomes on the sub-concept of environmental pollution in grade X MIPA SMA Negeri 7 Tasikmalaya. The
method that was used in this study is true experiment which population of this study were grade X MIPA of
SMA Negeri 7 Tasikmalaya in 2018/2019 academic year with 6 classes. Samples used as much as 2 classes
were being taken by cluster random sampling method, there is X MIPA 5 as the experimental class and X
MIPA 6 as the control class. To measure the scientific literacy of students, used instruments in the form of
multiple choice tests totaling 22 items and for learning outcomes in the form of multiple choice tests totaling
32 items. Data from this study were analyzed using the analysis of covarianc (ANCOVA) with a probability α
0,05. Based on this research’s outcomess and data analysis, it shows that there was an impact of the
discovery learning model to scientific literacy and learning outcomes on the sub concept of environmental
pollution in grade X MIPA SMAN 7 Tasikmalaya and there was a relationship between scientific litracy
and learning outcomes.
Keywords: Learning Outcomes, Scientific Literacy, Discovery Learning Model, and Environmental
Pollution
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh model discovery learning terhadap literasi
sains dan hasil belajar peserta didik di kelas X MIPA SMA Negeri 7 Tasikmalaya pada sub konsep
pencemaran lingkungan. Metode penelitian yang digunakan adalah true experiment, dengan desain
penelitian posttest only control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas X MIPA
SMA Negeri 7 Kota Tasikmalaya, sebanyak enam kelas. Sampel diambil dengan menggunakan teknik
cluster random sampling sebanyak dua kelas, dengan hasil kelas X MIPA 5 sebagai kelas eksperimen dan
kelas X MIPA 6 sebagai kelas kontrol. Untuk mengukur literasi sains peserta didik, digunakan instrumen
berupa tes pilihan majemuk berjumlah 22 butir soal dan untuk hasil belajar berupa tes pilihan majemuk
berjumlah 32 butir soal. Data hasil penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji analysis of covariance
(ANCOVA) dengan α 0,05. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model
discovery learning terhadap literasi sains dan hasil belajar peserta didik pada sub konsep pencemaran
lingkungan di kelas X MIPA SMA Negeri 7 Kota Tasikmalaya serta terdapat hubungan antara literasi sains
dan hasil belajar.
Kata kunci: Hasil Belajar, Literasi Sains, Model Discovery Learning dan Pencemaran Lingkungan.
Page 52
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
PENDAHULUAN
Pada saat ini masyarakat dunia
sedang dihadapkan pada era percepatan
perubahan dalam berbagai bidang, salah
satunya adalah bidang pendidikan.
Pendidikan pada dasarnya merupakan
salah satu pilar yang sangat penting bagi
kemajuan suatu bangsa. Hal ini juga
berlaku di negara kita, yaitu negara
Indonesia. Pada abad 21 ini menuntut
sistem pendidikan harus sesuai dengan
perubahan zaman dan fenomena yang
terjadi dilapangan.
Salah satu upaya yang dilakukan
pemerintah untuk meningkatkan
pendidikan pada abad 21 ini adalah dengan
menerapkan kurikulum 2013. Kurikulum
2013 ini menuntut peserta didik agar
memiliki beberapa keterampilan seperti
keterampilan, salah satunya keterampilan
literasi. Sejalan dengan pernyataan
Frydenberg, et al., 2011 (Rahmadani, dkk
2018:184) menyatakan bahwa
“Keterampilan yang harus dimiliki setiap
peserta didik agar dapat mengahadapi
pembelajaran abad 21 adalah keterampilan
berpikir kritis, pengetahuan dan
kemampuan literasi digital, literasi
informasi, literasi media, dan menguasai
teknologi informasi dan komunikasi”.
Kurtilas ini juga menuntut sekolah untuk
menerapkan gerakan literasi sekolah.
“Gerakan literasi sekolah bertujuan membangun
budaya literasi bagi semua siswa” (Kemendikbud
RI; Suwono, dkk 2016:137).Literasi sains menjadi
salah satu modal peserta didik untuk menghadapi
pendidikan abad 21. Sejalan dengan pernyataan
Liu, 2009 (Suwono, dkk 2016:136) menyatakan
bahwa “Salah satu keterampilan yang diperlukan
dalam abad 21 adalah literasi saintifik”. Hal
tersebutlah yang membuat literasi sains menjadi
sangat penting untuk dimiliki oleh peserta didik.
Nyatanya, pembelajaran biologi yang diterapkan
di SMA Negeri 7 Kota Tasikmalaya ini belum
secara kesuluruhan memenuhi tuntutan pendidikan
abad 21, seperti kurangnya tanggapan peserta
didik mengenai isu-isu sains yang sedang beredar
disekitarnya saat ini. Oleh karena itu, perlu adanya
upaya perbaikan terhadap proses pembelajaran
yang digunakan agar keterampilan literasi sains
peserta didik dapat terasah dan meningkatkan
capaian hasil belajarnya. Senada dengan Susanti
(2014:123) menyatakan bahwa “peserta didik
kurang mampu mengungkapkan gagasan, ide, dan
pendapat sehingga belum memiliki sifat kritis
dalam proses belajar, tentunya hal tersebut
berpengaruh pada tingkat hasil belajar peserta
didik yang belum maksimal”.
Berdasarkan hasil observasi yang
telah dilakukan di SMA Negeri 7 Kota
Tasikmalaya melalui wawancara pada
tanggal 8 Januari 2019 dengan guru mata
pelajaran biologi mengenai permasalahan
yang terjadi bahwa proses pembelajaran
biologi dirasa belum mencapai hasil yang
Page 53
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
57
memuaskan sesuai dengan tuntutan
kurikulum 2013 yang berorientasi
pada keterampilan HOTS dan
literasi, hal ini menunjukan bahwa
keterampilan literasi sains peserta
didik perlu diukur dan ditingkatkan.
Disamping itu dilihat dari rata-rata
nilai hasil ulangan peserta didik pada
materi pencemaran lingkungan tahun
ajaran 2017/2018 di SMA Negeri 7
Kota Tasikmalaya masih ada yang
nilainya dibawah kriteria ketuntasan
minimal (KKM) yaitu 72,43,
sedangkan nilai yang harus dicapai
peserta didik adalah 75. Dari
permasalahan tersebut pendidik
harus melakukan perubahan
terhadap model pembelajaran yang
digunakan agar tercapai hasil belajar
peserta didik yang optimal juga
memenuhi standar ketuntasan, juga
dalam hal keterampilan literasi sains
peserta didik pada mata pelajaran
biologi khususnya pada sub konsep
pencemaran lingkungan.
Senada dengan latar
belakang masalah tersebut
penulis mencoba melakukan
penelitian dengan menerapkan
model discovery learning pada
sub konsep pencemaran
lingkungan. Model discovery
learning merupakan model yang
menuntut peserta didik menemukan
sendiri konsep melalui serangkaian
kegiatan yang dilakoninya. Model
discovery learning memiliki sintak yang
cocok untuk diterapkan di
kelas sehingga mampu meningkatkan literasi
sains dan hasil belajar peserta didik seperti
mengidentifikasi masalah, mencari data,
mengolah data, dan mengambil kesimpulan
sendiri dari masalah yang ditemukan di lapangan.
Sesuai dengan pendapat Slavin (Yaumi, 2017)
menyatakan bahwa “discovery learning dapat
meningkatkan keingintahuan siswa meningkatkan
berfikir bebas dan bisa memecahkan masalah
secara mandiri”. Selain itu, dengan cara
melakukan penemuan sendiri peserta didik juga
lebih merasakan makna dari proses yang
dilakukannya selama pembelajaran berlangsung,
sehingga mereka tidak mudah melupakan konsep
yang telah mereka dapatkan. Berdasarkan latar
belakang yang telah dipaparkan, maka
penulis tertarik untuk
melakukan penelitan tentang pengaruh model
Discovery Learning terhadap literasi sains dan
hasil belajar peserta didik pada sub konsep
pencemaran lingkungan di Kelas X MIPA SMA
Negeri 7 Kota Tasikmalaya.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah true experimental design, karena pada
penelitian ini telah memenuhi persyaratan yaitu
adanya kelas lain yaitu kelas kontrol sebagai
Page 54
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
X : Model Discovery Learning
pembanding. Komposisi kelas pada
penelitian ini terdiri dari kelas eksperimen
mendapatkan perlakuan penerapan model
discovery learning sedangkan kelas
kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan.
Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Posttest-Only
Control Design, artinya dalam desain ini,
peneliti menerapkan posttest pada dua
kelompok ini (Sugiyono, 2015). Meskipun
demikian, kelas yang mendapatkan
treatment hanya kelas eksperimen saja.
Desain penelitian yang digunakan adalah
sebagai berikut :
Keterangan :
Kelompok A : Kelompok
Perlakuan Kelompok B :
Kelompok Kontrol R :
Randomisasi / Pengacakan
1
O1: Posttest kelas
eksperimen O2 : Posttest
pada kelas kontrol
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik tes.
Tes yang digunakan pada
penelitian ini adalah tes literasi sains
yang berbentuk pilihan majemuk
sebanyak 22 butir soal dan 33 butir
soal untuk tes hasil belajar yang
dilaksanakan setelah kegiatan
pembelajaran selesai.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Teknik pengolahan dan
analisis data dalam penelitian ini yaitu
dengan uji prasyarat analisis
menggunakan Uji Normalitas dengan
uji Kolmogorov Smirnov dan uji
homogenitas dengan Uji Levene’s
Statistic Tes, kemudian dilanjutkan
dengan uji hipotesis menggunakan uji
Analysis of Covariance (ANCOVA).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Data yang diperoleh dari
penelitian ini adalah posttest kelas
eksperimen dan kelas kontrol.
Tabel 1
Statistik Literasi Sains dan Hasil di
Kelas Eksperimen dan di Kelas
Kontrol
Stat Eksperimen Kontrol
LS HB LS HB
Maks 13 20 13 18
Min 22 28 20 26
Rentang 9 8 7 8
Rata2 18,7 24,6 16,77 22,17
Kelompok A R X1 O1
Kelompok B R O2
Page 55
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
59
7 3
Varians 3,90 4,38 3,70 3,94
SD 2,27 2,09 1,92 1,98
Pengujian Hipotesis
Tabel 2
Ringkasan Hasil
Uji ANCOVA
Source Sum
of
Squar
e
Df Mean
Squar
e
F Sig.
Cor Model 109,597
a
2 54,798 14,019 ,000
Intercept 279,194 1 279,194 71,426 ,000
Motivasi 18,330 1 18,330 4,689 ,035
Model 45,395 1 45,395 11,614 ,001
Error 222,803 57 3,909
Total 33186,0 60
Cor Total 332,400 59
a. R Squared = ,330 (Adjusted R Squared = ,306)
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan dan setelah di uji dengan
uji ANCOVA (Analysis of Covariance)
pada tabel 2, dari hasil pengolahan terlihat
bahwa angka probabilitas atau signifikansi adalah
0,000, karena nilainya dibawah 0,05 maka Ho
ditolak. Sehingga secara simultan model discovery
berpengaruh terhadap literasi sains dan hasil
belajar. Adanya pengaruh ini karena model. Selain
itu, pada pengujian ANCOVA terdapat angka R
Squared yang berarti menunjukan seberapa besar
kontribusi hubungan variabel satu dengan variabel
lain yang dijadikan sebagai covariate. Kontribusi
hubungan keterampilan literasi sains terhadap
hasil belajar, pada penelitian ini menunjukan
angka R Squared sebesar 0,330 pada hasil
perhitungan SPSS atau koefisien korelasinya
sebesar 0,6. Angka tersebut menunjukan besarnya
hubungan antara literasi sains dan hasil belajar
peserta didik. Sebagaimana menurut Sarwono,
jonathan (2016: 69) “Besarnya R square berkisar
antara 0-1, yang berarti semakin kecil besarnya R
square maka semakin lemah hubungan kedua
variabel”.
Besaran angka pada R square tersebut
dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara
literasi sains sebagai covariate terhadap hasil
belajar peserta didik dengan kontribusi sebesar
0,330. Peserta didik dengan nilai hasil belajar
yang tinggi rata-rata memiliki nilai literasi sains
yang tinggi juga. Hal tersebut karena indikator
kerampilan literasi sains dapat membantu peserta
didik mendapatkan informasi lebih optimal untuk
memecahkan permasalahan. Selain itu, peserta
didik yang memiliki nilai hasil belajar yang
rendah rata-rata memiliki nilai literasi sains yang
rendah pula. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
Page 56
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
dilakuan oleh Nahdiah, L. (2017: 82)
bahwa “Siswa yang literasi sainsnya
berada dalam kategori sangat baik
memiliki rata-rata hasil belajar pada ranah
pengetahuan lebih tinggi dibandingkan
dengan siswa yang dalam kategori
kurang”. Berdasarkan hasil pengolahan
posttest hasil belajar dari kelas eksperimen
yang menggunakan model Discovery
Learning dan kelas kontrol yang
menggunakan model pembelajaran
langsung yang diolah dengan
menggunakan uji ANCOVA dengan
taraf
signifikasi 5%, disajikan data sebagai berikut:
Gambar 1
Grafik Perbandingan Skor Rata-
Rata Literasi Sains di Kelas
Eksperimen dan Kelas Kontrol
Berdasarkan gambar 1 tersebut
dapat dilihat perbedaan skor literasi
sains di kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Perbedaan yang paling
signifikan terdapat pada indikator 1 yaitu
mengidentifikasi pendapat ilmiah yang
valid dan indikator 5 yaitu membaca
grafik yang dapat merepresentasikan
data. Hal tersebut terbukti karena pada
indikator 1 mengidentifikasi pendapat
ilmiah yang valid merupakan indikator
yang menitik beratkan pada
pengetahuan ilmiah (saintifik) dan pada
indikator 5 membaca grafik dan
menginterpretasikan data yang mana
pembacaan data kuantitatif lebih mudah
dibandingkan peserta didik harus
membaca tulisan.
Proses pembelajaran dengan
menggunakan model discovery
learning, ada peningkatan keterampilan
30 25 20 15 10 5 0
Eksperimen Kontrol
Page 57
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
61
literasi sains dilihat dari
perolehan skor rata-rata tes
literasi sains peserta didik
karena model pembelajaran ini
memiliki keunggulan sehingga
peserta didik termotivasi untuk
aktif dalam memahami konsep
yang dipelajari. Pada proses
pengumpulan data yang
berlangsung dalam diskusi
kelompok peserta didik diminta
untuk memecahkan masalah dan
proses penemuan tersebut
dilaksanakan di lingkungan
sekitar yang didukung dengan
studi literatur, pengamatan
gambar dan pengamatan
langsung ke lapangan untuk
menunjang keberlangsungan
proses pembelajaran.
Pada indikator literasi sains yang
lain tidak terlalu banyak perbedaan skor
yang signifikan, namun masih terdapat
perbedaan yang menunjukan penggunaan
bahwa model discovery learning
berpengaruh lebih baik terhadap literasi
sains dibandingkan dengan penggunaan
model pembelajaran langung. Selain
keterampilan literasi sains, model
discovery learning juga mampu melatih
pengetahuan kognitif peserta didik yang
dapat meningkatkan hasil belajarnya. Hal
ini sesuai dengan pendapat Azhari (2015)
yang mengemukakan “model pembelajaran
discovery learning yang mengatur pengajaran
sedemikian rupa sehingga peserta didik mampu
meningkatkan hasil kognitif dengan memperoleh
pengetahuan yang sebelumnya belum
diketahuinya”. Hasil belajar peserta didik dapat
dimunculkan disetiap sintak pembelajaran
discovery learning.
Tahapan pertama yaitu stimulation,
tahapan ini peserta didik dihadapkan pada sebuah
gambar/video yang bertujuan untuk melatih
kemampuan analisis permasalahan yang akan
dipelajari selama kegiatan pembelajaran. Tahap
kedua yaitu problem statment, pada tahap ini
peserta didik dituntut untuk mengidentifikasi dan
menyebutkan permasalahan yang ditemukannya
dari tampilan gambar/video pada tahap
stimulation. Tahap ketiga yaitu data collecting,
pada tahap ini peserta didik dituntut untuk lebih
berperan aktif dalam mencari dan mengumpulkan
data cara mandiri melalui berbagai macam
literatur. Tahap keempat yaitu data processing,
pada tahap ini peserta didik mengolah informasi
yang didapat untuk memecahkan masalah yang
telah dirumuskannya. Tahap kelima yaitu
verification, tahapan ini bertujuan untuk melatih
kemampuan peserta didik dalam
mempertimbangkan suatu informasi yang relevan
dari data, pernyataan, atau bentuk representasi
lainnya yang telah didapat. Tahap keenam yaitu
generalization, pada tahap ini peserta didik
dibantu oleh guru menyimpulkan hasil dari
pembelajaran berdasarkan masalah- masalah yang
Page 58
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
telah diidentifikasi sebelumnya. Perbedaan perolehan skor hasil
belajar di kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Perbandingan skor rata-rata tes
hasil belajar kelas eksperimen dan kelas
kontrol dapat dilihat pada gambar 2
berikut:
Gambar 2
Grafik Perbandingan Skor Rata-
Rata Hasil Belajar di Kelas
Eksperimen dan Kontrol
Berdasarkan gambar tersebut
dapat dilihat bahwa empat dari lima
indikator yang gunakan dalam tes hasil
belajar peserta didik, hasilnya lebih
tinggi di kelas eksperimen
dibandingkan dengan kelas kontrol.
Perbedaan yang paling signifikan
terdapat pada indikator 5 yaitu C5
(mengevaluasi). Dengan pencapaian
tersebut dapat disimpulkan bahwa
penggunaan model discovery learning
sangat berpengaruh pada kemampuan
mengevaluasi informasi yang telah di
dapat oleh peserta didik dibandingkan
30
20
10
0
Indikator Indikator Indikator Indikator Indikator 1 2 3 4 5
Eksperimen Kontrol
Page 59
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
63
dengan penggunaan model
pembelajaran langsung. Hal
tersebut disebabkan oleh
pelaksanaan pembelajaran di
kelas eksperimen yang diawali
dengan pemunculan
permasalahan melalui tayangan
gambar/video dan dan
memberikan kesempatan bagi
peserta didik untuk mencari
informasi dan mengolahnya
dengan cara mereka sendiri.
Hasil belajar peserta didik
pada ranah kognitif C5 menjadi
semakin terasah, meskipun
pembiasaan harus tetap
dilakukan agar kemampuannya
semakin meningkat. Hasil
tersebut sesuai pendapat Bruner
(Trianto, 2007) yang
menyatakan bahwa “Ketika
siswa berusaha sendiri untuk
mencari pemecahan masalah
serta pengetahuan yang
menyertainya akan
menghasilkan pengetahuan yang
benar- benar bermakna”.
Sejalan dengan Rosdiana,
dkk (2017) mengemukakan bahwa
“model
pembelajaran discovery learning yang
menekankan pada pembelajaran peserta
didik aktif dalam menemukan konsep”.
Berdasarkan fakta dan hasil pengamatan,
penerapan pembelajaran penemuan memiliki
beberapa kelebihan membantu peserta didik untuk
memperbaiki dan meningkatkan keterampilan dan
proses kognitif.
Sementara untuk perolehan skor tes hasil
belajar pada indikator ranah kognitif lainnya tidak
terlalu banyak perbedaan yang signifikan. Namun
jika dibandingkan, perolehan skor rata- rata tes
hasil belajar di kelas eksperimen lebih besar
dibandingkan perolehan skor rata-rata tes hasil
belajar di kelas kontrol.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, pengolahan
data, dan pengujian hipotesis, maka penulis
berkesimpulan bahwa:
1. Ada pengaruh model discovery learning terhadap
literasi sains dan hasil belajar peserta didik pada
sub konsep pencemaran lingkungan di kelas X
MIPA SMA Negeri 7 Kota Tasikmalaya Tahun
Pelajaran 2018/2019;
2. Ada hubungan model discovery learning terhadap
literasi sains dan hasil belajar peserta didik pada
sub konsep pencemaran lingkungan di kelas X
MIPA SMA Negeri 7 Kota Tasikmalaya Tahun
Pelajaran 2018/2019.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis ucapkan terimakasih kepada kedua
dosen pembimbing saya yang telah banyak
meluangkan waktunya demi terselesaikannya
penelitian saya ini, kepada ayah dan ibu, rekan-
Page 60
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
rekan seperjuangan yang senantiasa hadir
disaat suka maupun duka, dan kepada
seluruh pihak yang terkain dalam
penyusunan jurnal ini, sekali lagi saya
ucapkan banyak terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari. (2015). “Penerapan model
pembelajaran discovery learning
terhadap peningkatan hasil belajar
siswa kelas XI-IPA1 pada materi
sistem pernapasan di SMA Negeri
Unggul Sigli”. Jurnal Biologi
Edukasi Edisi 14, 7 (1), 13-21.
Aceh.
Nahdiah, L., et al. (2017). “Pengaruh
Model Pembelajaranpeer Led
Guided Inquiry (PLGI) Terhadap
Literasi Sains Dan Hasil Belajar
Siswa Pada Materi Hidrolisis
Garam Siswa Kelas XI PMIA
SMAN 3 Banjarmasin”. Journal Of
Chemistry And Education (JCAE),
1(1), 73-85. Banjarmasin.
Rahmadani, et al. ( 2018). “Profil
Keterampilan Literasi Sains Siswa
Sekolah Menengah Atas (SMA) di
Karang Anyar”. Jurnal Pendidikan
Biologi. 7(3), 183-190. Surakarta.
Rosdiana, et al. (2017). “Pengaruh
Penggunaan Model Discovery
Learning Terhadap Efektivitas
Dan Hasil Belajar Siswa”. Jurnal
Pendidikan: Teori, Penelitian, Dan
Pengembangan, 2(8), 1060-1064.
Samarinda.
Sarwono, Jonathan. (2016). Prosedur-
Prosedur Analisis Populer Aplikasi
Riset Skripsi dan Tesis dengan
Eviews. Yogyakarta: Gava Media.
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Page 61
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 2, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
65
Susanti. (2014) “Pembelajaran
Model Examples non
Examples Berbantuan
Powerpoint untuk
Meningkatkan Hasil
Belajar IPA”. Jurnal
Pendidikan IPA Indonesia.
3(2), 123-127. Semarang.
Suwono, Hadi, et.al. (2016).
“Peningkatan Literasi
Saintifik Siswa SMA
melalui Pembelajaran
Biologi Berbasis Masalah
Sosiosains”. Jurnal Ilmu
Pendidikan. 21(2), 135-
144. Malang.
Trianto. (2007). Model-model
Pembelajaran Inovatif
Berorientasi
Konstruktivisme. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Yaumi, et al. (2017). “Penerapan
Perangkat Model Discovery
Learning pada Materi
Pemanasan Global untuk
Melatih Kemampuan
Literasi Sains Siswa SMP
Kelas VII”. E-Journal
Pensa. 5(1), 38-45.
Semarang.
Page 62
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 1, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
2
hidup, dan tanggung jawab untuk bekerja.
Problematika tersebut bisa menjadikan
mahasiswi tidak menghiraukan tentang
kesehatan reproduksi mereka, sehingga akan
berdampak pada masa depannya atau masa
depan generasi yang dilahirkannya. Persepsi ini
yang perlu dipahami lebih dalam oleh mahasiswi
agar mereka dapat lebih memperhatikan
kesehatan reproduksi dan berbagai permasalahan
yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Berdasarkan alasan tersebut, maka diperlukan
penelitian untuk menganalisis persepsi
mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
tentang kesehatan reproduksi dan
permasalahannya.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret –
Desember 2018 di Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode survei. Instrumen yang
digunakan adalah angket dan wawancara
persepsi tentang kesehatan reproduksi dan
permasalahannya kepada responden yang
mewakili populasi tertentu. Populasi dalam
penelitian ini adalah mahasiswi di Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa, dengan 100 sampel.
Sampel yang diambil yaitu mahasiswi dengan
semua latar belakang jurusan di Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa dan sampel responden
diambil secara acak.
Instrumen pengetahuan dan persepsi
diadaptasi dari penelitian Pertiwi (2007).
Instrumen persepsi berisi pernyataan terbuka
sebanyak 13 pernyataan yang meliputi indikator
sebagai berikut: sumber informasi kesehatan
reproduksi, esensi pengetahuan terkait kesehatan
reproduksi, menstruasi, hubungan seks,
kontrasepsi dan aborsi, serta kelainan seksual
dan penyakit menular seksual.
HASIL DAN PEMBAHASAN
KBBI (2015) memberikan arti untuk
kata persepsi adalah tanggapan (penerimaan)
langsung dari sesuatu atau serapan. Persepsi
dapat diartikan menafsirkan informasi sensoris
guna memberikan gambaran dan pemahaman
tentang sesuatu. Pada penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis persepsi mahasiswi Untirta
tentang kesehatan reproduksi wanita dan
permasalahannya, yang diukur melalui angket
terbuka dan wawancara. Persepsi yang ingin
diungkap pada penelitian ini mencakup pada
persepsi responden terhadap sumber informasi
kesehatan reproduksi, esensi pengetahuan terkait
kesehatan reproduksi, menstruasi, hubungan
seks, kontrasepsi dan aborsi, serta kelainan
seksual dan penyakit menular seksual.
Tanggapan responden terhadap esensi
informasi kesehatan reproduksi mendapatkan
65% responden menyampaikan bahwa informasi
tentang kesehatan reproduksi wanita dan
permasalahannya sangat penting untuk diketahui
oleh para mahasiswi. Remaja membutuhkan
pendidikan dan informasi mengenai kesehatan
reproduksi agar memiliki pengetahuan yang
cukup mengenai reproduksi, bagaimana fungsi-
fungsi organ bekerja, bagaimana kehamilan, dan
dampak yang ditimbulkannya (Hasanah, 2016).
Adapun responden yang menjawab sangat
penting dan penting beralasan bahwa
pengetahuan atau informasi mengenai kesehatan
reproduksi wanita dan permasalahannya
dijadikan sebagai bekal untuk lebih menjaga diri
dengan lebih baik, agar terhindar dari pergaulan
bebas, dan penyakit menular seksual. 35%
responden yang menyatakan cukup penting dan
biasa saja, mereka beralasan bahwa informasi
tersebut tidak perlu mereka ketahui lebih dalam
karena berjalan alami sesuai usia saja (dapat
dilihat pada Gambar 1).
Gambar 1. Persentase Tanggapan tentang Esensi
Informasi Kesehatan Reproduksi dan
Permasalahannya
Page 63
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 1, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
3
Responden juga diminta untuk
memberikan persepsi tentang menstruasi.
Responden mampu mengingat kapan pertama
kali menstruasi (Tabel 1) dan rutinitas
menstruasi (Tabel 2).
Tabel 1. Pertama Kali Menstruasi
Tabel 2. Rutinitas Menstruasi
Hal ini membuktikan bahwa menstruasi
memiliki makna yang penting bagi hidup
mereka. Menurut responden, menstruasi itu
menandakan usia semakin dewasa atau baligh,
sehingga harus lebih bisa menjaga hubungan
dengan lawan jenis. Menstruasi merupakan
indikator kematangan seksual pada remaja putrid
an kesalahpahaman praktek kebersihan diri
selama menstruasi dapat merugikan kesehatan
bagi remaja sehingga perlu kesadaran informasi
tentang praktik menstruasi yang sehat (Gustina
& Djannah, 2015). Persepsi yang diungkapkan
oleh responden menandakan bahwa mereka
secara mental telah mengetahui dan siap dengan
perubahan-perubahan dalam siklus
kehidupannya.
Responden memiliki persepsi tentang
hubungan siklus menstruasi dengan kesuburan
wanita. 82% responden memberikan jawaban
iya, 14% tidak tahu, 3% tidak ada, dan 1% tidak
menjawab. Responden yang menyatakan ada
hubungan, hanya < 40% yang memberikan
alasan benar, sisanya belum tepat, sedangkan
responden yang menjawab tidak tahu memang
tidak memberikan alasan. Menurut responden,
siklus menstruasi yang teratur akan
memudahkan mengetahui masa subur, hubungan
siklus menstruasi dengan kesuburan dipengaruhi
oleh hormon esterogen dan progesteron, gaya
hidup yang berbeda dari masing-masing wanita
yang mempengaruhi kinerja hormon tersebut.
Menurut Departemen Kesehatan (2001), siklus
menstruasi yang rutin sangat berhubungan erat
dengan tingkat kesuburan. Dengan mengetahui
siklus menstruasi, maka kita dapat memahami
mengenai terjadinya ovulasi dan bisa
mengetahui kapan kira-kira masa subur akan
terjadi. Mahasiswi penting memahami tentang
informasi ini, karena sebagai bekal untuk
kehidupan mereka yang akan datang sesuai
dengan kematangan usia saat ini untuk menikah.
Penelitian ini juga mengungkap
bagaimana persepsi mahasiswi tentang seks
bebas yang dapat menyebabkan penyakit.
Dampak perilaku seks bebas akan berisiko
terhadap kesehatan reproduksi, antara lain:
kehamilan yang tidak diinginkan, tertular PMS
termasuk HIV/AIDS, dan konsekuensi
psikologis (Kasim, 2014). 94 responden
menyatakan tahu tentang akibat dari seks bebas,
4 responden menjawab tidak tahu, dan 2
responden tidak menjawab. Menurut responden,
seks yang tidak aman (bebas) dapat menularkan
penyakit pada organ seksual atau lainnya, karena
pengaruh ganta-ganti pasangan, atau pasangan
yang tidak jelas kesehatan reproduksinya.
Jawaban responden ini membuktikan bahwa
responden sudah memahami bahwa seks bebas
akan menimbulkan resiko yang tidak baik, maka
seharusnya tidak boleh dilakukan.
Mahasiswi juga perlu menyadari akan
pentingnya pembuatan keputusan untuk menolak
setiap kegiatan seksual yang rentan terjadi pada
masa remaja karena setiap kegiatan seksual
mempunyai risiko negatif tentang kesehatan
reproduksinya. Hubungan atau kontak seksual
pada remaja juga berisiko terhadap tumbuhnya
Page 64
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 1, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
4
sel kanker pada mulut rahim, penyakit menular
seksual, HIV/ AIDS, melakukan aborsi, dan
lebih jauh dapat menyebabkan komplikasi
berupa ganguan mental dan kepribadian pada
remaja (Unicef, 2005).
Pengetahuan mengenai penggunaan alat
kontrasepsi saat berhubungan intim juga penting
diberikan kepada mahasiswi, untuk menghindari
kehamilan. Pada penelitian ini ditanyakan
kepada responden tentang pernahkah
menggunakan alat kontrasepsi saat berhubungan
intim. 95 responden mengatakan belum pernah,
3 responden mengatakan tidak tahu, dan 2
responden menyatakan pernah. Pertanyaan ini
untuk menggali pemahaman mahasiswi tentang
manfaat alat kontrasepsi. Berdasarkan hasil
analisis alasan pada jawaban yang dipilih,
menyatakan bahwa responden sudah memahami
bahwa alat kontrasepsi digunakan untuk
mencegah kehamilan. Penundaan kehamilan
menggunakan alat kontrasepsi dapat dilakukan
karena berbagai faktor, diantaranya faktor
ekonomi karena belum mapan, mengejar karir
dalam pekerjaan, dan kesepakatan bersama
antara suami dan istri (Dasri, 2016).
Pengetahuan mengenai kelainan atau
penyakit seksual juga penting bagi mahasiswi,
agar lebih berhati-hati supaya tidak terkena
penyakit tersebut. Menurut hasil penelitian, 63
responden sudah mengtahui tentang kelaianan
atau penyakit seksual, 32 responden tidak
mengetahui, dan 5 responden tidak menjawab.
Dari 63 responden, 55 responden memberikan
contoh kelainan dan penyakit seksual,
sedangkan 8 responden lainnya tidak
memberikan contoh. Contoh kelainan dan
penyakit seksual yang diberikan di antaranya
yaitu HIV AIDS, sifilis, dan gonorrhea.
Kebanyakan responden menjawab HIV AIDS,
karena memang penyakit seksual tersebut sering
diberitakan di media massa maupun elektronik.
Responden juga diminta untuk
memberikan persepsi tentang pentingnya
menjaga kesehatan alat reproduksi, dan caranya.
90 responden menyatakan sangat penting, 9
responden menyatakan penting, dan 1 responden
tidak menjawab. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa mahasiswi sudah memahami pentingnya
menjaga kesehatan alat reproduksi, dan
memberikan contoh cara menjaganya.
Responden yang menjawab penting dan sangat
penting beranggapan bahwa menjaga kesehatan
alat reproduksi penting dilakukan agar terhindar
dari penyakit. Mereka menyatakan menjaga
kesehatan alat reproduksi bisa dengan cara
menjaga kebersihan alat reproduksi, sering
mengganti pakaian dalam, sering mengganti
pembalut ketika menstruasi, dan tidak
berhubungan seks bebas. Remaja harus
mengetahui beberapa hal terkait kesehatan
reproduksi, diantaranya: Pengenalan tentang
proses, fungsi, dan sistem alat reproduksi,
mengetahui penyakit HIV/AIDS dan penyakit
menular seksual lainnya, serta dampaknya pada
kondisi kesehatan organ reproduksi, mengetahui
dan menghindari kekerasan seksual, mengetahui
pengaruh media dan sosial terhadap aktivitas
seksual, dan mengembangkan kemampuan
dalam berkomunikasi, terutama membentuk
kepercayaan diri dengan tujuan untuk
menghindari perilaku berisiko (Kementerian
Kesehatan, 2018).
KESIMPULAN
Persepsi yang ingin diungkap pada
penelitian ini mencakup pada persepsi
responden terhadap esensi informasi kesehatan
reproduksi, menstruasi, hubungan seks,
kontrasepsi, dan kelainan seksual. Persepsi
mahasiswi Untirta terhadap kesehatan
reproduksi, mendapatkan respon terendah
yaitu mengenai aspek kelainan dan penyakit
seksual. Banyak responden tidak memahami
kelainan dan penyakit seksual. Persepsi
tersebut menggambarkan perlu adanya
pemahaman yang mendalam terkait kesehatan
reproduksi pada mahasiswi.
Page 65
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, Vol. 15, No. 1, Tahun 2020
p-ISSN: 1907-087X; e-ISSN: 2527-4562
5
SARAN
Hasil penelitian ini menyarankan
untuk adanya peningkatan penyuluhan dan
pembinaan kepada mahasiswi tentang
kesehatan reproduksi wanita. Selain itu, materi
tentang kesehatan reproduksi juga bisa
disampaikan pada mata kuliah yang terkait,
seperti biologi dan pendidikan agama.
REFERENSI
Dasri. 2016. Penundaan Kehamilan Dengan
Memakai Alat Kontrasepsi Bagi
Pengantin Baru Dalam Tinjauan Hukum
Islam (Studi Di Kecamatan Selebar Kota
Bengkulu). Qiyas. Vol. 1, No. 1, 107-
116.
Departemen Kesehatan. 2001. Pola Pembinaan
Kesehatan Reproduksi dalam Pembinaan
Kesehatan Keluarga. Departemen
Kesehatan: Jakarta.
Gustina, E & Djannah, S.N. 2015. Sumber
Informasi Dan Pengetahuan Tentang
Menstrual Hygiene Pada Remaja Putri.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 10,
No.2, 147-152.
Hasanah, H. 2016. Pemahaman Kesehatan
Reproduksi Bagi Perempuan: Sebuah
Strategi Mencegah Berbagai Resiko
Masalah Reproduksi Remaja. Sawwa.
Vol 11, No.2, 229-252.
Ismawati. 2011. Pengetahuan dan Sumber
Informasi Kesehatan Reproduksi Remaja
dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi
di Indonesia. Manajerial .Vol. 9 No. 18:
11-15.
Kasim, F. 2014. Dampak Perilaku Seks Berisiko
Terhadap Kesehatan Reproduksi Dan
Upaya Penanganannya (Studi Tentang
Perilaku Seks Berisiko Pada Usia Muda
Di Aceh). Jurnal Studi Pemuda. Vol. 3,
No.1, 39-48
Kementerian Kesehatan. 2018. Pentingnya
Menjaga Kebersihan Alat Reproduksi.
Diakses pada:
http://promkes.kemkes.go.id/pentingnya-
menjaga-kebersihan-alat-reproduksi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 61 Tahun 2012 tentang Kesehatan
Reproduksi.
Pertiwi, Kartika, Salirawati, Dias. 2014.
Pengetahuan dan Persepsi Mahasiswa
Tentang Kesehatan Reproduksi dan
Permasalahannya. Jurnal Penelitian
Humaniora. Vol. 19. No.02, Oktober
2014: 104:105.