Perkumpulan Studi di D FAKUL UNIVERSITAS INDONESIA n Sosial Merespon Pemerintahan Lok Desa Rintis, Siantan, Kab. Kep. Anam TESIS Anggoro Yudo Mahendro 116037315 PROGRAM PASCA SARJANA DEPARTEMEN SOSIOLOGI LTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLIT UNIVERSITAS INDONESIA Depok, Juni 2013 kal Baru: mbas TIK
166
Embed
Perkumpulan Sosial Merespon Pemerintahan Lokal Baru: Studi Perkumpulan Sosial di Desa Rintis Kab. Kep Anambas
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkumpulan Sosial Merespon Pemerintahan Lokal Baru:Studi di Desa Rintis, Siantan, Kab. Kep. Anambas
TESIS
Anggoro Yudo Mahendro
116037315
PROGRAM PASCA SARJANA
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
Depok, Juni 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkumpulan Sosial Merespon Pemerintahan Lokal Baru:Studi di Desa Rintis, Siantan, Kab. Kep. Anambas
TESIS
Anggoro Yudo Mahendro
116037315
PROGRAM PASCA SARJANA
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
Depok, Juni 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkumpulan Sosial Merespon Pemerintahan Lokal Baru:Studi di Desa Rintis, Siantan, Kab. Kep. Anambas
TESIS
Anggoro Yudo Mahendro
116037315
PROGRAM PASCA SARJANA
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
Depok, Juni 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkumpulan Sosial Merespon Pemerintahan Lokal Baru:Studi di Desa Rintis, Siantan, Kab. Kep. Anambas
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister (M.Si) dalam Sosiologi
Anggoro Yudo Mahendro
116037315
PROGRAM PASCA SARJANA
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
Depok, Juni 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkumpulan Sosial Merespon Pemerintahan Lokal Baru:Studi di Desa Rintis, Siantan, Kab. Kep. Anambas
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister (M.Si) dalam Sosiologi
Anggoro Yudo Mahendro
116037315
PROGRAM PASCA SARJANA
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
Depok, Juni 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkumpulan Sosial Merespon Pemerintahan Lokal Baru:Studi di Desa Rintis, Siantan, Kab. Kep. Anambas
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
6ueA uerngeled ue6u.ep jensas aurspe;6e1d uelepull eduel unsns eles rur-irsel
BA r{eq ue>1eler(uetu eAuteueqes ueouep iu;. qemEq ip ueouelepuepaq 6uer( eieg
i. :
3l,ltsHvt9vldr svgSg NVVTvANUea
HALAI']AN PERNYA.TAAN ORISINALITAS
Tesis iniadalah hasil karya sendiri, daR semua sumber baik yang dikutip maupun
dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Narna
NPM
Tanda Tangan
Tangga!
: Anggoro Yudo Mahendro
LEMBAR PENGESAHAN TESIS
Nama : Anggoro Yudo Mahendro
NPM :1106037315
Juduk Tesis : Perkumpulan Sosial Pedesaan Merespon Pemerintahan Lokal
Baru (Studitentang Perkumpulan Sosial di Desa Rintis, Kab. Kep. Anambas)
Tesis ini telah dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
salah satu persyaratan y?ng diperlukan untuk memperoleh gelar Magister (M.Si)
pada program studi sosiologi, Fakultas llmu Soial dan llmu Politik Universitas
lndonesia.
Tim Penguji
Ketua SidangRaphaella Dewantari Dwianto, Ph.D
Sekretaris SidangPutu Chandra Dewi Kardha, M.Si
PembimbingDr. der soz Rochman Achwan
PengujiAhliSudarsono Hardjosoekarto, Ph.D
ilt
d-.- yt"
,B*,C **k{,*rvu \.
il,
Ditetapkan di , H?F,rangsar ' !P-]Y*lp'-\)
v
ABSTRACT
This study discusses the social community in relation to the state. Byusing approach embededdness, these two elements have seen a reciprocalrelationship and cannot be separated. In that context, social association hassocial capital in Three forms: bonding, bridging, and linking. The Third entities aredeveloped in accordance with the historical background of the people, so that inevery society will be found the different proportion social capital.
By using qualitative approach, data collection obtained through interviews,observation and document study. Took place in Anambas, because this regionhas just had a new local government with some distinctive characteristics. Typicalcharacteristics include: (1) located on the border of Indonesia, (2) Island territory,(3) the local government has a huge budget.
In the democratization efforts, the government both in the national andlocal level strive to create an active community, which is manifested in a varietyof social associations. Desa Rintis shows how the active role of localgovernment, capable of triggering the emergence of social associations at thevillage level. This is understandable because the local government has thestructural strength through its regulations to influence society.
Besides, local governments also provide cultural capitalas well asEconomic capital that is included in the relasional process between the state andsocial associations. This condition causes, the initiative of some members of theCommunity to form associations and engage in social activities.
Judging from the concept of social capital, social associations in the DesaRintis have social capital that is not balanced between bonding, bridging, andlinking. Strong social associations on the linking side and weak the bonding andbridging side. Therefore, the existence of social associations in the village Rintisjust hang up (to the state). Said to hang because of the active efforts from theleaders of the social associations to involve themselves with the state. Thiscondition is the feedback from the top-down pattern that developed earlier by thestate.
Keywords: social association, rural communities, local government, andsocial capital.
vi
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai perkumpulan sosial dalam kaitannyadengan negara. Dengan pendekatan keterlekatan (emededdness), keduaelemen tersebut dilihat memiliki hubungan resiprokal dan tidak bisa dipisahkan.Dalam konteks itu, perkumpulan sosial memiliki modal sosial dalam tiga bentuk;ikatan (bonding), hubungan (bridging), dan pengkait (linking). Ketiga entitastersebut berkembang sesuai dengan latar belakang sejarah masyarakatnya,sehingga di dalam setiap masyarakat akan ditemuan proporsi modal sosial yangberbeda.
Dengan menggunakan penekatan kualitatif, pengambilan data didapatkanmelalui wawancara, observasi dan studi dokumen. Mengambil tempat diAnambas, dikerenakan wilayah ini baru saja memiliki pemerintahan lokal barudengan beberapa karakteristik khas. Karakteristik khas tersebut antara lain; (1)berada di perbatasan Indonesia, (2) wilayahnya kepulauan, (3) pemerintah lokalmemiliki APBD yang besar.
Ditengah upaya demokratisasi, pemerintah baik dalam tingkat nasionalmaupun lokal berupaya untuk menciptakan masyarakat yang aktif, yangtermanifestasi dalam berbagai perkumpulan sosial. Desa Rintis memperlihatkanbagaimana peran aktif pemerintah lokal, mampu memicu bermunculannyaperkumpulan sosial di tingkat desa. Hal ini dipahami karena pemerintah lokalmemiliki kekuatan struktural lewat regulasi yang dimilikinya untuk mempengaruhimasyarakat. Selain itu pemerintah lokal juga menyediakan modal ekonomisekaligus modal kultural yang disertakan didalam proses relasional antaranegara dengan perkumpulan sosial. Kondisi ini menyebabkan, adanya inisiatifdari beberapa anggota masyarakat untuk membentuk serta terlibat dalamaktifitas perkumpulan sosial.
Ditinjau dari konsep modal sosial, perkumpulan sosial di Desa Rintismemiliki modal sosial yang tidak seimbang antara bonding, bridging, dan linking.Perkumpulan sosial kuat pada sisi linking, namun lemah pada sisi bonding danbridging. Oleh karenanya, perkumpulan sosial di Desa Rintis eksitensinya hanyamenggantung ke atas (negara). Dikatakan menggantung karena adanya upayaaktif dari para pemimpin perkumpulan sosial yang ada untuk mengakaitkan diridengan negara. Kondisi ini merupakan umpan balik dari pola top-down yangdikembangkan sebelumnya oleh negara.
Kata Kunci: perkumpulan sosial, masyarakat pedesaan, pemerintahanlokal, dan modal sosial.
vii
KATA PENGANTAR
Bersyukur kepada Allah Swt atas segala karunianya, sehingga tesis inidapat dirampungkan. Hasil dari perjalanan melintasi Lautan Cina Selatan yangdilaksanakan pada awal tahun 2013, sebagian besar sudah tertulis walaupunmasih banyak kekurangan di sana sini. Anambas selalu memiliki pesona, baikdalam segi panorama alamnya, kultur, dan juga sejarahnya, sehingga dalamkerja-kerja pengumpulan data dan penulisan, selalu berkesan dalam. Semogakedepan akan ada kesempatan lagi untuk datang ke sana, dalam upayamengembangkan studi ini.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepadaberbagai pihak yang telah membantu dalam penulisan tesis ini. Terutama kepadakedua orang tua penulis, ayahanda Sunaryo H.I dan ibunda Ismukarini yangselalu mendukung agar tesis ini selesai. Serta keluarga batih yang lain, adik W.APramudito, kakak NS. Pantoro, dan semua keponakan yang lucu.
Lalu kepada, Bapak Dr. der soz Rocman Achwan, sebagai pembimbingyang telah banyak berkontribusi semenjak penulisan RC, proposal, hingga draftini selesai. Kemudian, kepada Bapak Sudarsono Hardjosoekarto, Ph. D sebagaipenguji ahli, Ibu Raphaella D. Dwianto, Ph. D sebagai kepala programpascasarjana sosiologi yang bertindak sekaligus ketua sidang, serta Ibu PutuChandra, M.Si selaku sekretaris sidang. Tak lupa pada semua rekan-rekanseperjuangan di kelas reguler 2011, Mas Najib, Mba Meta, Mas Sis, Pak Usep,Mas Heru, Pak Ihya, Mas Nala, Mas Azis M.Si, Mas Didi temenna Baban, danMas Iqbal. Juga rekan-rekan di kelas MMPS 2011, MMPS 2012, dan kelas S3sosiologi 2011.
Beberapa pihak di Tarempa dan Rintis juga ambil andil besar atasselesainya tesis ini tepat waktu. Terimakasih sekali kepada Ibu Isye dan NurulHidayah yang selalu perhatian atas kondisi psikis, fisik dan kesehatan penulis.Abdul Hadi, Bapak Abu Hanifah serta teman-teman KNPI Kab. Kep Anambasyang selalu membantu dalam proses pengambilan data. Kemudian juga untukMba Adrin, Carol, Mas Anang, dan Pak Rian yang telah mau membantumenyediakan dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Saya juga ingin berterimakasih kepada Pak Asep Suryana yang dari awal sampai akhir banyakmemberikan masukan dan bahan-bahan terkait penelitian ini.
Akhir kata, penulis berharap agar penelitian bermanfaat baik dari segiteoritis mapun praktis. Khususnya dalam upaya pengembangan masyarakat sipilyang berdaya. semoga.
Pondok Cabe, 31 Mei 2013
Anggoro Yudo Mahendro
viii
DAFTAR ISI
Pernyataan Bebas Plagiarisme....................................................................... iHalaman Pernyataan Orisinalitas.................................................................... iiPernyataan Persetujuan Publikasi .................................................................. iiiLembar Pengesahan Tesis ............................................................................. ivAbstrak ........................................................................................................... vKata Pengantar............................................................................................... viiDaftar Isi ........................................................................................................ viiiDaftar Tabel dan Gambar ............................................................................... ixBAB I Pendahuluan ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang Permasalahan ............................................................ 1B. Perumusan masalahan Penelitian....................................................... 5C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian....................................................... 7D. Tinjauan Penelitian Sejenis ................................................................. 8E. Kerangka Konseptual .......................................................................... 15
a. Masyarakat Pedesaan.................................................................... 15b. Perkumpulan Sosial ...................................................................... 17c. Pemerintahan Lokal........................................................................ 19d. Modal Sosial................................................................................... 22
F. Metodologi Penelitian. ........................................................................ 32G. Sistematika Penulisan......................................................................... 35
BAB II Desa Rintis: Sebuah Tinjauan Kontekstual .......................................... 37A. Pengantar ........................................................................................... 37B. Kondisi Geografis dan Kependudukan ................................................ 38C. Konteks Sosial Ekonomi dan Kesejarahan.......................................... 45D. Konteks Kultural dan Hubungan Antar Etnik........................................ 53E. Konteks Politik Administratif ................................................................ 60F. Penutup .............................................................................................. 66
BAB III Munculnya Pemerintahan Lokal Baru dan Perkumpulan Sosial .......... 68A. Pengantar ........................................................................................... 68B. Inovasi Masyarakat dalam Tatanan Sosio-Ekonomi Baru.................... 69C. Gerak Pemekaran dan Keharusan Perkumpulan Sosial...................... 74D. Bantuan Negara dan Munculnya Perkumpulan Sosial......................... 84E. Penutup .............................................................................................. 96
BAB IV Dinamika Jaringan dalam Perkumpulan Sosial................................... 98A. Pengantar ........................................................................................... 98B. Persaingan diantara Elit Baru.............................................................. 99C. Optimalisasi Linking ............................................................................ 104D. Keanggotaan yang instrumental.......................................................... 115E. Revitalisasi Semangat Etnisitas .......................................................... 125F. Penutup .............................................................................................. 132
BAB V Menggantung ke Atas: Ironi Perkumpulan Sosial Rintis....................... 134A. Pengantar ........................................................................................... 134B. Menggantung ke Atas: Ironi Perkumpulan Sosial Rintis ...................... 136C. Kontribusi Teoritis: Peran Aktor dalam Dinamika Modal Sosial ........... 140D. Kontribusi Praktis: Menuju Pemerintahan Lokal yang Berkapabilitas.. 144
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 151LAMPIRAN ..................................................................................................... 156
ix
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Daftar Tabel dan Bagan
Tabel 1.1 Dimensi Aktor dan Peran dari Masyarakat Sipil............................... 3Tabel 1.2 Kelekatan Institusional dan Kapasitas Institusional ......................... 20Bagan 1 Skema Relasi Perkumpulan Sosial Menurut Putnam........................ 26Tabel 1.3 Perbandingan Jejaring Pengusaha ................................................. 28Tabel 1.4 Derajat Modal Sosial Pada Perkumpulan Sosial ............................. 29Tabel 1 Sebaran Pekerjaan Masyarakat Anambas ......................................... 44Tabel 2 Pekerjaan Masyarakat Desa Rintis .................................................... 45Tabel 3 Daftar Produksi dan Ekspor Karet Indonesia...................................... 47Tabel 4Penduduk Desa Rintis Berdasarkan Etnis........................................... 59Tabel 5 Perkembangan Perkumpulan Sosial di Desa Rintis ........................... 77Tabel 6 Jumlah Perkumpulan sosial di Tingkat Kecamatan ............................ 85Tabel 7 Daftar Bantuan yang Ada di Desa Rintis ............................................ 87Tabel 8 Peran Aktor dalam Perkumpulan Sosial ............................................. 104Tabel 9 Jumlah Anggota PKBM Kurnia........................................................... 117Tabel 10 Kekuatan Jaringan dalam Perkumpulan Sosial ................................ 134
Daftar GambarGambar 1 Peta Kab. Kepulauan Anambas ..................................................... 39Gambar 2 “Tim Voetbal Vereeniging” Juara Tahun 1924 di Tarempa............. 56Gambar 3Kota Tarempa Dilhat dari Perbukitan Rintis..................................... 63Gambar 4 Kampung Gudang tengah .............................................................. 83Gambar 5 Sapi yang Dilepas dan Lahan Pertanian yang Dipagar .................. 89Gambar 6 Gedung PKBM Kurnia.................................................................... 91Gambar 7 Papan Nama Koperasi Pertanian ................................................... 103Gambar 8 Aktifitas Pelatihan PKBM Kurnia bersama BF ................................ 106Gambar 9 Produk Hasil Pelatihan dengan BF................................................. 114Gambar 10 Kelompok PKK Bidang Pertanian................................................. 120Gambar 11 Pertunjukan Silat Banten.............................................................. 130
1
BAB IPendahuluan
A. Latar BelakangPandangan bahwa negara sebagai satu-satunya elemen yang berhak
mengatur aktivitas-aktivitas sosial warga negaranya (absolut) terus mengalami
pergeseran. Hal ini merupakan refleksi atas eksistensi negara yang dipandang
hanya mewakili kepentingan elit semata, atau yang dalam bahasa Gran disebut
negara birokratik (dalam Martinussen, 1999; 333-334). Sehingga dalam iklim
demokrasi (sebagaimana yang terjadi di Indonesia), negara kini memiliki peran
yang lebih terbatas yaitu sebagai regulatory institution (Widjajanto, 2007; 22).
Dalam artian, negara hanya sebagai lembaga yang mengeluarkan kebijakan-
kebijakan publik yang tentunya juga sesuai dengan keinginan warga negaranya.
Dengan demikian, dalam upayanya untuk memperoleh kesejahteraan
masyarakat harus berupaya secara mandiri. Lebih lanjut, Gran berpendapat
bahwa masyarakat harus diberikan proporsi yang lebih untuk mengatur dirinya
sendiri atau diberikan andil untuk berpartisipasi aktif dalam kebijakan-kebijakan
yang diberikan oleh negara (dalam Marinussen, 1999; 335-338).
Relasi antara negara dan masyarakat dalam perkembangan mutahir
selalu menjadi perbincangan akademis yang hangat. Wollstein dan Koch
(disunting oleh Jubort dan Koch, 2008) memberikan uraian rinci mengenai
kaburnya istilah masyarakat sipil (civil society) terkait dimensi peran dan aktor.
Dalam dimensi aktor disparitas muncul atas pertanyaan siapa yang memegang
kendali, apakah masyarakat sipil menginisiasi secara mandiri atau malah
negara? (hal 196). Dalam penjelasanya Wollstein dan Koch menguraikan fakta
empris yang bahwa dua kutub tersebut memang eksis dengan konteks sosial di
masing-masing negara. Dengan demikian, perlu memandang negara sebagai
‘inclusive sphare’ yang karakternya ditentukan oleh norma masyarakat yang ada
serta dipaksakan oleh pemerintah yang berwenang (Post dan Rosenblum, 2002).
Block and Evans (2005) mengintroduksi pemahaman baru untuk
membaca perkembangan suatu negara dengan konfigurasi kelekatan
(embeddedness) antar tiga institusi makro; negara, pasar, dan masyarakat.
Artinya perkembangan suatu negara tidak dapat dilakukan oleh negara atau
masyarakat semata, namun membutuhkan kelekatan antar elemen-elemen
tersebut. Pandangan ini menjadi alternatif pemikiran untuk mengembangkan
Universitas Indonesia
2
masyarakat selain dengan pendekatan Marxian (lihat Scott, 1985; Rivera, 1994;
Baker, 2002; Bourdeau; 2001) atau yang disebut oleh Alexander (2006) dengan
perspektif civil society II.
Lebih lanjut, Yosihara and Dwianto (2003) juga mencoba memberikan
argumen pentingnya melihat masyarakat atau grass roots, tidak hanya dalam
pandangan yang terpisah dengan negara. Chonakai di Jepang dan RT/RW di
Indonesia juga dapat dilihat sebagai elemen yang juga menyuarakan
kepentingan-kepentingan masyarakat. Dalam studi yang lebih awal di Indonesia,
Tjondronegoro (1984) berkontribusi untuk membangun konsepsi setiap
organisasi masyarakat yang goverment-oriented dan community-oriented dalam
pandangan yang lebih netral. Hal ini dipahami karena, setiap organisasi
masyarakat dengan berbagai konteks sosialnya sama-sama memiliki peran untuk
menyuarakan dan menjalankan kepentingan-kepentingan internal mereka.
Dalam studi lain (Winarno, 2008) juga melihat kelekatan yang kuat antara
organisasi desa dengan kebijakan pemerintahan ditingkat pusat. Namun, dalam
studi ini organisasi-organisasi di tingkat desa hanya dilihat sebagai representasi
dari kebijakan-kebijakan pemerintah semata. Sebagaimana Winarno (2008),
studi Long (2005) di pedesaan Cina dan Radhakrisna (1997) di pedesaan India
juga melihat perkembangan masyarakat desa sebagai akibat dari perubahan
stuktur ekonomi dan politik yang terjadi. Feonmena ini dipahami karena konteks
masyarakat desa di Asia tidak banyak pilihan untuk merespon perubahan-
perubahan struktural yang ada.
Di sisi lain, studi Suryana (2007) memperlihatkan bagaimana masyarakat
secara mandiri mengelola ruang sosial suburban. Dijelaskan dalam studi
tersebut, bagaimana setiap anggota masyarakat memiliki kemampuan untuk
mengatur setiap keperluannya secara mandiri tanpa kehadiran negara yang
signifikan. Kemudian Soemantri (disunting oleh Dwianto dan Yosihara, 2003)
memperlihatkan kemampuan organisasi Muhammadiyah di Jakarta
mengembangkan kebudayaan, ekonomi dan politik bagi masyarakat sekitar.
Selanjutnya, Achwan (2012) memberikan uraian mengenai perkembangan
lembaga keuangan mikro Pancur Kasih di Kalimantan Barat yang cukup pesat
dengan ikatan etnisitas kedayakan (lihat juga Nugroho, 2003; Stuart dan
Kanneganti, 2003). Perspektif dalam studi-studi tersebut sebagaimana
diungkapkan oleh Suryana (2007) memang berpegang pada pendekatan
keagenan, dalam artian mencoba menjelaskan masyarakat (dan perkumpulan
Universitas Indonesia
3
sosial) sebagai aktor yang kreatif dan tidak selamanya tersubordinasi oleh
institusi-instiusi makro seperti; negara dan kapital.
Dengan demikian, studi mengenai organisasi-organisasi masyarakat lokal
khususnya di pedesaan memang perlu ditinjau dari sisi perubahan struktur
ekonomi-politik sekaligus kemampuaan organisasi untuk menyuarakan dan
menjalankan kepentingan-kepentingan internal mereka. Perpaduan dua analisa
itu terdapat pada studi Yosihara (2003) yang menjelaskan bagaimana hubungan
chonakai (organisasi ketetanggan di Jepang) bersinergi dengan pemerintah.
Kemudian, Diamond (2007) menunjukan bahwa semenjak partai Buruh berkuasa
di Inggris, komunitas ketetanggan (neighborhood association) secara efektif
memainkan peran penting dalam membuat regulasi dan pelaksanannya sebagai
akibat kelekatannya dengan pemerintahan lokal.
Diskusi di atas menunjukan bahwa pemahaman tentang perkumpulan-
perkumpulan sosial dapat ditinjau dari berbagai dimensi. Perkumpulan-
perkumpulan sosial sebagai ajang anggota masyarakat beraktualisasi tentunya
memiliki dinamika internal dan eksternal (sturktural), sehingga munculah
disparitas analisa akademik untuk membahasnya. Pemetaan mengenai studi
masyarakat sipil dilakukan oleh Wollstein dan Koch (disunting oleh Jubort dan
Koch, 2008) dengan membagi dua dimensi; aktor dan perananya. Dalam Tabel 1
di bawah ini akan dijelaskan mengenai ragam jenis masyarakat sipil berdasarkan
pembagian dimensi tersebut.
Tabel 1.1Dimensi Aktor dan Peran dari Masyarakat Sipil
Aktor Fungsi Masyarakat Sipil
Membela hak politik danmemberdayakan masyarakat
Mendorong kesejahteraan sosial danpemerintahan yang baik
Masyarakat yg
aktif
Sumber dan promotor demokrasi(Kategori I)- mendorong demokratisasi- representasi dari keberagaman
kepentingan masyarakat
Penjamin kepentingan masyarakat(Kategori II)- meminta dan menyediakan
pelayanan publik- akar rumput sebagai organisasi yang
mandiriNegara yang
aktif
Warga yang bertanggungjawab(Kategori III)- kewargaan sosial- masyarakat sipil sebagai sekutu
politik
Patner dalam pemerintahan yangbaik (Kategori IV)- memberi masukan untuk pelayanan
publik- masyarakat mendukung kewargaan
Sumber: Wollstein dan Koch (disunting oleh Jubort dan Koch, 2008; 200)
Dari tabel di atas, perkumpulan sosial yang juga dimaknai sebagai, grass
root dan (Dwianto dan Yosihara, 2003; Diamond, 2007), local institution(Nugroho,
Universitas Indonesia
4
2003), social organization (Tjondronegoro, 1984), dan organisasi pedesaan
(Winarno, 2008) berada pada kategori II dan IV. Hanya studi Diamond (2007)
yang menjelaskan tentang neighborhood association di London yang masuk
dalam kategori III. Hal ini dipahami karena latar belakang pendidikan masyarakat
yang tinggi serta stuktur politik demokrasi yang sudah mapan. Dengan demikian
secara umum perkumpulan sosial khususnya di pedesaan memiliki domain
sebagai penjamin kepentingan masyarakat serta partner pemerintah untuk
menciptakan pemerintahan yang baik.
Perkumpulan sosial dalam Kategori IV pada konteks Indonesia
sesungguhnya baru muncul semenjak era reformasi (Achwan, 2012; Nugroho,
2003; Dwianto dan Yosihara; 2003). Hal ini dipahami karena pada masa sebelum
reformasi, perkumpulan-perkumpulan sosial perannya sangat terbatas dan
diawasi dengan ketat. Sehingga perubahan kondisi politik yang lebih terbuka dan
demokrasis menjadi iklim yang subur untuk perkumpulan sosial memperluas
peranannya (lihat Radyati, 2008; 256). Sedangkan studi pada zaman Orde Baru
(Tjondronegoro, 1984; Winarno; 2008) memperlihatkan peranan perkumpulan
sosial yang hanya terbatas pada kategori II itu pun masih sangat terbatas.
Kondisi perkumpulan sosial di Indonesia melihat studi-studi yang ada
cukup signifikan berubah. Perubahan itu, jika melihat kembali pada matrik 1,
dikatahui karena adanya pergeseran peran akor (agent) dari masyarakat yang
aktif kepada negara yang aktif. Namun dalam studi-studi yang ada, kondisinya
malah terbalik (lihat Achwan, 2012; Nugroho, 2003). Studi-studi tersebut
menggambarkan dalam peran negara yang cenderung pasif, masyarakat malah
membuat inovasi-inovasi tersendiri dalam aktifitas pada perkumpulan-
perkumpulan sosial.
Dalam studi Antlov (2003) tentang perkumpulan sosial dalam konteks
desentralisasi di Indonesia, memotret perubahan tersebut secara lebih
konfrehensif. Bermunculannya kekuatan masyarakat sipil dalam skala yang lebih
kecil di daerah-daerah menyisakan dua masalah utama dalam upaya membentuk
warga yang lebih baik. Pertama ialah masalah kekakuan administrasi publik,
yang merujuk pada masih melekatnya pendekatan top down dalam setiap
pembahasan masalah-masalah organisasi. Kedua ialah, ketidakmampuan
organisasi masyarakat sipil dalam mempromosikan alternatif-alternatif politis
handal. Artinya, ada masalah dalam internal oganisasi masyarakat sipil sendiri
Universitas Indonesia
5
yang sangat akut, yaitu kejumudan inovasi serta ketidakterbukaan akses bagi
semua anggota.
Olehkarenanya, membincangkan hubungan antara negara dan
masyarakat menjadi penting agar tidak mengesankan aktor berdiri sendiri-sendiri
atau terpisah sama sekali. Mengikuti alur pikir Block dan Evans (2005) mengenai
kelekatan antara masyarakat dan negara menjadi signifikan untuk membahas
perkumpulan sosial di Indonesia untuk mengisi gap aktor yang digambarkan
dalam matrik 1. Penelusuran tentang hubungan antara masyarakat dan negara
telah dibahas oleh Szreter (2002) sebagai modal sosial (social capital) yang
dioperasionalkan dengan konsep jaringan (network).
B. Perumusan Masalah PenelitianKabupeten Kepulauan Anambas (KKA) sebagai lokasi penelitian berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Prayogo dkk (2010) diketahui didiami oleh masyarakat
yang cukup beragam. Dari latar belakang etnis, terdapat tiga kelompok besar
yang disebut sebagai orang asli; Melayu, Suku Laut, dan juga Tionghua.
Kemudian juga cukup banyak etnis pendatang yang baru maupun yang sudah
beranak pinak dari etnis; Jawa, Sunda, Melayu Bangka, Minang, dan lain-lain.
Sedangkan dalam distribusi pekerjaan masyarakat asli Anambas terkonsentrasi
pada tiga profesi yaitu, nelayan, petani, serta pegawai. Tentunya semenjak UU
No. 30 tahun 2008 tentang pembentukan kabupaten kepulauan Anambas di
Kepulauan Riau disahkan. Kabupaten dengan jumlah penduduk 37.411 (BPS,
2010) semakin heterogen baik dari sisi etnis maupun pekerjaannya. Dengan
demikian pedesaan KKA memiliki dua konteks sosial yang tidak banyak dijumpai
di banyak desa; pertama, cukup heterogennya masyarakat baik dari segi
etnisitas dan juga pekerjaan. Kedua, sebagai wilayah yang terletak diperbatasan
dan jauh dari sentuhan negara, kini muncul KKA yang baru berjalan sekitar
empat tahun. Dua konteks sosial tersebut akan membuat pedesaan di KKA
sangat menarik untuk membahas dinamika perkumpulan sosial dalam relasinya
dengan negara.
Masih berdasarkan studi Prayogo (2010), perkumpulan sosial di
pedesaan Kab Kepulauan Anambas pun cukup hidup. Diketahui terdapat
beberapa yayasan yang aktif dalam program pendidikan seperti TK dan PKBM.
Kemudian juga terkait dengan adanya bantuan dari Perusahaan maupun Pemda
KKA terbentuk juga beberapa perkumpulan sosial masyarakat atas dasar profesi,
Universitas Indonesia
6
seperti kelompok tani, kelompok nelayan, dan kelompok usaha bersama. Selain
juga tentunya terdapat perkumpulan sosial yang umum ada di desa seperti
posyandu, BPD, RT, RW. PKK, PNPM, dan lain-lain.
Dalam melihat perkumpulan sosial di Desa Rintis dengan perspektif yang
lebih konfrehensif dalam kaitannya dengan negara, penelitian ini akan
menjelaskan jejering yang terangkai dalam internal perkumpulan maupun
dengan negara. Ada dua konsep yang menyatakan hubungan antara masyarakat
dan negara dengan penjelasan modal sosial. Thesis tersebut merujuk pada
konsep Putnam (1993) dalam penelitiannya mengenai perkumpulan kridit mikro
di Italia dan juga Szreter (2002) dengan penekanan modal sosial pada relasi
kekuasaan dan politik.
Putnam (1993) dalam teori modal sosialnya, menjelaskan bagaimana modal
sosial yang terdiri dari kepercayaan, norma dan jaringan melekat erat dengan
suatu masyarakat dengan latar belakang sosio ekonomi dan politiknya. Terkait
dengan itu, masyarakat yang memiliki modal sosial yang kuat akan menciptakan
banyak perkumpulan sukarela. Menurut Putnam, ada relasi antara masyarakat
dengan permerintahan lokal; masyarakat yang memiliki perkumpulan sukarela
akan mendorong pemerintah lokal lebih responsif. Begitu juga sebaliknya,
pemerintah lokal yang responsif akan merangsang masyarakat lebih semarak
dalam membuat perkumpulan-perkumpulan sosial.
Di sisi lain, Szerter (2002) menjelaskan relasi masyarakat dengan negara
(linking) berdampak signifikan terhadap pembentukan ikatan internal masyarakat
(bonding) dan juga hubungan antar masyarakat (bridging). Power, sebagai salah
satu instumen yang melekat pada negara memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi masyarakat. Oleh karenanya, aspek politik di tingkat nasional
mapun lokal, akan dilihat sebagai salah satu faktoryang berpengaruh terhadap
modal sosial pada suatu perkumpulan sosial.
Pernyataan di atas menjelaskan bagaimana relasi antar perkumpulan sosial
signifkan dipengaruhi oleh negara. Namun, dalam dinamika internal perkumpulan
sosial, maupun dalam hubunganya dengan masyarakat kurang dijelaskan
bagaimana peran dari aktor (agen) dalam dinamika perkumpulan sosial tersebut.
Apalagi, dalam masyarakat pedesaan relasi patron-klein sangat kuat
berpengaruh dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Sehingga penelitian
ini pun ingin membuktikan apakah aktor memiliki peran signifikan dalam dinamika
modal sosial suatu perkumpulan sosial.
Universitas Indonesia
7
Berpijak pada argumen di atas, penelitian ini akan diarahkan untuk
menjawab dua pertanyaan utama: (1) Bagaimanakah dinamika bonding dan
bridging dalam perkumpulan sosial pedesaan? Apakah terkait kesamaan etnik,
kesamaan kampung halaman, latar belakang ekonomi atau yang
lain?Bagaimana dinamika perkembangan ciri-ciri sosial ini? Apakah bisa berubah
atau tidak? Dan Mengapa?
Dalam konteks munculnya pemerintah lokal baru,(2)Bagaimanaupaya
perkumpulan sosial pedesaan untuk berjejaring (linking) dengan negara?
Mekanisme sosial apa yang mendorong atau menghambat pembentukan
hubungan antara perkumpulan sosial dengannegara?
Kemudian, dalam upaya mengetahui peran aktor dalam modal sosial
pada perkumpulan sosial, (3) Bagaimana peran aktor perkumpulan sosial di
dalam bonding, bridging, dan linking? Dalam dimensi modal sosial mana
perannya cukup signifikan? Mengapa demikian?
C. Tujuan dan Signifikansi PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dinamika perkumpulan sosial
pedesaan dalam merespon hadirnya negara dalam hal ini pemerintahan lokal di
salah satu desa di Kab. Kep Anambas. Secara lebih spesifik penelitian ini
berupaya mengungkap modal sosial yang dimiliki oleh perkumpulan-
perkumpulan sosial tersebut yang tentunya akan melihat pada sisi perkumpulan
sosial tersebut mengorganisir diri serta kelekatannya dengan negara. Walaupun,
pada penelitian ini yang menjadi fokus pengamatan ialah perkumpulan-
perkumpulan sosial pedesaan, namun dengan perspektif kelekatan, negara juga
akan menjadi aktor yang terpisahkan. Apalagi dalam konteks pemekaran wilayah
adminsitratif tentunya akan berdampak pada mudahnya akses terhadap negara
bagi para masyarakat di lingkup wilayah tersebut. Kemudahan akses ini tentunya
akan berdampak pada banyak hal, terutama kebijakan negara itu sendiri
terhadap perkumpulan sosial secara khusus dan masyarakat secara umum.
Modal sosial sebagai konsep kunci dalam penelitian ini agar dapat
diamati secara empiris akan menggunakan analisa jaringan (Szreter, 2002) yang
diturunkan dalam tiga aras; bonding, bridging dan linking. Dengan demikian,
perkumpulan sosial akan diamati pada ketiga aras tersebut yang diharapkan
akan dapat mengungkapkan permasalahan dinamika internal, dinamika dengan
perkumpulan sosial lain di dalam satu desa, serta kelekatanya dengan negara.
Universitas Indonesia
8
Dengan demikian, diharapkan akan diketahui mekanisme sosial apa yang
membuat suatu perkumpulan sosial memiliki modal sosial yang kuat atau lemah.
Selanjutnya, penelitian ini juga menjelaskan bagaimana relasi antara
perkumpulan sosial dengan negara. Secara spesifik penelitian ini akan
membuktikan tesis Putnam (1993) dan juga Szerter (2002) tentang modal sosial
masyarakat, perkumpulan sosial, dan juga negara. Selain itu, dalam konteks
pedesaan, penelitian ini akan mencoba membuktikan peran aktor dalam
pembentukan modal sosial. Mengenai hal ini, tidak termuat secara jelas dalam
tesis Putnam (1993) dan juga Szeter (2002).
D. Tinjauan Penelitian SejenisDari latar belakang penelitian, begitu banyak penelitian sejenis yang
menjelaskan tentang fenomena perkumpulan sosial. Namun, untuk memahami
lebih dalam konteks perkumpulan sosial pedesaan di Indonesia, setidak-tidaknya
beberapa studi yang dapat menjadi rujukan yaitu; studi Sediono M.P.
Tjondronegoro (1984) dengan judul Social Organization and Planed
Development in Rural Java (1984), studi Budi Winarno (2008) dengan judul
Gagalnya Organisasi Desa dalam Pembangunan di Indonesia (2008), kemudian
studi Ben White (2003) dengan judul Nucleus and Plasma: Contract Farmingand
The Exercise of Power in Upland West Java. Selain itu studi James S. Scott
(1985) dengan judul Weapon of The Weak: Everyday Form of Peasant
Resistence, walaupun dengan konteks pedesaan di Malaysia, dalam studi ini
sangat relevan karena adanya kemiripan dari segi ekonomi dan budaya.
Tjondronegoro (1984) melakukan studi mendalam pada dua Kecamatan
yaitu Cibadak di Jawa Barat dan Kendal di Jawa Tengah yang terdiri dari tujuh
desa. Penelitian tersebut ingin mengetahui fungsi organisasi-organisasi
pedesaan dalam kaitannya untuk mendukung pembangunan yang partisipatif.
Salah satu kekuatan studi ini ialah menggunakan analisa “social mapping” untuk
mengetahui kondisi desa dengan baik. Social mapping itu mencakup populasi,
jenis pekerjaan, lokasi berkumpul, potensi akses desa terhadap fasilitas
pelayanan publik, tokoh masyarakat yang berpengaruh, serta tentunya
organisasi sosial pedesaan yang ada. Dengan demikian, akan diketahui secara
jelas latar belakang terbentuknya serta fungsi dari perkumpulan-perkumpulan
sosial pedesaan di kedua kecamatan tersebut.
Universitas Indonesia
9
Temuan penting dalam studi ini ialah bahwa organisasi yang berada pada
level sub-desa seperti dusun atau kampung (hamlet) lebih menunjukan
solidaritas yang cukup kuat dibandingkan dengan organisasi pada level desa.
Hal ini dilihat dari aspek loyalitas untuk kesukarelaan pada organisasi serta
pemimpin yang mereka pilih sendiri. Fenomena ini menurut Tjondronegoro
fenomena ini terjadi karena pada level dusun atau kampung organisasi sosial
dibentuk atas dasar untuk pemenuhan kebutuhan mereka secara langsung (hal
260).
Pada sisi lain, organisasi-organisasi pada level desa seperti badan
musyawarah desa (BPD) telah kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Hal ini
dipahami karena adanya tekanan dari pemerintah yang lebih tinggi tentang
syarat-syarat keanggotaan dari organisasi tersebut. Dengan demikian, pemimpin-
pemimpin informal di tingkat dusun yang lebih dipercaya oleh masyarakat banyak
yang tidak diakomodir untuk masuk kedalam BPD karena alasan perbedaan
politik. Dampaknya ialah, keterputusan komunikasi antara masyarakat desa
dengan pemimpin-pemimpin formal tersebut. Kondisi demikian inilah yang
menyebabkan organisasi-organisasi ditingkat desa yang biasanya sudah
berbentuk organisasi formal telah kehilangan legitimasi dari masyarakat
pedesaan.
Walaupun studi ini dibuat sudah cukup lama serta dengan konteks sosial
yang sangat berbeda (era orde baru), namun studi ini memberikan informasi
penting tentang kondisi faktual perkumpulan-perkumpulan sosial pedesaan.
Sehingga akan terlihat tantangan besar dari organisasi di tingkat desa yang
formal dalam menghadapi perubahan kekuasaan dan iklim politik di Indonesia
kini.
Berikutnya ialah studi Winarno (2008) yang menganalisa kebijakan
pemerintah orde baru yang dibuat pada tahun 1970-an tentang (badan usaha
unit desa) BUUD/ (koperasi unit desa) KUD di Indonesia. Studi ini menggunakan
data skunder untuk menganalisa organisasi desa tersbut dalam kaitannya
dengan produktifitas pertanian. Kekuatan studi ini ialah adanya komparasi antara
organisasi pedesaan di Indonesia dengan beberapa negara seperti Taiwan,
Thailand, dan Filipina. Dari komparasi tersebut terlihat bias dari fungsi organisasi
pedesaan yang bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan produktifitas
pertanian namun juga dalam upaya tabilitas politik yang memang menjadi jargon
orde baru.
Universitas Indonesia
10
BUUD/KUD menurut Winarno dalam prakteknya di pedesaan tidak
mencerminkan sebagai organisasi yang demokratis dan partisipatif. Organisasi
tersebut hanya menjadi instument kepentingan dari petani-petani besar yang
memiliki akses ke pemerintahan yang lebih tinggi. Sehingga program-program
seperti kridit murah, penyediaan benih unggul, pupuk dan pestisida hanya
didominasi oleh kalangan elit tersebut. Menurut studi ini keberadaan BUUD/KUD
malah menyumbangkan masalah yang besar bagi petani-petani kecil karena
harus masuk dalam sistem tersebut yang malah membebankan biaya bertani
dengan mekanisme pertanian yang ditawarkan oleh pemerintah.
Analisa studi ini cukup tajam, namun kekuranganya ialah tidak adanya
data primer yang menggambarkan relasi kuasa ditingkat organisasi desa.
Sehingga tidak dapat ditemukan deksripsi yang lebih empirik dalam
menggambarkan situasi dalam BUUD/KUD yang ada. Walaupun begitu, studi ini
memberikan pelajaran penting mengenai dampak kebijakan pemerintah lewat
organiasi masyarakat memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap
kehidupan masyarakat pedesaan.
Seperti melengkapi studi Winarno (2008), studi White (2005) memberikan
informasi yang lebih detail tentang KUD. Studi ini menjelaskan bagaimana
pemerintahan orde baru yang menerapkan desa sebagai lumbung sumber daya
ekonomi sekaligus menerapkan mekanisme stabilitas politik. Dalam studi yang
dilakukan di desa Cisokan Jawa Barat ini, secara detail memperlihatkan
pembentukan kontrak unit kerja antara petani dengan negara untuk
meningkatkan komoditas kelapa. Kondisi demikian, digambarkan sebagai represi
negara terhadap masyarakat, apalagi penggunaan lahan pertanian bersama itu
hanya sepihak ditentukan oleh negara. Dengan demikian, para petani kecil yang
biasanya dapat mencari penghidupan dari kehidupan yang bersandar dari
sumber perkebunan, akibat pembuatan lahan untuk kelapa kehilangan
pendapatan-pendapatan sampingan mereka.
Lebih lanjut, studi ini menjelaskan peran KUD yang menjadi pemisah
antara petani dengan pasar. Hal ini terlihat dengan penetapan harga yang tidak
disesuaikan dengan harga pasar yang tentunya sangat merugikan para petani
kecil pedesaan. Selain itu, KUD juga cenderung menjadi alat kuasa atas
monopoli perdagangan yang dilakukan oleh negara. Tak jarang, KUD malah
cenderung mengekslusi petani kecil yang belum bergabung atau tidak
berhubungan secara aktif.
Universitas Indonesia
11
Studi ini sangat penting untuk melihat analisa relasi kuasa dalam
perkumpulan sosial pedesaan. Karena diketahui bahwa pihak-pihak yang terlibat
dalam KUD sebagaimana yang diperlihatkan oleh Winarno (2008) dikuasi oleh
petani besar. Dengan demikian, perkumpulan sosial pedesaan juga harus dilihat
dengan analisa kuasa para aktor-aktornya. Apalagi dalam konteks reformasi
tentunya relasi kuasa ini akan semakin kompleks.
Selaras dengan fenomena tersebut, dalam studi Scott (1985) juga terlihat
bagaimana institusi lokal pedesaan menjadi bagian tak terpisahkan dari relasi
kuasa dengan negara. Sedaka sebagai lokasi penelitian mewakili karakteristik
pedesaan Malaysia pada waktu itu. Seperti Tjondronegoro (1984), Scott
membuat analisa ‘social mapping’ yang cukup konfrehensif namun fokus pada
kehidupan pertanian. Ia secara rinci menjelaskan komposisi petani ditinjau dari
sisi pendapatan yang pada akhirnya dapat dipisahkan antara petani kaya dan
petani miskin. Kemudian ia menjelaskan tentang mekanisme bertani bagi kedua
karakteristik tersbut. Dengan situasi kultural yang masih berpangku pada
feodalisme dan patron-klien, dijelaskan bagaimana petani miskin memiliki
ketergantungan dengan petani kaya dalam hal menyewa lahan pertanian.
Dalam studi ini dijelaskan peranan Mada sebagai sebuah perkumpulan
kaum tani yang menjadi corong dari penguasa. Mada sebagai oranisasi petani
yang memiliki mirip KUD di Indonesia, memiliki fungsi untuk menyalurkan kredit
untuk pembelian, bibit, mesin, dan juga pupuk. Scott menggambarkan Mada
yang didominasi oleh para petani kaya cenderung diarahkan untuk mendukung
partai yang sedang berkuasa di Malaysia pada waktu itu; UMNO. Bahkan, para
petani miskin yang mendukung partai PAS (oposisi) tidak dimasukan ke dalam
organisasi tersebut sehingga tidak dapat menikmati berbagai program yang
disediakan oleh Mada.
Dijelaskan juga, dampak dari pertarungan politik antara UMNO dan PAS
tidak hanya terjadi pada Mada. Dengan relasi kekeluargaan yang kuat, jaringan
keluarga yang kaya di Sedaka menempati posisi-posisi strategis pada banyak
organisasi pedesaan seperti pengurus masjid, komite sekolah, koperasi, dan lain-
lain. Lebih jauh, bahkan perkumpulan yang lebih kultural seperti pengajian,
arisan, kenduri di Sedaka terbentuk berdasarkan relasi partai.
Studi ini kemudian menunjukan bagaimana kelompok petani miskin yang
berafiliasi pada partai PAS, mengalami ekslusi sosial yang cukup massif dari
kelompok yang berkuasa. Hal ini membuat para petani miskin melakukan jalur
Universitas Indonesia
12
perlawanan yang laten, karena dapat dipahami bahwa jaringan birokrasi negara
sangat sulit untuk dibendung. Para petani miskin walaupun terkesan tak mampu
melawan namun mereka terus mereproduksi kesadaran ideologis untuk
melakukan perlawanan kepada kaum penguasa.
Konteks pedesaan yang melingkupi dinamika perkumpulan sosial sudah
tergambar baik dalam studi-studi di atas. Namun, dengan perubahan politik
nasional tentunya memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap kehidupan
masyarakat, termasuk perkumpulan-perkumpulan sosialnya. Walaupun tidak
memotret kondisi pedesaan, ada beberapa studi yang dapat memperlihatkan
geliat perkumpulan sosial era reformasi di Indonesia. Studi tersebut diantaranya
ialah (Nugroho, 2003 disunting oleh Dwiyanto dan Yosihara) dengan judul The
Existence of Local Institution within A Changing Society: From the View Point of
Grass root Community in Jakarta, serta studi Achwan (2012) dengan judul The
Fountain of Love Credit Union: A Vibrant Microfinance institution in a Hostile
Inter-Ethnic Society. Kemudian studi Hadiz (2010) dengan judul Localising Power
in Post-Autoritarian Indonesia: A South-East Asia Perspective menjadi studi yang
sangat membantu untuk melihat dinamika perkumpulan sosial di daerah pasca
reformasi di Indonesia.
Nugroho (2003) menjelaskan bagaimana perkumpulan sosial di Jakarta
pasca reformasi walaupun masih ada namun telah kehilangan fungsi dan
kepercayaan dari masyarakat. Menurutnya ada tiga hal yang menyababkan
fenomena ini terjadi. Pertama, ialah karena faktor perubahan ‘sosial order’ yang
disebabkan oleh perubahan politik nasional. Setiap individu di era yang baru ini,
lebih berani untuk menyuarakan aspirasinya secara bebas dan terbuka walaupun
itu bertentangan dengan pemerintah. Kedua, kebanyakan perkumpulan sosial
merupakan kepanjangantangan dari birokrasi pemerintah yang lebih
menekankan kuasa dari pada kepentingan masyarakat. Ketiga, karena tidak
adanya pemimpin masyarakat yang mampu menggerakan masyarakat dalam
berkatifitas di perkumpulan sosial tersebut.
Di tengah mati surinya perkumpulan-perkumpulan sosial seperti PKK,
Dasa Wisma, Karang Taruna, DKM, dan lain-lain Nugroho (2003) mengamati
perkembangan Baitul Mal Wal Tamil (BMT) yang cenderung berkembang pesat.
Dalam studi ini diperlihatkan bahwa dasar pembentukan BMT disandarkan pada
filosofi keagamaan tentang kemandirian serta kepedulian kepada sesama. Selain
itu, BMT memberikan layanan jasa yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
Universitas Indonesia
13
banyak; kridit mikro. Pelayanan yang baik dan organisasi yang dikelola dengan
profesional membuat BMT semakin diminati oleh masyarakat perkotaan Jakarta.
Fenomena BMT ini memberikan pemahaman baru tentang perkumpulan
sosial masyarakat pasca orde baru. Studi ini pada kesimpulanya membagi
perkumpulan sosial menjadi dua, pertama ialah perkumpulan sosial yang
menyebabkan konflik di masyarakat karena lebih mengedepankan kepentingan
pemimpinnya dibandingkan kepentingan bersama. Kedua, yaitu perkumpulan
sosial yang memberdayakan masyarakat. Perkumpulan sosial ini baru muncul
ketika era reformasi karena adanya tekan politik yang begitu kuat dari pemerintah
yang tentunya menyebabkan keengganan masyarakat untuk berinovasi.
Selaras dengan penelitian yang dijelaskan sebelumnya, studi Achwan
(2012) memaparkan tentang berkembangnya perkumpulan sosial masyarakat
‘Cridit Union Pancur Kasih’ di Kalimantan Barat. Dalam studi ini dijelaskan
bagaimana performa CUPK sebagai lembaga microfinance yang cukup baik dari
segi anggota, aset, serta ‘kesehatan’ kridit. Bahkan pada tahun 2011, pendiri
dari perkumpulan sosial ini menjadi salah satu nominasi salah satu penghargaan
di stasiun televisi swasta nasional. CUPK digambarkan oleh Achwan sebagai
representasi dari kelompok etnik Dayak di Kalimantan Barat dengan konteks
pasca orde baru.
Kelompok etnis Dayak yang selama pemerintahan Orde Baru selalu
terekslusi baik secara ekonomi, politik, dan budaya memuncak dengan konflik
berdarah dan menelan banyak korban jiwa yang melibatkan kelompok etnik
dayak dengan etnik pendatang pada tahun 1999. Kekuatan identitas kedayakan
ini memang sengaja dijadikan brand dari CUPK untuk meningkatkan derajat
orang Dayak yang telah lama terekslusi. CUPK pun ternyata terkoneksi sangat
baik dengan perkumpulan sosial lainya yang memiliki kesamaan identitas
kedayakan seperti Yayasan Pancur Kasih yang terdiri dari para intelektual dari
etnis Dayak. Bahkan kini, Yayasan Pancur Kasih juga mendirikan banyak
organisasi sosial seperti Bank Perkeriditan Rakyat, Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat, sekolah-sekolah, supermarket, lembaga studi, serta media massa
lokal. Konetktifitas organisasi-organisasi tersebut dikelola oleh Yayasan Pancur
Kasih (YPK), bahkan kini CUPK sudah banyak didirikan di luar Kalimantan Barat.
Selanjutnya, Achwan juga memberikan penjelaskan tentang kecakapan
pengelolaan CUPK yang membuat lembaga microfinance ini dapat berkembang
pesat. Misalnya untuk mendapatkan pinjaman, masyarakat tidak perlu
Universitas Indonesia
14
memberikan agunan (jaminan) atas kridit yang mereka inginkan. CUPK
menerapkan mekanisme jaminan tersbut dengan adanya surat persetujuan atau
pengatar dari tokoh-tokoh setempat yang tentunya telah berafiliasi denga CUPK
dan YPK. Mekanisime ini dianggap tepat karena, tokoh-tokoh tersebut memiliki
komitmen yang sama untuk meningkatkan taraf hidup orang Dayak.
Studi ini memberikan sumbangan untuk melihat bonding yang terbangun
pada perkumpulan-perkumpulan sosial di era orde baru. Karena, dalam era
reformasi kebebasan berserikat dan berkumpul tidak lagi mendpatkan hambatan
yang berarti. Studi Nugroho (2003) sebenarnya juga memperlihatkan bonding
keislaman yang memberikan pengaruh terhadap berkembangnya BMT. Namun
sayangnya, studi tersebut tidak memberikan penjelasan secara rinci kelompok
Islam yang mana yang menginsisasi BMT. Di sisi lain, Achwan (2012)
menggambarkan secara rinci ikatan etnis kedayaakan-lah yang membuat CUPK
dapat berkembang pesat.
Selanjutnya studi Hadiz (2010) menjelaskan bagamana perkumpulan
sosial masyarakat berubah orientasi akibat desentralisasi. Dalam studi tersebut,
dijelaskan bagaimana desentralisasi yang ditandai dengan adanya pemilihan
langsung pemerintahan lokal baik pada eksekutif maupun legislatif daerah. Hadiz
banyak memotret dinamika politik lokal di Indonesia terutama pada level
kabupaten/kota. Perubahan konteks sosial-politik inilah yang menyebabkan
beberapa perkumpulan sosial ambil bagian dalam upaya mendapatkan kuasa.
Hadiz dalam studi ini berkontribusi untuk menunjukan fakta bahwa selain
jalur formal kepartaian, ternyata perkumpulan sosial juga dijadikan alat politik
untuk mendapatkan kekusasaan. Dijekaskan Organisasi Kemahasiswaan dan
Pemuda (OKP) seperti HMI, GMNI, KNPI, Pemuda Pancasila, dan masih banyak
lagi, ternyata terlibat dalam pertarungan pemilihan pimpinan (Pilkada) daerah di
Jawa Timur dan Sumatra Utara. Bahkam, REI, HIPPI, HIMPI, NU, yang
notabenenya merupakan organisasi profesi dan masa juga terlibat dalam
pertarungan Pilkada tersebut. Studi ini mengidentifikasi bahwa terlibatnya begitu
banyak organisasi sosial ini ialah dalam upaya mencari “rente”, atau keuntungan
materiel dari dana kampanye yang digelontorkan oleh para calon yang bertarung
dalam Pilkada.
Dengan demikian, temuan ini memberikan penjelasan baru bagaimana
eksistensi dari perkumpulan sosial dalam konteks otonomi daerah atau
desentralisasi. Berbeda dengan studi-studi dalam konteks Orde Baru yang
Universitas Indonesia
15
menjelaskan perkumpulan sosial terkooptasi oleh kepentingan negara,
perkumpulan sosial kini menghadapi dinamika yang lebih rumit. Pemilihan
langsung yang kini sudah pada level Kabupaten/Kota tentunya akan berdapak
pada perkumpulan sosial sebagai arena perebutan kuasa itu.
E. Kerangka Konseptuala. Masyarakat Pedesaan
Masyarakat desa (rural comunity) merupakan studi yang banyak dianalisa
oleh banyak pemikir sosiologi awal. Durkheim misalnya menjelaskan masyarakat
desa dengan karakteristik solidaritas mekanik, yang juga identik dengan konsep
gemenshalf dari Tonnies. Solidaritas mekanik ialah kesatuan sosial yang
didasarkan pada kesamaan individu tentang pandangan hidup dan kepercayaan
(Ritzer, 2005a: 219). Di sisi lain, geimenshalf ialah komunitas yang menginginkan
memenuhi keinginannya yang disandarkan kepada nilai intristik dan simpati
kepada anggota kelompok, kebiasaan, dan kepercayaan (Ritzer, 2005b; 843).
Pengertian yang lebih mutahir ialah defenisi dari Harold Peak yang
menjelaskan masyarakat desa bukan hanya pada kedekatan relasi antar
keluarga dan sistem nilai, namun juga melihat masyarakat desa sebagai
komunitas yang memiliki kelakatan dengan wilayahnya. Secara lebih jelas
tentang definisi masyarakat desa sebagaimana dibawah ini :
"which consists of a group related or unrelated persons larger than a single familyoccupying a large house or dwellings placed together, sometimes irregularly,sometimes in a street and cultivating, originally in common, a number of arablefields, dividing the available meadow land between them and pasturing theircattle upon the surrounding west land over which the community claims rights asfar as the boundaries of adjacent communities."(Harold Peak, 1981: 253 dalamGoral dan Kalvire, 2012; 41 )
Sedangkan pada konteks Indonesia, desa dari sudut pandang
pemerintahan telah mengalami perubahan yang signifikan. Desa yang awalnya
hanya seperangat pemerintahan terkecil di bawah camat sebagiamana UU No. 5
tahun 1979, kini desa memiliki kewenangan untuk mengatur kehidupan
masyarakatnya secara lebih partisipatif, demokratis dan mandiri. Masa orde baru,
sebagaimana yang telah digambarkan dalam banyak studi di atas
(Tjondronegoro, 1984; Winarno; 2008, White; 2005), memperlihatkan desa
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan negara dalam upaya
meningkatkan produktifitas sumber daya serta dalam upaya meredam konflik
politik. Dengan demikian, desa pada masa orde baru cenderung tidak menjadi
Universitas Indonesia
16
sarana bagi para penduduknya untuk mengekpresikan kepentingan mereka
dalam bidang ekonomi dan politik mereka.
Semenjak pemberlakuan UU No. 32 tahun 2004 telah tejadi perubahan
konstalasi politik antar kekuatan politik di desa (Solekhan, 2012). Salah satu
dampak dari kehidupan politik desa ialah, penerapan demokrasi yang lebih
mapan dengan dibuatnya BPD atau dengan nama lainya yang memiliki peran
legistatif. Dengan demikian, proses pemerintahan, pembangunan, dan politik di
desa tidak lagi bermuara pada kebijakan pemerintah pusat. Pada sisi lain,
dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah desa kini pun juga
diberikan kewenangan lebih untuk mengurus kepentingan setempat berdasarkan
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan
nasional. Selain itu, dengan aturan tersebut, di tingkat desa dapat didirikan
stuktur organisasi dari partai politik. Kondisi demikian tentunya semakin membuat
kehidupan masyarakat pedesaan kini semakin kompleks, sehingga kehidupan
telah jauh berubah semenjak masa pemerintahan orde baru.
Tjondronegoro (2008) sudah mengingatkan bahwa kajian desa di
Indonesia sangat bias Jawa. Ia mendeskripsikan untuk melihat masyarakat
pedesaan disandarkan pada moda pekerjaan yang dilakukan oleh warganya.
Desa-desa di Jawa yang sebagian petani, stratifikasi sosialnya dapat dilihat
berdasarkan kepemilikan lahan, sedangkan desa pesisir harus dilihat
berdasarkan kepemilikan atas alat tangkap. Sedangkan di sisi lain, bagi
masyarakat pedalaman di luar Jawa yang mengandalkan ekonomi dari
perladangan memiliki kemandirian yang lebih dalam berusaha. Hanya yang perlu
diamati secara khusus adalah relasinya dengan para pedagang yang
menghubungkan mereka dengan pasar di kota.
Kemudian, Sajogyo dan Sajogyo (2005) telah mengidentifikasi
karakteristik masyarakat pedesaan di Indonesia sebagai masyarakat yang
dinamis. Melihat masyarakat desa tidak bisa dengan kaca mata keteraturan
(order) semata, karena dalam internal masyarakat juga terdapat konfik dan
persaingan antar aktor-aktor di dalamnya. Mengenai konflik dan persaingan,
Sojogyo dan Sojogyo menggaris bawahi konflik yang kerap terjadi pada
masayarakat pedesaan biasaya terkait dengan masalah tanah, masalah
kedudukan dan gengsi, sekitar hal perkawinan, kemudian perbedaan persepsi
antara kaum tua dan muda, dan sekitar perbedaan pandangan antara pria dan
wanita. Selanjutnya juga dideskripsikan kondisi atau gejala sosial tertentu yang
Universitas Indonesia
17
dapat mengganggu keharmonisan antar masyarakat pedesaan. Dua hal yang
mengemukai ialah mengenai perubahan kebudayaan dan dalam permasalahan
guna-guna atau perdukunan.
Lebih jauh studi-studi Scott (1976; 1985; 1993) dengan perspektif kritis,
melihat masyarakat pedesaan dalam kacamata yang lebih dinamis. Scott (1993)
menggambarkan bahwa relasi patron-klien pada masyarakat Asia Tenggara
sangat rentan dalam hal ketergantungan dan legitimasi. Hal ini dipahami karena
adanya ambang batas atas nilai “ekonomi moral paternalistik” yang mencakup
keamanan fisik dan kehidupan subsisten. Secara lebih rinci Scott (1976: 76)
menjelaskan ekonomi moral paternalistik tersebut dengan ungkapan “kepastian”
dan “pangan serta uang untuk hidup” sebagai sebuah prasarat order di sebuah
wilayah pedesaan. Sehingga jika kaum elit pedesaan tidak mampu
mengakomodir itu, perlawanan kelas bawah akan dapat terjadi. Perlawanan
dalam studi Scott tidak hanya termanifestasi dalam konflik terbuka, namun juga
dapat dilakukan dengan cara yang laten dan ideologis (lihat Scott; 1985).
b. Perkumpulan SosialKajian klasik mengenai perkumpulan sosial dimulai dengan studinya
Tocqueville (2005). Dalam studi tersebut, Tocqueville menggambarkan
bagaimana sistem demokrasi menjadi pemicu utama munculnya perkumpulan
sosial. Hal tersebut dipahami karena dalam sistem demokrasi di Amerika Serikat
pada waktu itu, pembedaan status sosial berdasarkan keturunan sudah tidak lagi
menjadi acuan dalam bermasyarakat. Sehingga, setiap kepentingan bersama
perlu diperbincangkan dan diusahakan secara bersama-sama lewat perkumpulan
sosial tersebut. Studi ini penting karena memperlihatkan dampak yang signifikan
atas munculnya perkumpulan sosial atas sistem politik demokrasi.
Selain itu studi ini juga menggunakan kata perkumpulan sosial
(association) untuk menggambarkan fenomena masyarakat sipil pada awal
terbentuknya demokrasi di Amerika Serikat. Perkumpulan sosial mengindikasikan
kelompok masyarakat yang tidak formal dan cair dengan tujuan-tujuan seperti;
mencari hiburan, mendirikan lembaga pendidikan, membangun penginapan,
membangun gereja, menyebarkan buku, dan lain-lain. Kemudian, Tocqeuville
juga menjelaskan peran perkumpulan sosial sebagai penggerak utama pada
masyarakat Amerika Serikat pada momen itu, bahkan melampaui peran
pemerintah.
Universitas Indonesia
18
Dalam studi yang membahas konteks Indonesia, Tjondronegoro (1984)
memperlihatkan perkumpulan sosial pada masyarakat desa sebagai kebutuhan
dalam merespon stimuli internal maupun eksternal. Menurutnya, dalam
memahami masyarakat desa tidak lagi cukup hanya pada melihat relasi
kekeluargaan, menurutnya desa dan tingkatan perkumpulan dibawahnya
memiliki berbagai macam jenis perkumpulan sosial yang dapat dijadikan sebagai
aktor pembangunan. Dalam hal ini iapun membedakan secara konseptual antara
penggunaan lembaga (institution), organisasi (organization), dan juga
perkumpulan. Tjondronegoro mendefinisikan perkumpulan dengan (association)
sebagai suatu kumpulan anggota masyarakat dengan satu tujuan namun tidak
memiliki stuktur yang jelas. Beberapa kelompok masyarakat yang termasuk
perkumpulan antara lain, arisan, simpan pinjam, dan pengajian. Sedangkan
lembaga dan organisasi merupakan suatu perkumpulan yang sudah memiliki
struktur yang jelas dan juga berlaku serta berjejaring secara nasional.
Kemudian Tjondronegoro (2008) memberikan penjelasan tentang
perkumpulan sosial pedesaan kini terbagi menjadi dua, yaitu perkumpulan sosial
yang menekankan pada kearifan lokal masyarakat serta perkumpulan sosial
yang cenderung mewakili kepentingan kota. perkumpulan sosial yang pertama
cenderung merepresentasikan kelopok lemah desa, sedangkan yang kedua
mencirikan kehidupan kelas menengah atas. Dengan demikian, perkumpulan
pedesaan juga mencerminkan diferensiasi sosial di pedesaan.
Dalam tinjauan hukum di Indonesia perkumpulan (association) memang
menjadi salah satu bentuk dari masyarakat sipil yang diakui oleh negara.
Setidak-tidaknya ada enam jenis organisasi masyarakat yang diakui oleh negara
untuk daftarkan badan hukumnya. Enam jenis tersebut ialah:
“like the (1) Yayasan (Foundation); (2) Perkumpulan (Association); (3) Koperasi(Cooperative); (4) Serikat Pekerja (Labour/Trade Union); (5) Organisasi Massa(Mass Organisation); and (6) Badan Hukum Pendidikan/BHP” (EducationLegalEntity) (Radyati, 2004 dalam Radyati, 2008; 257).
Namun, dalam studi ini sebagaimana merujuk pada studi Tjondronegoro
(1984) tidak dibedakan berdasarkan badan hukum atau tidak serta goverment-
oriented atau community-oriented. Perkumpulan sosial dalam konteks penelitian
ini dipersamakan dengan konsep local institution. Berger dan Nuhauss (1977,
dalam Nugroho; 2003) mendefinisikan perkumpulan sosial sebagai sekumpulan
warga yang dapat menjadi wadah aspirasi masyarakat, pemberdayaan ekonomi,
Universitas Indonesia
19
dan juga sebagai instrumen bagi pemerintah desa dalam pembuatan kebijakan
publik. Dengan demikian, perkumpulan sosial dalam studi ini tidak dipentingkan
bentuknya, asalkan secara empirik mereka ada aktifitas bersama serta dengan
tujuan bersama, baik hanya wadah aspirasi masyarakat, pemberdayaan ekonomi
maupun, politik (kaitannya dengan negara). Deifinisi tersebut sesungguhnya juga
dekat dengan pemaknaan Tocqueville tentang perkumpulan dalam pembahasan
sebelumnya, walaupun ia tidak mendefinsisikannya secara lebih spesifik. Dalam
ranah empirik, perkumpulan sosial dapat terwujud dalam organisasi formal
bentukan negara seperti RT (Rukun Tetangga), RW (Rukun Warga), BPD
(Badan Perwakilan Desa), PKK dan lain-lain serta yang diinisisasi oleh
masyarakat sendiri seperti majelis taklim, arisan, kelompok ronda, dan lain-lain
(Nugroho, 2003; 214-215).
Kemudian dari sisi legitimasi perkumpulan sosial masyarakat pedesaan
pun dinamis. Oleh karenanya, pembedaan legitimasi dalam perspektif Weber
tidak bisa dipisahkan secara jelas. Legitimasi dalam perspektif Weberian (dalam
Calhoun, etc. 2012) ialah sesuatu yang dihargai dan berpengaruh di dalam
masyarakat. Setiap masyarakat memiliki legitimasi yang berbeda, tergantung
dengan sistim nilai yang berkembang. Weber menjelaskan bahwa ada tiga jenis
otoritas; rasional, tradisional dan karismatik. Otoritas rasional merujuk pada
mekanisme kepemimpinan yang disandarkan kepada legalitas hukum yang diatur
secara jelas dan disarikan kepada nilai rasional. Kemudian, otoritas tradisional
ialah mekanisme kempemimpinan yang didasarkan kepada prinsip etika yang
penuh dengan nilai kebijaksanaan. Terakhir ialah otoritas karismatik sandaran
legitimasinya disandarkan pada kultus individu, terutama yang masih berkaitan
dengan nilai supernatural.Dengan masuknya regulasi dari negara yang
menghendaki adanya persyaratan tertentu pada pemerintahan desa serta
perkumpulan sosial maka otoritas tradisional berhimpit dengan otoritas karismatik
maupun rasional.
c. Pemerintahan LokalDefinisi negara (state) dalam kajian sosiologi politik dan juga ilmu politik
masih menimbulkan perdebatan yang panjang. Weber (dalam Calhoun, etc.,
2012) mendefisikan negara sebagai “a human community that succesfully claims
the monopoly of the legitimate use physical force within a given territory”.
Pernyataan ini masih dianggap sebagai sebuah definisi yang relevan. Namun,
Universitas Indonesia
20
tentunya dalam perkembangan selanjutnya, negara tidak hanya berkutat pada
permasalahan keamanan, namun juga pada bidang lain seperti ekonomi, sosial,
dan budaya.
Bentuk dan peran negara dalam kehidupan bernegara antar yang satu
dengan yang lain pun berbeda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sejarah, ideologi,
budaya, dan konteks lainnya. Secara mendalam Martinussen (1999) pun
menjelaskan konfigurasi hubungan antara negara, masyarakat, serta pasar
berpengaruh kuat dalam kebijakan pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu
negara.
1. Kelekatan antara Negara dan MasyarakatKelekatan (embeddedness) merupakan cara pandang yang
diperkenalkan oleh Granovetter untuk melihat fenomena ekonomi dari relasi
antar masyarakat (society) dengan pasar (market) (dalam Swedberg, 2003: 33-
37). Embeddedness dimaknai sebagai relasi sosial atau jaringan sosial yang
terbentuk secara nyata dan terus berproses (concrete and on going process).
Dengan kata lain, Granovetter meninimalisir pendangan stuktural, yang melihat
ekonomi hanya pada sisi makro saja. Ia berpadangan bahwa setiap aktor
memiliki pilihan-pilihan rasional untuk saling terhubung yang disandarkan pada
kepercayaan (trust) yang didapatkan dari akumulasi relasi sosial. Dalam melihat
cara pandang ini, dapat dilihat dari analisa Block dan Evans (2005) mengenai
kelekatan antar institusi makro yang dapat dilihat dalam tabel 2 di bawah ini.
Tabel 1.2Kelekatan Institusional dan Kapasitas Institusional
Negara Pasar MasyarakatKelekatan
kelembagaanKuat Negara Predator
Negara PembangunanLiberalisme Masyarakat aktif
Masyarakat predatorLemah Negara Liberal Sosialisme indivualis
KapasitasKelembagaan
Kuat inovatif Pasar ygmengakar
Munculnya perkumpulansosial yg baik
Lemah krisis krisis KrisisSumber: Diolah dari Bahan Kuliah Sosiologi Ekonomi Rochman Achwan
Block dan Evans bertumpu pada fenomena perkembangan ekonomi
beberapa negara yang tak biasa, dalam artian tidak sesuai dengan jalan yang
linear antara nilai-nilai modernitas (pasar bebas dan demokrasi) dengan
Universitas Indonesia
21
kemajuan ekonomi. Kebangkitan ekonomi negara-negara Asia Timur menjadi
menurutnya dapat dilihat dari dua analisa sosiologi ekonomi; kelekatan antar
institusi makro dan inovasi institusional (Block and Evans, 2005:507-513).
Kelekatan antar institusi yang dimaksudkan ialah seberapa kuat
hubungan antar institusi makro (state, economy, and society). Diketahui, tingkat
kelekatan yang berbeda juga berdampak implementasi pembangunan dalam
suatu negara/wilayah. Sedangkan kemampuan insitusional merujuk pada Evan
dan Block (2005) ialah kemampuan institusi dalam efektivitas pembangunan. Tak
bisa dipungkiri bahwa kemampuan atau kapabilitas institusi menjadi penting
karena dengan analisa itu akan diketahui proses serta hasil yang dilakukan
dalam lingkup institusional. Kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam matrik
tersebut pun dipisahkan menurut kekuatan dan kelemahan kapabilitas
institusional. Evans dan Block menyimpulkan bahwa kekuatan kelekatan
institusional dan kemampuan institusional yang tinggi/kuat merupakan cerita
sukses negara-negara yang kini memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi
seperti di Asia Timur.
2. Pemerintahan Lokal KKA dalam Konteks Desentralisasi di IndonesiaEksistensi pemerintahan lokal di Indonesia pasca reformasi mengalami
perbedaan peran. Secara berturut-turut, UU No. 22 tahun 1999, kemudian
direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 menjadi landasan hukum dari berjalannya
pemerintahan daerah di Indonesia. Dalam peraturan perundangan tersebut,
pemerintahan lokal, khususnya di tingkat kabupaten/kota, memiliki peran otonom
dalam mengatur urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.
Dengan demikian, setiap pemerintah daerah memiliki proporsi anggaran yang
berbeda tergantung pada sumber penerimaan masing-masing daerah.Perubahan
inilah yang disebut sebagai era otonomi daerah atau desentralisasi.
Menurut Mufti (dalam Simanjuntak, 2012) otonomi ialah penyerahan
urusan pemerintahan kepada pemerintahan daerah yang bersifat operasional
dalam rangka sistem birokrasi pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan
pelayanan publik serta meningkatkan daya saing daerah secara ekonomi. Dalam
proses itu, pemerintah yang berwenang ialah pada level kabupaten atau kota.
Kemudian juga, semenjak pemberlakuan otonomi daerah digelar pemilihan
kepala daerah secara langsung, baik legislatif (DPRD) maupun eksekutif
(bupati/walikota).
Universitas Indonesia
22
Perubahan ini telah berjalan lebih dari 14 tahun. Namun, dari beberapa
penelitian diketahui begitu banyak muncul permasalahan baru yang
menyebabkan tujuan dari desentralisasi ini belum dapat dirasakan secara optimal
oleh masyarakat. Permasalahan yang mucul antara lain ialah; etnonasionalisme,
birokrasi yang tidak efisien, korupsi yang menggurita, dan euforia politik daerah.
Bahkan lebih bernas, Agustino (2011) menyatakan bahwa pemerintahan
daerah, dalam hal ini tingat kabupaten dan kota, memiliki proporsi lebih untuk
mengelola pemerintahannya secara mandiri. Namun, dalam kondisi tersebut
hanya sebagai perpidahan sistem politik dari stationary bandits ke roving bandits.
Stationary bandits, ialah sistem politik yang dikembangkan oleh Orde Baru
dengan menjadikan orang-orang kuat di daerah (local strongmens) menjadi kaki
tangan pemerintahan pusat, baik secara pemerintahan formal maupun dalam
menimati kekayaan sumber daya alam daerah.Kondisi demikian kuat
kemungkinan juga terjadi pada Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan
Anambas. Dengan usia belum genap lima tahun dengan dasar UU No. 30 tahun
2008 tentang pemekaran Kab. Kep. Anambas, tentunya masih sangat banyak
permasalahan dalam penataan pemerintahan dan juga tentunya mengenai
pelayanan publik.
Berdasarkan studi-studi tersebut belum ada informasi mengenai
pelaksanaan pemerintahan pada tingkat daerah yang memberikan akses pada
pelayanan publik secara lebih baik. Sehingga, jika merujuk pada penjelasan
Block adn Evans (2005), secara umum dapat dikatakan kelekatan negara
dengan masyarakat sangat lemah. Begitu juga dengan kapasitas kelembagaan
negara pun juga tidak optimal, sehingga layak disebut dalam kondisi krisis.
d. Modal SosialModal Sosial oleh banyak sosiolog masih menjadi perdebatan akademis
yang hangat. Namun, ada benang merah yaitu modal sosial dimaknai sebagai
suatu yang immaterial. Dalam artian, modal sosial tidak dipersamakan dengan
modal dalam artian ekonomis. Menurut Coleman, modal sosial diidentifikasi
menjadi tiga bentuk. Pertama adalah kewajiban dan pengharapan yang
tergantung pada tingkat kepercayaan lingkungan sosial. Kedua, kapasitas
informasi yang mengalir melalui stuktur sosial dalam menyidiakan basis tindakan.
Universitas Indonesia
23
Terakhir, kehadiran norma-norma yang diikuti oleh sangsi efektif (Coleman,
1994: 317 dalam Prayitno, 2004: 63)
Kemudian, konsep modal sosial juga dapat memberikan penjelasan yang
lebih berimbang dalam perdebatan sosiologis “agen-stuktur” dalam melihat
fenomena sosial. Hingga kini, perdebatan teoritis mengenai konsep modal sosial
masih hangat diperbincangkan. Hal ini dipahami karena konsep modal sosial
memiliki cakupan yang pada level individu sampai pada stuktur sosial yang lebih
besar. Perdebatan ini pun berimplikasi pada pemahaman atas konsep modal
sosial parsial. Sebagian sosiolog masih dominan pada titik tekan agen dan di sisi
lain tentunya ada yang menekankan pada sisi struktur.
Modal sosial dalam pembahasan Bourdieu dijelaskan sebagai faktor yang
menentukan tindakan sosial agen. Namun perlu dibahas lebih rinci, mengenai
modal sosial sebagai penjelasan yang lebih spesifik, dibandingkan dengan
konsepsi modal ekonomi yang lebih mudah dijelaskan. Modal sosial dapat
dimaknai sebagai modal yang dimiliki masyarakat dalam pemberdayaan, modal
tersebut merupakan perpaduan antara modal material dan juga non material.
Modal material merupakan modal yang berbentuk atau terkait dengan finansial,
sedangkan modal non material berwujud dengan adanya kepercayaan (trust) dan
juga sistem kebersamaan (gathering system) (Bassette, 1957 dalam Guntoro,
2009; 34).
Bourdieu (dalam Fuch, 2003: Harker, 2009) lewat studinya mencoba
menjelaskan modal sosial dalam kerangka fikir yang lebih konfrehensif tentang
modal sosial terkait dengan perdebatan tersebut. Ia memberikan kontribusi
bagaimana modal sosial diletakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
aktor/agen. Modal sosial sebagaimana modal ekonomi merupakan sandaran
aktor untuk menentukan tindakan sosialnya di dalam ranah. Hal ini dipahami
karena Bourdieu melihat modal sosial sebagai sesuatu yang kehadiranya sudah
dari sananya (taken for granted). Penjelasan ini memberikan sumbangan penting
untuk mengetahui bahwa setiap aktor/agen akan memiliki performa yang
berbeda dalam tindakan sosialnya.
Menlanjutkan Bourdieu, Lin (2001a, 2001b) mencoba memberikan
tekanan yang lebih menganai jaringan (network) di dalam konsep modal sosial.
Ia mendefinisikan modal sosial sebagai aset di dalam jaringan (as assets in
network). Konsepsi ini dibangun berdasarkan atas teori pilihan rasional, yang
masih menekankan pada sisi agensi. Aktor/agen yang memiliki sumber daya
Universitas Indonesia
24
yang berbeda juga akan memiliki konfigurasi jaringan sosial yang berbeda.
Aktor/agen akan cenderung mencari keuntungan dalam lingkup jaringan
tersebut. Keuntungan disini tidak hanya dimaknai dari sisi ekonomi, namun juga
pada sisi yang lain seperti sosial dan kultural.
Nan Lin (2001a; 6) mendefinisikan modal sosial dalam pemaknaan yang
lebih individual. Menurutnya modal sosial adalah ‘investment in social relations
with expected returns’. Ia pun melanjutkan “individual engage in interactions and
networking in order to produce profits”. Dengan demikian, Lin memberikan
analisa modal sosial pada ranah individual dalam kerangka profit oriented.
Pandangan ini terlihat jelas pengaruh teori pertukaran dalam persepktif modal
sosial Lin.
Pada sisi lain, Warren, Thompson, dan Saegert (2001; 1) mendefinisikan
modal sosial sebagai sebuah sumberdaya yang dimiliki antar relasi individual
yang disandarkan pada kepercayaan dan kerjasama. Berikut ini adalah
pernyatan yang lebih lengkap:
“Social capital refers the set of resources that inhere in relationships of trust andcooperation between people...Social capital is collective asset, a feature ofcommunities rather than property of an individual..Because it is a “common good”social capital plays a particularly important role in ensuring those aspect ofpersonal welfare that individual alone can rarely provide (for example, securityfrom crime and public health)”.
Namun, dalam pemaknaan selanjutnya keterlekatan modal material
dalam terminologi modal sosial pun tereliminasi. Hal ini dipahami sebagai salah
satu upaya membedakan antara modal ekonomi dengan modal sosial itu sendiri.
Dalam penjelasan modal sosial yang dikemukakan oleh Puntham, muncul
pemaknaan yang lebih spesifik. Ia menjelaskan bahwa modal sosial memiliki tiga
dimensi, kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan juga jaringan (network)
(Guntoro, 2009: 34-35). Relasi ketiga dimensi itu pun memiliki hubungan yang
saling terkait. Dalam penjelasannya, Putnam (1993) substansi modal sosial ialah
kepercayaan antar setiap individu dalam suatu kelompok. Hubungan sosial antar
masyarakat yang dipengaruhi oleh konteks ekonomi, politik dan kultural akan
menciptakan norma (norms) yang dianut oleh masyarakat tersebut. Adanya
norma umum yang sama tersebut membuat relasi antar individu yang
membentuk jaringan (network). Konfigurasi tersebutlah yang pada akhirnya
membentuk tingkat kepercayaan yang cukup tinggi. Putnam dalam studi tersebut,
Universitas Indonesia
25
memperlihatkan bagaimana perkumpulan perkeriditan di Italia bagian Utara
berkembang pesat.
Selanjutnya pembahasan lain mengenai modal sosial juga dapat dilihat
dengan konsep jejaring (network) yang dimaksud di sini mengacu pada relasi
sosial yang stabil yang membentuk norma-norma trust dalam tujuan mencapai
tujuan-tujuan sosial dan ekonomi. Network dikategorikan sebagai modal sosial
yang membantu mengumpulkan modal kapital material. Network diklasifikasikan
sebagai bonding (ikatan), bridging (penghubung), atau linking (koneksi) (Szreter,
2002). Secara lebih rinci Szeter (2005) menjelaskan ketiga elemen tersebut,
sebagai berikut:
“Bonding social capital networks are formed by those for whom an importantelement of their participation is the assertion of members’ social similarity to eachother and the exclusion of other social groups, ... Bridging social capital refers tovoluntary association among those who perceive themselves to be unalike—suchas Putnam’s American bowling league teams in the 1950s where blacks andwhites played in the same teams even in the decade before the civil rightsmovement. Bridging social capital is the more unusual and the more valuablekind of social capital for a democratic polity...The conceptof linking social capitalenables those studying social capital to include in their analysis relationships andnetworks that are established across formal, institutional power gradients, suchas when individuals encounter officials of central or local government”
Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa bonding ditandai dengan
adanya hubungan sosial yang dekat dan relatif stabil di dalam sebuah kelompok
karena keanggotaannya didasarkan pada kesamaan ciri-ciri sosial yang dapat
terwujud seperti; etnis, wilayah bahasa, kedekatan tempat tinggal atau agama.
Sebaliknya, bridging merupakan hubungan sosial yang terbuka berdasarkan
keanggotaan yang heterogen, dan linking menunjukkan relasi yang
menghubungkan antara kelompok sosial dan kebijakan negara. Jejaring
perkumpulan sosial yang baik ditandai dengan keseimbangan antara ketiga
dimensi tersebut.
1. Modal Sosial Kaitannya dengan Perkumpulan Sosial dan NegaraPutnam (1994) dalam teori modal sosialnya, menjelaskan bagaimana
modal sosial yang terdiri dari kepercayaan, norma dan jaringan melekat erat
dengan suatu masyarakat dengan latar belakang sosio ekonomi dan politiknya.
Terkait dengan itu, masyarakat yang memiliki modal sosial yang kuat akan
menciptakan banyak perkumpulan sukarela. Menurut Putnam, ada relasi antara
masyarakat dengan permerintahan lokal; masyarakat yang memiliki perkumpulan
sukarela akan mendorong pemerintah lokal lebih responsif. Begitu juga
Universitas Indonesia
26
sebaliknya, pemerintah lokal yang responsif akan merangsang masyarakat lebih
semarak dalam membuat perkumpulan-perkumpulan sosial. Gambaran lebih
jelas menganai hubungan tersebut dapat dilihat dalam bagan 1 di bawah ini.
Bagan 1.Skema Relasi Perkumpulan Sosial Menurut Putnam
Sumber: Diolah dari Putnam (1994)
Dalam bagan 1, diketahui bahwa relasi antara masyarakat dan
pemerintah ada hubungan timbal balik. Penejelasan pertama, bahwa
perkumpulan sosial menurut Putnam sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan
sejarahnya. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa modal sosial yang melekat pada
masyarakat akan menyebabkan perkumpulan sosial tumbuh subur. Efeknya
dapat disimpulkan, masyarakat yang kuat akan membuat kesejahteraan bagi
mereka sendiri, kemudian pada sisi yang lain akan menyokong terwujudnya
pemerintahan yang demokratis. Secara langsung Putnam menuliskan sebagai
berikut:
“The theory sketched in this chapter helps explain why social capital, asembodied inhorizontal networks of civic engagement, bolsters the performance ofthe polity and the economy, rather than the reverse: Strong society, strongeconomy; strong society, strong state...Social context and history profoundlycondition the effectiveness of institutions. Where the regional soil is fertile, theregions draw sustenance from regional traditions, but where the soil is poor, thenew institutions are stunted. Effective and responsive institutions depend, in thelanguage of civic humanism, on republican virtues and practices. Tocqueville wasright: Democratic government is strengthened, not weakened, when it faces avigorous civil society.” (Putnam,1994)
Tahap selanjutnya, Putnam menjelaskan penjelasan kedua, yang dalam
bagan satu digambarkan dalam garis putus-putus. Setelah adanya dorongan dan
Masyarakatyang aktif
PerkSosial
Pemerintahyang responsif
Universitas Indonesia
27
penguatan dari masyarakat untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis,
maka pemerintah pun akan menyediakan infrasturktur bagi masyarakat untuk
mengmbangkan nilai-nilai demokratis. Dengan demikian, akan tercipta hubungan
timbal-balik antara keduanya, pemerintah pun akan meminta kepada masyarajat
untuk menyampaikan kepentingan dan aspirasinya. Secara lebih rinci, Putnam
menjelaskan sebagai berikut:
“On the demand side, citizens in civic communities expect better government and(in part through their own efforts), they get it. They demand more effective publicservice, and they are prepared to act collectively to achieve their shared goals.Their counterparts in less civic regions more commonly assume the role ofalienated and cynical supplicants. On the supply side, the performance ofrepresentative government is facilitated by the social infrastructure of civiccommunities and by the democratic values of both officials and citizens. Mostfundamental to the civic community is the social ability to collaborate for sharedinterests. Generalized reciprocity (not "I'll do this for you, because you are morepowerful than I," nor even "I'll do this for you now, if you do that for me now," but"I'll do this for you now, knowing that somewhere down the road you'll dosomething for me") generates high social capital and underpins collaboration”.(Putnam, 1994)
Di sisi lain, Szerter (2002) menjelaskan relasi masyarakat dengan negara
(linking) berdampak signifikan terhadap pembentukan ikatan internal masyarakat
(bonding) dan juga hubungan antar masyarakat (bridging). Sehingga aspek
politik di tingkat nasional dan juga lokal, sangat berpengaruh terhadap kemajuan
suatu perkumpulan sosial. Dalam penjelasannya, Szreter (2005) menjelaskan
bagaimana sejarah (dalam hal ini sejarah ekonomi-politik) serta kebijakan negara
berpengaruh terhadap kesejahteraan dan juga kesehatan masyarakat. Ia
menjelaskan bagaimana pergantian penguasa di Inggris, secara signifikan
menurunkan ataupun memajukan kejahteraan masyarakat dan menyediakan
fasilitas kesehatan yang memadai. Dukungan atau malah ketidakpedulian negara
terhadap masyarakat, khususnya masyarakat miskin yang dilegitimasi dalam
berbagai kebijakan, tentunya akan merubah kondisi mereka secara signifikan
Linking merupakan dimensi penting dalam penjelasan Szreter dalam
upaya merevisi pendapat Putnam mengenai modal sosial. Menurutnya, linking
merupakan dimensi yang terkait dengan kebijakan negara. Bahkan secara tegas
ia menyatakan bahwa linking-lah yang akan membentuk apakah masyarakat
sejahtera atau tidak, terutama pada masyarakat yang miskin. Dalam penjelasnya,
ia mengungkapkan bahwa ada lingkungan yang memiliki kekuasaan dan
kekuatan untuk mengatur masyarakat terkait dengan pembangunan infrastruktur,
Universitas Indonesia
28
ekonomi, dan juga aturan-aturan yang mengikat lainnya. Sehingga, hubungan
dengan negara menjadi penting, dan secara langsung maupun tidak langsung
akan mempengaruhi dimensi bonding dan bridging di dalam suatu komunitas.
2. Kondisi Kuat atau Lemahnya Modal Sosial Perkumpulan SosialPenjelasan Szreter (2002; 2005) tidak menjelaskan secara rinci
bagaimana ketiga aras dari jaringan dalam perkumpulan sosial bisa dikatakan
kuat atau lemah. Namun, dalam penelitian sebelumnya, Achwan (2011) telah
menjelaskan tentang kondisi bonding, bridging dan linking dari beberapa
perkumpulan sosial pengusaha tekstil di Kota Batik (lihat dalam tabel 3 di bawah
ini). Dalam menjelaskan level bonding, ia menerangkan ada salah satu
perkumpulan sosial -dalam hal ini perkumpulan sosial pebisnis teksitil sekala
besar- yang memiliki tingkat ekstensif atau luas dan di sisi lain dalam
perkumpulan sosial pengusaha bersekala kecil dan menengah dengan penilaian
kuat. Perbedaan ini dijelaskan dengan hubungan ditingkat lembaga. Bonding
yang luas (extensive) ditandai dengan kestabilan hubungan dalam suatu lokasi
tempat tinggal. Secara spesifik tentang kuatnya (strong) bonding dari salah satu
perkumpulan sosial tidak dijelaskan secara rinci. Tetapi kuatnya bonding dalam
penelitan tersebut dapat dimaknai dengan kuatnya hubungan internal yang
memang memiliki kedekatan hubungan kekerabatan atau bisa dikatakan masih
dalam satu ikatan keluarga.
Tabel 1.3Perbandingan Jejaring Pengusaha
Jenis Usaha Bonding Bridging LinkingBesar Luas Luas Kurang didukungKecil dan Menengah Kuat Lemah Tidak didukung
Sumber: Achwan (2011)
Sedangkan briging yang luas (extensive) terkait dengan kemampuan
perkumpulan sosial untuk melampaui ikatan kedekatan tempat tinggal.
Fenomena ini dijelaskan sebagai dampak dari pengusaha skala besar yang
memang ingin meningkatkan kerjasama bisnis dalam upaya memperbesar
keuntungan ekonomi (economic gain). Di sisi lain, pengusaha-pengusaha
dengan sekala kecil dan menengah, tidak mampu memperluas atau menguatkan
jejaringnya dengan pengusaha lain. Hal ini ditandai dengan tidak adanya atau
lemahnya relasi antar mereka dalam upaya meningkatkan bisnis.
Universitas Indonesia
29
Sedangkan dalam dimensi linking, dijelaskan bagaimana lemahnya
pengusaha sekala besar berelasi dengan pemerintah nasional atau daerah
begitu juga dengan elemen-elemen politik yang bisa memperngaruhi kebijakan
pemerintah pada dua level tersebut. Di sisi lain, tidak ada kepedulian dari
pengusaha sekala kecil dan menengah dalam upaya meminta pemerintah
daerah apalagi pusat dalam membantu mengatasi permaslahan produksi
mereka.
Berdasarkan itu, maka penelitian ini akan berpijak pada instrumen dalam
tabel 4. Perbedaan jenis perkumpulan dan juga konteks ekonomi politik yang ada
menjadi alasan untuk pembuatan instrumen yang lebih dekat dengan
permasalahan yang ada. Fungsi dari instrumen ini ialah untuk membantu peneliti
untuk menjelaskan dinamika jaringan yang ada dalam perkumpulan sosial di
Desa Rintis.
Tabel 1.4Derajat Modal Sosial Pada Perkumpulan Sosial
Kuat Lemah
Bonding 1. intensitas yang tinggi dalamberkumpul (rapat) danberkegiatan
2. Pelibatan semua anggotadalam pengambilan keputusan
3. kesukarelaan yang tinggi dalamkegiatan perkumpulan
1. intensitas yang rendah dalamberkumpul (rapat) danberkegiatan
2. tidak semua anggota terlibatdalam pengambilan keputusan
3. tidak adanya kesukarelaandalam kegiatan perkumpulan
Bridging 1. adanya komunikasi yang baikdengan perkumpulan lain
2. adanya kerjasama denganperkumpulan sosial lain
1. tidak adanya komunikasi yangbaik dengan perkumpulansosial lain
2. tidak ada kerjasama denganperkumpulan sosial lain
Linking 1. sering berkomunikasi denganpemda
2. sering mendapatkan bantuanmoril dan materil dari pemda
1. tidak pernah berkomunikasidengan pemda
2. tidak pernah mendapatkanbantuan moril dan materil dariPemda
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Tabel ini merupakan alat bantu untuk mengetahui derajat dari jaringan
pada setiap dimensi. Tentunya ini hanya merupakan prakiraan atas kondisi yang
sedang terjadi di masyarakat. Pada hasil akhir, besar kemungkinan ada
perubahan maupun penambahan kriteria, tergantung dari hasil yang didapatkan
dari penelitian yang akan dilangsungkan.
Universitas Indonesia
30
3. Peran Aktor dalam Modal Sosial Pada Perkumpulan SosialDalam kajian modal sosial yang sudah dijelaskan sebelumnya, peran
aktor belum dijelaskan secara rinci. Pera aktor yang dimaksud ialah, individu atau
orang per orang yang secara signifikan membangun bonding, bridging, dan
linking. Mengomentari ini, Gotto etc (2011) menjelaskan pada level individual
eksistensi aktor kurang dijelaskan, mereka hanya dianggap terpengaruh secara
penuh dengan norma dan nilai yang terbentuk dari jejaring masyarakat akibat
adanya rasa percaya. Namun menurutnya, setiap aktor dalam komunitas akan
mencoba mencari keuntungan pribadi dalam lingkup seperangkat norma yang
ada.
Menurut Bourdieu (dalam Gotto, etc, 2011) setiap individu dapat
mempengaruhi modal sosial dengan membuat seperangkat norma yang tak
tertulis dan yang tertulis. Hal ini dipahami karena Bourdieu menganalisa modal
sosial juga melekat pada individu. Bourdieu (dalam Fuch, 2003) menjelaskan
bahwa individu memiliki tiga modal; ekonomi, sosial, dan kultural. Modal ekonomi
sebagaimana yang dijelaskan oleh Marx yaitu kekayaan material. Selanjutnya,
modal sosial ialah relasi-relasi sosial serta asal usul keluarga. Kemudian modal
kultural ialah tingkat pendidikan, keluasan pengetahuan, dan kualifikasi. Ketiga
modal ini di dalam komunitas kemudian diapresiasi. Akumulasi modal tersebut
menjadi nilai kehormatan dan prestis bagi yang memilikinya. Kehormatan dan
prestis inilah yang disebut Bourdieu sebagai modal simbolik.
Kemudian Bordieu (dalam Fuch, 2003) menambahkan, Individu yang
memiliki modal simbolik yang besar, akan memiliki posisi sosial yang tinggi.
Individu ini akan memiliki peranan yang lebih besar, karena berada pada hirarki
yang tinggi di masyarakat. Dengan demikian, ia mampu untuk membuat
seperangkat aturan atau norma untuk diberlakukan pada kelompok sosial lain
yang lebih rendah. Namun, itu hanya pada satu setting sosial saja, karena bisa
saja pada konteks sosial lain ia berada pada level yang lebih rendah. Inilah yang
disebut Boudieu dengan ranah (field), arena tempat individu-individu saling
berinteraksi dalam satu norma yang sama. Setiap individu bisa memiliki banyak
ranah seperti keluarga, organisasi, masyarakat desa, dan juga tentunya
perkumpulan sosial.
Selanjutnya Bourdieu juga memunculkan kosep modal yang melekat
pada agen yang jika dipadukan dengan habitus akan membentuk style agen
dalam setiap tindakan sosialnya di dalam ranah (Harker, etc: 2009).
Universitas Indonesia
31
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, modal dalam perspektif Bourdieu
adalah yang material maupun yang sosial. Modal mesti ada dalam sebuah ranah,
agar ranah tersebut dapat memiliki arti, dalam pengertian bahwa modal memiliki
fungsi tidak hanya pada agen, namun juga pada ranah sebagai sebuah sarana
bagi agen bereksitensi. Eksistensi dalam ranah inilah yang disebut Bourdieu
sebagai ‘praktik’.
Parktik sebagai sebuah tindakan sosial agen menurut Bourdiue
dipengaruhi oleh habitus, modal, dan ranah yang telah dijelaskan panjang lebar
sebelumnya. Rumusanya adalah parktik agen atau kelompok sosial sudah
didialektikan dalam dimensi kesadaran objektif dan subjektif. Sehingga parktik
juga dapat dimaknai sebagai upaya strategis agar dapat diterima dalam ranah
baru, mengukuhkannya dalam ranah, dan memperjuangkan dimensi subjektifnya
dalam ranah.
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai habitus, modal, ranah dan
praktik sesungguhnya Bourdiue telah menjembatani pemisah yang lebar antara
agen dan struktur. Dalam hal ini ia pengambangan konseptualnya sebagai
‘stuktur generatif’ yang melibatkan dialektika antara kesadaran subjektif,
kepimilikan atas modal sosial dan material, akumulasi pengalaman dalam ranah,
dan juga ranah untuk mentukan praktik atau tindakan agen. Dengan demikian,
agen dilihatnya sebagai makhluk yang kreatif yang mampu melakukan inovasi-
inovasi dalam habitus untuk meningkatkan potensi dirinya baik dengan
peningkatan material mapun proses sosial. Di sisi lain, struktur adalah sebuah
konsensus dari berbagai agen, bahkan dalam penjelasan tentang habitus,
sesungguhnya dimungkinkan bagi agen untuk membentuk struktur baru jika ia
telah memiliki kapasitas untuk mempengaruhi ranahnya.
Analisa Bourdieu di atas, dapat menjadi panduan untuk mengidentifikasi
aktor. Baik pada sisi kepemimpinan serta kepatuhan anggota lainnya. Sehingga,
akan diketahui apa yang melatari dinamika perkumpulan sosial terkait dengan
aktor-aktor dominan dalam berelasi dengan aktor-aktor yang lain. Namun,
penjelasan ini belum bisa menjawab, bagaimana peran aktor dalam dinamika
bonding, bridging, dan linking pada suatu perkumpulan sosial.
Universitas Indonesia
32
F. Metodologi Penelitiana. Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah kualitatif. Menurut
Cresswell (2007), penelitian kualitatif memiliki logika induktif. Dalam arti,
penelitian ini dikerjakan dengan data-data yang partikular yang dijekaskan
secara mendetail untuk memperoleh gambaran yang utuh mengenai
permasalahan yang dibahas. Oleh karenanya, walaupun penelitian ini memiliki
asumsi-asumsi, namun tidak menjadi panduan yang kaku. Karena penelitian
kualitatif bersifat siklus, jika tidak sesuai dengan data, asumsi atau konsep
tersebut dapat diubah. Secara praktis, penelitian kualitatif melakukan studi
dilapangan, yang juga merupakan tempat tinggal dan beraktifitasnya informan.
Hal ini penting untuk mengetahui konteks dari ucapan maupun tindakan yang
dilakoni oleh informan.
Selanjutnya, dalam pendekatan kualitatif ini, penelitian dilaksanakan
secara lebih humanistik dan interaktif. Dalam arti, dalam pengumpulan data
peneliti harus memiliki kepekaaan dan kedekatan dengan semua informan yang
terkait (Cresswell: 2007). Menurut Creswell, kepekaan dan kedekatan
berhubungan erat dengan hubungan yang baik dan kredibilitas peneliti dimata
para informan agar data yang didapatkan lebih dalam dan berkualitas.
Sejumlah warga di desa Rintis yang akan dijadikan informan dalam
penelitian ini telah penulis kenal. Tentunya hal ini sangat membantu penulis
untuk membangun membangun hubungan yang baik dan kredibilitas dimata para
informan. Perkenalan dengan para informan terkait dengan keterlibatan penulis
dalam program pemberdayaan masyarakat, khususnya mengenai penguatan
peran PKBM Kurnia bagi masyarakat desa Rintis yang dilakukan oleh divisi
Community Development (CD) Premier Oil (Desember 2011-Februari 2012).
Dalam proses itu, penulis telah saling bertemu dan berbincang-bincang secara
dalam dengan beberapa informan terkait dengan pemberdayaan masyarakat
yang dibantu oleh divisi CD Premier Oil. Dalam kurun tersebut, penulis juga
sudah memiliki gambaran mengenai lokasi dan berbagai konteksnya.
b. Teknik Pengumpulan DataCreswell (2003) menjelaskan ada tiga teknik dalam pengumpulan data
dalam penelitian kualitatif, yaitu; teknik observasi, wawancara, dan juga
pengumpulan dokumen. Dalam penelitian ini wawancara menjadi teknik utama
Universitas Indonesia
33
dalam upaya mendapatkan data primer. Kemudian, data tersebut akan
dilengkapi dengan data-data dari observasi dan juga pengumpulan dokumen
terkait.
Wawancara dilakukan terhadap beberapa warga desa, pejabat Pemda,
serta pihak-pihak lainya yang dianggap terkait dengan studi ini. Informan kunci
dalam penelitian ini adalah Ibu Isye dan Bapak Umar. Ibu Isye merupakan
pengurus PKK dan PKBM Kurnia di Desa Rintis. Kemudian, Bapak Umar ialah
ketua dari koperasi petani dan juga ketua kelompok tani di Desa Rintis.
Pemilihan dua informan kunci ini disandarkan kepada besarnya peran mereka
dalam kegiatan perkumpulan sosial serta jejaringnya dengan pemerintahan
Kabupaten Kepulauan Anambas. Selain dua informan itu, ada dua belas orang
lain yang diwawancara secara mendalam. Informan-informan itu antara lain, (1)
Pak Amsyir sebagai tokoh masyarakat dan penggiat pertanian, (2) Rian
Wiriatmoko yang merupakan sekretaris desa, (3) Abdul Hadi ketua PKBM Kurnia
Desa Rintis, (4) Pak Suryani, tetua kampung asal Rangkasbitung, (5) Pak Darjo
tetua kampung etnis Jawa, (6) Buhario guru SD, penggerak paguyuban
pasundan, dan (7) Pak Mahrudin ketua kelompok Marhaban. Mereka ialah warga
Desa Rintis yang beraktifitas di dalam perkumpulan sosial yang ada ataupun
yang secara langsung mengetahui dengan baik perihal perkumpulan sosial itu.
Kemudian dari pihak pemerintahan Kabupaten Kepulauan Anambas dipilih
beberapa orang yang biasa mengurusi perkumpulan sosial di Desa Rintis.
Mereka ialah, (8) Johanes Viani, kabid Perindustrian di Dinas Perdagangan dan
Perindustrian Kab. Kep Anambas, (9) Pak Atmojo kepala UPT Pertanian
Kecamatan Siantan, (10) Pak Arman Kabid aktualisasi nilai-nilai kebangsaan di
BAKSEBANGPOLBANDA Kab Kep Anambas.Terakhir, penelitian ini juga
mewancara pihak lain yang terkait diluar warga Rintis serta pemerintah daerah,
mereka ialah (11) Pak Afandi Yacub tokoh masyarakat Tarempa yang
mengetahui secara jelas perkembangan masyarakat Anambas termasuk warga
Desa Rintis kemudian (12) Carol, aktivis Biosphere Foundation asal Inggris yang
sedang melangsungkan program pemberdayaan masyarakat saat penelitian
berlangsung.
Selain wawancara mendalam, dalam upaya mendapatkan data lebih
lanjut dijuga dilakukan wawancara sambil lalu kepadasembilan informan. Para
informan tersebut ialah, Pak Sutisna kepala Desa Rintis, (2) Abu Hanifah kepala
divisi CSR Premier Oil, (3) Edy Jafar tokoh pemuda Tarempa ketua KNPI Kab
Universitas Indonesia
34
Kep Anambas, (4) Pak Arta, mantan ketua RT di Desa Rintis, (5) Pak Parjo
Ketua kelompok tani Tunas Muda, (6)Pak Sapur, pembina tim sepak bola Desa
Rintis, (7) Pak Safur Bactiar, staf di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Kep.
Anambas, (8) Pak Marzuki, Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kab. Kep Anambas, serta (9) Pak Nur, penyuluh pertanian dari
Joglo Tani. Semua informan yang diwawancarai sudah mengizinkan agar
namanya dapat ditulis dengan jelas di dalam penelitian ini.
Kemudian, studi ini juga akan didukung oleh data yang berupa dokumen-
dokumen seperti monografi desa, peta desa, dan data statistik lainya. Selain itu,
dokumen seperti surat kabar, penelitian ilmiah, serta dokumen resmi organisasi
baik perkumpulan sosial mapun pemerintah lokal.Dokumen merupakan sumber
data yang penting karena dapat menjelaskan fenomena-fenomena yang tidak
tercakup dalam observasi dan wawancara. Dokumen-dokomen tersebut akan
diperoleh dari kantor-kantor yang berwenang, baik yang berada di Anambas
maupun yang berada di Jakarta seperti Perpustakaan Nasional yang
memungkinkan memiliki data yang terkait dengan penelitian. Sumber elektronik
pun dapat digunakan dalam penelitian ini jika dianggap memiliki kredibilitas dan
keberadaan data cetak sulit ditemukan.
c. Konseptualisasi DataSelain memaparkan deskripsi mengenai data lapangan yang diperoleh.
Penelitian ini juga akan melalukan konseptualisasi data. Menurut Bryman (2002)
konseptualisasi data akan menjawab sejauh mana konsep-konsep atau teori
yang digunakan muncul dalam hasil penelitian. Dengan demikian, hasil
konseptualisasi ini akan mengetahui kebenaran dari konsep-konsep yang
digunakan. Sehingga, dari data penelitian dimungkinkan akan adanya kritik atau
penambahan dari konsep-konsep sebelumnya.
Penelitian ini dipandu oleh konsep Putnam (1994) dan juga Szreter (2002;
2005) mengenai relasi antara modal sosial dalam perkumpulan sosial dengan
negara. Diharapkan akan ada temuan baru terkait dengan peran aktor dalam
modal sosial. Jika ditemukan peran yang signifikan dari aktor dalam modal sosial,
tentunya ini akan menjadi sumbangan akademik bagi teori modal sosial yang
sampai saat ini masih ramai dibincangkan.
Universitas Indonesia
35
d. Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian ini mengambil tempat di Desa Rintis dan beberapa kelurahan di
Kecamatan Siantan Kabupaten Kepulauan Anambas Provinsi Kepulauan Riau.
Desa Rintis di Anambas dijadikan lokasi penelitian karena wilayah ini baru saja
memiliki pemerintahan lokal baru yang memiliki beberapa karakteristik khas.
Karakteristik khas tersebut antara lain; (1) berada di perbatasan Indonesia, (2)
wilayahnya kepulauan, (3) pemerintah lokal memiliki APBD yang besar.
Desa Rintis dijadikan fokus dalam studi ini. Berdasarkan pembagian
pusat-pusat perkumpulan pemukiman warga, desa Rintis terbagi menjadi tiga
bagian; Batu Tambun, Gudang Tengah, dan Rintis Hulu. Namun, dalam studi ini
karena akan mengkaji tentang perkumpulan-perkumpulan sosial tidak terbatas
pada wilayah teritorial saja. Dengan demikian, lokasi lain yang di luar wilayah
teritorial desa Rintis akan juga menjadi lokasi penelitian selama memiliki
keterkaitan dengan tema penelitian.
Selanjutnya, penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih satu bulan
(Maret-April 2013). Penulis akan tinggal di lokasi penelitian dengan menumpang
tinggal di beberapa rumah warga yang sudah dikenal. Kurun waktu tersebut
sudah termasuk dengan aktifitas perizinan, pengumpulan data, sekaligus
penulisan hasil penelitian.
G. Sistematika PenulisanTesis ini terdiri dari lima bab, satu bab pendahuluan, tiga bab uraian
empiris, satu bab analisis, dan satu bab kesimpulan. Bab pertama ialah
pendahuluan yang berisikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah,
terutama karet. Sebagaian besar penduduk kini memilih untuk bermukim di
pesisir pantai, sedangkan bagian tengah pulau didominasi oleh hutan lebat.
Iklim di Anambas pun cukup berbeda dari kebanyakan wilayah Indonesia.
Letaknya yang berada di dekat Laut Cina Selatan, membuatnya mendapatkan
pengaruh angin dari berbagai wilayah. Dalam musim-musim tertentu, angin
berhembus cukup kuat dan berpengaruh terhadap gelombang laut. Koenawan
(2007) berdasarkan data dari BMG Tarempa menjelaskan bahwa angin
maksimum terjadi pada musim Timur (Juli sampai Agustus) dan musim Barat
(Desember sampai Februari). Pada musim Timur dan Barat, perairan di wilayah
anambas bergelombang cukup tinggi, sehingga,keterhubungan dengan daerah
lain pun terhabat akibat tidak mampunya kapal melalui gelombang tersebut.
Walaupun begitu, wilayah ini memiliki posisi yang strategis dalam jalur
perdagangan internasional.
Kepulauan Anambas sejak lama dikenal sebagai jalur perdagangan
internasional yang menghubungkan Laut Cina Selatan dengan Samudra
Indonesia.1Begitu ramai dan pentingnya jalur ini, maka pemerintah Belanda pun
membangun sebuah mercusuar pada abad ke-18 di kepulauan ini untuk menjaga
arus lalu lintas kapal-kapal dagang dari berbagai negara. Selain itu, sejak lama di
Anambas juga dibangun tata pemerintahan olah Pemerintah Hindia-Belanda
dengan membentuk kewedanaan di pulau Siantan. Keramaian lalu lintas
perdagangan internasional itu mengundang beberapa kelompok masyarakat
untuk menjadi ‘lanun’ atau bajak laut untuk mendapatkan keuntungan instan
dengan merompak kapal-kapal dagang tersebut.
Bahkan secara jelas, beberapa tokoh masyarakat Anambas yang
tergabung dalam Lembaga Adat Melayu (LAM) Kecamatan Pal Matak telah
menuliskan dalam sebuah buku singkat mengenai asal usul mereka memastikan
bahwa para lanun tersebutlah yang menjadi leluhur mereka. Kisah dalam buku
singkat tersebut pun sesuai dengan karya sastra yang dibuat oleh Ahmad (1949)
1 Dalam perdebatan para sejarawan menganai catatan I’ Tsing yang dibuat pada abadke 5 tentang negeri-negri yang pernah disinggahinya dalam perjalanannya menujukerajaan Sriwijaya, Anambas dinominasikan sebagai salah satu negeri yang sudahpernah disinggahinya. (Lebih jelas lihat Mulyana; 2006, dan Wolters; 2012). Bahkansampai saat ini wilayah Anambas baik dratan maupun laut masih banyak ditemukannelayan dari negara tetangga yang mencari ikan secara ilegal. Hal ini dikerenakanwilayah Anambas sangat kaya sumber ikannya, lebih lanjut dapat dilihat dalam studiKholison (2006).
Universitas Indonesia
41
yang berjudul Perompak Lanun.2 Berdasarkan cerita pada buku tersebut pun
diketahui bahwa masyarakat Anambas terdiri dari berbagai suku bangsa, yaitu
Kamboja yang dikisahkan sebagai kelompok lanun, lalu Melayu Brunai, yang
dikisahkan sebagai tawanan para lanun, kemudian suku Melayu Jambi.
Orang Kamboja yang diidentifikasi sebagai lalun di Anambas sangat
mungkin menjadi orang pertama yang tinggal di wilayah kepulauan ini. Dalam
buku yang diterbitkan oleh LAM misalnya telah diketahui bahwa bahasa Melayu
di Anambas kuat dipengaruhi oleh bahasa Kamboja. Selain itu, nama Anambas
juga bukan nama yang muncul belakangan. Nama itu sudah dikenal pada masa
pemerintahan kolonial, dan Anambas kuat kaitanya dengan orang Annam yang
merupakan salah satu etnis yang pernah membangun kerajaan di Kamboja.
Pada tahap berikutnya, Tarempa sebagai pusat perdagangan dan kini
pemerintahan kabupaten Anambas menjadi pemukiman yang metropolis karena
dibangun atas dasar keberagaman suku bangsa, dan mau menerima pendatang
dari etnis manapun dengan tangan terbuka. Dalam wawancara salah satu tokoh
menjelaskan mengenai hal ini:
“Kalau orang Terempa (Ibu Kota kab. Kep Anambas) ini semua diterima denganbaik. Tapi dengan satu syarat mari kita bangun bersama daerah kita. kalau kita disini itu ada budaya datu, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Ya termasukdengan orang Bantan itu. kalau di pulau lain sulit orang lain masuk. di Jemajasusah orang lain masuk, di Ranai juga sulit di sini saja lah orang bisa diterimadengan baik.” (wawancara dengan Afandi Yacoub tanggal 31 Maret 2013).
Ketika Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan liberalisasi ekonomi,
beberapa perusahaan perkebunan didirikan. Karet dan kopra menjadi komoditas
utama dalam perdagangan internasional. Seperti di daerah lain di wilayah Hindia
Belanda, Anambas pun menjadi sasaran penanaman karet dan kopra oleh
beberapa pengusaha. Dalam konteks inilah arus pendatang berikutnya. Pada
masa ini, berdasarkan penuturan beberapa orang warga dikatahui
pengusahanya berasal dari etnis Cina yang memiliki konteksi langsung dengan
pasar di Singapura.
Kebutuhan akan tenaga kerja di Anambas direspon oleh orang-orang di
wilayah lain di wilayah Hindia Belanda. Para pendatang yang baru datang itu
berasal dari etnis Sunda-Rangkas, Jawa, Minangkabau, Riau-Kampar, dan juga
2 Kisah mengenai Bajak laut di wilayah Anambas bukan hanya menjadi cerita rakyatmasyarakat. Lapian (2011) dalam bukunya menjelaskan bahwa memang daerah tersebutmemang terkenal sebagai daerah yang dihuni oleh para bajak laut, bahkan sampai abadke XIX wilayah Anambas masih cukup dikenal dan ditakuti karena aktifitas bajak lautnya.
Universitas Indonesia
42
Melayu-Bangka. Menurut penuturan beberapa warga, mereka datang ke pulau
Siantan sejak 1920-an, arus pendatang terus meningkat yang terbesar pada
tahun 1950-an.3 Kedatangan mereka pada tahun 1920-an dibuktikan dengan
adanya seorang kelahiran Tarempa pada tahun 1935 dan dapat berbahasa Jawa
dengan fasih. Ia mengatakan bahwa orang tuanya datang pada tahun 1920-an
dan berasal dari Banyumas. Alasan mereka datang dari jauh adalah karena
bekerja di kepulauan Anambas digaji dengan uang Dolar Singapura yang secara
nominal lebih besar dibanding mata uang yang berlaku di Indonesia. Apalagi
menurut penuturan beberapa warga, para perantau yang telah beberapa tahun
tinggal di Anambas, pulang kampung dengan membawa banyak emas batangan.
Tentunya, hal ini mengiurkan semakin banyak warga lain untuk ikut merantau
berburu dolar ke Anambas.
Letak Anambas yang berada di ujung Indonesia tak menyurutkan mental
para perantau. Belum adanya fasilitas transportasi yang memadai tentunya
memaksa mereka datang dengan menggunakan kapal laut. Itu pun masih harus
melalui beberapa kali transit, karena dulu yang ada hanyalah kapal perdagangan
yang tujuannya hanya ke pelabuhan-pelabuhan besar seperti Singapura dan
juga Tanjung Pinang. Dengan demikian perjalanan menuju Anambas pun harus
dilanjutkan dengan menggunakan kapal-kapal kecil atau yang dikenal dengan
orang lokal ‘pompong’. Cerita lebih heroik dimiliki oleh generasi awal perantau
yang kabarnya hanya menggunakan kapal layar untuk menuju Anambas.
Sehingga mereka harus membaca arah angin dan juga derasnya gelombang
Laut Jawa dan juga laut Cina Selatan.
Dalam studi Prayogo dkk (2010), dijelaskan bahwa penduduk Anambas
dibangun dari tiga kelompok etnis, yang pertama ialah suku laut, yaitu
sekelompok masyarakat yang pusat kegiatannya berada di laut. Mereka
diidentifikasi sebagai orang yang paling asli dari masyarakat Anambas. Sampai
sekarang mereka belum beragama dan tidak terakses oleh sarana pelayanan
publik, seperti sekolah. Namun, beberapa orang dari kelompok sosial ini sudah
ada yang mulai bermukim dan membangun rumah di pesisir pantai Tarempa.
3 Bukti bahwa kedatangan mereka sudah sejak lama juga terekam dalam surat grantyang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda tertanggal 19 September 1931 untuk orangBanten yang menggarap tanah perkebunan di Pulau Siantan. Surat itu berisi pemberianwewenang Pemerintah Kolonial terhadap masyarakat untuk menggarap perkebunankaret lengkap dengan peta lokasi tanah garapannya. Pada saat ini, surat tersebutdigunakan para ahli waris untuk mengklaim kepemilikan tanah mereka. Surat ini dapatdilihat pada bagian lampiran.
Universitas Indonesia
43
Kelompok kedua ialah orang Tiong Hua dari kelompok suku Hokien, namun
sebagian besar mereka sudah tidak bisa berbahasa ibu lagi. Sebagian dari
mereka masih bertahan dengan ajaran Konghucu, dan sebagian lain sudah
memeluk agama Islam atau Kristen. Di Ibu Kota Kab Kep Anambas, terdapat
Klenteng Gunung Siantan yang berdiri megah menghadap ke laut dan menjadi
salah satu simbol kota Tarempa. Kebanyakan orang Tiong Hua beraktifitas
sebagai pedagang di pasar terutama menjual sembako, perlengkapan rumah
tangga, bangunan, dan kedai kopi serta ada juga yang menguasai beberapa
bidang lahan perkebunan. Terakhir ialah dari gabungan kelompok etnik Bugis,
Riau, dan Minang yang meleburkan diri yang disebut orang Melayu. Orang
melayu sangat identik dengan Islam, dan populasi mereka cukup besar dan
tersebar dalam banyak bidang pekerjaan, seperti berdagang, nelayan, petani,
dan juga pegawai negeri.
Keragaman etnis dapat terlihat jelas di Tarempa yang kini menjadi
Ibukota Kabupaten Kep Anambas. Di kelurahan ini terdapat beberapa pasar
yang yang menjadi pusat perdagangan di wilayah Kab Kep Anambas. Selain itu
juga, terdapat berbagai pusat pelayanan publik serta kantor pemerintahan yang
berdiri di Tarempa sebelum pemekaran kabupaten seperti; kantor imigrasi, kantor
urusan agama, kantor polisi, markas dan asrama TNI AL, kantor PLN, kantor
Telkom, kantor BMG, kantor pos, serta pelabuhan sipil. Kini dengan pemekaran
kabupaten, semakin banyak kantor-kantor yang berada di kelurahan ini. Jumlah
pendatang pun dapat dipastikan semakin banyak. Sehingga Tarempa, sejak dulu
sampai sekarang masih menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan yang
menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dari berbagai latar belakang etnis.
Tarempa juga merupakan titik masuknya pendatang. Hal ini dipahami
karena keberadaan pelabuhan sipil di Tarempa. Kapal-kapal yang singgah di
Tarempa ialah kapal PT Pelni seperti KM Bukit Raya dan KM Binaiya yang
menghubungkan Tarempa dengan pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta. Selain itu
ada juga beberapa kapal perintis yang menghubungkan Tarempa dengan
Tanjung Pinang, Natuna, dan juga wilayah di Kalimantan Barat. Selanjutnya,
untuk transportasi antar pulau di Anambas, tersedia kapal-kapal cepat (speed
boat) dan juga kapal motor kayu besar maupun kecil (pompong). Kapal-kapal
tersebut tidak memiliki rute yang jelas, karena dimiliki oleh pribadi. Biasanya, jika
ingin menuju suatu tempat para mereka harus menyewanya, baik secara
perorangan maupun kolektif. Jalur udara kini pula ditempuh dari bandara di
Universitas Indonesia
44
Kecamatan Pal Matak. Bandara di kecamatan tersebut, dimiliki oleh perusahaan
Conoco-Philips sehingga sebagian besar penerbangan diperuntukan bagi
kepentingan perusahaan. Penerbangan sipil hanya ada satu rute yaitu
penerbangan yang menghubungkan antara Anambas dengan Bandara Hang
Data pada tabel 1 merupakan gambaran mengenai sebaran pekerjaan
masyarakat Anambas di dua kecamatan, yaitu kecamatan Pal Matak dan
Tarempa. Data ini menggambarkan kondisi pekerjaan masyarakat Anambas
yang didominasi oleh nelayan dan petani. Tahun 2007 merupakan masa
Anambas belum memekarkan diri menjadi kabupaten. Dalam koteks ini terlihat
bahwa sebagian besar masyarakat bekerja pada sektor pertanian dan kelautan.
Dalam data tersebut, Desa Rintis masih tergabung di dalam kelurahan
Tarempa. Diketahui, di Tarempa pada tahun 2007 jumlah petani lebih banyak
dari pada nelayan, kondisi ini berbeda dengan tempat-tempat lain yang di
dominasi oleh nelayan. Walaupun begitu, jumlah nelayan dan petani jika
digabung hanya 50,5%, sisanya bergerak pada sektor lain terutama pada
perdagangan dan perkantoran. Hal ini dipahami karena memang Tarempa sejak
lama menjadi pusat perdagangan dan perkantoran negara.
Tabel 2Pekerjaan Masyarakat Desa Rintis
JENIS PEKERJAAN LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
Petani 287 Orang 19 Orang 306 orang
Peternak 65 Orang 0 Orang 65 orang
Nelayan 15 Orang 0 Orang 15 orang
pegawai honorer 16 Orang 26 Orang 42orang
Pegawai negeri sipil 9 Orang 9 Orang 18 orang
TNI 6 Orang 0 Orang 6 orang
Pensiunan PNS/TNI/POLRI 1 Orang 1 Orang 2 orang
Wiraswasta 27 Orang 5 Orang 32 orang
pegawai swasta 7 Orang 0 Orang 7 orang
bidang informal lain 17 Orang 2 Orang 19 orang
Jumlah total penduduk 450 Orang 62 Orang 512 orangSumber: Profil Desa 2012
Universitas Indonesia
45
Semenjak pemekaran Kabupaten Kep. Anambas, Rintis pun mengalami
perubahan dalam hal sebaran pekerjaan masyarakat. Dalam waktu singkat,
Rintis kini menjadi wilayah yang sangat plural dalam sisi profesi masyarakat (lihat
dalam tabel 2). Walaupun sebagain besar masyarakat masih berprofesi dalam
bidang agraris, namun perkembangan peralihan profesi sangatlah cepat. Data
mengenai jumlah petani dalam tabel 2 yang berjumlah 306 orang sebenarnya
belum dapat dipastikan sepenuhnya. Hal ini disebabkan adanya sekelompok
petani yang kini lebih memilih menjadi buruh bangunan dan profesi lainnya.4
Namun, karena adanya kepemilikan lahan dan sesekali mereka merawatnya,
maka mereka lebih memilih untuk tetap disebut sebagai petani.
Dengan demikian diketahui bahwa masyarakat Anambas, khususnya
Tarempa cukup plural baik dari segi etnis maupun agama. Dalam kondisi
kekinian, dengan adanya pemerintahan lokal baru, semakin banyak pendatang
dari berbagai daerah di Indonesia untuk mencari peruntungan ekonomi semakin
membuat Anambas menjadi lebih plural. Perkebangan mutahir, beberapa
kelompok etnis bahkan telah membentuk paguyuban-paguyuban keadaerahan,
seperti paguyuban Pasundan, Jawa, Minang, Pesisir Selatan, Tiong Hua,
Sumatra Utara dan juga tentunya Melayu.
Dalam sisi sebaran mata pencaharian pun Anambas kini semakin
beragam. Dari yang awalnya di dominasi oleh nelayan dan petani, kini masyakat
lebih banyak tersebar dalam bidang lain. Di Rintis sendiri yang merupakan
wilayah pegunungan yang awalnya dapat dipastikan hampir semuanya
berprofesi sebagai petani, dalam tabel 2 kini terlihat semakin beragam. Kondisi
ini tentunya berpengaruh terhadap dinamika kehidupan masyarakat Rintis,
karena perubahan mata pencarian akan berdampak terhadap perubahan relasi
sosial yang ada.
C. Rintis Dalam Pusaran Ekonomi KaretTelah dijelaskan di muka bagaimana kedatangan orang dari tempat lain
untuk mencari keuntungan di Anambas, terutama selama kurun liberalisasi
ekonomi dan juga pasca kemerdekaan. Karet menjadi salah satu komoditas
unggulan Indonesia, sejak akhir abad ke 19 sampai pertengahan abad 20.
Bahkan di saat ekonomi masyarakat lain di Indonesia sedang mengalami
kesulitan, bagi para buruh perkebunan karet di Kepulauan Riau (Kepri) malah
4 Wawancara dengan Sekretaris Desa Bapak Rian Wiriatmoko 1 April 2013.
Universitas Indonesia
46
mengalami kemakmuran. Diketahui bahwa dalam masa transisi pemerintahan,
dari Hindia Belanda ke Indonesia daerah Kepri masih menggunakan mata uang
dolar.5 Dari sebuah surat kabar terbitan Serikat Buruh Perkebunan Republik
Indonesia (SARBUPRI) tertanggal 6 Juli 1951, buruh perkebunan karet di sana
mendapatkan gaji rata-rata perhari berkisar $ 4,37 belum lagi ditambah dengan
tunjangan kesehatan dan sosial. Hal inilah yang menjadi faktor utama begitu
banyak orang dari Rangkasbitung dan daerah lain datang ke Terempa.
Sampai kini, warga di Desa Rintis sebagian besar ialah orang Banten,
khususnya yang berasal dari daerah Rangkasbitung yang merupakan keturunan
dari para buruh perkebunan karet di sana. Walaupun sejarah awal kedatangan
orang Banten ke Anambas masih menjadi misteri, terutama mengenai kapan dan
motif kedatangannya, namun beberapa masyarakat menegaskan bahwa motif
ekonomi menjadi hal yang utama. Kemudian juga, kedatangan mereka
dipastikan sejak masa Pemerintah Kolonial Belanda, hal ini terlihat dari berbagai
dokumen yang ada yang sudah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, masyarakat
Rintis menyebut karet dengan istilah ‘pajak’ bukan ‘getah’ seperti yang umum
bagi masyarakat Malayu. Hal ini ditengarai sebagai memori masa lalu yang
mengaitkan bahwa di masa kolonial pajak dibayarkan dari hasil bumi termasuk
karet.
Fenomena ini agak aneh jika meilihat para perantau dari Banten sampai
datang wilayah tersebut. Kartodirdjo (1984) menjelaskan bahwa sebagian besar
tidak ada yang merantau jauh hanya sekitar Jakarta dan Lampung, kemudian
itupun hanya temporer selama menunggu musim panen. Apalagi diketahui
bahwa kondisi para petani di daerah Banten pada masa itu sedang mengalami
kesulitan ekonomi yang cukup berat bahkan sempat terjadi pemberontakan
petani pada tahun 1888 (Kartodirdjo :1984) dan juga tahun 1926 (Williams:
2003). Hal ini terutama akibat dari semakin minimnya lahan pertanian akibat
banyaknya perkebunan yang dibuka, lalu adanya pajak yang tinggi bagi para
petani. Apalagi pada masa depresi ekonomi 1930-an, gelombang pemecatan
5 Tidak jelas sejak kapan wilayah Kepri menggunakan dolar. Namun salah satu sebabutamanya ialah terpusatnya perdagangan hasil bumi ke wilayah Malaya (Singapura danMalaysia) yang pada waktu itu banyak berdiri perusahaan-perusahaan asing. Kemudianjuga semua kebutuhan sehari-hari juga didapatkan dari wilayah tersebut. Baru padatahun 1963 pemerintah lewat Kepres RI No. 230 tahun 1963 memberlakukan mata uangRupiah Kepulauan Riau atau yang dikenal dengan uang KR. Mengenai kondisi Kepripada masa dolar dapat dilihat pada studi Sutijatiningsih dan Winoto (1999) serta dalamharian Djaja No. 108 15 Februari Tahun 1964 hal 6.
Universitas Indonesia
47
buruh dari perusahan cukup tinggi (Ingelson: 2004). Dengan demikian, diketahui
bahwa kondisi ekonomi bagi para petani di Jawa mengalami masa-masa yang
sangat sulit.
Dalam kondisi sulit tersebut, dunia usaha khususnya perkebunan karet di
sisi lain mengalami peningkatan ekspor. Begitu banyak perusahaan asing, baik
yang dikelola oleh perusahaan maupun perorangan yang yang membuka
perkebunan karet di Sumatra dan Kalimantan. Pada momen inilah, perusahaan
membutuhkan buruh perkebunan untuk menyadap dan merawat pohonnya.
Kemudian, diketahui aktifitas laokeh (agen pencari buruh perkebunan) yang
menjadi utusan perusahaan untuk mencari buruh di Jawa cukup tinggi pada awal
abad 20 (Razif:1988). Kemungkinan besar, generasi awal para buruh karet asal
Rangkas terekrut oleh para laokeh. Hal ini dikuatkan dengan penggunaan
palabuhan Banten sebagai terminal keberangkatan mereka untuk menuju
Dari data pada tabel 3 di atas, diketahui bahwa produksi karet dalam
kurun waktu 1938-1955 terus mengalami peningkatan. Peningkatan produksi
karet di Indonesia, terkait erat dengan berkembangnya industri otomotif di
Amerika Serikat dan Eropa Barat.6 Secara simultan, kondisi ini semakin
membutuhkan buruh perkebunan karet dalam jumlah yang tidak sedikit. Bahkan
dalam sumber yang sama diketahui, begitu banyak pegawai Perusahaan
6 Amerika serikat, Kanada, Inggris, Jerman Barat, dan Perancis merupakan negaratujuan penjualan karet alam yang terus meningkat permintaannya dari sampai tahun1955. Karet terutama digunakan untuk keperluan otomotif terutama ban, baik ban luarmaupun ban dalam. Selain itu karet juga menjadi bahan pembuatan sepatu. Penjelasanlebih lanjut dapat dilihat dalam Warta PPN Djanuari/Februari 1958 Tahun VIII.
Universitas Indonesia
48
Perkebunan Nusantara (PPN) yang dikirim ke Amerika Serikat dan Eropa Barat
untuk meningkatkan hasil karet serta mempelajari mekanisme pengolahannya.
Menurut Imelda (1994) meningkatnya produksi dan ekpor karet di
Indonesia pada tahun 1950-1953 sebagai salah satu efek dari perang saudara di
semenanjung Korea dan juga perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.
Selain itu juga, diketahui secara nasional, Indonesia ingin memperbaiki devisa
negara yang hancur akibat invasi Jepang di era perang kemerdekaan. Dalam
upaya itu, pemerintah pusat melakukan nasionalisasi beberapa perkebunan karet
yang dimiliki oleh pengusaha asing.7 Hal ini tak lain ialah upaya pemerintah
mendapatkan keuntungan ekonomi dari hasil penjualan karet.
Dalam Konteks ini perbukitan Tarempa semakin banyak didatangi para
buruh perkebunan dari berbagai macam etnis, terutama Banten, Jawa, dan
Melayu-Bangka, serta beberapa etnis yang lain namun dalam jumlah yang lebih
sedikit. Walaupun sesungguhnya sudah ada banyak orang yang tinggal di
Terempa, namun mereka tidak mau bekerja sebagai buruh perkebunan. Bagi
orang Melayu dan orang Tiong Hua memilih untuk tetap tinggal di pesisir pantai,
dan aktifitas mereka di wilayah perbukitan sangat terbatas.8 Interaksi antara para
buruh perkebunan dan juga para penduduk yang ada di Tarempa saat itu pun
tidak banyak, biasanya hanya seminggu sekali yaitu saat mereka membawa hasil
karet sekaligus membeli kabutuhan pokok.
Dalam kondisi seperti itu, beberapa pemuda asal Rangkasbitung datang
pada tahun 1955 dalam sebuah kapal dagang. Gelombang kedatangan tersebut
ialah yang terakhir dari para buruh perkebunan karet. Salah satu orang yang ikut
dalam gelombang kedatangan terakhir itu ialah Bapak Suryani (75 tahun). Ia
mengaku datang saat masih berusia 18 tahun dengan menggunakan kapal
7 Pemerintah membentuk Badan Pusat Koordinasi Sementara yang dilandaskan padaPerpu 19/1960 yang bertugas untuk mengurusi berbagai perusahaan asing yangdinasionalisasi. Kondisi ini dipengaruhi oleh Pemerintah RI yang memiliki konsepkemandirian ekonomi dan kesejahteraan bersama yang dikenal dengan jargon ‘ekonomiterpimpin’. Sebagai kelanjutan itu, dengan UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960mengamanahkan untuk memberikan lahan pertanian kepada petani minimal 2 hektar.Lahan-lahan yang dibagikan merupakan aset perusahaan asing yang telahdinasionalisasi. (lihat dalam warta PPN Nopember/Desember 1960 dan Mubyarto (1994:97-101))8 Orang melayu menyebut perbukitan di pulan Siantan (Tarempa) dengan hutan tua,yang dimaksudkan sebagai lokasi yang tidak pernah dijamah oleh manusia. Kemudian,mereka mengenal para buruh perkebunan karet sebagai orang gunung, karena bagimereka hidup di atas gunung merupakan hal yang sangat tidak wajar. Hal ini sesuaidengan penjelasan mengenai “enclave” di dalam masyarakat perkebunan sebagaimanayang dijelaskan oleh Kartodirdjo dan Suryo (1991).
Universitas Indonesia
49
dagang beserta ratusan orang lainnya. Mengenai motif kedatangannya ia
menjelaskan:
“Bapak ke sini tahun 55 itu naik kapal dagang, ratusan orang berangkat. kalaubapak ke sini itu taunya dari bapak saudara dia yang beri tahu. di sini memangkebanyakan orang rangkas, tapi beda kampung, beda kecamatan juga. waktusaya datang ke sini sudah banyak orang, dan itu kebanyakan juga dari Rangkas.tujuannya ya cari pajak (karet), waktu itu kan tanah ini milik toke Teng Sang,kalau di sini dulu, ya kita betoke dengan mereka. orang setelah dapat hasil yabalik lagi ke kampung, kami yang ada di sini itu yang tidak pulang kampung, tapiya karena takdir tuhan, kami masih di sini sampai sekarang”. (wawancaradengan Bapak Suryani tanggal 8 April 2013).
Betoke, ialah istilah masyarakat dalam berelasi dengan pemilik modal
yang kebanyakan merupakan orang Tiong Hua. Hubungan kerja antara buruh
dengan pemilik modal terjadi setiap minggu yang biasanya diadakan pada hari
pasar. Pada masa itu, hari pasar dilaksanakan pada hari Jumat, hal ini
merupakan upaya untuk menghormati para buruh yang ingin melaksanakan solat
Jumat di masjid Tarempa. Karena, jarak tempuh yang dilalui dari rumah-rumah
mereka untuk sampai ke Tarempa berkisar 2-5 jam perjalanan. Lamanya
perjalanan, disebabkan oleh karet yang dibawa oleh para buruh mencapai 70 kg.
Selain itu, tidak adanya akses jalan yang memadai, membuat mereka harus
menempuh perjalanan dengan berjalan kaki dengan medan yang berbukit-bukit.
Sebagai buruh perkebunan mereka tinggal dalam rumah yang sangat
terbatas.9 Selain itu, mereka pun tinggal dalam wilayah yang terpencar-pencar.
Jarak antar rumah terdekat biasanya berkisar 2-5 km. Hal ini dipahami karena
mereka tinggal dekat dengan kebun karet yang harus mereka kelola. Sehingga
aktifitas mereka pun terbatas hanya di rumah dan kebun, interaksi antar buruh
pun tidaklah intensif, kebanyakan mereka hanya saling jumpa di jalan atau saat
menjual hasil karet ke Tarempa. Masyarakat hidup sangat indivualistik, karena
mereka tidak menganggap tanah tersebut sebagai tempat menetap. Tarempa
hanya menjadi tempat mencari uang sementara yang hasilnya akan dibawa
pulang ke kampung halaman.
9 Malah pada tahun-tahun sebelumnya sempat ratusan orang itu hanya tinggal di tigarumah; gudang atas, gudang tengah, dan gudang bawah. Rumah tersebut selainberfungsi sebagai tempat tinggal juga merupakan gudang penyimpanan karet sebelumdibawa ke Tarempa. Sampai sekarang, nama gudang tengah masih dipakai untukmenyebut salah satu pemukiman di Desa Rintis. Hal ini sesuai dengan penjelasanKartodirdjo dan Suryo (1991) bahwa buruh perkebunan tinggal jauh dari desa, merekamengalami segregasi sosial dengan warga lokal. Hal ini dipahmi karena kepentinganpekerjaan mengharuskan mereka tinggal di areal perkebunan.
Universitas Indonesia
50
Menurut Sutijatiningsih dan Winoto (1999) perkebunan karet di Kepulauan
Riau termasuk Anambas digerakan oleh perorangan atau keluarga. Hal ini juga
dikuatkan dengan ketiadaan perusahaan baik lokal maupun asing yang tercatat
dalam sejarah mendirikan perusahaannya. Biarpun begitu, perkebunan karet
menjadi penggerak utama ekonomi di Kepulan Riau pada saat itu. Namun dalam
mekanisme pemberian upah sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan bekerja
pada perusahaan.
Mekanisme pengupahan selain gaji harian sebagaimana dokumen pada
warta SARPUBRI ,yang telah dijelaskan sebelumnya, ternyata tidak terjadi di
Tarempa. Pengupahan di Tarempa menggunakan mekanisme perawah.
Perawah ialah bagi hasil antara buruh dengan pemilik lahan, yang mana hasil
yang mereka peroleh dibagi dua untuk buruh dan pemilik lahan. Dengan
demikian, banyak atau sedikitnya hasil karet yang mereka peroleh akan
berdampak langsung tarhadap pendapatan mereka. Banyak masyarakat yang
menjelaskan bahwa jika mereka bekerja satu hari, pendapatan yang diperoleh
dapat digunakan untuk hidup satu minggu. Sehingga untuk kebutuhan satu bulan
dapat mereka penuhi dengan bekerja empat hari saja. Oleh karenanya, tingkat
upah yang mereka miliki pun beragam. Bagi para buruh yang giat mereka akan
dapat memiliki banyak uang dan begitupun sebaliknya.
Momentum inilah saat keemasan bagi para buruh perkebunan karet di
Rintis. Upah yang besar dengan gaji dolar membuat banyak buruh menjadi
makmur. Karena mereka tidak ingin menetap di Tarempa, kebanyakan buruh
menyimpan uang mereka dengan membeli emas. Emas-emas tersebut mereka
bawa saat pulang kampung, yang mana pada saat itu kondisi para petani masih
dalam situasi yang sulit. Kondisi inilah yang menjadi faktor pemicu utama
banyaknya warga Rangkasbitung ingin mengadu nasib di Anambas.
Telah dijelaskan sebelumnya, gelombang terakhir buruh perkebunan
datang pada tahun 1955. Hal ini bukan tanpa alasan, alasan utama ialah karena
berangsur-angsur harga karet di pasar internasional menurun.10 Hal ini
disebabkan produksi otomotif khususnya ban sudah sangat tinggi, sedangkan
permintaan cendrung menurun. kemudian juga, mulai digagas karet sintetis
(buatan) yang menjadi komoditas saingan dari karet alam yang diproduksi di
10 Ada banyak faktor yang mempengaruhi terunnya harga karet, selain dipengaruhi olehkondisi keamanan dan politik global juga ada bebebera perilaku pengusaha hulu dan hiliryang berspekulasi untuk kepentingan pribadi. Lebih jelas dapat dilihat pada Warta PPNedisi Nopember/Desember Tahun 1960 hal 28-30.
Universitas Indonesia
51
Indonesia. Selain itu, pengaruh politik global juga berpengaruh secara
singnifikan.
Peristiwa yang dikenang baik oleh masyarakat ialah saat konfrontasi
Indonesia dengan Malaysia. Menurut mereka, Pemerintah Orde Lama tidak lagi
memberi izin bagi pengusaha-pengusaha asing khususnya Malaysia dan
Singapura untuk berbisnis di wilayah Indonesia. Kepulauan Anambas yang pada
konteks itu telah dihidupkan oleh pengusaha-pengusaha asal Singapura
terpaksa dihentikan. Wan Teng San, yang merupakan pemodal besar untuk
perkebunan karet di Tarempa memilih untuk tinggal di Singapura dan
menghentikan bisnisnya itu.
Dampak lainya ialah penggantian mata uang dari dolar digantikan dengan
mata uang KR (Kepulauan Riau). Ekonomi surut, tidak ada gairah untuk
menghidupkan gerak warga yang biasanya disokong oleh modal dari Singapura.
Bahkan menurut pengakuan warga, peralihan dari dolar Singapura menjadi mata
uang KR merupakan masa yang paling sulit. Warga Anambas yang biasanya
hidup cukup mewah dengan uang dolar dan juga barang-barang dari Singapura,
kini harus menderita karena kekurangan uang dan juga hilangnya kebutuhan
hidup sehari-hari.
Dalam situasi sulit seperti ini, sebagian besar buruh karet ini memilih
untuk pulang kampung, baik di Jawa, Bangka, maupun ke Rangkasbitung. Bagi
sebagian yang lain, pulang kampung menjadi hal yang mahal karena uang
mereka tidak mencukupi. Sehinga mereka tidak ada pilihan lain selain bertahan.
Hari-hari yang sulit mereka jalani dengan makanan seadanya. Bahkan krisis
pangan sempat melanda dalam waktu yang cukup lama.11 Untuk memenuhi
kebutuhan pangan, beras bulgur12 menjadi makanan yang akrab bagi mereka
karena ketiadaan uang dan juga stok bahan pokok.
11Secara nasional pada tahun awal dekade 1960-an, Indonesia mengalami krisis pangankhususnya beras. Hal ini disebabkan oleh rendahnya produksi beras nasional. Kondisi iniberdampak terhadap peningkatan harga beras yang sangat tinggi. Dalam upayamengatasi permasalahan itu, Pemerintah Orde Lama memberlakukan impor beras besar-besaran dan juga upaya pemanfaatan jagung sebagai bahan pokok (lihat Mears danMoeljono, dalam Booth dan McCalwey, 1986).12Butiran bulgur berukuran sama dengan beras. Namun bentuknya pendek danmembulat. Salah satu sisi butiran bulgur agak rata serta beralur memanjang. Kulit bijiyang berwarna merah kecokelatan, masih melekat pada butiran bulgur, hingga ketikadisantap terasa kasar di mulut. Memasak bulgur harus terlebih dahulu direndam air,hingga menjadi lunak dan mengembang. Kemudian bahan pangan ini bisa dimasakdengan ditanak (dikukus) atau diliwet seperti halnya beras. Baik sendirian (hanya bulgur),atau sebagai campuran beras, campuran jagung, maupun singkong (sumber:http://foragri.blogsome.com/bulgur-yang-kaya-nutrisi/)
Universitas Indonesia
52
Bagi mereka yang memilih bertahan mereka hidup dalam keterbatasan.
Walaupun harga karet kini sudah tidak lagi menjanjikan mereka tetap lakoni
untuk bertahan hidup. Dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan keluarga,
hampir semua buruh karet kini juga menanam sayur-mayur dan palawija. Selain
untuk konsumsi pribadi, sebagian besar hasil pertanian mereka dijual di pasar
Tarempa. Pada tahun-tahun berikutnya, para buruh karet kini lebih dikenal
sebagai petani sayur mayur.
Sempat PPN menguasai areal tanah tersebut dengan untuk dijadikan
perkebunan baru. Namun, singkat cerita PPN pun akhirnya tidak lagi beroperasi
diwilayah tersebut. Hal ini, membuat beberapa orang mulai mempertanyakan
status tanah yang mereka telah huni puluhan tahun tersebut.Lewat salah
seorang tokoh masyarakat yang juga merupakan pengelola PNN, tanah tersebut
dibagikan kepada para masyarakat. Mekanisme tersebut dilakukan dengan cara
merata.Satu keluarga diberikan 2 hektar kebun karetuntuk dikelola. Kemudian,
bagi warga yang dapat mengelola lebih, maka tanah pun akan diberikan sesuai
dengan kesepakatan. Namun, jika kelebihan lahan tersebut tidak dioptimalkan,
maka tokoh tersebutberhak mengambil tanah tersebut untuk diberikan kepada
warga lain yang mampu mengelolanya. Hasil dari pengelolaan karet tersebut
disetorkan kepada pengusaha baru yang memberkikan suntikan modal. Atas
dasar perjanjian itulah, kini setiap perantau dari ketiga etnis yang ada yang
sudah beranak-pinak akhirnya mendapatkan kepemilikan atas tanah yang
mereka tempati.13
Tidak adanya komoditas utama yang bernilai tinggi membawa mereka
kepada situasi yang dilematis. Sehingga banyak generasi kedua dari para rantau
yang memutuskan untuk meninggalkan pulau Siantan untu kembali ke asal
mereka atau mengadu nasib di wilayah lain yang lebih menjanjikan seperti;
Jakarta, Tanjung Pinang, dan juga Batam. Dalam upaya mendapatkan modal
untuk hijrah, mereka banyak menjual kayu-kayu (termasuk rumah mereka) dan
juga binatang ternak. Tanah-tanah mereka tinggalkan begitu saja, dengan
asumsi tahah mereka tidak akan laku.
13Sampai saat ini masih banyak permasalahan muncul terkait tanah, hal ini diakibatkanketidakjelasan sandaran hukum atas kepemilikan tanah tersebut. Bahkan ada beberapaoknum yang membuka lahan baru di wilayah yang belum dikelola untuk dimiliki secarapribadi. Selain itu, ada juga surat grant yang diterbitkan oleh pemerintah kolonial yangmasih dapat dijadikan sebagai surat tanah (lihat lampiran 1). Namun, selama ini belumada kasus sengeta lahan antar masyarakat.
Gelombang eksodus kedua dari para penghuni lahan perkebunan karet
terjadi pada pertengahan 1980-an. Adanya perkebunan karet baru di Tanjung
Pinang yang dikelola oleh perusahaan membutuhkan tenaga kerja. Hampir dari
setengah masyarakat Rintis pergi ke Tanjung Pinang dan menempati daerah
baru di sana yang bernama kampung Cikole. Walaupun masih tetap berprofesi
sebagai buruh perkebunan karet, kini mereka mendapatkan gaji harian, bukan
menjual langsung ke pasar sebagaimana yang biasa mereka lakukan. Hal ini
dianggap lebih menguntungkan, karena harga karet yang cenderung rendah dan
tak tentu membuat mereka memilih sebagai buruh upahan ditempat yang baru.
D. Segregasi Etnisitas ditengah PluratitasKondisi keberagaman di Anambas bukanlah merupakan hal yang baru.
Sejak perdagangan internasional abad ke 5, Anambas diduga sudah menjadi
lokasi berkumpulnya berbagai etnis, bahkan berbagai bangsa. Hal ini dipahami
karena perdagangan dari dan ke China harus melalui perairan Anambas. Namun
karena kondisi geografisnya yang berada ditengah-tengah laut Cina Selatan,
lokasi ini konon dijadikan tempat bermukimnya para lanun untuk merompak kapal
dagang yang ramai hilir mudik di sekitar wilayah Anambas.
Kesenian rakyat di wilayah kepulauan Anambas pun mencerminkan
keragaman yang luar biasa. Di pulau Jemaja, yang berada di bagian barat
terdapat kesenian drama yang bernama bendu.14 Bendu merupakan pertunjukan
drama yang memiliki alur cerita yang cukup panjang bahkan bisa mencapai dua
minggu lamanya. Pertunjukan ini menggunakan atribut yang mirip dengan etnis
Tiong Hua. Selama pertunjukan berlangsung, ada beberapa pemain yang tidak
sadarkan diri karena kemasukan oleh makhluk halus. Memang daya tarik bendu
ialah bagaiman para pemain yang kerasukan dapat memainkan peran yang
cukup aneh. Pertunjukan ini sampai tahun 1980-an cukup popular dan sering
dipertunjukan di Tarempa.
Mistisme, menjadi keangkeran lain dari Anambas yang tak kalah
menakutkan dari cerita lanun. Suku laut, yang dianggap sebagai orang asli
Anambas dan tinggal di laut, sampai sekarang diakui masih memiliki ilmu tenung.
Tenung ialah semacam ilmu santet yang mampu membuat orang lain celaka
meskipun dari jarak yang jauh dengan bantuan makhluk halus. Salah satu warga
desa Rintis yang sudah berusia lanjut mengaku pernah kena tenung dari orang
14 Wawancara dengan Eddy Jaafar tanggal 1 April 2013.
Universitas Indonesia
54
Suku Laut pada tahun 2011 sampai 2012. Ia mengalami sakit pada seluruh
anggota badannya, dan hampir selam satu bulan harus tidur di ayunan kain
untuk mengurangi rasa sakitnya itu.
Dengan demikian, mistisme tidak hanya dianggap sebagai cerita masa
lampau namun eksistensinya masih ada sampai sekarang. Cerita lain tentang
mistisme yang cukup populer dari di kalangan masyarakat Anambas ialah
hilangnya ibu Bupati Anambas dalam sebuah kecelakaan laut pada tahun 2010.15
Kejadian naas itu terjadi dalam sebuah kapal angkatan laut yang berisi
rombongan anggota PKK kabupaten yang ingin mengunjungi Pulau Jemaja.
Seketika kapal tersebut terbakar dan menelan banyak korban jiwa, bahkan dua
angkatan laut ikut meninggal dunia dalam kejadian ini. Semua korban jiwa dapat
ditemukan namun Ibu Bupati sampai saat ini jenazahnya belum bisa ditemukan.
Hal ini memunculkan spekulasi di masyarakat bahwa beliau diajak oleh makhluk
halus untuk tinggal di dunia bawah laut.
Para kuli perkebunan karet di wilayah perbukitan Pulau Siantan pun tidak
tenggelam dalam cerita itu. Eksistensi mereka sebagai komunitas yang disegani
bahkan menakutkan mendapat tempat juga dalam ingatan masyarakat Anambas.
Bahkan, selain dianggap memiliki kekuatan mistis dan magis, khususnya orang
Banten juga dianggap memiliki kesaktian yang luar biasa dalam hal silat. Masih
kuat dalam ingatan orang Melayu dan Tiong Hua yang tinggal di Tarempa,
bahwa mereka mengenakan pakaian hitam-hitam, celana pendek, sarung yang
diletakan melingkar di bahu dan golok di pinggang. Sehingga mereka dikenal
dengan sebutan Orang Bantan.
Di Rintis, Islam memang menjadi agama formal. Setiap Jumat selain
mereka menyetorkan hasil perkebunan ke Tarempa juga dimanfaatkan oleh
sebagain masyarakat untuk melaksanakan sholat Jumat. Kini pun di Rintis telah
berdiri dua masjid yang dapat digunakan untuk sholat Jumat. Walaupun begitu,
Islam yang mereka peluk ialah Islam yang terintegrasi dengan nilai tradisi dan
budaya. Beberapa ritual keislaman yang populer pada saat itu dan masih ada
sampai saat ini ialah puji-pujian kepada Nabi Muhammad yang disebut dengan
marhaban16. Pengajian untuk membaca kitab suci Al-Quran pada saat itu pun
cukup terbatas. Bagi para anak-anak yang ingin mengaji harus mengunjungi
15 Kronologi mengenai kejadiaan ini dapat dilihat dihttp://www.haluankepri.com/anambas/145-istri-bupati-anambas-belum-ditemukan-4-kri-cari-korban.html diakes pada 15 April 2013.16 penjelasan lebih lanjut akan dipaparkan pada bab IV.
kediaman sang guru yang rumahnya cukup jauh. Orang yang dianggap paham
agama tidak banyak, bahkan Pak Mahrudin sebagai tokoh agama di Desa Rintis
mengaku perlu belajar mengaji di Tarempa untuk meningkatkan keilmuannya.
Masyarakat Rintis sampai saat ini masih lekat dengan mistisme.
Almarhum Pak Sukmai yang juga orang tua kepala desa saat ini, merupakan
tokoh yang menjadi panutan. Hal ini dikarenakan ia dianggap sebagai orang
yang memiliki keistimewaan spritual. Selain memiliki ilmu pencak silat yang
mumpuni, ia juga sering didatangi masyarakat untuk meminta petuah.Selain itu,
ia pun dapat mengobati orang yang sakit dengan cara tradisional tentunya.
Hingga kini praktik pengobatan dengan cara urut (pijat) bahkan sampai dengan
praktik yang menggunakan media gaib masih dapat dijumpai di Desa Rintis.
Pada masa awal kemerdekaan, Orang Bantan memiliki reputasi yang
sangat buruk. Hal ini disebabkan oleh peristiwa “Bom Jepang” sekitar tahun
1940-an, yaitu peristiwa pengeboman pesawat Jepang ke Pulau Siantan. dalam
persitiwa itu, banyak sekali korban jiwa dari penduduk Tarempa dan juga
perbukitan di Rintis. Selain itu, peristiwa ini juga menyebabkan hancurnya
ekonomi masyarakat. Ekonomi terhenti, stok makanan menipis dan semua
masyarakat hidup dalam kehidupan yang sangat sulit untuk bertahan hidup.
Dalam kondisi ini dikenalah sebuah peristiwa yang disebut “orang Bantan
mengamuk”. Mengamuk di sini, bukan karena kemarahan atas kelompok etnis
yang lain, namun karena kekurangan bahan makanan dan sulitnya kondisi hidup
mereka memilih merampok warga lainnya. Menjelaskan hal ini bapak Darjo
mengatakan:
“mereka (orang Bantan) itukan tidak mempan dimakan senjata, lalu salah seditiksaja asal bacok. ya kita kalau ada masalah dengan mereka harus hati-hati.mereka itukan kemana-mana bawa golok besar yang pakai sarung itu. merekajuga pernah ngamuk. ya karena untuk cari makan sulit, mereka merompak kerumah-rumah warga. kalau ada lembu, lembu orang diaku milik dia, kalaumelawan ya dibunuh, korbannya banyak. kita juga orang jawa pernah diajak tapitidak ikut, kita walau makan daun ubi tidak apa-apa dari pada ambil hak orang.Setelah kejadian itu, ada tujuh orang yang ditembak oleh Belanda karena seringmerampok seperti itu”. (wawancara dengan Bapak Darjo tanggal 2 April 2013).
Cerita ini secara umum diketahui oleh masyarakat Tarempa dan
sekitarnya. Mereka mendengar cerita ini dari para orang tua yang mengalami
peristiwa tersebut. Persitiwa orang Bantan ngamuk ini bukan hanya terjadi dalam
waktu yang singkat, tetapi dalam waktu yang lumayan lama dan wilayah yang
luap pula. Salah satu pejabat di Dinas Pariwisata yang tinggal di pulau di sektiar
Universitas Indonesia
56
Tarempa bahkan menjelaskan jika musim panen tiba mereka selalu berjaga-jaga
untuk mewaspadai datangnya orang Bantan yang hendak meramok hasil panen
mereka.17 Namun, dari sekian banyak orang Banten yang diwawancarai tidak
ada yang menceritakan cerita ini, bahkan hanya mengaggap sebagai isu saja.
Hal ini dipahami karena memang, persitiwa ini merupakan aib bagi mereka, dan
sebisa mungkin ingin menghilangkan citra orang Banten yang buruk tersebut.
Dengan demikian, dalam hal keangkeran orang Bantan pun memiliki reputasi
yang kuat, mereka ternyata cukup disegani dan ditakuti oleh para penghuni
pulau-pulau angker di Anambas.
Gambar. 2“Tim Voetbal Vereeniging”Juara Tahun 1924 di Tarempa
Sumber: (Pandji Poestaka, Tahun II, No. 21, 22 Mei 1924 hal 400).
Seiring waktu berjalan, reputasi itu pun tetap melekat namun kini melalui
peristiwa yang lain. Sepak bola merupakan salah satu olah raga sekaligus
hiburan bagi masyarakat Anambas yang tinggal tersebar di pulau-pulau. Bahkan
diketahui dari sebuah foto tahun 1924 (gambar 2) di Tarempa sudah terdapat
lapangan sepak bola dan juga pertandingan sepak bola sudah menjadi tontonan
yang sangat populer. Pertandingan yang digelarpun cukup prestisus, bahakan
pada tahun itu mereka sudah menggunakan perlengkapan sepakbola yang
17 Wawancara dengan Pak Marzuki tanggal 5 April 2013.
Universitas Indonesia
57
lengkap. Sampai saat ini pertandingan sepak bola masih sering dilaksanakan di
berbagai tempat di Anambas, khususnya Tarempa.
Benteng, merupakan nama tim sepak bola kebanggaan asal desa Rintis
yang eksis sekitar tahun 1970-an. Nama dari tim ini identik dengan nama Banten
sebagai identitas kultural mereka. Mereka sering mengangkat trofi dalam
kejuaraan sepak bola di Tarempa. Namun selain karena prestasinya dalam
pertandingan, tim ini juga dikenal dengan pendukungnya yang fanatik. Dalam
setiap pertandingan, diceritakan aparat selalu berjaga di pinggir lapangan jika tim
ini bertanding. Hal ini dilakukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban, karena
sering kali pertandingan berlangsung.
Kebanggaan sebagai tim sepak bola juara, diinternalisasi oleh
masyarakat Rintis dengan membuat lapangan sepak bola di wilayah
perkampungan mereka. Lapangan sepak bola ini selalu digunakan setiap hari
minggu pagi. Walau hanya merupakan pertandingan biasa, namun masyarakat
secara semarak menonton pertandingan tersebut secara serius. Aktifitas Minggu
pagi yang selalu dibuat pertandingan sepak bola, menjadi ajang latihan sekaligus
rekrutmen anggota baru. Sehingga tradisi juara dapat bertahan cukup lama.
Dalam kehidupan sosial, orang Bantan sangat kompak. Identitas
kebantenan menjadi pemersatu mereka secara kultural. Sampai saat ini,
beberapa ritual yang berasal dari Banten masih dapat ditemu dalam setiap
kesempatan. Misalnya, pembacaan marhabaan18, yang merupakan bagian dari
teks klasik karangan Syeh Barzanji masih sering dipakai dalam setiap kenduri.
Kemudian juga pertunjukan silat juga masih dilakukan dalam prosesi pernikahan
jika salah satu pengantin ialah bagian dari orang Bantan. Bahkan sempat juga
ada perguruan silat yang dibentuk di Desa Rintis pada tahun 1980-an dan kini
sedang coba digalakan kembali lewat Paguyuban Pasundan. Paguyuban
Pasundan ialah salah satu perkumpulan yang dibentuk tahun 2011 di Desa Rintis
yang mencoba menghidupkan kembali semangat kesundaan bagi orang-orang
18 Teks marhaban berisi mengenai pujian-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Dalampembacaan marhabaan menurut kepercayaan masyarakat Rintis dan muslim padaumumnya di Indonesia ialah menyambut kedatangan ruh Nabi Muhammad. Sehinggadalam pembacaan ini semua peserta berdiri untuk menghormati hadirnya NabiMuhammad ditengah-tengah mereka. Menurut Bruinessen (1999) ekspresi membacakanpujian kepada Allah dan Nabi Muhammad dengan gerakan-gerakan tertentu yangkadang dibarengi dengan pengalaman aksetis ialah ciri khas tarekat yang berkembang diBanten sejak lama yang diidentifikasi terpengaruh oleh tarekat Qadiriah. Teks yangdikenal dengan “Al-Barzanji” ini ialah buku maulid yang paling dikenal di wilayahIndonesia dengan judul asli yaitu “Al-‘Iqd Al-Jawahir”.
Universitas Indonesia
58
sunda di Desa Rintis dan di Kabupaten Anambas pada umumnya. Penjelasan
lebih lanjut mengenai Paguyuban Pasundan akan dibahas dalam bab IV.
Selain itu yang utama ialah penggunaan bahasa Sunda-Rangkas yang
masih digunakan sebagai bahasa pengantar mereka dalam kehidupan sosial,
baik oleh generasi muda maupun tua. Hal ini membuktikan bahwa interaksi
mereka dengan kelompok orang Melayu Tarempa sangat terbatas, karena
bahasa tersebut tidak begitu popular dikalangan mereka. Interaksi antar orang
Bantan dengan orang Tarempa hanya terbatas pada hubungan karet. Pada saat
itu mereka harus membawa karet ke Tarempa untuk dijual dan mendapatkan
hasil perwahan dari toke mereka. Selain itu kesempatan di Tarempa juga mereka
habiskan untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Aktifitas mereka biasanya
hanya pada hari pasaran yang terjadi setiap minggu sekali, kemudian
berkembang menjadi seminggu dua kali.
Relasi antara Orang Tiong Hua dan Orang Bantan pada masa awal
kedatangan mereka memang ialah hubungan antara buruh dan majikan. Namun,
setelah mereka mendapatkan hak atas tanah hubungan mereka menjadi antara
penjual dan pembeli. Relasi antara buruh dan majikan tetap ada sampai
sekarang bagi mereka yang mengelola tanah orang Tiong Hua tetapi relasi ini
sudah tidak begitu dominan lagi. Meskipun begitu, mengenai harga jual dan
harga beli mereka tidak memiliki kekuasaan untuk melakukan negosiasi.
Dalam aktifitas mereka di Tarempa, ada kedai kopi khusus yang menjadi
lokasi berkumpulnya mereka. Kedai kopi merupakan ruang publik yang khas ada
di komunitas Melayu yang menjual minuman dan makanan kecil. Di Tarempa,
Kedai kopi dimiliki oleh pengusaha orang Tiong Hua. Kedai kopi bagi orang
Melayu tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka, selain untuk menyantap
minuman dan hidangan yang penting ialah untuk saling bertukar informasi. Kedai
kopi deilengkapi dengan meja dan kursi yang nyaman untuk berdiam dalam
waktu yang lama. Menariknya, selama berpuluh-puluh tahun kedai kopi ini
menjadi lokasi berkumpulnya orang dengan etnis yang sama. Mislanya, orang
Bantan sampai sekarang masih berkumpul di kedai kopi yang khusus yang
terletak di bagian belakang pasar Inpres Tarempa. Orang Tiangau, dan orang
dari kepulauan di sekitar Tarempa pun memiliki tempat berkumpul di kedai kopi
yang berbeda-beda. Kelekatan antara kelompok yang berkumpul di warung kopi
erat kaitannya dengan komoditas yang biasa mereka jual. Orang Bantan
misalnya, karena menjual karet dan sayuran, tentunya memilih Kedai kopi yang
Universitas Indonesia
59
dekat dengan warung yang membeli komoditas mereka. Kedai kopi yang menjadi
tempat berkumpulnya Orang Bantan ialah milik Orang Tiong Hua yang bernama
Ieu. Ieu meneruskan usaha kedai kopi dari orang tuanya, dan tidak diketahui
secara pasti sejak kapan usaha tersebut pertama kali dibuka.
Kelekatan dengan kedai kopi pun terjadi dalam berbagai kesempatan jika
orang Bantan ke Tarempa. Jika ada pawai budaya, pertandingan sepak bola,
dan lain-lain tempat berkumpul mereka tetap di kedai kopi yang sama. Sehingga
walaupun Tarempa menjadi lokasi bertemunya banyak warga dari berbagai etnis
yang ada, mereka tetap memiliki sekat kultural yang menyebabkan interaksi
antar mereka tidak begitu berjalan lancar. Hal inilah yang menyebabkan kultur
Banten tetap melekat dengan warga Rintis sampai saat ini.
Dalam sebuah pendataan oleh desa, sebagian besar warga masih
mengidentifikasi dirinya sebagai Orang Sunda (Banten). Padahal diketahui
sebagian besar mereka kelahiran Tarempa dan tidak pernah terkait langsung
dengan kampung halaman mereka di Rangkasbitung. Menjadi Orang Sunda
ialah pilihan yang dianggap tepat karena kelekatan kultural mereka sangat dekat,
walaupun diantara mereka juga ada yang merupakan orang berasal dari
keluarga campuran misalnya Banten dengan Jawa atau Banten dengan Melayu-
Bangka. Di bawah ini merupakan tabel 4 yang menggambarkan komposisi
penduduk berdasarkan etnis.
Tabel 4Penduduk Desa Rintis Berdasarkan Etnis
Etnis Laki-laki perempuan Total
Melayu 97 95 192
Minang 32 16 48
Jawa 63 49 112
Bugis 6 2 8
Dayak/Banjar 7 7
Sunda 249 261 510
Total 877 jiwa
Sumber : Profil Desa Rintis 2012
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa penguhi Desa Rintis di perbukitan
Pulau Siantan bukan hanya orang Banten, namun juga ada beberapa etnis lain
yang telah mendiami lokasi tersebut dalam waktu yang cukup lama yaitu orang
Jawa dan Orang Melayu Bangka. Namun berdasarkan data dari tabel 4,
diketahui jumlah Orang Sunda-Banten berkisar 58 persen dari keseluruhan
Universitas Indonesia
60
penduduk, disusul oleh orang Melayu-Bangka, dan Jawa. Belum lagi jika
dibantingkan tahun-tahun sebelumnya, sebelum beberapa warga memilih untuk
eksodus ke kampung halaman ataupun yang pindah ke Kampung Cikole di
Tanjung Pinang, tentunya jumah mereka lebih besar dibandingkan kondisi
sekarang.
Dominasi Orang Banten bukan hanya jumlah mereka yang lebih besar,
namun juga beberapa peran mereka dalam sistem perkebunan dulu. Diketahui
bahwa orang yang berjasa dalam membagikan tanah kepada para buruh karet
ialah orang Bantan. Dengan demikian dominasi mereka menjadi cukupnyata,
baik dari segi kultural dan politik. Dalam aspek kultural misalnya, sebagian besar
orang Jawa dan Melayu Bangka mereka dapat berbahasa Sunda dengan fasih
malah eksistenis bahasa lokal mereka mulai tergerus dengan bahasa Melayu-
Tarempa dan juga bahasa Sunda. Pada aspek politik, sebagian besar ketua RT,
RW dan Desa merupakan orang Banten. Dalam pemilihan kepala desa misalnya
yang baru saja dilakukan pada akhir tahun 2012, bapak Sutisna yang merupakan
keturunan langsung dari mandor karet yang cukup berpengaruh, menang mutlak
dalam pemilihan tersebut.
Konfigurasi ekonomi dan besaran jumlah penduduk pada masa itu membuat
dominasi kultural Orang Banten terhadap eksistensi kultural lainnya. Sehingga
wajar dalam berbagai aspek, dominasi mereka tetap terlihat nyata walaupun
kondisi politik adminsitratif sudah berubah. Namun kondisi terakhir, ikatan
etnisitas mereka mulai meluntur akibat massifnya stuktur negara masuk ke dalam
Desa Rintis. Stuktur sosial masyarakat di Desa Rintis yang masih senderhana
dihadapkan pada stuktur negara yang rumit dan kompleks
E. Perubahan Orientasi Masyarakat dari Pasar ke NegaraBabak baru dimulai ketika era reformasi.Setralisasi kekuasaan pada era
orde baru kini berganti dengan desentralisasi. Hilangnya kekuatan pusat
direspon dengan cepat oleh para elit-elit di daerah untuk berkuasa di wlilayah
sendiri. Kondisi ini memicu semakin banyak pemekaran di tingkat Provinsi dan
kabupaten/kota. Hal ini dipahami karena regulasi yang ada menghendaki adanya
perimbangan anggaran antara pusat dan daerah. Lambat laun perubahan pola
kekuasaan juga berdampak langsung kepada masyarakat, termasuk masyarakat
Rintis yang berada di perbatasan negeri.
Universitas Indonesia
61
Kepulauan Anambas dalam situasi ini mengalami pergantian sruktur
pemerintahan daerah. Kepulauan Anambas yang awalnya tergabung dalam
Provinsi Riau, tercatat sejak tahun 2001 beralih menjadi bagian dari Provinsi
Kepulauan Riau. Kepulauan Riau (Kepri) merupakan provinsi baru yang
kelahirannya berbarengan dengan Papua Barat, Bangka-Belitung, Gorontalo,
dan kemudian disusul oleh Banten. Dalam lingkup propinsi Kepri, dibentuklah
suatu kabupaten baru yaitu yaitu Natuna yang di dalamnya termasuk kepulauan
Anambas. Natuna sebagai kabupaten baru dikenal cukup kaya raya, hal ini
disebabkan banyaknya blok-blok di wilayah ini yang memiliki kandungan minyak
bumi yang cukup melimpah. Bahkan, perusahaan Conoco-Philps ternyata sudah
mengeksplorasi minyak di blok ini sejak tahun 1970-an saat UU PMA disahkan
oleh Orde Baru. Perlu diketahui, ternyata blok yang kaya minyak itu terdapat di
kepulauan Anambas, tepatnya di pulau Pal Matak. Bahkan kini sudah terdapat
konsorsium perusaahaan minyak yang terdiri dari Conoco-philips, Premier Oil,
Star Energy, dan Pan Pasific Oil.
Kabupaten Natuna yang beribukota di Ranai, mendadak bebenah dengan
cepat. Pembagian hasil antara pusat dan daerah yang telah dikoreksi semenjak
reformasi menyebabkan kabupaten ini memiliki pendapatan daerah yang cukup
tinggi. Kabupaten Natuna untuk APBD tahun 2006 tercatat sebesar 1,7 trilyun,
angka yang cukup besar untuk sebuah kabupaten di Indonesia.19 Namun, sangat
disayangkan ternyata APBD yang besar itu tidak dikelola dengan baik, malah
menjadi ladang bagi koruptor lokal. Hal ini tercermin dengan dua mantan bupati
Natuna secara pasti didepan hukum telah terbukti melakukan tindak pidana
korupsi saat masih menjabat.20
Merespon kasus-kasus korupsi tersebut dan juga ketidakadilan
pembagian APBD untuk kepulauan sekitar pengoran minyak lepas pantai
menginisiasi untuk memperjuangkan pemekaran. Tentunya ide pemekaran
tersebut tidak sera merta hadir, namun direncanakan oleh beberapa elit warga
yang menamakan dirinya badan persiapan pemekaran kabupaten kepulauan
Anambas (BP2KK Anambas). Salah satu pemrakarsa pemekaran kabupaten
Anambas menjelaskan latarbelakang usulan pemekaran dengan pernyataan
dibawah ini:
19http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=1429&l=dari-rp-17-triliun-apbd-natuna-2006-anambas-hanya-dapat-rp-1-milliar di akses pada 1 Juni 201220http://news.detik.com/read/2010/02/15/195458/1300166/10/bupati-dan-mantan-bupati-natuna-dituntut-5-dan-4-tahun-penjara di akses pada 1 Juni 2012.
“Pemekaran ini kami tuntut karena selama ini pembagian pembangunan tidakpernah merata. Pemerintahan Kabupaten Natuna saat ini sarat dengan KKN,serta korupsi, dan dari Rp 1,7 triliun APBD 2006 lalu, hanya Rp 1 miliar lebihpembangunan yang sampai ke Anambas selebihnya di daerah kabupaten indukdan dikorupsi semua." 21
Perjuangan memekarkan Kab Kep Anambas dari Kabupaten Natuna pun
berhasil pada tahun 2008 dengan dasar hukum UU No. 30 tahun 2008 tentang
pembentukan kabupaten kepulauan Anambas di Kepulauan Riau.Kabupaten
Kepulauan Anambas terdiri dari banyak pulau dengan tiga pulau utama, yaitu
Pulau Siantan, Pulau Matak, dan Pulau Letung dengan jumlah penduduk 37.411.
Awalanya wilayah kabupaten kepulauan Anambas hanya berjumlah dua
kecamatan yaitu Siantan dan Jemaja, kini pasca pemekaran sesuai dengan UU
pembentukan berjumlah tujuh kecamatan yaitu kecamatan, Pal Matak, Siantan,
Siantan Timur,Siantan Selatan, Siantan Tengah, Jemaja, dan Jemaja Timur.
Dalam proses perjuangan pembentukan kabupaten baru, terdapat dua
warga desa Rintis yang terlibat dalam proses itu, yaitu Pak Suparjo dan Pak
Amsyir. Menurut Pak Amsir, mereka berdua terlibat dalam diskusi panjang di
Tanjung Pinang untuk meloloskan terbentuknya kabupaten Kepulauan Anambas.
Walaupun mereka pada saat itu hanya petani dan berpendidikan rendah.
Keterlibatan mereka membuktikan bahwa mereka juga mengakui dan diakui
sebagai bagian dari masyarakat Anambas, biarpun memiliki latar belakang etnis
dan historis yang berbeda.
Bagi kabupaten baru dengan jumlah penduduk yang relatif sangat sedikit,
permasalahan baru muncul. Dalam masa transisi untuk membentuk sebuah
pemerintahan daerah yang mapan, membutuhkan rekrutmen atas pos-pos
pemerintahan yang kosong. Pos-pos yang kosong tidak hanya terjadi pada
tingkat kabupaten saja, namun juga berimbas pada tingkat kecamatan dan desa.
Kesejahteraan aparatur pemerintah daerah pun semakin tinggi, karena dengan
APBD 1,2 trilyun kabupaten ini mampu memberikan inisentif yang cukup besar
bagi para perangkat mereka termasuk kepala desa dan juga bagi ketua RT-RW.
Menurut salah seorang warga Desa Rintis, besaran honor RT, RW, dan aparatur
desa jumlahnya secara berurut sebesar 600 ribu, 800 ribu, dan1,2 juta
perbulannya. Selain itu, dana pengelolaan desa setiap tahunnya juga dalam
kisaran sangat tinggi yaitu sebesar 2 miliar pertahunnya.
21http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=1429&l=dari-rp-17-triliun-apbd-natuna-2006-anambas-hanya-dapat-rp-1-milliar diakses pada 1 Juni 2012.
Gambar 3.Kota Tarempa Dilhat dari Perbukitan Rintis
Sumber: Dokumentasi pribadi
Dengan adanya APBD yang besar, pembangunan fisik dan pelayanan
publik mulai digalakan di kabupaten kaya ini. Proyek pembangunan jalan,
jembatan, sekolah, rumah sakit, dan juga perkantoran dinas kabupaten mulai
dibangun. Dalam waktu dekat, sudah dirancang mega proyek seperti, bandara
sipil baru dan jembatan yang menghubungkan antar pulau. Dengan situasi
seperti ini, masyarakat Rintis yang ada di perbukitan Pulau Siantan mendapatkan
keuntungan yang sangat berarti. Jalan yang biasa menghubungkan mereka
dengan Tarempa, diubah dari jalan setapak menjadi jalan beraspal. Akibat
minimnya lahan datar di wilayah Pulau Siantan yang menjadi lokasi ibukota
kabupaten, akhirnya pembangunan fasilitas publik pun diarahkan ke perbukitan,
yang tak lain ialah wilayah Desa Rintis.
Selain mulai dibangunnya infrastruktur, dalam hal pelayanan publik pun
menjadi prioritas Pemkab Anambas. Selain menggratiskan sekolah dari SD
sampai SMA. Pemkab juga memberikan tunjangan transportasi bagi para
siswanya, baik berupa uang atau penyediaan kapal motor. Bagi para siswa yang
ingin melanjutkan kuliahnya, Pemkab pun menyediakan banyak beasiswa,
bahkan sampai keluar negeri. Menurut pengakuan beberapa warga, ada
beberapa mahasiswa yang saat ini menempuh pendidikan tinggi di Malaysia dan
Jerman atas beasiswa dari Pemkab. Kemudian, masalah kesehatan juga tidak
ketinggalan, rumah sakit didirikan di tiga tempat, pembiayaan kesehatan pun
digratiskan. Dalam beberapa kasus kesehatan yang tidak bisa ditangani oleh
Universitas Indonesia
64
rumah sakit kabupaten, Pemkab pun memfasilitasi untuk dirujuk ke rumah sakit
di Batam atau Jakarta tanpa biaya sedikit pun.
Peningkatan layanan publik terutama pendidikan dan kesehatan dirasa
oleh sebagian masyarakat cukup memberikan manfaat yang besar. Namun, tidak
hanya sampai di situ Pemkab dengan atribut satuan kerja perangkat daerah
(SKPD) pun memiliki banyak program untuk masyarakat. Sehingga bantuan
langsung untuk masyarakat pun semakin beragam, mulai dari bedah rumah dari
dinas sosial, bantuan pertanian oleh dinas pertanian dan kehutanan, bantuan
keahlian dan peningkatan ekonomi dari disperindag, dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Selain massifnya bantuan dari Pemkab kepada masyarakat. Kini pun
bantuan dari corporate social responabilty (CSR) dari konsorsium perusahaan
minyak yang beroperasi wilayah laut Anambas juga semakin fokus memberikan
bantuan kepada masyarakat Anambas. Hal ini dipahami karena sebelumnya
mereka yang berelasi dengan Pemkab Natuna memiliki wilayah kerja yang luas,
kini Pemkab Anambas dibentuk begitu banyak program bantuan yang diberikan
terutama oleh masyarakat di wilayah Kecamatan Pal Matak dan Siantan. Salah
satu kemudahan yang didapatkan ialah setiap mayarakat yang hendak pergi ke
Jakarta dapat menumpang pesawat yang disewa perusahaan setiap harinya.
Dengan surat pengantar dari kecamatan mereka dapat naik pesawat secara
gratis untuk menuju Jakarta.
Kartu tanda penduduk (KTP) menjadi sesuatu yang sangat berharga
semenjak pemekaran kabupaten. Karena KTP menjadi sarat mutlak untuk
mendapatkan berbagai fasilitas pelayanan publik yang ada. Hal ini memicu,
beberapa warga untuk membawa serta keluarga mereka yang ada di wilayah lain
untuk datang. Selain karena pelayanan publik yang memadai, kesempatan kerja
pun masih sangat terbuka luas. Begitu pula para buruh perkebunan di Rintis
yang telah melakukan eksodus ke kampung halaman, Jakarta atau pun di
Kampung Cikole Tanjung Pinang. Mereka barangsur-angsur berdatangan
kembali ke Tarempa untuk menjalani hidup baru yang tidak pernah mereka
bayangkan sebelumnya.
Munculnya pemerintahan lokal baru berdampak dengan terbukanya
pekerjaan baru yaitu menjadi pegawai pemerintah, baik yang berstatus PNS
ataupun honorer. Dalam konteks ini, sebagian besar warga Anambas kini
berorientasi untuk menjadi pegawai pemerintah. Hal ini dipahami karena dengan
Universitas Indonesia
65
APDB yang besar, pegawai pemerintah mendapatkan tunjangan kesejahteraan
yang juga tinggi. Oleh karenanya, di dalam masyarakat terlihat kesejahteraan
para pegawai pemerintah lebih tinggi dibandingkan dengan yang bekerja pada
sektor lain. Mengenai hal ini bapak Amsyir yang bekerja di bidang pertanian
mengatakan “kalau sekarang ini ya yang makmurkan cuma pegawai (pemda),
kalau yang lain itu sulit, tapi saya yakin kalau bertani betul itu bisa banyak
mendapatkan hasil”.
Munculnya pemerintahan lokal baru secara signifikan mengubah kondisi
sosio-ekonomi masyarakat desa Rintis. Dalam kontkes ini warga Rintis yang
relatif memiliki kelahlian dan pendidikan formal yang rendah pun dapat membuat
ruang-ruang ekonomi baru, baik di sektor formal maupun non formal. Sektor
formal adalah proses terserapnya warga dengan pendidikan menengah ke
menjadi pekerja di Pemda dan lembaga-lembaga formal lainnya yang terkait.
Ruang ini cukup menjanjikan, karena selain mendapatkan gaji pokok, mereka
juga mendapat tunjangan kesejahteraan yang tinggi. Pada sisi yang lain, di
sektor informal cenderung diisi oleh warga desa yang berpendidikan rendah.
Bidang-bidang yang digeluti antara lain, pertanian dan perkebunan, pertukangan,
mengambil batu dan pasir, dan memproduksi makanan, serta membuka warung
kelontong. Sehingga, ada ketimpangan yang nyata antara pekerja formal dengan
pekerja informal.
Ketimpangan ekonomi itu cukup terasa, karena tingkat invlasi di Anambas
sangat tinggi. Berdasarkan penghitungan dari dinas perindustrian, biaya hidup
layak pada tahun 2013 di Anambas mencapai 3 juta rupiah.22 Semenjak
pemekaran kabupaten, berangsur-angsur harga kebutuhan pokok melambung
tinggi, selain itu biaya transportasi dan perumahan juga ikut naik. Kondisi ini
dipengaruhi oleh tingginya permintaan masyarakat atas berbagai kebutuhan.
Apalagi kini pendatang semakin banyak berdatangan, baik mereka yang ingin
mencari pekerjaan di sektor formal maupun informal. Tentunya persaingan antar
masyarakat terkait ruang ekonomi tersebut semakin ketat.
Dengan kondisi Anambas yang berlimpah uang. Sebagian masyarakat
lokal meresponnya dengan mendirikan beberapa perkumpulan sosial.
Perkumpulan sosial tersebut memiliki motif pendirian yang berbeda-beda. Tujuan
yang dominan ialah agar mereka dapat dilibatkan dalam berbagai proyek
22 menurut perhitungan dari dinas perindustrian dan perdagangan yang dimuat dalamAnambas Pos edisi April tahun 2013.
Universitas Indonesia
66
pemerintah, ataupun sekedar mendapatkan bantuan. Hal ini dimaklumi, karena
memang anggaran untuk bantuan sosial yang ditujukan bagi perkumpulan sosial
di Kab Kep Anambas bernilai cukup besar.
Di sisi lain, muncul pula gerakan masyarakat yang lebih cair seperti
demonstrasi. Demonstrasi kini menjadi cara baru bagi masyarakat untuk
mengekpresikan ketidakpuasanya terhadap kinerja Pemerintah Kabupaten Kep
Anambas. Masyarakat di Desa Rintis pun pernah menyelenggarakan
demonstrasi terkait dengan pembangunan jalan yang dikerjakan tidak sesuai
harapan. Alhasil, dengan adanya demonstrasi tersebut pembangunan jalan
dihentikan. Dalam waktu-waktu berikutnya, masyarakat menjadi lebih kritis
terhadap berbagai kebijakan pemerintah terutama dengan pembangunan fisik.
F. PenutupSejarah panjang mengenai keberadaan masyarakat Rintis di Tarempa
akan terus berlanjut. Puluhan tahun bergelut dengan situasi ekonomi politik
nasional dan global yang tak menentu telah menguji mereka menjadi manusia-
manusia yang adaptif. Adaptasi itu pun memunculkan berbagai inovasi dalam
upaya memenuhi kebutuhan ekonomi, sehingga mereka mampu bertahan di
tanah rantau hingga kini.
Kemunculan Kab Kep Anambas pada tahun 2008, menghantarkan
mereka pada situasi yang tak pernah terbayangkan. Negara hadir memberikan
fasilitas infastruktur dan pelayanan publik yang lebih dari cukup. Hal ini pun
menyebabkan mereka semakin terlepas dari ekonomi agraris. Menjadi petani kini
semakin tidak diminati dengan hadirnya berbagai peluang kerja lain baik di ranah
formal maupun informal. Secara sosial, masyarakat Desa Rintis pun kini mulai
terbuka, interaksi yang semakin intens dengan Tarempa membuat konstuksi
sosial yang ngatif yang melekat pada mereka sebagai Orang Bantan berangsur-
angsur hilang. Dengan demikian, mereka pun memiliki hubungan baru dengan
Tarempa. Bukan lagi sebagai penyuplai komoditas pertanian, namun menjadi
peyuplai tenaga kerja formal mapun informal. Selain itu, kini Rintis pun
diproyeksikan menjadi lokasi pemukiman baru, karena Tarempa sudah tidak
mampu menampung para pendatang yang terus-menerus datang.
Masyarakat Rintis sudah melepaskan diri dari ketergantungannya yang
tinggi kepada pasar (market). Mereka kini mencoba peruntungan baru dengan
sedikit modal dan keahlian yang mereka miliki. Sehingga, komoditas kini tidak
Universitas Indonesia
67
lagi penting, mereka berlomba mencari peluang baru dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan. Pada waktu yang sama, dengan besarnya anggaran belanja,
negara (state) hadir dengan memberikan begitu banyak pembangunan dan
penyediaan kebutuhan publik yang cukup memadai. Pada titik inilah, orientasi
masyarakat berangsur-angsur mulai menuju pada negara. Salah satu upaya
nyata masyarakat ialah dengan menjadi pegawai pemerintah. Hal ini dipahami
karena menjadi pegawai pemerintah dapat menghasilkan uang tanpa harus
melalui cara-cara lama yang melelahkan seperti bertani.
Pada bab selanjutnya, akan lebih banyak dijelaskan mengenai
bagaimana hadirnya negara memberikan dampak sosial bagi masyarakat.
Terutama mengenai keharusan terbentuknya perkumpulan-perkumpulan sosial
baru di Desa Rintis. Akan dijelaskan lebih lanjut, bagaimana keberadaan
perkumpulan sosial lebih dimaknai sebagai upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Hal ini dipahami karena memang negara hadir begitu cepat dalam
kondisi ekonomi masyarakat yang masih bergantung cukup kuat dengan pasar.
Universitas Indonesia
68
BAB IIIPartisipasi Semu Perkumpulan Sosial di Desa Rintis
A. PengantarDalam bab sebelumnya dijelaskan bagaimana masyarakat di desa Rintis
secara historis berubah dari orientasi dari pasar ke negara. Hal ini dipahami
karena Pemkab Anambas selain menawarkan pelayanan publik ternyata ia juga
memiliki sumber daya ekonomi yang nilainya sangat besar. Salah satu pengaruh
yang terlihat nyata ialah bagaimana profesi sebagai pegawai negeri ataupun
honorer di berbegai SKPD kabupaten Anambas menyerap banyak tenaga kerja
lokal. Selain itu, Pemkab juga banyak memberikan bantuan dalam upaya
menyejahterakan masyarakat.
Bab ini akan mendiskusikan bagaimana relasi pemerintahan lokal baru
dengan perkumpulan sosial yang ada di Desa Rintis. Putnam (1994)
menjelaskan ada relasi antara masyarakat dengan permerintahan lokal;
masyarakat yang memiliki perkumpulan sukarela akan mendorong pemerintah
lokal lebih responsif. Begitu juga sebaliknya, pemerintah lokal yang responsif
akan merangsang masyarakat lebih semarak dalam membuat perkumpulan-
perkumpulan sosial. Fenomena yang terjadi di Desa Rintis menggambarkan
Pemkab Anambas dengan kelengkapan struktural terutama regulasi dan
anggaran memicu bermunculanya perkumpulan sosial. Pemerintahan lokal baru
mendorong munculnya perkumpulan sosial baru yang berorientasi pada dana
negara dan penguatan perkumpulan sosial yang diinisiasi oleh masyarakat.
Pemkab Anambas melalui kemampuan strukturnya, memiliki kebijakan
yang mengikuti kebijakan pemerintah pusat dan kebijakan sendiri dalam
mengatur daerahnya. Dengan regulasi yang ada, kemunculan perkumpulan
sosial di Desa Rintis dipengaruhi oleh dua hal; keharusan perkumpulan sosial
dalam stuktur desa kemudian juga melalui bantuan pemerintah yang memang
harus diberikan secara berkelompok. Oleh karenanya, dapat dilihat dalam
konteks ini, kebijakan Pemkab mempengaruhi terbentuknya perkumpulan sosial,
atau disebut pola atas ke bawah (top down). Di sisi lain, tidak dipungkiri ada juga
beberapa perkumpulan sosial yang memang dibentuk atas inisiatif masyarakat.
Perkumpulan yang diinisiasi olah masyarakat ini memiliki strategi dalam upaya
mendapatkan sumber daya ekonomi maupun politik dari negara. Hal ini dipahami
68
Universitas Indonesia
69
karena dekatnya pusat pemerintahan kabupaten dari desa mereka. Sehingga
arus infromasi begitu lancar mereka dapatkan.
Terlebih dahulu bab ini akan mendeskripsikan bagaimana masyarakat
Desa Rintis melakukan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan ditengah
perubahan tatanan sosio-ekonomi yang baru. Banyaknya lapangan kerja yang
tersedia semenjak pemekaran kabupaten, menyebabkan sebagian besar
masyarakat Desa Rintis mulai beralih profesi dari petani ke pekerjaan lain di
ranah formal maupun informal. Hal ini dipahami sebagai upaya peningkatan
kesejahteraan yang lebih menjanjikan dibandingkan hanya mengandalkan
pemasukan dari kebun saja. Kemudian dalam kondisi itu, muculah berbagai
perkumpulan sosial baik yang dibuat atas dasar stuktural maupun dibentuk
secara mandiri oleh masyarakat. Pola top-down begitu kuat dalam setiap
perkumpulan sosial. Kondisi ini dikarenakan besarnya anggaran yang ada pada
Pemkab. Sehingga, eksistensi perkumpulan sosial hanya merupakan
kepanjangtanganan dari negara.
B. Inovasi Masyarakat dalam Tatanan Sosio-Ekonomi BaruMengenai kondisi kemasyarakatan, pembauran masyarakat dalam suatu
pemukiman yang padu, bermula dari pembutan jalan batu pada tahun 2002.
Setiap keluarga awalnya hidup tersebar satu sama lain karena mengandalkan
kehidupan dari kebun-kebun mereka. Ajang berkumpul selain saat pasaran di
Tarempa, biasanya saat malam jumat karena ada latihan silat Banten dan juga
bermain sepak bola. Namun, setelah jalan itu dibangun, maka sebagian besar
warga memilih untuk membangun rumah di pinggir-pinggir jalan karena adanya
kebutuhan untuk bermasyarakat. Selanjutnya, semenjak jalan diperlebar pada
tahun 2008 masyarakat semakin massif untuk tinggal menyisir pinggir badan
jalan. Kini, Desa Rintis semakin plural, karena bukan saja dihuni oleh para
ketrurunan buruh perkebunan karet, tetapi juga semakin banyak warga dari
berbagai etnis yang bekerja formaldan informal di Tarempa memilih tinggal di
desa ini.
Semenjak pembesaran jalan, dari jalan setapak menjadi jalan batu,
banyak warga yang tinggal terpencar-pencar memilih untuk hidup
bermasyarakat. Kehidupan ketetaggaan tersebut, membuat masyarakat Rintis
membentuk kampung-kampung. Kampung Batu Tambun dan Gudang Tengah di
dominasi oleh rantau dan keturunannya asal Rangkas Bitung. Kemudian di
Universitas Indonesia
70
kampung Rintis Hulu kondisinya lebih bervariasi jika dibandingkan dengan
kampung sebelumnya, karena selain warga asal Rangkas Bitung, ada juga yang
berasal dari Bangka, dan juga Jawa. Namun kini mereka secara struktural
terpisah menjadi dua dusun, dusun atas terdiri dari kampung Gudang Tengah
dan Rintis Hulu serta dusun bawah yang terdiri dari kampung Batu Tambun.
Gudang Tengah merupakan kampung yang berada di tengah, sebelah
utaranya adalah kampung Batu Tambun yang berbatasan dengan kelurahan
Tarempa langsung, sedangkan di sebelah selatannya adalah kampung Rintis
Hulu. Di Gudang Tengah terdapat banyak fasilitas umum, seperti PKBM Kurnia
yang pembangunannya dibantu oleh salah satu perusahaan minyak yang
beroperasi di Anambas, Sekolah Dasar 004 rintis, gedung PNPM, SMP satu
atap, SMA, dan juga Pesantren dan juga rencananya akan dibangun Kantor
Desa yang di kampung ini. Selain itu sudah selesai dibangun SMP dan SMA
Negeri, bahkan ada juga wacana akan dibangun sebuah pondok pesantren.
Dengan demikian, sebagain besar fasilitas pemerintahan dan juga pendidikan
berada di kampung ini, hanya bangunan Posyandu yang berada di Dusun
Bawah. Namun, kini di Dusun Bawah telah berdiri kantor dinas PU, kantor dinas
perhubungan dan juga kantor kecamatan.
Walaupun demikian, sampai saat ini listrik dan sinyal telpon genggam
belum masuk. Pada awal tahun 2013 baru, sebagian warga di dusun bawah
yang menikmati dua hal tersebut. Hal ini dikarenakan adanya kantor dinas yang
ada di wilayah tersebut, sedangkan untuk wilayah lainnya masih belum
terjangkau. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka
menggunakan mesin disel pribadi yang berbahan bakar solar. Mesin dinyalakan
menjelang magrib sampai sekitar pukul 22.00 WIB. Sebagian warga telah
memiliki televisi, sehingga aktifitas mereka pun pada waktu tersebut banyak
dihabiskan untuk menonton terutama kaum ibu dan anak-anak. Selepas itu
mereka menggunakan lampu minyak sampai pagi menjelang.
Sebelumnya dalam bab II telah dijelaskan bagaimana perekonomian desa
Rintis mengalami perubahan dari masa ke masa. Kini, setelah adanya
pemekaran kabupaten kepulauan Anambas perekonomian di desa Rintis
mengalami babak baru. Relasi dengan Tarempa yang semakin lancar dan
terbuka membuat perubahan terjadi dalam ranah mata pencaharian dan juga
besaran pendapatan. Hal ini dipahami karena adanya keterbukaan akses
infrastruktur jalan yang telah dibangun dengan status jalan kabupaten. Kemudian
Universitas Indonesia
71
ditambah lagi dengan murahnya sepeda motor yang dapat mempercepat gerak
masyarakat rintis dalam berekonomi. Selain itu, selain perihal peningkatan akses
masyarakat terhadap Tarempa secara fisik, besarnya APBD Kabupaten
Kepulauan Anambas yang mencapai 1,2trilyun juga menjadi faktor kunci
berubahanya perekonomian masyarakat Desa Rintis.
Pertanian yang awalnya menjadi mata pencarian utama warga desa rintis
semenjak Pemekaran Kabuputen Natuna kini pun mulai bergeser. Kini ragam
jenis pekerjaan masyarakat semakin tersedistribusi ke ranah formal dan informal
ke Tarempa, namun bukan hanya pada ranah pasar (market place). Dahulu
memang, ketergantungan masyarakat Desa Rintis ke Tarempa terkait dengan
penyediaan sayur-mayur serta hasil pertanian lainya hanya terbatas pada pasar.
Namun, kini dengan dibutuhkannya tenaga formal untuk mengisi pos-pos
pegawai negeri ataupun honorer, baik struktural maupun fungsional. di Pemda
menjadi arus utama yang sangat diminati. Hal ini disebabkan besarnya gaji dan
juga tunjangan yang diberikan Pemda bagi para pegawai negeri sipil ataupun
yang honorer. Walaupun begitu, karena secara umum masyarakat desa rintis
masih rendahnya tingkat pendidikannya maka mereka kalah bersaing dalam pos-
pos strategis yang dominan diisi oleh para pendatang dari luar kepulauan
Anambas. Sehingga kebanyakan masyarakat Desa Rintis yang terserap di
Pemda sebagian besar berada pada golongan rendah.
Di sisi lain, sebagian besar masyarakat Desa Rintis tidak tinggi tingkat
pendidikannya, bahkan sangat banyak yang tidak lulus SD. Kelompok ini pun
merespon perubahan sosial-ekonomi di Anambas dengan cepat. Terutama pada
kelompok laki-laki dewasa, mereka banyak yang beralih menjadi pekerja ‘tukang’
bangunan. Hal ini dipahami akibat keterbukaan akses transportasi tadi, sehingga
banyak warga Tarempa memilih untuk tinggal di Desa Rintis karena cukup mahal
dan padatnya kondisi di kota pelabuhan itu. Walaupun sebagian besar para
tukang tersebut tidak lulus SD, namun mereka secara memuaskan dapat
membangun banyak rumah di Rintis. Bahkan, pasca pembuatan jalan Kabupaten
hampir setiap hari kelompok tukang bangunan ini selalu mendapatkan order
untuk membangun rumah, baik dengan bahan kayu maupun tembok.
Pada konteks lain, ibu-ibu pun bergeliat untuk menambah penghasilan
keluarga. Bagi ibu-ibu yang sudah cukup berumur mereka sadar akan besarnya
peluang untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Dengan demikian, mereka
pun membuat beberapa usaha seperti; menjahit dan membuat kue dan
Universitas Indonesia
72
makanan. Menjahit, merupkan hasil dari pelatihan yang diberikan oleh dinas
tenaga kerja kab Anambas yang diselenggarakan di PKBM Kurnia. Walaupun
penyelenggarannya sempat diwarnai konflik antar warga, namun hasil yang
didapatkan cukup memuaskan bagi sekitar 5 (lima) orang ibu-ibu yang kini
banyak mendapat order dari para tetangganya. Order yang paling sering diterima
adalah pembuatan baju kurung melayu yang merupakan pakaian wajib para
wanita di kepulauan Anambas.
Di sisi lain, usaha makanan pun cukup menggiurkan. Beberapa ibu-ibu
membuat kue-kue untuk dijual di kedai (warung) yang kini banyak berdiri. Kue-
kue yang dibuat antara lain; kue bakar, bolu, pastel dan juga kue isi ikan. Kue-
kue tersebut ketika sampai di kedai dijual dengan harga seribu rupiah. Selain
kue, para ibu juga ada beberapa yang membuat tempe. Tempe dikemas kecil-
kecil dan dijual dengan harga dua ribu rupiah. Semuanya itu masih merupakan
bisnis keluarga, sehingga produksinya pun masih berskala kecil dan
pemasaranya pun masih berkutat pada ketetanggaan. Walaupun begitu, bisnis
rumah tangga ini dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Bagi sebagian yang lain, mencari karet di hutan masih menjadi kerja yang
menjanjikan. Jika hari cukup cerah, mereka dapat mengumpulkan sekitar 20 kilo
getah karet. Dengan kerja dari pagi sampai tengah hari mereka dapat
menjualnya dengan harga 120 ribu rupiah. Selain karet, komoditas lain yang
menjadi andalan Anambas lainya yang masih bernilai ekonomis adalah cengkeh.
Cengkeh yang mengahasilkan hanya bila musim panen, masih dapat membantu
ekonomi masyarakat setahun sekali karena tingginya harga. Sayangnya, karet
dan cengkeh yang jumlah pohonnya masih cukup banyak kini sudah tidak
dirawat lagi oleh masyarakat. Olehkarenanya dari tahun ke tahun hasil jumlah
kedua komoditas tersebut terus menurun. Selanjutnya, banyak juga masyarakat
yang menambang batu dan pasir. Terutama di Batu Tambun, batu yang tersedia
cukup banyak dan berukuran sangat besar jika dihancurkan dibuat kecil-kecil
(seukuran batu cor) dapat dijual 300 ribu rupiah perkubiknya. Begitu pun pasir,
dapat dijual dengan harga 325 ribu rupiah per kubiknya.
Kondisi Anambas yang kebanjiran uang pun menjadi daya tarik bukan
hanya bagi para orang-orang yang menginginkan pekerjaan formal. Banyak ada
juga beberapa orang yang eksodus dari Ranai (ibukota kab Natuna) yang kini
sudah tidak lagi menjanjikan. Sebagian besar mereka adalah para transmigran
yang bekerja untuk menggarap lahan para pemilik tanah. Merekalah yang kini
Universitas Indonesia
73
menjadi pemasok sayur-mayur dan hasil pertanian lainya seperi ubi, dan buah-
buahan bagi Rintis dan Tarempa. Selain tiga transmigran asal Ranai, ada juga
satu warga desa rintis yang bertahan dipertanian secara penuh. Selain itu, ada
juga guru yang memiliki kebun yang produktif walau dikerjakan disela-sela waktu
luang. Bahkan kini ia dibantu oleh seorang buruh tani untuk mengurusi kebun
sayurnya itu.
Pekerjaan dibidang pertanian sesungguhnya sangat menjanjikan, karena
harga-harga bahan makanan di pasar Tarempa cukup mahal. Sebagian besar,
sayur-mayur dihargai dengan harga tinggi. Satu ikat sayuran seperti, sawi,
kancang panjang, dan lain-lain dihargai berkisar empat ribu sampai delapan ribu
rupiah, tergantung dengan musimnya. Pantaslah, ada transmigran yang baru
beberapa bulan fokus di pertanian dapat meraup untung lebih dari 20 juta rupiah
saat panen sayur-sayuran. Namun, akibat lebih cepat dan mudahnya bekerja
pada sektor lain maka pertanian pun kini ditinggalkan padahal lahan yang
tersedia masih sangat luas.
Kemudahan dalam mendapatkan uang di Anambas khususnya di
Tarempa yang berdapak ke wilayah sekitarnya termasuk Desa Rintis, ternyata
sebanding dengan pengeluaran yang juga cukup tinggi. Biaya operasional
keluarga untuk makan sehari-hari saja minimal sebesar 50 ribu rupiah. Belum
lagi karena belum adanya listrik dari PLN ditambah untuk membeli biaya solar
diesel yang setiap harinya harus dinyalakan untuk penerangan dan kebutuhan
lainnya. Dengan demikian, paling sedikit keluarga di desa Rintis pengeluarannya
perhari berkisar 60 ribu rupiah. Itu pun jika tidak ditambah dengan keperluan
lainnya.
Untungnya dengan dana APBD yang tinggi, biaya pendidikan dan
kesehatan secara keseluruhanya ditanggung pemerintah daerah. Bukan hanya
itu, kini dalam bidang pendidikan formal juga diberikan biaya transportasi bagi
yang tinggalnya jauh. Belum lagi biaya kesehatan untuk operasi dan penyakit
dalam lainnya pun akan ditanggung oleh pemerintah. Dengan demikian,
masyarakat Anambas termasuk warga desa Rintis pun tidak perlu lagi
menyiapkan dana tambahan untuk pendidikan dan kesehatan.
Dalam relasi dengan Tarempa yang cukup intens, maka harga tanah pun
semakin cepat melonjak. Semakin padatnya Tarempa dan juga mahalnya biaya
kontrak dan jual rumah menyebabkan gelombang pembelian tanah pun
meningkat secara masif. Apalagi, nantinya sudah dapat dipastikan Desa Rintis
Universitas Indonesia
74
akan ramai sebagai tempat pemukiman warga. Setidak-tidaknya ada dua
keuntungan Rintis sebagai tempat pemukiman, pertama wilayah rintis secara
kontur tanah cukup datar dan tidak berbatu seperti sebagian besar tempat lain di
pulau Siantan. Kedua, wilayah Desa Rintis tidak seberapa jauh dari Tarempa dan
telah dihubungkan dengan jalan besar, walaupun kini sebagian masih rusak
karena pembangunan yang tidak selesai.
Dalam kondisi yang seperti itulah banyak warga lokal Desa Rintis yang
menjual tanahnya kepada warga Tarempa ataupun dari luar Anambas. Menjual
tanah menjadi alternatif yang menggiurkan bagi sebagian besar penduduk lokal.
Bagaimana tidak, dahulu tanah yang tidak laku di jual kini dapat dijual dengan
harga yang sangat tinggi. Saat ini harga satu kapling tanah (sekitar 150 m2)
dapat dijual dengan harga 15-20 juta rupiah, bahkan untuk yang berada dipinggir
jalan dapat mencapai 25 juta rupiah lebih. Padahal jika mengacu pada NJOP
harga tanah di Rintis hanya sebesar enam ribu rupiah. Hal ini menunjukan
kondisi permintaan atas tanah yang tinggi semenjak hadirnya pemerintahan lokal
baru. Tentunya, bagi masyarakat lokal yang mulai menginginkan kebutuhan-
kebutuhan sekunder dan tersier akibat juga interaksi dengan Tarempa dapat
menjual tanah mereka demi memenuhi hasrat itu.
Kemudian geliat ekonomi di Rintis juga dapat terlihat dari perubahan
bentuk rumah. Kondisi perumahan di Rintis pun kini mulai berubah (lihat gambar
4). Sebagian besar warga mambangun rumah dengan model-model terbaru yang
berbahan tembok dan konstruksi baja ringan. Padahal pada tahun tahun
sebelumnya, rumah mereka sebagian bersar terbuat dari papan-papan kayu.
Selain itu juga mengenai kepemilikan sepeda motor, yang awalnya hanya
segelintir warga yang memiliki, namun kini dengan mudahnya kridit hampir setiap
rumah memiliki sepeda motor, bahkan banyak yang memiliki sepeda motor lebih
dari satu. Fenomena ini menggambarkan bagaimana relasi dengan Tarempa
yang semakin baik membuat warga Rintis memiliki standar hidup baru.
C. Gerak Pemekaran Wilayah dan Keharusan Perkumpulan SosialDesa Rintis merupakan pemekaran dari Kelurahan Tarempa semenjak
Kepualauan Anambas mekar menjadi Kabupaten. Semenjak menjalani proses
desa persiapan selama dua tahun, pada akhir tahun 2012 desa ini baru secara
resmi terbetuk. Dalam upaya menjalankan pemerintahan desa, pemilihan kepala
desa pun sudah dilaksanakan. Desa rintis awalnya hanyalah satu RW dari
Universitas Indonesia
75
kelurahan Tarempa. Dengan penduduk kurang lebih 900 jiwa, kini Desa Rintis
memiliki dua dusun, empat RW dan delapan RT. Pemekaran desa, di Kabupetan
Anambas merupakan sesuatu yang sangat banyak terjadi. Hal ini merupakan
imbas dari pemekaran kecamatan, yang awalnya hanya dua kini menjadi tujuh
kecamatan.
Walaupun Peraturan daerah mengenai rencana tata ruang dan wilayah
belum ditetapkan oleh Pemkab dan DPRD. Tetapi, dari pembangunan begitu
banyak fasilitas umum dan perkantoran yang dibangun di Desa Rintis
mengisaratkan bahwa desa Rintis akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari ibu kota kabupaten Tarempa. Hal ini dipahami karena Desa Rintis memiliki
lahan yang memadai dibandingkan kota Tarempa yang sudah padat dan tidak
adanya lahan yang memadai. Selain itu, jarak Desa Rintis diukur dari kantor desa
sampai ke pusat Kota hanya berkisar 4 Km.
Dengan demikian, ada hal yang tidak biasa terkait dengan administrasi
Desa Rintis. Dekatnya lokasi dengan pusat pemerintahan, bahkan sudah ada
perkantoran di sana namun pemerintahan wilayah ini berbentuk desa bukan
kelurahan. Wilayah ini pun merupakan pemekaran dari kelurahan Tarempa
sehingga tidak tepat jika pemerintahan yang ada berbentuk desa. Mengenai hal
ini, Pak Dian sebagai Sekretaris Desa menjelaskan:
“(desa ini) pembentukannya pun aneh, kita ini kan pemekaran dari kelurahantarempa, harusnya berbantuk kelurahan, aturannya kan seperti itu. nga adapemekaran kelurahan jadi desa. karena itu amanah orang-orang tua dulu,supaya bisa mengelola desa kita sendiri, kalau lurahkan bukan orang kita.akhirnya caranya ya bukan pemekaran dari kelurahan tapi kita buat desa baru,supaya bisa statusnya desa”. (wawancara dengan Dian Wiraitmoko tanggal 1April 2013)
Berdasarkan informasi itu, diketahui bahwa beberapa tokoh masyarakat
memiliki keinginan yang besar untuk membangun pemerintahan yang mandiri.
Bahkan menurut penuturan salah satu tokoh desa, upaya tersebut dilakukan
dengan negosiasi yang sangat panjang dengan para pejabat di Tarempa. Dalam
konteks ini pun dapat dilihat bagaimana para elit lokal Desa Rintis tidak ingin
terkooptasi terlalu jauh dengan stuktur pemerintahan yang ada. Kondisi ini
dipengaruhi latar historis panjang yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya,
mereka hampir tidak pernah tersentuh oleh kehadiran negara. Selain itu juga,
interaksi mereka dengan masyarakat lain sangat minim, dan terbiasa dalam
situasi sosial yang mereka kembangkan sendiri.
Universitas Indonesia
76
Di Anambas, setiap desa miliki anggaran untuk pembangunan desa
sebesar dua miliar setiap tahunnya. Anggaran ini sangat besar jika melihat
jumlah penduduk yang ada. Namun berdasarkan mekanisme yang ada
penggunaan anggaran ini harus dilakukan dengan menggunakan mekanisme
musyawarah desa, atau yang dikenal dengan Musrenbangdes (musyawarah
perencanaan pembangunan desa) atau yang juga dikenal dengan Musrenbang
saja. Pada momen inilah, setiap warga, khususnya para tokoh-tokoh desa
dipandu oleh pegawai kecamatan merumuskan kebutuhan-kebutuhan yang ada
di Desa Rintis. Mekanisme ini cukuplah merepotkan dan memakan waktu yang
sangat lama, karena proses ini terus berlangsung sampai tingkat kabupaten
bahkan sampai tingkat nasional.
Musrenbang yang dilaksanakan secara nasional dengan semangat
demokratiasi ternyata belum bisa memperbaiki stuktur birokrasi yang ada.
Beberapa tokoh masyarakat pun menganggap mekanisme ini hanya formalitas
semata. Kemudian juga, sebagian besar usulan selama kurang lebih dua tahun
ini ternyata lebih banyak diarahkan untuk pembangunan fisik, dan pelaksana dari
pembangunan tersebut dilaksanakan oleh dinas Pekerjaan Umum Kab Kep
Anambas. Desa hanya diberikan hal pengelolaan mandiri untuk infrastruktur
sebesar 250 juta rupiah. Mengenai hal ini Bapak Umar mengatakan “kalau lewat
aspirasi yang lebih banyak itu sehubungan dengan fisik, seperti listrik, jalan ya
seperti itu lah. ya kita juga kesal, lain yang diminta lain yang timbul”.23
Masifnya stuktur negara masuk ke Rintis memberikan perubahan standar
otoritas. Misalnya pada saat Rintis masih berbentuk perkebunan yang lebat dan
belum terkonteksi baik dengan Tarempa. Otoritas yang diakui ialah kejawaraan
dan juga kemampuan magis. Kejawaraan dipakai untuk kemampuan tokoh untuk
mengelola perkebunan dan menjadi perantara antara buruh perkebunan karet
dengan pengusaha. Kemampuan magis juga diperlukan untuk menjadi ajang
masyarakat bertanya mengenai kondisi umum masyarakat juga tempat berobat
untuk bagi masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan. Sehingga,
pemimpin pada konteks itu harus memiliki kelengkapan pengaruh yang plural
dan kompleks. Tipe ini yang dalam perspektif Weberian disebut tipe otoritas
tradisional.
Semenjak adanya kabupaten kepulauan Anambas, dan khususnya pada
pembentukan Desa Rintis. Orientasi otoritas bergerak menuju otoritas rasional,
23 Wawacara dengan Bapak Umar tanggal 6 April 2013
Universitas Indonesia
77
yang menjadi sandaran utamanya ialah tingkat pendidikan. Sehingga, untuk
mengisi pos-pos yang ada, mereka harus mencari orang yang memiliki tingkat
pendidikan tertentu. Misalnya untuk menjadi kepala desa memiliki syarat minimal
berpendidikan setara dengan SMA, padahal masyarakat Rintis sebagian besar
masih berpendidikan SD, bahkan tidak lulus SD. Hal ini dipahami karena
pendirian sekolah dasar di Rintis masih merupakan hal baru, dan untuk
melanjutkan pada jenjang yang lebihtinggi mereka harus mengeluarkan
pengorbanan yang tidak sedikit. Berdasarkan profil desa, tercatat pada tahun
2012 masih ada sekitar 247 jiwa atau 29 % warga usia 18-56 tahun yang tidak
bersekolah dan tidak lulus SD. Sebagai solusi mengentaskan buta huruf dan
peningkatan pendidikan banyak masyarakat yang melanjutkan ke program kejar
paket yang diselenggarakan oleh PKBM(Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat)
yang ada di desa.
PKBM berjasa bagi para warga untuk mendapatkan tingkat pendidikan
yang dibutuhkan, walaupun hanya berupa ijazah kesetaraan paket A, B, atau
C.Peningkatan tingkat pendidikan oleh sebagian masyarakat semakin membuat
percaya diri mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik dan juga
pemerintahan. Tercatat, salah satu anggota DPRD kabupaten kepulauan
Anambas yang kini menjadi wakil ketua juga merupakan lulusan dari paket C.
Selain itu, banyak juga warga yang akhirnya terserap di dalam pemerintahan
Pemda kabupaten Anambas baik yang sudah bersatus PNS maupun yang baru
berstatus PTT (Pegawai Tidak Tetap). Selain itu, pos-pos RT dan RW khusus di
Desa Rintis sebagain besar juga merupakan lulusan dari program kejar paket
tersebut, karena untuk menjabat sebagai ketua RT, RW, dan dusun juga memiliki
syarat pedidikan minimal setingkat SD.
Tabel 5Perkembangan Perkumpulan Sosial Di Desa Rintis
Jenis Perkumpulan Sosial Sebelum Pembentukan
Desa
Setelah Pembentukan
Desa
Pemerintahan RW dan RT Desa, Dusun, RW, RT,BPD, Patai Politik
Sosial Arisan dan pengajian ibu,Kelompok sepak bola
PKK, Dasawisma,Karang Taruna
Berdasarkan Titik Kumpul Masjid, Kedai,Sumber: Diolah dari data penelitian
Adaptasi dari lingkungan baru, dari kehidupan yang terbiasa terpisah dan
kini mulai bertetangga secara masif mulai terbentuk. Sejak mereka mulai
Universitas Indonesia
78
membentuk perkampungan-perkampungan yang dipicu oleh pembukaan jalan,
yang menghubungkan mereka ke Tarempa, kegiatan sosial dan perkumpulan
sosial mulai dibentuk. Pada tabel 5 digambarkan mengenai perkembangan
perkemupulan sosial yang ada di Desa Rintis. Sebelum terbentuknya Pemkab
Natuna, Rintis hanyalah terdiri dari satu RW dan dua RT. Pada perkembangan
selanjutnya, Rintis menjadi dua RW dan empat RT, dan kini pun berkembang
menjadi satu desa, dua dusun, empat RW dan delapan RT. Dengan
perkembangan ini, ibu-ibu yang memulai kegiatan bersama dengan membentuk
kelompok pengajian wirid yang biasanya dibarengi dengan arisan. Kegiatan ini
merupakan kegiatan yang sudah umum dilaksanakan di Tarempa, sehingga
sebagai bagian dari Kelurahan Tarempa, mereka membentuk kegiatan yang
serupa. Apalagi, dalam kegiatan tersebut juga ada yang diselenggarakan pada
tingkat kelurahan dan kecamatan. Mau tidak mau, sebagai bagian dari
pemerintahan kelurahan mereka pun terintegrasi didalamnya dan adanya
keharusan membentuk kegiatan tersebut. Luasnya lokasi Rintis, dan sejak awal
antara dusun atas dan dusun bawah memiliki perbedaan RT, maka kegiatan ini
pun dibentuk dalam dua tempat.
BPD (badan permusyawaratan desa) juga dibentuk sebagai kelengkapan
pemerintahan ditingkat Desa. BPD merupakan perwakilan warga yang memiliki
peran parlemen di desa. Merujuk pada PP No. 72 tahun 2005 Keberadaan BPD
merupakan upaya memformalkan demokrasi ditingkat desa. Di Rintis dipilih lima
anggota BPD yang merupakan utusan dari warga. Namun, dalam konteks
implementasi berbagai kegiatan, peran BPD tidak begitu terlihat. Hal ini dipahami
karena memang peran BPD secara formal hanya sebagai mitra kepala desa.
Selain itu juga, kepala desa-lah yang lebih popular untu menjadi tumpuan bagi
masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya ataupun dalam upaya
mendapatkan pelayanan publik.
Di Desa Rintis pun kini terbentuk kepengurusan partai politik. Salah satu
warga Desa Rintis menjabat sebagai ketua PAC Kecamatan Siantan Partai
Demokrat. Hal ini menarik karena, sebagai pemimpin di kecamatan ia telah
melewati berbagai warga kelurahan dalam persaingan tersebut. Apalagi, Pak
Parjo sebagai ketua tingkat kecamatan tidak memiliki ijazah pendidikan formal
yang memadai. Diketahui Pak Parjo merupakan salah satu anggota BP2KK yang
terlibat aktif dalam perjuangan pemekaran kabupaten. Kini walau banyak atribut
partai terpampang di sekitar rumahnya, namun aktifitas kepartaian pun tidak
Universitas Indonesia
79
terlihat. Malah sebagian warga cukup sinis dengan terbentuknya partai politik di
desa mereka. Selain itu, kepengurusan partai pun tidak jelas dan hanya asal
mencantumkan nama. Kondisi ini dipahami karena, di tingkat nasional akan
dilakukan pemilihan umum, sehingga kelengkapan administrasi partai sampai di
kecamatan diperlukan sebagai persaratan peserta pemilu.
Kini dengan dibentuknya desa, kegiatan ibu-ibu tersebut pun dikonversi
menjadi organisasi yang lebih mapan, yaitu PKK (Pembinaan kesejahteraan
keluarga). PKK merupakan organisasi yang diinisiasi oleh pemerintah Orde Baru
yang sudah mengakar- rumput. Namun, dalam konteks desentrantralisasi
keberadaanya tidak begitu terdengar lagi terutama di wilayah perkotaan. Dalam
upaya meningkatkan peran dari PKK dan lembaga kemasyarakatan yang lain
Pemerintah Pusat lewat Permendagri No. 5 tahun 2007 mencoba memicu
aktifitas lembaga-lembaga ini, termasuk juga di dalamnya RT, RW dan juga
karang taruna. Dengan demikian, sebagai desa baru, Rintis pun membentuk tim
penggerak PKK (TP PKK) di tingkat desa. Pada saat ini, TP PKK tingkat desa
diketuai oleh istri dari kepala desa terpilih.
PKK di desa Rintis termasuk yang aktif bahkan sebelum secara definitif
menjadi desa yang sah. Hal ini dipengaruhi oleh bermukimnya salah satu
pengurus PKK tingkat Kabupaten, yaitu Ibu Isye. Ia sampai kini masih aktif di
PKK kabupetan dan menjabat sebagai wakil ketua I. Ibu Isye semenjak
dibangunnya jalan di desa Rintis, ia berinisiatif untuk membeli lahan dan
membangun rumah di sana. Selain karena ia ingin mengembangkan PAUD
(Pendidikan Anak Usia Dini) yang kini disatukan menjadi PKBM, ia mencoba
mencari suasana baru di hari tuanya. Ia pun keram mengadakai berbagai
kegiatan, seperti pelatihan dan juga kegiatan pemberdayaan lainnya. Mengenai
eksistensi PAUD di Desa Rintis akan dibahas pada penjelasan berikutnya.
Kemudian, selain PKK juga dibentuk Karang Taruna. Organisasi ini
diharapkan dapat menghimpun aktifitas kepemudaan seperti olah raga dan
kesenian yang sejak lama sudah eksis di Rintis. Aktifitas kelompok pemuda di
Rintis sudah ada sejak masih berbentuk RW. Pemuda berhimpun dalam kegiatan
kepemudaan di tingkat RT. Salah satu kegiatan yang cukup populer untuk
mereka ialah sepak bola, yang sudah memiliki tradisi juara sejak puluhan tahun
yang lalu. Namun sebagaimana juga terjadi pada PKK, selama ini aktifitas masih
bertempu pada lokalitas pemukiman mereka yaitu di dusun atas dan dusun
bawah. Karang Taruna tingkat desa belum bisa menjembatani kegiatan antar
Universitas Indonesia
80
kedua dusun ini. Kondisi terkini, kecendrungannya ketua karang taruna tidak
memiliki upaya nyata untuk membuat sinergi antar dua kelompok pemuda dusun
tersebut, dan mereka pun lebih nyaman untuk membuat aktifitas ditingkat dusun.
Krisis kegiatan kepemudaan pun terjadi karena kini sebagian besar remaja dan
pemuda bersekolah, sehingga aktifitas mereka lebih banyak diarahkan untuk
dunia pendidikan. Bahkan dengan fasilitas beasiswa penuh dari pemkab, kini
mulai banyak juga pada kalangan pemuda yang melanjutkan pendidikannya
sampai tingkat perguruan tinggi di berbagai kota, seperti Tanjung Pinang, Batam,
Jakarta, bahkan juga di Yogyakarta.
Kemudian yang tidak kalah penting ialah munculnya tempat-tempat
berkumpul baru. Masjid yang biasanya hanya digunakan untuk Solat Jumat dan
kegiatan perayaan hari besar Islam kini mulai digunakan dalam solat fardu.
Selain itu, aktifitas pengajian yang berbentuk TPA (Taman Pendidikan Al Quran)
bagi anak-anak pun mulai dibuat. TPA juga dibuat di surau-surau bahkan kini
juga dibuat beberapa rumah. Di masjid dan surau TPA dilalasanakan setiap dua
minggu sekali. Kegiatan ini pun mendapat perhatian dari Pemkab, dengan
memberikan insentif setiap bulannya kepada para pengajar dan pengelola. selain
aktifitas itu, Pemkab juga memberikan kucuran anggaran bagi pembangunan
masjid. Kini, masjid pun memiliki struktur organisasi yang mapan. Pemkab juga
mengucurkan anggaran untuk terbentuknya Babul Akherat, yaitu perkumpulan
warga untuk mengurusi jenazah bagi warga yang meninggal. Pengurusan
tersebut mulai dari pengalian liang lahat, mengurusi jenazah, hingga kesiapan
dalam pengadaan tahlil di rumah duka. Selain itu, Pemkab juga memberikan
santunan sebesar 3,5 juta bagi keluarga yang ditinggalkan.
Selain itu, fenomena yang relatif baru ialah kedai. Berbeda dengan kedai
kopi di Tarempa yang secara spesifik menjual minumuan dan makanan saja, di
Rintis kedai juga menjual berbagai kebutuhan, baik sembako, kebutuhan mandi,
jajan anak, maupun minyak tanah dan bensin. Jumlah kedai di Rintis pun kini
bertambah, hal ini disebabkan oleh upaya masyarakat untuk meningkatkan
pendapatan keluarga. Terutama kedai yang berada di pinggir jalan besar, ia
menjadi tempat berkumpulnya warga, khususnya kaum pria baik yang sudah
berkeluarga maupun generasi muda di malam hari. Mereka yang berkumpul
bukan hanya yang lokasi rumahnya dekat, ada juga yang lokasi rumahnya jauh.
Dengan menggunakan sepeda motor jarak yang jauh dapat mereka tempuh
untuk berkumpul dengan kawan sejawat. Dengan demikian, kedai pun
Universitas Indonesia
81
menyediakan lahan yang agak luas lengkap dengan tempat duduk dan mejanya.
Kedai jenis ini pun menyediakan makanan dan minuman, sehingga para
pengunjung dapat berlama-lama sambil berbincang bahkan bermain batu
domino. Kedai menjadi sarana strategis untuk membicarakan berbagai
permasalahan dan juga tempat bertukar informasi baik yang hanya gossip
maupun berkaitan dengan politk lokal di Tarempa.
Di Kampung Rintis Hulu misalnya, kedai di sana selalu ramai di malam
hari. Secara spesifik, mereka pergi ke sana untuk bermain domino. Dalam satu
kedai tersebut, bisa terdapat tiga sampai lima kelompok yang bermain. Aktifitas
mereka di sana tak tentu batas waktunya, bahkan kadang sampai larut malam.
Kondisi kedai di sini lebih ramai, karena di sana merupakan tempat
berkumpulnya para pekerja pencari batu dan pasir yang berasal dari Kalimantan.
Di sisi lain, di kampung gudang tengah ada satu kedai kopi, namun tak selalu
ramai. Kedai ini dimiliki oleh adik kepala desa, sehingga tempat ini kadang
dijadikan lokasi pertemuan para aparatur desa. Karena memang, jika jam kantor
selesai dan di malam hari Pak Kades kerap minum kopi dan berbincang bincang
dengan keluarganya di kedai tersebut.
Berbeda dengan kedai kopi di Tarempa yang ramainya di pagi sampai
sore. Kedai di Desa Rintis justru ramai di saat sore hingga malam hari. Hal ini
dipahami karena sebagian besar mayarakat bekerja pada saat pagi hingga sore
menjelang. Dalam konteks ini, kedai memiliki fungsi sosial sebagai ajang hiburan
selepas mereka bekerja. Berbincang-bincang kecil yang diiringi canda tawa,
walaupun terkadang ada pembicaraan yang serius. Kini pun kedai di Rintis
memiliki fungsi sosial yang sama dengan kedai kopi di Tarempa, selain sebagai
penyedia makanan dan minuman, kedai juga berfungsi untuk menguatkan
solidaritas. Dengan demikian, dapat dipahami jika setiap kedai dapat
menggambarkan ikatan sosial tertentu.
Dibandingkan masjid dan surau, kedai menjadi lokasi berkumpul yang
sangat strategis. Namun jika didientifikasi, kedai menjadi ruang publik yang yang
memiliki sekat sosial tertentu. Misalnya pada kedai di Kampung Gudang Tengah,
kedai ini termasuk ekslusif karena kades kerap ‘nongkrong’ di sana, sehari-hari
pun yang berkumpul disana selain anggota keluarga kades, ialah mereka yang
memiliki pekerjaan di Tarempa, sehingga berbagai informasi dapat mereka
pertukarkan di kedai tersebut. Berbeda dengan sebelumnya, pada Kedai di
Kampung Rintis Hulu kebanyakan mereka ialah pekerja lepas seperti tukang batu
Universitas Indonesia
82
dan buruh bangunan, suasana yang dibangun pun cukup cair. Tujuan mereka
berkumpul disana dengan tujuan untuk melepas lelah sekaligus rekreasi sambil
bermain domino.
Dikotomi kedai ini sesungguhnya menjelaskan situasi sosial yang ada.
Dengan munculnya pemerintahan lokal baru ditambah dengan adanya
pemekaran desa Rintis, maka muncul pula elit-elit baru ditingkat desa. Walapun
perlu diketahui bahwa tidak semua yang dianggap menjadi elit kerap berkumpul
di kedai tersebut. Ada pula kelompok warga yang memang tidak terkait dengan
kedai tersebut dan memilih untuk fokus pada pekerjaan dan kehidupan
ekonominya sendiri. Namun, kondisi ini menggambarkan fargmentasi diantara
masyarakat.
Elit-elit baru ini dapat diidentifikasi dari dua hal, pertama ia memiliki
tingkat pendidikan di atas rata-rata minimal lulus Paket A atau setaraf SD, kedua
mereka terkoneksi baik dengan Tarempa baik bekerja di berbagai SKPD yang
ada maupun memiliki akses terhadap pejabat di Tarempa. Kemudian juga jika
diperhatikan dari segi etnis, mereka ialah kelompok orang Banten yang memiliki
historis panjang sebagai penguasa di Desa Rintis. Kampung Gudang Tengah,
walaupun tanpa adanya keberadaan kedai merupakan tempat berkumpulnya
keluarga Pak Kades. Sejak lama kampung inidihuni oleh keluarga yang miliki
status sosial tinggi di wilayah Rintis. Almarhum Pak Sukmai, orang tua Pak
Kades yang merupakan orang kuat di Rintis pada masa perkebunan karet juga
tinggal di kampung ini. Dengan demikian, otoritas yang ada kini tidak berganti,
walaupun sesungguhnya otoritas kultural lebih dimiliki oleh kakak dari Kades,
yaitu Pak Hanapi. Namun karena ia tidak memiliki ijazah yang menandai
kesertaannya dalam pendidikan, maka otoritas tersebut diambil oleh sang adik
yang memiliki ijazah setingkat SMA.
Di sisi lain, di Kampung Rintis Hulu yang lebih heterogen dengan adanya
etnis melayu Bangka serta adanya pendatang yang mencari penghidupan di
ranah informal, mereka tidak terkoneksi dengan baik dengan Tarempa. Selain itu,
mereka pun tidak mementingkan ijazah, karena memang profesi mereka tidak
menuntut hal tersebut. Kemudian di Kampung Batu Tambun, atau dusun bawah
masyarakatnya pun lebih beragam, dari segi etnis banyak pula orang Jawa yang
ada di sana sejak jaman perkebunan. Kini pun, dengan adanya pembangunan
infrastuktur, dari pekerjaan pun semakin beragam karena banyak orang Tarempa
yang memilih tinggal di sana.
Universitas Indonesia
83
Elitnya keluarga yang tinggal di Kampung Gudang Tengah sudah mulai
terlihat dari masa awal abad 21. Keluarga ini dikenal memiliki sapi yang sangat
banyak. Keberadaan sapi pun saat ditelusuri dimiliki karena adanya bantuan dari
pemerintah. Karena, di Tarempa tidak ada pasar hewan. Bahkan, saat jalan
setapak mulai dibuka, Pak Kades dan Kakaknya Pak Hanapi sudah memiliki
sepeda motor besar yang dapat digunakan untuk melalui jalan berbatu tersebut.
Mereka pun menggunakan motor tersebut untuk dijadikan usaha ojek bagi warga
yang ingin ke Tarempa atau sebaliknya. Oprasional ojek ini pun dikendarai oleh
orang lain yang memiliki keahlian mengendarai motor tersebut, setiap meinggu
mereka menyetorkan sejumlah uang bagi Pak Kades dan kakaknya itu.
Gambar 4Kampung Gudang Tengah
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Elitnya keluarga “Kampung Gudang Tengah” ini semakin terbukti dengan
menang telaknya Pak Sutisna dalam pemilihan kepala desa yang
diselenggarakan pada akhir tahun 2012.Padahal menurut beberapa tokoh
masyarakat kompetensi calon yang lain lebih baik. Namun, karena ikatan
persaudaraan dan otoritas lama yang melekat pada keluarganya, ia dapat
menjadi kades dengan dukungan penuh dari masyarakat. Kemudian juga,
fasilitas umum yang ada pun banyak dibangun di sini, padahal jika dilihat dari
populasi, lebih banyak masyarakat yang tinggal di Kampung Batu Tambun
maupun di Kampung Rintis Hulu. Kondisi ini membuktikan, bahwa otoritas elit
Universitas Indonesia
84
masih ada di tangan keluarga Gudang Tengah walaupun legitimasi atas otoritas
tersebut sudah berubah.
D. Bantuan Negara dan Munculnya Perkumpulan SosialTelah dijelaskan sebelumnya mengenai besarnya anggaran yang dimiliki
oleh Pemkab Anambas. Kondisi ini memicu lahirnya berbagai perkumpulan sosial
di Tarempa. Walaupun dalam tujuan normatif mereka menginginkan terlibat aktif
dalam memberdayakan masyarakat, namun dapat jika melihat kondisi yang ada
tujuan mereka ialah untuk dapat mengelola anggaran APBD tersebut untuk
kegiatan perkumpulan sosialnya, atau hanya untuk mencari keuntungan pribadi.
Mengenai banyak bermunculannya perkumpulan sosial yang berbentuk ormas
maupun LSM, tokoh masyarakat Melayu di Tarempa bapak Afandi Yakub
mengatakan:
” Awalnya bagus, tapi karena ditularkan penyakit orang politik tentunya nantiakan menimbulkan masalah. Ya mereka terkontaminasi yang diutamakan itukepentingan pribadi pemimpinya, untuk kepentingan pribadi saja terutama sekalikepentingan politik. kalau dulu tidak. ya, sekarang ini kegaduhan politik sudahmenularkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. selamaini kan mereka, organisasi-organisasi itu berbagi anggaran dengan Pemda.biasanya ya pakai dana sosial, atau dana pengadaan jasa”. (wawancara denganAfandi Yakub tanggal 31 Maret 2013)
Penjelasan Pak Afandi Yakub di atas bukan tanpa alasan. Diketahui
berdasarkan data yang ada dari Kesbangpol Kab Kep Anambas, begitu banyak
LSM dan Ormas yang memiliki nama terkait dengan SKPD yang ada di
Anambas. Pemberian dana bantuan sosial ini berdasarkan Permendagri no 32
tahun 2012 secara jelas menyatakan bahwa objek atau sasaran dari bantuan
sosial diantaranya ialah masyarakat dan organisasi kemasyarakatan. Kemudian
juga, mekanisme pemberian dana bantuan sosial ini langsung melalui SKPD
yang ditinjau oleh tim anggaran pembelanjaan daerah (TAPD) yang termasuk
didalamnya ialah anggota DPRD setempat. Mekanisme ini berbeda dengan jalur
musrenbang, karena bantuan sosial bisa dikucurkan berdasarkan permohonan
dari masyarakat atau ormas yang kemudian dibincangkan di dalam rapat
pembahasan APBD. Dalam situasi ini lobi menjadi penting, dan sangat
memungkinkan terjadi ‘kongkalingkong’ diantara pemohon, SKPD dan juga
TAPD. Apalagi jumlah total keseluruhan anggaran bantuan sosial Pemkab
Universitas Indonesia
85
Anambas sangat besar, untuk tahun 2009 saja mencapai Rp50.932.989.500.24
Dalam pemberitaan beberapa media online, diketahui bahwa sebagain anggaran
yang dikeluarkan melalui mekanisme bantuan sosial telah diaudit BPK dan ada
sejumlah uang yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh Pemkab.
Tabel 6 di bawah ini menggambarkan bagaimana begitu banyak
perkumpulan sosial terbentuk semenjak berdirinya kabupaten Kep. Anambas.
Dari data yang sama diketahui semua perkumpulan sosial tersebut dibentuk
pada kisaran tahun 2008-2012. Dengan demikan, dapatlah disimpulkan bahwa
perkumpulan sosial tersebut memang terbentuk karena adanya peluang untuk
mendapatkan bantuan dari Pemkab. Data ini pun menyesuaikan dengan
Permendagri no 33 tahun 2012 yang menjelaskan bahwa organisasi
kemasyarakatan paling rendah berkedudukan di tingkat kabupaten. Sebelumnya,
diketahui cukup banyak perkumpulan sosial yang berpotensi mendapat anggaran
bansos yang berdiri di tingkat desa atau kecamatan. Selain itu, data ini juga tidak
memuat perkumpulan sosial yang sudah memiliki izin di tingkat provinsi atau
pusat, karena izin mereka sudah ada pada pemerintahan di jenjang yang lebih
tinggi.
Tabel 6Jumlah Perkumpulan Sosial di Tingkat Kecamatan
Cuma 17, lebih banyak yang tidak aktif. memang di sini tidak ada pos khususanggaran untuk ormas, kalau pun ada ya paling ada dana hibah, itupun dipilihormas mana yang memang banyak membantu masyarakat, dan kegiatanyapositif, seperti misalnya membersihkan pantai, ya bisa kerja sama, misalnyaGebrak (salah satu LSM) itu bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup. yamemang untuk masalah pendanaan harus sesuai SKPD-nya, yang biasanyakerap kerja sama itu ya lingkungan hidup, pariwisata dan perikanan dankelautan. ya sekarang ini karena sudah tidak bisa lagi bernaung di dinas yangada, mereka jadi malas bergerak, karena mereka mengandalkan untuk beranungdi situ” (wawancara dengan Bapak Arman tanggal 9 April 2013).
Kekacauan pemberian bantuan sosial ini mulai berangsur-angsur
diperbaiki oleh Pemkab Anambas. Pada tahun 2012 telah dilakukan kesepakatan
antara SKPD dan juga TAPD untuk menanggulangi kebocoran APBD. Salah satu
poin pentingnya ialah, dalam APBD tahun 2013 setiap organisasi
kemasyarakatan di Anambas maksimal hanya mendapatkan bantuan sosial
sebesar 50 juta saja. Hal ini dipahami karena ketidakjelasan sandaran dalam
pengeluaran anggaran bagi perkumpulan sosial yang ada. Tercatat ada salah
satu perkumpulan sosial yang mendapatkan anggaran sebesar 400 juta,
tentunya hal ini menjadi sumber kecurigaan dan kecemburuan sosial pada
perkumpulan sosial lainnya. Sehingga, kesepakatan Pemda dan DPRD untuk
membatasi bantuan sosial bagi perkumpulan sosial ialah dalam upaya meredam
gejolak diantara perkumpulan sosial yang ada.
Paguyuban Pasundan merupakan salah satu Ormas yang terdaftar di
Bakesbangpol. Perkumpulan sosial pada tingkat kabupaten ini didirikan dan
berpusat di Desa Rintis. Revitalisasi dilakukan oleh masyarakat Rintis terkait
penyesuaian Ormas dan LSM yang harus didirikan pada tingkat kabupaten.
Sehingga pada tahun 2012 dibentuklah kepengurusan baru yang juga melibatkan
Orang Sunda dari luar desa Rintis. Kini Paguyuban Pasundan sudah memiliki
kelengkapan adminstrasi dan terdaftar di Bakesbangpol Kab Kep Anambas.
Kemudian juga, di tingkat desa, selain muncul perkumpulan sosial yang
terkait dengan pemekaran desa juga terdapat beberapa perkumpulan sosial yang
terbentuk karena bantuan negara. Bantuan negara yang ditujukan langsung ke
masyarakat adalah upaya meningkatkan kesejahtaraan. Bantuan-bantuan yang
ada cukup banyak dan beragam. Sumber bantuan-bantuan juga bukan hanya
dari Pemkab, namun juga dari instansi lainnya. Mengenai bantuan-bantuan yang
ada di desa rintis dapat dilihat pada tabel 7 di bawah. Tabel itu belum
menggambarkan beberapa bantuan yang akan masuk dari berbagai pihak yang
ada, baik dari negara maupun pihak lainnya.
Universitas Indonesia
87
Salah satu program nasional yang diselenggarakan di desa Rintis ialah
PNPM Mandiri (program nasional pemberdayaan masyarakat-mandiri). Program
ini mulai diluncurkan sejak tahun 2007 dengan merujuk pada keputusan Menko
Kesra No. 25/KEP/MENKO/KESRA/VII/2007. Program ini walaupun merupakan
program nasional, namun setiap kucuran dana yang masuk ke desa merupakan
usulan langsung dari masyarakat. Pada saat masih tergabung dengan Kelurahan
Tarempa, ada sebagian orang yang tergabung di dalam kepungurusan PNPM.
Beberapa fasilitas umum atas dana dari program tersebut sudah dibangun,
seperti tempat pertemuan, posyandu, dan WC umum. Dengan adanya
pemekaran desa, dalam waktu dekat juga akan dibentuk PNPM di desa ini untuk
menyalurkan bantuan yang ada.
Tabel 7Daftar Bantuan yang ada di Desa Rintis
Jenis Bantuan Pemberi Bantuan Mekanisme PenyalurKUBE Pemerintah Pusat Kelompok DesaPNPM Pemerintah Pusat Kelompok DesaRaskin Pemerintah Pusat Indivdu DesaBedah Rumah Pemerintah Provinsi Individu DesaBeasiswa Pendidikan Pemerintah KKA Individu Sekolah/ langsung
ke pelajarSantunan Kematian Pemerintah KKA Individu DesaBantuan mesin jahitdan pelatihan
Pemerintah KKA Kelompok PKBM
Perlengkapan tani Pemerintah KKAPerusahaan minyak
KelompokKelompok
Semua PoktanSemua Poktan
Pelatihan petani Perusahaan Minyak Kelompok Semua PoktanBantuan modal Perusahaan Minyak
Pemerintah ProvinsiKelompokKelompok
Koperasi taniWanita Tani
Bibit Sapi Pemerintah KKA Kelompok Semua PoktanPelatihan Pengelola Perusahan minyak Kelompok PKBMLori KOARMABAR Kelompok Poktan Sepakat
JayaBangunan Perusahaan minyak
Pemerintah KKA
Kelompok
Kelompok
PKBM;Poktan TunasMuda I & IIYayasan KhoriuUmmah
Pelatihanpemanfaatan pelastik
NGO Asing Kelompok PKBM
Sumber: Diolah dari data penelitian
Selain itu juga ada program nasional lain yang diluncurkan oleh
kementrian sosial yaitu kelompok usaha bersama (KUBE). KUBE merupakan
bantuan langsung pemerintah pusat yang menghimpun rumah tangga miskin
yang terdiri dari 10 orang untuk membuka usaha secara berkelompok. Menurut
Universitas Indonesia
88
Sekretaris Desa, keanggotaan dari KUBE didasarkan pada data rumah tidak
layak huni. Sehingga memang pengelompokan ini tidak didasarkan pada
anggota masyarakat yang sudah memiliki usaha, namun terdiri dari sekelompok
masyarakat yang hidup di bawah standar dari masyarakat Rintis. Ada beberapa
program ini telah masuk ke Rintis baik sebelum menjadi desa, maupun sudah.
Ada dua program yang sedang berjalan, pertama ialah usaha pembuatan tempe
diselengarakan oleh keluarga Pak Abdurahman serta usaha bengkel motor yang
diketuai oleh Bapak Cakrajaya. Selain itu, juga ada yang digunakan untuk
pertanian dan juga pembuatan makanan-makanan ringan.
Kelompok tani merupakan salah satu perkumpulan sosial mapan yang
memiliki historis panjang di Rintis. Rintis memiliki dua kelompok tani yang sudah
terbentuk sejak tahun 2001, sedangkan 95 % dari 86 dari kelompok tani yang
ada di Kabupaten Kep Anambas didirikan semenjak pemekaran, yaitu sejak
tahun 2008-2013.25 Kelompok tani itu ialah Tunas Muda I dan Tunas Muda II,
dan pada tahun 2010 di dusun bawah didirikan kelompok tani Sepakat Jaya,
kemudian disusul dengan Tani Wanita yang juga merupakan bagian dari
kelompok tani Sepakat Jaya. Bahkan kelompok tani Sepakat Jaya kini sudah
memiliki koperasi tani yang mencoba mewadahi hasil pertanian warga dan
menyediakan kebutuhan petani. Keberadaan kelompok tani di Rintis, sudah
sejak lama ada bahkan semenjak tahun 1990-an. Hal ini dipahami karena
sebagian besar penduduk di Rintis ialah pekerja kebun karet sekaligus petani
palawija. Kepengurusan pun telah silih berganti, namun kini dengan situasi sosio-
ekonomi baru kegiatan kelompok tani tidak begitu bergeliat.
Pertanian di Rintis selain mendapat pertanian dari pemerintah daerah
sebelum dibentuknya Kab. Kep Anambas juga sudah mendapatkan perhatian
dari beberapa perusahaan minyak yang ada. Sejak tahun 2010, dengan kondisi
jalan yang masih sulit dilalui, Conoco-Philips sebagai salah satu perusahaan
minyak yang beroperasi di Anambas mendirikan saung meeting bagi para petani
di Rintis. Bantuan tersebut juga dibarengi dengan bantuan penggiling padi dan
modal usaha. Karena sempat di Rintis dibangun banyak lokasi persawahan,
tujuan perusahaan tersebut ialah untuk menampung hasil pertanian dari warga
untuk kebutuhan beras bagi para karyawan di perusahaannya.
25 Data dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Kep Anambas tahun 2013 (lihatlampiran).
Universitas Indonesia
89
Sebelum itu pun juga ada bantuan bibit karet unggulan bagi warga serta
masih ada beberapa bantuan yang ditujukan bagi para petani di Rintis. Namun,
bagi para warga, sebagian besar sudah tidak lagi bersemangat dengan
pertanian. Selain karena adanya ruang ekonomi baru, masalah ketidak-
kompakan diantara sesama anggota kelompok tani tersebut. Mengenai hal ini
Bapak Amsir, yang pernah menjabat sebagai ketua kelompok tani mengatakan:
“ya kalau menurut saya kendala utama itu masalah sapi, sapi kemana-mana dantidak dikandangkan itu kerap memakan pertanian masyarakat. lalu yang kedua,banyak bantuan pertanian yang parsial, artinya tidak menyeluruh. saya pernahsaran untuk transmigrasi lokal untuk pertanian ini bisa maju, tapi tidak ada yangmau dukung. ya akhirnya petani di sini cari kerja lain. padahal sebetulnya, kalaubetul-betul di pertanian itu bisa berhasil, kalau sekarang inikan banyak petanihanya asal-asal, ya tentunya tidak menjamin penghidupan mereka. ya karenakelompok kurang komitmen, padahal sudah dibina oleh perusahaan. sebelumpremier dulu sudah ada bantuan dari Conoco tapi ya malah tidak ada bekasnya.terus juga yang banyak yang ikut pelatihan, tapi tidak diperaktekan, ya kembalilagi juga ke model lama”. (wawancara dengan Bapak Amsar tanggal 5 April2013)
Gambar 5Sapi yang Dilepas dan Lahan Pertanian yang Dipagar
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sapi menjadi salah satu kendala bagi para petani. Karena sapi tidak
dikandangkan oleh pemiliknya, ia hanya dibiarkan mencari makan diberbagai
tempat. Sehingga, kerap kali sapi tersebut sampai di lokasi perkebunan warga
dan memakan pertanian warga. Bagi para petani, dalam upaya untuk
melangsungkan kehidupannya mau tidak mau harus membuat pagar di
sepanjang lahan pertaniannya. Pagar dibuat cukup rapat agar sapi tidak dapat
masuk. Namun tetap saja, ada beberapa sapi yang berhasil menerobos pagar
dan menyantap tumbuh-tumbuhan yang ada.
Universitas Indonesia
90
Kondisi ini sempat memunculkan ketegangan diantara warga. Bahkan
beberapa petani sudah melancarkan protes keras bagi para pemilik sapi. Namun
sampai saat ini belum ada upaya penyelesaian yang solutif. Sempat juga para
petani mengusulkan dibuatnya peraturan desa untuk menertibkan para pemilik
sapi agar mau mengandangkan ternaknya. Pada usulan tersebut juga para
pemilik sapi harus membayar ganti rugi atas setiap tanaman yang dirusak.
Sampai saat ini usulan tersebut belum disahkan di tingkat desa. Para petani pun
menyadari, kebijakan tersebut rasanya mustahil akan dapat terwujud karena
kepala desa dan keluarganya merupakan pemilik sapi terbanyak di Desa Rintis.
Pada akhirnya, sebagian petani malah mengalah dengan tidak mau menanam
lagi dan memilih pekerjaan lain.
Saat ini pun bantuan dari Pemkab setiap tahunnya selalu datang ke
kelompok tani, termasuk yang ada di Desa Rintis. Bantuan tersebut berupa
pupuk, bibit dan obat-obatan untuk tanaman. Selain itu, kelompok tani juga
dapat mengajukan proposal permohonan bantuan kepada SKPD terkait, yang
kemudian proposal tersebut akan dikaji dan diproses dalam musrenbang di
tingkat kecamatan. Dengan demikian, permintaan bantuan harus menunggu
proses pembahasan tersebut sehingga membutuhkan waktu yang cukup
panjang. Sehingga beberapa kelompok tani dalam hal ini juga mencari alternatif
bantuan yang lain. Seperti dilihat pada tabel 5, kelompok tani mendapatkan
bantuan juga dari Pemprov, perusahaan minyak dan juga angkatan laut.
Walaupun demikian, ada perkumpulan formal yang merupakan inisiatif
anggota masyarakat dan dibantu oleh negara untuk menjadi lebih mapan, yaitu
PKBM Kurnia. Bermula dari pendirian panti siswa yang diinisiasi oleh Ibu Isye di
Terempa bagi anak-anak sekolah yang rumahnya tersebar jauh pada tahun awal
tahun 2001. Ibu Isye diminta untuk ikut pelatihan oleh Departemen agama
Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2004 di Batam untuk sosialisasi PAUD
(Pendidikan Anak Usia Dini). Kemudian dibuatlah PAUD di Tarempa 2005 dalam
naungan Yayasan Al Muhajirin dengan izin dari dinas pendidikan kecamatan
Tarempa yang dikelola secara mandiri. Walaupun sebagian besar masyarakat
dan juga beberapa tokoh masyarakat belum menerima keberadaan PAUD, Bu
Isye malah mendirikan PAUD yang kedua di Desa Rintis pada tahun 2006.
Yayasan Al Muhajirin kemudian diubah menjadi PKBM Kurnia pada tahun
2009, karena adanya peraturan dari Departemen Pendidikan Nasional bahwa
seluruh penyelenggaraan pendidikan nonformal dan informal harus berada di
Universitas Indonesia
91
bawah naungan PKBM. Kini dengan kegigihan Ibu Isye, telah terbentuk banyak
lembaga pendidikan non formal dan informal. Selain PAUD Al Muhajirin di
Tarempa dan di Rintis, kemudian juga di buat PAUD di Antang. Bahkan lebih dari
itu, dibuat juga PAUD di Pulau Matak, dua kelompok bermain di Nyamuk, dan
dua kelompok bermain di Pulau Jumaja, dan masih banyak lagi program kejar
Paket, A, B, dan C kemudian kursus-kursus. Banyaknya program-program
pendidikan non formal dan informal yang diselenggarakan oleh PKBM Kurnia,
membuat nama Ibu Isye dikenal baik oleh sebagian besar pendidik dan guru di
Kabupaten Kepulauan Anambas. Apalagi PKBM Kurnia merupakan PKBM yang
didirikan pertama kali di Kabupaten Kepulauan Anambas, bahkan saat Anambas
masih berstatus kecamatan.
Gambar 6Gedung PKBM Kurnia
Sumber: Dokumentasi Anang
PKBM Kurnia diketuai oleh Ibu Isye sendiri, kemudian Bapak Abas Gani
sebagai Sekretaris, dan Zurial (anak bungsu Bu Isye) sebagai bendaharanya.
Dalam akte pendirian PKBM dengan akte notaris 10 tanggal 18 Desember 2007
dengan pembuat Muhamad Nazar, SH tercatat dalam sturktur organisiainya juga
menyertakan pejabat dinas pendidikan kab anambas, dan juga pejabat
kecamatan sebagai pelindung, penasihat dan juga pengawad. Namun dari hasil
pengamatan, diketahui bahwa perjalanan PKBM dominan dikelola oleh Bu Isye
sendiri. Bu Isye dengan bakat dan modal sosialnya yang tinggi, mengelola
keuangan, administrasi, personalia, dan juga humas secara sendirian,
Universitas Indonesia
92
sedangkan, sekretaris dan bendahara hampir tidak pernah terlibat aktif dalam
berbagai program yang dijalankan.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa kegiatan pendidikan non
formal dan informal yang diselenggarakan oleh PKBM Kurnia bukan saja PAUD,
namun juga ada beberapa kegiatan lain seperti kejar paket A, B,dan C,
pendidikan keaksaraan, tempat penitipan anak, kursus dan pelatihan, serta akan
juga dibangun taman bacaan masyarakat. Dalam kegiatan kejar paket PKBM
Kurnia adalah satu-satunya PKBM yang bekerja sama dengan dinas pendidikan
Kab Kep Anambas untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut, bahkan saat
masih tergabung dalam Kab Kep Natuna PKBM Kurnia juga telah aktif dengan
berbagai kegiatanya. Dengan demikian, unit kerja PKBM Kurnia tersebar
dibanyak kecamatan di Kabupaten Kep Anambas. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya dokumen surat keputusan yang dikeluarkan oleh PKBM Kurnia yang
menunjuk beberapa orang guru untuk menjadi tentor dalam kegitan tersebut.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, PKBM Kurnia memiliki banyak
cabang yang tersebar di kabupaten kepulauan Anambas. Dalam hal ini, PKBM
Kurnia yang terletak di desa Rintis-lah yang akan menjadi lembaga yang dibantu
untuk dapat mandiri. PKBM Kurnia Rintis memiliki gedung yang permanen dan
memenuhi standar gedung pertemuan serta pendidikan dan pelatihan (lihat
gambar 6). Namun, sangat disayangkan dengan gedung yang cukup lengkap
untuk menunjang berbagai kegiatan PKBM tetapi belum dioptimalkan
penggunaannya. Hal ini dipahami disebabkan oleh minimnya partisipasi
masyarakat dalam kegiatan PKBM.
Sebelum gedung PKBM Kurnia Rintis dibuat, sudah ada beberapa
kegiatan yang diselenggarakan seperti PAUD, pelatihan menjahit, dan paket A.
Namun kini, semenjak gedung PKBM Kurnia berdiri, hanya PAUD yang menggisi
gedung tersebut secara rutin. Hal ini dipahami karena memang kegiatan menjahit
dan paket A tidak selalu diselanggarakan dalam waktu yang panjang dan rutin.
Kegiatan menjahit sewaktu-waktu dapat saja diselenggarakan di PKBM Kurnia,
apalagi beberapa mesin jahit, mesin obras, dan beberapa mesin pendukung
lainnya sudah terdapat di dalam gedung. Mesin-mesin tersebut merupakan
pemberian dari dinas perdagangan dan perindustrian Kab Kep Anambas.
Selain bantuan yang berasal dari SKPD Kab Kep Anambas, PKBM Kurnia
juga mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Seperti bangunan PKBM Kurnia
yang berukuran cukup besar merupakan bantuan dari salah satu perusahaan
Universitas Indonesia
93
minyak yang ada di Anambas. Bangunan tersebut dibangun pada tahun 2008
dan menghabiskan dana ratusan juta. Selain itu, bahkan ada NGO asing yang
juga bekerja sama dengan PKBM Kurnia untuk mengadakan pelatihan di Desa
Rintis. Kemudian juga, dalam waktu-waktu mendatang akan ada beberapa
pelatihan yang diselenggarakan di sana baik oleh Pemkab, Pemprov, NGO
asing, perusahaan minyak serta tentunya juga dari inisiatif PKBM sendiri.
Kemudian, Yayasan Khoiru Ummah yang merupakan perkumpulan sosial
yang bergerak pada bidang pendidikan keislaman mendapatkan bantuan dari
Pemkab Kep Anambas berupa bangunan yang diperuntukan bagi pesantren.
Sejak dibangun pada tahun 2012, kini pesantren tersebut sudah melakukan
kegiatan belajar mengajar walaupun dibangunan sementara. Pada tahun
pertama penerimaan siswa baru, sudah ada 12 orang santri yang diterima. Pada
tahun-tahun mendatang pesantren akan dibangun di lokasi yang lain dengan
sarana pra sarana yang lebih memadai.
Yayasan Khoiru Ummah diketuai oleh bapak Sasmirudin, ia merupakan
pendatang baru di Tarempa. Bekerjasama dengan salah satu pejabat di kanwil
Kemenag Anambas, akhirnya pesantren itu didirikan di Desa Rintis. Hal ini
dipahami karena, bangunan itu kini berada di tanah salah satu pejabat di kanwil
Kemenag tersebut. Kini sedang dilakukan pembebasan lahan untuk bangunan
permanen di lokasi baru.
Peletakan Batu Pertama pembangunan pesantren dilakukan oleh Wakil
Bupati Kab Kep Anambas. Dengan demikian, jelas sekali komitmen Pemkab
untuk membantu proses pembangunan pesantren tersebut. Apalagi,
pembangunan ini cukup diharapkan oleh masyarakat dalam upaya mencetak
para mubalig dan ahli agama dari masyarakat lokal Anambas. Dalam upaya
meningkatkan mutu santri, didatangkan juga para pengajar yang didatangkan
dari daerah lain yang memang memiliki kualifikasi yang memadai.
Pembangunan pesantren di Desa Rintis ini sempat mengalami
ketidakjelasan. Karena terlihat ketidaksungguhan yayasan dengan membangun
bangunan pesantren yang hanya sementara. Kondisi ini disebabkan keengganan
pemilik lahan untuk mewakafkan tanahnya. Padahal, pemilik tanah merupakan
inisiator dari pembangunan pesantren itu sendiri. Hal inilah yang memicu
kecurigaan masyarakat, bahwa pembangunan pesantren hanyalah upaya
yayasan untuk menyedot anggaran dari Pemda. Sehingga, dalam beberapa
Universitas Indonesia
94
kesempatan gotong royong, masyarakat Desa Rintis tidak antusias untuk
mengikuti kegiata tersebut.
Beberapa perkumpulan sosial yang ada di Desa Rintis membuat kondisi
sosio-ekonomi masyarakat juga berubah. Kuatnya relasi antara perkumpulan
sosial dengan negara, terutama yang disebabkan olehbegitu banyaknya
bantuan, merangsang masyarakat untuk masuk dan terlibat di dalam
perkumpulan sosial. Bantuan-bantuan tersebut selama ini terkait dengan sumber
daya ekonomi. Oleh karenanya, keterlibatan mereka di dalam perkumpulan
sosial merupakan strategi dalam upaya mendapatkan sumber daya itu. Tak
jarang situasi ini malah membuat relasi antar masyarakat menjadi merenggang,
terutama jika bantuan yang ada tidak diperoleh secara merata oleh perkumpulan
yang ada, mapun diinternal perkumpulan sosial itu sendiri.
Salah satu dampak yang sangat terasa ialah semakin tegangnya
hubungan antara dua dusun; dusun bawah dan dusun atas. Selama ini warga di
dusun bawah merasa bahwa pembangunan infrastruktur serta berbagai bantuan
yang ada hanya diperuntukan bagi warga di dusun atas. Menurut Pak Umar
sebagai ketua kelompok tani Sepakat Jaya yang berada di dusun bawah
menyatakan bahwa berbagai bantuan yang masuk di dusun atas sejak lama
tidak ada yang berbekas, padahal bantuan pertanian ke dusun atas sudah
sangat banyak. Sehingga ia pun merasa perlu untuk membuat kelompok tani
baru pada tahun 2010 untuk mewadahi para petani yang ada di dusun bawah.
Kini ia beranggapan bahwa kelompok tani yang diketuainya kini dikelola lebih
baik, bahkan ia kini juga membangun koperasi tani yang bisa meminjamkan
modal bagi para petani.
Pada sisi lain, para petani di dusun atas menyayangkan geliat kelompok
tani di dusun bawah yang kurang berkoordinasi dengan dusun atas. Perseteruan
itu semakin terbuka saat bantuan modal dan peralatan pertanian yang diberikan
oleh salah satu perusahaan minyak dikelola oleh kelompok tani Sepakat Jaya.
Namun, sebagai petani yang memiliki kelompok tani sendiri petani di dusun atas
enggan untuk terlibat kegiatan di sana dan meminta untuk bantuan modal untuk
koperasi dan juga peralatan pertanian dibagi merata pada semua kelompok.
Namun pada kenyataanya, bantuan tersebut hanya dikelola oleh kelompok tani
Sepakat Jaya dengan alasan keterbatasan dana yang ada.
Perseteruan ini pun menjalar juga pada ibu-ibu. Saat hendak diadakan
pemberian bantuan mesin jahit dan pelatihan menjahit yang diselenggarakan
Universitas Indonesia
95
oleh PKBM Kurnia. Para ibu di dusun bawah menolak terlibat dalam proses itu,
dan memilih tidak ikut serta. Sehingga peserta pelatihan hanya ibu-ibu yang
berasal dari dusun atas. Padahal, panitia dari PKBM sudah melakukan promosi
yang gencar pada semua ibu-ibu di dusun bawah. Namun hasilnya tetap nihil.
Kondisi ini mulai diperhatikan serius oleh perangkat desa Rintis. sehingga
setiap bantuan yang ada kini semakin memperhatikan komposisi yang lebih
merata di dua dusun tersebut. Misalnya dalam bantuan rumah bedah yang
diselengarakan pada tahun 2012, komposisi di dua dusun tersebut diupayakan
agar merata, sehingga tidak memunculkan kecemburan sosial. Kini dalam setiap
kesempatan Pak Kades Sutisna selalu menjaga kerukunan warga dengan
meminimalisir kecemburuan sosial. Misalnya saja dalam setiap kegiatan yang
ada, Pak Kades menyarankan agar semua RT/RW dan juga tokoh masyarakat
dari semua dusun diundang walaupun hanya dalam kegiatan yang bersekala
kecil.
Mengenai hal ini, pengurus BPD Desa Rintis yaitu Pak Winarno yang
merupakan warga pendatang asal Jawa Tengah, mengatakan bahwa kondisi
demikian sesungguhnya tidak begitu berdampak luas bagi masyarakat.
Menurutnya, hal ini terjadi karena adanya kecemburuan sebagian warga Dusun
Bawah yang menurutnya selalu tidak mendapatkan perhatian dari Kades Rintis
ketika menjabat sebagai Pajabat sementara. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
Pak Kades hanya memperhatikan warga di dusun atas. Salah satu contoh yang
membuat banyak warga Batu Tambun kecewa adalah pembagian sembako yang
seharusnya dibagi rata untuk warga yang tidak mampu di Desa Rintis, namun
Pak Kades hanya membaginya bagi keluarga-keluarga dekatnya saja.
Menyoroti hal ini dapat dilihat dari perubahan orientasi masyarakat dari
pasar ke negara. Dalam kehidupan masyarakat sebelum adanya pemerintahan
kab kep Anambas, kesejahteraan masyarakat akan terwujud jika mereka giat
dalam bekerja. Namun dalam kondisi kekinian, kelekatan negara menjadi elemen
penting dalam mencari kesejahteraan. Besarnya APBD yang berdampak pada
besarnya bantuan yang diberikan pada masyarakat, membuat masyarakat
berlomba mendapatkan akses itu. Hal ini diperparah dengan pemberian uang
saku yang cukup besar oleh pemkab dalam setiap kegiatan pelatihan ataupun
yang lainnya. “Memang kita berikan uang transport untuk peserta pelatihan, itu
kan mamang harus” ungkap Pak Johanes sebagai Kabid Perindustrian Pemda
Kab Kep Anambas.
Universitas Indonesia
96
Kondisi ini membuat masyarakat mengaggap negara sebagai orientasi
baru untuk memperoleh kesejahteraan. Sehingga dalam kegiatan yang
diselenggarakan baik oleh pemda maupun perkumpulan sosial yang ada
orientasi masyarakat ialah uang saku, atau uang pengganti transportasi. Oleh
karenanya, membangun keswadayaan masyarakat dalam konteks ini menjadi
sangat sulit. Dalam satu kesempatan Pak Kades mengatakan bahwa dalam
upayanya mengajak warga kerja bakti untuk membangun fasilitas publik
misalnya, banyak warga yang menolak dengan alasan sudah ada anggaran
untuk hal tersebut sudah ada di desa dan tinggal memanggil tukang bangunan
untuk membuatnya.26
E. PenutupHadirnya negara berperan besar terhadap eksistensi perkumpulan sosial
di Desa Rintis. Dengan kemampuan anggaran serta kemauan negara untuk
mendorong terbentuknya perkumpulan sosial maka perkumpulan sosial di Desa
Rintis pun bermunculan. Dalam diskusi di atas, terbentuknya perkumpulan sosial
terjadi karena dua hal. Pertama, karena adanya pemerkaran di tingkat
Kabupaten yang mengharuskan juga pemekaran pada tingkat kecamatan, desa,
sampai ke RT. Kedua, karena adanya bantuan negara yang harus disalurkan
melalui perkumpulan sosial. Selain itu, juga ada perkumpulan sosial yang
memang didirikan atas inisiatif pribadi atau kelompok, namun pada kenyataanya
tujuan perkumpulan sosial ini tak lain berupaya untuk mendapatkan bantuan dari
negara.
Masifnya penetrasi negara kedalam kehidupan sosial ekonomi masyakat,
membuat fungsi negara kini berubah. Negara menjadi harapan utama atas
kesejahteraan yang sebelumnya hanya tertambat pada pasar. Hal ini dipahami
karena, Kab Kep Anambas begitu banyak memberikan bantuan. Perkumpulan
sosial pun kini berubah fungsinya, yang awalnya menjadi wadah untuk
menampung aspirasi masyarakat, kini menjadi penyalur dari berbagai bantuan
yang ada. Dalam situasi seperti ini diketahui bahwa partisipasi masyarakat dalam
perkumpulan sosial merupakan hal yang semu atau tidak dalam kondisi ideal.
Tokoh utama yang mengisi pemerintahan desa tak lain ialah tokoh lama
yang masih tertambat dengan nilai tradisional. Dalam konteks ini nilai tradisional
terlihat pada etnisitas kesundaan serta keterkaitan keturunan dengan keluarga
26 Wawancara dengan Pak Sutisna Kades Rintis tanggal 3 April 2013.
Universitas Indonesia
97
mandor di masa perkebunan karet. Di sisi lain, muncul juga para tokoh-tokoh
baru yang memiliki syarat pendidikan minimal ataupun yang memang memiliki
pengalaman serta kecakapan dalam bersosialisasi. Dengan demikian, maka
muncullah elit-elit baru di desa Rintis, yang selama ini tidak memiliki ikatan
dengan otortitas tradisional sebelumnya. Pada konteks inilah, para elit-elit baru
pun bersaing untuk mendapatkan akses seluas-luasnya ke negara. Di sisi lain,
para anggota perkumpulan juga memanfaatkan perkumpulan sosial dalam upaya
memperoleh keuntungan pribadi semata. Kondisi inilah yang menyebabkan
kekacauan sosial pada masyarakat Rintis.
Dalam bab selanjutnya, akan dibahas lebih jauh mengenai eksistensi
perkumpulan sosial dilihat dari modal sosialnya. Lebih lanjut, akan diuraikan
bagaimana peran yang cukup dominan pada beberapa perkumpulan sosial di
Desa Rintis. Mereka ialah yang secara pribadi memiliki modal simbolik yang lebih
dibandingkan dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam kondisi seperti ini,
modal sosial dioptimalisasi oleh para pemimpin perkumpulan sosial pada elemen
linking, sedangkan bonding dan bridging tidak mendapatkan perhatian yang
serius.
Universitas Indonesia
98
BAB IVOptimalisasi Linking: Dinamika Modal Sosial
dalam Perkumpulan Sosial
A. PengantarBab sebelumnya menjelaskan kehadiran negara telah banyak mengubah
kehidupan masyarakat Rintis. Salah satunya ialah dengan semakin banyaknya
perkumpulan sosial yang ada. Eksistensi perkumpulan sosial di Desa Rintis pun
beragam, ada yang aktif, ada yang pasif, dan ada pula yang diantara keduanya.
Olehkarenanya, dalam bab ini akan dibahas bagaimana performa perkumpulan
sosial di Rintis. Diskusi dalam bab ini akan menjelaskan eksistensi perkumpulan
sosial dalam kaitannya dengan teori modal sosial, terutama dengan
menggunakan analisas jaringan.
Szreter (2002) menjelaskan bagaimana jaringan berpengaruh terhadap
performa pada suatu perkumpulan sosial. Jaringan ini dibedakan menjadi tiga
level, yaitu level bonding, bridging, dan linking. Menurut, Szerter, bonding
ditandai dengan adanya hubungan sosial yang dekat dan relatif stabil di dalam
sebuah kelompok karena keanggotaannya didasarkan pada kesamaan ciri-ciri
sosial yang dapat terwujud seperti; etnis, wilayah bahasa, kedekatan tempat
tinggal atau agama. Sebaliknya, bridging merupakan hubungan sosial yang
terbuka berdasarkan keanggotaan yang heterogen, dan linking menunjukkan
relasi yang menghubungkan antara kelompok sosial dan kebijakan negara.
Jejaring perkumpulan sosial yang baik ditandai dengan keseimbangan antara
ketiga dimensi tersebut.
Bab ini akan mendeskripsikan bagaimana dinamika bonding, bridging,
dan linking di dalam perkumpulan sosial di Desa Rintis.Diketahui, di dalam
perkumpulan sosial di Desa Rintis, linking memainkan peran utama dalam
perkembangan modal sosial. Hal ini dipahami karena pada perkumpulan sosial
yang ada perannya lebih banyak didominasi oleh tokoh, yang tak lain ialah ketua
dari perkumpulan sosial tersebut. Mereka berupaya untuk mengoptimalisasi
linking, karena pada sisi lain negara hadir dengan menyediakan sumber daya
yang berpotensi memberikan modal ekonomi sekaligus modal simbolik. Di sisi
lain, para anggota perkumpulan sosial pun menjadi anggota dan terlibat dalam
perkumpulan sosial dalam memperoleh keuntungan yang sama. Kondisi ini
98
Universitas Indonesia
99
menyebabkan perkumpulan sosial yang ada tidak begitu baik dalam sisi bonding
dan bridging.
B. Kontestasi diantara Elit BaruSemakin banyaknya perkumpulan sosial di Desa Rintis, tentunya juga
memunculkan tokoh-tokoh baru. Ketokohan mereka terutama terbentuk karena
menjabat dalam suatu perkumpulan sosial. Naiknya mereka menjadi pemimpin
dalam suatu perkumpulan sosial pun kini bukan didasarkan atas karisma,
ataupun kedekatan dengan masyarakat. Namun, sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya legitimasi itu ialah ijazah pendidikan formal, walaupun
hanya kesetaraan, serta kedekatanya dengan Tarempa.
Kedekatan dengan Tarempa dinilai terutama melalui jalur politik. Banyak
juga sekelompok warga desa Rintis yang memanfaatkan momen Pilkada untuk
mendapatkan keuntungan pribadi. Dengan berbekal pengalaman pemilihan
langsung sebelumnya, mereka banyak memanfaatkan para calon legislatif baik di
tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional serta calon bupati untuk
menyumbangkan beberapa uang kampanyenya untuk memobiilisasi masa serta
untuk membangun fasilitas publik seperti surau dan rumah sehat. Namun, nyata-
nyata suara dari desa Rintis tidak bulat mendukung pada calon yang telah
dijanjikannya itu. Hal ini menyebabkan Desa Rintis sudah diberikan lebel yang
buruk bagi para politisi. Mereka sadar telah dipermainkan oleh para warga
dengan habisnya dana kampanye namun suara yang diharapkan tidak
memenuhi capaian. “Ya jadinya desa kami beginilah, banyak pembangunan yang
tersendat. Desa (pembentukannya) saja tidak ada kejelasan. Ini karena banyak
anggota dewan yang kesal dengan masyarakat di sini” ujar Nus salah satu tokoh
pemuda desa Rintis.
Kini pun, Pak Parjo yang menjabat sebagai ketua PAC (Pengurus Anak
Cabang) salah satu partai, karena keterlibatannya di dalam BP2KKA. Selain
sebagai ketua partai tingat kecamatan, ia juga merupakan ketua kelompok tani
Tunas Muda I, serta menjadi ketua masjid di Desa Rintis. Relasi dalam dunia
kepartaian yang sangat transaksional sudah terbaca oleh warga Rintis. Oleh
karenanya, sebagai orang lokal ia pun sangat hati-hati beraktifitas di ranah politik
praktis di desa. Selama ini ia hanya memasang atribut partai di banyak tempat
dan membantu kegiatan sepak bola ala kadarnya. Kegiatan-kegiatan sosial
dalam bentuk pemberian santunan ataupun bantuan kepada komunitas belum
Universitas Indonesia
100
banyak dilaksanakan. Ia lebih banyak beraktifitas dalam organisasinya yang lain,
seperti kelompok tani, masjid, dan juga sebagai pengajar TPA (Taman
Pendidikan Al-Quran). Kemungkinan, dengan segala pertimbangan yang
rasional, ia akan banyak berperan di partai politik menjelang pemilu yang akan
diselenggarakan tahun depan.
Selain melalui jalur politik praktis, relasi dengan Tarempa juga dapat
dibangun dengan perkumpulan sosial yang ada. Hal ini dipahami karena,
Pemkab dengan berbagai SKPD-nya menerima setiap ajuan proposal yang
diajukan oleh warga melalui perkumpulan sosial itu. Selain itu, walaupun tidak
mengajukan beberapa perkumpulan sosial juga mendapatkan bantuan rutin dari
Pemkab. Dalam konteks ini, pemimpin masyarakat pada level RT, RW, dusun
pun mendapat kritikan yang sangat tajam. Terutama terkait kinerja mereka yang
tidak optimal. Sebagian ketua RT/RW ataupun kadus, kini disibukan dengan
urusannya semata, karena mereka sebagian besar merupakan pekerja informal.
Jika tidak mendapatkan keuntungan, seperti mengurusi jual-beli tanah dan
sebagainya mereka tidak ingin terlibat jauh dalam situasi itu.
Mengenai kondisi perpolitikan yang tidak sehat ini, para tetua dari Desa
Rintis pun sudah ‘gerah’ dengan kondisi yang ada. Namun apa daya, perubahan
zaman tidak lagi mampu dibendung, apalagi kebanyakan para tetua tersebut
banyak yang mengakui kelemahan karena tidak bersekolah. Mereka
mengeluhkan dengan situasi yang semakin berkembang kini ternyata para ketua
RT/RW yang mendapatkan gaji dari Pemda tersebut tidak banyak
mendatangakan perubahan yang signifikan terhadap kesejahtaraan masyarakat,
padahal letak kantor Bupati hanya sekitar 4 Km dari pemukiman Desa Rintis.
Pada saat, pimpinan RT/RW yang banyak tidak bersekolah dan tidak
mendapatkan bantuan honor dari Pemda terkait, dengan merasa
bertanggungjawab atas tugas para tetua Desa Rintis merasa perjuangan mereka
lebih baik dari pada para pimpinan RT/RW dan Desa sekarang ini. Pak Arta yang
telah menjadi salah satu ketua RT di Desa Rintis mengatakan:
“Dulu saja waktu masih Pemda di Ranai, kita berusaha keras untuk mendapatkanbantuan PNPM. Itu tidak sekali dua kali langsung dapat. Dan akhirnya kita dapatbantuan bangunan pertemuan PNPM dan juga WC umum di Hulu (Rintis Hulu).Sekarang ini mana ada RT- RW yang bisa mendapatkan program, padahalPemda sekarang di sini.” (wawancara dengan Bapak Arta tanggal 8 April 2013)
Dalam suatu kesempatan, Ibu Isye dalam kegiatan PKBM sedang
melakukan kegiatan pelatihan menjahit atas bantuan dari dinas perindustrian dan
Universitas Indonesia
101
perdagangan kab kep Anambas. Karena gedung PKBM pada waktu itu belum
selesai dibangun, ia pun menggunakan gedung PNPM yang pada waktu itu juga
menjadi kantor desa, karena kantor desa belum dibuat. Karena, alasan tidak
melapor atau izin ke pada RT-RW terkait, maka para elit-elit baru ini pun
memaksa untuk membubarkan kegiatan, ataupun mengusir mereka dari gedung
tersebut. Seketika, kegiatan pun dipindahkan ke kediaman pribadi Ibu Isye.
Peristiwa tersebut menjadi suatu penanda baru, bagaimana para ketua RT/RW
pada saat itu merasa memiliki kekuatan formal. Padahal sebagian besar RT/RW
pada waktu itu merupakan lulusan yang diselenggarakan oleh PKBM Kurnia.
Kondisi ini bisa dipahami karena, adanya kecemburuan warga atas bantuan yang
ada. Mereka menganggap bahwa atas bantuan tersebut minimal mereka
dilibatkan ataupun mendapatkan bagian atas itu. Alasan tersebut dirasa sangat
logis, karena jika hanya ingin melakukan tes kekuatan (exercise of power)
tentunya mereka tidak akan sampai melakukan itu, karena sebagian besar
peserta merupakan tetangga bahkan saudaranya sendiri.
Dalam kegiatan PKK yang lain juga, selalu ada batas antara anggota
yang bermukim di dusun atas dan juga dusun bawah. Hal ini dipahami karena
dalam banyak kegiatan mereka memiliki arena yang berbeda. Sampai dengan
adanya pemekaran desa, sinergi dalam PKK Desa Rintis belum bisa terlihat.
Saat dilangsungkan rapat pembentukan PKK desa sempat terjadi pro-kontra
diantara mereka. Pembentukan PPK desa yang diselenggarakan di rumah
kepala desa dianggap tidak tidak mewakili semua kelompok. Padahal dalam
pembentukan tersebut semua peserta rapat sudah menyetujui setiap keputusan
yang ada.
Pembentukan PKK desa didasari karena adanya surat dari PKK
Kabupetan Kep Anambas pada pertengahan tahun 2012. Sejak surat itu diterima
oleh istri dari kepala desa, maka dibuatlah rapat pembentukan dengan
menggundang semua ibu-ibu dari berbagai elemen. Dalam proses rapat yang
dibantu oleh Ibu Isye, terbentuklah struktur kepengurusan yang sudah disetujui
oleh semua peserta rapat. Setelah terbentuk, maka mereka siap untuk ditinjau
oleh pengurus PKK tingkat kabupaten. Beberapa hari kemudian maka
dilangsungkanlah acara untuk menyambut tim peninjau tersebut yang
diselenggarakan di gedung PKBM Kurnia. Dalam acara tersebut, Ibu Yani yang
merupakan salah satu pejabat pada salah satu SKPD di Tarempa pada acara
tersebut melancarkan protes. Protes itu ditujukan ke Ibu Isye yang
Universitas Indonesia
102
dianggapnyamendominasi dalam pembentukan kepengurusan tersebut. Hal ini
terjadi karena ia tidak hadir dalam pembentukan yang dilaksanakan beberapa
hari sebelumnya. Dengan adanya peristiwa tersebut struktur kepengurusan pun
diubah, walaupun sesungguhnya tidak ada perubahan yang berarti.
Hubungan antar kelompok tani pun ternyata juga penuh diwarnai
persaingan antar elit-elit yang ada. Awalnya kelompok tani di desa Rintis cukup
banyak anggotanya, karena sebagian besar warga berprofesi sebagai petani.
Namun, masalah muncul ketika ada pergantian ketua, yang dianggap bukanlah
orang yang fokus terhadap pertanian. Selanjutnya, karena adanya program
bantuan untuk bidang pertanian dari Premier Oil maka diutuslah pendamping
beserta bantuan modal dan pupuk. Sayangnya, menurut sebagian besar warga
pendamping tani yang diutus oleh Premier Oil malah berkomplot dengan ketua
kelompok petani yang baru dengan menjual bibit tersebut tidak jauh dengan
harga pasaran. Peristiwa tersebut semakin diperjelas dengan dana bantuan
modal yang sedianya diberikan kepada petani, malah secara sepihak dijadikan
modal oleh ketua kelompok tani untuk pembuatan koperasi petani di Desa Rintis.
Kecewa atas sikap itu, akhirnya sebagian besar kelompok tani pun memutuskan
untuk keluar dari pertanian dengan kata lain tidak mengakui keberadaan
koperasi pertanian tersebut.
Namun setelah dikonformasi, ketua kelompok tani dari Batu Tambun
mengatakan sebaliknya. Pak Umar mengatakan bahwa telah banyak program
pemberdayaan yang diselenggarakan di Gudang tengah sejak lama namun tidak
pernah nyata hasilnya. Olehkarenya, ia pesimis akan kemajuan gudang tengah
walau akan banyak program pemberdayaan yang akan diselenggarakan di sana.
Dia melanjutkan pembuatan koperasi yang diinisiasi langsung olehnya,
sebetulnya ingin bertujuan untuk memajukan kesejahteraan bersama.
Menurutnya, sebagai buktinya keseriusan koperasi diperuntukan kepentingan
bersama ialah ada peserta juga yang diundang dari kecamatan lain juga hadir,
sedangkan dari gudang tengah yang dekat tidak mau hadir. Selanjutnya, Pak
Umar mengatakan:
“dari hasil studi banding kemarin, akhirnya kami membentuk koperasi Tani danaawalnya itu didanai oleh premier Oil. Alhamdulillah sekarang kita ini sudah punyapengolahan kompos dapat mesinnya tahun 2012 sampai sekarang ini . ya kalaukoperasi ini menampung hasil pertanian dari anggota lalu kita pasarkan. lalumodalnya karena masih sedikit ada juga kita gulirkan untuk simpan pinjam, tapimaksimal warga bisa memenjam hanya 1,5 juta. aktifitasnya yang utama ya dua,penyedian pembibitan dan simpan pinjam untuk kebutuhan rumah tangga. walau
Universitas Indonesia
103
sebenarnya itu bertantangan dengan aturan koperasi tani, tapi ya kan tujuankoperasi itu untuk menyejahterakan anggotanya ya kita tidak ikut aturan sayarasa tidak apa. ya kalau hubungan dengan kelompok tani di rintis sebenarnyatidak ada masalah, tapi karena mereka prinsipnya tidak mau kerja sama karenagengsi. padahal kalau dapat bantuan apa saja saya bagi. karena untuk dapatbantuan itukan perlu skill, kalau tidak diurus, kita harus bawel tanyakan terus,bahkan kalau perlu jika tidak dapat kita protes. sempat juga ada bantuan 50 jutadari premier oil untuk koperasi tani, mereka minta juga tapi karena mereka tidakbisa membentuk ya akhirnya ditarik, ke kopreasi kita. tapi tidak semuanyabebentuk uang ada juga bantuan berbentuk barang”. (wawancara tanggal 6 April2013)
Selanjutnya, kasus yang memicu konflik tersebut makin membesar
adalah adanya pembukaan pelatihan pertanian oleh Premier Oil yang
diselenggarakan di gedung PKMB Kurnia. Ketua kelompok tani yang merupakan
warga kampung Batu Tambun dianggap kurang kordinasi dengan para petani
dan juga masyarakat di kampung gudang tengah. Pelaksanaan pelatihan yang
kabarnya mendapat dana teknis dari Perusahaan ternyata tidak dibayarkan oleh
para pekerja teknis yang semuanya adalah warga gudang tengah. Parahnya,
setelah selesai pembukaan, gedung PKBM dibiarkan kotor dan perlengkapan
banyak yang tidak dikembalikan ke tempatnya bahkan rusak.
Gambar 7Papan Nama Koperasi Pertanian
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Kondisi polaritas antara dusun atas dan dusun bawah pun semakin
menguat setelah pelatihan menetaskan telur yang difasilitasi oleh Premier Oil
diselenggarakan di rumah Pak Umar sebagai ketua kelompok taninya yang
Universitas Indonesia
104
tinggal di Batu Tambun. Warga yang tinggal di Gudang Tengah pun meresa
enggan untuk berpartisipasi, mereka mengeluhkan kenapa ada tempat umum
seperti PKMB, tetapi penyelenggaraan penetasan telur malah diselenggarakan di
rumah pribadi. Konflik pun sampai pada klimaksnya ketika, ada fasliator asal
Joglo Tani (Yogyakarta) yang disponsori oleh Premier Oil, yang seharusnya
memberikan penyuluhan dan pendampingan kepada kelompok tani Desa Rintis,
kini harus membagi jatah kepada ke dua kelompok tani yang berasal dari dua
kampung tersebut.
Dalam ketegangan ini, sesungguhnya para anggota kelompok tani tidak
begitu mengetahui permasalahan yang ada. Buktinya, ketegangan itu pun tidak
sampai berlaut-larut, karena memang kepentingan mereka ialah untuk
mendapatkan bantuan dari negara melalui perkumpulan sosial yang ada.
Perseteruan ini terutama terjadi karena adanya persaingan dalam mendapatkan
bantuan oleh para elit yang menjadi ketua kelompok tani.
C. Optimalisasi Linking: Profil Tiga Orang Ketua Perkumpulan SosialDesa Rintis kini menjadi arena bagi para elit baru dalam
mengekspresikan aktivitasnya, terutama melalui perkumpulan sosial. Jika
diidentifikasi, terdapat tiga elit baru yang muncul di Desa Rintis. Ketiga elit baru
ini bukan merupakan bagian dari keluarga Gudang Tengah yang kini berada
pada puncak kekuasaan di Desa Rintis. Mereka berasal dari latar belakang yang
berbeda namun memiliki orientasi yang sama dalam menggerakan perkumpulan
sosial yang mereka kelola di Desa Rintis.
Tabel 8Peran Aktor dalam Perkumpulan Sosial
Aktor Pekumpulan sos Jabatan lain Sumber BantuanIbu Isye (60tahun)
PKBM Kurnia Ketua HIMPAUDIAnambas;Wakil ketua II PKKAnambas
Disperindag kab, IstriBupati, Premier OilDisdikbud provinsi, NGOAsing
Pak Umar(61 tahun)
Poktan SepakatJaya;Koperasi SepakatJaya;Perempuan tani
Ketua PAC PartaiDemokrat Kec Siantan;Anggota BP2KKA
Distan kab, PartaiDemokrat, Premier Oil
Sumber: Diolah dari data penelitian
Universitas Indonesia
105
Kemudian,ketiga aktor ini juga memiliki kesamaan pada tingkat usia,
merekasudah berusia paruh baya. Hal ini dipahami karena, sebagian generasi
muda baik yang bekerja pada ruang informal maupun formal, masih berorientasi
untuk mengejar peningkatan kesejahteraan keluarga. Selain karena kekosongan
generasi muda yang berinisiatif untuk menggerakan perkumpulan sosial, mereka
juga memiliki kelebihan pada sisi pengalaman, baik lokal maupun nasional. Tabel
8 di atas ini menjelaskan profil masing-masing aktor baik perannya ditingkat
Desa Rintis maupun di Kabupaten Kepulauan Anambas.
Tokoh pertama ialah Ibu Isye, nenek berusia 60 tahun ini memiliki darah
Sunda, namun sejak kecil sudah tinggal di Tarempa. Sebelumnya aktifitas
utamanya ialah berdagang pakain di salah pasar di Tarempa. Selain sebagai
pedagang yang sukses, ia juga memiliki panti asuhan yang dibuat bersebelahan
dengan toko pakaiannya. Panti Asuhan ini ditujukan bagi para pelajar yang
bersekolah pada tingkat SMP sampai SMA. Hal ini dipahami karena pada masa
itu, SMP dan SMA masih sangat jarang ada, sehingga mereka membutuhkan
tempat untuk tinggal untuk bersekolah. Lokasi rumah mereka dari sekolah cukup
jauh, bahkan sebagian besar membutuhkan transportasi laut untuk menuju
sekolah. Panti Asuhan itu akhirnya dilegalkan dengan nama Yayasan Al
Muhajirin, yang juga menjadi cikal bakal dari PKBM Kurnia. Pada tahun 2005, ia
membuka PAUD yang pertama di Tarempa, dan kemudian dilanjutkan untuk
membuka PAUD kedua di Desa Rintis.
Keaktifannya di dalam dunia sosial kemasyarakatan, membuatnya cukup
dikenal di Tarempa. Sehingga dalam banyak kegiatan ia dapat berjumpa dengan
orang-orang yang memiliki posisi strategis baik di pemerintahan maupun di
perusahaan. Sejak awal terbentuknya Kab. Kep Anambas, beliau sudah
digandeng Ibu Bupati untuk membentuk PKK yang sampai kini ia masih duduk
sebagai Ketua II di institusi itu. Bahkan, dalam aktifitasnya di PKK ia pernah
mengalami kecelakaan laut yang parah, yang berujung pada meninggalnya
beberapa rombongan dan hilangnya istri Bupati sampai saat ini.27 Ia merupakan
salah satu korban selamat, walaupun ia mengalami banyak luka bakar yang
masih berbekas sampai saat ini.
Kecelakaan yang dialami oleh Ibu Isye itu tidak membuatnya berhenti
dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Baru-baru ini pada tahun 2013, ia terpilih
untuk menjadi ketua umum HIMPAUDI (himpunan pendidik anak usia dini
27 lebih jelas dapat dilihat pada halaman 54.
Universitas Indonesia
106
seluruh Indonesia) untuk di tingkat Kab Kep Anambas. Hal ini dipahami karena
reputasi Ibu Isye yang dikenal cukup serius mengurusi PAUD, ia pun dikenal
sebagai pelopor PAUD di kabuaten baru itu. Sehingga dalam pemilihan ketua
yang di dilaksanakan pada bulan April 2013 itu, ia terpilih secara aklamasi dan
mendapatkan dukungan penuh dari peserta musyawarah daerah.
Reputasinya dibidang sosial ternyata tidak sejalan dengan kondisi
keluarganya. Di Rintis, ia kini tinggal tidak bersama keluarganya agar dapat
menghindari suaminya kerap melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Rintis
bukan hanya menjadi sarana aktualisasinya dalam berkatifitas sosial, namun
juga bagian dari upayanya untuk menenangkan diri. Latar belakang etnis Sunda
yang masih melekat pada dirinya menyebabkan ia diterima dengan baik di Rintis,
dan ia merupakan salah satu pendatang yang pertama di Desa Rintis. Di
kediamannya, Ibu Isye juga tinggal bersama orang-orang yang kurang
beruntung karena tidak memiliki rumah yang layak. Namun, kini dengan adanya
bantuan bedah rumah dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, mereka masing-
masing sudah tinggal di rumah barunya itu.
Gambar 8Aktifitas Pelatihan PKBM Kurnia bersama BF
Sumber: Dokumentasi Carol
Selain karena kelengkapan legalitas dari perkumpulan sosialnya,
reputasinya yang cukup kuat dalam mengurusi perkumpulan sosial
menyebebakan banyak instansi yang ingin bekerjasama degan PKBM Kurnia.
Sebagaimana yang sudah dilaskan sebelumnya, ia mendapat banyak bantuan
dari SKPD di Kab Anambas, Dinas Pendidikan Provinsi Kepri, dan juga
Universitas Indonesia
107
perusahaan minyak. Bahkan dalam suatu kesempatan, PKBM Kurnia telah
menjalin kerjasama dengan salah satu NGO Internasional yaitu Biosphere
Foundation (BF). NGO ini bekerja sama untuk melakukan pelatihan pemanfaatan
sampah pelastik untuk dijadikan bahan-bahan bernilai guna bahkan bernilai jual
(lihat gambar 9). Dalam waktu dekat, PKBM Kurnia juga akan mendapatkan
bantuan bangunan TK dari dinas pendidikan Provinsi Kepri. Selain itu, ia juga
sudah menyiapkan rumah di dekat kediamannya untuk pelatihan membuat batik
cual, batik khas anambas. Program ini merupakan program ibu bupati Anambas
yang memilih ibu Isye sebagai pengelolanya.
Mendapatkan bantuan dari berbagai instansi bukan berarti semakin
membuat ia sejahtera. Dalam banyak kegiatan, ia kerap kali menggeluarkan
kocek pribadinya. Hal ini tidak banyak diketahui oleh banyak orang, karena
sebagian besar orang menganggap bahwa dari begitu banyak bantuan sarana
dan prasarana serta program pelatihan ia pun mendapatkan keuntungan
ekonomis atas itu. Mengenai hal ini ia berkomentar“ya iya, emak kan dulu
dagang, lumayan sukeslah. waktu itu ada uang 500 juta lebih, emak depositoin di
Bank. sekarang kalau anak-anak tanya itu uang ke mana aja kok abis. mak
bilang aka dikasih-kasih ke orang”.28 Dengan demikian, diketahui bahwa kegiatan
sosial sesungguhnya malah membuat dirinya rugi secara ekonomi. Namun,
dengan kondisi anak-anaknya yang kini sudah mendapatkan berbagai posisi
strategis di Tarempa, ia tidak perlu lagi berfikir banyak untuk kebutuhan
ekonominya. Menurutnya, aktifitas sosialnya itu tidak boleh berhenti walaupun ia
sudah tua dan kini memiliki kekurangan akibat kecelakaan, karena itu merupakan
kewajiban dan juga panggilan jiwa.
Tokoh kedua ialah Pak Umar. Kakek berusia 61 tahun ini kelahiran
Tarempa dari orang tua yang merupakan buruh pekebunan asal Rangkas Bitung,
Banten. Namun, karena istrinya berasal dari etnis Jawa, maka kebantenanya pun
tidak begitu nampak. Di masa mudanya, ia terlibat aktif untuk membangun surau
di wilayah Rintis yang kini berada di wilayah dusun bawah. Ia tidak banyak
bercerita mengenai kehidupan pribadinya. Walaupun begitu, ia menyadari bahwa
sudah cukup lama ia berhenti mengurusi masyarakat dan baru kali ini ia mulai
banyak aktif di dalam kegiatan sosial. Ia menjelaskan bahwa dirinya kerap
ditawari untuk terlibat untuk menjadi ketua RT, RW dan juga di tingkat dusun,
namun ia menolak tawaran itu. Kini selain aktif mengurusi kelompok tani, ia juga
28 Wawancara dengan Ibu Isye tanggal 6 April 2013
Universitas Indonesia
108
dipercaya untuk menjadi pengurus Babul Akhirat, yaitu lembaga yang mengurusi
anggota masyarakat yang meninggal dunia yang kini juga dbantu dengan adanya
bantuan dari pemerintah daerah, baik santunan maupun perlengkapan
upacaranya.
Sebagai warga Rintis, ia pun bekerja sebagaimana pada umumnya yaitu
sebagai pencari karet. Keluarganya pun seperti keluarga lainnya di desa Rintis.
Sebagaimana Ibu Isye, ternyata Pak Umar pun sempat memiliki masalah di
internal keluarganya. Istrinya pergi meninggalkannya beserta anak-anaknya. Tak
ingin terlalu larut dengan masalah itu, ia pun menikah lagi. Dengan istrinya yang
baru ini, ia mulai merancang bisnis keluarga, yang sampai saat ini jiwa bisnis
masih sangat terlihat pada dirinya.
Kesibukan Pak Umar sebelum aktif sebagai ketua kelompok tani ialah
mengurus bisnis keluarga. Di rumahnya, ia memiliki warung makanan yang
menyuplai kebutuhan makan bagi warga Tarempa. Dengan usaha itu, ia menjadi
salah satu pengusaha yang sukses karena minimnya pesaing di masa itu.
Namun kini dengan berkembangnya ruang ekonomi informal, pebisnis makanan
semakin banyak dan beragam. Lokasi rumahnya yang lumanyan jauh, membuat
kedainya tidak lagi diminati oleh banyak pelanggannnya. Kini ia tidak lagi
membuka bisnis makanan secara terbuka, namun masih kerap menerima
pesanan dari berbagai pihak jika ada yang membutuhkan. Sampai sekarang istri
beliau pun masih mengurusi bisnis sebagai penjahit yang menerima order
pembuatan pakaian dari masyarakat.
Di rumahnya, Pak Umar memilihara sapi dalam jumlah yang cukup
banyak. Namun berbeda dengan pola pemeliharaan yang biasa dilakoni warga di
Desa Rintis. Halaman rumahnya yang sangat luas dijadikan sebagai arena sapi
untuk mencari makan, sehingga sapi-sapinya tidak dibiarkan berkeliaran jauh.
Setiap dijumpai di rumahnya, ia selalu mengurusi hewan ternaknya itu.
Sepertinya, mengurusi sapi menjadi aktifitas utamanya, selain mengurusi
perkumpulan perkumpulan sosial yang dikelolanya.
Semenjak tidak lagi menggeluti dunia bisnis, pada tahun 2010 ia
mendirikan kelompok tani Sepakat Jaya. Hal ini dirasa sangat aneh oleh
sebagian warga, karena memang ia tidak memiliki latar belakang sebagai petani.
Namun, kelompok tani ini ia garap serius kelembagaanya, bahkan ia kini juga
mendirikan koperasi petani dan juga kelompok wanita tani pada tahun 2013.
Setiap kegiatannya di dalam kelompok tani menurutnya terinspirasi dari
Universitas Indonesia
109
perjalannaya ke berbagai tempat di Indonesia. Misalnya, untuk pembentukan
koperasi tani, ia terinspirasi dari studi banding ke Yogyakarta yang pada waktu
itu dibiayai oleh dinas Pertanian Kab Kep Anambas.
Keseriusan Pak Umar dalam menggarap kelompok tani lebih tinggi
dibandingkan dengan ketua kelompok yang lain. Mesin kompos yang pada
kelompok tani lain sudah rusak, dengan pengelolaanya sampai saat ini masih
mesin itu dapat digunakan dengan baik. Hal ini dikerenakan setiap fasilitas yang
didapatkan dari berbagai instansi dioprasionalkan di rumahnya. Rumahnya
merupakan sentral dari kegiatan-kegiatan kelompok tani yang ada. Rapat,
pertemuan kelompok, selalu diadakan di rumahnya. Selain itu, sekretariat
koperasi juga ada di rumah beliau itu.
Ia pun sangat bersyukur, dengan terbentuknya kabupaten ia dapat
melakukan perjalanan ke banyak tempat. “Padahal dulu mimpi saja tidak pernah
saya bisa naik pesawat, tapi alhamdulillah sekarang ini lumayan sudah beberapa
kali, kemungkinan besok acara pekan nasional KTNA di Surabaya saya
ikut”29ujarnya mengenai aktifitas barunya itu. Kecakapanya berbicara
membuatnya dipercaya untuk duduk sebagai pengurus KTNA (Kelompok Tani
dan Nelayan Andalan) yang juga memiliki kepengurusan sampai tingkat pusat.
Hal ini dipahami karena tidak semua orang di Desa Rintis memiliki kemampuan
berbicara di forum terbuka.
Pak Umar kini sedang mengalami ketidakpercayaan yang tinggi atas
kinerja dari Pemkab Kep Anambas, terutama oleh dinas yang berkaitan
dengannya. Hal ini menyebabkan ia mulai berganti orientasi untuk menggerakan
perkumpulan sosialnya. Belakangan ia mendapat bantuan dari dinas pertanian
provinsi kepri berupa dana bergulir untuk kelompok wanita tani. Bantuan inilah
yang menjadi dasar dari pembentukan kelompok wanita tani sepakat jaya.
Kemudian ia juga pernah mendapatkan bantuan dari Premier Oil dan juga
Koarmabar Angkatan Laut. Walaupun begitu, kelompok taninya masih mendapat
bantuan rutin dari dinas pertanian kab kep Anambas berupa perlengkapan
pertanian.
Tokoh ketiga ialah Pak Parjo. Pria berusia 48 tahun ini menggeluti dunia
pertanian sejak muda. Meskipun ia sempat bekerja sebagai buruh bangunan, ia
tetap memilih sebagai petani. Menurutnya, dengan bekerja sebagai petani ia bisa
bebas dan merdeka. Dalam artian, ia tidak berkerja atas tekanan dari atasan.
29 Wawancara dengan Bapak Umar tanggal 6 April 2013.
Universitas Indonesia
110
Selain itu, ia pun sangat menyadari bahwa penghasilan sebagai petani di
Anambas tidak kalah dengan pekerjaan lain, jika ditekuni dengan serius.
Ia memiliki dua anak, yang kecil masih bersekolah dan yang besar sudah
bekerja sebagai guru. Selain sebagai petani, ia dan istri setiap dua hari dalam
seminggu ia mengajar mengaji di sebuah surau di Kampung Rintis Hulu. Sebagai
ketua masjid desa, setiap solat magrib dan isya ia selalu tunaikan di masjid yang
tidak begitu jauh dari rumahnya yang juga berada di Kampung Gudang Tengah.
Sebagai seorang petani, Pak Parjo yang merupakan warga asli Rintis keturunan
Rangkas tidak begitu banyak bergaul dengan warga kecuali pada waktu solat di
masjid.
Pak Parjo termasuk salah satu orang yang memiliki kecakapan dalam
berbicara, walaupun sesungguhnya ia pun tidak bersekolah formal. Potensi ini
didapatkanya dari aktifitasnya dulu yang kerap mengikuti kejuaraan pembacaan
ayat suci Al-Quran di tingkat kecamatan. Karena sesungguhnya tidak banyak,
warga Rintis yang memiliki keahlian dalam berbicara, ia pun terlibat aktif mewakili
masyarakat Rintis di BP2KKA untuk memperjuangkan pemekaran kabupaten.
Walaupun sudah memiliki posisi sebagai ketua tani, ia kerap
mencalonkan diri dalam berbagai kesempatan. Saat Rintis belum berbentuk desa
ia pernah mencalonkan RT, RW, dan belum lama ia mencalonkan diri sebagai
kepala dusun. Namun, dalam dari momen itu dia belum dipercaya warga untuk
duduk sebagai ketua di tingkat perkumpulan ketetanggan. Kini semenjak tahun
2013, ia menjabat sebagai ketua PAC Partai Demokrat di kecamatan Siantan.
Mengenai keterlibatanya ini ia mengatakan “saya ikut partai ini karena saya tau
yang saya mau dukung ini orang bagus, dia dulu yang memperjuangkan
Anambas ini”. Namun mengenai kesertaanya dalam partai tidak banyak yang
merspon positif, malah cenderung sebaliknya.
Kegagalannya dalam banyak momen politik, menurut warga karena ia
sudah paham betul karakter Pak Parjo dalam perkumpulan sosial. Ia bahkan
mendapatkan julukan “Mansur” yang artinya makan seorangan, atau dimakan
sendiri. Atau dengan kata lain, ia sudah memiliki jejak rekam yang buruk dimata
masyarakat, sehingga ia tidak diberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin
masyarakat. Dipilihnya Pak Parjo sebagai ketua masjid pun dikarenakan
sebagian besar warga Rintis tidak bisa menjadi imam dalam sholat berjamaah di
Masjid.
Universitas Indonesia
111
Jika dua tokoh sebelumnya fokus pada bidangnya masing-masing. Tokoh
terakhir ini memang cendrung tak memiliki fokus di dalam perkumpulan sosial
yang dikelolanya. Fenomena ini menarik dicermati karena memang Pak Parjo
merupakan tokoh yang bisa dibilang oportunistik. Ia selalu menggambil
kesempatan yang ada, dalam upaya meningkatkan perannya di dalam
masyarakat. Labelisasi negatif dari masyarakat cendrung kuat ke Pak Parjo,
walaupun juga pada dua tokoh yang sebelumnya juga ada. Hal ini disebabkan
tidak adanya keseriusan dalam mengelola perkumpulan. Misalnya, dalam
kelompok tani Tunas Muda I yang dikelolanya, mesin kompos yang didapatkan
dari perusahaan minyak tidak dikelola dengan baik, malah cendrung dibiarkan
rusak.
Walaupun begitu, ia tetap memaksimalisasi relasinya dengan Tarempa.
Misalnya dikalangan birokrasi dinas Pertanian, Pak Parjo lebih dikenal
akomodatif dibandingkan Pak Umar yang kerap melancarkan protes ke sana.
Apalagi, jika ditinjau dari segi hasil pertanian, kelompok tani yang dipimpin oleh
Pak Parjo lebih produktif. Hal ini dikarenakan ketersediaan lahan yang masih
luas dan juga masih ada beberapa orang yang memang fokus untuk bertani.
Besarnya hasil produksi pertanian ini menjadi alat perekat ia dengan Pemkab,
walaupun sesungguhnya tidak ada peranan yang signifikan dari kelompok tani.
Kini dengan menjabat sebagai petinggi di salah satu partai, dalam banyak
kesempatan ia selalu menjadi tujuan warga meminta dana untuk kegiatan sosial.
Misalnya dalam sebuah kejuaraan sepak bola yang membutuhkan ongkos
transportasi ia pun menyumbangkan dananya untuk kegiatan tersebut. Mengenai
hal ini Pak Saipur yang mengelola kegatan sepak bola mengatakan “ya waktu
kompetisi kemarin pialanya kita serahkan ke Pak Parjo, karena dia yang
membantu pendanaan tim kita”. Selain itu juga, dalam kegiatan hari jadi
Paguyuban Pasundan yang dilaksanakan di Desa Rintis, ia pun ambil bagian
untuk mendukung secara finansial. Aktifitas ini penting dalam upaya meyakinkan
calon pemilih untuk memilih partainya di dalam Pemilu tahun depan.
Kegiatannya di partai politik sementara ini ditujukan untuk meloloskan
kandidatnya untuk duduk di DPRD dalam pemilu 2014. Ia tidak memiliki tujuan
untuk menjadi anggota dewan, karena memang kualifikasinya tidak memadai
terutama mengenai syarat pendidikan. Sehingga fokus utamanya ialah
pemenangan kandidatnya. Ia meyakini akan mendapatkan keuntungan dalam
banyak hal. Aktifitas Pak Parjo dalam politik di Anambas termasuk yang paling
Universitas Indonesia
112
dini, karena di partai-partai lain aktifitas pemenangan kandidat belum terasa. Ia
sudah memajang foto kandidat di rumahnya, lalu sudah membagikan kalender
yang bergambar orang tersebut ke semua warga di Rintis.
Dari penjelasan tiga tokoh di atas dan juga penjelasan tentang performa
perkumpulan sosial yang ada di Desa Rintis maka diketahui bahwa pemimpin
perkumpulan memiliki peran penting untuk berkorespondensi dengan berbagai
institusi. Peran ini tidak dapat dimainkan oleh semua orang, karena
membutuhkan banyak kecakapan, terutama kecakapan bicara dan lobi. Selain
itu, elemen yang lain yang juga utama ialah kepercayaan (trust).
Semakin performa pemimpin dan perkumpulan sosialnya menunjukan
keseriusan dan komitmen yang kuat, maka akan semakin banyak instansi yang
ingin bekerja sama. Dalam kajian modal sosial, diketahui bahwa pemimpin
berperan besar dalam pembentukan linking. Linking berpengaruh besar dalam
eksistensi organisasi. Dalam kasus ini, kuatnya linking berdampak pada
peningkatan sumber daya perkumpulan sosial. Sumber daya tersebut secara
spesifik juga akan berdampak pada kesejahtraan anggotanya.
Sehingga wajar perkumpulan sosial dengan linking yang kuat akan
mendapat respon yang juga baik dari para anggota. Perkumpulan sosial, memiliki
fungsi sebagai kepanjang-tanganan dari negara untuk menyalurkan kebutuhan
publik. Walaupun begitu, pada semua tahap, baik negara, pemimpin, dan juga
anggota memiliki potensi penyimpangan yang sama. Sehingga, relasi yang
cendrung kuat ialah antara negara dengan pemimpin perkumpulan sosial. Hal ini
dipahami, karena pemimpin dan negara memiliki komitmen tersendiri yang tidak
diketahui oleh para anggota. Atau minimal, pemimpin perkumpulan sudah
mengetahui secara persis adanya penyimpangan ditingkat negara.
Kelekatan yang begitu kuat ini tentunya dipengaruhi oleh besarnya
anggaran dari Pemkab Kep Anambas. Sehingga anggaran untuk berbagai
program langsung ke masyarakat pun cukup banyak. Adanya regulasi bahwa
pemberian bantuan harus melalui perkumpulan sosial, tentunya menjadi dasar
atas hubungan itu. Pemimpin perkumpulan yang memiliki otoritas penuh atas
perkumpulan sosial dengan dapat berkomunikasi dan membuat komitmen
langsung dengan negara. Fenomena inilah yang menyebabkan peran pemimpin
dalam perkumpulan sosial diharapkan sekaligus dibenci. Diharapkan karena dia
sebagai penyalur bantuan dari negara, dibenci karena mereka mengetahui
Universitas Indonesia
113
bahwa pemimpin tersebut telah mendapatkan keuntungan dari relasinya dengan
negara.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa perkumpulan sosial memiliki
relasi bukan hanya dengan negara, namun juga dengan elemen pasar dan juga
masyarakat sipil. Namun tidak seperti Pemkab dan Pemprov, elemen no
pemerintah memiliki perbedaan mekanisme pemberian bantuan. Misalnya
Premier Oil lewat divisi CSR-nya,mereka menerapkan mekanisme pengerjaan
program yang lebih profesional dan akuntabel. Salah satu elemen yang paling
penting ialah adanya pemantauan langsung secara berkala dari setiap bantuan
yang diberikan. Mengenai hal ini, Abu Hanifah sebagai kepala bidang CSR
Premier Oil mengatakan “kami memang ingin menerapkan bantuan yang
memberikan banyak manfaat bagi masyarakat, dan dalam pelaksanannya
melalui mekanisme swadaya masyarakat”.
Dalam pemberian bantuan pada kelompok tani misalnya, Premier Oil
memberikan tim penyuluh yang tinggal langsung bersama para petani selama
satu tahun. Mereka datang secara bergantian untuk memberikan peningkatan
pemahaman dan keahlian para petani untuk menjadi petani organik. Dengan
hadirnya penyuluh ditengah-tengah mereka diharapkan petani dapat membuat
pupuk dan obat-obatan secara mandiri dan tidak bergantung pada produk-produk
yang ada dipasaran yang harganya cukup mahal. Namun dari hasil pengamatan,
kinierja dari para penyuluh ini tidak banyak membuahkan hasil. Karena memang
negara menyuplai semua kebutuhan petani dengan produk-produk pabrikan.
Sehingga mereka lebih memilih itu, ketimbang harus membuat pupuk dan obat-
obatan yang memakan waktu dan tenaga.
Kemudian, dalam pembangunan gedung PKBM Kurnia di desa Rintis juga
menekankan prinsip keswadayaan masyarakat. Dalam pembangunan tersebut
dibentuklah panitia pembangunan yang terdiri dari berbagai elemen.
Pembangunan tersebut pun memakan waktu yang cukup lama karena
pengerjaannya dilaksanakan oleh masyarakat sendiri. Mengenai permasalahan
pendanaan pun ternyata tidak sedikit pengeluaran yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Sehingga untuk menggenapkan pembangunan, Ibu Isye
perlu mengeluarkan koceknya sendiri dalam jumlah yang cukup besar. Dengan
segala keterlambatan akhirnya bangunan itu pun kini berdiri cukup megah.
Sehingga, dalam relasi dengan perusahaan kerap kali pemimpin malah
mengeluarkan pengeluaran sendiri, karena memang setiap pengeluaran harus
Universitas Indonesia
114
dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya dalam setiap pelatihan yang
diselenggarakan oleh perusahaan, banyak warga yang mengharapkan uang
saku. Padahal perusahaan tidak menyediakan itu, sehingga pemimpin harus
pandai menyiasati kondisi ini. Bagi sebagai orang, mereka tetap menjalankan
pelatihan walaupun pesertanya tidak banyak. Namun, bagi Ibu Isye, ia merasa
perlu untuk mengeluarkan koceknya sendiri.
Semakin surutnya keuangan Ibu Isye, dalam pelatihan yang diadakan
oleh Biosphere Foundation pada bulan Maret 2013 ini, beliau tidak mengundang
banyak orang. Ia hanya memanfaatkan para orang dekatnya, terutama para
pangajar PAUD untuk mengikuti pelatihan tersebut. Hal ini dipahami karena
menurutnya, jika mengundang banyak orang ia harus menyiapkan uang saku
dan konsumsi dari koceknya sendiri, padahal anggaran tersebut tidak ada dalam
kesepakatan perjanjian antara Ibu Isye dengan pihak BF.
Gambar 9Produk Hasil Pelatihan dengan BF
Sumber: Dokumentasi Carol
Peserta pelatihan pemanfaatan limbah dan Ibu Isye sendiri pun
sesungguhnya tidak begitu berharap dengan hasil pelatihan tersebut. Karena
walaupun produk tersebut bernilai ekonomis, namun mereka tidak berminat
sedikit pun untuk menekuni usaha tersebut. Hal ini dipahami karena mereka
sudah memiliki pekerjaan yang mapan, apalagi usaha tersebut belum jelas
pemasarannya. Walaupun, sesungguhnya ada komitmen dari BF untuk
memasarkan produk tersebut ke mancanegara, sebagaimana yang sudah
Universitas Indonesia
115
dilaksanakan di Bali. Carol, perwakilan dari BF yang menggarap pelatihan
tersebut sudah memahami karakteristik warga Rintis. Mengenai hal tersebut ia
mengatakan:
“saya sedikit optimis program ini akan berlangsung. tapi tetap optimis.pemerintah di sini punya banyak uang, tapi tidak memiliki tanggungjawab yangbaik untuk mendidik warganya. kita menginginkan relasi jangka panjang selamamereka meminta. kami tidak akan mendorong mereka untuk melanjutkanprogram, kalau mereka tidak mau. kita tidak menawarkan mereka uang, tapi kamiingin bekerjasama untuk bekerja, aksi dan kekuatan itu muncul dari hati. kitatidak bisa memaksa mereka”. (wawancara Carolin tanggal 26 Maret 2013)
Dengan demikian, sesungguhnya dengan cukup banyaknya peluang
meningkatkan kesejahteraan yang diupayakan dengan berbagai pelatihan tidak
dilahat dengan serius. Para anggota perkumpulan khususnya dan masyarakat
Rintis pada umumnya. Mereka sudah tidak berminat untuk melakukan pola
produksi yang lain, mereka hanya menginginkan bantuan yang nyata. Hal ini
dimaklumi karena pekerjaan mereka selama ini pun sudah memiliki tingkat
pendapatan yang tinggi.
D. Keanggotaan yang InstumentalKesertaaan masyarakat dalam perkumpulan sosial yang ada di Desa
Rintis sesungguhnya tidak menggambarkan kebersamaan. Kebersamaan yang
dimaksud ialah kepedulian dan kepemilikan suatu perkumpulan sosial. Kondisi
yang ada kini, pengelolaan perkumpulan yang hanya digawangi oleh ketuanya
semata. Hal ini dipahami karena memang sebagian besar perkumpulan sosial
hanya diinisiasi oleh satu orang dan aset yang ada pun masih belum jelas
kepemilikannya. Misalnya, mesin kompos yang dimiliki oleh kelompok Tani
Sepakat Jaya berada di kediaman bapak Umar. Selama ini pengoprasian
dijalankan sendiri oleh Pak Umar dan tidak nampak ada kesertaan dari anggota
yang lain. Begitu juga PKBM Kurnia, walaupun bangunan itu dibangun oleh
perusahaan minyak dan diperuntukan bagi masyarakat umum, sebagian
masyarakat yang lain termasuk pengelola PKBM merasa segan untuk
menggunakan fasilitas yang ada di dalamnya. Mengomentari hal ini, ketua PKBM
Kurnia Bapak Abdul Hadi mengatakan:
“Sebenarnya, organisasi-organisasi itu tinggal memperbaiki managemen yangbaik juga meningkatkan SDM-nya. kondisinya, berjalan memang berjalan tapitidak menggunakan managemen yang baik. masih mengandalkan individual,sitem tidak berjalan. ya seperti karang taruna itukan Cuma ketuanya saja yang
Universitas Indonesia
116
ada, tidak berjalan dengan baik. Ya paling yang berjalan baik itu PKK karenamungkin sifat ibu-ibu yang mudah mengikuti program dan juga mereka cukupaktif. ya teh Isye juga sebenarnya belum menerapkan menajemen yang baik.Cuma dia saja yang sibuk, sekretaris dan bendahara sepertinya tidak dilibatkandalam banyak hal. lagian juga, kan PKBM itu istilahnya milik dia, karena kanbangunan itu berdiri diatas tanah milik dia”. (wawancara dengan Abdul Hadutanggal 2 April 2013).
Penjelasan di atas menggambarkan kondisi perkumpulan sosial di desa
Rintis. Kondisi tersebut dipahami karena memang hadirnya perkumpulan bukan
merupakan kebutuhan kolektif masyarakat. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa
PKK memiliki kenggotaan yang cenderung lebih aktif dibandingkan organisasi
yang lainnya. Salah satu penyebabnya ialah diselenggarakanya kegiatan arisan
oleh PKK pada tingkat desa. Dalam situasi ekonomi yang pas-pasan, para ibu-
ibu membutuhkan arisan untuk berjaga-jaga jika ada kebutuhan di masa datang
ataupun hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi barang-barang tersier
semata.Dengan demikian, PKK menyediakan kegiatan yang dibutuhkan oleh
sebagian besar masyarakat.
Dalam upaya menjaga stabilitas pengajar PAUD di PKBM Kurnia. Ibu Isye
mendaftarkan para pengajar tersebut untuk menjadi bagian dari pegawai
pemerintah. Kelima pengajar PAUD Kurnia Desa Rintis yang awalnya hanya
merupakan Ibu rumah tangga dan memiliki latar belakang pendidikan yang tidak
memadai. Kini mereka berstatus sebagai GTT (Guru Tidak Tetap), mereka
mendapatkan bantuan honor dari Pemda Kabupaten Anambas. Besar bantuan
honor dari Pemda sebesar 1, 4 juta rupiah untuk yang berpendidikan SMA-
sederajat dan 1,2 juta untuk yang berpendidikan SMP-sederajat. Selain itu,
mendapat insentif tambahan dari dinas pendidikan Provinsi Kepulauan Riau
sebesar 570 ribu per enam bulan. Dengan demikian, profesi sebagai pengajar di
PAUD sudah cukup untuk membantu penghasilan rumah tangga mereka.
Kemudian juga, dengan terdaftarnya mereka sebagai GTT, mereka dituntut untuk
profesional dan fokus pada pekerjaanya sebagai guru PAUD. Dengan fasilitas
tersebut, mereka pun dapat memenuhi kebutuhan keluarganya, dengan jam
kerja yang tidak terlalu lama. Serta tentunya, mau tidak mau mereka harus
memiliki kepedulian yang tinggi sebagai anggota dari struktur kepengurusan
PKBM Kurnia.
Dengan disertakannya mereka sebagai GTT di Kab Kep Anambas, dua
orang guru yang sudah terdaftar memilih untuk bekerja pada SKPD yang lain.
Hal ini pun menyebabkan adanya pergantian pengajar PAUD, dan kini
Universitas Indonesia
117
penggantinya pun sudah didaftarkan sebagai GTT. Hal ini menggambarkan
kesertaan mereka sebagai guru PAUD tidak didasarkan pada inisiatif pribadi dan
panggilan jiwa, namun karena memang ada kesempatan untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarga. Hal ini juga terungkap dari guru PAUD pengganti yang
mengatakan “ya kita diajak sama ibu Unsimah (kepala sekolah), kebetulan kita
juga tidak ada kerja ya akhirnya kita gabung”.30
Kesertaan mereka dalam kegiatan pelatihan pun cukup banyak, baik di
tingkat lokal, nasional bahkan baru-baru ini beberapa pengajar ikut dalam studi
banding ke Singapura dan Malaysia. Berbagai kegiatan tersebut memang sangat
disukai oleh bu Isye, dalam upaya meningkatkan pemahaman para guru.
Bahkan, pernah juga ia mengundang dosen PAUD asal UNJ untuk melatih para
guru di PKBM-nya atas inisiatifnya sendiri. Namun sayang, berbagai pelatihan
yang ada serta fasilitas yang memadai itu belum gunakan secara optimal. PAUD
masih diselenggarakan sebagai penuntas tanggungjawab saja. Hal ini dipahami
karena memang tekanan dari orang tua pun rendah, selain Ibu Isye tidak ada lagi
pihak yang mempertanyakan kinerja mereka.
Tabel 9Jumlah Anggota PKBM Kurnia31
No Unsur Ketenagaan Jumlah dan tingkat pendidikan (orang) KetSMP SMA D3 S1 Jumlah
A Tenaga Pendidik1 TPA 3 4 72 PAUD 35 1 363 TK 2 24 Pendidikan sebaya 5 55 P. keaksaraan 1 14 2 10 276 Paket A 31 34 5 707 Paket B dan C 1 21 61 839 Kursus dan Pelatihan 2 210 Taman bacaan masy11 Pendidikan perempuan 2 2B Tenaga Kependidikan1 Pengurus/pengelola 3 Taman
bacaan2 Tenaga
Kebersihan/dapur1 KB
TarempaSumber: Diolah dari data PKBM Kurnia 2012
Sudah dijelaskan sebelumnya, bagaimana peran Ibu Isye yang begitu
dominan di dalam PKBM Kurnia. Hal ini dipahami karena memang selama ini Ibu
30 Wawancara dengan Ibu Muinah tanggal 4 April 2013.31 nama-nama dalam tabel terdapat di dalam lampiran.
Universitas Indonesia
118
Isye-lah yang secara aktif membentuk berbagai lembaga pendidikan, khususnya
PAUD di Anambas. Dari tabel 9 diketahui begitu banyaknya kesertaan
masyarakat dalam perkumpulan sosial tersebut. Wilayah kerja dari PKBM Kurnia
pun tidak terbatas di Desa Rintis atau Kecamatan Siantan saja namun
menjangkau hampir semua wilayah di Anambas.Sejak resmi berdiri pada tahun
2005 dengan nama awal Yayasan Al Muhajirin, Ibu Isye secara aktif
menyelenggarakan pendidikan informal ini. Dalam upayanya itu ia bekerja sama
dengan banyak pihak.Kerjasama tersebut ada yang bersifat temporer dan juga
permanen.
Data dari tabel 9, tidak serta merta menggambarkan kondisi PKBM Kurnia
kini. Misalnya, bagi para tenaga pendidik untuk program keaksaraan dan kejar
paket, Ibu Isye bekerja sama dengan para guru SD, SMP, dan SMA yang ada di
wilayah Anambas. Mereka terikat kontrak dengan PKBM Kurnia untuk
melaksanakan program-program tersebut. Namun, Setelah program tersebut
berakhir tidak ada ikatan lagi antara mereka dengan Ibu Isye. Kerjasama akan
mungkin dilaksanakan jika memang program tersebut dibuat kembali. Berbeda
dengan eksistenis para pengajar PAUD, sebagaimana para pengajar PAUD di
Desa Rintis, mereka semua pun terdaftar sebagai GTT dan berhak mendapatkan
insentif dari Pemerintah Kab. Kep Anambas.
Kini sebagian besar kegiatan keaksaraan dan kejar paket sudah tidak lagi
banyak diselenggarakan karena memang sasaran mereka sebagian besar sudah
melalui jenjang tersebut. Di sisi lain, para pengajar PAUD yang ada di banyak
tempat kini diminta oleh Ibu Isye untuk memekarkan diri, sehingga mereka dapat
mengurus PAUD secara mandiri. Hal ini menyebabkan dalam musyawarah
HIMPAUDI yang pertama pada bulan April 2013 Ibu Isye terpilih sebagai ketua
secara aklamasi, karena memang setiap pengelola PAUD di Anambas sudah
mengetahui dedikasi Ibu Isye sebelumnya.
Premier Oil perusahaan minyak yang mendanai berdirinya gedung PKBM
di Desa Rintis melakukan upaya agar PKBM Kurnia juga dimiliki oleh masyarakat
bukan oleh pribadi Ibu Isye semata. Upaya itu dilakukan dengan membentuk
kepengurusan PKBM, yang kini diketuai oleh Abdul Hadi dan juga beberapa
orang lain yang memiliki latar belakang pendidikan memadai. Setelah
pembentukan kepengurusan PKBM, lalu diinisiasi pembuatan panggung rakyat di
bagian tengah dari gedung. Sampai saat ini bangunan tersebut terbengkalai,
diduga masalah keuangan menjadi alasan utama, yaitu adanya penyelewengan
Universitas Indonesia
119
anggaran oleh salah satu oknum pengurus. Mengenai hal ini Ibu Isye
berkomentar:
” Primer kan maunya kita buat kelompok supaya kerjanya bisa bagus, tapi yabukan malah meringankan beban kite malah kite yang sakit. ya waktupembanguan PKBM itu an 100 juta lebih emak nambah, padahal sudah adapanitia bangunannya, uangnya hilang nga tau kemana, ia dulu emak masihdagang masih punya uang, sampai dulu dipanggil konsultan untuk mengauditmasalah itu karena uangnya tidak jelas.kalau sekarang ini emak bingung maubagaimana, makannya mak diam saja. padahal apa susahnya mereka itu bilangemak ada masalah bageni-begini kan sedap, nah ini ngobrol nga, kerjaan ngajalan kan emak pusing. padahal panitia pembanguannya ini istrinya kepalasekolah di sini. ya emak dia aja sekarang ini, sudah nga disuka orang karenadianggap cerewet. mereka itu semua nga ada yang bertanggungjawab, padahalsudah dimasukan ke pengurusan PKBM. kalau perusahaan itu nga mau tau, yamacam emak ini yang susah, Abdul Hadi sampai sekarang ini belum laporan keemak, kaya nga ada masalah aja”. (wawancara dengan Ibu Isye tanggal 7 April2013)
Pernah juga di dalam PKK Desa Rintis pada tahun 2012 digagas kegiatan
kelompok untuk meningkatkan pendapatan anggota. Kegiatan ini juga diinisiasi
oleh Ibu Isye karena akan dilangsungkannya kunjungan oleh Ibu Bupati untuk
meninjau PKK dan PKBM di Desa Rintis. Dalam kegiatan ini, Ibu Isye dibantu
oleh lima pengajar PAUD yang dengan pemberian bantuan insentif, mereka
seperti terikat dalam banyak kegiatan yang dilakukan oleh Bu Isye. Menjelang
kunjungan itu, maka PKK dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama ialah kelompok
jahit yang sebelumnya sudah mendapatkan pelatihan dari dinas perdagangan
dan perindustrian. Kelompok yang kedua, ialah kelompok yang memiliki keahlian
dibidang masak-memasak, terutama untuk makanan ringan. Sedangkan
kelompok ketiga ialah kelompok petani yang lahanya disediakan oleh Ibu Isye di
dekat rumahnya. Ketiga kelompok ini diproyeksikan untuk menambah
pendapatan keluarga juga dalam upaya untuk meningkatkan uang kas PKK
Desa. Namun perlu diketahui bahwa peserta dari PPK Desa Rintis ini sebagian
besar merupakan warga yang bertempat tinggal di Gudang Tengah dan juga
Rintis Hulu.
Setelah berjalan beberapa lama, ternyata program-program ini tidak lagi
berjalan. Malah untuk lahan pertanian yang ada pada gambar 10, kini sudah
dibangun oleh Ibu Isye untuk keperluan yang lain. Begitu pula dengan nasib
kelompok yang lain. Menurut penjelasan Ibu Isye mengenai hal ini ialah anggota
PKK tidak memiliki inisiatif untuk memutarkan uang dari hasil pertanian yang ada.
Lebih jelas ia mengatakan:
Universitas Indonesia
120
“waktu itu emak kan sering ada kegiatan PKK kabupaten turun ke desa, nah kitamau buat taman toga di sini, kita buat pagar aja upah ke Parjo itu 1,8 juta, benihabis mereka nga juga mau beli, masa emak terus yang beli, kalau mereka jual ituhasil kebun emak nga dapat apa-apa. ya sudah lah mendingan nga usah”(wawancara dengan Ibu Isye tanggal 6 April 2013).
Berdasarkan pada pernyataan itu, diketahui adanya miskomunikasi
antara anggota PKK dengan Ibu Isye. Para anggota menganggap bahwa setiap
biaya produksi sudah ditanggung oleh Ibu Isye sebagai pejabat PKK Kabupaten.
Kondisi ini dipahami karena setiap ada bantuan dari negara tidak ada yang
mengharuskan mereka untuk menyisihkan uang tersebut. Bantuan negara baik
yang langsung maupun melalui perkumpulan sosial pada intinya ialah untuk
menyejahterakan mereka, tanpa harus mengeluarkan pengorbanan sedikit pun.
Apalagi mereka sudah mengetahui secara jelas bahwa program tersebut
merupakan bagian dari kunjungan Ibu Bupati Anambas. Perbedaan cara
pandang inilah yang membuat Ibu Isye sulit untuk melajutkan berbagai kegiatan
yang ada.
Gambar 10Kelompok PKK Bidang Pertanian
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa mekanisme organisasi tidak
berjalan. Hal ini dipahami karena tidak ada komunikasi yang baik antara anggota
dengan Ibu Isye. Dalam konteks ini, sesungguhnya Ibu Isye sudah mengetahui
bahwa dirinya secara personal tidak disukai oleh para anggotanya. Di sisi lain,
para anggota juga merasa enggan untuk menyampaikan keluh kesah dalam
menjalani program yang ada. Dengan demikian, diketahui bahwa ada masalah
Universitas Indonesia
121
yang pelik terkait komunikasi antar para pengurus di PKBM Kurnia dan juga PKK
Desa Rintis.
Pada kelompok tani pun demikian, sebagian anggota memang hanya
mengetahui bahwa negara selalu memberikan bantuan melalui perkumpulan
sosial tersebut. Bahkan, untuk membeli perlengkapan pertanian saja mereka
mengandalkan dari pemerintah kabupaten. Bapak Atmojo sebagai Kepala UPTT
pertanian kecamatan Siantan mengatakan:
“Sebenarnya petani di sini kurang kemandirian, ya kan bisa kelihatan kalaudiberikan bantuan harusnya mereka itu semangat untuk meningkatkan hasil,karena itu kan untuk ekonomi mereka sendiri. kalau di sini bantuan habis merekatidak bisa menindaklanjuti, mereka itu maunya bibit itu disuplai terus dari pemda.kemain saja itu ada 250 kilo bibit untuk anambas ini, padahal satu bibit saja ngasampai 5 gram, coba itu berapa banyak, tapi ya hasilnya sedikit saja”.(wawancara dengan Bapak Atmojo tanggal 11 April 2013)
Total 52.500 m2Sumber: Diolah dari Data Joglo Tani tahun 2012
Kini, jumlah anggota di setiap kelompok tani yang ada di Desa Rintis
semakin berkurang. Menurut data yang disusun oleh CS3D (Center for Social
Studies and Sustainable Development) dan Paramitra Foundation tahun 2010,
jumlah anggota kelompok tani yang dipimpin oleh Pak Parjo berjumlah 17 orang.
Di sisi lain, kelompok Tunas Muda II yang dipimpin oleh Pak Sapril berjumlah 21
orang. Pada tahun yang sama, kelompok ini mendapatkan penyuluhan dari
Paramitra Foundation untuk penerapan pertanian organik yang didanai oleh
Premier Oil. Setelah itu dukungan pun dilanjutkan dengan memberikan mesin
pencacah untuk bahan kompos dan bantuan benih seperti yang telah
Universitas Indonesia
122
disampaikan oleh Bapak Atmojo sebelumnya. Kini jumlahnya hanya tinggal 4
orang termasuk Bapak Suparjo sebagaimana yang terlihat di dalam Tabel 10.
Data yang disajikan di dalam tabel 10 menggambarkan kondisi petani di
Desa Rintis kini. Sepakat Jaya ialah kelompok tani yang dipimpin oleh Pak Umar
dan Tunas Muda ialah kelompok tani yang dipimpin oleh Bapak Parjo. Kelompok
tani Tunas Muda II yang dipimpin oleh Pak Sapril kini sudah bubar, dan tidak lagi
ada aktifitas kelompok. Ditengah bantuan dari perusahaan dan negara yang
cukup banyak ternyata jumlah petani di Desa Rintis kini semakin berkurang.
Bahkan di dalam kelompok tani Tunas muda, selain Pak Parjo tiga orang yang
lain bukan merupakan penduduk asli Rintis, mereka ialah para pendatang.
Mengenai kondisi kelompok tani ini, Abdul Hadi sebagai pegawai di Dinas
Pertanian Anambas mengatakan sebagai berikut:
Ada kekecewaan kepada pengurus, ada juga yang bilang pelayanan yang kurangbaik dari pengurus, atau juga saling tidak suka antara anggota dan jugapengurusnya atau sebaliknya. dulu di sini pertanian pernah booming, hampirsemua menjadi anggota kelompok tani, ada yang background petani maupunbukan petani tapi berhenti karena ada pekerjaan lain. tapi selain itu ya alasanutama petani pada bubar ya karena ketidak jujuran pengurus juga, akhirnyawarga kecewa dan sudah tidak ada lagi yang bertani. (wawancara dengan AbdulHadi tanggal 2 April 2013)
Ketidakjujuran pengurus kelompok tani yang dimaksudkan oleh Abdul
Hadi ialah mekanisme pemberian bantuan yang tidak transparan. Dalam
kelompok tani, hampir tidak ada mekanisme organisasi yang berjalan.
Kumpulnya para anggota kelompok tani pun biasa terkait dengan pembagian
bantuan saja. Dari sinilah muncul adanya kecurigaan dari para anggota terhadap
ketua kelompoknya.“Ya pelatihanya kan selama ini hanya terkait teknik budidaya,
tidak ada pelatihan managemen organisasi”ungkap Abdul Hadi.
Diketahui pula bahwa Pak Umar bukanlah seorang petani, karena dalam
tabel 10 ia tidak memiliki lahan pertanian yang produktif. Selama ini pak Umar
juga tidak terlibat dalam berbagai pelatihan yang ada. Ia hanya memimpin secara
struktur dan tidak pernah dalam kegiatan pertanian. Mengenai hal ini Pak Nur
orang yang pernah menjadi penyuluh pertanian mengatakan “selama ini memang
Pak Umar tidak pernah terlibat dalam pelatihan, ia jadi ketua kelompok tani ya
karena bisa ngomong aja. Selama saya di sana baru sekali ada rapat, itu pun
membicarakan tentang koperasi petani, bukan kelompok tani”. Pernyataan
tersebut selaras dengan penjelasan sebelumnya, bahwa kepemimpinan dalam
Universitas Indonesia
123
kelompok tani bukan karena kepedulianya terhadap para petani namun hanya
karena upayanya mengambil peluang yang ada di pemerintah lokal baru.
Semakin jelas bahwa kehadiran bantuan-bantuan negara memang
menjadi dilema di masyarakat Rintis. Perubahan orientasi dari pasar ke negara
yang begitu cepat menyebabkan kegiatan sosial di dalam perkumpulan sosial
pun dimaknai sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan pribadi. Pada
organisasi lain, juga tidak terlihat keswadayaan yang tinggi. Perkumpulan sosial
hanya ramai apabila ada kegiatan dari negara, sangat jarang sekali ada kegiatan
yang memang merupakan inisiatif dari masyarakat.
Kondisi ini mirip dengan yang dijelaskan oleh Wiradi dan Bremen (2004)
yang menerangkan bahwa orientasi pegawai negeri terhadap proyek merupakan
sumber pendapatan lain dari PNS. Kondisi itu pun dibaca jelas oleh masyarakat
Rintis, sehingga mereka tidak mau hanya menjadi penonton atas proyek terebut,
mereka mau memaksimalkan keuntungan dalam kegiatan terebut. Masalahnya,
kini stigma pengambil keuntungan atas proyek bukan hanya PNS semata, namun
juga para pengurus perkumpulan sosial yang berelasi dengan negara. Sehingga,
dalam setiap bantuan yang ada sudah tidak ada lagi pandangan untuk
memperbaiki kondisi masyarakat dalam waktu yang akan datang, masyarakat
hanya berpandangan apa yang mereka bisa dapatkan di dalam proyek tersebut
Selain itu, setiap program yang masuk ke setiap perkumpulan sosial
sesungguhnya bukan merupakan keputusan kelompok. Ibu Isye, Pak Umar dan
Pak Parjo memainkan peran yang penting dalam setiap program yang masuk.
Walaupun ada rapat-rapat yang dibuat namun, para anggota tidak memiliki
kekuatan untuk menyampaikan masukan dan saran terkait program-program
tersebut. Mereka hanya menjadi objek dari setiap program tersebut, dan jika itu
menguntungkan secara personal bagi para anggota mereka kan terlibat dalam
kegiatan perkumpulan sosial itu. Jika tidak, mereka tidak akan mau terlibat dalam
program-program yang ada sebagaimana yang terjadi pada kelompok Tani
Tunas Muda II.
Eksistensi perkumpulan sosial di Desa Rintis tergantung dari upaya yang
dilakukan oleh para pemimpinya. Pak Parjo misalnya, dengan habisnya para
anggota di kelompok tani yang dimilikinya ia menyiasati dengan merekrut
anggota baru yang merupakan para pendatang. Dengan demikian, kelompok
taninya masih dapat eksis. Di sisi lain, Pak Umar dengan membentuk tani wanita
yang memang ia mendapatkan bantuan dari Pemprov untukpenganggarannya.
Universitas Indonesia
124
Kemudian, Ibu Isye yang meng-GTT-kan para pengajar PAUD sehingga terikat
oleh PKBM-nya.
Kondisi demikian berbeda dengan tim sepak bola Rintis yang pada saat
ini eksistensinya masih dipertahankan. Pak Saepur yang dulu merupakan
mantan anggota dari tim sepak bola Rintis dari generasi yang berbeda, dalam
setiap turnamen yang ada masih menjadi pendamping bagi para pemuda-
pemuda yang tergabung dalam tim tersebut. Padahal, sudah ada Karang Taruna
yang mewadahi setiap kegiatan pemuda namun dalam setiap kegiatan peran
perkumpulan sosial itu tidak terlihat sama sekali. Menanggapi hal ini, Pak Saepur
pun berkomentar “saya sudah belasan tahun mengurusi olah raga, ya memang
ngga ada yang mau lagi. karena kan harus meninggalkan kerja”. Walaupun
demikian, ia mengakui masih ada beberapa warga yang mau menyumbang ala
kadarnya untuk biaya transport jika melakukan pertandingan ke pulau lain.
Kerja menjadi kata kunci atas kondisi kekinian di Rintis, karena dengan
kerja lah mereka dapat memperoleh hasil, terutama bagi mereka yang bekerja
pada ranah informal. Dengan kondisi ini dapat dipahami bahwa sebagian besar
yang terlibat dalam perkumpulan sosial ialah mereka yang bekerja pada ranah
informal. Hitung-hitungan mereka dalam terlibat dalam perkumpulan sosial
tersebut tak lain ialah dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarga. Belum
lagi mereka semakin terprovokasi secara tidak langsung dengan meningkatnya
kesejahteraan para pegawai negeri dan honorer yang ada di lingkungan mereka.
Jika dikaji dengan pendekatan jaringan Szreter (2002), maka bonding
dalam setiap perkumpulan tidak didasarkan pada ikatan sosial apapun. Apalagi
rekutmen di dalam kepengurusan perkumpulan sosial yang ada pun mulai
terbuka. Berbagai perkumpulan sosial yang telah dijelaskan sebelumnya memiliki
bonding yang cenderung terbuka, namun ikatan diantara anggota cukup lemah
karena memang tujuan utama mereka ialah untuk mendapatkan kesejahteraan
pribadi. Kondisi demikian, membuat setiap perkumpulan sosial yang ada cukup
rapuh, karena tidak adanya pengikat lain selain tujuan-tujuan ekonomis.
Selain itu, peran para pemimpin perkumpulan sosial cukup besar dalam
pembentukan bonding. Dengan berbagai upaya, mereka lakukan agar ada
sebagian masyarakat yang tetap mau terlibat dalam perkumpulan sosial tersebut.
Walaupun kini jumlah anggota mereka sangat terbatas, namun dengan program
dari negara dan lain-lain yang akan datang, mereka akan tetap memiliki anggota.
Universitas Indonesia
125
Hal ini dipahami, karena beberapa bantuan yang diberikan melalui perkumpulan
sosial memiliki nilai ekonomis bagi mereka.
E. Revitalisasi Semangat EtnisitasCepatnya perubahan sosial yang terjadi di Desa Rintis semenjak
munculnya pemerintahan baru, menyebabkan hubungan sosial antar masyarakat
menjadi merenggang. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kondisi ini terutama
disebabkan oleh adanya bantuan dari negara yang pemberiannya melalui
perkumpulan sosial yang ada. Oleh karenanya, beberapa anggota masyarakat
mempunyai konsern untuk merangkul kembali keguyuban masyarakat.
Upaya menjalin kembali keguyuban masyarakat secara massif dilakukan
melalui bidang kebudayaan lokal. Tentunya, gerakan kebudayaan yang diusung
bukan kebudayaan Melayu, namun kebudayaan etnis mayoritas di Rintis yaitu
Banten. Gerakan ini pun pada direspon cukup baik oleh masyarakat, terutama
oleh golongan tua yang juga merasakan kebutuhan keguyuban yang semakin
mendesak.
Hal ini dipicu oleh beberapa anggota masyarakat yang kerap melakukan
perjalanan ke Banten untuk bersilaturahmi dengan keluarga yang ada di sana.
Pulang kampung, memang bukan frase yang tepat karena sebagian besar
mereka tidak dilahirkan di tanah Rintis bukan Rangkas Bitung. Namun pada
kenyataanya, beberapa dari merka ada yang melakukan kunjungan ke Banten
secara rutin. Pak Mahrudin salah satunya, ia mengaku kerap pulang kampung
untuk mengetahui kondisi keluarganya di sana. Ia pun sebagai salah satu tokoh
agama di Desa Rintis melakukan kegiatan itu dalam upaya mempelajari agama
dan budaya Banten. Mengenai hal ini ia mengatakan “ya saya kalau ke sana
sering liat-liat, kalau ada yang perlu kita contoh ya kita contoh di sini. ya
sekarang ini kan sudah banyak kemajuan, gerakan kita harus dikembalikan lagi
supaya sesuai dengan adat kita kan”32.
Selain Pak Mahrudin, Pak Buhario yang juga merupakan adik
kandungnya lebih sering melakukan kunjungan ke Banten. Hal ini disebabkan
istrinya merupakan warga Rangkas Bitung asli. Dalam konteks ini, ia benar-benar
pulang kampung karena keluarga istrinya ada di sana. Setiap tahun, terutama
pada saat libur hari raya Idul Fitri, ia dan keluarga selalu mengunjungi
keluarganya di Rangkas Bitung. Selain mereka berdua, tidak banyak memang
32 Wawancara dengan Bapak Mahrudin tanggal 9 April 2013.
Universitas Indonesia
126
warga yang menjadikan Rangkas Bitung sebagai tanah leluhur. Namun, dengan
adanya aktifitas ini semakin menguatkan ikatan mereka dengan kebudayaan
Banten.
Relasi antara kunjungan ke Banten dengan upaya mengembalikan
kebudayaan pun terbukti. Pak Mahrudin, orang yang memiliki hubungan kuat
dengan tanah Banten ialah salah satu tokoh, atau bisa juga disebut sebagai
tokoh utama, yang memelopori gerakan ini dengan membantuk Kelompok
Marhaban. Perkumpulan sosial ini terdiri dari para bapak-bapak di Desa Rintis,
terutama dari golongan muda. Marhaban merupakan pembacaan teks klasik
Islam yang populer di berbagai wilayah Indonesia.33 Namun, setiap daerah
memiliki penadaan yang berbeda-beda dalam pembacaannya. Pembacaan teks
marhaban, biasa dilakukan dalam berbagai acara, terutama saat pemberian
nama anak sekaligus upacara potong rambut.
Kini dengan dipimpin oleh Pak Mahrudin, kelompok marhaban selalu
melakukan latihan rutin yang diselenggarakan dari rumah ke rumah. Latihan ini
dilaksanakan dua kali setiap bulannya, yaitu pada jumat malam ke dua dan
keempat. Anggota dalam perkumpulan sosial ini pun tidak terbatas pada orang
Banten saja, namun juga ada beberapa etnis lain yang juga terlibat aktif. Hal ini
dipahami karena, pembacaan marhaban lekat juga dengan ritual keislaman,
terutama dikalangan muslim-tradisi.
Marhaban yang pada masa lalu biasanya dilakukan secara bersama
dalam ritual-ritual keagamaan kini juga memiliki fungsi kesenian. Kini
perkumpulan sosial ini pun dibentuk struktur kepengurusannya. Pak Mahrudin
merupakan ketua perkumpulan ini dengan jumlah anggota aktif berkisar 27
orang. Jika tampil dalam acara ritual keagamaan maupun menjadi pengisi acara
dalam sebuah kegiatan setiap anggota menggunakan seragam batik yang sama.
Perkumpulan sosial ini pun menjadi identitas baru masyarakat Rintis. Bahkan
dalam kegiatan-kegiatan formal pemerintah daerah kab kep Anambas, kini
kelompok marhaban kerap diundang untuk tampil sebagai pengisi acara.
Marhabaan kini mengalami perluasan fungsi. Karena sejak awal dibentuk
oleh Pak Mahrudin, kegiatan marhaban merupakan upaya untuk menyatukan
masyarakat Rintis yang kini kerap dilanda konflik sosial. Mengenai hal ini, Pak
Mahrudin mengatakan:
33 lihat catatan kaki no 17
Universitas Indonesia
127
“ya kalau itu memang khas dari Banten, ya sekarang karena anak-anak mudabanyak yang tidak tidak tau dan hampir punah orang-orang tua juga sudah padameninggal dan pindah makannya kita buat lagi. lalu juga kita sebagai orang tua,marhaban ini sebagai cara untuk menyatukan supaya antar dua dusun ini tidakada pro kontra, ya sekarang ini sering ada pro kontra, walau tidak sampaiberkelahi ya, tetap akur-akur saja. ya alhamdulillah sekarang dengan adanyadesa ini semakin jadi satu, olahraganya pemudanya, pro kontra itu ya ngasampai bentrok begitu, ya biasalah masalah anak muda. kalau kelahi itu malahtidak pernah. ya ada karang taruna, sekarang juga sudah disatukan supayamenguatkan, kegiatan wirid, PKK, sekarang juga sepak bola sudah jadi satu.semua sudah disatukan untuk memperkuat desa.”(wawancara dengan BapakMahrudin tanggal 9 April 2013).
Dari penjelasan di atasdiketahui memang marhabaan merupakan salah
satu pelopor perekat antar masyarakat sejak Rintis masih berbentuk Desa
Persiapan. Apalagi dalam konteks itu, pemilihan kepala desa juga sempat
memanaskan suhu politik di Desa Rintis. Lalu berbagai rentetan di dalam
kegiatan kelompok tani dan PKK yang terpolariasasi menjadi dua bagian
berdasarkan dua dusun yang ada di Desa Rintis. Kondisi tersebut tentunya
mengganggu hubungan diantara sesama masyarakat. Dengan adanya kelompok
marhaban ini diharapkan dapat menjadi pemicu dari upaya rekonsiliasi antar
kelompok masyarakat yang bersitegang.
Selain itu, pembentukan perkumpulan sosial ini juga bertujuan untuk
menjaga nilai-nilai tradisi yang hampir punah. Karena diketahui, sebelum adanya
pembentukan kelompok marhaban, sudah tidak banyak warga yang menghafal
teks ini. Beruntung, kini tradisi ini masih dapat lestari dengan dibentuknya
perkumpulan sosial. Namun, ada beberapa tradisi yang punah seperti “membaca
syech”. Membaca Syech merupakan kegiatan ritual yang juga khas Banten, yang
menceritakan sejarah Syech Abdul Qodir Jailani, tokoh spiritual yang sangat
populer di kalangan muslim-tradisi di Indonesia.34 Selain itu juga, bagi kelompok
masyarakat etnis Melayu-Bangka, silat Bangka yang dulu sempat ramai diikuti
oleh masyarakat kini pun punah karena orang-orang yang memahaminya sudah
meninggal dunia.
Atas tujuan itu pulalah maka kini Paguyuban Pasundan dibentuk kembali.
Paguyuban Pasundan merupakan perkumpulan sosial tingkat kabupaten yang
sebagian besar anggotanya ialah warga Desa Rintis. Perkumpulan sosial ini
dibentuk pada tahun 2012 dengan melibatkan semua warga Rintis. Mengenai
pembentukan perkumpulan sosial ini, Pak Buhario menjelaskan sebagai berikut:
34 sesuai dengan pendapat Bruinessen (1999) bahwa wilayah Banten yang cukupberkembang ialah tarekat Qadiriah, atau Tarekat Qadariyah Naqsabandiyah yangmemang begitu menghormati Syeh Abdul Qadir Jailani.
Universitas Indonesia
128
”Waktu itu sebenarnya waktu terbentuk kabupaten baru tahun 2008, saya adalima orang waktu itu dapat mandat dari provinsi untuk membentuk paguyubanpasundan di Anambas. ya termasuk waktu itu Ibu Isye juga jadi bendaharanya,tapi karena kesibukan masing-masing akhirnya vakum. ya supaya dihidupkankebambail, tahun 2012 kemarin kita buat musyawarah luar biasa di PAUD siniacaranya, ya dibuat kepengurusan baru supaya lebih aktif, sekarang ketuanyaPak Iing, sekretaris abdul hadi dan bendaharanya pak Sucipno. Pak Iing orangbaru, dia sekarang sebagai wakil lurah Tarempa, dia orang Bogor tapi karena diapaham banyak tentang kebudayan sunda ya akhirnya kita pilih dia. ya pokonyakita buat organisasi ini bagus lah, kita persyaratan sudah lengkap, administrasilengkap, bahkan punya sekretariat tetap. di sini banyak memang organisasipaguyuban ada sumatra utara, peseisir selatan, jawa juga ada, tapi kita lebih baiklah”. (wawancara dengan Bapak Buhario tanggal 10 April 2013)
Diketahui bahwa sebetulnya perkumpulan ini sudah ada sejak lama,
namun karena dinilai tidak optimal maka dibentuklah kembali perkumpulan sosial
itu. Sesungguhnya upaya menghidupkan kembali Paguyuban Pasundan
dipengaruhi oleh surat undangan dari Bakesbangpol Kab Kep Anambas yang
ingin mengundang Paguyuban Pasundan untuk sosialisasi peraturan baru
tentang Ormas dan LSM. Sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya
bahwa Ormas dan LSM harus berkedudukan di kabupaten, maka dibentuklah
kepengurusan Paguyuban Pasundan dengan melibatkan Orang Sunda yang ada
di desa dan kecamatan lain yang masih dalam lingkup kabupaten kep Anambas.
Dalam rapat pembentukan kepengurusan yang diselenggarakan di
gedung PKBM Kurnia Rintis itu pun sempat terjadi ketegangan. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan persepsi mengenai perbedaan kebudayaan
Sunda dengan Banten. Sebagian masyarakat Rintis, terutama dari golongan tua
sempat menolak keberadaan Paguyuban Pasundan yang dinilai lebih mewakili
wilayah Periyangan yang berpusat di Bandung, sedangkan mereka menilai akar
budaya mereka lebih dekat ke Kerajaan Banten di Serang. Namun
sesungguhnya perdebatan tersebut bukan menjadi pokok dari permasalahan
yang ada. Permasalahan yang sesungguhnya yaitu mengenai posisi ketua yang
menjadi perebutan karena dianggap strategis. “Memang juga di internal itu masih
ada sedikit perdebatan untuk siapa yang memimpin, tapi ya akhirnya bisa saya
selesaikan” terang Pak Umar menegaskan permasalahan yang ada.
Terpilihlah Pak Iing Sumindar sebagai ketua dari Paguyuban Pasundan
dalam rapat tersebut. Ia merupakan Orang Bogor yang kini menjabat sebagai
Wakil Lurah di Kelurahan Tarempa. Dipilihnya Pak Iing dikarenakan kapasitasnya
yang memiliki kecakapan kepemimpinan formal kemudian ia pun memiliki posisi
strategis di dalam birokrasi Kab Kep Anambas. Selain itu, ia juga dianggap
Universitas Indonesia
129
memiliki pengetahuan kesundaan yang mumpuni. Hal inilah yang meyakinkan
peserta rapat yang hadir pada saat itu.
Dalam kepengurusan inti dalam Paguyuban Pasundan pun dipilih orang-
orang yang memiliki pendidikan tinggi dan posisi strategis di Tarempa. Terpilih
sebagai sekretaris ialah Abdul Hadi, tokoh muda Rintis yang kini bekerja di Dinas
Pertanian Kab Kep Anambas. Kemudian, sebagai bendaharanya ialah Pak
Sucipno warga Rintis yang merupakan PNS di salah satu SKPD di Kab Kep
Anambas. Kapolsek Tarempa pun tergabung dalam kepengurusan di
perkumpulan sosial ini. Dengan demikian, kepengurusan ini mencoba
menghadirkan wajah baru dari Rintis.
Rintis yang lama yang dikenal karena kejawaraannya, kini mencoba
menghadirkan kesan baru sebagai kelompok masyarakat yang cerdas dan
ramah. Bahkan Paguyuban Pasundan menjadi salah satu perkumpulan sosial
yang memiliki kelengkapan administrasi dibandingkan dengan paguyuban
kedaerahan yang lain. Bahkan, perkumpulan sosial ini juga memiliki sekretariat
yang representatif yang terletak diperbatasan Rintis dengan Tarempa.
Sekretariat ini tergabung dengan sebuah kedai yang dimiliki oleh salah satu
anggota yang beretnis Cina. Karena ia memiliki istri Orang Cianjur, ia pun kini
menjadi muslim dan menguasi Bahasa Sunda dengan fasilh. Pengusaha ini juga
berkorban banyak dalam setiap kegiatan yang dibuat oleh Paguyuban Pasundan.
Keberadaan Paguyuban Pasundan di Desa Rintis meningkatkan kembali
semangat masyarakat untuk kembali mengentalkan identitas budaya mereka.
Selain itu, tentunya kondisi ini memberikan penyegaran bagi masyarakat untuk
melupakan ketegangan yang ada diantara mereka semua. Dalam memperingati
hari jadi Paguyuban Pasundan yang pertama dibuatlah acara besar di Desa
Rintis. Tampil dalam kegiatan tersebut pertunjukan debus35 yang pemainnya
didatangkan dari Batam dan sebagian ada yang warga asli Banten. Mengenai ini
Pak Umar mengatakan :“ya waktu kemarin itu kekompakan kita sangat terlihat, bahkan bisa dilihat waktuitu banyak yang mencucurkan air mata. ya karena semangat kita timbul lagimengenang masa-masa lalu, lalu juga kita dihargai dan diakui oleh warga di sini,bahkan sampai wakil bupati juga datang di acara ini. di situ juga kita jelaskanbahwa kita tetap punya komitmen untuk membangun Anambas”. (wawancaradengan Pak Umar tanggal 6 April 2013).
35 Debus merupakan kesenian pertunjukan khas Banten yang para pemainnyamemamerkan kekebalan tubuh terhadap senjata tajam dan bara api. Menurut Bruinessen(1999) debus merupakan campuran eklektik dari magi Islam dan pra-Islam (dari tradisiorang Badui). Bacan-bacaan saktinya (jampi/jangjawokan) terdiri dari basa Arabdisamping itu juga terdapat bahasa Sunda dan Jawa.
Universitas Indonesia
130
Kegiatan hari jadi Paguyuban Pasundan yang ke satu tersebut
diselenggarakan di Desa Rintis. Hal ini tentunya menjadi suatu kebanggan
tersendiri bagi masyarakat Rintis. Karena dalam kegiatan tersebut ditampilkan
pertunjukan debus yang menjadi representasi masyarakat Rintis. Apalagi dalam
kegiatan tersebut hadir juga perwakilan pemerintah yaitu Wakil Bupati Kab Kep
Anambas. Apalagi belum ada paguyuban kedaerahan yang lain yang mampu
menunjukan eksistensinya di wilayah kabupaten Kep Anambas. Malah, warga
melayu sendiri pun belum mampu mengorganisir membuat kegiatan sebesar itu.
Selain perujukan kesenian debus yang didatangkan dari luar, perwakilan
Rintis juga menampilkan kebudayaan Banten yang mereka miliki. Marhaban
tentunya mendapatkan tempat dalam kegiatan tersebut. Kemudian juga,
beberapa warga menunjukan kebolehannya dalam silat sinar Banten dan juga
silat TTKDH. Semakin semaraklah kegiatan tersebut. Kegiatan ini pun disaksikan
oleh kelompok masyarakat lain yang diundang atau hanya ingin melihat
pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan dalam kegiatan tersebut.
Kegiatan ini meminbulkan kesan yang sangat dalam bagi masyarakat
Rintis baik golongan muda maupun tua. Kini mereka memiliki komitmen yang
tinggi untuk menghidupkan kembali budaya Sunda, khususnya Sunda-Banten.
Hampir semua yang diwawancarai memiliki semangat yang sama untuk menggali
khazanah budaya dan memandang Paguyuban Pasundan sebagai representasi
dari mereka. Bahkan kini para pengurus perkumpulan sosial ini sudah
menyiapkan beberapa agenda terkait dengan upaya membangkitkan kembali
budaya Sunda-Banten dikalangan masyarakat Rintis. Mengenai hal tersebut, Pak
Buhario yang menjadi salah satu pengurus Paguyuban Pasundan mengatakan:
“ya sebenarnya kemarin kita buat hari jadi itu supaya genarasi muda bisamengenal budayanya, ya alhamdulilah mereka mulai semangat juga. Bantuanuntuk silat pun juga sudah ada, nanti tinggal kita jadwalkan saja latihannya.waktu Bu Atut (Gub Banten) datang ke Tanjung Pinang dia memberikan bantuanjuga untuk kita, itu ada kendang dan pakaian silat. ya kita di sini kan hampirpunah silat itu, ya seperti silat Bangka itu, sudah punah di sini, karena kan yangbisa sudah meninggal. Kalau silat di sini ada dua, sinar Banten dan TTKDH. yakita kedepan ada atau tidak ada bantuan akan tetap jalan, rencana kita juga maubuat kampung sunda di sini, kita masih cari tanah sekitar 2 hektar. di sana nantikita buat rumah, kebun, yang sama seperti budaya sunda, ya selain pelestarianbudaya juga bisa sebagai alternatif tempat wisata kan. di situ juga supayagenerasi muda bisa belajar mengenai budayanya. di sana nanti tidak bolehkendaraan masuk, semua harus jalan kaki, itukan budaya kita”. (wawancaradengan Pak Buhario tanggal 10 April 2013).
Universitas Indonesia
131
Paguyuban pasundan akan fokus pada bidang kesinian dan kebudayaan
Sunda. Mereka sangat optimis terhadap masa depan Paguyuban Pasundan,
apalagi kegiatan marhaban kini sudah memiliki nilai jual pada tingkat kabupaten.
Kedepan, mereka akan mengusahakan dibuatnya kembali perguruan silat
Banten yang kini tinggal segelintir saja yang masih menguasai. Sebagaimana
marhabaan, silat juga masih sering dipertunjukan dalam acara perkawinan bagi
mereka yang masih memiliki darah Banten. Gambar 11 ialah foto yang diambil
dalam salah satu acara pernikahan warga Rintis yang dilaksanakan pada bulan
April 2013. Dalam gambar tersebut terlihat begitu antusiasnya warga Rintis untuk
menyaksikan pertunjukan silat Banten.
Gambar 11Pertunjukan Silat Banten
Sumber: Dokumentasi Rian Wiriatmoko
Dengan demikian diketahui bahwa kehadiran Paguyuban Pasundan
berdampak signifikan terhadap ikatan antar masyarakat yang selama ini
mengalami keretakan. Keberadaan perkumpulan sosial ini memberikan soliditas
baru ditengah kekacauan sosial yang melanda akibat perebutan sumber daya
yang diberikan oleh negara. Walaupun ketegangan itu masih ada, namun kini
para anggota Paguyuban Pasundan sudah memiliki pemahaman yang sama
untuk merancang masa depan Desa Rintis. Kondisi ini tentunya akan berdampak
pada pengurangan ketegangan diantara masyarakat, dan berpotensi kuat untuk
kembali menguatkan ikatan etnis sebagai pemersatu masyarakat di Desa Rintis.
Universitas Indonesia
132
Berbeda dengan studi Achwan (2012) yang menjelaskan bagaimana
ikatan etnisitas berdampak besar terhadap pembentukan masyarakat yang kuat
(strong society). Dalam kasus Paguyuban Pasundan, belum terlihat semangat
etnisitas diarahkan untuk penguatan ekonomi masyarakat. Hal ini dipahami
karena perbedaan konteks yang ada, Paguyuban Pasundan lebih mewakili
golongan elit desa yang hanya diorientasikan untuk romantisme masa lalu.
Ditengah upaya pembangunan ekonomi keluarga yang cukup tinggi, masyarakat
pada level bawah tidak terlibat lebih jauh di dalam organisasi ini, sehingga para
aktor yang ada hanyalah mereka yang sudah memiliki kesejahteraan keluarga
yang mapan. Kemungkinan, jika organisasi ini diarahkan pada pemberdayaan
ekonomi akan terlihat dampak yang signifikan dalam pembentukan masyarakat
yang kuat.
F. PenutupWalaupun secara ekonomi sudah mulai berangsur berubah, namun
secara kultural masyarakat Rintis belum banyak berubah. Dalam kondisi semakin
banyaknya bermunculan perkumpulan sosial sosial ternyata tidak diupayakan
untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Hal ini disebabkan adanya
keterputusan jaringan di dalam masyarakat untuk menjangkau negara. Tidak
semua anggota masyarakat mendapatkan hak yang sama untuk mendapatkan
fasilitas terutama terkait dengan bantuan. Ketimpangan sosial ini menyebabkan
adanya ketidakpercayaan diantara masyarakat secara umum dengan
pemimpinnya.
Ikatan (bonding) dalam setiap perkumpulan sosial yang menjadi
kepanjangtanganan negara selalu saja tidak disertai dengan kepatuhan terhadap
aturan organisasi. Para anggota hanya mengaggap perkumpulan sosial hanyalah
merupakan instumen untuk mendapatkan bantuan dari negara. Fenomena
tersebut tereflrksikan pada setiap perkumpulan sosial kegiatan-kegiatan yang
hanya dilaksanakan pada saat ada bantuan yang datang.
Hal ini dipahami karena walaupun masyarakat Rintis heterogen secara
etnisitas, namun pada sisi ekonomi mereka homogen. Hadirnya negara dengan
berbagai peluang ekonomi yang ada, pada akhirnya menyebabkan ketimpangan
sosial. Dalam konteks ini, masyarakat tidak lagi memikirkan kepentingan
bersama. Namun berfokus untuk mengejar ketertinggalan mereka secara
ekonomi dari anggota masyarakat yang lain.
Universitas Indonesia
133
Pada sisi lain, pemimpin perkumpulan sosial berlomba untuk berelasi
(linking) dengan negara. Dengan demikian, inovasi dalam perkumpulan sosial
pun sangat terbatas. Perkumpulan sosial hanya berfungsi sebagai penyalur
bantuan bagi para anggotanya. Diketahui, hanya PKBM Kurnia yang mencoba
membuat perkumpulan sosial yang mau menginisiasi kegiatan dalam upaya
untuk memperbaiki kinerjanya. Namun sayangnya, performa dari perkumpulan
sosial hanya menggambarkan kemauan dari pemimpinnya. Para pemimpin
dalam perkumpulan sosial tidak mau ataupun kesulitan untuk memberikan
pemahaman bagi para anggotanya untuk menjalankan roda organisasi dengan
baik.
Pada saat yang sama, para elit baru yang termanifestasi dalam
perkumpulan sosial cenderung bersaing untuk berelasi dengan negara. Hal ini
memunculkan permasalahan baru, yaitu konflik diantara elit baru tersebut. Oleh
karenanya hubungan (bridging) antar satu perkumpulan dengan yang lainya tidak
berjalan lancar. Walaupun mereka terkait dalam satu bidang yang sama, namun
upaya kerjasama tidak dilakukan.
Walaupun Paguyuban Pasundan kembali menyegarkan solidaritas lewat
revitalisasi semangat etnisitas. Namun pada kenyataanya, gerakan ini hanya
diminati oleh mereka yang sudah mapan secara ekonomi. Para anggota yang
terlibat, ialah mereka yang memiliki pekerjaan layak, sehingga tidak lagi berfikir
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Kondisi ini pun terlihat dari kesertaan kaum
tua yang dominan, terutama Ibu Isye dan Pak Umar. Mereka pun terlibat aktif
dalam perkumpulan sosial karena sudah tidak lagi bergiat untuk mengejar
kesejaheraan material.
Universitas Indonesia
134
BAB VMenggantung ke Atas: Ironi Perkumpulan Sosial Rintis
A. PengantarSeluruh penjelasan di atas menggambarkan bagaimana eksitensi
perkumpulan sosial pedesaan dalam relasinya dengan negara, khususnya
pemerintah lokal. Ditengah upaya demokratisasi, pemerintah baik dalam tingkat
nasional maupun lokal berupaya untuk menciptakan masyarakat yang aktif, yang
termanifestasi dalam berbagai perkumpulan sosial. Desa Rintis memperlihatkan
bagaimana peran aktif pemerintah lokal, mampu memicu bermunculannya
perkumpulan sosial di tingkat desa. Hal ini dipahami karena pemerintah lokal
memiliki kekuatan struktural lewat regulasi yang dimilikinya untuk mempengaruhi
masyarakat. Selain itu, pemerintah lokal juga menyediakan modal ekonomi
sekaligus modal kultural yang disertakan didalam proses relasional antara
negara dengan perkumpulan sosial. Kondisi ini menyebabkan, adanya inisiatif
dari beberapa anggota masyarakat untuk membentuk serta terlibat dalam
aktifitas perkumpulan sosial.
Ditinjau dari konsep modal sosial, perkumpulan sosial di Desa Rintis
memiliki modal sosial yang tidak seimbang antara bonding, bridging, dan linking.
Perkumpulan sosial kuat pada sisi linking dan lemah pada sisi bonding dan
bridging. Oleh karenanya, perkumpulan sosial di Desa Rintis eksitensinya hanya
menggantung ke atas (negara). Di katakan menggantung karena adanya upaya
aktif dari para pemimpin perkumpulan sosial yang ada untuk mengakaitkan diri
dengan negara. Kondisi ini merupakan umpan balik dari pola top-down yang
dikembangkan sebelumnya oleh negara.
Pada sisi lain, ikatan (bonding) dalam setiap perkumpulan sosial yang
menjadi kepanjangtanganan negara selalu saja tidak disertai dengan kepatuhan
terhadap aturan organisasi. Para anggota hanya mengaggap perkumpulan sosial
hanyalah merupakan instumen untuk mendapatkan bantuan dari negara. Hal ini
terefleksikan pada setiap perkumpulan sosial kegiatan-kegiatan yang hanya
dilaksanakan pada saat ada bantuan yang datang. Hal ini dipahami karena
walaupun masyarakat Rintis heterogen secara etnisitas, namun pada sisi
ekonomi mereka homogen. Hadirnya negara dengan berbagai peluang ekonomi
yang ada, pada akhirnya menyebabkan ketimpangan sosial. Dalam konteks ini,
masyarakat tidak lagi memikirkan kepentingan bersama. Namun berfokus untuk
134
Universitas Indonesia
135
mengejar ketertinggalan mereka secara ekonomi dari anggota masyarakat yang
lain.
Bonding yang hanya bersifat instumental ini, sesungguhnya memiliki
potensi konflik yang tinggi pada masyarakat Desa Rintis. Hal ini pun terbukti
dengan kondisi Rintis kini yang kerap terjadi gesekan sosial baik diinternal
perkumpulan sosial maupun antar perkumpulan sosial di Rintis. Kondisi ini dipicu
oleh orientasi ekonomis yang tinggi pada setiap kesertaan di dalam
perkumpulasn sosial. Pada saat yang sama, para elit baru yang termanifestasi
dalam perkumpulan sosial cenderung bersaing untuk berelasi dengan negara.
Hal ini memunculkan permasalahan baru, yaitu konflik diantara elit baru tersebut.
Kondisi ini menyebabkan hubungan (bridging) antar satu perkumpulan dengan
yang lainya tidak begitu baik. Walaupun mereka terkait dalam satu bidang yang
sama, namun upaya kerjasama tidak dilakukan.
Kondisi ini dipengaruhi oleh dua hal, yaitu tidak kapabelnya pemerintahan
lokal serta perkumpulan sosial yang hanya mencerminkan kepentingan
pemimpinnya. Pertama, ialah pemerintahan lokal yang tidak kapabel. Kab. Kep
Anambas sebagai pemerintahan lokal baru yang memiliki anggaran yang besar,
namun tidak dibarengi dengan konsep pembangunan masyararakat yang jelas.
Kondisi ini menyebabkan berbagai bantuan langsung ke masyarakat tidak
dikelola dengan baik. Selain itu, pemberian bantuan tersebut tidak melalui
mekanisme dialogis dengan masyarakat, sehingga bantuan yang ada kerap tidak
mewakili kepentingan sebagian besar masyarakat.
Kehadiran negara dengan sumber daya ekonomi yang besar ini, secara
cepat menggeser peran pasar dari kehidupan sosioekonomi masyarakat.
Masifnya penetrasi negara kedalam kehidupan sosial ekonomi masyakat,
membuat fungsi negara kini berubah. Negara menjadi harapan utama atas
kesejahteraan yang sebelumnya hanya tertambat pada pasar. Hal ini dipahami
karena, Kab Kep Anambas begitu banyak memberikan bantuan. Perkumpulan
sosial pun kini berubah fungsinya, yang awalnya menjadi wadah untuk
menampung aspirasi masyarakat, kini menjadi penyalur dari berbagai bantuan
yang ada.
Kedua, ialah kenyataan bahwa perkumpulan sosial hanya
merepresentasikan kepentingan pemimpinnya. Dengan modal simbolik yang
dimilikinya, mereka pun memiliki kemudahan dalam berelasi dengan
pemerintahan lokal baru. Hubungan antara pemerintahan lokal baru dengan
Universitas Indonesia
136
pemimpin perkumpulan sosial bersifat saling menguntungkan (mutualisme). Hal
ini dipahami karena pemerintahan lokal dalam mewujudkan program kerjanya
membutuhkan masyarakat atau perkumpulan sosial sebagai objek sekaligus
pelaksana. Di sisi lain, para pemimpin membutuhkan relasi yang kuat dengan
pemerintahan lokal, dalam hal ini sebagai penyalur program, untuk
memantapkan modal simboliknya. Kuatnya linking berdampak dengan adanya
berbagai bantuan yang diberikan untuk perkumpulan sosial yang ada di Desa
Rintis.
Kondisi ini disebabkan oleh sebaran modal simbolik yang tidak merata
yang dimiliki oleh anggota masyarakat Desa Rintis. Sebagai masyarakat
pinggiran, karena memiliki latar pekerjaan dan etnis yang berbeda dengan
masyarakat Anambas pada umumnya. Ditambah lagi dengan minimnya
infrastruktur negara sebelum pemekaran memicu disparitas modal simbolik yang
timpang. Diketahui, para pemimpin di dalam perkumpulan sosial memiliki relasi
yang kuat dengan Tarempa. Relasi tersebut kemudian dimanifestasikan dalam
aktifitas perkumpulan sosial, sehingga pelibatan pengurus dan anggota lain
sangat minim.
B. Menggantung ke Atas: Ironi Perkumpulan Sosial RintisHadirnya pemerintahan lokal baru menyebabkan masifnya penetrasi
pembangunan sekaligus demokratisasi prosedural ke Desa Rintis. Tentunya
kondisi ini memicu perubahan sosial dikalangan masyarakat. Dari penjelasan
sebelumnya, diketahui pemerintahan lokal baru memberikan pengaruh yang luas
terhadap masyarakat terutama pada bidang ekonomi. Masyarakat mulai berubah
orientasi dengan semakin mengurangi ketergantungannya terhadap pasar
(market). Masyarakat desa Rintis yang awalnya berprofesi sebagai petani karet
dan palawija kini berangsur-angsur meninggalkan pekerjaan tersebut. Hal ini
dikarenakan semakin terbukanya peluang-peluang ekonomi baru baik di ranah
formal maupun informal
Pada sisi lain, kehadiran stuktur negara membawa implikasi yang tak
pernah mereka bayangkan sebelumnya. Negara kini memberikan mereka
berbagai fasilitas umum dan pelayanan publik yang lebih memadai. Bahkan, bagi
beberapa masyarakat, negara juga memberikan jaminan ekonomis dengan
memberikan berbagai program bantuan langsung kepada masyarakat. Dalam
kondisi demikian, masyarakat menjadi bertumpu pada negara dalam upaya untuk
Universitas Indonesia
137
meningkatkan kesejahteraan. Salah satu bentuk nyatanya ialah dengan masuk
sebagai pegawai negeri sipil ataupun honorer. Karena dengan menjadi pegawai
pemerintah, mereka akan mendapatkan gaji berbeda dengan pola kerja lama
mereka yang memerlukan usaha keras untuk mendapatkan uang. Bagi mereka
yang tidak terserap di ranah formal, mereka terus mengejar berbagai peluang
yang ada.
Demokrasi prosedural terlihat dari stuktur desa yang ada. Berdasarkan
undang-undang yang ada, pemerintah pusat ingin mengejawantahkan demokrasi
pada level yang paling bawah. Adanya BPD sebagai lembaga perwakilan
masyarakat di tingkat desa serta penggunaan mekanisme musrenbang sebagai
upaya pengambilan keptusan ialah bukti nyata diterapkannya demokrasi.
Kemudian, pemerintah pusat juga menghendaki masyarakat yang aktif dalam
berpartisipasi dalam pembangunan. Prinsip demokrasi inilah yang kemudian
memicu munculnya berbagai regulasi yang menekankan terbentuknya
perkumpulan sosial ditingkat desa.
Hadirnya pemerintahan lokal baru menjadi faktor utama semakin banyak
berdirinya perkumpulan sosial di Anambas, termasuk di Desa Rintis. Hal ini
dikarenakan, Kab. Kep Anambas memiliki begitu banyak program kerja yang
didukung oleh penganggaran yang memadai. Relasi antara pemerintah lokal dan
perkumpulan sosial di Desa Rintis selama ini yang terjadi ialah pola top-down.
Pola top-down yang ada bukan karena pemerintahan yang otoriter sebagaimana
terjadi pada orde baru (lihat Winarno: 2008, White: 2005). Pola ini terjadi karena,
pemerintahan lokal memberikan begitu banyak sumber daya, terutama sekali
ialah anggaran.
Dalam kaitanya dengan negara, ada dua jenis perkumpulan sosial jenis
perkumpulan sosial. Pertama ialah perkumpulan formal, ialah perkumpulan yang
memiliki kelengkapan struktur pengurus dan juga berpeluang untuk
mendapatkan bantuan negara. Berdasarkan pembahasan sebelumnya,
perkumpulan sosial jenis ini ialah yang terkait dengan pemekaran desa maupun
yang memang mendapatkan bantuan.
Tabel 10Kekuatan Jaringan Dalam Perkumpulan Sosial
Perkumpulan sosial Bonding Bridging LinkingFormal instumental instumental KuatNon formal kuat lemah lemahSumber: Diolah dari data penelitian
Universitas Indonesia
138
Ikatan (bonding) dalam setiap perkumpulan sosial yang menjadi
kepanjangtanganan negara selalu saja tidak disertai dengan kepatuhan terhadap
aturan organisasi. Para anggota hanya mengaggap perkumpulan sosial hanyalah
merupakan instumen untuk mendapatkan bantuan dari negara. Hal ini
terefleksikan pada setiap perkumpulan sosial kegiatan-kegiatan yang hanya
dilaksanakan pada saat ada bantuan yang datang. Hal ini dipahami karena
walaupun masyarakat Rintis heterogen secara etnisitas, namun pada sisi
ekonomi mereka homogen. Hadirnya negara dengan berbagai peluang ekonomi
yang ada, pada akhirnya menyebabkan ketimpangan sosial. Dalam konteks ini,
masyarakat tidak lagi memikirkan kepentingan bersama. Namun berfokus untuk
mengejar ketertinggalan mereka secara ekonomi dari anggota masyarakat yang
lain.
Bonding yang hanya bersifat instumental ini, sesungguhnya memiliki
potensi konflik yang tinggi pada masyarakat Desa Rintis. Hal ini pun terbukti
dengan kondisi Rintis kini yang kerap terjadi gesekan sosial baik diinternal
perkumpulan sosial maupun antar perkumpulan sosial di Rintis. Kondisi ini dipicu
oleh orientasi ekonomis yang tinggi pada setiap kesertaan di dalam
perkumpulasn sosial. Pada saat yang sama, para elit baru yang termanifestasi
dalam perkumpulan sosial cenderung bersaing untuk berelasi dengan negara.
Hal ini memunculkan permasalahan baru, yaitu konflik diantara elit baru tersebut.
Kondisi ini menyebabkan hubungan (bridging) antar satu perkumpulan dengan
yang lainya tidak begitu baik. Walaupun mereka terkait dalam satu bidang yang
sama, namun upaya kerjasama tidak dilakukan.
Kondisi ini terjadi karena perkumpulan sosial yang ada tidak dijalankan
berdasarkan mekanisme organisasi yang baik. Setiap keputusan organisasi
merupakan cerminan dari para pemimpin. Para pengurus dan anggota yang
terlibat dalam perkumpulan tidak memiliki kemauan dan kekuatan untuk
menyuarakan aspirasinya. Kondisi ini selaras dengan konsep Tjondronegoro
(2008) yang menjelaskan adanya perkumpulan sosial pedesaan yang mewakili
kota yang hanya merepresentasikan kehidupan kelas menengah atas.
Walaupun Paguyuban Pasundan kembali menyegarkan solidaritas lewat
revitalisasi semangat etnisitas. Namun pada kenyataanya, gerakan ini hanya
diminati oleh mereka yang sudah mapan secara ekonomi. Para anggota yang
terlibat, ialah mereka yang memiliki pekerjaan layak. Sehingga tidak lagi berfikir
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Kondisi ini pun terlihat dari kesertaan kaum
Universitas Indonesia
139
tua yang dominan, terutama Ibu Isye dan Pak Umar. Mereka pun terlibat aktif
dalam perkumpulan sosial karena sudah tidak lagi bergiat untuk mengejar
kesejaheraan material.
Pada sisi lain, pemimpin perkumpulan sosial berlomba untuk berelasi
(linking) dengan negara. Dengan modal simbolik yang dimilikinya, mereka pun
memiliki kemudahan dalam berelasi dengan pemerintahan lokal baru. Hubungan
antara pemerintahan lokal baru dengan pemimpin perkumpulan sosial bersifat
saling menguntungkan (mutualisme). Hal ini dipahami karena pemerintahan lokal
dalam mewujudkan program kerjanya membutuhkan masyarakat atau
perkumpulan sosial sebagai objek sekaligus pelaksana. Di sisi lain, para
pemimpin membutuhkan relasi yang kuat dengan pemerintahan lokal, dalam hal
ini sebagai penyalur program, untuk memantapkan modal simboliknya. Kuatnya
linking berdampak dengan adanya berbagai bantuan yang diberikan untuk
perkumpulan sosial yang ada di Desa Rintis.
Dengan demikian, inovasi dalam perkumpulan sosial pun sangat terbatas.
Perkumpulan sosial hanya berfungsi sebagai penyalur bantuan bagi para
anggotanya. Diketahui, hanya PKBM Kurnia yang mencoba membuat
perkumpulan sosial yang mau menginisiasi kegiatan dalam upaya untuk
memperbaiki kinerjanya. Namun sayangnya, performa dari perkumpulan sosial
hanya menggambarkan kemauan dari pemimpinnya. Para pemimpin dalam
perkumpulan sosial tidak mau ataupun kesulitan (dalam kasus Ibu Isye) untuk
memberikan pemahaman bagi para anggotanya untuk menjalankan roda
organisasi dengan baik.
Para pemimpin dalam perkumpulan sosial berhasil mengoptimalisasi
linking. Namun, dominannya linking dalam modal sosial perkumpulan
menyebabkan lemahnya bridging dan bonding. Pemimpin perkumpulan sosial
menjelma menjadi satu-satunya representasi dari organisasi dalam upaya
memantapkan modal simboliknya. Pada konteks itu, perkumpulan sosial tidak
mementingkan kelangsungan tujuan bersama bagi para anggota dan pengurus
lainnya, mereka hanya dijadikan alat dalam upaya tersebut.
Pengalaman yang panjang terhadap dinamika perkumpulan sosial,
terutama di dalam kelompok tani. Menyebabkan masyarakat di Desa Rintis
terutama yang tergabung di dalam perkumpulan sosial pada akhirnya terlibat
dalam hal-hal yang menguntungkan dirinya saja. Sehingga eksistensi
perkumpulan sosial akan terlihat sekali saat, para pemimpin mereka mampu
Universitas Indonesia
140
menghadirkan bantuan program yang diperlukan oleh para anggotanya.
Sayangnya, yang lebih banyak digemari ialah bantuan langsung yang berbentuk
materil. Bantuan-bantuan yang berbentuk pelatihan dan alat-alat produksi
ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik, padahal jika dioptimalkan semua itu
dampat memberikan manfaat yang cukup besar bagi penghidupan mereka.
Oleh karenanya, perkumpulan sosial di Desa Rintis eksitensinya hanya
menggantung ke atas (negara). Di katakan menggantung karena adanya upaya
aktif dari para pemimpin perkumpulan sosial yang ada untuk mengakaitkan diri
dengan negara. Kondisi ini merupakan umpan balik dari pola top-down yang
dikembangkan sebelumnya oleh negara.Selain itu, bahkan para pemimpin
perkumpulan sosial tidak hanya berupaya mencari relasi ke negara, namun juga
ke elemen lain yang diketahui memiliki sumber daya (lihat dalam tabel 8). Akibat
orientasi yang terlalu besar pada linking (menggantung), nilai keswadayaan dan
kebersamaan di dalam perkumpulan sosial semakin tergerus. Hal ini dipahami
karena bonding dan bridging diabaikan oleh sebagian besar para pemimpin
perkumpulan sosial.
Pada sisi lain, ada anggota masyarakat yang membuat perkumpulan
sosial secara tidak formal. Perkumpulan sosial ini biasanya terkait dengan
pekerjaan mereka. Seperti kelompok tukang bangunan, lalu kelompok pencari
batu dan pasir. Walaupun hanya terdiri dari sedikit orang, mereka memiliki ikatan
(bonding) yang kuat karena adanya kesamaan nasib dan tentunya karena
adanya persamaan pekerjaan.
Dalam konteks ini mereka ialah para masyarakat yang tidak memiliki
ikatan kuat dengan warga di desa Rintis. Karena sebagian besar mereka ialah
pendatang dan hanya tinggal sementara di Desa Rintis. Dengan demikian,
hubungan (bridging) mereka dengan anggota masyarakat lainnya sangat
terbatas. Hubungan mereka yang utama ialah dengan para pengumpul dan
penjamin mereka yang biasanya merupakan warga asli Rintis. Kemudian juga
akses (linking) mereka ke negara pun sangat lemah. Hal ini dipahami karena
mereka tidak punya kepentingan yang nyata dengan negara.
C. Kontribusi Teoritis: Peran Aktor dalam Dinamika Modal SosialPenjelasan mengenai perkumpulan sosial di Desa Rintis dalam tulisan ini
dipandu oleh konsep modal sosial.Melalui konsep ini, perkumpulan sosial tidak
hanya dilihat dalam aktifitas organisasinya semata, namun juga dilihat pada sisi
Universitas Indonesia
141
hubungan internal dan juga eksternalnya. Perkumpulan sosial dalam studi ini
dimaknai sebagai entitas yang dinamis dalam menentukan gerak
keorganisasisanya. Hal ini penting karena kini demokratisasi sedang gencar
dipenetrasikanoleh negara hingga tingkat desa. Diketahui di Desa Rintis,
demokratisasi mulai menyeruak terutama dalam sisi pemberian peran lebih bagi
masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan juga terlibat dalam pembangunan
yang sedang dilaksanakan.
Dengan menggunakan analisa modal sosial yang dikemukakan Putnam
(1994) dan Szreter (2002, 2005), tulisan ini menganalisa berbagai perkumpulan
sosial yang ada di Desa Rintis. Melalui analisa tersebut, perkumpulan sosial
dilihat pada pembentukan jaringan internal dan juga eksternalnya, terutama
dalam kaitannya dengan negara. Hasilnya, diskusi mengarah pada dominannya
aktor dalam perkumpulan sosial dalam pembentukan bonding, bridging, dan
linking. Sayangnya, sebagaimana kritik Gotto, etc. (2001), baik analisa Putnam
mapun Szreter belum bisa secara rinci dan jelas menggambarkan peran aktor
dalam dinamika jaringan modal sosial. Putnam maupun Szreter hanya melihat
relasi resiprokal antara perkumpulan sosial dan juga negara.
Di sisi lain, Block dan Evans (2005) sudah memberikan penjelasan
mengenai pentingnya melihat kapabilitas dari perkumpulan sosial maupun
negara. Dengan demikian, celah tersebut dapat terisi dengan melihat bahwa
kapabilitas perkumpulan sosial yang lemah menyebabkan kesempatan aktor
(dalam hal ini pemimpin perkumpulan sosial) dapat mendominasi setiap
keputusan organisasi. Studi Gotto, etc., (2011) dan Achwan (2012) telah
menjelaskanbahwa pemimpin (leader) dalam perkumpulan sosial dapat
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap modal sosial sekaligus
kapabilitas organisasi. Namun, studi ini menunjukan hal yang bereda, pemimpin
perkumpulan sosial di Desa Rintis hanya berfungsi sebagai penguhubung utama
antara anggota perkumpulan sosial dengan negara. Relasi tersebut
menyebabkan hubungan yang terjalin antara pemimpin dengan anggota hanya
bersifat instumental. Dengan kata lain, pemimpin di dalam kasus ini tidak mampu
meningkatkan kapabilitas organisasi.
Uraian sebelumnya telah menunjukan bagaimana performa Ibu Isye, Pak
Umar, dan Pak Parjo sebagai pemimpin perkumpulan sosial. Dalam situasi
demokrasi prosedural, perluasan akses terhadap negara dimanfaatkan oleh
mereka karena memiliki modal simbolik yang lebih dibandingan yang lain. Bagi
Universitas Indonesia
142
masyarakat Desa Rintis, modal simbolik yang utama ialah kemampuan berbicara
di depan umum yang didukung oleh pemahaman yang baik atas peran dan
fungsi negara. Olehkarenanya, dengan modal simbolik itu mereka pun dapat
memainkan peran juga signifikan bukan hanya pada tingkat desa, namun juga
pada tingkat kabupaten.
Meminjam istilah Bourdieu, habitus sebagai salah satu elemen yang
menentukan modal simbolik para pemimpin perkumpulan sosial ini terakumulasi
dengan baik. Hal ini ditandai dengan usia mereka yang relatif pada usia tua,
serta adanya koneksi yang baik dengan Tarempa. Oleh karenanya, saat
Tarempa berubah secara ekonomi dan politik, mereka dapat mengambil peluang-
peluang yang ada dalam hal ini terutama ialah linking dengan pemerintahan lokal
baru.
Dengan demikian, fakta ini memberikan masukan bagi konsepsi modal
sosial yang diterangkan oleh Szreter (2002). Bukan hanya kekuasaan, politik,
dan sejarah yang berpengaruh terhadap kondisi modal sosial, namun juga peran
pemimpin dalam sebuah perkumpulan sosial. Hal ini dipahami, karena praktik
demokrasi yang ada hanya bersifat prosedural (lihat bab III). Di dalam
masyarakat pedesaan Rintis tulisan ini menjelasakan bahwarelasi patron klien
masih sangat berpengaruh.
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Scott (1976, 1985, dan 1993)
wilayah pedesaan Asia Tenggara bahkan juga di perkotaan (lihat Dwianto, 2001)
relasi patron klien masih begitu kuatnya. Relasi patron klien yang ada di Desa
Rintis pun sesuai dengan penjelasan Scott. Relasi ini dinamis, karena klien
memiliki ambang batas nilai “ekonomi moral paternalistik”. Oleh karenanya, di
dalam dinamika perkumpulan sosial para anggota cenderung bersikap
oportunistik dalam upaya menemukan patron baru yang kini termanifestasi dalam
perkumpulan sosial.
Awalnya Masyarakat Desa Rintis terkoneksi dalam sistem patron klien
yang terkait dengan perkebunan karet. Masyarakat begitu tergantung dengan
mandor, yang selain memiliki kekuatan mistis, sejatinya ia merupakan
representasi dari kekuatan ekonomi. Mandor memiliki kekuasaan yang absolut
terkait dengan kepemilikan lahan serta penghidupan masyarakat yang
bergantung kepada pengusaha karet (market). Dalam konteks ini, mandor
berperan sebagai kepanjangtanganan pengusaha dalam mengelola dan
mengontrol masyarakat Desa Rintis yang dulunya berlaku sebagai buruh
Universitas Indonesia
143
perkebunan. Kini seiring dengan penetrasi negara terhadap Desa Rintis,
masyarakat berlomba mendapatkan akses. Hal ini dipahami karena legitimasi
lama sudah tidak berlaku lagi, berganti dengan legitimasi baru.
Legitimasi baru yang berupa pendidikan formal dan kedekatan dengan
negara (linking), ternyata tidak sulit didapatkan. Hal ini dipahami karena negara
hadir begitu masifnya. Kondisi ini menyebabkan masyarakat Desa Rintis
sesungguhnya berada pada tingkat legitimasi yang tidak terpaut terlalu jauh lagi.
Kemudian, sebagai konsekuensinya, semakin banyak anggota masyarakat yang
berkontestasi untuk menjadi patron baru. Menjadi pemimpin dalam sebuah
perkumpulan sosial ialah salah satu cara yang paling efektif.
Di sisi lain, masyarakat Desa Rintis kini mengalami heterogenisasi pada
sisi mata pencaharian pada khususnya dan ekonomi pada umumnya. Dengan
demikian, eksistensi elit baru tidak lagi efektif karena mereka tidak menjamin
kelangsungan sebagian besar kebutuhan ekonomi mereka. Masyarakat
mengandalkan kerja baik di ranah formal maupun informal yang kini memiliki
peluang yang menjanjikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bagi mereka
yang belum mapan, perkumpulan sosial merupakan sarana untuk mendapatkan
bantuan dari negara untuk meningkatkan kesejahteraan pribadi. Dengan cara
pandang ini, fenomena keanggotaan yang instumental terlihat semakin jelas.
Fakta ini menunjukan bahwa agen/aktor baik pemimpin maupun anggota
dari perkumpulan sosial memiliki gerak yang dinamis. Selain karena pengaruh
perubahan struktur sosial yang terjadi di Desa Rintis, tentunya mereka sebagai
agen/aktor memiliki begitu banyak pilihan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Sikap oportunistik atau lebih tepatnya menyandarkan diri pada pilihan rasional
menjadi hal yang tidak terhindarkan. Dalam himpitan struktural itu, mereka
memiliki daya inovatif dalam upaya meningkatkan modal ekonomi maupun modal
simbolik.
Perkumpulan sosial di Desa Rintis ialah perwujudan dari upaya aktif
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya yang ditopang oleh
kontestasi elit baru dalam berelasi dengan negara. Oleh karenanya, performa
yang ada dari setiap perkumpulan sosial tidak menunjukan kapabilitas yang
mumpuni. Hal ini dipahami karena norma (norm) yang dalam perspektif modal
sosial Putnam merupakan generalisasi dari kepercayaan (trust) antar anggota
tidak tercipta dengan baik. Tepat rasanya jika mengatakan bahwa perkumpulan
sosial hanyalah formalisasi representasi dari para pemimpinnya.
Universitas Indonesia
144
Pendekatan yang dilakukan oleh Szreter (2002, 2005) sesungguhnya
merespon perdebatan akademik mengenai konsep modal sosial. Szreter
mencoba membahas modal sosial dari tingkat mikro hingga makro. Dalam
pendekatan ini, aktor/agen selesai dibahas pada tingkat mikro. Padahal,
Bourdiue (dalam Fuch 2003), Lin (2001a. 2001b), dan juga Putnam (2000, dalam
Szreter, 2002) sudah memberikan landasan bahwa keterlibatan aktor/agen di
dalam perkumpulan sosial ialah untuk memperoleh ‘profit’, ‘impact’ atau ‘gain’
baik yang ekonomis, sosial, maupun kultural. Oleh karenanya, dinamika
agen/aktor sudah selayaknya mendapatkan tempat dalam analisa modal sosial
sekalipun dalam tingkat analisa makro.
Kontribusi teoritik dalam diskusi ini, sebagaimana sudah disinggung oleh
Gotto, etc., (2011) dan Achwan (2012) bahwa pemimpin memainkan peran
penting dalam modal sosial, baik pada tingkat mikro maupun makro, yang
dikembangkan oleh Szreter. Ibu Isye, Pak Umar, dan Pak Parjo merupakan
gambaran bagaimana pemimpin yang memiliki modal simbolik yang besar
mampu me-linking dengan negara. Di sisi lain, ia juga memiliki kemampuan
untuk merekrut anggota baru di dalam perkumpulan sosialnya masing-masing
dengan kemampuanya itu. Walaupun dalam kasus ini, para pemimpin tersebut
belum mampu untuk memperkuat bonding dan bridging serta kapabilitas
organisasi. Dengan demikian, studi ini mengisi celah tersebut dengan
menjelaskan latar kontekstual bagaimana pemimpin di dalam perkumpulan sosial
memiliki peranan penting di dalam dinamika modal sosial, khususnya yang
dikembangkan oleh Szreter (2002, 2005).
D. Kontribusi Praktis: Menuju Pemerintah Lokal yang BerkapabilitasOtonomi daerah, sebagai sebuah konsep politik yang relatif baru di
Indonesia memiliki implikasi yang begitu luas bagi kehidupan masyarakat. Hal ini
ditandai dengan semakin leluasanya pemerintahan di tingkat kabupaten untuk
mengelola sumber daya yang ada di deaerahnya. Proporsi yang luas itu,
idealnya semakin mendekatkan negara kepada masyarakat, terutama dalam
upaya perluasan pelayanan publik. Kondisi ini seharusnya semakin masif, karena
di tingkat pusat pemerintah pun memberikan regulasi yang menekankan pada
peran aktif dari masyarakat sampai tingkat desa.
Universitas Indonesia
145
Pengalaman pemberlakuan otonomi di Porto Alegre, sebuah wilayah
otonom di Brazil, merupakan salah satu yang dianggap sebagai contoh sukses.
Bruce (2004) menjelaskan bagaimana pemerintah lokal di sana memberlakukan
mekanisme anggaran yang diserahkan kepada masyarakat. Dalam konteks ini
diketahui pemerintah lokal mendorong partisipasi masyarakat dalam
pembangunan daerah berdasarkan keinginan masyarakat itu sendiri. Pemerintah
daerah memainkan peran sebagai fasilitator yang baik agar masyarakat mampu
mengidentifikasi masalah dan solusi yang akan ditempuh. Dengan demikian,
pembangunan di daerah diarahkan seutuhnya untuk kepentingan masyarakat,
bukan hanya pada tingkat prosedural namun juga substansinya.
Mekanisme itu sesungguhnya juga sudah diwadahi di Indonesia. Pada
tingkat desa, sebagaimana juga Desa Rintis, musrenbang dijadikan dasar untuk
menetapkan bidang-bidang pembangunan masyarakat sekaligus anggarannya.
Namun, mekanisme itu belum dilaksanakan seutuhnya. Pelaksanaan
mursenbang hanya merupakan prosedur wajib yang tidak menekankan pada
prinsip partisipasi masyarakat. Hasil musrenbang tingkat desa peru terus dikawal
sampai pada pembahasan RAPBD, pada tingkat ini yang lebih diutamakan ialah
mekanisme politik bukan lagi kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, dalam praktik otonomi daerah, sumber daya daerah
belum banyak dinikmati oleh masyarakat pada lapis bawah. Sejauh ini, hanya
segelitir orang saja yang menikmatinya. Dalam kasus Desa Rintis, perkumpulan
sosial hanya menjadi kepanjangtanganan dari pemerintah daerah. Perkumpulan
sosial hanya dijadikan wadah penampung atas program yang tidak pernah
mereka ketahui. Meskipun pada akhirnya program tersebut sampai kepada
masyarakat, namun dalam kerap kali kebutuhan masyarakat dengan program
yang diberikan jauh berbeda. Oleh karenanya, program-program yang masuk
hanya dijadikan proyek oleh sebagian pejabat daerah, dari tingkat kabupaten
sampai desa, sebagaimana dalam penjelasan Breman dan Wiradi (2004).
Kondisi ini dipengaruhi dengan mekanisme anggaran pemerintah, baik
pusat maupun daerah. Sejauh ini, ukuran kinerja pemerintahan kini hanya dilihat
dari penyerapan anggarannya. Hal ini tentunya memicu penggunaan anggaran
yang tidak tepat sasaran. Dengan pengawasan penggunaan anggaran yang
kurang ketat, membuka celah bagi oknum pemerintah untuk
menyelewengkannya. Misalnya di Desa Rintis, dengan anggaran pendidikan
20%, sudah selayaknya dinas pendidikan Kab. Kep Anambas memberikan
Universitas Indonesia
146
sokongan program kepada PKBM Kurnia, namun dalam praktiknya dukungan itu
sangat lemah. PKBM Kurnia lebih banyak mendapatkan bantuan dari instansi
lain.
Kabupaten Kepulauan Anambas perlu banyak bebenah agar kemampuan
otonomi yang dimilikinya dapat difokuskan untuk kepentingan masyarakat. Sejak
pemekarannya pada tahun 2008, kehadiran pemerintah lokal telah membawa
perubahan sosioekonomi pada masyarakat Desa Rintis dan tentunya semua
desa yang ada di Anambas. Dalam tulisan ini, hadirnya pemerintahan lokal baru
mengubah orientasi masyarakat dari pasar (market) ke negara (state). Hal ini
dipahami karena kehadiran negara bukan hanya memberikan keluasan
pelayanan publik, namun juga sumber daya lain yang bernilai ekonomi.Kondisi
inilah yang menyebabkan di Desa Rintis bermunculannya elit-elit baru yang
disertai dengan kompetisi antar mereka dalam mendapatkan akses negara.
Dalam tulisan ini, hadirnya negara juga memicu bermunculannya
perkumpulan sosial baik disebabkan oleh regulasinya maupun disebabkan oleh
upaya mendapatkan sumber daya tersebut. Dalam kondisi tersebut, eksistensi
perkumpulan sosial di Desa Rintis hanya menggantung ke atas dalam artian
bahwa keberadaan mereka tidak didasarkan pada prinsip civil society. Ada
ketidakseimbangan jaringan modal sosial yang dikembangkan di dalam
perkumpulan sosial, yaitu optimalisasi linking, dan pengabaian bonding dan
bridging. Diketahui bahwakondisi ini menyebabkan disharmoni diantara elit
maupun masyarakat pada umumnya, dan jika dibiarkan berlanjut maka akan
berpotensi menciptakan masyarakat predator (lihat tabel 2).
Perubahan kapabilitas pemerintah lokal, tentunya akan berdampak
langsung pada performa perkumpulan sosial. Hal ini dipahami karena pemerintah
lokal memiliki dampak yang signifikan terhadap eksistensi perkumpulan sosial di
Desa Rintis, terutama melalui regulasi serta bantuan-bantuan yang diberikan
(lihat tabel 7). Kapabilitas pemerintahan lokal itu harus terwujud dalam tiga hal,
pertama ialah mengenai upaya perluasan informasi publik. Hal ini sangat penting
dalam upaya memberikan kesamaan hak warga negara untuk mendapatkan
pelayanan publik. Sebagai daerah perbatasan dan kepulauan, kemudian juga
masih minimnya tingkat pendidikan masyarakat menjadi tantangan yang cukup
besar. Selama ini, akses terhadap negara dijadikan sebagai salah satu modal
simbolik oleh elit masyarakat, khususnya dalam hal ini ialah para pemimpin di
dalam perkumpulan sosial. Jika informasi publik terutama yang terkait dengan
Universitas Indonesia
147
pembangunan masyarakat semakin terbuka maka para pemimpin perkumpulan
sosial akan mengubah orientasi kapitalisasi modal simboliknya pada hal lain,
terutama pada hal-hal yang lebih positif seperti prestasi perkumpulan sosialnya.
Melalui prinsip ini pula, aktor-aktor baru akan muncul dalam upaya
pembangunan masyarakat. Mereka akan terlibat dalam pembuatan keputusan
pemerintah daerah, dengan sendirinyakondisi ini akan memaksa kekuatan-
kekuatan lama untuk merespon tuntutan-tuntutan yang lebih representatif.
Selama ini partisipasi masyarakat hanyalah merupakan bungkus prosedural
untuk merespon tuntutan sekelompok kecil pelobi yang memiliki kekuatan yang
besar, atau sekadar memenuhi tuntutan para konstituen yang dianggap
menentukan dalam politik daerah, misalnya seperti Pilkada.
Kemudian, dengan munculnya aktor-aktor baru juga dapat mengurangi
penyimpangan yang dilakukan oleh oknum pemerintah lokal. Diketahui, di
Anambas dengan anggaran yang begitu besar belum dioptimalkan dengan baik
dalam upaya pembangunan masyarakat. Hal ini disebabkan karena ada indikasi
kuat ada beberapa oknum pejabat di tingkat Pemerintah Kab. Kep Anambas
yang masih mengunggunakan anggaran tersebut untuk kepentingan pribadinya
atau kelompoknya (lihat dalam penjelasan tabel 6). Hal ini sangat mungkin terjadi
karena besarnya anggaran yang ditujukan untuk pembangunan masyarakat baik
lewat anggaran pemerintah pusat, provinsi maupun kabupeten/kota. Jika
dilaksanakan dengan konsisten, maka perluasan informasi publik akan
mengurangi relasi lama yang sudah terbentuk. Dengan demikian, maka
kesempatan perkumpulan sosial yang memang benar-benar mewadai
kepentingan masyarakat akan lebih banyak bermunculan.
Salah satu contoh perluasan informasi publik berdampak pada perbaikan
performa perkumpulan sosial dapat terlihat pada paguyuban pasundan. Dalam
perkumpulan sosial ini, begitu banyak anggota yang yang memiliki akses
terhadap negara, bahkan tiga orang pucuk pimpinannya ialah pegawai
pemerintah. Selain itu, banyak pula anggotanya yang merupakan pegawai
pemerintah. Sebelum adanya perombakan kepengurusan, perkumpulan sosial ini
tidak memiliki aktifitas yang nyata. Kini mereka menjadi salah satu harapan
penguatan solidaritas lewat kegiatan-kegiatan revitalisasi semangat etnisitas.
Pada kasus ini memang perluasan informasi publik bukan disebabkan oleh
program pemerintah, kebetulan saja pada rapat kepengurusan dipilihlah
pengurus yang memiliki akses terhadap pemerintahan lokal. Kedepan,
Universitas Indonesia
148
pemerintah lokal harus menyiapkan strategi agar informasi publik bisa diakses
semakin banyak oleh masyarakat dari berbagai tingkat ekonomi dan sosial.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah lokal ialah
membangun kelas menengah di pedesaan. Dalam konteks ini, kelas menengah
bukan hanya ditinjau dari tingkat ekonominya semata, yang lebih penting ialah
sandaran kepada tingkat kesadaran sosial dan politik. Dalam kasus Desa Rintis,
Abdul Hadi merupakan salah satu contoh kelas menengah karena memiliki
kesadaran yang tinggi dalam pembangunan masyarakat. Salah satu elemen
yang mendorong terbentuknya kelas menengah ialah tingkat pendidikan yang
tinggi. Semakin banyaknya kelas menengah pedesaan, secara simultan akan
mendorong terciptanya masyarakat yang kuat, lewat partisipasi yang substansial.
Oleh karenanya, pemerintahan lokal harus mendorong agar generasi muda
pedesaan melanjutkan studinya sampai tingkat perguruan tinggi.
Kedua, dengan besarnya anggaran pemerintah Kabupaten Kepulauan
Anambas perlu dibarengi dengan pemberian bantuan dengan proporsi yang
jelas. Diketahui, bahwa bantuan menjadi salah satu faktor terbentuknya
perkumpulan sosial (lihat tabel 6 dan 7). Melanjutkan penjelasan sebelumnya
mengenai perluasan informasi publik, pemberian bantuan dengan proporsi yang
jelas menjadi keperluan yang mendesak. Pada penjelasan di bab III, kondisi tidak
jelasnya proporsi bantuan yang ada menyebabkan ketegangan diantara
perkumpulan sosial. Pemerintah lokal telah merespon ini dengan memberikan
batas maksimal bantuan pada setiap perkumpulan sosial pada tahun anggaran
2013. Namun, kebijakan ini kurang tepat karena tidak semua perkumpulan sosial
memiliki kebutuhan alokasi dana yang sama. Pemerintah lokal harus mampu
mengidentifikasi perkumpulan sosial yang ada.
Dalam konteks ini pemerintah kabupaten sudah melakukan upaya yang
terukur dalam memperbaiki kondisi perkumpulan sosial di Anambas. Seperti
misalnya, penertiban perkumpulan sosial yang berbentuk Ormas dan LSM.
Dengan demikian, peluang ‘permainan’ anggaran antara oknum pemerintah
kabupaten dengan perkumpulan sosial semakin sulit. Oleh karenanya, kini
semakin terlihat perkumpulan sosial yang memang memiliki komitmen terhadap
kemajuan anggota serta masyarakat pada umumnya. Identifikasi perkumpulan
sosial sangat penting, karena perkumpulan sosial yang kapabel dapat menjadi
mitra pemerintah dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat.
Sayangnya, selama ini di Desa Rintis, pemerintah lokal tidak begitu terasa
Universitas Indonesia
149
kehadirannya dalam program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan
oleh perkumpulan sosial. Diketahui, divisi CSR Premier Oil yang memiliki konsep
pemberdayaan masyarakat yang lebih jelas di Desa Rintis, karena memang
mereka menerapkan mekanisme keswadayaan dalam setiap program yang
dijalankan. Ada baiknya jika pemerintah lokal mau membuka diri untuk bekerja
sama dengan pihak konsorsium perusahaan yang masing-masing memiliki divisi
CSR dalam upaya untuk membina perkumpulan sosial di Anambas dengan
mekanisme yang lebih terukur dan tepat sasaran.
Pemerintah lokal juga memiliki tanggungjawab untuk menyadarkan
perkumpulan sosial untuk lebih mandiri dan tidak bergantung pada negara saja.
Selama ini kelekatan negara dengan perkumpulan sosial terjalin dalam pola top-
down saja. Dalam konteks itu, perkumpulan sosial tidak diberikan ruang untuk
mengembangkan diri terutama dalam inovasi kegiatan. Perkumpulan sosial
hanya menjadi kepanjangtanganan dari program kerja pemerintah semata. Oleh
karenanya, setiap program kerja, bantuan, dan kerja sama yang dilakukan oleh
pemerintah lokal dengan perkumpulan sosial harus menekankan pada sisi
kemandirian masyarakat. Pemberian uang saku yang terlalu besar dalam setiap
pelatihan atau program lainnya merupakan salah satu contoh negatif kebijakan
pemerintah lokal terhadap perkumpulan sosial dan masyarakat pada umumnya.
Sudah semestinya pemerintah lokal memberikan bantuan yang lebih berdampak
bagi kebutuhan masyarakat luas, dan jika harus memberikan bantuan langsung
diharapkan tidak lagi memberikan dalam bentuk uang tunai.
Ketiga, pemerintah lokal perlu mengusahakan perningkatan kapasitas
kelembagaan dari setiap perkumpulan sosial yang ada. Salah satu upaya yang
stategis ialah menciptakan suasana yang lebih kondusif diantara pemimpin atau
pengurus perkumpulan sosial yang ada yaitu dengan memberikan ruang
interaksi sosial dalam upaya membangun visi bersama. Kemudian, pemerintah
lokal dapat memberikan masukan mengenai pengelolaan perkumpulan sosial
yang sesuai dengan harapan dari pemerintah dan masyarakat. Hal ini semakin
mudah karena setiap perkumpulan sosial di tingkat desa telah memiliki
perwakilan pada tingkat kabupaten. Seperti misalnya, PKBM Kurnia tentunya
berafiliasi dengan HIMPAUDI Kab. Kep. Anambas, kemudian kelompok tani dan
nelayan terwadahi dalam KTNA Kab. Kep. Anambas.
Dari penjelasan sebelumnya, hanya PKBM Kurnia yang mendapatkan
kesempatan pelatihan peningkatan kapasitas kelembagaan yang disponsori oleh
Universitas Indonesia
150
divisi CSR Premier Oil. Pelatihan tersebut berdampak dengan terbentuknya
kepengurusan PKBM Kurnia dengan Abdul Hadi sebagai ketuanya. Walaupun
kinerja kepengurusan belum berjalan dengan baik, tetapi dari segi pengelolaan
dan kapasitas perkumpulan sosial mulai ada perbaikan sedikit demi sedikit.
Sesungguhnya, mekanisme inilah yang dibutuhkan setiap pekumpulan sosial,
karena kepengurusan yang ada merupakan representasi dari kepentingan
bersama setiap anggotanya, bukan hanya representasi dari orang per orang.
Dengan demikian, pemimpin sebelumnya yaitu Ibu Isye menjadi berkurang
peranannya di dalam organisasi. Perkumpulan sosial akan berubah dari
formalisasi mekanisme patron klien menuju organisasi yang lebih mapan.
Demikianlah rekomendasi praktis atas permasalahan relasional antara
pemerintah lokal dengan perkumpulan sosial di Anambas. Merujuk pada
penjelasan Putnam (2004) bahwa pemerintahan yang responsif akan
merangsang terciptanya masyarakat yang aktif. Rekomendasi ini ialah dalam
upaya mewujudkan pemerintahan lokal yang responsif, atau yang dalam bahasa
Evans dan Block (2005) ialah pemerintahan lokal yang memiliki kapabilitas
mampuni. Hal ini menandai bahwa kelekatan atau kedekatan antara dua institusi
tersebut saja tidak cukup, masih diperlukan upaya peningkatan kapabilitas dari
masing-masing. Pemerintahan lokal harus memiliki tanggungjawab sekaligus
kemampuan dalam upaya tersebut, karena terciptanya perkumpulan sosial yang
kapabel merupakan salah satu pilar dalam kehidupan demokrasi. Dengan
demikian, jika dilaksanakan dengan serius maka masyarakat kita akan beralih
dari demokrasi prosedural menuju demokrasi substansial.
Universitas Indonesia
151
DAFTAR PUSTAKABuku dan JurnalAchwan, Rochman (2011). Contesting Business Networks in Liberalising
Economy and Polity: Evidence from Regional textile Business in Indonesia.Asian Social Science (7) 1, pp 60-70.
Achwan, Rochman (2012). The Fountain of Love Credit Union: A VibrantMicrofinance Institution in A Hostile Inter-Ethnic Society. Asian CaseResearch Journal (10) 1, pp 93-114.
Agustino, Leo. 2011. Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi Gelap Desentralisasi diIndonesia Berbanding Era Sentralisasi. Bandung: Widya Padjajaran.
Alexander, C Jeffrey. 2006. The Civil Sphere. New York: Oxford UniversityPerss.
Antlov, Hans. 2003. Kiprah Madani dalam Pembaruan Pemerintah Daerah diIndonesia. (dalam Anlov, Hans dkk. 2005. Bila Warga Ikut Menata Negara:Wacana Negeri-negeri Jiran Thailand, Indonesia, Filipina. Manila: Institutefor Popular Democrary.
Aspinal, Edward and Greg Fealy (ed.). 2003. Local Power and Politic inIndonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Baker, Gideon. 2002. Civil Society and Democratic Theory: Alterative Voices.London and New York: Routledge.
Block, Fred and Peter Evans. 2005. The State and Economy. (dalam Smelseer,Neli J and Richard Swedberg. 2003. The Handbook of EconomicSociology. New York: Princeton University Perss.)
Boidreau, Vincent. 2001. Grass Roots and Cadre in the Protest Movement.Quezon City: Ateneo de Manila University Press.
Breman, Jan dan Gunawan Wiradi. 2004. Masa Cerah dan Masa Suram diPedesaan Jawa: Studi Kasus Dinamika Sosio-Ekonomi di Dua DesaMenjelang Akhir Abad ke- 20. Jakarta: LP3ES.
Bruce, Iain (Ed.). 2004. The Porto Alegre Alternative: Direct Democracy in Action.London: Ann Abror and IIRE.
Bruinessen, Martin Van. 1999. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Brymen, Alan and Robert G. Burgess. 2002. Analyzing Qualitative Data.NewYork and London: Routledge.
Bunte, Marco and Andreas Ufen. 2009. Democratization in Post-SuhartoIndonesia. New York: Routlegde.
Calhoun, Craig, Joseph Gertheis, James Moody, Steven Pfaff, and IndermohanVirk (Ed). 2012. Calssical Sociological Theory. West Sussex: WilleyBlackwell.
Cresswell, John W. 2003.Research Design: Qualitative, Quantitative, and MixedMethods Approaches. California: Sage Publication, Inc.
Fuchs, Christian. 2003. Some Implication of Pierre Bourdiue’s Work for a Theoryof Social Self-Organization (dalam European Journal of Social Theory6(4)). London: Sage Publication.
Gorral, Sonnopa D. 2012. Socio-Economic Impact of Urbanization on RuralCommunity. Global Economy Research. (Vol. I, Isuu: II hal 40-46).
Gotto, George S, Etc. 2011. Accessing Social Capital: Implications for Personswith Dissabilities. The National Gateway to Self-Determination(www.aucd.org/ngsd).
151
Universitas Indonesia
152
Hadiz, Vedi R. 2010. Localising Power in Post-Autoritarian Indonesia: A South-East Asia Perspective.California: Stanford University Perss.
Harker, Richard, Cheelen Mahar, Chris Wikes.2009.(Habitus X Modal) + Ranah=Praktik. Bandung: Jalasutra.
Ingelson, John. 2004. Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja,dan Perkotaan Masa Kolonial. Depok: Komunitas Bambu.
Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia:Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
Long, Hualou, dkk. 2005. Socio-economic development and land-use change:Analysis of rural housing land transition in the Transect of the YangtseRiver, China. dalam www.elsevier.com/locate/landusepol diakses pada 2April 2012.
Lapian, Adrian B. 2011. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah KawasanLaut Sulawesi Abad XIX. Depok: Komunitas Bambu.
Lin, Nan. 2001. Social Capital: A Theory of Social Structure and Action. NewYork: Cambrigde University Press.
Lin, Nan, Karen Cook, and Ronald S Burt. 2001. Social Capital: Theory andResearch. New York: Aldine De Gruyter.
Martinussen, John. 1999. Society, State, and Market: A Guide to CompletingTheories of Development. London and Newyork: Zed Book Ltd.
Mears, Leon A., dan Sidik Moeljono. Kebijaksanaan Pangan. (Dalam Booth,Anne dan Peter McCalwey. 1986. Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES.
Mubyarto.1994. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta:Peneribit Sinar Harapan.
Soetomo. 2012. Keswadayaan Masyarakat: Manifestasi Kapasitas Masyarakatuntuk Berkembang secara Mandiri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Simanjuntak, Bungaran Antonius (ed.). 2012. Otonomi Daerah,Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia: Berapa Persen LagiTanah dan Air Milik Rakyat? Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sutijatiningsih, Sri dan Gatot Winoto. 1999. Kepulauan Riau Pada Masa Dollar.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Szreter, Simon. 2002. The State of Social Capital: Bringing Back in Power,Politics and History. (dalam Theory and Society, Vol 31. no. 5 (oct,.2005)). Spirnger.
Szreter, Simon. 2005. Health and Wealth: Studies in History and Policies. NewYork: University of Rochester Press.
Tjondronegoro, Sediono M.P. 1984. Social Organization and PlannedDevelopment in Rural Java; A Study of the Organizational Phenomenon inKecamatan Cibadak, West Java, and Kecamatan Kendal Central Java.Singapore: Oxford University Press.
Tjondronegoro, Sediono M.P (disunting oleh Adiwibowo dkk.). 2008. RanahKajian Sosiologi Pedesaan. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia IPB.
Tocqeuville, Alexis de (disunting oleh Stone dan Mennel). 2005. TentangRevolusi, Demokrasi, dan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
White, Ben. 2003. Nucleus and Plasma: Contract Farmingand The Exercise ofPower in Upland West Java. (dalam Li, Tania (ed.). 2003. TransformingThe Indonesian Uplands. Harwood Academic Publishers).
Widjajanto, Andi dkk. 2007. Transnasionalisasi Masyarakat Sipil. Yogyakarta:LKIS.
Williams, Michael C. 2003. Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926di Banten. Yogyakarta: Syarikat.
Wollstein, Stefanie Edler and Beate Kohler-Koch. 2008. It’s About Participation,stupid Is it? Civil-Society Concepts in Comparative Perspective. (dalamJobert, Bruno and Beate Kohler-Koch. 2008. Changing Images of CivilSociety: From protest to governance. London and New York: Routledge.
Wolters, O.W. 2011. Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan DuniaAbad III- Abad VII. Depok: Komunitas Bambu.
Yosihara, Naoki and Raphaella Dewantari Dwiyanto (Ed.). 2003. Grass Rootsand The Neighborhood Associations: On Japan’s Chonaikai andIndonesian’s RT/RW. Jakarta: Grasindo.
Skripsi/Thesis/DisertasiAkmaruzzaman. 2009. Strategi Mensinergikan program Pengembangan
Masyarakat Dengan Program Pembangunan Daerah: Kasus ProgramCommunity Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natunadan Kabupaten Anambas. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. (Tesis).
Dwianto, Raphaella D. 2001. Present Forms and Potential of NeighborhoodAssociation: Case Studies on Indonesia and Japan. Tohoku University(Disertasi).
Guntoro, Gigih. 2009. Pengaruh Modal Sosial Masyarakat Terhadap DayaDukung Sosial Lingkungan Permukiman Kumuh dan Padat di KampungRawa. Depok: FISIP UI (Tesis).
Kholison, Yanin. 2006. Perlawanan Nelayan Lokal Terhadap PelanggaranNelayan Asing Thailand. Depok: Departemen Antropologi FISIP UI. (Tesis).
Universitas Indonesia
154
Koenawan, Chandra Joei. 2007. Kajian Pemanfaatan Ruang Pesisir dan LautKepulauan Anambas Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau. Bogor:Sekolah Pascasarjana IPB. (Tesis).
Prayitno, Ujianto Singgih. 2004. Modal Sosial dan Ketahanan Ekonomi KeluargaMiskin: Studi Sosiologi pada Komunitas Bantaran Ciliwung. Depok:Sosiologi FISIP UI. (Disertasi).
Razif. 1988. Tahap-Tahap Perekrutan dan Pengusahaan Kuli Kontrak Jawa diPerkebunan Karet Sumatra Timur 1904-1920. Depok: Jurusan SejarahFIB UI. (Skripsi)
Suryana, Asep. 2007. Suburbanisasi dan Kontestasi Ruang Sosial di Citayam.Depok: FISIP UI (Tesis).
DokumenData Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani Kabupaten Kepulauan
Anambas Tahun 2013. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. KepAnambas.
Data LSM, ORMAS, dan Organisasi Kepemudaan Tahun 2013. Badan KesatuanBangsa, Politik dan Penanggulangan Bencana Daerah Kab. Kep.Anambas.
Hasil Sensus 2010, BPS Kab Kep Anambas.Keputusan Menkokesra No. 25/KEP/MENKO/KESRA/VII/2007 Mengenai
Pedoman Umum PNPM-Mandiri.Laporan Assesment Program Pertanian Ramah Lingkungan Desa Rintis
Kecamatan Siantan, Desa Langir Kecamatan Pal Matak KabupatenKepulauan Anambas. 2010. CS3D dan Paramitra Foundation For PremierOil.
Laporan Assesment Program PKBM Kurnia Desa Rintis tahun 2012. Lab SosioUNJ dan Premier Oil.
Laporan Program Pertanian Organik Desa Rintis tahun 2012. Joglo Tani danPremier Oil.
Permendagri No. 5 Tahun 2007 tentang Lembaga Kemasyarakatan.Permendagri No. 33 tahun 2012 Pedoman Pendaftaran Oganisasi
Kemasyarakatan Di LingkunganKementrian Dalam Negeri danPemerintah Darah.
PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa.Prayogo, Dodi dkk. 2010. Laporan Evaluasi Program Community Development
2008-2009 Kabupaten Anambas Kepulauan Riau. Depok: Lab Sosio UIdan Premier Oil (tidak dipublikasikan).
Penilaian Lembaga (Nilem) tahun 2012, PKBM Kurnia.Profil Desa Rintis tahun 2012, Desa Rintis, Kecamatan Siantan, Kab Kep
Anambas.UU No. 5 tahun 1979tentang Desa.UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.UU No. 30 tahun 2008 tentang Pembentukan Kab. Kep Anambas di Provinsi
Kep. Riau.Sejarah Tarempa, disusun oleh LAM (Lembaga Adat Melayu) Kecamatan Pal
Matak.
Universitas Indonesia
155
Surat KabarAnambas Pos edisi April tahun 2013.Harian Djaja No. 108 15 Februari Tahun 1964.Pandji Poestaka tahun II, No. 21, 22 Mei 1924.Warta PPN Djanuari/Februari 1958.Warta PPN Nopember/Desember 1960.Warta SARBUPRI 6 Juli Tahun 1951.Warta SARBUPRI 30 Agustus 1951.