PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi 2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini 3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah 4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah Selamat membaca !!! Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
114
Embed
PERINGATAN - elibrary.unisba.ac.idelibrary.unisba.ac.id/files/09-1448_Fulltext.pdfkepribadian seperti apakah yang ditampilkan oleh praja wasana dalam menggunakan coping strategy dalam
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
HUBUNGAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERSI – INTROVERSI
DENGAN COPING STRATEGY
DALAM MENGHADAPI TUGAS AKHIR PADA WASANA PRAJA
DI INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
JATINANGOR – SUMEDANG
SKRIPSI Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Menempuh Ujian Sarjana Pada
Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung.
Disusun Oleh :
RIYANDA UTARI
10050003023
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2009
”Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu.
Orang-orang yang masih terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan”
��������� ���������� ���������� ���������� �����
����
Motto :
”Engkau berpikir tentang dirimu sebagai seonggok materi semata,
padahal di dalam dirimu tersimpan kekuatan tak terbatas”.
(Ali bin Abi Thalib)
����
����
i
ABSTRAK
RIYANDA UTARI (10050003023). “Hubungan tipe kepribadian ekstroversi – introversi dengan coping strategy dalam menghadapi Tugas Akhir pada wasana praja di Institut Pemerintahan Dalam Negeri Jatinangor-Sumedang”.
Latar belakang masalah dari penelitian ini diangkat dari fenomena mengenai tekanan (stres) yang dialami oleh mahasiswa tingkat akhir saat menyusun Tugas Akhir pada umumnya. Keberhasilan dari suatu instansi pendidikan salah satunya dapat dilihat dalam meluluskan mahasiswa dengan kualitas terbaik. Keadaan stres merupakan suatu keadaan yang wajar dialami individu untuk mendapatkan keseimbangan dan merupakan bentuk cara beradaptasi dalam menghadapi lingkungan. Hal ini yang salah satunya terjadi pada mahasiswa tingkat akhir Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dimana harus menyelesaikan perkuliahan dengan pemadatan kurikulum pendidikan dan percepatan kelulusan. Dalam keadaan stres seorang individu dapat menggunakan berbagai coping strategy untuk menghadapinya dan hal tersebut tidak terlepas pada kecenderungan tipe kepribadian yang dimiliki oleh masing-masing individu. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kecenderungan tipe kepribadian seperti apakah yang ditampilkan oleh praja wasana dalam menggunakan coping strategy dalam menghadapi Tugas Akhir pada wasana praja di Institut Pemerintahan Dalam Negeri Jatinangor. Adapun kegunaan Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi IPDN khususnya dalam memberikan arahan bagi praja wasana yang mengalami hambatan dalam menggunakan coping strategy terhadap stres yang dibutuhkan dalam menghadapi Tugas Akhir. Sampel dari penelitian ini adalah mahasiswa tingkat akhir IPDN sebanyak 100 orang praja wasana. Alat ukur yang digunakan adalah Eysenck Personality Inventory (EPI) dan Ways of Coping the Revised Version.Uji statistik yang digunakan adalah Uji Korelasi Koefisien Kontingensi dengan uji validitas dan reliabilitas menggunakan SPSS 16.0. Hasil dari penelitian ini adalah adanya korelasi antara tipe kepribadian ekstroversi dan introversi dengan coping strategy dalam menghadapi Tugas Akhir dengan C = 0,33 dan Cmax = 0,707 dan berada pada tahap korelasi sedang.
ii
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah SWT penulis ucapkan atas rahmat dan karunia-Nya
yang tiada henti mengiringi penulis dalam menjalani pendidikan di Fakultas
Psikologi Universitas Islam Bandung hingga akhirnya penelitian ini dapat
diselesaikan. Penelitian ini penulis beri judul “Hubungan tipe kepribadian
ekstroversi – introversi dengan coping strategy dalam menghadapi Tugas Akhir
pada wasana praja di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor-
Sumedang”.
Penulis menyadari akan keterbatasan yang dimiliki dalam penyusunan
penelitian ini hingga mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Dengan
segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan, kritik,
bimbingan dan do’a yang diberikan kepada penulis.
Penulis mengucapkan ucapan terima kasih secara khusus kepada :
1. Ibu Dr. Endang Pudjiastuti, M.Pd, sebagai pembimbing I.
2. Ibu Dra. Endah Nawangsih, M.Psi, sebagai pembimbing II.
3. Dr.Umar Yusuf, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam
Bandung.
4. Ibu Dra. Lilim Halimah, selaku dosen wali.
5. Ibu Dra. Dewi Sartika, M.Si, yang telah bersedia memberikan masukan, saran,
dan kritik bagi perbaikan penelitian ini.
6. Seluruh Staff, Karyawan, dan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam
Bandung
iii
7. Rektor serta Praja wasana IPDN yang telah bersedia membantu penulis dalam
pembuatan penelitian ini.
8. Sahabat terbaikku Ferry Febrian Bahar, S.T., dan keluarga, terima kasih atas
dukungan tiada henti dan kesediaannya mendengarkan keluh kesah penulis
selama pembuatan penelitian ini.
9. Teman-teman terbaik dan seperjuangan yang selalu mendukung dan
memberikan warna selama pembuatan penelitian ini Mega, Nita, Natasya, Sisi,
Tania, Kokoy, Noniek, Vira, Tiwi, Fenti.
10. Seluruh teman-teman angkatan 2003 yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, terima kasih atas kebersamaan dan kekompakan kita saat kuliah,
mudah-mudahan kita semua bisa bertemu kembali.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas
dukungan dan do’a yang diberikan pada penulis untuk dapat menyelesaikan
penelitian ini.
Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penulisan ini, karena itu
kritik dan saran dari pembaca sangat diperlukan oleh penulis. Semoga skripsi ini
dapat memberikan sumbangan ilmu bagi pembaca dan penulis sendiri pada
khususnya.
Bandung, Februari 2009
Penulis
iv
LEMBAR PENGESAHAN
����������� ����������
��������
HUBUNGAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERSI – INTROVERSI
2.2.2.1 Akibat Fisik...............................................
i
ii
iv
vii
1
8
10
10
11
12
17
18
19
20
20
23
24
27
28
29
32
33
vi
2.2.2.2 Akibat Emosional......................................
2.2.2.3 Akibat pada Perilaku.................................
2.2.3 Sumber Stres…………………………………….
2.2.4 Strategi Penanggulangan Stres
(Coping Strategy)………………………………..
2.2.5 Hubungan Antar Fungsi Coping Strategy………
2.2.6 Hubungan Stres dan Strategi Penanggulangan
Stres……………………………………………...
2.2.7 Hambatan dalam Coping Strategy………………
2.3 Institut Pemerintahan Dalam Negeri…………………..
2.3.1 Sejarah IPDN……………………………………
2.3.2 Visi dan Misi IPDN……………………………...
2.3.3 Tujuan IPDN…………………………………….
2.3.4 Mahasiswa IPDN………………………………..
2.4 Kerangka Pikir………………………………………...
2.4.1 Skema Berpikir………………………………….
2.5 Hipotesis Penelitian……………………………………
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian………………………………….
3.1.1 Metode Penelitian……………………………….
3.1.2 Variabel Penelitian………………………………
3.2 Definisi Operasional Variabel…………………………
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian……………………….
3.4 Alat Ukur………………………………………………
3.4.1 Eysenck Personality Inventory…………………..
3.4.2 Ways of Coping The Revised Version…………...
3.5 Prosedur Penelitian……………………………………
3.6 Teknik Analisis………………………………………..
3.7 Teknik Pengolahan Data………………………………
3.7.1 Kriteria Uji Hipotesis……………………………
3.7.2 Hipotesis Statistik……………………………….
33
34
35
36
41
43
45
46
46
48
49
50
50
54
54
55
55
55
56
58
59
59
61
64
66
66
68
69
vii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengolahan Sampel……………………………...
4.1.1 Hasil Test Tipe Kepribadian Ekstroversi -
Introversi ………………………………………
4.1.2 Hasil Test Coping Strategy……………………...
4.2 Hasil Pengolahan Data………………………………...
4.2.1 Hasil Uji Korelasi Koefisien Kontingensi antara
Tipe Kepribadian Ekstroversi-Introversi dengan
Coping Strategy………………………………….
4.2.2 Pembahasan berdasarkan Hasil Kontingensi Tipe
Kepribadian Ekstroversi-Introversi dengan
Coping Strategy………………………………….
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan……………………………………………
5.2 Saran…………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
71
71
72
72
72
74
78
79
DAFTAR TABEL
viii
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 3.1
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Ikhtisar Pandangan Eysenck
Life Event Scale
Harga maksimum Cmax untuk berbagai m
Kecenderungan Tipe Kepribadian
Kecenderungan Coping Strategy
Hasil Uji Korelasi Koefisien Kontingensi
Hubungan antar Tipe Kepribadian Ekstroversi-Introversi
dengan Coping Strategy
17
43
67
71
72
72
74
1BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selama hidup setiap orang pasti mengalami stres. Terdapat berbagai
sumber stres dalam kehidupan, baik dari lingkungan maupun dari dalam diri
seseorang. Betapa banyak contoh orang-orang yang mengalami stres yang dapat
dilihat dalam hidup sehari-hari, dari stres ringan sampai stres berat.
Kata stres yang berasal dari bahasa latin (strictus) ini didefinisikan oleh
J.P Chaplin (488 : 2002) sebagai suatu keadaan tertekan, baik fisik maupun
psikologis. Penyebab mengapa orang menjadi stres, jawabannya akan berbeda
untuk masing-masing orang. Adapun sumber stres dapat timbul dari manapun
seiring dengan perjalanan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya, salah
satunya dapat bersumber dari pendidikan yang dijalaninya.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan pilihan pekerjaan utama saat ini
bagi sebagian orang untuk dijadikan pegangan hidup. PNS memiliki jaminan
pekerjaan dengan kemungkinan Putus Hubungan Kerja (PHK) yang kecil. Selain
itu, dengan menjadi pegawai negeri, seseorang dapat memiliki status sosial yang
diperhitungkan. Saat ini di Indonesia dengan menjadi PNS seseorang memiliki
mata pencaharian tetap, sehingga banyak cara dapat di tempuh untuk dapat
menjadi PNS.
Beberapa lembaga pendidikan memberi jaminan bagi para alumninya
menjadi PNS. Salah satu dari lembaga pendidkan itu adalah Institut Pemerintahan
Dalam Negeri (IPDN).
2IPDN merupakan sekolah pemerintah yang didirikan sejak jaman Hindia
Belanda pada tahun 1920 dan telah mengalami perubahan nama beberapa kali.
IPDN bertujuan mencetak para pegawai pemerintahan yang memiliki wawasan
luas, profesional, demokratis serta memperhatikan lingkungan sekitarnya.
Beberapa perbedaan IPDN dibandingkan dengan perguruan tinggi lainnya
adalah :
1. Lebih banyaknya peluang untuk dapat diterima sebagai peserta didik yang
selanjutnya disebut praja, karena penerimaan dilakukan sesuai kebutuhan PNS
bagi masing-masing propinsi yang ada.
2. Para alumninya akan langsung ditugaskan didaerah asal pendaftaran dengan
status PNS.
3. Selama menjalani pendidikan di IPDN, praja harus tinggal dalam asrama,
dengan sistem pendidikan terpadu yakni sistem pengajaran, pelatihan dan
pengasuhan. Pengajaran dimaksudkan untuk memberikan ilmu pemerintahan
dan ilmu yang dibutuhkan oleh seorang calon PNS yang nantinya akan
menjadi seorang pamong atau yang melayani masyarakat. Pelatihan untuk
memberikan ketrampilan yang mereka butuhkan, sedangkan pengasuhan
untuk mengasah nurani mereka sehingga dapat berperilaku yang baik.
Pendidikan di IPDN harus ditempuh selama 4 tahun dengan 4 tingkatan.
Sebutan bagi praja untuk masing-masing tingkat adalah Muda Praja untuk
tingkat I, Madya Praja tingkat II, Nidya Praja tingkat III dan Wasana Praja tingkat
IV.
3Praja IPDN sempat diberitakan oleh media masa dengan rentetan kasus
kekerasan yang dilakukan oleh senior terhadap juniornya serta beberapa kasus
lainnya yang diberitakan semenjak tahun 1990 – 2005 terdapat 35 kasus yang
berakhir dengan kematian praja dan hanya 10 kasus yang terungkap (Dikutip dari
: www.detik.com). Hal ini membuat Presiden Republik Indonesia mengambil
kebijakan untuk meminta semua pihak menerima keputusan pemerintah agar
menunda proses penerimaan praja baru IPDN tahun ajaran 2007/2008 (Dikutip
dari : Surat Kabar Media Indonesia: 10/04/07). Hal ini dimaksudkan untuk
memutuskan relasi antara junior dan senior satu angkatan. Saat ini yang tersisa
hanya tiga angkatan yaitu tingkat I (muda praja), III (nindya praja) dan IV
(wasana praja).
Dalam rangka memenuhi keputusan pemerintah, maka saat ini IPDN
bermaksud melakukan percepatan kelulusan bagi tingkat III (nindya praja) dan IV
(wasana praja). Oleh karena itu, pada bulan Juni 2008 lalu diselenggarakan
wisuda kelulusan bagi praja IPDN dan pada bulan Maret 2009 akan
diselenggarakan kembali wisuda kelulusan untuk angkatan berikutnya. Hal ini
membuat perubahan pada sistem pembelajaran dan bimbingan bagi praja IPDN
sebab dalam waktu yang singkat wasana praja sebagai praja tingkat akhir harus
mempersiapkan Tugas Akhir mereka sebagai syarat kelulusan dengan tetap
mengikuti perkuliahan yang harus diambil. Sebagai konsekuensi dari adanya
perubahan kurikulum, wasana praja pemadatan kurikulum pendidikan yang
semula harus dijalani selama 4 tahun atau 8 semester, saat ini mereka harus
menjalaninya dengan 3,5 tahun atau 7 semester saja dengan bobot kuliah yang
4sama dan waktu bimbingan yang singkat sehingga mereka harus dapat
menyesuaikan dan mengatur strategi dalam menghadapi tekanan dari institusi
tersebut. Proses bimbingan yang singkat tersebut dipotong oleh liburan hari raya
yang memakan waktu satu bulan dan liburan semester, sehingga waktu yang ada
semakin sempit dan terbatas.
Selain itu, mahasiswa IPDN menjalankan wisuda secara bersama – sama,
dengan kata lain wasana praja harus dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan
waktu yang telah ditentukan dan bersama-sama dengan rekan lainnya
menjalankan ujian Komprehensif atau Sidang Sarjana. Apabila mereka tidak dapat
melaksanakan ujian maka mereka akan turun tingkat atau harus mengulang
kembali tahun depan, sedangkan apabila Tugas Akhir mereka dikerjakan secara
tidak sungguh-sungguh dan berakibat pada nilai sidang yang rendah maka praja
harus mengikuti Sidang Susulan dan hal tersebut akan menambah tekanan pada
praja, sebab pada saat teman-teman mereka telah menjadi sarjana dan hanya
menunggu dilaksanakannya wisuda, maka praja yang mengulang harus menunggu
terlebih dahulu sidang susulan yang dilaksanakan beberapa minggu setelah sidang
teman-temannya dilaksanakan.
Perilaku yang muncul pada wasana praja di IPDN dalam menghadapi
tugas akhir beragam. Dari hasil wawancara, terdapat wasana praja yang tampak
bersemangat dalam melaksanakan bimbingan, meskipun harus berkali-kali
mengganti judul dan tidak menyerah, mengunjungi perpustakaan setidaknya
empat kali dalam seminggu untuk menambah referensi dan bertanya mengenai
kemajuan Tugas Akhir pada teman-temannya yang lain, berusaha menerima
5secara positif situasi tersebut dan berpikir bahwa semuanya harus dilalui dan ia
tidak sendirian menghadapinya dan berusaha membuat suasana menyenangkan
dengan teman-temannya untuk menjernihkan pikiran sejenak sambil berdiskusi.
Hasil wawancara terhadap 43 wasana praja, didapatkan beberapa orang
praja wasana merasa kebijakan pemadatan kurikulum tersebut sebagai beban,
seolah – olah batas waktu yang diberikan oleh IPDN menjadi ancaman karena
merasa ketakutan tidak mampu menjalankan tepat waktu. Terkadang merasa
bosan dan jenuh saat Tugas Akhir dirasakan tidak memiliki kemajuan, merasa
tidak berminat untuk menambah referensi dan enggan bertanya pada teman-
temannya karena hanya akan menambah pikirannya saja dan tidak membantu apa-
apa. Untuk itu mereka lebih senang menyendiri dan merenungi keadaan dirinya,
mudah tersinggung, cepat marah dan lelah, meskipun pada dasarnya ia sangat
senang bergaul dengan teman-temannya. Namun dalam hal membicarakan Tugas
Akhir ia merasa sulit dan malas. Sedangkan yang lainnya merasakan hal tersebut
bukan berarti tidak menjadi beban, namun mereka merasa hal tersebut adalah
tantangan yang harus dihadapi dan mereka merasa dapat melakukannya dengan
pandangan optimis, namun ia merasa butuh untuk berdiskusi dengan teman-
temannya walaupun ia merasa apabila dengan merenung dan mencari informasi
sendiri dapat ia lakukan dan ia lebih merasa nyaman apabila ia menghadapi
permasalah sendirian, namun dalam Tugas Akhir sebaliknya.
Dari uraian diatas, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa reaksi wasana
praja dihadapkan dengan kondisi ini tentunya berbeda-beda. Ada wasana praja
yang merasa tertantang menyelesaikan studinya dan mulai merubah cara belajar
6dan menyusun jadwal bimbingan dan target serta merasa bersyukur bahwa dengan
demikian ia akan lebih cepat mendapatkan gelar diploma yang diharapkannya
serta menjadi PNS, namun ada pula wasan praja yang merasa tertekan, bingung
harus memulai dari mana, kesulitan untuk menyusun strategi agar antara
perkuliahan dan tugas akhir kedua-duanya dapat diselesaikan dengan baik.
Dari hasil wawancara, dalam menyusun strategi saat menghadapi stimulus
berupa pemadatan kurikulum yang berdampak pada percepatan Tugas Akhir yang
harus mereka lakukan dalam waktu yang singkat, terdapat wasana praja yang
menanggulangi rasa tertekan (stres) dengan memperluas sosialisasi sehingga ia
mendapatkan banyak masukan dan referensi dari teman-temannya, optimis, lebih
agresif, lebih banyak berbicara dan mengutarakan pendapat untuk berdiskusi dan
mau menerima pendapat dari orang lain. Namun ada pula wasana praja yang lebih
senang untuk berdiam diri menghadapi masalahnya, kurang senang berdiskusi
mengenai permasalahannya dengan orang lain dan menganggap menghindari
orang lain merupakan langkah terbaik dalam menghadapi permasalahan.
Dengan munculnya berbagai reaksi wasana praja dalam menghadapi
Tugas Akhir menunjukkan bahwa mereka menghayati situasi tertekan tersebut
secara bermacam-macam. Sebagai seorang mahasiswa tingkat akhir, para wasana
praja seharusnya dapat menemukan strategi dalam menghadapi tekanan atau stres
yang dihadapi sehingga ia dapat menyelesaikan tugas perkuliahan dan bimbingan
Tugas Akhir dengan baik dan optimal.
Cara penanggulangan stres yang digunakan individu menurut Lazarus
dan Folkman (1976) adalah cara penanggulangan stres yang berpusat pada emosi
7atau cara penanggulangan stres yang berpusat pada masalah. Cara seorang
individu dalam menyusun strategi pada saat menghadapi tekanan dengan individu
yang lainnya tidak terlepas dengan tipe kepribadian masing-masing individu
tersebut.
Dikaitkan dengan tipe kepribadian, untuk mendapatkan hasil yang
maksimal pada Tugas Akhir wasana praja harus memiliki strategi yang tepat
sesuai dengan kecenderungan tipe kepribadian yang dimilikinya, sebab dengan
demikian wasana praja dapat mengetahui pendekatan yang digunakan dalam
melakukan pekerjaan berupa Tugas Akhir dengan tepat.
Tipe kepribadian yang menunjukkan kecenderungan berorientasi ke luar
dirinya disebut dengan Exstroversion sedangkan sebaliknya, individu yang
memiliki kecenderungan berorientasi ke dalam dirinya dan tidak terlibat jauh
dengan lingkungan di luar dirinya disebut dengan Introversion (J.P.Chaplin, 183 :
2002).
Tokoh yang meneliti secara khusus mengenai tipe kepribadian dalam
konteks ekstroversi-introversi ini salah satunya adalah Eysenck, yang membagi
dua tipe kepribadian manusia yakni Ekstroversi atau individu yang beroritentasi
ke luar dari dirinya, lingkungan objek, dan Introversi atau individu yang lebih
berorientasi ke dalam dirinya atau lingkungan subjek (Suryabrata, 2007).
Dari pengamatan dan informasi yang didapatkan di atas peneliti tertarik
untuk mengetahui lebih jauh mengenai “Hubungan tipe kepribadian ekstroversi –
introversi dengan coping strategy dalam menghadapi Tugas Akhir pada wasana
praja di Institut Pemerintahan Dalam Negeri Jatinangor.”
81.2 Identifikasi Masalah
IPDN sebagai sekolah pemerintahan yang saat ini sedang berhadapan
dengan masalah yang terjadi akibat kekerasan yang dilakukan oleh praja junior
kepada praja senior dan sebaliknya, tengah berupaya untuk membuat kebijakan
baru yang salah satunya berupa pemadatan kurikulum yang disertai percepatan
masa kuliah bagi wasana praja sebagai praja tingkat akhir. Kebijakan tersebut
menuntut wasana praja untuk dapat menyesuaikan diri dengan bentuk membuat
strategi dalam menghadapi Tugas Akhir dan perkuliahan yang dipadatkan,
sehingga keduanya dapat berjalan dengan hasil yang maksimal.
Syarat untuk dapat bersama-sama lulus dengan rekan – rekan yang lain
tanpa harus mengulang sidang sarjana dan mendapatkan nilai perkuliahan yang
optimal dapat menimbulkan situasi stres bagi praja yang tidak dapat menemukan
strategi dalam menghadapi permasalahan yang ada, terutama apabila strategi
tersebut tidak sejalan dengan kecenderungan tipe kepribadian yang dimiliki oleh
masing-masing praja.
Lazarus (1976), menyatakan bahwa strategi penanggulangan stres yang
muncul berpusat pada masalah lebih sering digunakan untuk menghadapi stres
yang muncul akibat suatu pekerjaan. Hal ini didukung oleh penelitian Bachrach
(1983) bahwa individu yang dapat mengendalikan lingkungan lebih menggunakan
strategi penanggulangan stres yang berpusat pada masalah dibandingkan dengan
mereka yang merasa tidak dapat menanggulangi lingkungannya.
Kebijakan IPDN menuntut wasana praja untuk dapat menggunakan coping
strategy yang berpusat dari masalah, yaitu dapat merumuskan masalah, membuat
9beberapa alternatif jalan keluar, mempertimbangkan kemungkinan atau kerugian
setiap alternatif tersebut, dan memilih alternatif yang terbaik. Untuk dapat
menggunakan strategi tersebut seseorang hendaknya di dukung oleh
kecenderungan tipe kepribadian yang memungkinkannya berinteraksi dengan
lingkungan, hal ini disebabkan dalam memilih alternatif serta membuat alternatif
jalan keluar, seseorang membutuhkan masukan dan informasi dari lingkungan, ia
pun harus peka terhadap lingkungan di sekitarnya.
Individu akan senantiasa berperilaku sesuai dengan kecenderungan tipe
kepribadiannya, begitu pula dalam hal memilih coping strategy. Tipe kepribadian
dibagi dalam dua kelompok besar oleh H.J Eysenck yakni tipe kepribadian
Ekstroversi, yang berorientasi pada dunia objek diluar dirinya dan tipe
kepribadian Introversi yang berorientasi pada dunia subjek ke dalam dirinya.
sehingga coping strategy yang berpusat pada masalah akan sejalan apabila
seorang individu memiliki kecenderungan tipe kepribadian ekstroversi.
Dari uraian di atas, penulis ingin mengetahui apakah seberapa erat
hubungan antara tipe kepribadian ekstroversi-introversi dengan coping strategy
dalam menghadapi Tugas Akhir pada wasana praja di Institut Pemerintahan
Dalam Negeri Jatinangor-Sumedang.
101.4 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan gambaran
secara empirik mengenai hubungan tipe kepribadian ekstroversi dan tipe
kepribadian introversi dengan coping strategy dalam menghadapi Tugas Akhir
pada wasana praja di Institut Pemerintahan Dalam Negeri Jatinangor.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kecenderungan coping
strategy seperti apakah yang ditampilkan oleh wasana praja dalam menghadapi
stres pelaksanaan Tugas Akhir sehubungan dengan tipe kepribadiannya.
1.5 Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
bagi IPDN khususnya bagian Pengasuhan tingkat wasana praja dalam
memberikan bimbingan dan pengarahan khususnya bagi wasana praja yang
mengalami hambatan dalam menggunakan coping strategy yang dibutuhkan untuk
menghadapi Tugas Akhir.
11
11BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Teori Kepribadian
Terdapat banyak ahli yang membicarakan mengenai teori kepribadian,
salah satunya ialah H.J Eysenck. Ia dilahirkan di Jerman pada tahun 1916, dan di
sana ia mendapatkan pendidikannya pertama kali. Pada tahun 1934, karena
tekanan gerakan Nazi Ia meninggalkan Jerman dan pindah ke Inggris. Di sinilah
dia melanjutkan studinya, dan pada tahun 1940 dia berhasil memperoleh gelar
Ph.D. dalam psikologi di Universitas London.
Selama perang dunia kedua dia bertugas di Mill Hill Emergency Hospital,
yaitu Rumah Sakit Jiwa yang merawat penderita-penderita gangguan jiwa yang
kebanyakan terdiri dari para militer, dan di sinilah berkembang dengan pesat
psikiatri sosial. Setelah perang selesai ia diangkat menjadi dosen dalam mata
kuliah Psikologi pada Universitas London dan direktur Departemen Psikologi
pada Lembaga Psikiatri, yang meliputi Masley Hospital dan Bethlem Royal
Hospital, dan di tempat-tempat tersebutlah kebanyakan penelitian Eysenck
dilakukan. Pada tahun 1949-1950 dia datang di Amerika Serikat sebagai guru
besar tamu di Universitas California. Pada tahun 1954 di ditunjuk sebagai guru
besar psikologi di Universitas London (Suryabrata, 287 : 2007).
Secara garis besar, pada karya-karya Eysenck nampak jelas pengaruh
Spearman serta buah pikiran Thurstone. Dimana terlihat dalam langkah-langkah
penelitiannya, yaitu sebelum mengkonstruksikan teori kepribadian, ia berusaha
mencari dimensi kepribadian melalui analisa faktor. Pendekatan yang banyak
12digunakan dalam membahas analisa faktor ini adalah deduktif dan induktif namun
ia lebih menyukai pendekatan secara deduktif karena menurutnya akan
memberikan hasil yang lebih sempurna.
Dalam pandangan Eysenck, individu mendapatkan keaslian (originality),
terutama apabila dipandang dari segi metodologis. Ia tidak membatasi diri pada
bidang dan cara yang sudah dipakai oleh ahli-ahli yang terlebih dahulu, tetapi
menggunakan berbagai metode yang belum dipakai oleh ahli sebelumnya, yang
dipandangnya dapat mengenai sasaran. Dia mengkombinasikan tradisi ahli-ahli
psikologi Inggris yang menggunakan metode kuantitatif dengan studi mengenai
gejala-gejala kepribadian dalam rangka psikiatri (Suryabrata, 288 : 2007).
Di dalam merumuskan pendapatnya mengenai tingkah laku manusia,
Eysenck memilih konsepsi-konsepsi yang disederhanakan dan bercorak
operasional. Dia yakin, bahwa di masa yang akan datang teori dan eksperimen
harus bergandengan tangan, dan dengan demikian banyak kelemahan dapat
diatasi. Hal ini dapat ditempuh dengan membuat perumusan yang sederhana dan
bercorak operasional.
2.1.1 Struktur Kepribadian
Eysenck berpendapat bahwa kebanyakan ahli-ahli teori kepribadian terlalu
banyak mengemukakan variabel-variabel kompleks dan tidak jelas. Pendapat ini
dikombinasikan dengan analisisnya, yaitu dengan analisis faktor, telah
menghasilkan sistem kepribadian yang ditandai oleh sejumlah kecil dimensi-
13dimensi pokok yang didefinisikan dengan teliti dan jelas. Di sini akan
dikemukakan hal tersebut secara singkat.
Pandangan Eysenck yang luas dan menyeluruh mengenai kepribadian
nampak menjelma pada kenyataan, bahwa pendapatnya banyak mengandung
persamaan dengan berbagai definisi dalam bidang ini, pada khususnya dengan ahli
lainnya seperti Allport. Eysenck memberikan definisi kepribadian sebagai
berikut:
“Personality is the sum-total of actual or potencial behavior-patterns of the organism as determined by heredity and environment; it originates and develops throught the functional interaction of the four main sectors (character), the affective sector (temperament), and the somatic sector (constitution).”
(Suryabrata, 290 : 1983)
Seperangkat pola tingkah laku organisme baik aktual maupun potensial
yang ditentukan oleh pembawaan dan lingkungan, yang berkembang secara
alamiah melalui interaksi fungsional dan sektor – sektor pembentuknya dimana
pola-pola tingkah laku ini terorganisasi.
Berdasarkan definisi tersebut, terdapat 4 aspek yang memegang peranan
penting dalam munculnya tingkah laku individu, yaitu :
• Karakter
Adalah suatu bentuk tingkah laku konatif yang relatif stabil dan
berlangsung terus menerus.
• Temperamen
Adalah suatu bentuk tingkah laku afektif yang relatif stabil dan
berlangsung terus menerus
14• Intelektual
Adalah bentuk tingkah laku yang kognitif yang relatif stabil dan
berlangsung terus menerus
• Fisik
Adalah bentuk konfigurasi tubuh dan neuronendikrinologis yang relatif
stabil dan berlangsung terus menerus.
Hal yang utama dalam pandangan Eysenck mengenai tingkah laku adalah
pengertian-pengertian sifat (trait) dan tipe (type). Menurut Eysenck sifat (trait)
berperan dalam sebuah rangkaian tingkah laku saat berhubungan dengan
lingkungan dan diulang dalam berbagai macam situasi secara bersamaan.
Sedangkan tipe lebih luas cakupannya dari trait (Theories of Personality, 1967).
Secara lebih terperinci, Eysenck berpendapat bahwa kepribadian tersusun
atas tindakan – tindakan, disposisi-disposisi yang terorganisasi dalam susunan
hirarkis berdasarkan atas keumuman dan kepentingannya. Diurut dari yang paling
tinggi sampai pada yang paling rendah dan khusus, yaitu :
1. Type
Yaitu organisasi di dalam individu yang lebih umum dan luas serta
mencakup banyak kejadian atau kemungkinan perilaku.
2. Trait
Yaitu merupakan Habitual Response yang paling berhubungan satu sama
lain yang cenderung ada pada individu tertentu.
153. Habitual Response
Yakni memiliki corak yang lebih umum daripada spesifik response, yaitu
respon-respon yang berulang-ulang terjadi apabila individu menghadapi
kondisi atau situasi yang sejenis.
4. Spesific Response
Yaitu tindakan atau respon yang paling berhubungan satu sama lain yang
cenderung ada pada individu tertentu.
Dari keempat hal ini yang paling banyak mendapatkan perhatian dari
Eysenck adalah pengertian Trait dan Type. Walaupun Eysenck membuat definisi
mengenai sifat – sifat (traits) secara eksplisit, perhatian pokoknya tertuju pada
dimensi-dimensi dasar atau tipe-tipe kepribadian. (Dikutip dalam situs :
http://tahsinul.wordpress.com/kepribadian).
Penelitian Eysenck dalam mengkaji pandangannya tersebut salah satunya
pada 700 tentara yang neurotis, yang memberikan kesimpulan diketemukannya
dimensi-dimensi kepribadian pokok yakni “neuroticism” dan “introversion-
ekstroversion”, pada mulanya terdiri dari 39 item mengenai kepribadian yang
sebagian besar merupakan deskripsi mengenai sifat-sifat kepribadian tersebut,
seperti bebas, sedikit energi, apatis, depresif, penakut, dan sebagainya.
Hasil dari penelitian ialah bahwa tentara-tentara neurotis, pada umumnya
adalah orang-orang yang kurang sempurna baik dalam keadaan psikis maupun
Ekstrovert dan introvert digambarkan oleh Eysenck adalah sebagai
berikut:
“The typical extravert is sociable, likes parties, has many friends, needs to have people to talk to, and does not like reading or studying by himself. He craves excitement, takes chances, often sticks his neck out, acts on the spur of the moment, and is generally an impulsive individual. He is fond of practical jokes, always has a ready answer, and generally likes change; he is carefree, easy-going, optimistic, and likes to “laugh and be merry.” He prefer to keep moving and doing things, tends to be aggressive and lose his temper easily; together his feelings are not kept under tight control, and he is not always a reliable person”(Theories of Personality, 370 : 1967).
Tipe ekstroversi adalah mudah bergaul, suka pesta, mempunyai banyak
teman, membutuhkan teman untuk bicara, dan tidak suka membaca atau belajar
sendirian, sangat membutuhkan kegembiraan, mengambil tantangan, sering
menentang bahaya, berperilaku tanpa berpikir terlebih dahulu, dan biasanya suka
menurutkan kata hatinya, gemar akan gurau-gurauan, selalu siap menjawab, dan
biasanya suka akan perubahan, riang, tidak banyak pertimbangan (easy going),
25optimis, serta suka tertawa dan gembira, lebih suka untuk tetap bergerak dalam
melakukan aktivitas, cenderung menjadi agresif dan cepat hilang kemarahannya,
semua perasaannya tidak disimpan dibawah kontrol, dan tidak selalu dapat
dipercaya.
“The typical introvert is a quiet, retiring sort of person, introspective, fond of books rather than people; he is reserved and distant except to intimate friends. He tends to plan ahead. “looks before he leaps” and distrusts the impulse of the moment. He does not like excitement, takes matters of everday life with proper seriousness, and likes a well-ordered mode of life. He keeps his feelings under close control, seldom behaves in an aggressive manner, and does not lose his temper easily. He is reliable, somewhat pessimistic, and places great value on ethical standars (Theories Of Personality, 370- 371 : 1967).
Sedangkan yang khas dari introvert adalah tenang, lebih suka menarik diri
atau mengucilkan diri, gemar membaca buku – buku daripada bergaul dengan
orang lain, suka membuat jarak dan kurang ramah terhadap orang lain kecuali
dengan teman akrabnya, cenderung untuk merencanakan terlebih dahulu dalam
melakukan sesuatu dengan semboyan “melihat dahulu sebelum meloncat”,
memiliki prasangka-prasangka terhadap kejadian di sekitarnya. Dia tidak
menyukai kegembiraan, menghadapi kehidupan sehari-hari dengan penuh
kegembiraan, menghadapi kehidupan sehari – hari dengan serius dan menyukai
cara hidup yang teratur. Perasaan-perasaannya dijaga dengan ketat di bawah
kontrol kesadaran dirinya, jarang menunjukkan tindakan agresif, tidak mudah
dirangsang amarahnya. Dalam kehidupan sehari-hari dapat dipercaya, agak
pesimis dan umumnya menempatkan nilai – nilai yang tinggi atas standar etika.
26Dalam menurunkan teorinya, Eysenck juga menyinggung mengenai
Neurotik.
“The typical high N scorer as being an anxious, worrying individual, moody and frequently deprressed. He is likely to sleep badly, and to suffer from various psychosomatic disorders. He is overly emotional, reacting too strongly to all sorts of stimuli, and finds it difficult to get back on an even keel after each emotionally arousing experience. His strong emotional reactions interfere with his proper adjustment, making him react inirrational, sometimes rigid ways…If the high N individual has to be described in one word, one might say that he is a worrier; his main characteristic is a constant preoccupation with things that might go wrong; and a strong emotional reaction of anxiety to these thoughts. The stable individual, on the other hand, tends to respond emotionally only slowly and generally weakly, and to return to baseline quickly after emotional arousal; he is usually calm, even-tempered, controlled and unworried (Theories of Personality, 371 : 1967).”
Seseorang dengan tingkat kecemasan yang tinggi, memiki ketakutan yang
besar, mood tidak tentu dan mudah terserang depresi. Ia seringkali sulit tidur, dan
terserang gejala psikosomatik. Emosional, bereaksi sangat kuat terhadap stimulus
yang ia hadapi, dan sulit kembali kepada keadaan normal setelah menghadapi
tekanan pengalaman yang begitu kuat. Kekuatan emosinya membuat ia kesulitan
dalam beradaptasi, dan bertidak secara irasional, dan berhubungan secara kaku
dengan lingkungannya..Apabila individu dengan kecemasan yang tinggi akan
masuk pada satu lingkungan, maka orang lain akan berkata bahwa ia sangat
khawatir; ia memiliki pemikiran yang konstan bahwa sesuatu yang ia lakukan
salah dan ia menunjukkan kekuatan emosinya dalam bereaksi sebagai bentuk
kecemasan yang ia rasakan. Seseorang yang memiliki emosi yang stabil akan
berperilaku sebaliknya, cepat kembali kepada keadaan normal setelah mengalami
goncangan, tenang, terkontrol dan tidak cemas.
27
2.1.5 Kekuatan dan Kelemahan Tipe Introversi dan Ekstroversi
Kedua kecenderungan tipe kepribadian introversi dan ekstroversi
memiliki kekuatan dan kelemahan, baik dalam hal penyesuaian diri secara
psikologis maupun sosial. Ini berarti masing-masing kekuatan dari tipe
kepribadian dapat menjadi kelemahan jika dilakukan secara berlebihan.
Dari hasil penelitian Eysenck diperoleh beberapa hal sebagai berikut :
Orang dengan tipe ekstrovert akan memperlihatkan kecenderungan untuk
mengembangkan gejala histeris dan hypocondriasis. Dalam bergaul mudah
terbawa arus, senang merasa tidak puas dan suka memiliki kecenderungan untuk
tidak tetap pendiriannya. Terlalu optimis sehingga sering menilai prestasi yang
dicapainya secara berlebihan. Bahaya bagi orang ekstrovert ini ialah apabila
ikatan kepada dunia luar terlampau kuat, ia akan tenggelam di dalam dunia
subjektif, kehilangan dirinya atau asing terhadap dunia subjektifnya sendiri.
Orang introvert akan memperlihatkan kecenderungan untuk
mengembangkan gejala ketakutan yang akut dan depresi, ada kecenderungan
obsesi dan syaraf otonomnya labil. Dalam bergaul mudah terluka, merasa rendah
diri sehingga kecenderungan menilai rendah prestasi dirinya, penuh dengan
lamunan – lamunan dan cenderung untuk mempertahankan pendiriannya. Bahaya
yang dihadapi oleh tipe introvert ilaha apabila jarak dengan dunia objektifnya
terlalu jauh, maka orang lain akan lepas dari dunia objektifnya.
282.2 Pengertian Stres
Pada umumnya istilah stres tidak asing pada percakapan sehari-hari, istilah
ini biasanya digunakan pada saat seseorang mengalami desakan akibat keinginan
yang tidak terpenuhi atau pada saat seseorang mengalami tekanan dari
lingkungannya. Stres berasal dari bahasa latin “Strictus” yang berarti ketat (tight)
atau “sempit” (narrow) dan stingere, yang memiliki arti “mengetatkan” (tigthten).
Stres dapat pula diartikan sebagai suatu keadaan tertekan, baik fisik maupun
psikologis (J.P. Chaplin, 488 : 2002).
Seringkali stres didefinisikan dengan hanya melihat dari stimulus atau
respon yang dialami seseorang. Definisi stres dari stimulus terfokus pada kejadian
di lingkungan seperti misalnya bencana alam, kondisi berbahaya, penyakit, atau
berhenti dari kerja. Definisi ini menyangkut asumsi bahwa situasi demikian
memang sangat menekan tapi tidak memperhatikan perbedaan individual dalam
mengevaluasi kejadian. Sedangkan definisi stres dari respon mengacu pada
keadaan stres, reaksi seseorang terhadap stres, atau berada dalam keadaan di
bawah stres (Lazarus & Folkman, 1976).
Beberapa definisi lainnya dari para ahli diantaranya :
“Stress occurs where there are demands on the person which tax or exeed
his adjustive resources.”
“Stres muncul ketika ada tuntutan-tuntutan terhadap pribadi seseorang
yang membebani/melampaui kemampuannya dalam menyesuaikan diri.”
(Lazarus, 1976 : 42)
29“Stres is a process in which environmental demands tax or exceed the
adaptive capacity of an organism, resulting in psychological and
biological changes that may places an individual at risk for disease”.
Stres merupakan suatu proses untuk memenuhi kebutuhan suatu
lingkungan dalam rangka beradaptasi, yang membuat perubahan baik
psikis maupun biologis sehingga menghindarkan seseorang pada suatu
penyakit.
(Cohen, Kessler & Gordon, 1995, dalam Personality Contempory Theory
and Research, 2005 )
Dari asal kata tersebut dapat diambil pengertian bahwa stres
mencerminkan adanya perasaan tertekan atau ketegangan otot-otot tubuh dan yang
mungkin juga menyebabkan nafas yang menyesakkan yang merupakan suatu
reaksi yang mungkin dimunculkan oleh orang-orang yang berada di bawah
tekanan atau stres.
2.2.1 Proses Pengalaman Stres
Stres merupakan persepsi yang dinilai seseorang dari sebuah situasi atau
peristiwa. Sebuah situasi yang sama dapat dinilai positif, netral atau negatif oleh
orang yang berbeda. Penilaian ini bersifat subjektif pada setiap orang. Oleh karena
itu, seseorang dapat merasa lebih stres daripada yang lainnya walaupun
mengalami kejadian yang sama. Selain itu, semakin banyak kejadian yang dinilai
sebagai stresor oleh seseorang, maka semakin besar kemungkinan seseorang
mengalami stres yang lebih berat.
30Menurut Lazarus (1967) dalam melakukan penilaian tersebut ada dua
tahap yang harus dilalui, yaitu :
1.Primary Appraisal
Primary appraisal merupakan proses penentuan makna dari suatu
peristiwa yang dialami individu. Peristiwa tersebut dapat dipersepsikan positif,
netral, atau negatif oleh individu. Peristiwa yang dinilai negatif kemudian dicari
kemungkinan adanya harm, threat, atau challenge.
• Harm adalah penilaian mengenai bahaya yang didapat dari peristiwa yang
terjadi.
• Threat adalah penilaian mengenai kemungkinan buruk atau ancaman yang
didapat dari peristiwa yang terjadi.
• Challenge merupakan tantangan akan kesanggupan untuk mengatasi dan
mendapatkan keuntungan dari peristiwa yang terjadi.
Primary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:
1. Goal relevance; yaitu penilaian yang mengacu pada tujuan yang dimiliki
seseorang, yaitu bagaimana hubungan peristiwa yang terjadi dengan tujuan
personalnya.
2. Goal congruence or incongruenc; yaitu penilaian yang mengacu pada
apakah hubungan antara peristiwa di lingkungan dan individu tersebut
konsisten dengan keinginan individu atau tidak, dan apakah hal tersebut
menghalangi atau memfasilitasi tujuan personalnya. Jika hal tersebut
31menghalanginya, maka disebut sebagai goal incongruence, dan sebaliknya
jika hal tersebut memfasilitasinya, maka disebut sebagai goal congruence.
3. Type of ego involvement; yaitu penilaian yang mengacu pada berbagai
macam aspek dari identitas ego atau komitmen seseorang.
2. Secondary appraisal
Secondary appraisal merupakan penilaian mengenai kemampuan individu
melakukan coping, beserta sumber daya yang dimilikinya, dan apakah individu
cukup mampu menghadapi harm, threat, dan challenge dalam peristiwa yang
terjadi.
Secondary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:
1. Blame and credit: penilaian mengenai siapa yang bertanggung jawab atas
situasi menekan yang terjadi atas diri individu.
2. Coping-potential: penilaian mengenai bagaimana individu dapat
mengatasi situasi menekan atau mengaktualisasi komitmen pribadinya.
3. Future expectancy: penilaian mengenai apakah untuk alasan tertentu
individu mungkin berubah secara psikologis untuk menjadi lebih baik atau
buruk.
Pengalaman subjektif akan stres merupakan keseimbangan antara primary dan
secondary appraisal. Ketika harm dan threat yang ada cukup besar, sedangkan
kemampuan untuk melakukan coping tidak memadai, stres yang besar akan
32dirasakan oleh individu. Sebaliknya, ketika kemampuan coping besar, stres dapat
diminimalkan.
2.2.2 Respon Stres
Stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah
membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator
terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu.
Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu:
1. Respon fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah,
detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.
2. Respon kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif
individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi,
pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.
3. Respon emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang
mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan
sebagainya.
4. Respon tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan
situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang
menekan.
Saat mempersepsikan sesuatu sebagai stres, bagian otak yang menangani
pikiran mengirimkan sinyal ke sistem saraf melalui hipotalamus. Sistem saraf lalu
mempersiapkan tubuh untuk menghadapi stres tersebut. Terjadi perubahan detak
33jantung dan tekanan darah, serta pupil melebar. Juga ada hormon dan zat-zat
kimia yang dikeluarkan/disekresi, seperti adrenalin. Sekresi adrenalin ini yang
membuat tubuh siap, namun jika terjadi berkepanjangan akan menimbulkan
kerugian, diantaranya :
2.2.2.1 Akibat fisik
Dapat terjadi penyakit terkait stres, sebagai contoh penyakit jantung dan
pembuluh darah (kardiovaskuler) akibat meningkatnya tekanan darah yang
merusakkan jantung dan pembuluh darah (arteri) serta meningkatnya kadar gula
darah. Di paru-paru dapat terjadi asma dan bronkhitis (radang saluran
pernapasan). Jika terjadi hambatan fungsi pencernaan, dapat timbul penyakit
seperti tukak/ulkus, kolitis (radang usus besar) dan diare kronik (menahun). Stres
juga berperan dalam menghambat pertumbuhan jaringan dan tulang yang akan
menyebabkan dekalsifikasi (berkurangnya kalsium) dan osteoporosis (tulang
keropos). Sistem kekebalan tergangggu melalui berkurangnya kerja sel darah
putih, sehingga badan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Akibat lain adalah
meningkatnya ketegangan otot, kelelahan dan sakit kepala.
2.2.2.2 Akibat emosional
Karena pelepasan dan kekurangan norepinefrin (noradrenalin) yang kronis
dapat terjadi depresi. Yang juga berperan adalah pikiran bahwa hidup ini buruk
dan tidak akan menjadi lebih baik. Akibatnya timbul perasaan tak berdaya dan
ketakmampuan, merasa gagal dan kepercayaan diri jatuh. Orang yang terkena
34depresi cenderung menarik diri dari pergaulan dan menyendiri yang pada
gilirannya hanya menambah depresinya. Juga anxietas (kecemasan yang
berlebihan) dan ketakutan sangat sering terjadi jika seseorang terus-menerus
mempersepsikan adanya ancaman. Orang yang stres berkepanjangan akan
menunjukkan sisnisme, kekakuan pendirian, sarkasme, dan iritabilitas (mudah
tersinggung).
2.2.2.3 Akibat pada perilaku
Sering terjadi perubahan perilaku akibat dorongan untuk mencari
pelepasan; bertempur atau lari. Masalahnya, perilaku yang dipilih sering
merugikan, misalnya "perilaku adiktif" (kecanduan) akibat usaha untuk
meredakan atau melarikan diri dari stres yang menyakitkan. Alkohol, obat-obatan,
merokok, dan makan berlebihan sering dijadikan alat untuk membantu
menghadapi stres. Padahal efeknya hanya berlangsung sementara dan akibat
penggunaan jangka panjang akan merusak badan dan pikiran atau jiwa.
Sayangnya, pikiran dapat menolak/menyangkal akibat jangka panjang itu untuk
sekadar memenuhi kepuasan sesaat. Perilaku lainnya yang terlihat adalah
menunda-nunda, perencanaan yang buruk, tidur berlebihan dan menghindari
tanggung jawab. Taktik ini malah merugikan karena menimbulkan masalah baru
bagi individu tersebut.
(Dikutip dari http://www.geocities.com/almarams/Stres.htm).
352.2.3 Sumber Stres
Penyebab stres terkadang mudah untuk dideteksi, tetapi ada yang sulit
untuk diketahui. Ada yang mudah untuk dihilangkan, ada yang sulit atau bahkan
tidak bisa dihindari. Tiga sumber utama adalah lingkungan, badan, dan pikiran.
Lingkungan selalu membuat seseorang harus memenuhi tuntutan dan
tantangan, karenanya merupakan sumber stres yang potensial. Individu
mengalami bencana alam, cuaca buruk, kemacetan lalu-lintas, dikejar waktu,
masalah pekerjaan, rumah tangga, dan hubungan antar manusia. Juga kita dituntut
untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi keuangan, pindah kerja, atau
kehilangan orang yang kita cintai.
Sumber stres kedua adalah tuntutan dari tubuh untuk menyesuaikan diri
terhadap perubahan faali yang terjadi. Contohnya: perubahan yang terjadi waktu
remaja, perubahan fase kehidupan akibat fluktuasi hormon dan proses penuaan.
Selain itu, datangnya penyakit, makanan yang tidak sehat, kurang tidur dan olah
raga akan mempengaruhi respons terhadap stres.
Potensi stres utama juga datang dari pikiran yang terus-menerus
menginterpretasikan isyarat-isyarat dari lingkungan. Interpretasi terhadap
peristiwa-peristiwa yang terjadi menentukan apakah stres atau tidak. Pikiran-
pikiran yang menyebabkan stres sering bersifat negatif, penuh kegagalan,
katastrofik, hitam-putih, terlalu digeneralisasi, tidak berdasarkan fakta yang
36cukup, dan terlalu dianggap pribadi (Dikutip dari
Strategi Penanggulangan Stres umumnya digunakan sebagai aspek utama
dalam menjelaskan hubungan antara stres dengan tingkah laku individu
menghadapi stres. Strategi penanggulangan stres dipandang sebagai faktor
penyeimbang yang membantu individu menyesuaikan diri terhadap tekanan yang
dialami. Pada dasarnya strategi penanggulangan ditujukan untuk mengurangi atau
menghilangkan stres yang ditimbulkan oleh masalah yang ada.
Coping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan dan
merupakan suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau
eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki
individu. Coping yang dilakukan ini berbeda dengan perilaku adaptif otomatis,
karena coping membutuhkan suatu usaha, yang mana hal tersebut akan menjadi
perilaku otomatis lewat proses belajar.
Coping dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan,
tanpa memperhatikan akibat dari tekanan tersebut. Namun coping bukan
merupakan suatu usaha untuk menguasai seluruh situasi menekan, karena tidak
semua situasi tersebut dapat benar-benar dikuasai. Maka, coping yang efektif
untuk dilakukan adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan
37menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat
dikuasainya.
Menurut Lazarus & Launier, 1978 dalam (Personality Contemporary
Theory and Researchc, 2005), dalam melakukan coping, ada dua strategi yang
dibedakan menjadi :
1.Coping yang berpusat pada masalah
Strategi penanggulangan stres yang berpusat pada masalah sama dengan
strategi yang ditujukan untuk memecahkan masalah. Strategi diarahkan untuk
mengatur atau mengatasi masalah penyebab stres melalui perubahan reaksi yang
menyulitkan dengan lingkungan. Penanggulangan ini biasanya dilakukan terhadap
situasi yang dinilai dapat diubah. Strategi penanggulangan ini sering ditujukan
untuk merumuskan masalah, membuat beberapa alternatif jalan keluar,
mempertimbangkan kemungkinan atau kerugian setiap alternatif tersebut, memilih
alternatif yang terbaik dan akhirnya mengambil keputusan untuk bertindak.
Strategi penanggulangan stres yang berpusat pada masalah bukan hanya
sekedar pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan proses analisa
objektif terutama difokuskan pada lingkungan. Sedangkan strategi
penanggulangan stres yang berpusat pada masalah merupakan proses analisa yang
objektif, terutama difokuskan pada masalah termasuk juga strategi yang diarahkan
ke dalam diri sendiri.
382. Coping yang berpusat pada emosi
Strategi yang berpusat pada emosi berfungsi untuk mengatur respon
emosional terhadap masalah. Strategi penanggulangan ini sebagian besar terdiri
dari proses kognitif yang ditujukan untuk mengurangi tekanan emosional dan
termasuk strategi-strategi seperti penghindaran, pengurangan, membuat jarak,
perhatian yang selektif, perbandingan yang positif. Banyak dari strategi-strategi
ini diturunkan dari teori dan penelitian pada proses-proses defensif dan digunakan
pada setiap kejadian yang menimbulkan stres. Sebagian kecil strategi
penanggulangan stres ini terdiri dari strategi kognitif yang ditujukan untuk
menambah tekanan emosional. Beberapa individu perlu merasa lebih buruk,
seperti mengalami tekanan dan menyalahkan diri atau bentuk lain dari
menghukum diri (self punishment) sebelum mendapatkan perasaan lega.
Bentuk kognitif tertentu dari strategi penanggulangan stres yang berpusat
pada emosi mengarah pada perubahan cara pemaknaan suatu kejadian tanpa
mengubah situasi objektif. Strategi ini sama dengan penilaian kembali (appraisal).
Namun, tidak semua penilaian kembali bersifat defensif dan dimaksudkan untuk
mengatur emosi. Strategi penanggulangan ini digunakan untuk memelihara
harapan dan optimisme, menyangkut fakta dan akibat yang mungkin dihadapi,
menolak untuk mengalami hal terburuk dan bereaksi seolah-olah apa yang terjadi
tidak menimbulkan masalah dan sebagainya. Proses ini memberi kemungkinan
untuk suatu interpretasi yang menipu diri dan distorsi reaksi. Penipu yang berhasil
dapat terjadi tanpa adanya kesadaran (Lazarus & Folkman, 1976).
39Individu cenderung untuk menggunakan problem-focused coping dalam
menghadapi masalah-masalah yang menurut individu tersebut dapat dikontrolnya.
Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion focused coping dalam
menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk dikontrol (Lazarus,
1976). Terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara
bersamaan, namun tidak semua strategi strategy pasti digunakan oleh individu.
Para peneliti menemukan bahwa penggunaan strategi emotion focused coping oleh
anak-anak secara umum meningkat seiring bertambahnya usia mereka
Suatu studi dilakukan oleh Folkman et al. mengenai kemungkinan variasi
dari kedua strategi terdahulu, yaitu problem-focused coping dan emotion focused
coping. Hasil studi tersebut menunjukkan adanya delapan coping strategy yang
muncul, yaitu :
a. Coping strategy berpusat pada masalah
1. Confrontative coping; usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi,
dan pengambilan resiko.
2. Planful problem solving; usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis.
40b. Coping strategy berpusat pada emosi
1. Self-control; usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi
yang menekan.
2. Distancing; usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti
menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau
menciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggap
masalah sebagai lelucon.
3. Positive reappraisal; usaha mencari makna positif dari permasalahan
dengan terfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-
hal yang bersifat religius.
4. Accepting responsibility; usaha untuk menyadari tanggung jawab diri
sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya, dan mencoba menerimanya
untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih
bila masalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun
strategi ini menjadi tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung
jawab atas masalah tersebut.
5. Escape/avoidance; usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari
dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain
seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.
6. Seeking social support; yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan
emosional dan bantuan informasi dari orang lain.
41 Berdasarkan fungsi penanggulangan tersebut (Lazarus, 75 :1976)
mengemukakan bahwa terdapat dua bentuk umum dari penanggulangan yang
meliputi bentuk direct action dan bentuk palliative (intrapsychic psychological
defence)
1. Direct Action terdiri dari empat bentuk strategi penanggulangan yaitu :
a. Mempersiapkan diri menghadapi kerusakan (preparing Againshann)
b. Agresi atau menyerang (Aggresion or attack)
c. Penghindaran (Avoidance)
d. Apatis atau tidak bereaksi (Apathy or in action)
2. Palliative terdiri dari dua bentuk strategi penanggulangan, yaitu :
a. Cara simptom terarah (Symptom directed modes)
b. Cara intrapsikis (Intrapsychic mode)
2.2.5 Hubungan Antar Fungsi Coping Strategy
Pada kenyataannya, individu tetap menggunakan strategi penanggulangan
stres yang berpusat pada masalah dan strategi penanggulangan stres yang berpusat
pada emosi dalam menghadapi tuntutan internal dan atau eksternal dalam
kehidupan nyata (Lazarus & Folkman, 1967). Apabila individu dalam
menyelesaikan sumber masalah dengan korban perasaan yang besar maka
42dikatakan tidak efektif, demikian juga dengan sumber masalahnya. Untuk
mencapai strategi penanggulangan stres yang efektif diperlukan penggunaan
kedua fungsi strategi penanggulangan tersebut (Lazarus & Folkman, 1967).
Lazarus & Folkman, menyatakan bahwa strategi penanggulangan stres
yang muncul berpusat pada masalah lebih sering digunakan untuk menghadapi
stres yang muncul akibat pekerjaan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Bachrach
(1983) bahwa individu yang dapat mengendalikan lingkungan lebih menggunakan
strategi penanggulangan stres yang berpusat pada masalah dibandingkan dengan
mereka yang merasa tidak dapat menanggulangi lingkungannya.
Dari hasil penelitian Lazarus, ada empat bentuk strategi penanggulangan
yang dominan dalam menghadapi stres dari lingkungan yaitu : Confrontative
coping, planful problem solving, accepting responsibility dan positive
reappraisal. Dalam menghadapi tekanan dari lingkungan di mana lingkungan
tersebut dapat diubah, individu akan menggunakan strategi penanggulangan stres
dan memusatkan perhatiannya untuk menghadapi, memecahkan masalah secara
terencana, menerimanya dan memilih aspek-aspek positif dari lingkungan
tersebut. Sebaliknya, bila individu dihadapkan pada lingkungan yang harus
diterimanya dan tidak dapat diubah, individu akan memusatkan diri atau menjaga
jarak (distancing).
432.2.6 Hubungan Stres dan Strategi Penanggulangan Stres
Menurut Susan Folkman, reaksi individu terhadap suatu masalah atau
situasi yang ada sangat dipengaruhi oleh bagaimana penilaian individu terhadap
masalah tersebut. Individu yang menilai situasi negatif yang dihadapinya sebagai
suatu hal yang positif akan mempunyai derajat stress yang lebih rendah daripada
yang tidak menilai situasi negatif tersebut sebagai suatu hal yang positif.
Perbedaan individu dalam menilai masalah atau situasi yang dihadapinya akan
mempengaruhi pemilihan strategi penanggulangan stres (coping strategy) yang
digunakan. Hal ini berarti masing-masing individu akan berespon berbeda dalam
situasi stres yang sama.
Terdapat hasil dari penelitian Holmes & Rahe (1967) yang meneliti
derajat tingkat tekanan (stress) yang dialami seseorang dalam hidupnya, diurutkan
dari tingkat stres tertinggi sampai terendah (Personality Contemporary Theory and
Research, 459 : 2005). Hal tersebut dikenal dengan Life Event Scale, yang dapat
dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 2.2 Life Event Scale
No. PERISTIWA KEHIDUPAN NILAI 1 Kematian suami istri 100 2 Perceraian 73 3 Hidup terpisah dalam perkawinan 65 4 Hukuman penjara 63 5 Kematian anggota keluarga dekat 636 Luka/sakit (diri sendiri) 537 Perkawinan 50 8 Dipecat dari pekerjaan 47 9 Rukun kemabali antara suami – istri 45
4410 Pensiun 45 11 Perubahan kesehatan anggota keluarga 44 12 Kehamilan 40 13 Masalah seksual 3914 Mendapat anggota keluarga baru 3915 Penyesuaian kembali dalam bisnis 39 16 Perubahan situasi keuangan 38 17 Kematian teman dekat 37 18 Perubahan bidang pekerjaan 36 19 Penyitaan barang yang digadaikan 30 20 Perubahan tanggung jawab pada pekerjaan 2921 Masalah dengan keluarga suami/istri 2922 Prestasi Herat seseorang 28 23 Istri mulai atau berhenti bekerja 26 24 Mulai atau mengakhiri pendidikan 26 25 Perubahan kondisi kehidupan 25 26 Mengubah kebiasaan pribadi 24 27 Masalah dengan bos 2328 Pindah rumah 2029 Pindah sekolah 20 30 Pindah rekreasi 19 31 Perubahan kegiatan keagamaan 19 32 Perubahan kegiatan sosial 18 33 Perubahan kebiasaan tidur 1634 Perubahan kebiasaan makan 1535 Liburan 1336 Natal 12 37 Pelanggaran hukum ringan 11
Penelitian Anderson (1977) memberikan masukan mengenai derajat stres
yang dikaitkan dengan kecenderungan penggunaan strategi penanggulangan
tertentu. Menurutnya, bentuk strategi penanggulangan yang berpusat pada
masalah dan strategi penanggulangan yang berpusat pada emosi akan digunakan
dalam frekuensi yang berbeda, tergantung tinggi rendahnya derajat stres individu.
45 Pada individu yang mempunyai derajat stres yang moderat, frekuensi
terbesar cenderung penggunaan strategi penanggulangan yang berpusat pada
masalah. Sebaliknya, pada individu yang mempunyai derajat stres yang tinggi
didominasi oleh frekuensi strategi penanggulangan yang berpusat pada emosi
yakni berusaha bertahan dan yang terpenting adalah mengatur tekanan emosi,
sedangkan untuk derajat stres yang rendah, frekuensi keduanya tampak sama
tinggi (Lazarus, 1967).
2.2.7 Hambatan dalam Coping Strategy
Terdapat tiga faktor yang menghambat individu dalam menghadapi
lingkungannya, yaitu yang berasal dari keterbatasan individu, batasan-batasan
lingkungan dan derajat ancaman.
Batasan dari individu mencakup nilai budaya yang diinternalisasikan,
keyakinan yang melarang tindakan dan perasaan tertentu yang dihasilkan dari
perkembangan sebagai individu yang unik.
Batasan dari lingkungan meliputi tuntutan persaingan untuk sumber-
sumber yang sama dan institusi yang merintangi usaha strategi penanggulangan.
Derajat ancaman yang tinggi menghambat efektifitas penggunaan sumber
daya strategi penanggulangan. Semakin besar ancaman maka penggunaan strategi
penanggulangan yang berpusat pada masalah menjadi semakin terbatas (Lazarus
dan Folkman, 1967).
462.3 Institut Pemerintahan Dalam Negeri
2.3.1 Sejarah IPDN
Penyelenggaraan pendidikan kader pemerintahan di lingkungan
Departemen Dalam Negeri terbentuk melalui sejarah yang panjang. Perintisannya
dimulai sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1920 dengan
terbentuknya sekolah pendidikan Pamong Praja yang bernama Opleiding School
Voor Inlandsche Ambetenaren (OSVIA) dan Middlebare Opleiding School Voor
Inlandsche Ambetenaren (MOSVIA). Para lulusannya sangat dibutuhkan dan
dimanfaatkan untuk memperkuat penyelenggaraan pemerintahan Hindia Belanda.
Dimasa kedudukan pemerintah Hindia Belanda, penyelenggaraan pemerintah
Hindia Belanda dibedakan atas pemerintah yang langsung dipimpin oleh kaum
atau golongan pribumi yaitu Binnerlands Bestuur Corps (BBC) dan pemerintahan
yang tidak langsung dipimpin oleh kaum atau golongan pribumi yaitu Inlands
Bestuur Corps (IBC)
Pada awal kemerdekaan RI sejalan dengan penataan sistem pemerintahan
yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 kebutuhan akan tenaga kader
pamong praja untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan baik pada
pemerintahan pusat maupun daerah semakin meningkat sejalan dengan tuntutan
perkembangan penyelenggaraan pemerintahan. Untuk memenuhi kebutuhan akan
kekurangan tenaga kader pamong praja, maka pada tahun 1948 dibentuklah
lembaga pendidikan dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri yaitu Sekolah
Menengah Tinggi (SMT) Pangreh Praja yang kemudian berganti nama menjadi
47Sekolah Menengah Pegawai Pemerintahan Administrasi Atas (SMPAA) di Jakarta
dan Makassar.
Pada tahun 1952, Kementrian Dalam Negeri menyelenggarakan Kursus
Dinas C (KDC) di Kota Malang, dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan
pegawai golongan DD yang siap pakai dalam melaksanakan tugasnya. Seiring
dengan itu, pada tahun 1954 KDC juga diselenggarakan di Aceh, Bandung,
Bukittinggi, Pontianak, Makassar, Palangkaraya dan Mataram. Sejalan dengan
perkembangan penyelenggaraan pemerintahan yang semakin kompleks, luas dan
dinamis, maka pendidikan aparatur di lingkungan Kementrian Dalam Negeri
dengan tingkatan kursus dinilai sudah tidak memadai.
Berangkat dari kenyataan tersebut, mendorong pemerintah mendirikan
Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) pada tanggal 17 maret 1956 di
Malang, Jawa Timur. APDN di Malang bersifat APDN Nasional berdasarkan SK
Mendagri No. Pend. 1/20/56 tanggal 24 september 1956 yang diresmikan oleh
Presiden Soekarno di Malang, dengan Direktur Pertama Mr. Raspio
Woerjodiningrat. Mahasiswa APDN Nasional Pertama ini adalah lulusan KDC
yang direkrut secara selektif dengan tetap mempertimbangkan keterwakilan asal
provinsi selaku kader pemerintahan pamong praja yang lulusannya dengan gelar
Sarjana Muda (BA).
Pada perkembangan selanjutnya dibentuklah Institut Ilmu Pemerintahan
(IIP) yang berkedudukan di Kota Malang Jawa Timur berdasarkan Keputusan
Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.8
Tahun 1967. Peresmian berdirinya IIP di Malang ditandai dengan peresmian oleh
48Presiden Soekarno pada tanggal 25 Mei 1967 dan pada tahun 1972 dipindahkan
ke Jakarta.
Perubahan nama dan dibentuknya menjadi dua bagian sekolah pemerintahan
selanjutnya beberapa kali terjadi yakni selain IIP di Jakarta, terdapat Akademi
Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) di Jatinangor pada tahun 1988 yang
diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Rudini dan berubah pada tahun 1992
menjadi Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).
Kebijakan Nasional mengenai pendidikan tinggi sejak tahun 1999 antara lain
yang mengatur bahwa suatu Departement tidak boleh memiliki dua atau lebih
perguruan tinggi dalam menyelenggarakan keilmuan yang sama, maka mendorong
Departemen Dalam Negeri untuk mengintegrasikan STPDN ke dalam IIP. Usaha
pengintegrasian STPDN ke dalam IIP secara intensif dan terprogram sejak tahun
2003 menjadi IPDN hingga sekarang.
2.3.2 Visi dan Misi IPDN
Institut Pemerintahan Dalam Negeri memilik Visi :
“Unggul dalam menyiapkan kader pamong praja yang berwawasan
negarawan, ilmuwan, profesional dan demokratis dengan berdasarkan ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dengan memperhatikan Lingkungan lokal,
nasional dan global.”
Makna dari visi di atas adalah bahwa melalui penyelenggaraan pendidikan,
dilakukan pemberdayaan pemerintahan dalam negeri yang berkualitas, guna
49mendukung penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan di pusat guna
memberikan pelayanan prima pada masyarakat luas.
Dari visi IPDN di atas, terdapat tiga kompetensi dasar yang harus dimiliki
oleh lulusan IPDN yaitu :
• Kepemimpinan ( Leadership)
• Kepelayanan ( Stewardship)
• Kenegarawanan ( Statelmanship)
Adapun Misi dari IPDN adalah :
“Meningkatkan kualitas peserta didik sesuai dengan tuntutan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang berwawasan budaya dan
lingkungan serta meletakkan landasan pembentukan waktak dan kepribadian
pengalaman, nilai-nilai agama, budi pekerti yang luhur, memiliki wawasan dan
berjiwa kebangsaan serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.”
2.3.3 Tujuan IPDN
IPDN memiliki tujuan yakni :
“Menyelenggarakan pendidikan kader pamong praja yang berwawasan
negarawan, ilmuan, professional, dan demokratis dengan berdasarkan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dengan memperhatikan lingkungan local,
nasional dan global sekaligus berfungsi sebagai lembaga kemampuan dan
keterampilan berbasis ilmu, seni dan etika dalam melaksanakan tugas kedinasan
pegawai negeri sipil.”
502.3.4 Mahasiswa IPDN
Mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri disebut dengan Praja.
Terbagi menjadi empat tingkatan yakni Muda Praja (Tingkat I), Madya Praja