Universitas Indonesia 1 Peran Pengalaman Multiindra Dalam Ruang Interior Komersil Neysha Adzhani, Enira Arvanda 1. Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424, Indonesia 2. Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424, Indonesia Email: [email protected]Abstrak Pada era costumer-focused dalam dunia bisnis saat ini, penciptaan pengalaman konsumen yang positif dan berkesan menjadi bagian dari strategi pemasaran yang utama, termasuk pada ruang interior komersil yang mewadahi interaksi antara konsumen dengan perusahaan. Dalam mengalami ruang, manusia memiliki beragam indra sebagai penangkap informasi dari lingkungan fisik di sekitarnya. Namun, adanya paradigma okularsentris membuat visual dianggap sebagai pembentuk utama pengalaman manusia. Tulisan ini memfokuskan pembahasan pada pengalaman multiindra yang menyeluruh dalam ruang interior komersil dan perannya terhadap pembentukan pengalaman konsumen yang positif dan berkesan sebagai nilai tambah bagi perusahaan. Kata kunci: pengalaman multiindra, elemen interior, ruang interior komersil, experiential marketing The Role of Multisensory Experience in Commercial Interior Spaces Abstract In the era of customer-focused in today's business world, the creation of a positive and memorable customer experience is part of a major marketing strategy, including in the commercial interior spaces that facilitate interaction between the consumer and the company. In the context of experiencing spaces, we acquire information of the surrounding physical environment through various senses. However, the ocularcentric paradigm has regarded visual as the centre point of human experience. This writing focuses on the analysis of the multi-sensory experience as a whole in commercial interior spaces and its role in generating a positive and memorable consumer experience as an added value for the company. Keywords: space, spatial experience, film Pendahuluan Dalam dunia bisnis selalu ada desakan kompetisi yang terus memicu perkembangan metode pemasaran untuk menciptakan nilai ekonomi yang lebih berarti. Perubahan era product-focused menjadi era customer-focused pada saat ini membuat experience (pengalaman) konsumen terhadap perusahaan yang bersangkutan menjadi pusat perhatian strategi bisnis yang disebut dengan experiential marketing. Pendekatan ini dilakukan dengan upaya menciptakan pengalaman konsumen yang positif dan berkesan sebagai kemasan dari proses konsumsi barang dan jasa utama yang ditawarkan perusahaan. Dengan fokus seperti ini, pengalaman yang dialami konsumen pada tiap kontak dengan perusahaan yang Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
20
Embed
Peran Pengalaman Multiindra Dalam Ruang Interior Komersil
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Universitas Indonesia 1
Peran Pengalaman Multiindra Dalam Ruang Interior Komersil
Neysha Adzhani, Enira Arvanda
1. Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424, Indonesia
2. Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424, Indonesia
Pada era costumer-focused dalam dunia bisnis saat ini, penciptaan pengalaman konsumen yang positif dan
berkesan menjadi bagian dari strategi pemasaran yang utama, termasuk pada ruang interior komersil yang
mewadahi interaksi antara konsumen dengan perusahaan. Dalam mengalami ruang, manusia memiliki beragam
indra sebagai penangkap informasi dari lingkungan fisik di sekitarnya. Namun, adanya paradigma okularsentris
membuat visual dianggap sebagai pembentuk utama pengalaman manusia. Tulisan ini memfokuskan
pembahasan pada pengalaman multiindra yang menyeluruh dalam ruang interior komersil dan perannya terhadap
pembentukan pengalaman konsumen yang positif dan berkesan sebagai nilai tambah bagi perusahaan. Kata kunci: pengalaman multiindra, elemen interior, ruang interior komersil, experiential marketing
The Role of Multisensory Experience in Commercial Interior Spaces
Abstract
In the era of customer-focused in today's business world, the creation of a positive and memorable customer
experience is part of a major marketing strategy, including in the commercial interior spaces that facilitate
interaction between the consumer and the company. In the context of experiencing spaces, we acquire
information of the surrounding physical environment through various senses. However, the ocularcentric
paradigm has regarded visual as the centre point of human experience. This writing focuses on the analysis of
the multi-sensory experience as a whole in commercial interior spaces and its role in generating a positive and
memorable consumer experience as an added value for the company. Keywords: space, spatial experience, film
Pendahuluan
Dalam dunia bisnis selalu ada desakan kompetisi yang terus memicu perkembangan
metode pemasaran untuk menciptakan nilai ekonomi yang lebih berarti. Perubahan era
product-focused menjadi era customer-focused pada saat ini membuat experience
(pengalaman) konsumen terhadap perusahaan yang bersangkutan menjadi pusat perhatian
strategi bisnis yang disebut dengan experiential marketing. Pendekatan ini dilakukan dengan
upaya menciptakan pengalaman konsumen yang positif dan berkesan sebagai kemasan dari
proses konsumsi barang dan jasa utama yang ditawarkan perusahaan. Dengan fokus seperti
ini, pengalaman yang dialami konsumen pada tiap kontak dengan perusahaan yang
Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia 2
bersangkutan tentu memiliki peran penting, termasuk pada ruang yang mewadahi terjadinya
transaksi bisnis sebagai ruang interior komersil perusahaan terkait. Pada dasarnya, ruang
memang memiliki pengaruh untuk membentuk pengalaman manusia (E.V. Walter dalam
Malnar dan Vodvarka, 2004).
Ketika berbicara mengenai pengalaman ruang, aspek visual selama ini selalu dijadikan
parameter utama dalam mengalami dan memahaminya. Menurut Pallasmaa, kecenderungan
ini merupakan bagian dari paradigma okularsentris yang terus berkembang dengan sangat
kuat sepanjang sejarah, membuat aspek visual dianggap sebagai pembentuk persepsi utama
manusia di dunia. Kita sebagai makhluk hidup memiliki indra-indra lain selain mata dimana
kita juga sebenarnya mengalami dunia ini, termasuk ruang arsitektural, melalui seluruh indra
tersebut. Selain karena manusia memang merupakan makhluk indrawi, dunia di sekitar kita
juga merupakan lahan pembentuk sensasi yang berpotensi ditangkap oleh berbagai indra.
Indra-indra ini juga tidak bekerja sendiri namun memiliki sifat dasar untuk saling berasosiasi
membentuk pengalaman manusia yang menyeluruh (Pallasmaa, 2012).
Berangkat dari permasalahan di atas, muncul pertanyaan bagaimana pengalaman
multiindra sebagai kecenderungan alami manusia dalam mengalami lingkungan fisiknya
sehari-hari mampu membentuk pengalaman konsumen dalam ruang interior komersil sesuai
tujuan perusahaan? Tujuan penulisan adalah menganalisis bagaimana pengalaman konsumen
sesuai tujuan pembentukan pengalaman yang ingin dicapai perusahaan dalam ruang interior
komersil dialami tidak hanya secara visual terhadap berbagai elemen ruang dengan mengkaji
berbagai sensasi multiindra konsumen.
Pengalaman Multiindra Manusia dalam Ruang
Manusia dihubungkan dengan dunia luar melalui tubuhnya, tepatnya melalui berbagai
reseptor indra. “[...] we can never be aware of the world as such, but only of [...] the
impingement of physical forces on the sensory receptors.” (Kilpatrick dalam Hall, 1966, p.
41). Berdasarkan pengetahuan umum, terdapat lima indra dasar yang dimiliki oleh manusia,
yaitu indra penglihatan, indra pendengaran, indra penciuman, indra pengecap, dan indra
peraba yang digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai dunia di sekitarnya (Dunn,
2008). Namun, selama ini telah berkembang paradigma okularsentris yang dalam konteks
arsitektural membuat penglihatan dianggap sebagai tumpuan utama dalam mengalami dan
memahami ruang serta menjadi pertimbangan utama dalam desain (Pallasmaa, 2012). Dalam
dunia desain, okularsentrisme didukung dengan adanya prinsip-prinsip desain yang cenderung
Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia 3
hanya berbicara dalam konteks visual. Menurut Ching (1996) prinsip-prinsip yang terdiri dari
proporsi, skala, keseimbangan, keserasian, kesatuan dan keragaman, ritme, penekanan dan
penegasan, merupakan pedoman untuk mencapai pola dalam ruang (fungsi, estetika, dan
kebutuhan) dimana elemen ruang saling berpengaruh satu sama lain.
Dalam buku Sensory Design (2004) disebutkan bahwa terdapat aspek-aspek haptic
yang perlu diperhatikan. Pertama adalah active touch yang banyak berkaitan dengan
materiality dan dapat dieksplorasi secara sentuh. Kulit yang berdasarkan pembagian Gibson
merupakan bagian dari haptic system, menurut Pallasmaa (2012) berperan dalam memahami
tekstur, berat, kepadatan, dan suhu dari suatu objek. Aspek selanjutnya, yaitu kinesthesia juga
dibahas dalam oleh Malnar dan Vodvarka (2004) sebagai bagian lain dari sistem haptic yang
mendapatkan informasi dari pergerakan otot-otot manusia. Selain active touch dan
kinesthesia, terdapat dua aspek lain, yaitu temperatur (suhu yang dirasakan oleh kulit) dan
plasticity (efek dari kompresi dan ekspansi spasial pada kesadaran manusia).
Pallasmaa mengungkapkan keutamaan dari haptic dalam mengalami ruang melalui
beberapa pernyataannya. Salah satunya adalah “Our culture of control and speed has
favoured the architecture of the eye, with its instantaneous imagery and distant impact,
whereas haptic architecture promotes slowness and intimacy, appreciated and comprehended
gradually as images of the body and the skin. The architecture of the eye detaches and
controls, whereas haptic architecture engages and unites. (Pallasmaa, 2000, p.1)
Selanjutnya, aspek lain yang disebutkan oleh Van Kreijk (2010) adalah synaesthesia
yang mengutip pernyataan Ernst Gombrich merupakan percikan kesan dari satu indra ke indra
lainnya. Malnar dan Vodvarka (2007) menambahkan bahwa synaesthesia merupakan
pengalaman fisik dari asosiasi timbal-balik indra yang terjadi tanpa sadar dan memiliki peran
yang positif. Seperti disebutkan dalam kutipan ini, “[...] the stimulation of one sensory
modality reliably causes an involuntary perception in another modality. Such percepts are,
moreover, durable, discrete, stable, and memorable.” (Malnar dan Vodvarka, 2004, p. 221).
Dengan adanya karakter synaesthesia yang pada dasarnya dimiliki oleh indra-indra ini, visual
sebagai indra terkuat juga memiliki tendensi untuk berasosiasi dengan indra lainnya.
Salah satu bentuk integrasi antarindra yang melibatkan mata sehingga tidak mengarah
ke okularsentrisme, yaitu antara sistem visual dengan sistem haptic. Haptic ternyata dapat
terintegrasi dengan visual dalam mengalami ruang melalui berbagai fenomena. “Even the eye
touches, the gaze implies an unconscious touch, bodily mimesis and identification.”
(Pallasmaa, 2012, p. 45). Dalam buku The Eyes of The Skin (2012), terdapat sebuah
pernyataan mengutip George Berkeley dimana ia mengaitkan touch dengan vision dan
Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia 4
menganggap bahwa pemahaman visual dari materialitas (tekstur, kekerasan, berat,
temperatur, kelembaban, dsb.), jarak, serta kedalaman spasial tidak mungkin tercapai tanpa
kerja sama dari memori haptic (unconscious touch).
Selain itu, terdapat suatu fenomena yang didasari oleh kualitas “empati” pada manusia
yang terjadi saat tubuh kita berhadapan dengan suatu objek atau lingkungan sekitar. Dalam
buku Body, Memory, and Architecture (1977) mengutip pernyataan filsuf Robert Vischer,
ungkapan “empati” ini berkaitan erat dengan perasaan. Pallasmaa (2012) mendukung konsep
ini dalam konteks arsitektural dengan menyatakan “When experiencing a structure, we
unconsciously mimic its configuration with our bones and muscles [...] the structures of a
building are unconsciously imitated and comprehended through the skeletal system.” (p. 72).
Dari sini, dapat terlihat suatu hubungan antara informasi visual yang terintegrasi dengan
haptic berupa sensasi pada sistem otot dan skeletal sebagai bagian dari insting manusia
(bodily mimesis).
Pendukung lain untuk mengalami ruang yang bersifat non-visual adalah indra
pendengaran dan penciuman/perasa. Bagi Van Reijk (2010), suara yang dihasilkan dalam
ruang dapat memberi informasi bentuk dan ukuran ruang, serta tingkat kelembutan dan
struktur material yang digunakan. Selanjutnya, Pallasmaa mengungkapkan bahwa memori
yang paling bertahan lama terhadap suatu ruang sering kali adalah aromanya. Hidung kita
mampu membangkitkan image yang sudah terlupakan (Pallasmaa, 2012).
Gambar 1. Diagram Pengelompokkan dan Karakter Indra
Sumber: Olahan Pribadi
Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia 5
Ruang Interior Komersil sebagai Media Experiential Marketing
Strategi marketing pada zaman sekarang yang berbasiskan experience (pengalaman)
untuk dapat menghibur, memberi kesan, serta sudut pandang dan makna tersendiri sebagai
aspek tambahan pada barang dan jasa yang ditawarkan (Benedikt, 2001 ; Beverland,
Lindgreen, & Vanhamme, 2009), juga melibatkan ruang interior komersil sebagai bagian dari
lingkungan fisik perusahaan untuk menjadi media pembentuk pengalaman pada konsumen
tersebut. Ruang interior komersil merupakan ruang interior dari segala jenis fasilitas yang
mewadahi tujuan bisnis yang mengundang kaum publik untuk masuk ke dalamnya. Dalam
mendesain ruang interior komersil, pemahaman akan tujuan dan target dari bisnis itu sendiri
menjadi aspek yang esensial (Piotrowski dan Rogers, 2007). Keutamaan ruang komersil ini
menurut Bitner (1992) khususnya adalah pada perusahaan di bidang jasa karena pada
umumnya jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan dalam fasilitas fisik perusahaan
tersebut sehingga proses dan pengalaman yang berlangsung di dalam ruang komersil tentu
menjadi lebih kompleks.
Smilansky (2007) menyebutkan bahwa set atau ruang komersil yang baik didesain
sebagai lingkupan sensory environment yang merujuk ke pengalaman menyeluruh oleh tubuh
agar dapat melekat pada memori partisipannya. Sesuai dengan pernyataan Bloomer dan
Moore (1977), ``To at least some extent every place can be remembered, partly because it is
unique, but partly because it has affected our bodies and generated enough associations to
hold it in our personal world.`` (p.107).
Proses Pengalaman Indra Manusia dalam Memaknai Ruang
Persepsi manusia pada dasarnya adalah sensasi yang terproses. Manusia tidak
merespon lingkungan nyatanya secara langsung, namun yang direspon adalah representasi
atau gambaran mental terhadapnya berdasarkan hasil penyaringan informasi secara cognitive
(Malnar dan Vodvarka, 2004). Henriette Christrup dalam buku “Creating Experiences in the
Experience Economy” (2008) menyatakan, ekspektasi, pengetahuan, serta memori memang
memiliki pengaruh terhadap experience dan mekanisme penyaring pada memori itu sendiri.
Dalam konteks ruang, menurut Pallasmaa (2012) manusia memiliki kapasitas yang
hebat dalam menangkap dan memahami seketika wujud keseluruhan lingkungan maupun
atmosfernya yang kompleks secara tidak sadar. Padahal, jika dijabarkan sebenarnya respon
manusia terhadap lingkungan, termasuk ruang komersil, menurut Greenland dan McGoldrick
yang dikutip dari kajian Katelijn (2008), dari terdiri dari beberapa tahap.
Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia 6
Tahap cognitive merupakan tahap mengetahui dan memahami lingkungan ruang
sekitar yang sudah dialami oleh indra-indra manusia dengan segala karakteristiknya.
Informasi dari tahap ini akan direspon secara affective yang melibatkan perasaan hasil picuan
lingkungan tersebut (contoh: kesenangan, ketertarikan, gairah). Faktor emosional ini
selanjutnya akan mempengaruhi tahap perilaku dan attitude konsumen terhadap ruang
tersebut dalam konteks yang disebut conative. Namun, baik itu faktor emosional maupun
conative sulit untuk dipisahkan dan akan saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan
pengalaman sensori sebagai awal dari seluruh respon konsumen terhadap lingkungannya,
berarti keterlibatan indra dengan integrasinya ketika konsumen beraktivitas mengalami ruang,
akan mempengaruhi tahap-tahap setelahnya, yaitu tahap pemahaman, perasaan, hingga
akhirnya reaksi dalam ruang tersebut.
Studi Kasus
Pada tinjauan kasus di skripsi ini, analisis difokuskan pada peran dari pengalaman
multiindra dalam ruang komersil perusahaan, khususnya di bidang jasa, dalam menstimulasi,
memperkaya, dan memberi pengalaman yang berbeda pada konsumen atau pengunjungnya.
Pemilihan studi-studi kasus ruang komersil ini didasari oleh adanya pendekatan desain ruang
interior yang berbeda dari ruang-ruang komersil sejenis pada umumnya yang sudah memiliki
stereotip berdasarkan anggapan konsumen (dari hasil wawancara), yaitu bank dan klinik
dokter.
Gambar 2. Skema Proses Respon Manusia terhadap Lingkungan oleh Greendland dan
Mcgoldrick
Sumber: Katelijn, Quartier (2008)
Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia 7
Studi Kasus Bank BTPN Sinaya
PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) merupakan suatu bank publik di
Indonesia yang memiliki cabang bisnis pendanaan bernama BTPN Sinaya (Sinar yang
Memberdayakan). Produk yang ditawarkan adalah deposito sehingga fokus utamanya adalah
mencari dana simpanan (deposito) sehingga kegiatan dalam ruang perusahaan lebih terfokus
pada upaya penjelasan yang lebih mendetail, negosiasi, dan penjualan yang bersifat intim.
Tujuan yang diharapkan dalam ruang komersil ini adalah mampu memberi pengalaman
negosiasi dan penjelasan produk secara “intim” antara konsumen dengan petugas bank
sehingga dibutuhkan penyediaan kualitas nyaman dan perasaan menyenangkan di dalamnya.
Ruang interior komersil juga sengaja dibuat unik untuk membentuk citra tersendiri agar
mampu menarik simpati konsumen. Konsep desain yang diangkat adalah nilai sejarah BTPN
yang berasal dari Jawa Barat (terkenal dengan penggunaan material bambu dalam arsitektur
tradisional maupun kerajinannya) beserta unsur-unsur lokal lainnya yang juga sejalan dengan
kepedulian dan kerinduan generasi terkini akan konsep back to nature.
Berdasarkan hasil wawancara dengan nasabah dan pengunjung bank BTPN Sinaya
dari berbagai jenis kelamin dan usia, terdapat perbandingan kesan secara umum mengenai
pengalaman di Bank BTPN Sinaya dengan bank-bank lain pada umumnya yang juga pernah
mereka kunjungi. Kesan-kesan yang disebutkan dapat dikelompokkan berdasarkan tahapan-
tahapan proses respon manusia terhadap lingkungan sesuai teori yang dikaji oleh Greendland
dan Mcgoldrick.
Gambar 3. Ruang Interior Bank BTPN Sinaya, Gedung Cyber 2
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia 8
Bank-bank Lain Bank BTPN Sinaya
Elemen
interior
yang berkesan
(sesuai urutan
dari yang paling
berkesan)
- Tempat duduk bench tidak
nyaman berjejer memanjang
(bahkan berdiri mengantri)
- Ruang terkotak-kotak
- Kaca, stainless steel
- Polosnya elemen ruang
- Terang
- Bambu
- Dealing room melingkar dengan partisi kain lunak
- Vertical garden, tanaman
- Sofa santai dan nyaman
- Cahaya remang-remang
- Aroma
- Lantai batu, parket
- Aksesori (tempat permen)
Cognitive
- Standar bank; konservatif
- Monoton, datar
- Unik, back to nature
- Berbeda dengan bank pada umumnya
- Memori di beragam tempat rekreasi atau bersantai (spa,
restoran sunda, cafe, lobi hotel, gallery, lounge)
- Memori “rumah” atau kampung asal
Feeling
- Kaku, dingin, tegas, formal,
serius, misterius
- Ingin cepat keluar
- Tidak nyaman di mata
- Friendly, welcomed
- Homey, “warm”
- Santai, tenang, nyaman
- Private (khususnya dealing room dan teller)
Feeling - Elegan (high-class)
- “Berjarak” dengan ruang dan
pihak bank
- Dalam dealing room ada rasa tidak ada batasan tegas
dengan pegawai bank, suasana lebih luwes, engaged.
- Tidak merasa terasing
Conative - Padat dan pergerakan cepat
- Tidak ada keinginan
mengeksplorasi ruang
- Pergerakan tenang
- Tidak masalah menunggu lama
- Ingin mengeksplorasi ruang
Tingkat
Enjoyment
2-3 dari skala1-5 4-5 dari skala 1-5
*Komparasi ini didasari oleh beberapa bank yang direferensikan sebagai perbandingan oleh responden
Tabel 1. Hasil Wawancara – Kesan Bank secara Umum dan BTPN Sinaya*
Gambar 4. Gambaran Suasana Bank-bank Lain (sesuai hasil wawancara)