PERADILAN TATA USAHA NEGARA Aghnia Lutfi I (01) Hasna Aisy (10) Monika Septia K (15) Vera Setyanitami (22) Vivin Anugerah (23) M. Ilham Hanif (31)
Jan 22, 2016
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Aghnia Lutfi I (01)Hasna Aisy (10)Monika Septia K (15)Vera Setyanitami (22)Vivin Anugerah (23)M. Ilham Hanif (31)
NORMA HUKUM SISTEM HUKUM
PENGGOLONGAN HUKUM
TUJUAN HUKUM
SUMBER HUKUM
URUTAN PERATURAN
HUKUM
INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM
Norma
Norma adalah kaidah atau ketentuan yang mengatur kehidupan dan hubungan antarmanusia dalam arti luas
Contoh: Norma agama Norma hukum Norma kesopanan Dsb
Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan
Sistem Hukum
Ada berbagai jenis sistem hukum yang berbeda yang dianut oleh negara-negara di dunia pada saat ini, antara lain :
sistem hukum Eropa Kontinental, common law system sistem hukum Anglo-Saxon sistem hukum adat sistem hukum agama
Sistem hukum Eropa Kontinental
Ciri-cirinya adalah berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.
common law system
Sistem hukum umum adalah suatu sistem hukum yang digunakan di Inggris yang mana di dalamnya menganut aliran frele recht lehre yaitu dimana hukum tidak dibatasi oleh undang-undang tetapi hakim diberikan kebebasan untuk melaksanakan undang-undang atau mengabaikannya.
Sistem hukum Anglo-Saxon
Didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya.
Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat
Penerapannya lebih baik digunakan pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.
Sistem hukum adat/kebiasaan Hukum Adat adalah seperangkat
norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah. misalnya di perkampungan pedesaan terpencil yang masih mengikuti hukum adat. dan memiliki sanksi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di wilayah tertentu.
Sistem Hukum Agama
Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu. Sistem hukum agama biasanya terdapat dalam Kitab Suci.
Penggolongan Hukum
Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang, antara lain
hukum pidana/hukum publik, hukum perdata/hukum pribadi, hukum acara hukum tata negara hukum administrasi negara/hukum tata
usaha negara hukum internasional Dsb
Hukum Pidana
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan - perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang - undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya
Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu
Kejahatan Pelanggaran
Kejahatan
Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang - undangan tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa pemidanaan, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya.
Pelanggaran
Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan perundangan namun tidak memberikan efek yang tidak berpengaruh secara langsung kepada orang lain, seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya.
Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Wetboek van Straafrecht (WvS).
Hukum Perdata
Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Salah satu contoh hukum perdata dalam masyarakat adalah jual beli rumah atau kendaraan .
Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
Hukum keluarga Hukum harta kekayaan Hukum benda Hukum Perikatan Hukum Waris
Tujuan Hukum
Dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana pengendali dan perubahan sosial, hukum memiliki tujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, damai, adil yang ditunjang dengan kepastian hukum sehingga kepentingan individu dan masyarakat dapat terlindungi.
Dalam beberapa literatur Ilmu Hukum para sarjana hukum telah merumuskan tujuan hukum dari berbagai sudut pandang, dan paling tidak ada 3 teori:
Teori Etis Teori Utilitis Teori Campuran
Teori Etis
Dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles, dalam karyanya Ethica dan Rhetorika
menyatakan bahwa hukum memiliki tujuan suci memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.
Menurut teori ini hukum bertujuan mewujudkan keadilan.
Aristoteles membedaka adanya dua macam keadilan;
justitia distributive (keadilan distributif)
justitia commulative (keadilan komulatif)
justitia distributive (keadilan distributif) Keadilan distributif adalah suatu
keadilan yang memberikan kepada setiap orang berdasarkan jasa atau haknya masing-masing. Makna keadilan bukanlah persamaan melainkan perbandingan secara proporsional.
justitia commulative (keadilan komulatif) Adapun keadilan komulatif adalah
keadilan yang diberikan kepada setiap orang berdasarkan kesamaan. Keadilan terwujud ketika setiap orang diperlakukan sama.
Teori Utilitis
Menurut teori ini hukum bertujuan untuk menghasilkan kemanfaatan yang sebesar-besarnya pada manusia dalam mewujudkan kesenangan dan kebahagiaan
Penganut teori ini adalah Jeremy Bentham
Teori Campuran
Menurut Apeldoorn tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil.
Kebutuhan dan ketertiban adalah syarat pokok (fundamental) bagi adanya masyarakat yang teratur dan damai. untuk mewujudkan kedamaian masyarakat maka harus diciptakan kondisi masyarakat yang adil dan setiap orang (sedapat mungkin) harus memperoleh apa yang menjadi haknya.
Teori ini adalah jalan tengah diantara dua teori sebelumnya
Sumber Hukum
Pancasila Undang-undang Dasar 1945 Ketetapan MPR Undang-undang/peraturan pemerintah
pengganti undang-undang Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden Peraturan Pelaksana Lainnya Convention (Konvensi Ketatanegaraan) Traktat
Pancasila
Pancasila adalah sebagai dasar negara republik Indonesia
Pancasila juga merupakan sumber dari segala hukum sesuai dengan Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 (jo Ketetapan MPR No.V/MPR/1973, jo Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978)
UUD 1945
UUD 1945 sebagai sumber hukum, yang merupakan hukum dasar tertulis yang mengatur masalah kenegaraan dan merupakan dasar ketentuan-ketentuan lainnya.
Ketetapan MPR
Dalam Pasal 3 UUD 1945 ditentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dengan istilah menetapkan tersebut maka orang berkesimpulan, bahwa produk hukum yang dibentuk oleh MPR disebut Ketetapan MPR.
Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang
Undang-undang mengandung dua pengertian, yaitu:
a. Undang-undang dalam arti materiel: peraturan yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
b. Undang-undang dalam arti formal: keputusan tertulis yang dibentuk dalam arti formal sebagai sumber hukum dapat dilihat pada Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
Peraturan Pemerintah
Untuk melaksanakan undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dengan DPR, oleh UUD 1945 kepada presiden diberikan kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah guna melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya. Dalam hal ini berarti tidak mungkin bagi presiden menetapkan Peraturan Pemerintah sebelum ada undang-undangnya, sebaliknya suatu undang-undang tidak berlaku efektif tanpa adanya Peraturan Pemerintah.
Keputusan Presiden
Bentuk peraturan ini baru dikenal tahun 1959 berdasarkan surat presiden no. 2262/HK/1959
Kemudian melalui Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, Keputusan Presiden resmi ditetapkan sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan menurut UUD 1945
Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan UUD 1945, Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pelaksana lainnya Yang dimaksud dengan peraturan
pelaksana lainnya adalah seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya yang harus dengan tegas berdasarkan dan bersumber pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Konvensi Ketatanegaraan
Konvensi Ketatanegaraan adalah perbuatan kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga ia diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan. Konvensi Ketatanegaraan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang, karena diterima dan dijalankan, bahkan sering kebiasaan (konvensi) ketatanegaraan menggeser peraturan-peraturan hukum yang tertulis.
Traktat
Traktat atau perjanjian yaitu perjanjian yang diadakan dua negara atau lebih. Kalau kita amati praktek perjanjian internasional bebrapa negara ada yang dilakukan 3 (tiga) tahapan, yakni perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), dan pengesahan (ratification). Disamping itu ada pula yang dilakukan hanya dua tahapan, yakni perundingan (negotiation) dan penandatanganan (signature).
Urutan peraturan hukum
1. UUD 1945 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945) merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
2. Ketetapan MPR Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR-RI) merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.
3. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-undangan
Undang-Undang (UU) dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden untuk melaksanakan UUD 1945 serta TAP MPR-RI.
Perpu dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut:
Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan. Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
4. Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah (PP) dibuat
oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang.
5 Peraturan Presiden Peraturan Perundang-undangan yang
dibuat oleh Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
Perpres merupakan jenis Peraturan Perundang-undangan yang baru di Indonesia, yakni sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
6. Peraturan Daerah Provinsi Peraturan daerah dibuat oleh
provinsi bersama dengan gubernur
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Peraturan daerah kabupaten/kota
dibuat oleh DPRD kabupaten/kota bersama bupati/walikota
Indonesia Sebagai Negara Hukum Indonesia ialah negara yang berdasrkan
atas Hukum (rechtsstaat). Negara Indonesia berdasarkan atas Hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun, harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum
Peradilan Tata Usaha Negara
Pengertian Peradilan
Pengertian PTUN
Dasar Hukum
Tugas PTUN
Fungsi PTUN
Contoh kasus
Penyelesaian kasus
Upaya Hukum
Pelaksanaan Putusan
Pengertian Peradilan
Peradilan adalah sebuah proses dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan atau suatu proses mencari keadilan itu sendiri.
Pengertian PTUN
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengkete Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara meliputi:
Pengadilan Tata Usaha Negara, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/ kota.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi.
Pengadilan Khusus
Dasar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara Dalam bidang kekuasaan kehakiman, pasal 27 ayat 1 UUD
1945 tersebut selanjutnya dibuatkan pasal-pasal tersendiri di dalam UUD 1945 seperti pasal 24, 24 A, 24 B, 24 C, 25 dan dijabarkan ke dalam beberapa produk perundang-undangan diantaranya:
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman , jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang No 4 Tahun 2004
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak
Asasi Manusia
Dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas dan jelas disebutkan bahwa:
Pada ayat 1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh mahkamah agung dan lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Ayat 2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan undang-undang.
Selanjutnya sebagai peraturan pelaksanaan dari pasal 24 UUD 1945 tersebut diundangkanlah pada waktu itu Undang-undang no. 14 tahun 1970 dimana sekarang ini telah dirubah dengan Undang-undang no. 4 tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, dimana dalam pasal 10 ayat 1 dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan:
1. Peradilan Umum 2. Peradilan agama 3. Peradilan militer 4. Peradilan Tata Usaha Negara
Berdasarkan hal tersebut maka pada tanggal 14 januari 1991 diundangkanlah melalui peraturan pemerintah yang disebut dengang Undang-Undang no. 5 Tahun 1986 dan untuk sekarang ini telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang no. 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Tugas PTUN
1. Menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta), dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan ketentuan dan ketenuan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan, serta petunjuk-petunjuk dari Mahkamah Agung Republik Indonesia (Buku Simplemen Buku I, Buku II, SEMA, PERMA, dll).
2. Meneruskan sengketa-sengketa Tata Usaha Negara ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang berwenang.
3. Peningkatan kualitas dan profesionalisme Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta), seiring peningkatan integritas moral dan karakter sesuai Kode Etik dan Tri Prasetya Hakim Indonesia, guna tercipta dan dilahirkannya putusan-putusan yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum dan keadilan, serta memenuhi harapan para pencari keadilan (justiciabelen).
4. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga Peradilan guna meningkatan dan memantapkan martabat dan wibawa Aparatur dan Lembaga Peradilan, sebagai benteng terakhir tegaknya hukum dan keadilan, sesuai tuntutan Undang-Undang Dasar 1945.
5. Memantapkan pemahaman dan pelaksanaan tentang organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, sesuai Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/012/SK/III/1993, tanggal 5 Maret 1993 tentang Organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
6. Membina Calon Hakim dengan memberikan bekal pengetahuan di bidang hukum dan administrasi Peradilan Tata Usaha Negara agar menjadi Hakim yang profesional.
Fungsi PTUN
Melakukan pembinaan pejabat struktural dan fungsional serta pegawai lainnya, baik menyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun administrasi umum.
Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan pegawai lainnya.
Menyelenggatakan sebagian kekuasaan negara di bidang kehakiman.
Contoh Kasus : Swastanisasi Air Jakarta Lebih dari setahun yang lalu, Koalisi Masyarakat Menolak
Swastanisasi Air melayangkan Notifikasi Gugatan Swastanisasi Air Jakarta kepada Pemerintah (14 September 2011). Namun hasilnya, sampai dengan hari ini, penolakan swastanisasi air tidak mendapatkan respon. Pemerintah justru lebih memilih terus melanggengkan status quo swastanisasi pengelolaan layanan air di Propinsi DKI.
Penolakan yang dilakukan oleh koalisi bukan tanpa alasan. Bagi kami, pengelolaan layanan air Jakarta oleh dua konsorsium asing (PT. Palyja dan PT. Aetra), sama sekali tidak memberikan keuntungan dan manfaat. Sebaliknya, perjanjian ini justru banyak menimbulkan kerugian bagi warga jakarta. Perusahaan Daerah Air Minum selalu merugi, pelayanan air tidak memuaskan, dan sampai biaya tariff air yang kemahalan (tinggi).
Penting untuk dipahami, konstitusi mengamanatkan dengan tegas, air sebagai cabang produksi penting bagi Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikelola oleh Negara. Ironisnya, pengolalaan air di Jakarta justru diserahkan kepada swasta asing. Praktek ini sudah berjalan selama 14 tahun, dan akan berlanjut sampai 2023.
Pengelolaan air oleh swasta tersebut jelas telah melanggar konstitusi yang pada prakteknya telah merugikan warga Negara selaku pemegang hak atas air. Pengabaian dan pembiaran harus dihentikan. Sudah seharusnya Negara berdaulat atas air dan mengelolanya untuk kepentingan rakyat.
Warga jakarta juga dihadapkan pada ketertutupan informasi dalam pengelolaan air. Perjanjian Swastanisasi Air antara PDAM DKI dengan Swasta Asing selama ini berlangsung tertutup dan tanpa keterlibatan (pastisipasi) masyarakat. Tidak hanya itu, penentuan tarif dasar air dilakukan secara rahasia tanpa diketahui masyarakat.
Alasan MenggugatTerdapat Empat alasan utama mengapa warga mengugat Citizen Law Suit (CLS) Swastanisasi Air di Jakarta dan menuntut pemerintah menghentikan swastanisasi air di Jakarta. Pertama, Adanya berbagai pelanggaran terhadap konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam penyusunan PKS Swastanisasi Air. Kedua, kerugian yang diderita warga Negara akibat pengelolaan swasta, tidak terpenuhinya hak atas air warga Negara, khususnya bagi yang tidak mampu. Ketiga, Indikasi dugaan korupsi. Dan Keempat, adanya kerugian Negara.
Gugatan warga Negara kepada Negara ini adalah hak warga untuk menuntut tanggung jawab Negara yang telah abai dan lalai untuk menjalankan kewajibannya mengelola air secara mandiri serta memastikan pemenuhan hak atas air warga Negara sebagaimana amanat konstitusi.
Penyelesaian Kasus
1. Pengajuan gugatan 2. Pemeriksaan Persidangan 3. Pemeriksaan di Tingkat Pertama
Gugatan warga Negara kepada Negara ini adalah hak warga untuk menuntut tanggung jawab Negara yang telah abai dan lalai untuk menjalankan kewajibannya mengelola air secara mandiri serta memastikan pemenuhan hak atas air warga Negara sebagaimana amanat konstitusi.
Gugatan warga Negara kepada Negara ini adalah hak warga untuk menuntut tanggung jawab Negara yang telah abai dan lalai untuk menjalankan kewajibannya mengelola air secara mandiri serta memastikan pemenuhan hak atas air warga Negara sebagaimana amanat konstitusi.
Gugatan warga Negara kepada Negara ini adalah hak warga untuk menuntut tanggung jawab Negara yang telah abai dan lalai untuk menjalankan kewajibannya mengelola air secara mandiri serta memastikan pemenuhan hak atas air warga Negara sebagaimana amanat konstitusi.
Gugatan warga Negara kepada Negara ini adalah hak warga untuk menuntut tanggung jawab Negara yang telah abai dan lalai untuk menjalankan kewajibannya mengelola air secara mandiri serta memastikan pemenuhan hak atas air warga Negara sebagaimana amanat konstitusi.
Pengajuan gugatan
diajukan secara tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. Gugatan yang diajukan harus dalam bentuk tertulis, karena gugatan itu akan menjadi pegangan bagi pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan.
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan
Gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di tingkat sesuai dengan kediamannya.
Pemeriksaan di Persidangan - Pemeriksaan Pendahuluan Pemeriksaan Pendahuluan ini terdiri
dari : a. Rapat permusyawaratan
/Proses Dismissal b. Pemeriksaan Persiapan
Rapat permusyawaratan/Proses Dismissal Tahap penyaringan yang merupakan
wewenang Ketua Pengadilan, diatur dalam Pasal 62
Dalam proses dismissal ini Ketua Pengadilan, setelah melalui pemeriksaan administrasi di kepaniteraan, memeriksa gugatan yang masuk. Apakah gugatan tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam UU Peratun dan apakah memang termasuk wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya.
Dalam proses dismissal Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan tidak diterima atau tidak berdasar, apabila :
a. Pokok gugatan, yaitu fakta yang dijadikan dasar gugatan, nyata-nyata tidak termasuk wewenang Pengadilan.
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diperingatkan.
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.
e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
Pemeriksaan persiapan
Pemeriksaan persiapan diadakan mengingat posisi Penggugat di Peratun pada umumnya adalah warga masyarakat yang diasumsikan mempunyai kedudukan lemah dibandingkan dengan Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam posisi yang lemah tersebut sangat sulit bagi Penggugat untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan untuk kepentingan pengajuan gugatan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.
Pemeriksaan Persiapan dilakukan di ruang tertutup bukan di ruang persidangan yang terbuka untuk umum. Dalam Pemeriksaan Persiapan Hakim wajib dan berwenang untuk :
Memberikan nasehat atau arahan-arahan kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatannya dan melengkapai surat-surat atau data-data yang diperlukan dalam tenggang waktu 30 hari.
Meminta penjelasan kepada pihak Tergugat mengenai segala sesuatu yang mempermudah pemeriksaan sengketa di persidangan
Apabila jangka waktu 30 hari yang ditetapkan untuk
memperbaiki gugatannya tersebut tidak dipenuhi oleh Penggugat, maka Majelis Hakim akan memberikan putusan yang menyatakan gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, dan atas putusan tersebut tidak ada upaya hukum, namun masih dapat diajukan gugatan baru
Pemeriksaan di tingkat pertama Pada umumnya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN), terkecuali untuk sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, sengketa tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administratif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 48 UU Peratun, maka pemeriksaan di tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).Pemeriksaan ditingkat pertama ini dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara :
a. Pemeriksaan dengan acara biasa. b. Pemeriksaan dengan acara cepat. Dalam proses pemeriksaan sengketa TUN dimungkinkan pula
adanya pihak ketiga yaitu orang atau badan hukum perdata untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan suatu sengketa yang sedang berjalan (Pasal 83).
Dalam hal pemeriksaan sengketa telah selesai, mulai dari jawab menjawab, penyampaian surat-surat bukti dan mendengarkan keterangan saksi-saksi, maka selanjutnya para pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan yang merupakan pendapat akhir para pihak yang bersengketa (Pasal 97 ayat 1). Setelah kesimpulan disampaikan, kemudian hakim menunda persidangan untuk bermusyawarah guna mengambil putusan.Putusan pengadilan yang akan diambil oleh hakim dapat berupa ( Pasal 97 ayat (7) ) :
a. Gugatan ditolak. b. Gugatan dikabulkan. c. Gugatan tidak diterima. d. Gugatan gugur.
Terhadap gugatan yang dikabulkan, maka pengadilan akan menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan kepada Badan atau Pejabat TUN selaku Tergugat, yaitu berupa ( Pasal 97 ayat (9) ) :
a. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan. b. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan dan
menerbitkan Keputusan TUN yang baru. c. Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan
didasarkan pada Pasal 3. Disamping kewajiban-kewajban tersebut pengadilan
juga dapat membebankan kewajiban kepada Tergugat untuk membayar ganti rugi dan pemberian rehabilitasi dalam hal menyangkut sengketa kepegawaian.
UPAYA HUKUM
Upaya Hukum Banding Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan
Kembali
Upaya Hukum Banding.
Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU Peratun terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut
Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali Terhadap putusan pengadilan tingkat
Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan
hanyalah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam Pasal 115 UU Peratun.
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa terhadap putusan tersebut telah tidak ada lagi upaya hukum, atau dapat juga masih ada upaya hukum akan tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak ditempuh dan telah lewat tenggang waktu yang ditentukan oleh UU.