Systemic Lupus EritomatosusLezdyana Nur Islami, Haeril Aswar I.
Pendahuluan Systemic Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit
rematik autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar
luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.
Penyakit ini berhubugan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks
imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.(1)Systemic Lupus
Eritematosus (SLE) digambarkan sebagai suatu gangguan kulit pada
sekita tahun 1800-an dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya
yang berbentuk kupu-kupu (butterfly rash), melintasi tonjolan
hidung dan meluas pada kedua pipi yang mnyerupai gigitan serigala
(lupus dalam bahasa latin yang berarti serigala).(2)Pemahaman
terhadap patogenesis/imunopatologi SLE merupakan hal yang sangat
penting agar bisa memberikan terapi yang sesuai. (1)
II. Insidens dan epidemiologi Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah
menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE
di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai
populasi yang berbeda-beda antara 2.9/100.000-400/100.000. Systemic
Lupus Eritematosus (SLE) sering ditemukan pada ras tertentu seperti
bangsa negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat
ditemukan pada semua jenis usia, tetapi paling banyak pada usia
15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan
dengan frekuensi pada pria berkisar pada antara (5-5,9) : 1. Pada
lupus eritomatosus yang disebabkan obat (drug induced LE), rasio
ini lebih rendah yaitu 3:2.(1) Sytemic Lupus Eritematosus (SLE)
menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih sering daripada
laki-laki. Penyakit ini seringkali dimulai pada akhir masa remaja
atau awal masa dewasa. Di Amerika Serikat penyakit ini menyerang
perempuan amerika tiga kali lebih sering daripda perempuan
kaukasia. Jika penyakit ini baru muncul pada uasi 60 tahun keatas,
biasanya akan lebih mudah diatasi. (2) Penderita lupus di
Indonnesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada september
2010 penderita lupus (odapus) di Indonesia berjumlah 10.314 orang ,
12.700 orang pada tahun 2012 dan 13.300 orang per april 2013 dengan
rentang umur antara 15-45 tahun dan 90 persen diantaranya adalah
perempuan muda serta 10 persennya sisanya diderita oleh laki-laki
dan anak anak. (3)
III. Etiologi dan patogenesis SLE Etiopatologi dari SLE belum
diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks
dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan.
(1) Faktor inilah yang menyebabkan toleransi imunologi yang
ireversibel terhadap respon imun endogen. (4)Faktor genetik
memegang peranan yang banyak pada penderita lupus dengan resiko
yang meningkat pada kembar monozigot (>20%) dan pengelompokan
familial serta HLA clustering menunjukan predisposisi genetik. (6).
Elemen genetik yang paling banyak diteliti konstribusinya terhadap
SLE pada manusia adalah gen dari kompleks Histokompabiitas Mayor
(MCH). Penelitian populasi menunjukan bahwa kepekaan terhadap SLE
melibatkan polimorfisme dari gen HLA (human leucocyte antigen)
kelas II yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta komponen komplemen yang
berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen (yaitu C1q, C1r/s,
C4 dan C2), selain itu gen yang juga mulai ikut berperan adalah gen
yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin. (1)Faktor
hormonal juga dikaitkan dengan kejadian SLE. Mayoritas penyakit ini
menyerang wanita muda dan beberapa penelitian menunjukan terdapat
hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem
imum. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga
mengabkibatkan produksi autoantibodi yang berlebihan pada pasien
LES.(7) Antibodi yang ditunjukan kepada self molecules yang
terdapat pada nucleus, sitoplasma, permukaan sel dan juga terdapat
pada molekul terlarut seperti IgG dan faktor koagulasi. Antbodi
antinuklear (ANA) adalah antibodi yang banyak ditemukan pada
penderita SLE (lebih dari 95%). Anti double stranded DNA (anti
ds-DNA dsn anti Sm-antibodi merupakan antibodi yang spesifik pada
SLE, sehingga dimasukan dalam kriteria klasifikasi untuk SLE. Titer
antibodi anti-DNA sering kali berubah sesuai waktu dan aktivitas
penyakit, sedangkan titer antibodi anti-Sm biasanya konstan.
Antibodi anti-DNA pada umumnya berhubungan dengan adanya
glomerulonefritis, walaupun korelasi antara antibodi anti-DNA
dengan lupus nefritis tidaklah sempurna karena beberapa penderita
lupus yang aktif tidak ditemukan titer antibodi anti-DNA, sedangkan
beberapa tidak ditemukan antibodi anti-DNA yang menetap tinggi
tidak menunjukan adanya keterlibatan ginjal. (5)Meskipun faktor
genetik dan faktor hormonal merupakan predisposisi terhadap
kejadian SLE akan tetapi, insiasi penyakit juga diduga karena
merupakan hasil dari beberapa faktor eksogen dan lingkungan.
Epstein Barr Virus (EBV) mungkin menginduksi respon spesifik
melalui kemiripan molekular.(1) Epstein Barr Virus (EBV) ini akan
berinteraksi dengan sel B dan meningkatkan produksi interferon
(IFN) oleh sel dendritik plasmasitoid. Peningkatan kadar IFN pada
pasien lupus menandakan terjadinya infeksi virus kronis. (4) Selain
itu, toksin/obat-obatan memicu modifikasi respon seluler dan
imunogenitas dari self antigen sedangkan agen fisik/kimia seperti
sinar ultraviolet dapat menyebabkan inflamasi, memicu apoptosis
sel, dan menyebabkan kerusakan jaringan.(5) Tabel 1. Faktor
lingkungan yang mungkin berhubungan dengan patogenesis systemic
lupus erythematosus (1)Faktor fisik/kimia Amin aromatik Hydrazines
Obat-obatan (procainamide, hydralazine, chlorpromazine, isoniazid,
phenytoin, penicillamine) Merokok Pewarna rambut Sinar Ultraviolet
(UV) Faktor makanan Konsumsi lemah jenuh yang berlebihan
L-canavanine (kuncup dari alfafa)Agen infeksi Retrovirus DNA
bakteri/endotoksinHormon dan estrogen lingkungan (environmental
oestrogen) Terapi sulih hormon (HRT), pil kontrasepsi oral Paparan
estrogen prenatal
IV. Patofisiologi Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun
yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang
menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi
dan pemebentukan kompleks imu. Aktivasi sel T dan sel B disebabkan
oleh adanya stimulasi antigen spesifik yang dibawa oleh antigen
precenting cells (APCs) yang berikatan dengan antibodi pada
permukaan sel B dan diproses menjadi peptida dan dibawa ke sel T
melalui molekul HLA di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan
mengeluarakn sitokin yang dapat merangsang sel B membentuk
autoantibodi yang patogen.(5)Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10
yaitu sitokin yang diproduksi olehsel Th2 yang berfungsi menekan
sel Th1 sehingga mengganngu cell mediated immunity. Sel T pada SLE
juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan
hilangnyarespon terhadap pembentukan IL-2 yang dapat membantu
meningkatkan ekspresi sel T. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+9
(supresor/sitotoksi k) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai
dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+,
dimana CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan
menyediakan signal bagi CD8+. Berkurangnya jumlah sel T akan
menyebabkan berkurangnya subset signal sampai CD8+ sehingga
menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif.
(5)Gangguan sistem imun pada pasien SLE dapat berupa gangguan
klirens kompleks imun yang disebabkan berkurangnya CR1 dan juga
fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya
ikatan reseptor FcgRIIA and FcgRIIIA, dimana berhubungan dengan
defisiensi komponen C1,C2 dan C4. Adanya gangguan tersebut
menyebabkan peningkatan paparan antigen terhadap sistem imun dan
terjadilah deposisi komplek imun pada berbagai macam organ sehingga
terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa aktivasi
komplemen ini akan menghasilkan mediator inflamasi yang akan
menimbukan reaksi radang sehingga menyebabkan timbulnya keluhan
atau gejala pada organ tempat yang bersangkutan seperti ginjal,
sendi, pleura, dan sebagainya.(5)Pajanan sinar ultraviolet pada
pasien SLE diketahui sebagai pemicu inflamasi yang dapat
minimbulkan modifikasi struktur radikal bebas self antigen yang
dapat meningkatkan imunogenitas. (11)
V. Gambaran Klinis Gambaran klinis SLE dapat membingungkan,
terutama pada awalnya. Gejala-gejala konstituonal yang dapat
ditemukan adalah demam, rasa lelah, lemah dan berkurangnya berat
badan yang biasanya timbul pada awal penyakit dan dapat berulang
dalam perjalananya. Keletihan dan rasa lemah bisa timbul sebagai
gejala sekunder anemia ringan yang ditimbulkan oleh SLE.(6)
Kelelahan yang disebabkan aktivitas penyakit SLE, diperlukan
pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah.
Kelelahan pada penyakit ini memberikan respon pada pemberian
steroid atau latihan. Penurunan berat badan disebabkan menurunnya
nafsu makan atau disebabkan gejala gastrointestinal, sedangkan
demam pada pasien SLE tidak disertai mengigil. Gejala lain yang
dapat ditemukan seiring dengan aktifitas penyakitnya seperti sakit
kepala, mual, muntah, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak,
rambut rontok dan hilangnya nafsu makan. (1)A. Manifestasi kulit
Manifestasi kulit meliputi ruam eritomatosa yang dapat timbul pada
wajah, leher, ekstremitas, atau pada tubuh. Kira-kira 40% dari
pasien SLE memiliki ruam berbentuk kupu-kupu.(6) Lesi mukokutaneus
yang tampak sebagai bagian dari SLE dapat berupa fotosensitivitas,
diskoid LE, subacute lupus srythematosus, lupus profundus,
alopecia, lesi vaskular, berupa eritema periungual,
teleangiectasis, fenomena raynaunds atau vaskulitis.(1)
Gambar 3 Acute cutaneus lupus erythematosus (4)B. Manifestasi
muskuloskeletalKeluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi yang
paling sering dijumpai yakni lebih dari 90 % dari waktu perjalanan
penyakit.(6) Keluhan dapat berupa nyeri otot, nyeri sendi atau
suatu arthritis yang tampak bukti adanya inflamasi sendi. Keluhan
ini sering dianggp sebagai Arthritis Reumatoid.(1) Perbedaannya
adalah poliarthritis SLE jarang bersifat erosif atau menimbulkan
deformitas serta jarang juga ditemukan nodul subkutan pada
penderita SLE.(1)C. Manifestasi kardiologis Pericarditis terdapat
sekitar 25 % pada setiap pasien SLE. Efusi pericardium bersifat
asimptomatik dan kadang-kadang ringan sampai sedang. (5) PJK dapat
pula dijumpai dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark
miokard atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini semakin banyak
dijumpai pada penderita usia muda dengan jangka penyakit yang
oanjang serta penggunaan steroid jangka panjang. (1)D. Manifestasi
paru Penyebab tersering dari manifestasi paru pada pasien SLE
adalah pleuritis. Nyeri pleuritik 45-60% pasien SLE dengan atau
tanpa efusi pleura dengan presentasi klinis efusi pleura dilaporkan
sekitar 50 %. Efusi biasanya bilateral dan distribusi yang sama
antara hemithoraks kanan dan kiri. Akut lupus pneumonitis
memberikan gambatran klinis berupa batuk, sesak nafas, nyeri
pleuritik, hipoxemia dan demam pada 1-4 % kasus.(4 )Hemoptisis
merupakan keadaan yang serius apabila merupakan bagian dari
perdarahan paru akibat SLE dan memerlukan penanganan yang tepat,
dimana tidak hanya pemberian steroid namun tindakan pengobatan lain
seperti lasmaferesis atau pemeberian sitostatika.(1)E. Manifestasi
renal Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75 % penderita yang
sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita SLE. Gejala dan
pada umumnya tidak tampak sebelum terjadinya kegagalan ginjal atau
sindroma nefrotik. Pemeriksaan terhadap protein urin > 500 mg/24
jam atau +3 semikuantitatif, adanya cetakan granuler, hemoglobi,
tubuler, eritrosit atau gabungan serta piuria (>5/LBP) tanpa
bukti adanya infeksi atau peningkatan kadar serum kretinin. Untuk
memperoleh data yang lebih akurat untuk melihat keterlibatan ginjal
dengan biopsi ginjal dan WHO membaginya dalam klasifikasi
keterlibatan ginjal atas dasar hasil biopsi menjadi 6
kelas.(1)Klasifikasi WHO dinilai berdasarkan pola histologi dan
lokasi dari imun kompleks, sementara klasi ikasi ISN/RPS juga
membagi menjadi lesi fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan kronis.
Bila biopsi tidak dapat dilakukan oleh karena berbagai hal, maka
klasifikasi lupus nefritis dapat dilakukan penilain berdasarkan
panduan WHO. (8)Tabel 2. Klasifikasi lupus nefritis menurut World
Health Organization (8)
Tabel ini hanyalah panduan, parameter bervariasi, biopsi
diperlukan untuk ketepatan diagnosis. (8)Tabel 3. Klasifikasi lupus
nefritis oleh International Society of Nephrology/Renal Pathology
Society 2003 (ISN/RPS) (8)
F. Manifestasi Gastrointestinal Disfagia merupakan keluhan yang
biasanya menonjol pada SLE. Nyeri abdominal dikatakan berkaitan
dengan adanya inflamasi. Nyeri perut bagian atas disertai mual dan
muntah serta peningkatan serum amilase. Hpatomegali juga merupakan
pembesaran organ yang banyak dijumpai pada SLE, disertai
peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan Laktat
Dehidrigenase ( LDH). (1)G. Manifestasi neuropsikiatrikKeterlibatan
neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinis
yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi
neurologik dan psikiatrik.(1) Keterlibatan saraf otak jarang
ditemukan. Kelainan psikiatrik yang sering ditemukan mulai dari
anxietas, depresi sampai psikosis. Dapat dijumpai kelainan pada EEG
namun tidak spesifik.(7) Perubahan pada sistem saraf pusat sering
diakibatkan oleh bentuk penyakit yang ganas dan bersifat fatal. H.
Manifestasi hemapoetik Kelainan hematologik sering menjadi tanda
dan gejala SLE. Kriteria mayor meliputi anemia, leukopenia,
trombositopenia dan syndrome antifosfolipid. Patogenesis anemia
meliputi anemia karena penyakit kronik, hemolitik, kehilangan
darah, insufisiensi renal, infeksi, obat, hiperplenisme,
mielofibrosis, dan anemia aplastik. Kadar leukosit 3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif ataub. Silinder seluler : - dapat
berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau
campuran.
Gangguan neurologia. Kejang yang bukan disebabkan oleh
obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis,
atau ketidak-seimbangan elektrolit).ataub. Psikosis yang bukan
disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya
uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).
Gangguan hematologika. Anemia hemolitik dengan retikulosis
ataub. Lekopenia