PENGUJIAN IMPAK DAN FENOMENA PERPATAHAN 1. Sejarah Pengujian Impak Sejarah pengujian impak terjadi pada masa Perang Dunia ke 2, karena ketika itu banyak terjadi fenomena patah getas yang terjadi pada daerah lasan kapal-kapal perang dan tanker-tanker. Diantara fenomena patahan tersebut ada yang patah sebagian dan ada yang benar-benar patah terbeah menjadi 2 bagian, fenomena patahan ini terjadi terutama pada saat musim dingin-ketika diaut bebas ataupun ketika kapal sedang berabuh. Dan contoh yang sangat terkenal tentang fenomena patahan getas adalah tragedi Kapal TITANIC yang melintasi samudera Atlantik. Dasar pengujian impak ini adalah penyerapan energi potensial dari pendulum beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk benda uji sehingga benda uji mengalami deformasi. 2. Jenis-jenis metode uji impak Secara umum metode pengujian impak terdiri dari 2 jenis yaitu: Metode Charpy Metode Izod Metode Charpy: Pengujian tumbuk dengan meletakkan posisi spesimen uji pada tumpuan dengan posisi horizontal/ mendatar, dan arah pembebanan berlawanan dengan arah takikan.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGUJIAN IMPAK DAN FENOMENA PERPATAHAN
1. Sejarah Pengujian Impak
Sejarah pengujian impak terjadi pada masa Perang Dunia ke 2, karena ketika itu banyak terjadi fenomena patah getas yang terjadi pada daerah lasan kapal-kapal perang dan tanker-tanker. Diantara fenomena patahan tersebut ada yang patah sebagian dan ada yang benar-benar patah terbeah menjadi 2 bagian, fenomena patahan ini terjadi terutama pada saat musim dingin-ketika diaut bebas ataupun ketika kapal sedang berabuh. Dan contoh yang sangat terkenal tentang fenomena patahan getas adalah tragedi Kapal TITANIC yang melintasi samudera Atlantik.
Dasar pengujian impak ini adalah penyerapan energi potensial dari pendulum beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk benda uji sehingga benda uji mengalami deformasi.
2. Jenis-jenis metode uji impak
Secara umum metode pengujian impak terdiri dari 2 jenis yaitu:
Metode Charpy
Metode Izod
Metode Charpy: Pengujian tumbuk dengan meletakkan posisi spesimen uji pada tumpuan dengan posisi horizontal/ mendatar, dan arah pembebanan berlawanan dengan arah takikan.
Gbr1. Ilustrasi skematik pembebanan impak pada benda uji Charpy dan Izod
Metode Izod: Pengujian tumbuk dengan meletakkan posisi spesimen uji pada tumpuan dengan posisi , dan arah pembebanan serah dengan arah takikan.
Gbr 2. Ilustrasi skematis pengujian impak.
3. Perpatahan Impak
Secara umum sebagaimana analisis perpatahan pada benda hasil uji tarik maka perpatahan impak digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:
1. Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang melibatkan mekanisme pergeseran bidangbidang kristal di dalam bahan (logam) yang ulet (ductile). Ditandai dengan permukaan patahan berserat yang berbentuk dimpel yang menyerap cahaya dan berpenampilan buram.
2. Perpatahan granular/kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan (cleavage) pada butir-butir dari bahan (logam) yang rapuh (brittle). Ditandai dengan permukaan patahan yang datar yang mampu memberikan daya pantul cahaya yang tinggi (mengkilat).
3. Perpatahan campuran (berserat dan granular). Merupakan kombinasi dua jenis perpatahan di atas.
Gbr 3. Ilustrasi permukaan patahan (fractografi) benda uji impak Charpy
Informasi lain yang dapat dihasilkan dari pengujian impak adalah temperatur transisi bahan. Temperatur transisi adalah temperatur yang menunjukkan transisi perubahan jenis perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperatur yang berbeda-beda. Pada pengujian dengan temperatur yang berbeda-beda maka akan terlihat bahwa pada temperatur tinggi material akan bersifat ulet (ductile) sedangkan pada temperatur rendah material akan bersifat rapuh atau getas (brittle). Fenomena ini berkaitan dengan vibrasi atom-atom bahan pada temperatur yang berbeda dimana pada temperatur kamar vibrasi itu berada dalam kondisi kesetimbangan dan selanjutnya akan menjadi tinggi bila temperatur dinaikkan (ingatlahbahwa energi panas merupakan suatu driving force terhadap pergerakan partikel atom bahan). Vibrasi atom inilah yang berperan sebagai suatu penghalang (obstacle) terhadap pergerakandislokasi pada saat terjadi deformasi kejut/impak dari luar. Dengan semakin tinggi vibrasi itumaka pergerakan dislokasi mejadi relatif sulit sehingga dibutuhkan energi yang lebih besaruntuk mematahkan benda uji. Sebaliknya pada temperatur di bawah nol derajat Celcius, vibrasi atom relatif sedikit sehingga pada saat bahan dideformasi pergerakan dislokasi menjadi lebih mudah dan benda uji menjadi lebih mudah dipatahkan dengan energi yang relatif lebih rendah.
Gbr 4. Efek temperatur terhadap ketangguhan impak beberapa material.
Secara umum perpatahan dapat digolongkan menjadi 2 golongan umum yaitu :
Patah Ulet/ liat
Patah yang ditandai oleh deformasi plastis yang cukup besar, sebelum dan selama proses penjalaran retak.
Patah Getas
Patah yang ditandai oleh adanya kecepatan penjalaran retak yang tinggi, tanpa terjadi deformasi kasar, dan sedikit sekali terjadi deformasi mikro.
Terdapat 3 faktor dasar yang mendukung terjadinya patah dari benda ulet menjadi patah getas :
1. Keadaan tegangan 3 sumbu/ takikan.2. Suhu yang rendah.3. Laju regangan yang tinggi/ laju pembebanan yang cepat.
Jenis-jenis takikan/ notch yang terdapat pada pengujian impak
Uji Impak
08.04 Mukhamad Aziz 1 comment
Uji impak adalah pengujian dengan menggunakan pembebanan yang cepat (rapid loading). Klo ceritanya titanic itu, si kapal kan berada pada suhu rendah, sehingga menyebabkan materialnya menjadi getas dan mudah patah. Kemudian di laut itu kan banyak beban (tekanan) dari arah manapun. Ditambah lagi nabrak gunung es, langsung deh tegangan yang udah terkonsentrasi karena pembebanan sebelumnya menyebabkan kapalnya terbelah dua..
Pada uji impak terjadi proses penyerapan energi yang besar ketika beban menumbuk spesimen. Energi yang diserap material ini dapat dihitung dengan menggunakan prinsip perbedaan energi potensial. Tapi klo di mesin ujinya udah nunjukin energi yang dapat diserap material, ya udah.. ga perlu ngitung manual.Proses penyerapan energi ini akan diubah menjadi berbagai respon material, yaitu
Deformasi plastis Efek Hysteresis Efek Inersia
Standar ASTM Uji Impak
Ada dua macam pengujian impak, yaitu
1. Charpy2. Izod
Perbedaan charpy dengan izod adalah peletakan spesimen. Pengujian dengan menggunkan charpy lebih akurat karena pada izod, pemegang spesimen juga turut menyerap energi, sehingga energi yang terukur bukanlah energi yang
mampu di serap material seutuhnya.Faktor yang mempengaruhi kegagalan material pada pengujian impak adalah
Notch
Notch pada material akan menyebabkan terjadinya konsentrasi tegangan pada daerah yang lancip sehingga material lebih mudah patah. Selain itu notch juga akan menimbulkan triaxial stress. Triaxial stress ini sangat berbahaya karena tidak akan terjadi deformasi plastis dna menyebabkan material menjadi getas. Sehingga tidak ada tanda-tanda bahwa material akan mengalami kegagalan.
Temperatur
Pada temperatur tinggi material akan getas karena pengaruh vibrasi elektronnya yang semakin rendah, begitupun sebaliknya.
Strainrate
Jika pembebanan diberikan pada strain rate yang biasa-biasa saja, maka material akan sempat mengalami deformasi plastis, karena pergerakan atomnya (dislokasi). Dislokasi akan bergerak menuju ke batas butir lalu kemudian patah. Namun pada uji impak, strain rate yang diberikan sangat tinggi sehingga dislokasi tidak sempat bergerak, apalagi terjadi deformasi plastis, sehingga material akan mengalami patah transgranular, patahnya ditengah-tengah atom, bulan di batas butir. Karena dislokasi ga sempat gerak ke batas butir.Kemudian, dari hasil percobaan akan didapatkan energi dan temperatur. Dari data tersebut, kita akan buat diagram harga impak terhadap temperatur. Energi akan berbanding lurus dengan harga impak. Kemudian kita akan mendapakan temperatur transisi. Temperatur transisi adalah range temperature dimana sifat material dapat berubah dari getas ke ulet jika material dipanaskan.
Temperatur transisi ini bergantung pada berbagai hal, salah satunya aspek metalurgi material, yaitu kadar karbon. Material dengan kadar karbon yang tinggi akan semakin getas, dan harga impaknya kecil, sehingga temperatur transisinya lebih besar. Temperatur transisi akan mempengaruhi ketahanan material terhadap perubahan suhu. Jika
temperatur transisinya kecil maka material tersebut tidak tahan terhadap perubahan suhu.Pada percobaan ini, ada 10 sampel, 5 baja dan 5 aluminium. 2 baja dipanaskan dan 2 lagi didinginkan. begitu pula dengan aluminium.Dipanaskan. Baja dan aluminium ini dipanaskan dengan menggunakan kompor listrik sampai pada temperatur 200an derajat celcius. Kemudian sampel ini di beri beban impak dan… hasilnya keempat sampel ini tidak patah seluruhnya, hanya sebagian. Terjadi pembengkokan pada sampel. Mengapa sampel tidak patah? Hal ini ada pengaruhnya dengan suhu. Suhu yang semakin tinggi menyebabkan vibrasi elektron semakin tinggi sehingga pergerakan elektron menjadi semakin bebas. Dan energi untuk melakukan deformasi elastis semakin rendah. Hal inilah yang menyebabkan spesimen tidak patah, melainkan hanya mengalami deformasi plastis.Pada temperatur kamar. Spesimen nya gas diberi perlakuan apapun. Langsung diberi beban impak dan spesimen nya patah ulet. Temperatur spesimen lebih rendah dari yang semula, sehingga vibrasi elektronnya lebih rendah dan menyebabkan material menjadi agak lebih getas jika dibandingkan dengan spesimen awal. Namun spesimen ini belum getas karena elektronnya masih dapat bergerak hingga deformasi plastis.Didinginkan. Pada pengujian ini, spesimen didinginkan dengan menggunakan nitrogen cair, hingga mencapai suhu minus puluhan derajat. Kemudian spesimen diberi beban impak dan terjadi patah getas. Hal ini terjadi karena vibrasi elektron yang melemah sehingga energi yang dibutuhkan untuk elektron bergeran dan berdeformasi plastis lebih tinggi, sehingga terjadilah patah getas pada material.
Analisis.Pada baja dan aluminium terdapat perbedaan harga impak. Harga impak baja lebih tinggi daripada
aluminium menunjukkan bahwa ketangguhan baja lebih tinggi jika dibandingkan dengan aluminium. Ketangguhan adalah kemampuan material untuk menyerap energy dan berdeformasi plastis hingga patah.
Selain suhu, hal lain yang mempengaruhi harga impak suatu material adalah kadar karbonnya. Material yang memiliki kadar karbon yang tinggi akan lebih getas. Hal ini akan mempengaruhi harga impaknya dan temperature transisi. Material yang memiliki kadar karbon tinggi akan memiliki temperature transisi yang lebih panjang jika dibandingkan dengan material yang memiliki kadar karbon rendah. Temperatur transisi yang berbeda-beda ini akan mempengaruhi ketahanan material terhadap perubahan suhu. Material yang memiliki temperature transisi rendah maka material tersebut tidak akan tehan terhadap perubahan suhu.
Pada pembebanan impak ini, terjadi proses penyerapan energy yang besar. Penyerapan energy ini akan diubah menjadi berbagai respon material seperti deformasi plastis, efek hysteresis, dan inersia.
Sebuah system dengan hysteresis menunjukkan ‘rate-independent memory’, yaitu kemampuan suatu material untuk “mengingat” bentuk atau sifat sebelum material tersebut berubah karena pengaruh gaya dari luar material. Banyak system fisik yang menunjukkan hysteresis yang alami. Misalnya sebuah besi yang diletakkan pada medan magnet akan memiliki sifat magnet, bahkan setelah medan magnetnya dipindahkan. Ketika sekali di magnetisasi, besi tersebut akan tetap memiliki sifat magnet. Untuk menghilangkan sifat magnetnya, dapat dilakukan dengan menempatkannya pada medan magnet yang arahnya berlawanan. Efek hysteresis ini biasanya terjadi jika material diberikan beban yang sangat cepat dan beban tersebut pun dihilangkan dengan cepat.
Efek inersia adalah kemampuan suatu material untuk mempertahankan bentuknya ketika diberikan gaya. Ketika diberikan pembebanan dengan strain rate yang tinggi material tersebut tidak sempat untuk mempertahankan bentuknya dan akhirnya patah .
KULIAH PENGETAHUAN BAHAN
PENDAHULUAN
MATERIAL : Adalah segala sesuatu yang kita gunakan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Contoh : Untuk Pembuatan Produk.
Pembagian Material :
METAL
Contoh : Baja, Al, Kuningan, Cu, dll.
MATERIAL POLIMER
Contoh : Plastik
KERAMIK
Adalah senyawa-senyawa anorganik yang diperoleh dengan perlakuan panas.
Keramik material-material yang tahan pada temperatur tinggi
Contoh : Tembikar
Keterangan : Polimer dan Keramik disebut pula bahan-bahan Non Metal.
Campuran antara metal, polimer dan keramik disebut dengan KOMPOSIT (Material Susun).
Komposit disebut juga dengan Materal Maju, karena dapat disesuaikan dengan keinginan.
Mengetahui sifat mampu keras (hardenability) material Mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap sifat mampu keras material Mengetahui prosedur percobaan Jominy dan menganalisis sifat mampu keras material Memahami penggunaan dan cara pembuatan diagram CCT (Continuous Cooling Transformation)
Teori DasarHardenability adalah ukuran kemampuan suatu material untuk membentuk fasa martensite. Hardenability dapat diukur dengan beberapa metode. Diantaranya metode jominy dan metode grossman. Dari metode tersebut kita akan mendapatkan kurva antara harga kekerasan dengan jarak quenching dari pusat quench.
Asumsi :
Ø Laju pendinginan sangat lambat
Ø Laju Pemanasan lambat
Ø Terjadi mekanisme difusi (perpindahan atom secara individual dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah)
Pembentukan martensit terjadi karena baja yang telah dipanaskan sampai suhu austenitnya didinginkan secara cepat/ diquench, sehingga atom karbon tidak sempat berdifusi dan hanya sempat bergeser mengisi rongga-rongga tetrahedral dan oktahedral pada struktur FCC austenit. Karena terisinya rongga-rongga tersebut sehingga mengakibatkan tidak teraturnya bentuk struktur FCC (laticce site lebih panjang) sehingga terjadi distorsi latis menjadi BCT. Efek ini disebut dengan “Efek Tetragonalitas”.
Proses Heat Treatment :
Full annealing adalah proses menaikan temperatur secara perlahan sekitar 50 ºC (90 ºF) diatas Austenitic temperature line A3 atau ACM pada baja Hypoeutectoid (steels with < 0.77% Carbon) dan 50 ºC (90 ºF) pada baja Hypereutectoid (steels with > 0.77% Carbon).
Spesimen ditahan sampai semua fasa berubah menjadi austenite. Kemudian secara perlahan didinginkan degan laju pendinginan sekitar 20 ºC/hr (36 ºF/hr).
Butir hasil full annealing akan memiliki struktur coarse pearlite yang mengandung ferrite atau cementite tergantung baja hypo atau baja hyper.baja hasil full annealing bersifat lunak dan ulet
Normalizing adalah proses pemanasan melebihi temperatur 60 º C (108 ºF),diatas garis A3 atau ACM sampai daerah Austenite. Agar pada temperatur ini seluruh fasa berubah menjadi austenite. Kemudian dikeluarkan dari tungku dan didiamkan pada temperatur kamar. Struktur butir yang didapat adalah fine pearlite dengan kelebihan ferrite atau cementite. Material hasil normalizing lunak. Proses normalizing lebih murah daripada full annealing karena tidak ada biaya untuk pengaturan pendinginan tungku.
Spheroidization adalah proses annealing dengan kadar karbon yang tinggi (Carbon > 0.6%) yang kemudian akan di cold working atau di machining. Panaskan spesimen sampai temperatur dibawah garis A1 atau 727 ºC (1340 ºF) tahan temperatur dalam waktu yang lama lau dinginkan perlahan. Metode ini akan menghasilkan struktur dimana semua cementite berada dalam bentuk bulatan kecil (spheroids) yang terdispersi dalammatriks ferrite. Spheroidization meningkatkan ketahanan terhadap abrasi.
ANALISIS DATA
Pada percobaan ini, benda kerja dipanaskan dulu pada temperatur austenisasinya untuk mendapatkan austenit yang homogen, diatas 727oC, yaitu pada 875oC selama 30 menit, agar panas merata ke seluruh bagian spesimen. Benda kerja dipanaskan sampai fasanya menjadi austenit (g). Kemudian diquenching, didinginkan dengan cepat, melalui metode water jet pada bagian bawah spesimen. Pendinginan cepat ini bertujuan untuk membentuk martensit yang bersifat keras. Dari data hasil praktikum terlihat distribusi kekerasan yang tidak merata. Semakin jauh dari pusat quench, kekerasan semakin rendah. Hal ini
disebabkan oleh laju pendinginan yang tidak merata. Daerah yang dekat dengan pusat quench akan memiliki kekerasan yang tinggi karena laju pendinginan yang cepat sehingga banyak martensit yang terbentuk. Namun semakin jauh dari pusat quench laju pendinginan melambat, sehingga martensit yang terbentuk tidak sebanyak sebelumnya sehingga harga kekerasan menurun. Pada percobaan ini martensit yang terbentuk tidak sempurna pada keseluruhan bagian spesimen.
Berbeda dengan metode quench celup, harga kekerasan akan merata, namun akan terjadi vapour blanket di sekitar spesimen karena medium quench atau spesimennya statis. Vapour blanket adalah uap air di sekitar spesimen yang terbentuk karena air menguap, fenomena ini dapat dihilangkan dengan mengaduk medium quench atau menggoyangkan spesimen.
Martensit terbentuk dari fasa austenit. Pada awalnya baja memiliki fasa ferrite (BCC) kemudian dipanaskan hingga fasanya menjadi austenite (FCC), jika didinginkan secara lambat akan menghasilkan pearlite (BCC), namun dalam percobaan ini baja didinginkan dengan cepat sehingga terbentuk martensite (BCT). Pada pembentukan martensite, yang terjadi bukanlah difusi, melainkan mekanisme geser. Pada FCC, atom-atom C menempati rongga oktahedral. Jika pendinginan dilakukan dengan lambat maka atom C tetap pada posisi oktahedral, namun ketika didinginkan dengan cepat atom C menempati rongga tetragonal dengan mekanisme geser, dan strukturnya menjadi BCT (Body Centered Tetragonal).
Pengaruh laju pendinginan terhadap pembentukan martensit dapat dilihat pada diagram CCT. Spesimen pada percobaan ini adalah AISI 4142, baja dengan 0.4-0.45% C, 0.75-1.00% Mn 0.8-1.10% Cr, sehingga diagram CCT yang digunakan adalah diagram CCT hypoeutectoid.
AISI 4142 memiliki kadar karbon medium, implikasi pada diagram CCT nya adalah, hidungnya tidak terlalu dekat dengan sumbu vertikal dan garis martensite start yang tidak terlalu rendah, memungkinkan terjadinya martensite 100% walaupun pendinginan tidak terlalu cepat.
Hardenability band yang didapatkan dari literatur ditunjukkan pada gambar disamping. Jika dibandingkan dengan data yang didapat pada hasil praktikum, pada jarak quenching awal kurva hardenability terletak dibawah hardenability band, dibawah batas minimum hardenability band. Artinya spesimen ini memiliki sifat hardenability yang kurang baik. Seharusnya secara teoritis, baja karbon medium memiliki hardenability yang baik, dan kurva hardenability nya berada pada hardenability band.
Kurva hardenability yang didapatkan lebih landai dibanding hardenability band nya. Hal ini menunjukkan sifat hardenability spesimen yang kurang baik.
Penyimpangan ini terjadi mungkin karena kadar karbon yang tidak sesuai standar sehingga menimbulkan perbedaan harga kekerasan dengan yang seharusnya. Namun, hanya sebagian kurva yang berada dibawah hardenability band, sehingga kemungkinan faktor penyebabnya bukan kadar karbon. Jika penyebabnya adalah kadar karbon, maka keseluruhan kurva hardenability akan berada dibawah hardenability band.
Kemungkinan yang lain adalah ketidakhomogenan panas pada spesimen ketika di dalam tungku, menyebabkan proses hardening tidak maksimal. Hal lain yang dapat mempengaruhi adalah ketika akan melakukan proses quenching, spesimen terlalu lama berada di temperatur ruangan sehingga sempat mengalami pendinginan lambat. Pendinginan lambat ini dapat menyebabkan harga kekerasan menurun.
Jika dilihat hasil struktur mikro spesimen, pada titik 1 terlihat sangat banyak martensit yang terbentuk. Fasa martensit adalah yang berwarna hitam. Pada titik 10 keberadaan martensit mulai berkurang. Semakin jauh dari titik pusat quenching keberadaan martensite semakin berkurang. Hal ini menunjukkan nilai kekerasan spesimen yang semakin berkurang.