-
77
Pengendalian Penyakit Tungro Melalui Eliminasi PeranVektor
Wereng Hijau (Dini Yuliati & I Nyoman Widiarta)
PENGENDALIAN PENYAKIT TUNGRO MELALUI ELIMINASI PERANVEKTOR
WERENG HIJAU DENGAN PENGENDALIAN RAMAH LINGKUNGAN
TUNGRO DISEASE CONTROL THROUGH THE ELIMINATION VECTORROLE OF
GREEN LEAF HOPPER WITH ENVIRONMENT FRIENDLY CONTROL
Dini YulianiBalai Besar Penelitian Tanaman Padi
[email protected]
I Nyoman WidiartaPusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan
ABSTRACT
Green leafhopper (GLH)plays an important role in tungro disease
epidemics. Reduce the activityof GLHsuckasvectorsof tungro virus
was effective to limit transmission of the virus. Integratedcontrol
of tungro disease may involve multiple components at once including
using sambilatawith entomopathogenicfungus Metarhiziumanisopliae.
This research was conducted to determinethe effect of sambilata and
M.anisopliaein controlling the GLH as tungro virus vectors.
Theexperiment was conducted in tungro endemic areas in
Tanjungsiang,Subang District at dryseason 2013 and wet season
2013/2014. Experiments using split plot design with
fourreplications. The main plot was consists of GLH resistant
varieties(IR66), tungro resistantvarieties (Inpari 9), and check
varieties(Ciherang). The subplots were M.anisopliaeapplications,
sambilata, and control. Application was done on rice plant age 14,
28 and 42days after planting (DAP).The results showed that the
intensity of tungro on Ciherang showedthe highest intensity
compared toIR66 and Inpari9. Effect of entomopathogenic
fungusM.anisopliae application to tungro disease showed a lower
intensity compared with sambilataextracts and control. The
intensity of tungro disease in farmers’ fields as a comparison
ofexperiment was high enough on average between 1 until 69%. In
general, the density of GLHpopulation began to increase on the
observation of 14 to 28 DAP. GLH population density washighest at
28 DAP. However, the population density of GLH decreased at 42
until 56 DAP.
Keywords: Metarhizium anisopliae, Sambilata, Tungro, Green
Leafhopper
Diterima 2 Februari 2017, disetujui 18 Desember 2017
Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya
WacanaJl. Diponegoro 52-60 SALATIGA 50711 - Telp. 0298-321212 ext
354
email: [email protected], website:
ejournal.uksw.edu/agric
CORE Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
Provided by MUCC (Crossref)
https://core.ac.uk/display/192916289?utm_source=pdf&utm_medium=banner&utm_campaign=pdf-decoration-v1
-
AGRIC Vol. 29, No. 2, Desember 2017: 77- 88
78
ABSTRAKWereng hijau memegang peranan penting dalam epidemic
penyakit tungro. Mengurangi aktifitasmengisap wereng hijau sebagai
vektor virus tungroefektif membatasi penularan virus.Pengendalian
penyakit tungro secara terpadu dapat melibatkan beberapa komponen
sekaligusdiantaranya penggunaan sambilata dan jamur entomopatogen
Metarhiziumanisopliae. Penelitianini untuk mengetahui pengaruh
sambilata dan M.anisopliae dalam mengendalikan wereng hijausebagai
vektor virus tungro. Penelitian dilaksanakan di daerah endemis
tungro di KecamatanTanjungsiang, Subang pada musim kemarau 2013 dan
musim hujan 2013/2014. Percobaanmenggunakan rancangan petak
terpisah (Splitplot).Petak utama terdiri atas varietas tahan
werenghijau (IR66), varietas tahan tungro (Inpari 9), dan varietas
cek (Ciherang). Anak petak adalahaplikasi M.anisopliae, aplikasi
sambilata, dan kontrol. Aplikasi di pertanaman dilakukan pada
14,28, dan 42 hari setelah tanam (HST). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa varietas Ciherangmenunjukkan intensitas tungro
paling tinggi dibandingkan IR66 dan Inpari 9. Pengaruh
aplikasijamur entomopatogen M. anisopliae menunjukkan intensitas
penyakit tungro lebih rendahdibandingkan dengan ekstrak sambilata
dan kontrol. Intensitas penyakit tungro di lahan petanisebagai
pembanding percobaan cukup tinggi rata-rata antara 1% sampai 69%.
Secara umumkepadatan populasi wereng hijau mulai meningkat pada
pengamatan 14 sampai 28 hari setelahtanam (HST). Kepadatan populasi
wereng hijau tertinggi terjadi pada 28 HST. Namun kepadatanpopulasi
menurun pada 42 sampai 56 HST.
Kata Kunci: Metarhizium anisopliae, Sambilata, Tungro, Wereng
Hijau
PENDAHULUAN
Tungro merupakan salah satu penyakit utamapada tanaman padi di
Indonesia. Epidemitungro sering terjadi hingga tahun
2000-anterutama di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,Bali, Nusa
Tenggara Barat, Jawa Barat, JawaTengah, Jawa Timur, Banten, Lampung
danSumatera Utara yang merupakan sentraproduksi padi (Raga, 2007).
Tanaman padiyang terserang penyakit tungro memperlihatkangejala
yang khas, yakni perubahan warna daunmuda menjadi kuning sampai
jingga yang diikutioleh melintirnya daun dan tanaman menjadikerdil
karena jarak antar buku (internode)memendek. Jumlah anakan
berkurang dangabah akan berubah bentuk sehingga tanamanpadi tidak
akan memberikan hasil sesuai denganpotensinya (Ling, 1979).
Tungro disebabkan oleh infeksi ganda dari duajenis virus yang
berbeda yaitu rice tungrobacilliform virus (RTBV) dan rice
tungro
spherical virus (RTSV) (Van Regenmortel,2000). Penyakit ini
ditularkan oleh spesieswereng hijau dengan efisiensi
beragam.Nephotettix virescens merupakan vektorterpenting diantara
keempat vektor lainnyakarena paling efisiensi dalam menularkan
virustungro (Hibino and Cabunagan, 1986).Penularan virus tungro
dilakukan secarabersamaan oleh wereng hijau tanpa multiplikasivirus
dalam tubuh vektornya (Hibino, 1996).Penyebaran tungro dapat meluas
secara cepatterutama apabila faktor pendukung perkem-bangannya
tersedia seperti kepadatan werenghijau dan adanya sumber inokulum.
Penanamanvarietas padi yang rentan, dan pertanaman yangtidak
serempak serta faktor lingkunganterutama musim hujan dan kelembaban
yangtinggi, sangat menguntungkan bagi perkembang-an wereng
hijau.
Wereng hijau memegang peranan penting dalamepidemi penyakit
tungro. Tingkat infeksi awalpenyakit tungro ditentukan oleh
populasi vektor
-
79
Pengendalian Penyakit Tungro Melalui Eliminasi PeranVektor
Wereng Hijau (Dini Yuliati & I Nyoman Widiarta)
infektif yang migrasi ke pertanaman, sedangkanperkembangan
serangan selanjutnya ditentukanoleh persentase infeksi awal dan
kepadatangenerasi pertama (Raga et al. 2004). Tinggirendahnya
intensitas penyakit tungro berkorelasipositif dengan fluktuasi
populasi wereng hijauapabila tersedia sumber inokulum (Suzuki etal.
1992). Mengurangi aktifitas mengisapwereng hijau sebagai vektor
virus dilaporkansangat efektif untuk membatasi penularan
virus.Ekstrak sambilata (Andrographis paniculata)memiliki kemampuan
mengurangi aktifitasmengisap wereng hijau (Widiarta et al.
1997).Hasil pengujian di rumah kaca diketahui bahwaaplikasi
sambilata dapat menekan pemerolehanmaupun penularan virus tungro
oleh werenghijau (Widiarta et al. 1998). Dengan demikiansambilata
memiliki prospek sebagai salah satukomponen teknologi untuk dirakit
dalampendekatan pengendalian penyakit tungroterpadu.
Pengendalian penyakit tungro secara terpadudapat melibatkan
beberapa komponen sekali-gus diantaranya penggunaan sambilata
dengancendawan entomopatogen Metarhiziumaniso-pliae. Cendawan
entomopatogen menekanpopulasi wereng hijau dengan aksi ganda
secaralangsung dapat mematikan dan secara tidaklangsung mengurangi
keperidian. MenurutWidiarta dan Kusdiaman (2007), aplikasiBeauveria
bassiana dan M. anisopliaemenyebabkan mortalitas imago wereng
hijaunyata pada 3-14 hari setelah aplikasi. Dilapangan M.
anisopliae banyak menginfeksiwereng hijau selain wereng coklat
(Tsai et al.1993). Serangga yang terinfeksi oleh M.anisopliae
berwarna kehijauan dan mati yangdisebabkan oleh toksin yang
dikeluarkan olehcendawan tersebut (Roberts, 1966). Penelitianini
untuk mengetahui efikasi lapang sambilata
sebagai antifi dan nabati terhadap wereng hijau.Sambilata akan
dibandingkan dengan M.anisopliae untuk mengetahui pengaruhnyadalam
mengendalikan wereng hijau.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di daerah endemispenyakit tungro di
Kecamatan Tanjungsiang,Kabupaten Subang, Provinsi Jawa
Barat.Penelitian dilaksanakan pada musim kemarau(MK) 2013 dan musim
hujan (MH) 2013/2014. Penelitian menggunakan rancangan
petakterpisah. Petak utama terdiri atas: 1). Varietastahan wereng
hijau (IR66), 2). Varietas tahantungro (Inpari 9), dan 3). Varietas
cek(Ciherang). Anak petak adalah: 1).
AplikasiMetarhiziumanisopliae, 2). Aplikasi Sambi-lata, 3).
Kontrol. Aplikasi di pertanaman dilaku-kan pada umur tanaman padi
14, 28 dan 42 harisetelah tanam (HST). Luas anak petak 20 m2,dengan
setiap anak petak diulang 4 kali sehinggadiperlukan lahan sawah
minimal 720 m2. Bibitpadi ditanam pindah pada saat umur 19-21
harisetelah sebar. Bibit ditanam secara tegel denganjarak tanam 25
cm x 25 cm untuk semua petak.Pupuk yang diaplikasikan adalah urea
300kgha-1, TSP 100 kgha-1 dan KCl 50 kgha-1.Pemupukan urea
diberikan dalam 3 kali aplikasiyaitu 100 kg urea ha-1sebagai pupuk
dasar, yangdiberikan bersama denganTSP 100 kg ha-1 danKCl 50 kg
ha-1 pada saat tanam, selanjutnyaurea masing-masing 100 kg ha-1
pada saattanaman mencapai fase anakan maksimum danprimordia.
Proses pembuatan ekstrak kasar sambilataadalah memisahkan bagian
daun tanaman daribatangnya. Daun sambilata dikering anginkandengan
suhu ruang beberapa hari hingga keringseperti kerupuk. Daun
sambilata yang telahkering diblender sampai halus. Serbuk
sambilata
-
AGRIC Vol. 29, No. 2, Desember 2017: 77- 88
80
±40 mg dilarutkan dalam air dan ditambahkandeterjen konsentrasi
1% kemudian dijadikan 1liter larutan dan diaduk rata. Ekstrak
sambilatadirendam selama ±2 jam, kemudian disaringmenggunakan kain
kasa dan diambil cairanperasannya. Volume semprot untuk aplikasi
1ha dengan knapsack sprayer adalah 500 liter.Setiap kali aplikasi
dibutuhkan larutan sambilatasebanyak 12 liter.
M. anisopliae diisolasi dari wereng hijau,dimurnikan pada media
potato dextrose agar(PDA) dalam cawan petri. Cendawan yangtelah
murni diperbanyak pada PDA miringdalam tabung reaksi. Cendawan yang
telahmurni beserta media biakan diambil sebanyak10 gr, dimasukkan
ke dalam aquades sebanyak100 ml sambil diaduk rata, kemudian
disaringdengan kain kasa. Jumlah konidia dihitungmenggunakan
Haemocytometer dibawahmikroskop. M. anisopliae diaplikasikan
padakonsentrasi 1,4 x 107konidia per ml. Tiapaplikasi dibutuhkan
larutan M. anisopliaesebanyak 12 liter. Konidia M. anisopliae
yangtelah dilarutkan dalam air steril ditambahkanTween 5% dari
larutan untuk mencegahpenggumpalan inokulum. Larutan M.anisopliae
siap diaplikasikan ke tanaman padi.
Variabel yang diamati: 1). Kepadatan populasiwereng hijau, 2).
Insiden penyakit tungro, dan3). Pengamatan di lahan petani sekitar
petakpercobaan. Pengamatan keberadaan tungrodilakukan sebanyak 6
kali mulai persemaian (2MSS), 14, 28, 42, 56 HST, dan pada
saatpanen. Pengamatan keberadaan tungro dipesemaian dilakukan
dengan mengambil secaraacak 20 daun bibit padi dipotong
kemudiandicelupkan ke larutan yodium. Pengamatanintensitas tungro
pada pertanaman padi denganmenghitung tanaman yang menunjukkan
gejala
tungro pada tiap petak percobaan. Jumlahtanaman yang terinfeksi
tungro dibandingkandengan jumlah rumpun pada masing-masingpetak.
Pengamatan populasi wereng hijaudengan menggunakan jaring serangga
yaitu 10kali ayunan ganda pada tiap petak pengamatan.Pengamatan
intensitas tungro dan populasiwereng hijau dilakukan sebanyak 5
kali mulaipersemaian (2 MSS), 14, 28, 42, 56 HST. Hasilsweeping
kemudian dibawa ke laboratoriumhama BB Padi untuk dihitung dan
diidentifikasiserangga yang diperoleh. Persentase kebera-daan
tungro dan kepadatan populasi werenghijau diuji sidik ragam
denganANOVA.Perbedaan antar perlakuan dilanjutkan denganUji DMRT
pada taraf 5% (Gomez and Gomez,1984).
HASIL
Intensitas Penyakit Tungro
Pada fase persemaian dan umur tanaman padi14 hari setelah tanam
(HST) tidak ditemukangejala penyakit tungro baik pada MK 2013(Tabel
1) maupun pada MH 2013/2014 (Tabel2). Intensitas tungro mulai
ditemukan pada 28HST. Intensitas tungro umumnya mulaimeningkat
sejalan dengan bertambahnya umurtanaman padi meskipun dengan
intensitas yangrendah. Varietas IR66 dan Inpari 9 secarastatistik
berbeda nyata dengan Ciherang.Varietas Inpari 9 menunjukkan
intensitas tungropaling rendah dibandingkan IR66 dan Ciherang(Tabel
1 dan Tabel 2).
Pengaruh aplikasi M. anisopliae pada MK2013 menunjukkan
intensitas tungro lebihrendah dibandingkan dengan sambilata
dankontrol (Tabel 1). Intensitas tungro pada MH2013/2014 cenderung
lebih tinggi dibandingkanMK 2013. Intensitas tungro terlihat
berfluktuatif
-
81
Pengendalian Penyakit Tungro Melalui Eliminasi PeranVektor
Wereng Hijau (Dini Yuliati & I Nyoman Widiarta)
Tabel 1 Intensitas penyakit tungro di lahan percobaan.
Tanjungsiang. MK 2013Perlakuan Persemaian 14 HST 28 HST 42 HST 56
HST PanenVarietas:IR66 0,00 a 0,00 a 0,08 b 0,33 b 0,58 b 0,83
bInpari 9 0,00 a 0,00 a 0,00 b 0,17 b 0,33 b 0,58 bCiherang 0,00 a
0,00 a 6,08 a 7,17 a 7,92 a 8,83 aAplikasi:M. anisopliae - 0,00 a
1,58 a 1,92 a 2,42 a 2,83 aSambilata - 0,00 a 1,75 a 2,83 a 3,17 a
3,50 aKontrol - 0,00 a 2,83 a 2,92 a 3,25 a 3,92 a
Angka yang selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 Duncan
Intensitas tungro di lahan petani meningkatdengan bertambahnya
umur tanaman padi.Apabila intensitas penyakit tungro pada
fasevegetatif awal sangat tinggi 80 hingga 100%,petani mencabut
kembali tanaman padinya.Kemudian petani menanam ulang
lahannyadengan varietas lain yang dianggap lebih tahanterhadap
tungro diantaranya Inpari 9 dan IR66.
Perlakuan Persemaian 14 HST 28 HST 42 HST 56 HST
PanenVarietas:IR66 0,00 a 0,00 a 1,00 b 1,25 b 1,17 b 2,17 bInpari
9 0,00 a 0,00 a 0,92 b 1,33 b 1,17 b 2,17 bCiherang 0,00 a 0,00 a
7,50 a 8,50 a 8,25 a 9,00 aAplikasi:M. anisopliae - 0,00 a 3,25 a
4,00 a 3,67 a 4,58 aSambilata - 0,00 a 2,92 a 3,42 a 3,83 a 4,75
aKontrol - 0,00 a 3,25 a 3,67 a 3,08 a 4,00 a
Angka yang selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 Duncan
Tabel 2 Intensitas penyakit tungro di lahan percobaan.
Tanjungsiang. MH 2013/2014
antara aplikasi M. anisopliae dengan sambilata(Tabel 2).
Aplikasi sambilata menunjukkanintensitas tungro lebih tinggi
dibandingkan M.anisopliae, namun lebih rendah dibandingdengan
kontrol.
Intensitas tungro di lahan petani sebagaipembanding percobaan
cukup tinggi 0 hingga60% pada MK 2013 (Gambar 1). Gejalatungro
belum ditemukan di persemaian, namunmulai terlihat pada 14 HST
dengan intensitastungro 12 hingga 23%. Intensitas tungro padaMH
2013/2014 memiliki kecenderungan yangsama dengan MK 2013 yaitu
cukup tinggi 1hingga 69%. Gejala tungro mulai ditemukan
dipersemaian dengan intensitas1 hingga 5%.Intensitas tungro mulai
meningkat pada 14 HSTdengan 13 hingga 24%.
Angka yang selajur yang diikuti oleh huruf yangsama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05Duncan
Dinamika Populasi Wereng Hijau
Kepadatan populasi wereng hijau pada MK2013 dan MH 2013/2014 di
persemaian palingbanyak ditemukan pada varietas Ciherang.Populasi
wereng hijau ditemukan sangat rendahpada Inpari 9 diikuti oleh IR66
(Gambar 2).Ciherang merupakan varietas yang disukai olehwereng
hijau karena telah lama diadopsi olehpetani sehingga wereng hijau
telah beradaptasipada varietas tersebut.
-
AGRIC Vol. 29, No. 2, Desember 2017: 77- 88
82
Gambar 1 Intensitas tungro di lahan petani. Tanjungsiang. MK
2013 (kiri) dan MH 2013/2014 (kanan)
kepadatan populasi wereng hijau meskipunrelatif lebih tinggi
dibanding dengan M.anisopliae. Pada petak kontrol
ditemukankepadatan populasi wereng hijau lebih tinggidibandingkan
petak perlakuan. Hasil efikasilapang menunjukkan dampak aplikasi
M.anisopliae mempunyai tenggang waktu danbaru terlihat pada
generasi berikutnya.
Perlakuan varietas pada MH 2013/2014 tidakberpengaruh nyata
terhadap populasi werenghijau (Tabel 4). Kepadatan populasi
werenghijau ditemukan paling rendah pada varietasInpari 9 diikuti
oleh varietas IR 66, sedangkanpada varietas Ciherang dijumpai
kepadatanwereng hijau paling tinggi. Perlakuan aplikasipada MH
2013/2014 tidak berpengaruh nyataterhadap populasi wereng hijau
(Tabel 4).Kepadatan wereng hijau paling rendahdiperoleh pada petak
yang diaplikasi dengan
Gambar 2 Kepadatan populasi wereng hijau di persemaian pada
petak percobaan.Tanjungsiang. MK 2013 (kiri) dan MH 2013/2014
(kanan).
Secara umum kepadatan populasi wereng hijaupada MK 2013 dan MH
2013/2014 mulaimeningkat pada pengamatan 14 sampai 28HST. Populasi
wereng hijau tertinggi terjadipada 28 HST, namun populasi menurun
pada42 sampai 56 HST (Tabel 3 dan 4). Perlakuanvarietas berpengaruh
nyata terhadap populasiwereng hijau selama pengamatan.
Kepadatanpopulasi wereng hijau ditemukan paling rendahpada Inpari 9
diikuti oleh IR66, sedangkanpopulasi wereng hijau dijumpai paling
tinggipada varietas Ciherang.
Perlakuan aplikasi berpengaruh nyata terhadappopulasi wereng
hijau selama pengamatan MK2013 (Tabel 3). Kepadatan populasi
werenghijau paling rendah diperoleh pada petak yangdiaplikasi
dengan M. anisopliae. Aplikasisambilata berpengaruh nyata
terhadap
-
83
Pengendalian Penyakit Tungro Melalui Eliminasi PeranVektor
Wereng Hijau (Dini Yuliati & I Nyoman Widiarta)
Perlakuan Populasi Wereng Hijau14 HST 28 HST 42 HST 56 HST
Varietas:IR66 2,25 b 3,00 b 1,25 b 0,83 bInpari 9 2,08 b 2,83 b
1,08 b 0,50 bCiherang 2,92 a 3,33 a 1,92 a 1,42 aAplikasi:M.
anisopliae 2,08 c 2,75 c 1,08 c 1,00 abSambilata 2,33 b 3,00 b 1,33
b 0,67 bKontrol 2,83 a 3,42 a 1,83 a 1,08 a
Tabel 3 Populasi wereng hijau di petak percobaan. Tanjungsiang.
MK 2013.
Angka yang selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 Duncan
Perlakuan Populasi Wereng Hijau14 HST 28 HST 42 HST 56
HSTVarietas:IR66 5,58 a 5,75 ab 4,17 ab 1,58 aInpari 9 5,33 a 5,33
b 3,42 b 0,92 aCiherang 5,83 a 6,42 a 5,92 a 1,50 aAplikasi:M.
anisopliae 5,50 a 5,67 a 4,00 a 1,42 aSambilata 5,50 a 5,75 a 4,58
a 1,08 aKontrol 5,75 a 6,08 a 4,92 a 1,50 a
Tabel 4 Populasi wereng hijau di petak percobaan. Tanjungsiang.
MH 2013/2014
Angka yang selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 Duncan
Gambar 3 Populasi wereng hijau di lahan petani. Tanjungsiang.
MK2013 (kiri) dan MH 2013/2014 (kanan).
M. anisopliae. Aplikasi sambilata tidak ber-pengaruh nyata
terhadap kepadatan werenghijau meskipun relatif lebih tinggi
dibandingkandengan aplikasi M. anisopliae. Pada petakkontrol
ditemukan kepadatan wereng hijaulebih tinggi dibandingkan petak
perlakuan.
Kepadatan wereng hijau di lahan petani sebagaipembanding dari
petak percobaan cukup tinggirata-rata 3 hingga 10 ekor/10 ayunan
ganda
pada MK 2013 (Gambar 3). Trends kepadatanwereng hijau yang sama
ditemukan pada MH2013/2014 dengan rata-rata 6 hingga 12 ekor/10
ayunan ganda. Kepadatan wereng hijaumeningkat sejalan dengan
bertambahnya umurtanaman padi. Populasi wereng hijau
tertinggiditemukan pada umur padi 42 HST, namunmenurun pada saat
tanaman padi berumur 56HST.
-
AGRIC Vol. 29, No. 2, Desember 2017: 77- 88
84
proporsi varietas tahan di hamparan kecil,namun berpengaruh
nyata mengurangikeberadaan tungro. Peran varietas tahan besardalam
pengendalian penyakit tungro. Varietastahan dapat digolongkan
menjadi dua, yaituvarietas tahan wereng hijau dan tahan virustungro
(Imbe, 1991). Oleh karena itu, varietasIR66 dan Inpari 9 dapat
direkomendasikanuntuk menanggulangi penyakit tungro.
Aplikasi jamur entomopatogen M. anisopliaemenunjukkan intensitas
penyakit tungro lebihrendah dibandingkan dengan ekstrak
sambilatadan kontrol. Intensitas penyakit tungro padaMK 2013
tergolong rendah kemungkinanwereng hijau sebagai vektor virus
terinfeksi olehM. anisopliae. Menurut Said dan Baco (1988),jamur
entomopatogen ini ditemukan menginfeksiwereng hijau di pertanaman
padi di Indonesia.Namun M. anisopliae bekerja lamban padawereng
hijau dimana mortalitas hanya mencapai84% pada enam hari (Suryadi
dan Hendarsih,1991).
Aplikasi sambilata menunjukkan intensitastungro lebih tinggi
dibandingkanM. anisopliae,namun intensitas penyakit tungro lebih
rendahdibandingkan dengan kontrol. MenurutWidiarta et al. (1997,
1998), penyemprotanekstrak sambilata dapat menekan penularantungro
karena berkurangnya kemampuanwereng hijau mengisap tanaman dilihat
darijumlah cairan tanaman yang dihisap dan jumlahtusukan stilet
pada tanaman padi. Aplikasiekstrak daun sambilata
Andrographispaniculata menyebabkan perubahan kebiasaanmenghisap
wereng hijau dari pembuluh floemke pembuluh jaringan xilem
(Kusdiaman danWidiarta, 2008). Hal ini sesuai dengan
pendapatYustiano (2001), bahwa aplikasi andrografolidsebagai
antifidan mengurangi aktivitas
PEMBAHASAN
Pada fase persemaian dan umur tanamanpadi 14 HST tidak ditemukan
gejala tungrobaik pada MK 2013 (Tabel 1) maupun padaMH 2013/2014
(Tabel 2). Intensitas tungromulai ditemukan pada 28 HST.
Intensitastungro umumnya mulai meningkat sejalandengan bertambahnya
umur tanaman padimeskipun dengan intensitas yang rendah.Pada daerah
pertanaman padi yang serem-pak infeksi penyakit tungro sebagian
besarmulai terjadi setelah padi ditanam. Kehilang-an hasil akibat
infeksi penyakit tungro ber-variasi tergantung pada periode
pertumbuhantanaman saat terinfeksi, lokasi dan titikinfeksi, musim
tanam dan varietas.
Semakin muda tanaman terinfeksi makasemakin besar presentase
kehilangan hasilyang ditimbulkan (Hasanuddin, 2009).Menurut Muis et
al. (1990), bahwa tinggirendahnya serangan tungro ditentukan
olehbeberapa faktor diantaranya ketersediaansumber inokulum dan
tingkat ketahananvarietas yang ditanam. Tingginya indekssumber
inokulum di lingkungan pertanamanpadi pada saat tanaman fase
vegetatif secaraempiris berpeluang besar sebagai penyebabtingginya
penularan tungro di petakpengamatan. Pergiliran varietas
tahanwereng hijau dapat menekan sumberinokulum dan tingkat
penularan tungro(Widiarta et al.,1997b).
Hasil pengujian di Kecamatan Tanjungsiangpada MK 2013 dan MH
2013/2014 me-nunjukkan intensitas penyakit pada varietasIR66 (tahan
wereng hijau) dan Inpari 9 (tahanvirus tungro) lebih rendah
dibandingkankontrol (Ciherang). Hasil studi Holt (1996),menemukan
bahwa meskipun peningkatan
-
85
Pengendalian Penyakit Tungro Melalui Eliminasi PeranVektor
Wereng Hijau (Dini Yuliati & I Nyoman Widiarta)
menghisap wereng hijau. Hasil pengujian dirumah kaca menunjukkan
bahwa aplikasiekstrak sambilata dapat menekan pemerolehandan
penularan virus tungro oleh wereng hijau(Widiarta et al. 1998).
Secara umum kepadatan populasi wereng hijaupada MK 2013 dan MH
2013/2014 mulaimeningkat pada pengamatan 14 sampai 28 HST.Populasi
wereng hijau tertinggi terjadi pada 28HST, namun populasi menurun
pada 42 sampai56 HST (Tabel 3 dan 4). Perkembangankepadatan
populasi wereng hijau berfluktuasidipengaruhi oleh pola
tanam,kebanyakan hanyameningkat pada saat tanaman muda
sampaipertengahan pertumbuhan tanaman pada arealdengan pola tanam
padi-padi-padi. Pertumbuhanpopulasi wereng hijau pada fase
generatifumumnya rendah pada semua pola tanam(Widiarta et al.
1999).
Peranan pemencaran imago (dispersal) berperanterhadap
pertumbuhan populasi pada pola padi-padi-padi terutama yang tidak
tanam serempak.Wereng hijau yang berasal dari pola tanamtidak
serempak lebih aktif dibandingkandaripada pola tanam serempak
(Kusdiaman danWidiarta, 2003). Selain itu, wereng hijau
jarangdilaporkan mencapai tingkat populasi yangdapat menimbulkan
kerusakan secara langsung.Kehilangan hasil disebabkan oleh
penyakittungro meskipun wereng hijau sebagai seranggavektornya
dalam populasi yang rendah(Widiarta et al. 1999).
Kepadatan populasi wereng hijau pada MK2013 dan MH 2013/2014 di
persemaian palingbanyak ditemukan pada varietas Ciherang.Ciherang
merupakan varietas yang disukai olehwereng hijau karena telah lama
diadopsi olehpetani sehingga wereng hijau telah beradaptasi
pada varietas tersebut. Populasi wereng hijauditemukan sangat
rendah pada Inpari 9 diikutioleh IR66 (Gambar 2). Menurut
Widiarta(1995), wereng hijau N. virescens menyebarpada tanaman padi
secara berkelompok yangterdiri dari beberapa individu sebagai
unitpenyebaran dengan tingkat agregrasi yangrendah. Oleh karena
itu, wereng hijau banyakdijumpai pada fase persemaian karena
merupa-kan fase yang disukai untuk makan, namunbelum membawa virus
tungro. Hal ini sejalandengan hasil penelitian bahwa intensitas
tungrotidak ditemukan di persemaian.
Kepadatan populasi wereng hijau paling rendahdiperoleh pada
petak yang diaplikasi denganM. anisopliae baik pada MK 2013
maupunMH 2013/2014. Aplikasi pertama saattanaman padi berumur 14
HST sebelumgenerasi migran imago wereng hijau (Widiartaet al.
1999), sedangkan aplikasi kedua saattanaman padi umur 28 HST
sebelum puncakkepadatan populasi nimfa kecil (Suzuki et al.1992).
Dampak aplikasi pertama pada awalpertumbuhan tanaman yaitu menekan
keperi-dian serangga migran yang mulai mendatangipertanaman.
Aplikasi kedua mematikan nimfaturunan dari generasi migran,
sehingga populasiwereng hijau rendah pada 42 dan 56 HST.Menurut
Suryadi dan kadir (2007), hifacendawan M. anisopliae yang tumbuh
padabagian tumbuh serangga mati dapat menyebarke serangga lainnya
bila terjadi kontak dandidukung oleh kondisi lingkungan (suhu
dankelembaban) yang cocok untuk pertumbuhancendawan patogen.
Aplikasi M. anisopliae dan sambilatapengaruhnya kurang efektif
terhadap werenghijau pada MH 2013/2014. Hal ini kemungkin-an pada
MH 2013/2014 bertepatan dengan
-
AGRIC Vol. 29, No. 2, Desember 2017: 77- 88
86
musim hujan sehinggga cendawan entomo-patogen dan ekstrak
pestisida nabati tercuciatau hilang dari pertanaman padi. Menurut
Yadidan Suhartono (1990), jamur entomopatogenM. anisopliae bekerja
lamban pada werenghijau. Hal tersebut dikuatkan oleh
hasilpenelitian Widiarta dan Kusdiaman (2007),bahwa M. anisopliae
berpengaruh nyataterhadap wereng hijau pada 7-14 hari
setelahaplikasi. Aplikasi cendawan entomopatogenperlu dilakukan
lebih dari satu kali terutamaapabila serangga hama mempunyai siklus
hidupyang terdiri dari beberapa stadia instar. Aplikasiberulang
diperlukan pula untuk mengantisipasifaktor lingkungan yang kurang
mendukungsehingga mempengaruhi tingkat keberhasilan(Prayogo et
al.,2005).
Perkembangan dinamika sebaran penyakittungro dipengaruhi oleh
keseragaman genetikvarietas pada suatu hamparan yang sangat
luasdengan kondisi lingkungan yang sama. Epidemipenyakit tungro
terjadi apabila penanaman suatuvarietas secara terus menerus
sehingga terjadipeningkatan wilayah sebaran penyakit tungro.Oleh
karena itu, perlunya pergiliran varietastahan untuk mengendalikan
penyakit tungro danvektornya (wereng hijau). Selain itu,
pengen-dalian wereng hijau dengan varietas tahan
dapatdikombinasikan cendawan entomopatogen M.anisopliaedan
sambilata sehingga epidemipenyakit tungro dapat ditekan dan
amanterhadap lingkungan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kepadatan populasi wereng hijau mulaimeningkat pada pengamatan
14 hingga 28 harisetelah tanam (HST), puncak populasi ditemu-kan
pada 28 HST. Namun, kepadatan populasiwereng hijau menurun pada 42
hingga 56 HST.
Populasi wereng hijau paling rendah diperolehpada petak yang
diaplikasi denganMetarhiziumanisopliae dan sambilata.
Intensitas serangan tungro meningkat sejalandengan bertambahnya
umur tanaman padi.Intensitas tungro tertinggi ditemukan
padavarietas Ciherang, sedangkan IR66 dan Inpari9 menunjukkan
intensitas tungro lebih rendah.Di lahan petani juga varietas
Ciherang banyakterserang penyakit tungro. Hasil pengujian
dilapangan varietas IR66 dan Inpari 9 dapatdirekomendasikan untuk
menanggulangipenyakit tungro. Aplikasi jamur entomopatogenM.
anisopliae menunjukkan intensitas penyakittungro lebih rendah
dibandingkan denganekstrak sambilata dan kontrol.
Varietas IR66 (tahan wereng hijau) dan Inpari9 (tahan tungro)
perlu disosialisasikan ke petanidi daerah endemis tungro. Sebagai
tindak lanjutdari penelitian ini, perlu dilakukan penelitian
zatantifidan selain dari sambilata seperti tanamancengkih, sirih,
dan zodia untuk menghambatpenularan tungro oleh wereng hijau.
DAFTAR PUSTAKA
Gomez KA, and AA Gomez. 1984. StatisticalProcedures for
Agricultural Research.Second Edition. John Wiley & Sons.
Inc.Canada.
Hasanuddin A. 2009. Status tungro diIndonesia Penelitian dan
StrategiPengelolaan ke Depan. Disampaikanpada orasi purnabakti
Puslitbangtan,Bogor 31 Maret 2009.
Hibino H, and R.C. Cabunagan. 1986. Ricetungro-associated
viruses and theirrelation to host plants and vectorleafhopper.
International Symposium on
-
87
Pengendalian Penyakit Tungro Melalui Eliminasi PeranVektor
Wereng Hijau (Dini Yuliati & I Nyoman Widiarta)
Virus Diseases of Rice and Leguminousin the
Tropics.p:173-182.
Hibino H. 1996. Biology and epidemiology ofrice viruses. Annual
Reviews Phyto-pathology 34: 249-274.
Holt J. 1996. Spatial modelling of rice tungrodisease epidemics.
In: Rice TungroDisease Epidemiology and VectorEcology. Chancellor,
Teng and Heong(Eds.). IRRI and NRI. p: 74-86.
Imbe T. 1991. Breeding for resistance totungro disease of rice .
TropicalAgriculture Research Center. 136p.
Kusdiaman D, dan IN Widiarta. 2008. Efikasilapang efek sambilata
terhadap werenghijau vector virus untuk pengendalianpenyakit tungro
padi. Jurnal Agrikultura19 (1): 26-36.
Ling KC. 1979. Rice Virus Disease. IRRI. ThePhillipines.
142p.
Muis A, M Yasin Said, dan A Hasanuddin.1990. Epidemiologi
penyakit tungro,pergiliran varietas dan waktu tanam.Hasil
Penelitian Padi. Balai TanamanPangan Maros. Hal. 47-52.
Prayogo Y, W Tengkano, dan Marwoto. 2005.Prospek cendawan
entomopatogenMetarhizium anisopliae untukmengendalikan ulat grayak
Spodopteralitura pada kedelai. Jurnal Penelitian danPengembangan
Pertanian 24 (1): 19-26.
Raga IN, W Murdita, MPL Tri, SW Edi, danOman. 2004. Sistem
surveillanceantisipasi ledakan penyakit tungro diIndonesia.
Prosiding Seminar NasionalStatus Program Penelitian TungroMendukung
Keberlanjutan Produksi
Padi Nasional. Makassar, 7-8 September2004.
Raga IN. 2007. Perkembangan danPenyebaran Penyakit Tungro
diIndonesia. Prosiding Seminar Nasional“Strategi Pengendalian
Penyakit TungroMendukung Peningkatan ProduksiBeras”. Makassar, 7-8
September2007.
Roberts DW. 1966. Toxin from theentomogeneous fungus
Metarrhiziumanisopliae. Journal of InvertebratePathology 8:
212-227.
Said MY, dan D Baco. 1988. Efektivitas danperanan jamur dalam
pengendalianwereng hijau, Nephotettix virescensMats. Agrikam 3:
1-6.
Suryadi Y, dan S Hendarsih. 1991. Kepekaanwereng hijau terhadap
jamur patogenserangga Metarhizium anisopliae(Metsch) Sorokin.
Dalam: Biologi DasarDalam Menunjang Produktivitas danKualitas
Hayati. Prosiding SeminarBiologi Dasar II. Suhirman (Ed.).
PusatPenelitian dan Pengembangan BiologiLIPI. p. 222-225.
Suryadi Y, dan TS Kadir. 2007. Pengamataninfeksi jamur patogen
seranggaMetarhizium anisopliae (Metsch.Sorokin) pada wereng coklat.
BeritaBiologi 8 (6): 501-507.
Suzuki YI, KR Widrawan, IGN Gede, INRaga, Yasis, and Suroto.
1992. Fieldepidemiology and forecasting technologyof rice tungro
disease by greenleafhopper. JARQ 26: 98-104.
-
AGRIC Vol. 29, No. 2, Desember 2017: 77- 88
88
Tsai YS, EW Kau, and SS Kao. 1993.Screeningof fungicide
resistant of Metarhiziumanisopliae var. anisopliae. ChineseJournal
of Entomology 13: 45-57.
Van Regenmortel MH, CM Fauquet, DHLBishop, EB Cartens, MK Estes,
SMLemon, J Maniloff, MA Mayo, DJMcGeoch, CR Pringle, and RB
Wicker.2000. Virus taxonomy, classificationand nomenclature of
viruses. AcademicPress Inc, San Diego.
Widiarta IN. 1995. Rancangan pengambilancontoh dan model
populasi werenghijau Nephotettix virescens (DISTANT)(Hemiptera:
Cicadellidae). Buletin Hamadan Penyakit 8(1): 1-8.
Widiarta IN, N Usyati, and D Kusdiaman.1997a. Antifeedant
activity of andro-grapholide and three syntetic insecticidesagainst
rice green leafhopper, Nepho-tettix virescens (Distant)
(Hemiptera:Cicadellidae). Bulletin Plant Pest andDisease 9:
14-19.
Widiarta IN, Yulianto, dan A Hasanuddin.1997b. Hubungan
peneluran tungropada tanaman padi di lingkunganpertanaman dengan
petak percobaandi areal tanam tidak serempak. JurnalPenelitian
Pertanian 16 (1): 6-13.
Widiarta IN, M Muhsin, dan D Kusdiaman.1998.Effect of
andrographolide and twosynthetic insecticides, antifeedant
againstNephotettix virescens, to the rice tungrovirus transmission.
Indonesian Journal ofPlant Protection 4: 1-8.
Widiarta IN, D Kusdiaman, dan A Hasanuddin.1999. Dinamika
populasi Nephotettixvirescens pada dua pola tanam padisawah. Jurnal
Perlindungan TanamanIndonesia 5 (1): 42-49.
Widiarta IN, dan D Kusdiaman. 2007.Penggunaan jamur
entomopatogenMetarrhizium anisopliae dan Beuveriabassiana untuk
mengendalikan populasiwereng hijau. Penelitian PertanianTanaman
Pangan 26 (1): 47-54.
Yustiano A. 2001. Uji efektivitas Andrografoliddan ekstrak daun
sambilata (Andro-graphis paniculata Nees.) denganaplikasi foliar
terhadap aktivitas makanwereng hijau (Nephotettix
virescensDistant). Skripsi. Fakultas PertanianUniversitas Jenderal
Soedirman.
***