Click here to load reader
BAB I
Pendahuluan
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, pemerintah terus berupaya
melakukan berbagai reformasi dalam bidang pendidikan, diantaranya adalah dengan
diluncurkannya Peraturan Mendiknas No. 22 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah dan Peraturan Mendiknas No. 23 tentang Standar Kompetensi
Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Untuk mengatur pelaksanaan
peraturan tersebut pemerintah mengeluarkan pula Peraturan Mendiknas No 24 tahun 2006.
Dari ketiga peraturan tersebut memuat beberapa hal penting diantaranya bahwa
satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, yang kemudian dipopulerkan dengan
istilah KTSP. Di dalam KTSP, struktur kurikulum yang dikembangkan mencakup tiga
komponen yaitu:
1. Mata Pelajaran;
2. Muatan Lokal
3. Pengembangan Diri.
Komponen Pengembangan Diri merupakan komponen yang relatif baru dan berlaku
untuk dikembangkan pada semua jenjang pendidikan. Sebagai sesuatu yang dianggap baru,
kehadirannya menarik untuk didiskusikan dan diperdebatkan, Sejumlah pertanyaan banyak
diajukan diantaranya saja : Apa hakekat Pengembangan Diri itu ? dan Bagaimana pula
pelaksanaan kegiatan Pengembangan Diri di sekolah ?
1
Oleh karena itu, melalui tulisan ini akan dipaparkan secara teoritik tentang hakekat
pengembangan diri dan beberapa alternatif pemikiran tentang pelaksanaan kegiatan
pengembangan diri di sekolah, untuk dijadikan sebagai salah satu bahan rujukan dalam
kegiatan Pengembangan Diri di sekolah-sekolah, sehingga kegiatan Pengembangan Diri di
sekolah lebih dapat dipertanggungjawabkan.
2
BAB II.
Pembahasan
1. Hakekat Pengembangan Diri
Pengembangan Diri dalam kebijakan kurikulum memang relatif baru. Kehadirannya
menarik untuk didiskusikan baik secara konseptual maupun dalam prakteknya. Jika
menelaah literatur tentang teori-teori pendidikan, khususnya psikologi pendidikan, istilah
pengembangan diri disini tampaknya dapat disepadankan dengan istilah pengembangan
kepribadian, yang sudah lazim digunakan dan banyak dikenal.
Meski sebetulnya istilah diri (self) tidak sepenuhnya identik dengan kepribadian
(personality). Istilah diri dalam bahasa psikologi disebut pula sebagai aku, ego atau self
yang merupakan salah satu aspek sekaligus inti dari kepribadian, yang di dalamnya
meliputi segala kepercayaan, sikap, perasaan, dan cita-cita, baik yang disadari atau pun
yang tidak disadari. Aku yang disadari oleh individu biasa disebut self picture (gambaran
diri), sedangkan aku yang tidak disadari disebut unconscious aspect of the self (aku tak
sadar) (Nana Syaodich Sukmadinata, 2005).
Menurut Freud (Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, 1993) ego atau diri merupakan
eksekutif kepribadian untuk mengontrol tindakan (perilaku) dengan mengikuti prinsip
kenyataan atau rasional, untuk membedakan antara hal-hal terdapat dalam batin seseorang
dengan hal-hal yang terdapat dalam dunia luar.
Setiap orang memiliki kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-cita akan dirinya, ada
yang realistis atau justru tidak realistis. Sejauh mana individu dapat memiliki kepercayaan,
sikap, perasaan dan cita-citanya akan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadiannya,
terutama kesehatan mentalnya. Kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-cita akan seseorang
3
akan dirinya secara tepat dan realistis memungkinkan untuk memiliki kepribadian yang
sehat. Namun, sebaliknya jika tidak tepat dan tidak realistis boleh jadi akan menimbulkan
pribadi yang bermasalah.
Kepercayaan akan dirinya yang berlebihan (over confidence) menyebabkan
seseorang dapat bertindak kurang memperhatikan lingkungannya dan cenderung melabrak
norma dan etika standar yang berlaku, serta memandang sepele orang lain. Selain itu, orang
yang memiliki over confidence sering memiliki sikap dan pemikiran yang over estimate
terhadap sesuatu. Sebaliknya kepercayaan diri yang kurang, dapat menyebabkan seseorang
cenderung bertindak ragu-ragu, rasa rendah diri dan tidak memiliki keberanian.
Kepercayaan diri yang berlebihan maupun kurang dapat menimbulkan kerugian tidak hanya
bagi dirinya namun juga bagi lingkungan sosialnya.
Begitu pula, setiap orang memiliki sikap dan perasaan tertentu terhadap dirinya.
Sikap akan diwujudkan dalam bentuk penerimaan atau penolakan akan dirinya, sedangkan
perasaan dinyatakan dalam bentuk rasa senang atau tidak senang akan keadaan dirinya.
Sikap terhadap dirinya berkaitan erat dengan pembentukan harga diri (penilaian diri), yang
menurut Maslow merupakan salah satu jenis kebutuhan manusia yang amat penting. Sikap
dan mencintai diri yang berlebihan merupakan gejala ketidaksehatan mental, biasa disebut
narcisisme. Sebaliknya, orang yang membenci dirinya secara berlebihan dapat
menimbulkan masochisme.
Disamping itu, setiap orang pun memiliki cita-cita akan dirinya. Cita-cita yang tidak
realistis dan berlebihan, serta sangat sulit untuk dicapai mungkin hanya akan berakhir
dengan kegagalan yang pada akhirnya dapat menimbulkan frustrasi, yang diwujudkan
dalam bentuk perilaku salah-suai (maladjusted). Sebaliknya, orang yang kurang memiliki
cita-cita tidak akan mendorong ke arah kemajuan.
4
Berkenaan dengan diri atau ego ini, John F. Pietrofesa (1971) mengemukakan tiga
komponen tentang diri, yaitu :
1. aku ideal (ego ideal)
2. aku yang dilihat dirinya (self as seen by self)
3. aku yang dilihat orang lain (self as seen by others).
Dalam keadaan ideal ketiga aku ini persis sama dan menunjukkan kepribadian yang
sehat, sementara jika terjadi perbedaan-perbedaan yang signifikan diantara ketiga aku
tersebut merupakan gambaran dari ketidakutuhan dan ketidaksehatan kepribadian.
Dengan memperhatikan dasar teoritik tersebut di atas, kita bisa melihat arah dan
hasil yang diharapkan dari kegiatan Pengembangan Diri di sekolah yaitu terbentuknya
keyakinan, sikap, perasaan dan cita-cita para peserta didik yang realistis, sehingga peserta
didik dapat memiliki kepribadian yang sehat dan utuh.
5
2. Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Diri
Secara konseptual, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2006 kita mendapati rumusan tentang pengembangan diri, sebagai berikut :
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru.
Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat
setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah.
Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau
tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan
pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan
dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta
didik.
Berdasarkan rumusan di atas dapat diketahui bahwa Pengembangan Diri bukan
merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Dengan sendirinya, pelaksanaan
kegiatan pengembangan diri jelas berbeda dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar
mata pelajaran. Seperti pada umumnya, kegiatan belajar mengajar untuk setiap mata
pelajaran dilaksanakan dengan lebih mengutamakan pada kegiatan tatap muka di kelas,
sesuai dengan alokasi waktu yang telah ditentukan berdasarkan kurikulum (pembelajaran
reguler), di bawah tanggung jawab guru yang berkelayakan dan memiliki kompetensi di
bidangnya. Walaupun untuk hal ini dimungkinkan dan bahkan sangat disarankan untuk
mengembangkan kegiatan pembelajaran di luar kelas guna memperdalam materi dan
kompetensi yang sedang dikaji dari setiap mata pelajaran.
6
Sedangkan kegiatan pengembangan diri seyogyanya lebih banyak dilakukan di luar
jam reguler (jam efektif), melalui berbagai jenis kegiatan pengembangan diri. Salah satunya
dapat disalurkan melalui berbagai kegiatan ekstra kurikuler yang disediakan sekolah, di
bawah bimbingan pembina ekstra kurikuler terkait, baik pembina dari unsur sekolah
maupun luar sekolah. Namun perlu diingat bahwa kegiatan ekstra kurikuler yang lazim
diselenggarakan di sekolah, seperti: pramuka, olah raga, kesenian, PMR, kerohanian atau
jenis-jenis ekstra kurikuler lainnya yang sudah terorganisir dan melembaga bukanlah satu-
satunya kegiatan untuk pengembangan diri.
Di bawah bimbingan guru maupun orang lain yang memiliki kompetensi di
bidangnya, kegiatan pengembangan diri dapat pula dilakukan melalui kegiatan-kegiatan di
luar jam efektif yang bersifat temporer, seperti mengadakan diskusi kelompok, permainan
kelompok, bimbingan kelompok, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat kelompok.
Selain dilakukan melalui kegiatan yang bersifat kelompok, kegiatan pengembangan diri
dapat dilakukan pula melalui kegiatan mandiri, misalnya seorang siswa diberi tugas untuk
mengkaji buku, mengunjungi nara sumber atau mengunjungi suatu tempat tertentu untuk
kepentingan pembelajaran dan pengembangan diri siswa itu sendiri.
Selain kegiatan di luar kelas, dalam hal-hal tertentu kegiatan pengembangan diri
bisa saja dilakukan secara klasikal dalam jam efektif, namun seyogyanya hal ini tidak
dijadikan andalan, karena bagaimana pun dalam pendekatan klasikal kesempatan siswa
untuk dapat mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat,
dan minatnya relatif terbatasi. Hal ini tentu saja akan menjadi kurang relevan dengan tujuan
dari pengembangan diri itu sendiri sebagaimana tersurat dalam rumusan tentang
pengembangan diri di atas.
7
Dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan terjadi pengurangan jumlah jam efektif setiap minggunya, namun dengan
adanya pengembangan diri maka sebetulnya aktivitas pembelajaran diri siswa tidaklah
berkurang, siswa justru akan lebih disibukkan lagi dengan berbagai kegiatan
pengembangan diri yang memang lebih bersifat ekspresif, tanpa “terkerangkeng” di dalam
ruangan kelas.
Kegiatan pengembangan diri harus memperhatikan prinsip keragaman individu.
Secara psikologis, setiap siswa memiliki kebutuhan, bakat dan minat serta karakateristik
lainnya yang beragam. Oleh karena itu, bentuk kegiatan pengembangan diri pun
seyogyanya dapat menyediakan beragam pilihan. Hal yang fundamental dalam dalam
kegiatan Pengembangan Diri bahwa pelaksanaan pengembangan diri harus terlebih dahulu
diawali dengan upaya untuk mengidentifikasi kebutuhan, bakat dan minat, yang dapat
dilakukan melalui teknik tes (tes kecerdasan, tes bakat, tes minat dan sebagainya) maupun
non tes (skala sikap, inventori, observasi, studi dokumenter, wawancara dan sebagainya).
Dalam hal ini, peranan bimbingan dan konseling menjadi amat penting, melalui
kegiatan aplikasi instrumentasi data dan himpunan data, bimbingan dan konseling
seyogyanya dapat menyediakan data yang memadai tentang kebutuhan, bakat, minat serta
karakteristik peserta didik lainnya. Data tersebut menjadi bahan dasar untuk
penyelenggaraan Pengembangan Diri di sekolah, baik melalui kegiatan yang bersifat
temporer, kegiatan ekstra kurikuler, maupun melalui layanan bimbingan dan konseling itu
sendiri.
Namun harus diperhatikan pula bahwa kegiatan Pengembangan Diri tidak identik
dengan Bimbingan dan Konseling. Bimbingan dan Konseling tetap harus ditempatkan
sebagai bagian integral dari sistem pendidikan di sekolah dengan keunikan karakteristik
pelayanannya.
8
Terkait dengan penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah kemungkinan
besar akan menggunakan konsep baru menggantikan Pola 17 yang selama ini diterapkan.
Ke depannya kemungkinan akan digunakan konsep baru yang lebih dikenal sebutan
imbingan dan Konseling Komprehensif dan Pengembangan (Developmental and
Comprehensive Guidance and Counseling), dimana layanan Bimbingan dan Konseling
lebih bersifat menyeluruh (guidance for all) dan tidak lagi terfokus pada pendekatan klinis
(clinical atau therapeutical approach) akan tetapi lebih mengutamakan pendekatan
pengembangan (developmental approach).
Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan perbedaan dari kedua
pendekatan tersebut adalah :
Pendekatan Pengembangan :
• Bersifat pedagogis
• Melihat potensi klien (siswa)
• Berorientasi pengembangan potensi positif klien (siswa)
• Menggembirakan klien (siswa)
• Dialog konselor menyentuh klien (siswa), klien (siswa) terbuka
• Bersifat humanistik- religius
• Klien (siswa) sebagai subyek memegang peranan, memutuskan tentang dirinya
• Konselor hanya membantu dan memberi alternatif-alternatif
9
Pendekatan Klinis (Model Lama):
• Bersifat klinis
• Melihat kelemahan klien
• Berorientasi pemecahan masalah klien (siswa)
• Konselor serius
• Klien (siswa) sering tertutup
• Dialog menekan perasaan klien
• Klien sebagai obyek
Dengan demikian, layanan Bimbingan dan Konseling yang memiliki fungsi pengembangan,
seperti layanan Pembelajaran, Penempatan dan Bimbingan Kelompok kiranya perlu lebih
dikedepankan dan ditingkatkan lagi dari segi frekuensi maupun intensitas pelayanannya.
Dari uraian di atas, tampak bahwa kegiatan pengembangan diri akan mencakup banyak
kegiatan sekaligus juga banyak melibatkan orang, oleh karena itu diperlukan pengelolaan
dan pengorganisasian tersendiri. Namun secara prinsip, bahwa pengelolaan dan
pengorganisasian pengembangan diri betul-betul diarahkan untuk melayani seluruh siswa
agar dapat mengembangkan dirinya secara optimal, sesuai bakat, minat, dan kebutuhannya
masing-masing dan pengembangan diri menjadi wilayah garapan bersama antara komponen
pembelajaran dan komponen Bimbingan dan Konseling di sekolah dengan keunikan tugas
dan tanggung jawabnya masing-masing.
10
3. Peran Guru dalam Proses pengembangan diri
Efektivitas dan efisiensi pengembangan diri di sekolah sangat bergantung kepada
peran guru. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan
secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :
1. Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
2. Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
3. Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
4. Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam
pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
5. Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan
menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang
menciptakannya).
Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip
pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran
peserta didik, yang mencakup :
1. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan
dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
2. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi,
memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar
mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber
11
(resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik
& humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
3. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa,
menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas
tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik
mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin
menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru
dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan
dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas
kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).
4. Peran bimbingan konseling dalam pengembangan diri
1. Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling adalah identik
dengan pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi bersusah payah menyelenggarakan
pelayanan bimbingan dan konseling, karena dianggap sudah implisit dalam pendidikan itu
sendiri. Cukup mantapkan saja pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari pendidikan.
Mereka sama sekali tidak melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah.
Sementara ada juga yang berpendapat pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-
benar terpisah dari pendidikan dan pelayanan bimbingan dan konseling harus secara nyata
dibedakan dari praktik pendidikan sehari-hari.
Walaupun guru dalam melaksanakan pembelajaran siswa dituntut untuk dapat melakukan
kegiatan-kegiatan interpersonal dengan para siswanya, namun kenyataan menunjukkan
bahwa masih banyak hal yang menyangkut kepentingan siswa yang tidak bisa dan tidak
12
mungkin dapat dilayani sepenuhnya oleh guru di sekolah melalui pelayanan pengajaran
semata, seperti dalam hal pelayanan dasar (kurikulum bimbingan dan konseling),
perencanaan individual, pelayanan responsif, dan beberapa kegiatan khas Bimbingan dan
Konseling lainnya.
Begitu pula, Bimbingan dan Konseling bukanlah pelayanan eksklusif yang harus terpisah
dari pendidikan. Pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya memiliki derajat dan
tujuan yang sama dengan pelayanan pendidikan lainnya (baca: pelayanan pengajaran
dan/atau manajemen), yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh perkembangan
diri yang optimal. Perbedaan terletak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimana
masing-masing memiliki karakteristik tugas dan fungsi yang khas dan berbeda (1).
2. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan dokter dan
psikiater.
Dalam hal-hal tertentu memang terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan
konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama menginginkan
konseli/pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang
telah teruji sesuai dengan masing-masing bidang pelayanannya, baik dalam mengungkap
masalah konseli/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya.
Kendati demikian, pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan
pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter dan psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan
konselor bekerja dengan orang yang normal (sehat) namun sedang mengalami
masalah.Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan
pemberian obat, serta teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling
memberikan cara-cara pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi
13
pribadi, penguatan mental/psikis, modifikasi perilaku, pengubahan lingkungan, upaya-
upaya perbaikan dengan teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.
3. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang
bersifat insidental.
Memang tidak dipungkiri pekerjaan bimbingan dan konseling salah satunya bertitik
tolak dari masalah yang dirasakan siswa, khususnya dalam rangka pelayanan responsif,
tetapi hal ini bukan berarti bimbingan dan konseling dikerjakan secara spontan dan hanya
bersifat reaktif atas masalah-masalah yang muncul pada saat itu.
Pekerjaan bimbingan dan konseling dilakukan berdasarkan program yang sistematis dan
terencana, yang di dalamnya mengggambarkan sejumlah pekerjaan bimbingan dan
konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik untuk kepentingan pencegahan,
pengembangan maupun penyembuhan (pengentasan)
4. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja.
Bimbingan dan Konseling tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau
siswa yang memiliki kelebihan tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus dapat
melayani seluruh siswa (Guidance and Counseling for All). Setiap siswa berhak dan
mendapat kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan
dan konseling yang tersedia.
5. Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang/tidak normal”.
Sasaran Bimbingan dan Konseling adalah hanya orang-orang normal yang mengalami
masalah. Melalui bantuan psikologis yang diberikan konselor diharapkan orang tersebut
dapat terbebaskan dari masalah yang menghinggapinya. Jika seseorang mengalami
14
keabnormalan yang akut tentunya menjadi wewenang psikiater atau dokter untuk
penyembuhannya. Masalahnya, tidak sedikit petugas bimbingan dan konseling yang
tergesa-gesa dan kurang hati-hati dalam mengambil kesimpulan untuk menyatakan
6. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama (gejala) saja.
Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dari gejala yang ditemukan
atau keluhan awal disampaikan konseli. Namun seringkali justru konselor mengejar dan
mendalami gejala yang ada bukan inti masalah dari gejala yang muncul. Misalkan,
menemukan siswa dengan gejala sering tidak masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan
bimbingan dan konseling malah berkutat pada persoalan tidak masuk kelas, bukan
menggali sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk kelasnya.
7. Bimbingan dan Konseling menangani masalah yang ringan.
Ukuran berat-ringannya suatu masalah memang menjadi relatif, seringkali masalah
seseorang dianggap sepele, namun setelah diselami lebih dalam ternyata masalah itu sangat
kompleks dan berat. Begitu pula sebaliknya, suatu masalah dianggap berat namun setelah
dipelajari lebih jauh ternyata hanya masalah ringan saja. Terlepas berat-ringannya yang
paling penting bagi konselor adalah berusaha untuk mengatasinya secara cermat dan tuntas.
Jika segenap kemampuan konselor sudah dikerahkan namun belum juga menunjukan
perbaikan maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah (referal) kepada pihak
yang lebih kompeten
8. Petugas Bimbingan dan Konseling di sekolah diperankan sebagai “polisi sekolah”.
Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan konseling adalah “polisi sekolah” yang
harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan di sekolah.Tidak
15
jarang konselor diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian, bahkan diberi
wewenang bagi siswa yang bersalah.
Dengan kekuatan inti bimbingan dan konseling pada pendekatan interpersonal, konselor
justru harus bertindak dan berperan sebagai sahabat kepercayaan siswa, tempat
mencurahkan kepentingan apa-apa yang dirasakan dan dipikirkan siswa. Konselor adalah
kawan pengiring, penunjuk jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan, dan pembina
perilaku-perilaku positif yang dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan dengan
bimbingan konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.
9. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian
nasihat.
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat.
Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan
konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien
dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal.
10. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri atau harus bekerja sama dengan ahli
atau petugas lain
Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses
yang sarat dengan unsur-unsur budaya,sosial,dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan
bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan
orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang
dihadapi oleh klien. Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak
berdiri sendiri.Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang tua,siswa,guru,dan piha-
pihak lain; terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat
sekitarnya. Oleh sebab itu penanggulangannya tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru
16
pembimbing saja .Dalam hal ini peranan guru mata pelajaran, orang tua, dan pihak-pihak
lain sering kali sangat menentukan. Guru pembimbing harus pandai menjalin hubungan
kerja sama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbantunya siswa yang
mengalami masalah itu. Di samping itu guru pembimbing harus pula memanfaatkan
berbagai sumber daya yang ada dan dapat diadakan untuk kepentingan pemecahan masalah
siswa. Guru mata pelajaran merupakan mitra bagi guru pembimbing, khususnya dalam
menangani masalah-masalah belajar.
Namun demikian, konselor atau guru pembimbing tidak boleh terlalu mengharapkan
bantuan ahli atau petugas lain. Sebagai tenaga profesional konselor atau guru pembimbing
harus mampu bekerja sendiri, tanpa tergantung pada ahli atau petugas lain. Dalam
menangani masalah siswa guru pembimbing harus harus berani melaksanakan pelayanan,
seperti “praktik pribadi”, artinya pelayanan itu dilaksanakan sendiri tanpa menunggu
bantuan orang lain atau tanpa campur tangan ahli lain. Pekerjaan yang profesional justru
salah satu cirinya pekerjaan mandiri yang tidak melibatkan campur tangan orang lain atau
ahli.
17
BAB III
Kesimpulan
Pengembangan Diri di sekolah merupakan salah satu komponen penting dari
struktur Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang diarahkan guna terbentuknya
keyakinan, sikap, perasaan dan cita-cita para peserta didik yang realistis, sehingga pada
gilirannya dapat mengantarkan peserta didik untuk memiliki kepribadian yang sehat dan
utuh.
Kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan secara klasikal pada jam efektif,
namun seyogyanya lebih banyak dilakukan di luar jam reguler (jam efektif), baik melalui
kegiatan yang dilembagakan maupun secara temporer, bersifat individual maupun
kelompok.
Pengembangan diri harus memperhatikan kebutuhan, bakat, dan minat setiap
peserta didik dan bimbingan dan konseling di sekolah memiliki peranan penting untuk
mengidentikasi kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik melalui kegiatan aplikasi
instrumentasi dan himpunan data, untuk ditindaklanjuti dalam berbagai kegiatan
pengembangan diri.
Kegiatan pengembangan diri akan melibatkan banyak kegiatan sekaligus juga
banyak melibatkan orang, oleh karena itu diperlukan pengelolaan dan pengorganisasian
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi nyata di sekolah.
Sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita renungkan ungkapan dari R.F. Mackenzie
yang banyak mengilhami ribuan guru di Inggris tentang bagaimana seharusnya proses
18
pendidikan berlangsung, dikaitkan dengan kegiatan pengembangandiri di sekolah
…Kami ingin memberikan kepada siswa-siswa kesempatan untuk menceburkan ke dalam
cara hidup yang berbeda, dan kenangan yang bertahan lebih lama. Di sana tidak akan ada
paksaan atau keharusan, ketekanan, ketergesaan, atau ujian. Apabila mereka ingin
memanjat atau berski, kita akan membantu mereka untuk mendapatkan keterampilan itu.
Apabila mereka ingin mengidentifikasi tumbuhan gunung tinggi atau burung, kita
akan mengusahakan diperolehnya pengetahuan itu. Dan apabila mereka ingin tidak
memiliki kedambaan akan adanya kegiatan atau kehausan akan pengetahuan, tetapi maunya
hanya duduk diam seperti kaum penghuni dataran tinggi yang dulunya di sini, atau ingin
memandangi awan berarak melaju di atas Creag Dhubh, atau mendengarkan suara rintik
hujan yang menitik jatuh di antara cecabang pohon setelah hujan berhenti mengucur, itu
semua juga merupakan bagian penting dari perkembangan. Pada saat inilah, ketakutan, ide,
harapan, dan pertanyaan yang setengah tenggelam mulai muncul kembali ke permukaan…”
(Combie White, 1997).
19
Daftar Pustaka
Calvin S. Hall & Gardner Lindzey. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis); Psikologi
Kepribadian 1. (terj. A. Supratiknya). Yogyakarta : Kanisius.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,. Jakarta : Depdiknas.
____. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan, Jakarta : Depdiknas.
____, 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk
Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah, Jakarta : Depdiknas.
E. Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep,Karakteristik dan
Implementasi.Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
———. 2004. Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung :
20