Top Banner
ARTIKEL 16 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi Village Financial Management After Implementation of Law No. 6/2014: Potential Problems and Solutions Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis Peneliti dan Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara Abstrak: Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan desa pengakuan dan ke- kuasaan baru kepada desa yang selama ini diabaikan dalam pembangunan. Di antara berbagai hal yang tercakup di dalamnya, dana desa merupakan isu yang paling hangat dibicarakan. Desa akan me- nerima uang dalam jumlah besar tanpa ada presedennya. Sementara sebagian kalangan meragukan kesiapan desa dalam mengelola dana sebesar itu, sebagian lainnya meyakini bahwa desa telah siap. Sesungguhnya, dengan menengok kondisi riil pemerintah dan masyarakat desa saat ini, memang ada risiko bahwa pengelolaan keuangan desa tidak dapat dilakukan secara transparan dan akuntabel. Kompetensi kepala desa dan pendamping desa menjadi dua faktor kunci krusial dari sisi SDM yang memengaruhi keberhasilan pengelolaan keuangan desa. Agar keuangan desa dapat terkelola dengan baik, dibutuhkan pemeriksaan atas kebijakan yang ada, pengawasan yang kuat, dan peningkatan kapasitas serta kesadaran aparatur desa. Kata-kata kunci: UU Desa; Desa; Dana desa; Pengelolaan keuangan Abstract: The birth of Law No. 6 of 2004 on Village gives village recognition and power to village which until then has been neglected in development. Among many things covered in it, village fund is the most talked about issue. Village will receive money in big size without precedent. While some people hesitate the readiness of village to manage such a big fund, others believe that village is ready. Actually, by visiting the real condition of village’s government and society today, there are risks that village finance management cannot be done in transparent and accountable manner. The competency of village head and village facilitator are two crucial key factors from human resources perspective which affect the success of village finance management. In order to manage village finance properly, policy checking, strong monitoring, and capacity and consciousness development are needed. Keywords: Law on Village; Village; Village fund; financial management PENDAHULUAN Disahkannya Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa) pada 15 Januari 2014 merupakan se- buah tonggak bersejarah dalam sejarah kebi- jakan mengenai desa. UU tersebut merupa- kan balikan paradigmatis (paradigmatic turn) dari pendekatan atau cara pandang pe- merintah terhadap desa sebagai satuan masyarakat terkecil, di mana desa kini dipan- dang sebagai subjek pembangunan dengan kewenangan yang luas. Melalui asas rekog- nisi, hak asal-usul desa sebagai self governing community dan self local government diakui. Sementara melalui asas subsidiaritas, desa diberi kewenangan untuk menyelenggarakan empat domain urusannya secara penuh, yakni penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Sebagai satuan masyarakat dengan seja- rah panjang yang sudah ada sebelum Repu- blik ini berdiri, sudah seharusnyalah desa kini menikmati hak-hak yang sesungguhnya merupakan fitrahnya. Meskipun dibahas dan disahkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, spirit yang terkandung dalam UU Desa sesungguhnya berselaras pula dengan visi-misi pemerintahan Joko
16

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

Oct 25, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

ARTIKEL

16 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

Village Financial Management After Implementation of Law No. 6/2014:

Potential Problems and Solutions

Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis

Peneliti dan Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Tata Pemerintahan

Lembaga Administrasi Negara

Abstrak:

Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan desa pengakuan dan ke-

kuasaan baru kepada desa yang selama ini diabaikan dalam pembangunan. Di antara berbagai hal

yang tercakup di dalamnya, dana desa merupakan isu yang paling hangat dibicarakan. Desa akan me-

nerima uang dalam jumlah besar tanpa ada presedennya. Sementara sebagian kalangan meragukan

kesiapan desa dalam mengelola dana sebesar itu, sebagian lainnya meyakini bahwa desa telah siap.

Sesungguhnya, dengan menengok kondisi riil pemerintah dan masyarakat desa saat ini, memang ada

risiko bahwa pengelolaan keuangan desa tidak dapat dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Kompetensi kepala desa dan pendamping desa menjadi dua faktor kunci krusial dari sisi SDM yang

memengaruhi keberhasilan pengelolaan keuangan desa. Agar keuangan desa dapat terkelola dengan

baik, dibutuhkan pemeriksaan atas kebijakan yang ada, pengawasan yang kuat, dan peningkatan

kapasitas serta kesadaran aparatur desa.

Kata-kata kunci: UU Desa; Desa; Dana desa; Pengelolaan keuangan

Abstract:

The birth of Law No. 6 of 2004 on Village gives village recognition and power to village which until

then has been neglected in development. Among many things covered in it, village fund is the most

talked about issue. Village will receive money in big size without precedent. While some people

hesitate the readiness of village to manage such a big fund, others believe that village is ready.

Actually, by visiting the real condition of village’s government and society today, there are risks that

village finance management cannot be done in transparent and accountable manner. The competency

of village head and village facilitator are two crucial key factors from human resources perspective

which affect the success of village finance management. In order to manage village finance properly,

policy checking, strong monitoring, and capacity and consciousness development are needed.

Keywords: Law on Village; Village; Village fund; financial management

PENDAHULUAN

Disahkannya Undang-undang No. 6 Tahun

2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU

Desa) pada 15 Januari 2014 merupakan se-

buah tonggak bersejarah dalam sejarah kebi-

jakan mengenai desa. UU tersebut merupa-

kan balikan paradigmatis (paradigmatic

turn) dari pendekatan atau cara pandang pe-

merintah terhadap desa sebagai satuan

masyarakat terkecil, di mana desa kini dipan-

dang sebagai subjek pembangunan dengan

kewenangan yang luas. Melalui asas rekog-

nisi, hak asal-usul desa sebagai self governing

community dan self local government diakui.

Sementara melalui asas subsidiaritas, desa

diberi kewenangan untuk menyelenggarakan

empat domain urusannya secara penuh,

yakni penyelenggaraan pemerintahan desa,

pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan

kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan

masyarakat desa.

Sebagai satuan masyarakat dengan seja-

rah panjang yang sudah ada sebelum Repu-

blik ini berdiri, sudah seharusnyalah desa

kini menikmati hak-hak yang sesungguhnya

merupakan fitrahnya. Meskipun dibahas dan

disahkan pada masa pemerintahan Susilo

Bambang Yudhoyono, spirit yang terkandung

dalam UU Desa sesungguhnya berselaras

pula dengan visi-misi pemerintahan Joko

Page 2: Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 17

Widodo-Jusuf Kalla, yang dalam Nawacita-

nya memuat ikhtiar “membangun Indonesia

dari pinggiran dengan memperkuat Daerah-

daerah dan Desa dalam kerangka Negara

Kesatuan.”

(http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_J

okowi-JK.pdf, diakses 6 Juli 2015). Misi

tersebut berusaha membalik desa yang

selama ini menjadi alas kaki kekuasaan dan

obyek pembangunan yang pasif sebagai

penonton pembangunan menjadi entitas

yang menjadi lebih mandiri, berdaulat,

demokratis, dan sejahtera.

Tetapi setelah UU Desa lahir, bukan

berarti perdebatan selesai. Banyak pakar,

pengamat, dan praktisi yang mempersoalkan

hakikat sesungguhnya dari UU Desa: apakah

roh yang ada di dalamnya didorong oleh

pilihan democratic driven (pokoknya proses

demokratisasi pembagian kue pembangunan

sudah didistribusikan hingga tingkat desa)

atau economic driven (berorientasi mencari

pengungkit pemberdayaan ekonomi yang

berasal dari desa)? (Huseini, 2015: 7),

apakah UU Desa mengadopsi paradigma

“desa membangun” atau “membangun desa”

atau gabungan dari keduanya?, apakah UU

Desa dapat diartikan sebagai otonomi desa

dan dengan demikian memunculkan rezim

desentralisasi tingkat tiga yang lebih kom-

pleks? Muncul juga kekhawatiran pada tata-

ran implementasi: sudahkah pemerintah

desa dan tingkatan pemerintah di atasnya

benar-benar siap melaksanakannya?

Sementara pada aras kelembagaan, per-

debatan diwujudkan melalui rebutan kewe-

nangan antara Kementerian Dalam Negeri

(Kemendagri) dengan Kementerian Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trans-

migrasi (Kemendes PDTT). Masing-masing

merasa yang paling berhak mengurus desa

dengan mangajukan logika dan argumennya

masing-masing. Akhirnya, setelah percekco-

kan selama hampir enam bulan, polemik ter-

sebut baru dapat diakhiri, atau demikianlah

kelihatannya, setelah Presiden Joko Widodo

menerbitkan Perpres No. 11 Tahun 2015

tentang Kemendagri dan Perpres No. 12

Tahun 2015 tentang Kemendes PDTT sebagai

pelengkap atas Perpres No. 165 Tahun 2014

tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet

Kerja. Melalui Direktorat Jenderal (Ditjen)

Bina Pemerintahan Desa, Kemendagri berwe-

nang mengurusi pembinaan pemerintahan

desa dan melalui Direktorat Jenderal Pemba-

ngunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa

serta Direktorat Jenderal Pembangunan Ka-

wasan Perdesaan, Kemendes PDTT berwe-

nang mengurusi hal-hal lain di luar pemerin-

tahan desa. Diharapkan, dengan pembagian

kerja semacam ini, tidak muncul lagi

instrumen kebijakan dari kementerian yang

menerobos lingkup wewenangnya, seperti

misalnya Permendagri No. 114 Tahun 2014

tentang Pedoman Pembangunan Desa. Meski

demikian, ada juga yang berpendapat bahwa

format pembagian kerja semacam itu

sesungguhnya mengingkari prinsip pengelo-

laan desa dalam UU Desa yang bersifat siste-

mik-integratif (Jaweng, 2015: 6). Sementara

menurut Hasani (2015: 7), karena Kemenda-

gri tetap memiliki kaki hingga ke desa, maka

otonomi desa dibonsai dengan tetap menjadi-

kannya unit pemerintahan paling rendah.

Padahal, rezim UU Desa tegas mengatakan

bahwa desa adalah kesatuan masyarakat

hukum yang otonom dalam NKRI.

Namun, dari berbagai isu dan tema di

seputar UU Desa, tidak ada diskursus yang

lebih hangat dari satu hal ini, yakni dana

desa. Sejalan dengan pengakuan dan

perhatian besar yang diberikan kepada desa,

pendanaan yang diberikan kepadanya pun

meningkat. Terkait dengan dana ini, dulu

pada waktu RUU Desa masih dibahas ada

wacana bahwa kelak setiap desa akan

mendapat dana Rp 1,4 miliar setiap tahun.

Isu ini tentu menarik sebagai janji politik

yang manis, sehingga tak heran bahwa kala

itu sejumlah fraksi di DPR berebut menjadi

pimpinan panitia khusus (pansus) ketika

pembahasan RUU Desa dimulai Maret 2012

(Kompas, 3 Juli 2015). Bahkan, setelah UU

Desa disahkan dan musim kampanye politik

untuk pemilihan umum presiden 2014

dimulai, calon presiden berlomba-lomba

menjanjikan akan memberikan miliaran

rupiah untuk setiap desa jika terpilih, seolah

mengabaikan fakta siapapun yang terpilih

dana desa akan tetap turun karena itu

Page 3: Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

ARTIKEL

18 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

merupakan amanat UU Desa. Ketertarikan

terhadap iming-iming dana desa juga dite-

ngarai menyebabkan terjadinya lonjakan

usulan pemekaran desa. Kemendagri menca-

tat, jumlah desa meningkat dari 72.944 pada

awal 2013 menjadi 74.093 pada awal 2015

(http://www.koran-

sindo.com/read/964858/149/dana-desa-

picu-tingginya-pemekaran-1424055604,

diakses 9 Juli 2014).

Kenyataannya, hal yang terjadi tidaklah

demikian. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU

Desa menyebutkan bahwa “Besaran alokasi

anggaran yang peruntukannya langsung ke

Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus)

dari dan di luar dana Transfer Daerah (on

top) secara bertahap.” Artinya, pemberian

dana dalam hitungan miliar untuk tiap desa

baru akan diberlakukan di masa depan

setelah melalui tahapan waktu tertentu. Pada

APBN Perubahan (APBN-P) 2015, total dana

desa sebesar Rp 20,766 triliun atau 3,1

persen dari jumlah APBN-P sekitar Rp 2.000

triliun (naik dari APBN 2015 yang hanya

mengalokasikan Rp 9,1 triliun) yang

disalurkan selama tiga tahap pada minggu

kedua bulan April, Agustus, dan Oktober.

Rata-rata desa yang jumlahnya 74.093

mendapat Rp 280 juta. Baru pada tahun 2017

persentase 10 persen tersebut akan

dipenuhi. Dalam Pasal 30A ayat (1) PP No. 22

Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No.

60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang

Bersumber dari APBN, dinyatakan bahwa

pengalokasian dana desa untuk tahun

anggaran 2015 paling sedikit sebesar 3

persen, pada tahun anggaran 2016 paling

sedikit sebesar 6 persen, dan baru pada

tahun 2017 dan seterusnya sebesar 10

persen dari anggaran transfer ke daerah.

Meskipun dana desa yang diperoleh desa

pada tahun ini masih terbatas, isu tentang

pengelolaannya tidak boleh dikesampingkan

karena sebesar apa pun dana publik yang

diterima oleh sebuah entitas harus diperta-

nggungjawabkan secara transparan dan

akuntabel. Lagipula dana desa sebenarnya

hanyalah sebagian saja dari total pendapatan

yang diterima desa untuk dikelola dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

(APBDes). Dana desa adalah salah satu jenis

dari kelompok pendapatan desa yang

digolongkan sebagai transfer bersama

dengan alokasi dana desa (ADD), bagian dari

hasil pajak daerah kabupaten/kota dan

retribusi daerah (PDRB), dan bantuan

keuangan dari APBD Provinsi dan

Kabupaten/Kota. Selain itu, masih ada juga

pos pendapatan asli desa (PAD) dan

pendapatan lain-lain. Salah satu jenis

pendapatan dari kelompok transfer yang

besar, bahkan lebih besar dari dana desa,

adalah ADD yang dalam APBN-P dialokasikan

sebesar Rp 33,2 triliun. Berdasarkan data

yang dikumpulkan IRE (2015) sebagaimana

dikutip Muhammad (2015: 6), misalnya,

Kabupaten Sleman tahun 2015 ini

mengirimkan dana ke desa Rp 1,2 miliar per

desa, Kabupaten Gunung Kidul Rp 650 juta

per desa, dan Kabupaten Lombok Tengah Rp

300 juta per desa. Sementara dari PDRB

tahun ini sebesar Rp 2,1 triliun sehingga total

dana yang akan masuk ke desa tahun ini di

luar PAD dan pendapatan lain-lain sebesar

Rp 53,6 triliun (Kompas, 27 Februari 2015).

Total pendapatan desa akan semakin

bertambah setiap tahunnya. Dari pos dana

desa, diperkirakan bahwa pada tahun 2016

jumlahnya meningkat menjadi sekitar Rp 47

triliun dan tahun 2017 sekitar Rp 81 triliun.1

Adapun menurut data yang dimiliki Jaweng

(2015: 6), rencana pertumbuhan dana desa

di masa depan berturut-turut sebesar Rp 44

triliun (2016), Rp 74 triliun (2017), Rp 88,6

triliun (2018), Rp 103,7 triliun (2019).

Sementara Farouk Muhammad mengkalkula-

si bahwa pada 2017 minimum per desa akan

memperoleh pendapatan Rp 1,5 miliar atau

lebih (Muhammad, 2015: 6).

1 Informasi disampaikan oleh Direktur Bina Pemerintahan Desa Eko Prasetyanto pada diskusi terbatas yang dilakukan Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara di Jakarta, 26 Juni 2015. Perkiraan ini menjadi kenyataan karena dalam pidatonya saat Sidang Paripurna Pembukaan Masa Sidang 1 DPR, 14 Agustus 2015, Presiden menyampaikan RUU APBN Tahun Anggaran 2016 di mana pos dana desa dialokasikan sebesar Rp 47 triliun (Kompas, 15 Agustus 2015).

Page 4: Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 19

Jumlah pendapatan yang diterima desa,

baik pada tahun ini dan terlebih di tahun-

tahun mendatang, dengan demikian dapat

dikatakan cukup besar. Hal ini menimbulkan

kekhawatiran mengenai kesiapan desa dalam

menggunakan dana tersebut secara bertang-

gungjawab dan berkeadilan. Banyak kala-

ngan yang skeptis dan meremehkan kemam-

puan desa. Pengamat ekonomi Didik J. Rach-

bini misalnya, mengatakan bahwa kebijakan

dana desa bak memberi uang dari langit ke

kerumunan massa di mana masyarakat akan

saling berebut dan bertengkar untuk menda-

patkan uang itu. Birokrasi desa menurutnya

tak punya tradisi akuntabilitas

(http://www.koran-

sindo.com/read/964587/149/salah-kelola-

dana-desa-bisa-jadi-sumber-konflik-

1423968895, diakses 9 Juli 2015).

Karena khawatir bahwa dana desa dapat

menjadi jebakan yang menjerat kepala desa

untuk korupsi, baik secara sengaja maupun

tidak sengaja akibat ketidaktahuan akan

mekanisme pengelolaan dan pertanggungja-

waban anggaran, maka berbagai pihak pun

menyerukan solusi, misalnya dengan usulan

agar pada masa transisi (tahun pertama dan

kedua) pemerintah dan penegak hukum

jangan terlalu kaku dalam menerapkan

pengawasan dan penegakan hukum, harus

ada langkah persuasif jika pelanggaran

sifatnya administratif (Muhammad, 2015: 6).

Ada juga usulan untuk mempertanggungja-

wabkan dana desa cukup dengan bukti yang

menunjukkan dana telah masuk ke rekening

kas desa (RKD) dengan memperlakukan dana

itu sebagai anggaran dalam kelompok mata

anggaran kegiatan (MAK) bantuan sosial.

Selanjutnya, urusan selesai begitu dana

diterima desa (Padjung, 2015: 7).

Kementerian yang mengurusi desa juga

melakukan berbagai upaya untuk mencegah

dana desa disalahgunakan atau dikelola

dengan tidak mengikuti kaidah yang benar.

Dalam pernyataannya, Menteri Dalam Negeri

(Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan bah-

wa pihaknya berkoordinasi dengan Kemen-

des PDTT telah melatih para aparat desa se-

cara terpadu mengenai tata kelola dan siste-

matika dalam membuat laporan penggunaan

keuangan desa secara benar. Kemendagri

juga akan memberikan pelatihan kepada ke-

pala desa dan aparat desa untuk peningkatan

kapasitas dalam penyusunan anggaran dan

pengelolaan anggaran. Satu desa minimal

mengirimkan tiga perwakilan sehingga

seluruhnya ada 273.000 orang yang akan

ditingkatkan kapasitasnya. Selain itu, Menda-

gri juga telah meminta Badan Pemeriksa Keu-

angan (BPK) selaku pihak yang akan mengau-

dit dana desa secara langsung agar mengizin-

kan penyederhanaan pelaporan keuangan

bagi desa sehingga dalam membuat laporan

tidak perlu tebal-tebal, cukup satu lembar

saja (http://www.koran-

sindo.com/read/1012635/149/bpk-akan-

audit-anggaran-desa-1434331148, diakses

10 Juli 2015). Di sisi lain, Kemendes PDTT

menjalin kerjasama dengan Ikatan Akuntan

Indonesia (IAI) untuk pendampingan audit

dan pelaporan serta pelatihan administrasi

kepada aparat desa agar dana desa terkelola

secara akuntabel dan transparan

(http://www.sapa.or.id/b1/132-pmk/6838-

penanggulangan-kemiskinan-iai-dana-desa,

diakses 9 Juli 2015), selain juga menyiapkan

perekrutan untuk pendamping desa yang

dapat membantu pemerintah desa mengelola

keuangannya.

Namun, ada juga kalangan yang meyakini

bahwa desa telah siap menerima dan menge-

lola dana desa. Menurut Padjung, pengelola-

an uang dalam jumlah yang relatif besar

sesungguhnya bukan barang yang sama

sekali baru bagi desa. Kelompok masyarakat,

melalui Badan Keswadayaan Masyarakat dan

Unit Pengelola Kegiatan sudah biasa

mengelola bantuan langsung masyarakat.

Selama ini juga telah ada ADD yang

disalurkan langsung ke kas desa. Pengalaman

melalui Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan yang

telah menyentuh 67.108 desa juga telah

memberikan pembelajaran kepada masyara-

kat desa mengenai arti penting akuntabilitas

dan transparansi pengelolaan dana, termasuk

tentang pentingnya menempelkan fotokopi

rekening dan rincian penggunaan dana di

papan informasi (Padjung, 2015: 7). Sukas-

manto memberikan bukti lain bahwa desa

Page 5: Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

ARTIKEL

20 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

sesungguhnya mampu mengelola keuangan.

Pada tahun 2009, total jumlah pendapatan

yang diterima desa sebesar Rp 8,569 triliun.

Jumlah ini kemudian meningkat pada tahun

2010 menjadi Rp 10,612 triliun (Sukasmanto,

2014: 5). Hal ini menyiratkan bahwa desa

mampu mengelola dana dengan baik karena

bila tidak maka secara logis tidak mungkin

pendapatan yang diberikan kepadanya me-

ningkat.

Tulisan ini menyoroti isu pengelolaan

keuangan desa pasca-UU Desa berlaku. Tuju-

annya adalah untuk memberikan pemaham-

an secara komprehensif mengenai pengelola-

an keuangan desa, substansi peraturan yang

mengaturnya, potensi permasalahan, dan

solusi untuk menghindari problem yang

mungkin muncul. Untuk mencapai tujuan

tersebut, tulisan ini distrukturkan sebagai

berikut. Pertama, dipaparkan mengenai

keuangan desa secara rinci, mulai dari

peraturan yang menjadi landasannya dan

alur atau mekanisme pengelolaannya, mulai

dari awal sampai akhir. Dengan demikian,

pembaca dapat memahami kerangka legal,

aturan main, dan logika dari pengelolaan

keuangan desa secara menyeluruh. Selanjut-

nya, dipaparkan mengenai potensi risiko dari

pengelolaan keuangan desa yang dilihat dari

berbagai aspek, mulai dari tata laksana,

kelembagaan, regulasi, dan SDM. Pemahaman

atas risiko ini memampukan pembaca untuk

melihat celah yuridis, sosiologis, dan politis

dari konstruksi yang membentuk tatanan

pengelolaan keuangan desa. Bagian ini

banyak memanfaatkan hasil kajian yang telah

dibuat oleh berbagai lembaga. Selanjutnya,

dituliskan mengenai dua isu penting yang

menjadi kunci dan faktor determinan yang

secara krusial memengaruhi keberhasilan

pengelolaan keuangan desa dari sisi SDM,

yakni isu kompetensi kepala desa selaku

kuasa pengguna anggaran di desa dan isu

pendamping desa sebagai fasilitator yang

membantu segala permasalahan di desa,

termasuk pengelolaan keuangan.2 Tulisan

2Keberhasilan pengelolaan keuangan desa tentu tidak hanya ditentukan dari sisi SDM yang menjadi fokus dari tulisan ini, melainkan juga dipengaruhi oleh sisi sistem, di antaranya regulasi yang baik

diakhiri dengan penutup yang berisi

kesimpulan dan rekomendasi.

METODE

Data dan analisis yang menjadi bagian

dari hasil kajian ini didapatkan dengan

metode kajian pustaka (literary studies) dan

diskusi terbatas. Kajian pustaka dilakukan

dengan mempelajari UU dan berbagai

peraturan terkait lain yang berhubungan

dengan pengelolaan keuangan desa, juga

berbagai artikel dan tulisan yang membahas

mengenai isu tersebut. Sementara diskusi

terbatas dilakukan untuk mendapatkan data

primer yang relevan dengan isu pengelolaan

keuangan desa dengan mengundang nara-

sumber dari kalangan kementerian, SKPD,

dan kepala desa. Diskusi terbatas dilakukan

oleh Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lem-

baga Administrasi Negara (LAN) selama dua

kali kesempatan pada 26 Juni 2015 dan 9 Juli

2015 dengan peserta para peneliti di lingku-

ngan LAN.3

KEUANGAN DESA DAN PENGELOLAANNYA

Ihwal keuangan desa diatur dalam Pasal

71-75 UU Desa. Dalam Pasal 71 ayat (1),

dinyatakan bahwa “Keuangan Desa adalah

semua hak dan kewajiban Desa yang dapat

dinilai dengan uang serta segala sesuatu

berupa uang dan barang yang berhubungan

dengan pelaksanaan hak dan kewajiban

Desa.” Selanjutnya, pengaturan mengenai

keuangan desa dan hal lain yang terkait

(lengkap, jelas, dan tidak tumpang tindih) dan mekanisme pengawasan yang efektif, ketat, dan menyeluruh. Tentang hal ini, lihat Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara, 2015. 3 Diskusi terbatas tanggal 26 Juni 2015 menghadirkan narasumber Eko Prasetyanto (Direktur Bina Pemerintahan Desa Kemendagri) dan Tifna Purnama (Kepala Bidang Pembangunan Desa BPMPPD Kabupaten Tangerang), sedangkan diskusi terbatas 9 Juli 2015 menghadirkan narasumber Bito Wikantosa (Ditjen PPMD Kemendes PDTT), Beni Yusnandar (BPMPD Kabupaten Bekasi), dan Saidih (Kepala Desa Babelan Kota, Kabupaten Bekasi). Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak di Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN sebagai penyelenggara diskusi terbatas, terutama kepada Dr. Basseng.

Page 6: Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 21

dengannya dijabarkan lebih lanjut dalam

berbagai peraturan, di antaranya PP No. 43

Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, PP No. 60

Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersu-

mber dari APBN, PP No. 22 Tahun 2015

tentang Perubahan atas PP No. 60 Tahun

2014, PP No. 47 Tahun 2015 tentang Peru-

bahan atas PP No. 43 Tahun 2014, Permen-

dagri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelola-

an Keuangan Desa, Permenkeu No.

241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan

Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan

Dana Desa, Permenkeu No. 250/PMK.07/-

2014 tentang Pengalokasian Transfer ke

Daerah dan Dana Desa, Permenkeu No.

93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalo-

kasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantau-

an, dan Evaluasi Dana Desa, dan Permendes

PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Prioritas

Penggunaan Dana Desa.

Mengenai pendapatan desa, seturut Per-

mendagri No. 113 Tahun 2014 Bab IV Bagian

Kesatu (Pasal 9-11), dinyatakan bahwa

pendapatan desa terdiri atas tiga elemen,

yakni 1) PAD (yang terdiri atas hasil usaha;

hasil aset; swadaya, partisipasi, dan gotong-

royong; dan lain-lain PAD); 2) transfer

(terdiri atas dana desa; PDRB; ADD; bantuan

keuangan APBD provinsi; dan bantuan

keuangan APBD kabupaten/kota); dan 3)

pendapatan lain-lain (terdiri atas hibah dan

sumbangan dari pihak ketiga yang tidak

mengikat dan lain-lain pendapatan desa yang

sah).

Terkait dengan nomenklatur jenis-jenis

pendapatan desa di atas, perlu dicatat bahwa

Permendagri No. 113 Tahun 2014 membeda-

kan antara dana desa dengan ADD. Dana desa

adalah dana yang bersumber dari APBN yang

diperuntukkan bagi desa yang ditransfer me-

lalui APBD kabupaten/kota dan digunakan

untuk membiayai penyelenggaraan pemerin-

tahan, pelaksanaan pembangunan, pembina-

an kemasyarakatan, dan pemberdayaan

masyarakat. Sementara itu, dinyatakan bah-

wa ADD adalah dana perimbangan yang dite-

rima kabupaten/kota dalam APBD kabupa-

ten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khu-

sus (DAK). Pembedaan ini sesungguhnya

tidak dikenal dalam UU Desa sehingga berpo-

tensi menimbulkan kebingungan dan kesa-

lahpahaman meskipun istilah ADD sebenar-

nya pernah muncul dan diatur dalam PP No.

72 Tahun 2005 tentang Desa. Agusta memba-

ca bahwa pembedaan kedua jenis dana

tersebut bermotif politik, yakni sebagai upa-

ya Kemendagri mengamankan dana desa

sesuai peruntukannya, yakni untuk pemerin-

tahan, pembangunan, pembinaan, dan pem-

berdayaan. Dengan demikian, Kemendagri

yang menangani urusan pemerintahan masih

mempunyai ruang yang luas untuk bekerja

karena dana desa tidak melulu dititikberat-

kan pada urusan pembangunan dan pember-

dayaan masyarakat sesuai ketentuan Per-

mendes PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Pe-

netapan Prioritas Penggunaan Dana Desa

(Agusta, 2015a: 7). Argumen ini, bagaimana-

pun, terlalu tipis kekuatannya mengingat Pa-

sal 19 ayat (2) PP No. 60 Tahun 2014 sudah

mengunci bahwa dana desa memang harus

diprioritaskan untuk membiayai pembangun-

an dan pemberdayaan masyarakat.

Terlepas dari masalah tersebut, dana desa

dalam pengertian keseluruhan rupa-rupa

pendapatan desa yang dikelola dalam APB-

Des harus dikelola secara transparan, akun-

tabel, partisipatif serta dilakukan dengan ter-

tib dan disiplin anggaran (Pasal 2 Permenda-

gri No. 113 Tahun 2014). Karena bersumber

dari negara, maka pengelolaannya harus

mengikuti aturan main yang berlaku terkait

pengelolaan dana publik. Dalam Permendagri

No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan

Keuangan Desa, ihwal pengelolaan dan desa

telah diatur dalam Bab V. Di dalamnya, diatur

bahwa pengelolaan dana desa terdiri atas

lima hal, yakni perencanaan, pelaksanaan,

penatausahaan, pelaporan, dan pertanggung-

jawaban.

Jika ditilik mulai dari hulu, pengelolaan

keuangan desa dimulai dari perencanaan.

Pertama kali diadakan musyawarah desa

yang diselenggarakan oleh Badan Permusya-

waratan Desa (BPD) untuk membahas hal-hal

yang sifatnya strategis (lihat Pasal 54 UU

Desa). Kemudian, hasil musyawarah desa

berupa perencanaan pembangunan desa

ditindaklanjuti dengan musyawarah pemba-

Page 7: Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

ARTIKEL

22 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

ngunan perencanaan desa (musrenbangdes)

yang diselenggarakan kepala desa dan pe-

rangkatnya. Musren-bangdes inilah yang me-

mbahas mengenai Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Desa (RPJMDes) tiap enam

tahun sekali dan Rencana Kerja Pemerintah

Desa (RKPDes) serta APBDes tiap setahun se-

kali. Setelah Raperdes tentang APBDes dise-

pakati bersama oleh kepala desa dan BPD

paling lambat bulan Oktober dan hasil eva-

luasi dari bupati/walikota atau camat (yang

mendapat delegasi untuk mengevaluasi Ra-

perdes APBDes) menyatakan bahwa Raper-

des APBDes tidak bertentangan dengan ke-

pentingan umum dan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, APBDes dapat

ditetapkan.

Sebelum desa dapat menerima pencairan

dana desa, terlebih dahulu kabupaten/kota

harus mengesahkan APBD kabupaten/kota

dan peraturan bupati/walikota mengenai

tata cara pembagian dan penetapan besaran

dana desa (Pasal 17 ayat (1) PP No. 60 Tahun

2014 dan Pasal 16 ayat (2) Permenkeu No.

93/PMK.07/2015). Sebelum peraturan bupa-

ti/walikota itu dibuat, desa menyelesaikan

terlebih dahulu APBDes-nya. Keharusan ada-

nya peraturan kepala daerah tersebut seba-

gai indikasi bahwa kabupaten telah siap

untuk menyalurkan dana sesuai peraturan.

Per 1 Juli 2015, masih ada 16 kabupaten/

kota yang belum menerima pencairan dana

desa tahap pertama senilai Rp 8,306 triliun

karena belum menyerahkan persyaratan

tersebut, di antaranya Kabupaten Biak Num-

for, Kabupaten Merauke, Kabupaten Paniai,

Kabupaten Sarmi, Kabupaten Tolikara, Kabu-

paten Waropen, Kabupaten Supiori, Ka-

bupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Mam-

beramo Tengah, Kabupaten Puncak, Kabu-

paten Teluk Bintuni, Kabupaten Bekasi, Ka-

bupaten Majalengka, Kota Batu, Kabupaten

Kepahiang, dan Kabupaten Konawe (Kompas,

2 Juli 2015).4

4 Menurut Eko Prasetyanto, keterlambatan penyerahan dokumen tersebut disebabkan karena beberapa hal, di antaranya terlambatnya revisi PP No. 60 tahun 2014 yang memuat pengubahan formula pembagian dana desa sehingga membuat daerah harus menghitung ulang alokasi dana desa

Penggunaan dana desa dikelola oleh pe-

merintah desa melalui kuasa kepala desa dan

digunakan sesuai RPJMDes, RKPDes, dan AP-

BDes. Adapun laporan realisasi pelaksanaan

APBDes disampaikan kepala desa kepada

bupati/walikota berupa laporan semester

pertama yang harus disampaikan paling

lambat akhir bulan Juli dan laporan semester

akhir tahun paling lambat pada akhir bulan

Januari tahun berikutnya (Pasal 37 Permen-

dagri No. 113 Tahun 2014). Selain pelaporan,

kepala desa juga harus menyampaikan

laporan pertanggungjawaban realisasi pelak-

sanaan APBDes dalam bentuk peraturan desa

kepada bupati/walikota setiap akhir tahun

anggaran (Pasal 38 Permendagri No. 113

Tahun 2014).

Lalu, siapa yang mengawasi pengelolaan

keuangan desa? Pengawasan memegang pe-

ranan penting dalam memastikan agar pe-

ngelolaan dana desa berjalan dengan akun-

tabel, transparan, dan partisipatif demi ke-

maslahatan umum masyarakat desa. Penga-

wasan yang ketat, terkontrol, profesional,

dan berintegritas menjadi prasyarat penting.

Pengelolaan keuangan desa sesungguhnya

diawasi secara berlapis oleh banyak pihak.

Pada Pasal 44 Permendagri No. 113 Tahun

2014 disebutkan bahwa “Pemerintah Kabu-

paten/Kota membina dan mengawasi pelak-

sanaan pengelolaan keuangan desa.” Dalam

hal ini, Inspektorat Daerah akan berperan

penting sebagai leading institution ihwal pe-

ngawasan pengelolaan keuangan desa. Se-

mentara di tingkat pusat, BPK dan Badan Pe-

ngawasan Keuangan dan Pembangunan (BP-

KP) juga akan mengawasi pengelolaan keu-

angan desa secara sampling. Dana desa

menjadi ranah pengawasan mereka karena

untuk daerahnya, sebagian daerah adalah daerah otonom baru, dan bupati atau kepala desanya digantikan oleh pejabat sementara sehingga masih memerlukan waktu untuk memahami peraturan. Sementara itu, Beni Yusnandar dari BPMPD Kabupaten Bekasi mengatakan bahwa daerahnya sengaja tidak mengeluarkan perbup karena menunggu keluarnya Permenkeu No. 93/PMK.07/2015 agar penghitungan yang dilakukan dalam perbup mempunyai landasan hukum yang kokoh dan jelas. Sejak 8 Juli 2015, dana desa sudah masuk ke rekening kabupaten.

Page 8: Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 23

dana desa adalah uang negara yang bersum-

ber dari APBN sehingga pengelolaannya

harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan

kaidah yang berlaku. Untuk memantau pelak-

sanaan pembinaan dan pengawasan dana

desa, pemerintah pusat juga telah mem-

bentuk tim pengendali dana desa yang bera-

nggotakan pejabat lintas kementerian

(http://www.koran-

sindo.com/read/1005329/149/penyerapan-

dana-desa-baru-rp3-8-t-riliun-1432609180,

diakses 10 Juli 2014).

POTENSI PROBLEMATIK PENGELOLAAN

KEUANGAN DESA

Sebagaimana telah disinggung sebelum-

nya, para pengamat terbelah dalam penilai-

annya atas pembagian dana desa, yakni me-

reka yang percaya bahwa dana desa dalam

jumlah yang besar belum tepat diberikan ke-

pada desa saat ini dan mereka yang percaya

bahwa desa telah mampu mengelola dana

desa dengan baik dan benar. Menurut Sofyan

Sjaf, keterbelahan tersebut berkaitan dengan

paradoks dari ketentuan mengenai dana desa

tersebut. Ada tiga paradoks yang diidentifi-

kasinya (Sjaf, 2015: 7). Pertama, pemberian

dana desa menciptakan birokratisasi alih-alih

pemberdayaan desa. Beberapa peraturan

yang mengatur dana desa dipandang sebagai

bentuk birokratisasi baru karena terlalu me-

ngatur secara teknis dan prosedural hal-hal

seperti dasar alokasi dana desa, pengelolaan

dan pertanggungjawaban dana desa, priori-

tas penggunaan dana desa, pendirian Badan

Usaha Milik Desa (BUMDes), dan sebagainya.

Makna pemberdayaan desa yang menjadi in-

tensi normatif dari UU Desa menjadi poten-

sial terlupakan. Sejatinya, apa yang lebih sub-

stantif adalah penguatan pengetahuan aparat

dan warga desa dalam pengambilan keputu-

san penggunaan dana desa sesuai kebutuhan

dan kondisi yang dihadapi desa, juga monito-

ring serta evaluasi penggunaan dana desa

yang partisipatif melibatkan warga desa.

Pada titik ini, paradigma “membangun desa”

yang bernuansa top-down menjadi terasa

lebih dominan daripada paradigma “desa me-

mbangun” yang lebih bottom-up sifatnya.

Kedua, dana desa meretas kesenjangan

struktural antara negara dengan desa tetapi

menciptakan kesenjangan antarwilayah, atau

lebih tepatnya kesenjangan antarpulau. Dari

Rp 20,766 triliun dana desa yang didistribu-

sikan tahun ini, 61,49 persennya alias lebih

dari separuh berada di Pulau Jawa dan Suma-

tra. Sisanya berada di Pulau Kalimantan (8,73

persen), Sulawesi (11,44 persen), Bali dan

Nusa Tenggara (6,26 persen), serta Maluku

dan Papua (12,08 persen). Ini terjadi karena

dana desa setiap kabupaten/kota dihitung

berdasarkan jumlah desa (Pasal 11 ayat (1)

PP No. 22 tahun 2015), dan jumlah desa tidak

berbanding lurus dengan luas pulau. Di Jawa

ada 22.400 desa dan di Sumatra 20.910 desa.

Artinya, dua per tiga jumlah desa berada di

kedua pulau tersebut.5

Padahal, sesungguhnya desa yang terting-

gal lebih banyak berada di luar kedua pulau

ini sehingga dana desa seharusnya lebih

banyak terdistribusi di luar keduanya.

Dengan fakta ini, maka problem pemerataan

masih belum dapat diatasi.

Ketiga, perencanaan desa tidak sesuai

antara harapan dan kenyataan. Dokumen

yang disyaratkan untuk pencairan dana desa

seperti RPJMDes dan RKPDes tidak disusun

secara partisipatif dan transparan. Karena

keterburu-buruan, dokumen tersebut dibuat

secara elitis, tidak jarang menggunakan jasa

konsultan, sehingga hanya segelintir warga

desa yang mengetahuinya. Ini tentu berten-

tangan dengan harapan pemerintah bahwa

perencanaan desa hendaknya dilakukan se-

cara partisipatif, akuntabel, dan transparan.

Eksesnya, apa yang tertuang dalam dokumen

perencanaan juga belum tentu sesuai dengan

kebutuhan aktual masyarakat desa.

Berbagai paradoks di atas membuka tili-

kan kepada proposisi bahwa pengelolaan

dana desa rentan disalahgunakan. Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kaji-

annya menemukan 14 persoalan dana desa

yang berpotensi menjadi korupsi yang

terbagi dalam empat aspek, yakni regulasi

5Informasi dari Eko Prasetyanto dalam diskusi terbatas 26 Juni 2015.

Page 9: Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

ARTIKEL

24 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan,

dan sumber daya manusia

(http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-

pers/2731-kpk-temukan-14-potensi-

persoalan-pengelolaan-dana-desa, diakses 7

Juli 2015).

Pada aspek regulasi dan kelembagaan,

persoalan tersebut antara lain: 1) belum

lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pe-

laksanaan yang diperlukan dalam pengelo-

laan keuangan desa; 2) potensi tumpang tin-

dih kewenangan antara Kemendes PDTT dan

Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri;

3) formula pembagian dana desa dalam PP

No. 22 Tahun 2015 yang tidak cukup trans-

paran dan hanya didasarkan atas pemerata-

an; 4) pengaturan pembagian penghasilan

tetap bagi perangkat desa dari ADD dalam PP

No. 43 Tahun 2014 yang kurang adil; dan 5)

kewajiban penyusunan laporan pertanggung-

jawaban oleh desa tidak efisien akibat

ketentuan regulasi yang tumpang tindih.

Pada aspek tata laksana, terdapat lima

persoalan, antara lain: 1) kerangka waktu si-

klus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi

oleh desa; 2) satuan harga baku barang/jasa

yang dijadikan acuan bagi desa dalam me-

nyusun APBDes belum tersedia; 3) transpa-

ransi rencana penggunaan dan pertanggung-

jawaban APBDes masih rendah; 4) laporan

pertanggungjawaban yang dibuat desa belum

mengikuti standar dan rawan manipulasi,

salah satunya disebabkan karena ketidakjela-

san sistem akuntansi yang akan dipakai; ser-

ta 5) APBDes yang disusun tidak sepenuhnya

menggambarkan kebutuhan yang diperlukan

desa karena penyusunan tidak dilakukan

secara partisipatif.

Sementara pada aspek pengawasan, ter-

dapat tiga potensi persoalan, yakni 1) efekti-

vitas inspektorat daerah dalam melakukan

pe-ngawasan terhadap pengelolaan keuang-

an di desa masih rendah; 2) saluran pengadu-

an masyarakat tidak dikelola dengan baik

oleh semua daerah dan mekanisme pengadu-

annya tidak jelas; dan 3) ruang lingkup

evaluasi dan pengawasan yang dilakukan

oleh camat belum jelas.

Sedangkan pada aspek sumber daya

manusia, terdapat potensi persoalan berupa

tenaga pendamping yang berpotensi melaku-

kan korupsi dengan memanfaatkan lemahnya

pengetahuan aparat desa. Hal ini berkaca pa-

da program sejenis sebelumnya, PNPM Per-

desaan, di mana tenaga pendamping yang

seharusnya berfungsi membantu masyarakat

dan aparat desa justru melakukan korupsi

dan kecurangan.

Sebuah lembaga swadaya masyarakat

(LSM), Forum Indonesia untuk Transparansi

Anggaran (FITRA), juga melakukan kajian

yang serupa dengan KPK. Dalam kajian

FITRA, terdapat enam potensi penyimpangan

dana desa, di antaranya: 1) adanya mafia

anggaran dari pusat dan kabupaten; 2) dana

desa dipakai untuk anggaran pilkada seren-

tak yang tidak teralokasi di APBD; 3) peng-

gunaan dana desa tidak sesuai peruntukan di

desa; 4) aset desa tidak terinventarisir

dengan baik; 5) ketidakmampuan adminis-

trasi dan rumitnya pertanggungjawaban yang

berdampak pada potensi penyalahgunaan

wewenang dan melanggar hukum; dan 6)

minimnya pengawasan dari masyarakat dan

pendamping (Kompas, 3 Juli 2015).

Dari berbagai kajian mengenai risiko

pengelolaan dana desa di atas, ada beberapa

hal yang patut dicatat. PP No. 47 Tahun 2015

telah mengatur ulang mengenai pembagian

penghasilan tetap bagi perangkat desa dari

ADD. Ketentuan tersebut dalam PP No. 43

Tahun 2014 menurut KPK kurang adil, di

mana disebutkan dalam Pasal 81 ayat (2)

bahwa penghasilan tetap kepala desa dan

perangkat desa bagi desa yang ADD-nya

kurang dari Rp 500 juta maksimal 60 persen,

kalau Rp 500-700 juta maksimal 50 persen,

kalau Rp 700-900 juta maksimal 40 persen,

dan kalau di atas Rp 900 juta maksimal 30

persen. Ini kemudian direvisi dalam Pasal 81

ayat (2) PP No. 47 Tahun 2015 menjadi: ADD

sampai dengan Rp 500 juta maksimal 60

persen, ADD Rp 500-700 juta maksimal 50

persen dengan nominal minimal Rp 300 juta,

ADD Rp 700-900 juta maksimal 40 persen

dengan nominal minimal Rp 350 juta, dan

ADD di atas Rp 900 juta maksimal 30 persen

dengan nominal minimal Rp 360 juta. Keten-

Page 10: Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 25

tuan ini kemudian dikunci lebih lanjut pada

pasal 100 ayat (2) PP No. 47 Tahun 2015, di

mana disebutkan bahwa paling banyak 30

persen dari APBDes digunakan untuk

penghasilan tetap dan tunjangan kepa-la desa

dan perangkat desa, operasional pe-merintah

desa, tunjangan dan operasional BPD, dan

insentif rukun tetangga (RT) dan rukun

warga (RW).

Kemudian, terkait dengan formula pem-

bagian dana desa juga diadakan perubahan

seiring dengan hadirnya PP No. 22 Tahun

2015 menggantikan PP No. 60 Tahun 2014.

KPK menilai bahwa formulasi penentuan

besaran dana desa per kabupaten/kota pada

PP No. 22 Tahun 2015 tidak adil karena lebih

condong didasarkan pada pertimbangan pe-

merataan, dengan alokasi dasar sebesar 90

persen dibagi secara merata kepada setiap

desa (rata-rata Rp 280 juta) dan hanya 10

persen sisanya yang memperhitungkan

variabel jumlah penduduk, angka kemiskin-

an, luas wilayah, dan indeks kesulitan geo-

grafis (IKG). Maka tak heran apabila jumlah

dana yang diterima setiap desa dalam satu

kabupaten tidak jauh berbeda, padahal kon-

disi demografis, geografis, dan sosiologis an-

tara desa satu dengan yang lain bisa jadi

sangat berbeda. Namun, sesungguhnya aloka-

si dasar sebesar 90 persen yang dibagi secara

merata tersebut sesungguhnya hanya berla-

ku untuk tahun 2015 saja (lihat Pasal 29 PP

No. 22 tahun 2015). Menurut keterangan Eko

Prasetyanto, hal tersebut dilakukan demi

pertimbangan kepraktisan karena dikejar

waktu. Kemendagri bersama dengan Kemen-

terian Keuangan (Kemenkeu) dan kementeri-

an terkait tidak sanggup untuk menghitung

dana desa untuk lebih dari 74 ribu desa

sesuai formula yang ditetapkan PP No. 60

Tahun 2014 sebelum pencairan tahap

pertama dilakukan. Data yang paling susah

adalah data yang menyangkut IKG.

KOMPETENSI KEPALA DESA SEBAGAI

PENJAMIN PENGELOLAAN KEUANGAN

DESA YANG BAIK.

Kepala desa memegang peranan penting

dalam pengelolaan keuangan desa karena dia

merupakan pemegang kekuasaan pengelola-

an keuangan desa (Pasal 3 ayat (1) Permen-

dagri No. 113 Tahun 2014). Dengan posisinya

tersebut, dia memiliki kewenangan yang luas,

antara lain: menetapkan kebijakan tentang

pelaksanaan APBDes; menetapkan Pelaksana

Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD)

yang terdiri atas sekretaris desa, kepala

seksi, dan bendahara; menetapkan petugas

yang melakukan pemungutan penerimaan

desa; menyetujui pengeluaran atas kegiatan

yang ditetapkan dalam APBDes; dan

melakukan tindakan yang mengakibatkan

pengeluaran atas beban APBDes (Pasal 3 ayat

(2) Permendagri No. 113 Tahun 2014).

Jelaslah di sini bahwa kepala desa

menjadi tumpuan utama untuk memastikan

apakah pengelolaan keuangan desa sudah

dijalankan sesuai dengan asas-asas dan

prinsip-prinsip yang ditentukan. Apakah ke-

pala desa sanggup menanggung tanggungja-

wabnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut

bisa saja beragam mengingat kualitas kepala

desa berbeda di desa satu dengan yang lain.

Dalam diskusi terbatas yang diadakan Pusat

Inovasi Tata Pemerintahan LAN pada tanggal

26 Juni 2015, salah satu narasumber yaitu

Kepala Bidang Pembangunan Desa BPMPPD

Kabupaten Tangerang Tifna Purnama mem-

berikan kesaksian bahwa banyak kepala desa

di Kabupaten Tangerang yang kualitasnya di

bawah standar. Ada kepala desa yang korup

(menggunakan ADD untuk menutup hutang

kampanye pemilihan kepala desa), berkonflik

terus dengan BPD sehingga telat atau gagal

menghasilkan APBDes dan perdes lainnya,

tidak paham perencanaan, bahkan ada yang

buta huruf.

Salah satu hal yang ditengarai menjadi

muara dari banyaknya kepala daerah yang

tidak kompeten adalah ketentuan yang ter-

maktub dalam Permendagri No. 112 Tahun

2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Peratu-

ran tersebut tidak memberikan persyaratan

kompetensi bagi calon kepala desa menyang-

kut hal-hal substantif seperti memahami

(setidaknya secara teoretis) manajemen

kepemimpinan desa, manajemen pengelolaan

keuangan, perencanaan pembangunan desa,

dan sebagainya. Pasal 21 hanya memuat per-

syaratan yang sifatnya normatif dan adminis-

Page 11: Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

ARTIKEL

26 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

tratif seperti bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, memegang teguh dan mengamal-

kan Pancasila, berpendidikan paling rendah

tamat sekolah menengah pertama (SMP) atau

sederajat, berusia paling rendah 25 tahun

pada saat mendaftar, terdaftar sebagai pen-

duduk dan bertempat tinggal di desa setem-

pat paling kurang satu tahun sebelum pen-

daftaran, tidak sedang menjalani hukuman

pidana penjara, berbadan sehat, tidak pernah

sebagai kepala desa selama tiga kali masa

jabatan, dan sebagainya.

Dengan persyaratan seperti di atas, tentu

tidak ada jaminan bahwa calon-calon kepala

desa yang lulus seleksi merupakan orang-

orang dengan kualitas dan kapasitas mumpu-

ni.6

Seharusnya, kepala desa dituntut dan di-

persyaratkan untuk memiliki kompetensi

dalam hal teknis dan manajerial terkait pe-

nyelenggaraan pemerintahan desa agar dana

desa dapat dioptimalkan sebaik mungkin

untuk peningkatan kesejahteraan masyara-

kat dengan tanpa mengorbankan kualitas pe-

ngelolaannya. Seiring dengan titik berat pem-

bangunan yang semakin bertumpu kepada

desa, seharusnyalah persyaratan untuk pen-

calonan kepala desa juga ditingkatkan kuali-

fikasinya.

Penjaringan calon kepala desa yang ber-

kualitas sedikit banyak akan ditentukan oleh

masyarakat desa itu sendiri. Setiap masyara-

kat mendapatkan pemimpin yang pantas dia

dapatkan. Jika dinamika dan tatanan masya-

rakat desa berkembang secara organis dan

demokratis, maka akan muncul pemimpin-

6 Terkait dengan syarat pencalonan kepala desa yang cukup berpendidikan SMP diakui menjadi masalah di Kabupaten Bekasi. Salah satu narasumber dalam diskusi terbatas 9 Juli 2015 menyatakan bahwa lebih dari 30 persen kepala desa di Bekasi merupakan lulusan SMP, dan keterbatasan pendidikan tersebut membuat mereka tidak dapat memahami manajemen penyelenggaraan pemerintahan desa dengan baik. Pihaknya pernah ingin membuat peraturan daerah yang mensyaratkan pendidikan minimal kepala desa adalah SMA, namun hal itu terbentur oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi, yakni Permendagri No. 112 tahun 2014.

pemimpin alamiah yang bijak sekaligus kom-

peten. Sebaliknya, jika masyarakat tersebut

telah diinfiltrasi oleh nilai-nilai yang merusak

modal sosialnya seperti individualisme, kese-

rakahan, pemaksaan, dan kekerasan, maka

akan sulit untuk mengharapkan lahirnya ca-

lon-calon pemimpin asli yang berkualitas.

PENDAMPING DESA SEBAGAI AGEN

PEMBERDAYA

Pendampingan desa merupakan aspek la-

in yang berperan krusial dalam menentukan

terjaminnya pengelolaan keuangan desa se-

cara transparan, akuntabel, dan partisipatif.

Pasal 128 ayat (2) PP No. 43 Tahun 2014

menyebutkan bahwa pendampingan masya-

rakat desa dilaksanakan oleh satuan kerja pe-

rangkat daerah (SKPD) kabupaten/kota dan

dapat dibantu oleh tenaga pendamping pro-

fesional, kader pemberdayaan masyarakat

desa, dan/atau pihak ketiga. Sementara itu,

ayat 3 pasal yang sama menyebutkan bahwa

camat atau sebutan lain melakukan koor-

dinasi pendampingan masyarakat desa di

wilayahnya. Ini artinya, pendampingan dapat

dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari

pemerintah, masyarakat, dan bahkan swasta.

Pendampingan oleh jajaran pemerintah diko-

ordinasikan oleh Kemendagri dan pendam-

pingan oleh masyarakat dikoordinasikan Ke-

mendes PDTT.

Menarik untuk disoroti di sini adalah

tugas pendampingan yang dilaksanakan oleh

masyarakat. Pendamping desa merupakan

aktor di tingkat masyarakat yang berperan

penting dalam mengawal pengelolaan keu-

angan desa. Mereka melakukan fasilitasi un-

tuk pemerintah dan masyarakat desa agar

kegiatan pemerintahan, pembangunan, pem-

berdayaan, dan kemasyarakatan dapat ber-

jalan dengan efektif demi percepatan pening-

katan kesejahteraan masyarakat desa. Per-

mendes PDTT No. 3 Tahun 2015 tentang Pen-

dampingan Desa telah mengatur dengan rinci

mengenai pendamping desa ini, di antaranya

tujuan pendampingan desa, ruang lingkup

pendampingan desa, tugas pendamping desa,

manajemen pendampingan desa, dan penda-

naannya. Di dalamnya disebutkan bahwa tu-

juan pendampingan desa meliputi: a) me-

Page 12: Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 27

ningkatkan kapasitas, efektivitas dan akunta-

bilitas pemerintahan desa dan pembangunan

Desa; b) meningkatkan prakarsa, kesadaran

dan partisipasi masyarakat Desa dalam

pembangunan desa yang partisipatif; c)

meningkatkan sinergi program pembangun-

an Desa antarsektor; dan d) mengoptimalkan

aset lokal Desa secara emansipatoris (Pasal 2

Permendes PDTT No. 3 Tahun 2015). Ada

pun pendamping desa terdiri atas tenaga

pendamping profesional (yang terdiri atas

pendamping desa yang berkedudukan di

kecamatan, pendamping teknis yang berke-

dudukan di kabupaten, dan tenaga ahli pem-

berdayaan masyarakat yang berkedudukan

di pusat dan provinsi), kader pemberdayaan

masyarakat desa yang berkedudukan di desa

dan diperoleh melalui mekanisme musya-

warah desa, dan pihak ketiga (terdiri dari

LSM, perguruan tinggi, organisasi masyara-

kat, dan perusahaan).

Pendamping desa profesional memiliki

tugas dalam ruang lingkup yang luas, di mana

fasilitasi dan bimbingan pengelolaan keuang-

an hanya salah satu di antaranya, meskipun

hal itu tak disebutkan secara ekplisit di

dalam Permendes PDTT No. 3 tahun 2015.7

Rekrutmen pendamping profesional dilaku-

kan secara terbuka. Mengingat tugas dan

tanggungjawabnya yang luas, maka wajar

bila ditetapkan bahwa mereka harus memili-

ki kualifikasi yang tinggi. Untuk pendamping

desa misalnya, disebutkan bahwa mereka

harus memiliki kompetensi yang sekurang-

kurangnya memenuhi unsur kualifikasi anta-

ra lain: memiliki pengetahuan dan kemampu-

an dalam pemberdayaan masyarakat; memi-

liki pengalaman dalam pengorganisasian ma-

syarakat desa; mampu melakukan pendam-

pingan usaha ekonomi masyarakat desa;

mampu melakukan teknik fasilitasi kelom-

pok-kelompok masyarakat desa dalam mu-

syawarah des; dan/atau memiliki kepekaan

terhadap kebiasaan, adat-istiadat, dan nilai-

nilai budaya masyarakat desa (Pasal 24

Permendes PDTT No. 3 tahun 2015). Khusus

untuk tenaga pendamping profesional, mere-

7 Tugas pendamping desa profesional secara rinci dapat dilihat dalam Bab II (Pasal 11-17) Permendes PDTT No. 3 tahun 2015.

ka bahkan harus memiliki sertifikasi kompe-

tensi yang diterbitkan oleh lembaga sertifi-

kasi profesi (Pasal 27 ayat (1)). Sebelum

terjun ke lapangan, tenaga pendamping

profesional juga diberikan pembekalan pe-

ningkatan kapasitas dalam bentuk pelatihan

(Pasal 28 ayat (1)). Dalam catatan Kemendes

PDTT, dibutuhkan lebih dari 44.030 pendam-

ping desa di tingkat kabupaten, kecamatan,

dan desa. Dari jumlah tersebut, 12.442 orang

merupakan eks fasilitator PNPM dan 31.558

sisanya merupakan tenaga baru lulusan sar-

jana dan pendamping lokal desa yang dire-

krut dari kalangan masyarakat desa sendiri.8

Meskipun telah diatur dalam suatu

instrumen kebijakan yang cukup ideal secara

normatif, namun bukan berarti isu pendam-

ping desa bebas dari masalah dan risiko. Sya-

rat kualifikasi yang tinggi bisa jadi terpaksa

dikompromikan mengingat kebutuhan akan

pendamping desa dalam jumlah yang banyak

perlu segera dilakukan, padahal jumlah calon

pendamping yang benar-benar kompeten

dan berpengalaman terbatas. Salah satu poin

dalam kajian KPK mengenai risiko pengelola-

an dana desa juga menyoroti mengenai pelu-

ang korupsi yang dilakukan oleh pendamping

desa. Dengan otoritas pengetahuan dan pe-

ngalamannya, mereka dapat memanipulasi

aparatur desa sehingga penggunaan dana

desa disetir sedemikian rupa untuk kepenti-

ngan pribadinya. Ada juga kekhawatiran bah-

wa pendamping desa menjadi lahan profesi

yang dijatahkan untuk kader partai politik

atau sukarelawan pendukung calon presiden

pemenang pemilu, dengan demikian mengor-

bankan tuntutan profesionalitas.

Keterpakuan berlebihan akan dimensi

profesionalitas pendamping desa juga harus

dijaga agar jangan sampai membawa kerja

pendampingan sebagai usaha yang melulu

bernapaskan teknokratis. Pengalaman dalam

program PNPM Mandiri Perdesaan dapat di-

petik sebagai pelajaran. Di luar cerita dan ci-

tra keberhasilan yang sering digembar-gem-

borkan pemerintah, sesungguhnya banyak

8 Informasi disampaikan Bito Wikantosa dari Kemendes PDTT dalam diskusi terbatas, 9 Juli 2015.

Page 13: Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

ARTIKEL

28 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

hal defektif yang berada di baliknya. Persen-

tase dana yang macet atau tidak bergulir

memang rendah, namun pembelajaran akan

pengembangan demokrasi dan pemberdaya-

an mandiri masyarakat desa rendah. Fasilita-

tor lebih banyak perperan sebagai perancang

yang mendikte alih-alih transformator. Dana

secara seragam lebih banyak dihabiskan un-

tuk pembangunan infrastruktur dengan sedi-

kit alokasi untuk kegiatan-kegiatan pember-

dayaan dan peningkatan produktivitas mas-

yarakat. Terjadi “eksploitasi warga lewat tira-

ni partisipasi” (Agusta, 2008) dengan me-

maksa warga membangun proyek secara

gotong-royong, padahal di sisi lain orang kota

mendapatkan fasilitas serupa secara gratis.

Dana yang berasal dari hutang lembaga do-

nor lebih banyak mengalir ke pendamping in-

ternasional, nasional, kabupaten, hingga ke-

camatan sehingga tak heran bahwa menurut

BPS, hanya 14 persen desa yang melaporkan

rumah tangga miskin mendapatkan manfaat

PNPM (Agusta, 2015b: 7). Lebih jauh, Carroll

(2010) secara kritis menilai bahwa program

PNPM mengintrodusir nilai-nilai good

governance (partisipasi, akuntabilitas) dan

kompetisi yang kompatibel dengan

neoliberalisme.

Dengan berpijak pada pengalaman terse-

but, ada yang khawatir bahwa pendampingan

desa akan terjebak pada logika yang sama,

yakni berorientasi teknokratis-birokratis.

Meminjam istilah James Ferguson (1990),

pendamping desa berpotensi menjadi “mesin

antipolitik” yang melakukan depolitisasi war-

ga, di mana hak warga desa akan edukasi po-

litik dan penguatan representasi politik di-

blok oleh rasionalitas instrumental (Eko,

2015: 7). Ini patut menjadi peringatan yang

diantisipasi dengan serius, mengingat sebagi-

an besar eks fasilitator PNPM Mandiri sejum-

lah 13 ribu orang yang kontraknya berakhir

pada 31 Desember 2014 inilah yang menjadi

pendamping desa dalam era UU Desa.9 Cara-

9 Bito Wikantosa dari Kemendes PDTT menginformasikan bahwa eks fasilitator PNPM Mandiri telah dimobilisasi sebagai pendamping desa pada awal Juli 2015. Jumlahnya yang berada di kecamatan 10.604 orang dan di tingkat kabupaten 1.834 orang.

cara dan paradigma lama mereka dalam me-

lakukan pendampingan dan fasilitasi harus

diubah. UU Desa mentransformasi dimensi

keproyekan ala PNPM menjadi lebih

tersistematisir dalam kerangka pembangun-

an desa yang holistik. Oleh karenanya, pen-

damping tidak boleh menyisihkan pemerin-

tah desa sebagaimana terjadi dalam PNPM,

melainkan mendudukkannya sebagai aktor

pembangunan bersama dengan warga

(Agusta, 2015b: 7).

PENUTUP

Dana desa menjadi tema yang paling

euforis sejak UU Desa disahkan. Wajar saja,

melalui dana desa, desa akan mendapatkan

dana dalam jumlah yang besar tanpa prese-

den. Berbagai kekhawatiran pun mencuat di

kalangan publik pada umumnya dan pemer-

hati desa pada khusunya. Sosiolog Viviana

Zelizer berpendapat bahwa uang dapat di-

maknai secara jamak dan cair. Cara dalam

mana masing-masing pihak memberikan

makna tertentu kepada uang disebutnya se-

bagai pencirian (earmarking) (Zelizer, 1994).

Pemerintah pusat yang mengalokasikan dana

desa dalam jumlah tertentu kepada desa

memandang uang tersebut sebagai instru-

men untuk membuat desa lebih sejahtera dan

otonom, anggota DPR memandang persetu-

juannya atas dana desa dalam APBN sebagai

modal politik yang dapat dipromosikan kepa-

da konstituen di desa bahwa dirinya adalah

pihak yang berjasa, demikian pula macam-

macam aktor yang berkecimpung di desa

akan memandang dana desa dalam pers-

pektifnya masing-masing, entah apakah itu

sebagai amanah, bonus cuma-cuma, peluang

mencari untung, dan sebagainya.

Uang dalam jumlah yang besar adalah

gula-gula, dan berbagai pihak dengan berba-

gai kepentingan pun bisa diprediksi akan

tertarik untuk masuk ke desa mendesakkan

kepentingannya. Uang yang banyak dikhawa-

tirkan dapat merusak pranata sosial dan bu-

daya yang berlaku di desa, menggerus modal

sosial melalui infiltrasi praktik-praktik kotor.

Beberapa desa di Jawa Timur misalnya, sebe-

lum menerima dana desa sudah melakukan

pengadaan laptop yang dananya ditalangi pe-

Page 14: Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 29

ngusaha setempat. Sementara di Sulawesi Se-

latan ada pengusaha menyumbang dana

kampanye pada pemilihan kepala desa agar

mendapat proyek pengadaan dari dana desa

(Kompas, 3 Juli 2015) dan di Bekasi ada desa

yang menerima sumbangan dua mobil ambu-

lans dari perusahaan sebelum dana desa

turun.10 Fenomena kolusi dan praktik perbu-

ruan rente (rent-seeking) yang selama ini

marak di pemerintah daerah pasca-desentra-

lisasi bisa jadi akan mengalir turun ke desa.

Pemilihan kepala desa juga diperkirakan

akan semakin sengit dan diintervensi oleh

politik uang dan manipulasi, antara lain kare-

na tergiur oleh dana desa yang besar. Jika ke-

pala desa yang terpilih memiliki kaitan

dengan partai politik, maka dana desa bisa

dikorupsi tidak saja untuk menutupi biaya

kampanye dan kepentingan pribadi namun

juga untuk “sumbangan” ke partainya.

Sebagai rekomendasi untuk mencegah

pengelolaan dana desa dapat dilakukan

dengan baik dan berintegritas, maka diperlu-

kan pencermatan atas poin-poin berikut. Per-

tama, berbagai peraturan yang mengatur ten-

tang dana desa mulai dari tingkat UU, PP,

Permen, Perda dan Perbup/Perwal harus

dicek keselarasan dan koherensinya. Jangan

sampai ada peraturan yang tumpang tindih

dan bertentangan dan jangan sampai ada pe-

raturan yang substansinya bukan menjadi

urusan dari pihak yang mengeluarkan pera-

turan. Dengan demikian, tidak akan ada ceri-

ta pelanggaran pengelolaan dana desa akibat

peraturan yang bertentangan atau tidak jelas.

Lebih jauh, peraturan tersebut juga hendak-

nya dievaluasi agar jangan terlalu restriktif

dan kaku (dengan tanpa mengorbankan

prinsip-prinsip tata kelola yang baik) karena

itu hanya akan memperluas birokratisasi dan

ujung-ujungnya ruang gerak desa menjadi

terbatas. Kemungkinan untuk perubahan

atau revisi juga harus dibuka setiap saat se-

bagai respons atas feedback dan dinamika

yang terjadi di lapangan, atau manakala pera-

turan yang ada di dalamnya tidak sesuai

dengan aspirasi otentik masyarakat desa. Ke-

sediaan pemerintah untuk merevisi PP No.

10 Informasi disampaikan Beni Yusnandar (BPMPD Kab. Bekasi) dalam diskusi terbatas 9 Juli 2015.

43 Tahun 2014 dan PP No. 60 Tahun 2014

merupakan contoh yang baik bahwa peme-

rintah mau mendengar aspirasi tersebut.11

Kedua, sistem pengawasan dan monev

yang tegas dan cermat perlu diterapkan. Saat

ini, pengelolaan dana desa dikawal dan dia-

wasi secara berlapis oleh banyak pihak, mulai

dari pemerintah pusat (melalui BPK dan

BPKP), pemerintah daerah (melalui Inspekto-

rat Daerah, BPKD), dan KPK. BPD hendaknya

juga melakukan penguatan dalam fungsi pe-

ngawasan internal, termasuk dalam hal pe-

ngelolaan keuangan desa. Semua pihak terse-

but harus memiliki kesamaan persepsi me-

ngenai apa yang dimaksud dengan penge-

lolaan keuangan desa yang baik dan benar. Di

luar lembaga-lembaga pemerintah tersebut,

masyarakat desa sendiri juga harus dibekali

dengan kesadaran kritis mengenai penting-

nya dana desa dikelola dengan transparan

dan akuntabel. Untuk itu, pendamping desa

dan organisasi masyarakat sipil harus aktif

memberikan pelatihan mengenai cara dan

strategi melakukan pengawasan. Penciptaan

model-model pengawasan yang efektif harus

diujicoba dengan seksama.

Ketiga, penguatan kapasitas dan kesada-

ran bagi aparatur desa mutlak diperlukan.

Kepala desa dan jajarannya perlu diberikan

pemahaman dan pelatihan mengenai hal ih-

wal pengelolaan keuangan desa, mulai dari

awal (perencanaan dan penganggaran) sam-

pai akhir (laporan pertanggungjawaban). Pe-

ran pendamping desa yang memfasilitasi

desa berperan krusial di sini. Mereka harus

mampu untuk melakukan transfer pengeta-

huan dan pembimbingan intensif. Selain itu,

pendamping pada aras pemerintahan supra-

11 Misalnya, Pasal 100 PP No. 47 Tahun 2015 menyebutkan bahwa perhitungan belanja desa yang ditetapkan dalam APBDes di luar pendapatan yang bersumber dari hasil pengelolaan tanah bengkok (atau sebutan lain). Hasil pengelolaan tanah bengkok dapat digunakan untuk tambahan tunjangan kepala desa dan perangkat desa selain penghasilan tetap dan tunjangan dari maksimal 30 persen APBDes. Ketentuan ini telah memenuhi aspirasi kepala desa yang khawatir bila pendapatan hasil pengelolaan tanah bengkok dimasukkan dalam perhitungan belanja desa maka pendapatannya akan berkurang.

Page 15: Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

ARTIKEL

30 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

desa juga harus mampu untuk melakukan

kerja peningkatan kapasitas dan pelatihan.

Untuk ini, salah satu hal yang dapat direko-

mendasikan adalah memperlengkapi keca-

matan dengan keberadaan tenaga fungsional

yang paham dalam aspek-aspek teknis dan

sektoral tata kelola desa (keuangan, teknik,

pengembangan usaha, pertanian, dan seba-

gainya), jadi tidak hanya diisi oleh staf admi-

nistrasi, agar pemerintah desa dapat berkon-

sultasi kepada kecamatan. Dalam perencana-

an pembangunan dan penganggaran yang ha-

sil akhirnya tertuang dalam RPJMDes, RKP-

Des, dan APBDes, aparat desa tidak cukup

hanya paham mengenai teknis mekanisme

pelaksanaannya, melainkan juga mampu un-

tuk melakukannya secara berkeadilan dan

demokratis, yakni disusun dengan benar-be-

nar memperhatikan kebutuhan aktual ma-

syarakat dan melibatkan partisipasi otentik

(bukan partisipasi semu dan mobilisasi) dari

masyarakat desa seluas-luasnya. Dengan de-

mikian, pembelanjaan desa dapat diaranse-

men agar mampu meningkatkan kesejahtera-

an, kemandirian, dan keberdayaan masyara-

kat desa. Untuk mencapai ini, peningkatan

kapasitas hanya akan melahirkan keahlian

teknis yang mekanis jika tidak diiringi

dengan perubahan kesadaran. Diperlukan

peningkatan kesadaran agar kepala desa dan

aparat benar-benar memahami bahwa dana

desa adalah amanah besar yang harus diper-

tanggungjawabkan secara akuntabel, bukan-

nya hadiah yang dapat digunakan secara be-

bas oleh elite desa.

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Jurnal, dan Artikel Agusta, Ivanovich, 2008, “Kritik Paradigma

PNPM Mandiri (Critique on Paradigm of PNPM Mandiri)”, dalam http://iagusta.blogspot.com/2008/11/kritik-paradigma-pnpm-mandiri-critique.html, diakses 10 Juli 2015.

_______________, 2015a, “Memandirikan Keuangan Desa”, Kompas, 4 April, hal. 7.

_______________, 2015b, “Membalik Pendamping Desa”, Kompas, 4 Mei, hal. 7.

Carroll, Toby, 2010, “Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal”, Prisma, Vol. 29, No. 3, hal. 84-101.

Eko, Sutoro, 2015, “Pendampingan Desa”, Kompas, 2 Juli 2015, hal. 7.

Hasani, Ismail, 2015, “Mantra Membangun Desa”, Kompas, 22 April, hal. 7.

Huseini, Martani, 2015, “”Saemaul Undong”, Semua Berawal dari Desa”, Koran Sindo, 25 Juni 2015, hal. 7.

Jaweng, Robert Endi, 2015, “Setahun UU Desa”, Kompas, 14 Februari, hal. 6.

Muhammad, Farouk, 2015, “Menjaga Momentum UU Desa”, Kompas, 3 Juli, hal. 6.

Padjung, Rusnadi, 2015, “Khawatir Dana Desa Dikorupsi”, Kompas, 6 Juli, hal. 7.

Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara, 2015, “Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca-UU No. 6 Tahun 2014”, Jakarta: Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN.

Sjaf, Sofyan, 2015, “Menjawab Kekhawatiran Dana Desa”, Kompas, 25 Juni, hal. 7.

Sukasmanto, 2014, “Potensi Penyalahgunaan Dana Desa dan Rekomendasi”. Disampaikan dalam 4th Indonesia Anti-Corruption Forum, Jakarta, 10-12 Juni 2014.

Zelizer, Viviana A., 1994, The Social Meaning of Money, Princeton: Princeton University Press.

Undang-undang dan Peraturan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik

Indonesia Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia

Page 16: Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ...

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 31

Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan Dana Desa.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 250/PMK.07/2014 tentang Pengalokasian Transfer ke Daerah dan Dana Desa.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Bela-nja Negara.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksa-naan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 2014 tentang

Penataan Tugas dan Fungsi Kabi-net Kerja.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmi-grasi.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Berita “Dana Besar Akan Banjiri Desa”, Kompas, 27

Februari 2015, hal. 5. “Pendulum Anggaran Mulai ke Daerah”,

Kompas, 15 Agustus 2015, hal. 1. “Persyaratan Hambat Pencairan”, Kompas, 2

Juli 2015, hal. 5. “Tantangan di Balik Janji Manis”, Kompas, 3

Juli 2015, hal. 5. Laman Website http://www.koran-

sindo.com/read/964587/149/salah-kelola-dana-desa-bisa-jadi-sumber-konflik-1423968895, diakses 9 Juli 2015.

http://www.koran-sindo.com/read/964858/149/dana-desa-picu-tingginya-pemekaran-1424055604, diakses 9 Juli 2015.

http://www.koran-sindo.com/read/1005329/149/penyerapan-dana-desa-baru-rp3-8-t-riliun-1432609180, diakses 10 Juli 2015.

http://www.koran-sindo.com/read/1012635/149/bpk-akan-audit-anggaran-desa-1434331148, diakses 10 Juli 2015.

http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi-JK.pdf, diakses 6 Juli 2015.

http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2731-kpk-temukan-14-potensi-persoalan-pengelolaan-dana-desa, diakses 7 Juli 2015.

http://www.sapa.or.id/b1/132-pmk/6838-penanggulangan-kemiskinan-iai-dana-desa, diakses 9 Juli 2015.