PENGARUH MODEL SOCIOSCIENTIFIC ISSUES TEACHING AND LEARNING (SSI-TL) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA MATERI GEJALA PEMANASAN GLOBAL SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Oleh : Rosita Nur Azmi NIM. 1113016300057 PROGRAM STUDI TADRIS FISIKA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020
349
Embed
PENGARUH MODEL SOCIOSCIENTIFIC ISSUES TEACHING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Rosita Nur Azmi (1113016300057), Pengaruh Model Socioscientific Issues
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGARUH MODEL SOCIOSCIENTIFIC ISSUES TEACHING
AND LEARNING (SSI-TL) TERHADAP KEMAMPUAN
BERPIKIR KRITIS SISWA PADA MATERI
GEJALA PEMANASAN GLOBAL
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh :
Rosita Nur Azmi
NIM. 1113016300057
PROGRAM STUDI TADRIS FISIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
ii
LEMBAR PENGESAHAN
iii
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
iv
ABSTRAK
Rosita Nur Azmi (1113016300057), Pengaruh Model Socioscientific Issues
Teaching and Learning (SSI-TL) terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
pada Materi Gejala Pemanasan Global. Skripsi Program Studi Tadris Fisika,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2020.
Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui pengaruh model SSI-TL terhadap
kemampuan berpikir kritis siswa pada materi gejala pemanasan global. Metode
penelitian yang digunakan adalah quasi experiment dengan nonequivalent control
group design. Sampel dalam penelitian diambil secara purposive sampling yang
terdiri dari kelas XI IPA 1 (n=39) sebagai kelas kontrol yang menggunakan metode
pembelajaran konvensional dan kelas XI IPA 4 (n=39) sebagai kelas eksperimen
yang menggunakan model SSI-TL. Instrumen yang digunakan yaitu instrumen
kemampuan berpikir kritis berbentuk 10 butir soal esai yang telah diuji validitas
dan reliabilitasnya (r= 0,62). Data dianalisis menggunakan uji Mann-Withney yang
dilakukan terhadap data posttest yang mana memperoleh nilai sig.(2-tailed) 0,00 <
taraf signifikansi 0,05, sehingga hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis alternatif
(H1) diterima. Artinya penggunaan model SSI-TL berpengaruh terhadap
kemampuan berpikir kritis siswa. Selain itu, hasil uji N-Gain menunjukkan bahwa
peningkatan rata-rata nilai kelas eksperimen berada di kategori tinggi (N-
Gain=0,71) mengungguli kelas kontrol yang hanya berada pada kategori sedang
(N-Gain=0,56).
Kata Kunci: Model Socioscientific Issues Teaching and Learning (SSI-TL),
Kemampuan Berpikri Kritis Siswa, Gejala Pemanasan Global
v
ABSTRACT
Rosita Nur Azmi (1130016300057). The Effect of Socioscientific Issues Teaching
and Learning (SSI-TL) Model on Students' Critical Thinking Abilities in The
Concept of The Global Warming Phenomenon. Department of Physics Education,
Faculty of Education and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic
University of Jakarta, 2020.
The aim of this study was to investigate the effect of SSI-TL model on students'
critical thinking abilities in the concept of the global warming phenomenon. This
study used quasi experimental nonequivalent control group design. The samples
were choosen by purposive sampling technique which consisted of two classes, XI
IPA 1 class (n=39) as the control group that learned using conventional method
and XI IPA 4 class (n=39) as the experimental group that learned using SSI-TL
model. The data test instrument consisted of 10 essay items which were valid and
reliable (r=0,62). The data were analyzed using Mann-Whitney test on the posttest
result which obtained sig. (2-tailed) 0.00 < significance level of 0.05, this means
the null hypothesis (H0) is rejected and the alternative hypothesis (H1) is accepted.
Based on the statistics analysis, the usage of SSI-TL model has influences on
students' critical thinking abilities. In addition, the results of the N-Gain test
showed that the increase in the average score of the experimental group was in the
high category (N-gain=0.71) outperforming the control group which was only in
the moderate category (N-gain=0.56).
Keywords: Socioscientific Issues Teaching and Learning (SSI-TL) Model, Critical
Thinking Abilities, The Global Warming Phenomenon.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
memberikan berkah serta karunia-Nya. Bahwa hanya atas perkenan-Nya penulis
dapat menyusun dan berbagi sebersit pengetahuan yang telah Allah titipkan melalui
skripsi yang berjudul “Pengaruh Model Socioscientific Issues Teaching and
Learning (SSI-TL) terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Materi
Gejala Pemanasan Global”.
Apresiasi dan terimakasih disampaikan kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi dalam penulisan skripsi ini. Secara khusus, apresiasi dan terima kasih
tersebut disampaikan kepada:
1. Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Iwan Permana Suwarna, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Tadris Fisika
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membimbing, membantu dan mempermudah proses administratif dalam
penyusunan skripsi selama masa perkuliahan jarak jauh.
3. Kinkin Suartini, M.Pd., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan waktu, arahan, dan saran untuk membimbing penulis selama
penyusunan skripsi.
4. Dwi Nanto, Ph.D. dan Devi Solehat M.Pd., selaku dosen penguji skripsi yang
telah memberikan waktu untuk menguji, memberikan arahan, dan saran dalam
perbaikan skripsi.
5. Erina Hertanti, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis selama menjadi mahasiswa tadris
fisika.
6. Seluruh dosen, staff, dan karyawan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
khususnya Program Studi Tadris Fisika yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, pemahaman, dan pelayanan selama proses perkuliahan.
vii
7. Drs. H. Hamdari, M.Pd., selaku Kepala SMAN 7 Tangerang Selatan yang telah
memberikan izin untuk melakukan penelitian.
8. Ralind Remarla, M.Si, selaku guru bidang studi fisika SMAN 7 Tangerang
Selatan yang telah banyak membantu dan membimbing serta memberikan
saran sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.
9. Dewan guru, staff dan siswa siswi di SMAN 7 Tangerang Selatan yang telah
membantu selama proses penelitian, khususnya kelas XI IPA 1 dan XI IPA 4.
10. Muklas, M.Pd. dan Indah Setyoningsih, S.Pd., selaku guru bidang studi fisika
beserta staff dan siswa siswi di SMAN 10 dan 11 Tangerang Selatan yang telah
membantu penulis selama proses penelitian pendahuluan.
11. Ayahanda Fachrul Alam dan Ibunda N. Najiah beserta kakak dan adik saya
Novia Fitrianisa dan Ilfana Rahma Anugerah yang senantiasa mencurahkan
do’a, dukungan moril dan materil yang tak ternilai sehingga penulis dapat
Biodata Penulis ................................................................................................335
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saling keterkaitan antara jaringan ekonomi, ekosistem, dan politik global
mengharuskan seseorang untuk belajar berkomunikasi, berkolaborasi, dan
menyelesaikan masalah dengan orang-orang di seluruh dunia. 1 Sehingga
dibutuhkan penguasaan keterampilan berpikir kompleks untuk menghadapi
berbagai situasi dari masalah-masalah yang ditimbulkan karena semakin bebasnya
akses informasi yang mana menuntut seseorang untuk berpikir kritis mengenai
informasi yang diterima agar tidak ada penyesatan informasi. Sekolah sebagai
lembaga pendidikan memiliki peranan penting sebagai tempat melatih
keterampilan-keterampilan tersebut. Pembelajaran yang dilakukan di sekolah
seharusnya tidak lagi difokuskan pada keberhasilan penguasaan keterampilan yang
bisa dengan mudah digantikan oleh mesin. Saat ini, kebanyakan penentu
keberhasilan seseorang terletak pada kemampuannya untuk berkomunikasi,
membagikan dan menggunakan informasi untuk memecahkan masalah yang
kompleks, mampu beradaptasi dan berinovasi dalam menanggapi tuntutan baru dari
trend dunia yang dinamis.2 Berbagai keterampilan dan disposisi yang dianggap
penting untuk dipelajari di sekolah pada abad ke-21 diantaranya adalah
keterampilan berpikir kritis dan kreatif, keterampilan sosial dan emosional, dan
keterampilan bersikap seperti motivasi dan efikasi diri. 3 Ini artinya sistem
pendidikan tidak boleh hanya memfokuskan pada bagaimana cara meningkatkan
nilai akademis siswa semata, namun juga perlu memperhatikan bagaimana melatih
siswa agar bisa meningkatkan keterampilan-keterampilan tersebut.
1 Anna Rosefsky Saavedra and V. Darleen Opfer, “Learning 21st-century Skills Requires
21st-century Teaching”, Phi Delta Kappan International: Sage Journals Vol. 94, No. 2, 2012, p.8. 2 Pacific Policy Research Center, “21st Century Skills for Students and Teachers”,
Kamehameha School: Research & Evaluation Division, 2010, p.1. 3 Stephen Lamb, dkk., “Key Skills for The 21st Century: An Evidence-based Review”,
Victoria University: NSW Department of Education, 2017, p.3.
2
Sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 36
Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 59 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 SMA/MA yang terdapat pada
lampiran 1 menyebutkan bahwa kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan
beberapa faktor yang terkait dengan arus globalisasi seperti isu-isu lingkungan
hidup, kemajuan teknologi dan informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya,
dan perkembangan pendidikan di tingkat internasional. Kurikulum 2013 juga
dikembangkan dengan penyempurnaan pola pikir salah satunya dengan penguatan
pola pembelajaran kritis.4 Berdasarkan permendikbud tersebut, pendidikan pada era
globalisasi diarahkan untuk mengembangkan kompetensi abad ke-21 melalui salah
satu komponen berpikirnya yaitu kemampuan berpikir kritis.
Ennis menyatakan bahwa berpikir kritis adalah sebuah proses pengambilan
keputusan mengenai apa yang dipercayai dan apa yang harus dilakukan. 5
Keputusan ini biasanya dilakukan ketika timbul masalah yang membutuhkan basis
justifikasi. Basis ini bisa berupa observasi, peryataan yang telah dibuat oleh
seseorang, dan/atau pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya. 6 H.Siegel
menyebutkan alasan mengapa berpikir kritis merupakan sebuah fundamental yang
ideal dalam pendidikan adalah karena secara umum tugas mendidik berarti
mempersiapkan siswa menghadapi masa dewasanya. Mempersiapkan disini bukan
berarti mempersiapkan siswa untuk menjalankan peran tertentu, namun lebih
kepada bagaimana nantinya siswa mampu menyediakan kebutuhannya sendiri dan
mampu memahami arah, tujuan dan keputusan yang terbaik bagi dirinya.7 Manusia
dalam hidupnya akan selalu berhadapan dengan pilihan, disinilah kemampuan
berpikir kritis akan sangat membantu dalam rangka membuat keputusan dalam
kehidupan personal, pekerjaan, bermasyarakat maupun aspek-aspek kehidupan
4 Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 36 Tahun 2018
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 59 Tahun 2014
tentang Kurikulum 2013 SMA/MA, 2018, h.1-2. 5 Robert H. Ennis, Critical Thinking, (Urbana-Champaign: University of Illinois, 1995),
p.xvii. 6 Robert H. Ennis, “Critical Thinking: A Streamlined Conception”, Teaching Philosophy,
1991, p.7. 7 Harvey S. Siegel, “Critical Thinking”, International Encyclopedia of Education, 2010,
p.143.
3
lainnya. Siswa memang tidak akan seluruhnya menjadi ilmuwan professional,
namun yang pasti, mampu menggunakan proses ilmiah dalam kebiasaan berfikir
untuk memecahkan masalah yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari akan
sangat membantu mereka mencapai keputusan yang terbaik.
Kenyataanya di Indonesia sendiri, menurut data laporan Programme for
International Student Assessment (PISA) pada tahun 2015 skor siswa Indonesia
berada dibawah nilai rata-rata dalam bidang literasi dengan skor 397 dari rata-rata
493, dalam bidang matematika dengan skor 386 dari rata-rata 490 dan dalam bidang
sains dengan skor skor 403 dari rata-rata 493.8 Sementara hasil PISA tahun 2018
menunjukkan skor siswa baik dalam bidang literasi, matematika dan sains juga
berada jauh dibawah rata-rata skor dan lebih rendah dari skor tahun 2015. 9
Kompetensi PISA yang diukur pada siswa dalam bidang literasi meliputi
kemampuan memahami, menggunakan dan merefleksi dalam teks tertulis untuk
mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan dan potensi serta partisipasi dalam
masyarakat. Dalam bidang matematika kompetesi yang diukur meliputi
memformulasikan, menggunakan dan menginterpretasi matematika dalam berbagai
variasi konteks termasuk penalaran matematis dan menggunakan konsep, prosedur
dan fakta untuk menggambarkan, menjelaskan dan memprediksi suatu penomena.
Sedangkan dalam bidang sains, kompetensi yang harus dicapai siswa meliputi
mampu menjelaskan suatu penomena, mengevaluasi dan mendesain pertanyaan,
serta menginterpretasi data dan bukti secara ilmiah.10 Beberapa kompetensi yang
telah dijabarkan dalam PISA tersebut merupakan bagian dari indikator kemampuan
berpikir kritis berdasarkan Ennis (1985).
Selain itu, berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di beberapa
sekolah menyebutkan bahwa guru seringnya hanya melatih siswa terbatas pada tipe
soal C1-C3 yang termasuk dalam kategori kemampuan berpikir tingkat rendah
berdasarkan taksonomi Bloom, sementara tipe soal C4-C6 hampir tidak pernah
dilatihkan karena siswa tidak bisa mencapai level berpikir tingkat tinggi. Menurut
8 OECD,“PISA 2015 Result in Focus”, 2018, p.5. 9 OECD,“PISA 2018 Result”, 2019, p.18. 10 OCED, PISA for Development Assessment and Analytical Framework: Reading,
Mathematics and Science, (Paris: OECD Publishing, 2017), p.17.
4
Lewis dan Smith, seseorang dikatakan mampu berpikir tingkat tinggi ketika ia
mampu menghubungkan informasi baru dan informasi yang sebelumnya dimiliki
dan/atau menyusun dan mengembangkan informasi tersebut untuk mencapai suatu
tujuan atau menemukan jawaban yang paling memungkinkan ketika menghadapi
situasi yang membingungkan. Macam-macam tujuan dapat dicapai dengan cara
memutuskan apa yang harus dipercayai, memutuskan apa yang harus dilakukan,
membuat ide baru atau membuat prediksi. 11 Dari pengertian tersebut, dapat
dikatakan bahwa berpikir kritis merupakan bagian dari berpikir tingkat tinggi
karena memutuskan apa yang harus dipercayai atau dilakukan merupakan kegiatan
yang dilakukan ketika seseorang berpikir kritis.
Pada hakikatnya, penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan
data yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Masalah bisa timbul
karena adanya penyimpangan antara pengalaman dengan kenyataan atau terdapat
penyimpangan antara apa yang telah direncanakan dengan kenyataan.12 Sebagai
solusi, dibutuhkan rancangan penelitian yang sesuai dengan kondisi masalah yang
ditemukan. Berdasarkan fakta-fakta diatas, perlu ada perubahan sistem dalam
pembelajaran dan penilan agar sejalan dengan rencana tujuan permendikbud.
Rencana pembelajaran yang dibuat oleh guru diharapkan dapat mendorong
peningkatan keterampilan berpikir kritis salah satunya dengan cara menggunakan
model pembelajaran yang variatif.
Salah satu model pembelajaran yang diklaim mampu memberikan manfaat
dalam rangka memicu kemampuan berpikir kritis siswa adalah model pembelajaran
Socioscientific Issues Teaching and Learning (SSI-TL). SSI-TL mampu
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa karena SSI-TL melibatkan koneksi
interdisipliner antara konten sains dan isu sosial seperti politik dan ekonomi
berbasis penalaran moral yang memberikan siswa pengalaman pembelajaran yang
menarik dan lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari.13 Menurut Zeidler, dkk.,
11 Arthur Lewis and David Smith, “Defining Higher Order Thinking”, College of Education:
The Ohio State University Vol.32, No.3, 1993, p.136. 12 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011),
h.33. 13 Dana L. Zeidler and Bryan H. Nicholas, “Socioscientific Issues: Theory and Practice”,
Journal of Elementary Science EducationVol. 21, No. 2, 2009, p. 53.
5
pembelajaran berbasis SSI memiliki beberapa manfaat salah satunya adalah
meningkatkan keterampilan berpikir kritis yang meliputi menganalisis, membuat
kesimpulan, memberikan penjelasan, mengevaluasi, menginterpretasi, dan
melakukan self-regulation.14
Pada hakikatnya sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas
dasar produk ilmiah, proses ilmiah dan sikap ilmiah. 15 Fisika yang merupakan
bagian dari IPA adalah ilmu pengetahuan yang paling mendasar, karena
berhubungan dengan prilaku dan struktur benda. Tujuan utama semua sains,
termasuk fisika, adalah suatu usaha untuk mencari keteraturan dalam pengamatan
manusia pada alam sekitarnya.16 Guru harus mengetahui apa yang dapat diserap dan
dipahami oleh siswa, dengan kata lain guru harus menguasai pendekatan, strategi,
media yang digunakan atau model pembelajaran yang relevan untuk dapat
membangkitkan minat siswa untuk belajar fisika.
Berdasarkan penelitian pendahuluan, banyak siswa yang menganggap fisika
sebagai pelajaran yang tidak menarik. Salah satu materi yang sering dilabeli siswa
sebagai materi yang kurang menarik dan membosankan adalah materi Gejala
Pemanasan Global. Siswa menyebutkan bahwa jarang sekali guru mengaitkan
pembelajaran fisika dengan permasalahan sosial. Materi gejala pemanasan global
akan sangat kompatibel dengan model pembelajaran SSI-TL, karena model ini
berfokus pada materi-materi kontroversional seperti pada topik pemanasan global,
modifikasi genetik, euthanasia, genetic screening, bayi tabung dan topik
kontroversional lainnya.17
Meninjau ulang permasalahan-permasalahan tadi, maka untuk mengetahui
bagaimana kualitas kemampuan berpikir kritis siswa SMA pada materi gejala
pemanasan global jika menggunakan model pembelajaran SSI-TL, yang kemudia
membuat penulis tertarik untuk meneliti dan mengangkat judul “Pengaruh Model
14 Dana L. Zeidler, dkk.,“Beyond STS: A Research-Based Framework for Socioscientific
Issues Education”, Journal of Science EducationVol. 89, 2005, p.358. 15 Trianto, Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi dan Implementasinya dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pelajar (KTSP), (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h.137. 16 Douglas C. Giancoli, Fisika Jilid 1: Edisi Kelima, (Jakarta: Erlangga, 2001), h.1-2. 17 Dana L. Zeidler,“Socioscientific Issues as a Curriculum Emphasis: Theory, Research, and
Practice”, Handbook of Research on Science Education Routledge, 2014, h. 701
6
Socioscientific Issues Teaching and Learning (SSI-TL) Terhadap Kemampuan
Berpikir Kritis Siswa pada Materi Gejala Pemanasan Global”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat
diidentifikasikan beberapa masalah, yaitu:
1. Berpikir kritis siswa secara umum termasuk dalam kategori rendah
2. Fisika merupakan pelajaran yang dianggap kurang menarik dan membosankan
oleh siswa.
3. Siswa hanya mampu mengerjakan soal dengan kategori berpikir tingkat rendah.
4. Guru jarang mengaitkan ide sains dengan isu sosial.
5. Tuntutan abad ke-21 yang mengharuskan siswa menguasai berbagai macam
keterampilan, salah satunya adalah kemampuan berpikir kritis.
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah, maka ruang lingkup masalah yang diteliti
akan dibatasi pada hal-hal sebagai berikut ini:
1. Kemampuan yang diukur adalah kemampuan berpikir kritis menurut Robert H.
Ennis.
2. Indikator yang digunakan dibatasi pada 8 indikator dengan 10 sub indikator
kemampuan berikir kritis yaitu memformulasikan pada pertanyaan,
menganalisis argumen, bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi dan/atau
suatu tantangan, menilai kredibilitas dari suatu sumber, induksi dan menilai
induksi dengan cara membuat dan mempertimbangkan nilai suatu keputusan,
induksi dan menilai induksi dengan cara menyimpulkan kesimpulan hipotesis
bertipe klaim kausal, mempertimbangkan nilai suatu keputusan dengan melihat
konsekuensi, mengidentifikasi asumsi, memutuskan suatu tindakan dengan cara
memilih kriteria dan memformulasikan solusi alternatif.
3. Pembatasan indikator dilakukan atas dasar pertimbangan instrumen tes yang
dibuat akan berbentuk 10 soal uraian/esai yang mewakili masing-masing
indikator yang dilatihkan selama proses pembelajaran.
7
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti membuat suatu rumusan
masalah umum sebagai berikut:
1. Apakah model pembelajaran socioscientific issues teaching and learning (SSI-
TL) berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa?
2. Bagaimana peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa setelah diterapkan
model pembelajaran SSI-TL?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan, maka penelitian
ini memiliki tujuan untuk:
1. Mengetahui apakah model pembelajaran socioscientific issues teaching and
learning (SSI-TL) berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa.
2. Mengetahui bagaimana peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa setelah
diterapkan model pembelajaran SSI-TL.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1. Siswa, meningkatkan minat siswa dalam mempelajari fisika dan membantu
menguasai kemampuan berpikir kritis untuk digunakan sebagai bekal
menghadapi era globalisasi.
2. Guru, memberikan informasi agar model pembelajaran SSI-TL dapat dijadikan
alternatif untuk merancang proses pembelajaran yang bisa memicu peningkatan
kemampuan berpikir kritis.
3. Bagi sekolah, memberikan informasi agar pembelajaran di sekolah lebih
mendukung pengimplementasian kurikulum 2013.
4. Bagi penulis, menambah wawasan dalam memahami model pembelajaran SSI-
TL terhadap kemampuan berpikir kritis.
5. Bagi para peneliti lain, dapat dijadikan referensi untuk melakukan penelitian
sejenis dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan sains di Indonesia.
8
BAB II
KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori
1. Model Socioscientific Issues Teaching and Learning (SSI-TL)
Agar hasil belajar mencapai tingkat yang optimal, maka sangat diperlukan
pengimplementasian langkah-langkah yang tepat dalam proses pembelajarannya.
Salah satu langkah yang bisa digunakan adalah dengan menerapkan suatu model
pembelajaran yang disesuaikan dengan materi yang akan dipelajari. Berikut
merupakan penjabaran model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini.
a. Pengertian Model Pembelajaran SSI-TL
Sejumlah cendekiawan pendidikan sains menyarankan agar pendidikan
sains diarahkan agar tidak hanya terletak pada pelatihan pra-profesional semata,
namun juga terletak pada bagaimana mempelajari keterkaitan antara sains,
teknologi dan hubungannya dengan masyarakat.1 Pendidikan yang merangsang dan
mempromosikan perkembangan intelektual pada aspek moral dan etika individu
serta membangun kesadaran bahwa sains dan sosial saling bergantung satu sama
lain merupakan fokus yang mendasari terbentuknya konsep pembelajaran Socio-
Scientific Issues (SSI).2
Menurut Sadler dan Zeidler, pembelajaran SSI adalah suatu pembelajaran
yang bersifat kontroversial karena menampilkan suatu masalah yang dilihat dari
berbagai persfektif, tidak mempunyai kesimpulan yang sederhana karena
mempertimbangkan etika dan moralitas.3 Isu yang diangkat dalam pembelajaran
menggambarkan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kaitannya dengan
konsep, prosedur dan teknologi dalam sains.
1 Reg Fleming, “Adolescent Reasoning in Socio-scientifict Issues, Part I: Social Cognition”,
Journal of Research in Science Teaching Vol.23, No.8, 1986, p.677. 2 Dana l. Zeidleret al.,“Beyond STS: A Research-Based Framework for Socioscientific Issues
Education”, Journal of Science Education, 2005, p.360. 3 Troy D. Sadler dan Dana l. Zeidler, “The Moralty of Socioscientifict Issues: Construal and
Resolution of Genetic Engineering Dilemmas”, Journal of Science Education 88:4-27, 2004, p.5.
9
Kerangka pembelajaran SSI memiliki karakteristik utama meliputi, 1)
membahas masalah yang relevan secara personal dan bersifat kontroversial yang
membutuhkan bukti berbasis penalaran ilmiah untuk membuat keputusan akhir, 2)
topik ilmiah yang diangkat memiliki konsekuensi sosial yang mengharuskan siswa
terlibat dalam diskusi atau debat, 3) mengintegrasikan komponen etika secara
implisit dan/atau eksplisit yang memerlukan penalaran moral, dan 4) menekankan
pembentukan etika dan moral sebagai tujuan pedagogis jangka panjang.4 Beberapa
kasus penyelesaian masalah di kelas dapat menandakan akhir dari pelajaran, namun
dalam kasus pembelajaran SSI dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk
meningkatkan kesadaran sosial.
Konteks isu sosiosaintifik sendiri berfokus pada topik yang bersifat
kontroversial seperti kloning, modifikasi bahan pangan, perubahan iklim global,
penggunaan lahan, dan pengenalan zat biotik dan abiotik. 5 Isu-isu ini nantinya akan
membuat siswa terlibat dalam diskusi atau debat yang dalam prosesnya mereka
akan ikut mempertimbangkan penalaran moral untuk mencapai sebuah solusi dari
isu yang dibahas.
b. Tahapan Model Pembelajaran SSI-TL
Model pembelajaran SSI-TL mengalami evolusi tahapan berdasarkan
perkembangan proyek desain penelitiannya seperti pada gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1 Evolusi Model SSI-TL6
4 Dana L. Zeidler, “Socioscientific Issues as a Curriculum Emphasis”, Handbook of Research
on Science Education Routledge, 2014, p.699. 5 Troy D. Sadler and Dana L. Zeidler, “Patterns of Informal Reasoning in the Context of
Socioscientific Decision Making”, Journal of Research in Science Teaching Vol. 42, 2005, p.112. 6 Troy D. Sadler et al., “Evolution of a Model for Socioscientific Issue Teaching and
Learning”, International Journal of Education in MathematicsScience & Technology, 2017, p.78.
10
Bentuk final model SSI-TL sendiri, seperti pada gambar 2.2, memiliki dua
bagian utama dimana dibagian kiri memuat sintaks model SSI-TL dan bagian kanan
memuat tujuan pembelajarannya (Learning Objectives). Tujuan utama
pembelajaran model ini yaitu, 1) melek informasi terhadap isu, 2) penguasaan
pembelajaran tiga dimensi Next Generation Science Standards (NGSS), 3)
pemahaman epistemologi sains, dan 4) pengembangan identitas diri siswa.7 Model
SSI-TL terdiri dari tiga tahapan utama. Tahap pertama melibatkan siswa
menghadapi masalah utama. Tahap kedua merupakan bagian utama proses
pembelajaran yang melibatkan siswa dengan ide-ide sains, praktik sains dan praktik
penalaran sosiosaintifik. Tahap ketiga sebagai dari puncak pembelajaran meminta
siswa untuk mensintesiskan ide sesuai dengan apa yang telah dipelajari.
Gambar 2.2 Sintaks Model SSI-TL8
7 Ibid., p.83. 8 Ibid., p.80.
11
Penjelasan secara lebih rinci dari setiap tahapan model pembelajaran SSI-
TL adalah sebagai berikut:
1) Menghadapi Masalah Utama
Urutan dimulai dengan siswa menghadapi masalah utama. Selama tahap
awal ini, penting bagi siswa untuk mengembangkan kesadaran tentang bagaimana
ide sains, prinsip dan/atau pertanyaan berkaitan dengan masalah sosial yang akan
timbul. Seperti contoh di jurusan resistensi antibiotik yang dirujuk sebagai bagian
dari proyek penelitian pengembangan model ini, pertama kali siswa disuguhkan
masalah mengenai pasien yang menderita methicillin-resistant staphylococcus
aureus (MRSA). Kasus ini menampilkan kisah-kisah pribadi seperti video dari
seorang gadis muda yang sehat namun meninggal karena komplikasi terkait MRSA.
Kasus ini menyoroti evolusi bakteri sebagai masalah utama dan memperkenalkan
dimensi sosial yang berkaitan seperti hak-hak pasien dan kebijakan kesehatan
nasional.9
2) Pembelajaran Sains Tiga Dimensi Berbasis Penalaran Sosiosaintifik
Tahapan kedua dimulai dengan siswa terlibat dalam pembelajaran sains tiga
dimensi, seperti yang didefinisikan oleh Next Generation Science Standars
(NGSS), bersamaan dengan praktik penalaran sosiosaintifik.10 NGSS merupakan
suatu kerangka standar pendidikan sains yang disusun oleh aliansi berbagai peneliti
bidang pendidikan dari berbagai negara bagian di Amerika Serikat. Kerangka ini
menggambarkan sebuah visi baru bagi pendidikan sains yang harus berdasar pada
bukti ilmiah, kerangka ini juga menguraikan pengetahuan dan keterampilan yang
perlu dipelajari semua siswa dari tingkat pendidikan dasar hingga tingkat sekolah
menengah atas. NGSS memiliki tiga komponen utama yaitu Disciplinary Core
Ideas (DCI), Science and Engineering Practices (SEP), dan Crosscutting Concepts
(CCC).11
Dimensi pertama yaitu Disciplinary Core Ideas (DCI) merupakan
kumpulan konten esensial dari materi sains yang akan dipelajai siswa selama 13
9 Ibid., p.78. 10 Ibid. 11 NGSS Lead States, Next Generation Science Standars: For States, By States, (Washington
DC:The National Academic Press, 2013), p.IV.
12
tahun. 12 Sebagai contoh seperti yang disajikan pada tahap pertama, di jurusan
resistensi antibiotik diambil DCI bertema natural selection dan adaptation. 13
Sedangkan pada penelitian ini akan diambil DCI dengan tema global climate
change yang setara dengan materi SMA Gejala Pemanasan Global.
Dimensi kedua yaitu Science and Engineering Practices (SEP) menjelaskan
serangkaian praktik yang dilakukan oleh seorang ilmuwan (scientist) dalam rangka
menginvestigasi suatu model atau teori yang tengah dikembangkan dan praktik
yang dilakukan oleh seorang insinyur (engineer) untuk mendesain dan membangun
sebuah sistem. 14 Terdapat delapan SEP yang sangat penting untuk siswa latih
yaitu:15
a) Mengajukan pertanyaan (science) dan menemukan masalah (engineering).
Siswa harus mampu mengajukan pertanyaan mengenai teks yang mereka baca,
penomena yang mereka observasi dan kesimpulan yang diambil dari model atau
investigasi ilmiah mereka. Untuk engineering, siswa harus mengajukan
pertanyaan untuk menemukan masalah yang harus dipecahkan dan untuk
memperoleh gagasan yang mengarah pada batasan dan syarat-syarat solusi.
b) Mengembangkan dan menggunakan model. Dalam science model digunakan
untuk mewakili sebuah sistem atau bagian dari sistem yang sedang dipelajari.
Siswa diharapkan mampu mengevaluasi dan memperbaiki suatu model yang
disesuaikan dengan keadaan sistem yang terbaru. Dalam engineering, model
digunakan untuk menganalisis sistem agar tahu dimana dan dalam kondisi apa
suatu masalah bisa timbul atau model bisa digunakan untuk menguji solusi yang
memungkinkan.
c) Merencanakan dan melakukan investigasi. Investigasi saintifik dilakukan untuk
menjelaskan suatu penomena atau menguji suatu teori, sedangkan tujuan
investigasi engineering adalah untuk menemukan bagaimana memperbaiki atau
meningkatkan fungsi dari suatu sistem atau untuk mencari solusi terbaik dari
beberapa opsi.
12 Ibdi., p.XXV. 13 Troy D. Sadler et al., op.cit., p.79. 14 NGSS Lead States, op.cit., p.XV. 15 Ibid., p.48-64.
13
d) Menganalisis dan menginterpretasi data. Siswa diharapkan mampu menyajikan
hasil data yang mengungkapkan suatu pola atau suatu hubungan yang bisa
dikomunikasikan menggunakan bahasa yang mudah kepada oranglain.
e) Menggunakan pola berpikir matematis dan komputasi. Siswa diharapkan
mampu merepresentasikan variabel-variabel dalam bentuk fisik serta bagaimana
hubungan satu sama lain untuk membuat hipotesis kuantitatif secara matematis.
Siswa juga diharapkan mampu menggunakan alat-alat yang terhubung pada
komputer untuk mengobservasi dan mengolah data.
f) Membangun eksplanasi dan mendesain solusi. Tujuan science adalah
membangun suatu eksplanasi untuk menjelaskan suatu penomena sedangkan
engineering mendesain solusi untuk memecahkan permasalahan.
g) Terlibat dalam argumen berbasis bukti. Berargumentasi merupakan proses
meraih kesepakatan mengenai suatu eksplanasi atau solusi. Baik ketika
menginvestigasi penomena atau menguji sebuah desain, siswa diharapkan
mampu menggunakan argumentasi berbasis data untuk mendengarkan,
membandingkan dan mengevaluasi suatu ide.
h) Memperoleh, mengevaluasi dan mengkomunikasikan informasi. Siswa
diharapkan mampu memilah berbagai informasi untuk menilai validitas suatu
klaim, metode dan desain.
Dimensi ketiga yaitu Crosscutting Concepts (CCC) merupakan suatu
struktur aturan yang membantu siswa memahami keterhubungan antar DCI lintas
mata pelajaran ataupun kelas.16 Terdapat tujuh CCC yang menjadi penghubung
antar konsep, menyatukan DCI dalam bidang science dan engineering. Tujuannya
adalah untuk membantu siswa memperdalam pemahaman mereka mengenai DCI
dan mengembangkan cara pandang mereka secara koheren dan ilmiah terhadap
dunia. Berikut ini merupakan tujuh kerangka CCC dalam NGSS:17
a) Pola. Pola dari sebuah bentuk atau peristiwa yang sedang diamati biasanya akan
menunjukan suatu pengelompokan dan klasifikasi yang mana pola tersebut akan
16 Ibid., p.XX. 17 Ibid., p.79.
14
memunculkan suatu pertanyaan mengenaihubungan dan faktor-faktor yang
memengaruhinya.
b) Sebab dan akibat (mekanisme dan penjelasannya). Sebuah peristiwa memiliki
penyebabnya, baik sederhana maupun rumit. Aktifitas utama dalam investigasi
ilmiah ialah menyelidiki dan menjelaskan hubungan sebak akibat dan bagaimana
mekanismenya. Mekanisme tersebut kemudian dapat diuji dan digunakan untuk
memprediksi dan menjelaskan peristiwa lainnya yang serupa.
c) Skala, proporsi dan kuantitas. Dalam menjelaskan suatu penomena, sangat
penting untuk memahami sangkut paut terkait perbedaan ukuran bentuk, waktu
atau energi dan untuk memahami bagaimana perubahan skala, proporsi atau
kuantitas dapat mempengaruhi struktur sistem atau kinerjanya.
d) Sistem dan model sistem. Suatu sistem yang telah dispesifikasikan batasannya
dan telah dibuat permodelannya dapat digunakan sebagai alat untung memahami
dan menguji ide-ide yang dapat diaplikasikan di bidang science dan engineering.
e) Energi dan materi (aliran, siklus, kekekalan). Melacak aliran energi dan materi
didalam, diluar dan diantara sistem dapat membantu untuk memahami
kemungkinan dan batasan sistem tersebut.
f) Struktur dan fungsi. Cara sebuah objek atau benda hidup terbentuk dan
bagaimana substrukturnya menentukan bagaimana sifat dan fungsinya.
g) Kestabilan dan perubahan. Baik sistem alami dan buatan, kondisi kestabilan dan
faktor penentu tingkat perubahan atau evolusi sistem merupakan elemen penting
bagi penelitian.
Secara bersamaan, tahap kedua dari model ini meminta siswa melakukan
penalaran sosiosaintifik (socio-scientific reasoning/SSR) dengan cara menganalisis
permasalahan sosial yang membuat masalah utama menjadi kompleks, menarik,
dan sulit untuk diselesaikan. Serangkaian kompetensi dari SSR meliputi, a) menilai
kompleksitas yang inheren dari SSI, b) menganalisis masalah dari berbagai
perspektif, c) mengidentifikasi aspek-aspek SSI untuk penyelidikan lebih lanjut, d)
menggunakan skeptisisme untuk menghindari bias informasi, dan (e)
15
mengeksplorasi kontribusi sains terhadap SSI dan batasannya. 18 Setelah siswa
memahami masalah utama, siswa diminta untuk mengeksplor dimensi sosial dari
masalah tersebut dengan melihatnya dari berbagai perspektif seperti sudut pandang
sosial, politik dan ekonomi. Siswa melakukan aktivitas pembelajaran melalui
metode jigsaw yang mana kegiatan ini memfokuskan kekompleksitasan dan multi-
perspektif dari masalah utama yang disajikan.19
3) Sintesis Ide dan Aplikasi
Tahap terakhir dari model SSI-TL meminta siswa untuk mensintesis ide dan
menerapkan aplikasinya sesuai dengan masalah yang disajikan pada materi yang
siswa pelajari. Konsisten dengan status SSI sebagai masalah yang bersifat open-
ended dengan solusi yang bersifat tidak permanen, maka penting bagi siswa untuk
merefleksikan perspektif mereka sendiri tentang masalah tersebut yang mereka
hasilkan setelah melewati tahap pertama dan kedua. Misalnya di jurusan resistensi
antibiotik, siswa mengembangkan dan membuat suatu rekomendasi kebijakan
sebagai solusi. Siswa memiliki fleksibilitas untuk memilih kebijakan yang dapat
diberlakukan baik untuk tingkat nasional atau internasional sesuai advokasi
mereka.20
4) Elemen Tambahan
Model SSI-TL memiliki dua elemen tambahan yang diletakkan diluar bagan
utama yang diintegrasikan dengan tiga tahap utama. Elemen pertama meminta
siswa untuk menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) ketika
mengeksplorasi masalah utama. Ketika siswa sedang mengeksplor materi melalui
media populer seperti google, guru menyediakan instruksi-instruksi tertentu
(terdapat di lampiran) untuk mendorong siswa berpikir kritis mengenai informasi
yang mereka dapat seperti menginstruksikan siswa untuk mempertimbangkan
kredibilitas sumber informasi, latar belakang penulis, potensi bias informasi, bukti
pendukung informasi, dan kemungkinan misinformasi. Instruksi tersebut bisa
dibuat dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang bertujuan sebagai pemandu siswa
18 Troy D. Sadler et al., op.cit., p. 80. 19 Ibid., p. 81. 20 Ibid.
16
mempertimbangkan kredibilitas sumber informasi selama proses eksplorasi
informasi berlangsung.21
Rekomendasi elemen tambahan kedua adalah siswa memiliki kesempatan
untuk merefleksi dan/atau merevisi apa yang mereka percayai dan bagimana
perspektif mereka. Selama proses pembelajaran, guru secara konsisten mendorong
siswa untuk menerapkan gagasan dan perspektif yang siswa punya terhadap
masalah yang sedang dibahas. Contohnya di jurusan resistensi antibiotik, semua
siswa diharapkan mampu mengembangkan pemahaman secara umum mengenai
seleksi alam dan secara spesifik mengenai populasi bakteri yang mengalami evolusi
serta bukti mengenai bakteri yang resistan terhadap obat. Berbasis pengetahuan ini,
siswa kemudian menggunakan persfektif mereka sendiri dalam mengaitkan
masalah utama dengan dimensi soial, politik dan ekonomi.22
c. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Socio-scientific Issues
Teaching and Learning (SSI-TL)
Beberapa kelebihan dari penerapan model SSI-TL meliputi:23
1) Dapat meningkatkan kualitas penalaran siswa dengan memberikan beragam
sudut pandang yang diperoleh dari bukti dan oposisi bukti yang didapat, dan
solusi yang bersifat adil yang dihasilkan dari perkembangan proses
pembelajaran. Siswa cenderung mengalami disonansi ketika ide atau bukti yang
disajikan tidak sesuai dengan pemahaman lama mereka. Dengan menerapkan
model SSI-TL, siswa diharuskan untuk bernegosiasi, menyelesaikan masalah,
dan meningkatkan kualitas argumen mereka untuk mendapatkan pemahaman
yang lebih baik.
2) Penggunaan model ini melibatkan koneksi interdisipliner antara konten sains
dan studi sosial berbasis penalaran moral yang memberikan siswa pengalaman
pembelajaran yang menarik dan lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari.
3) Belajar dengan konteks SSI dapat meningkatkan sensitifitas moral siswa yang
berkontribusi terhadap perkembangan moral secara keseluruhan sehingga siswa
21 Ibid., p. 82. 22 Ibid. 23 Dana L. Zeidler and Bryan H. Nicholas, “Socioscientific Issues: Theory and Practice”,
Journal of Elementary Science EducationVol. 21, No. 2, 2009, p. 52-54.
17
memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap kehidupan, kesehatan, dan
kesejahteraan orang lain.
4) Diskusi atau debat mengenai topik SSI yang kontroversial membantu siswa
mengembangkan banyak disposisi dan keterampilan berpikir kritis seperti
menganalisis, membangun kesimpulan, memberikan penjelasan, mengevaluasi,
menginterpretasi dan regulasi diri.
Menurut Sadler dkk., penerapan model SSI-TL di dalam kelas memiliki
kendala dalam hal bagaimana guru, peneliti dan perancang pembelajaran yang tidak
familiar dengan proyek SSI menginterpretasi dan mengaplikasikan model ini. 24
Adanya perbedaan kurikulum yang berasal dari tempat dimana model SSI-TL
dikembangkan menyebabkan guru sedemikian rupa harus bisa menyusun rencana
pelaksanaan pembelajaran dengan cara mengadaptasikan model SSI-TL dengan
kurikulum yang berlaku di Indonesia.
2. Kemampuan Berpikir Kritis
a. Pengertian Berpikir Kritis
Ennis mendefinisikan berpikir kritis sebagai sebuah bentuk cara berpikir
yang reflektif dan beralasan yang berfokus pada keputusan untuk memilih apa yang
harus dipercayai atau dilakukan. Ennis juga menyatakan bahwa berpikir kritis
merupakan suatu aktifitas praktikal karena memilih metode terbaik yang dinilai
lebih efektif merupakan bagian dari kegiatan berpikir kritis. 25 Keputsan untuk
memilih apa yang harus dipercayai atau dilakukan memerlukan basis alasan. Basis
ini bisa berupa observasi langsung, pernyataan yang dibuat oleh oranglain atau
proposisi yang telah diterima sebelumnya. Dengan basis-basis ini, maka
kesimpulan untuk memutuskan sesuatu bisa dibuat. Kesimpulan-kesimpulan
tersebut memiliki tiga bentuk yaitu kesimpulan induktif, deduktif dan menilai value
suatu proses.26 Pendekatan umum yang biasanya digunakan untuk meningkatkan
24 Troy D. Sadler et al., op.cit., p.85. 25 Robert H. Ennis, “A Logical Basis for Measuring Critical Thinking Skills”, Educational
Leadership Vol.43,No.2, 1985, p.45. 26 Robert H. Ennis, “Critical Thinking: A Streamlined Conception”, Teaching Philosophy,
1991, p.7.
18
kemampuan berpikir kritis adalah dengan melibatkan siswa dengan subjek konten
nonschool contexts seperti isu politik lokal atau nasional.27
Menurut Dewey berpikir kritis merupakan kegiatan berpikir yang aktif,
terus-menerus, dan penuh pertimbangan kehati-hatian dalam menghadapi suatu
keyakinan atau pengetahuan dengan mempertimbangkan dasar pendukung dan
kesimpulan lebih lanjutnya.28 Lebih lanjut, Dewey menjelaskan bahwa esensi dari
berpikir kritis adalah penangguhan penilaian (suspended judgment). Penangguhan
disini dimaksudkan untuk menyelidiki lebih dulu akar masalah sebelum
memberikan solusi atau penilaian.29
Sementara itu menurut Paul dkk., definisi inti dari berpikir kritis terdiri dari
empat komponen yang saling terhubung yaitu, 1) mampu terlibat dalam diskusi
beralasan (reasoned discourse) yang merupakan prinsip dasar dari teori demokrasi,
2) bernalar dengan standar intelektual seperti kejelasan, keakurasian, kepresisian,
relevan, kedalaman, keluasan dan logis, 3) memiliki keterampilan analisis
inferensial seperti mampu merumuskan dan menilai tujuan dan perencanaan,
pertanyaan dan masalahnya, informasi dan data, konsep dan teori dasar, asumsi dan
dugaan sementara, implikasi dan konsekuensi, sudut pandang dan referensi kriteria,
dan terakhir 4) berkomitmen terhadap orientasi nilai fundamental dengan sifat dan
disposisi tertentu seperti kerendahan hati, keberanian, empati dan ketekunan.30
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis
merupakan serangkaian proses berpikir yang memiliki kriteria tertentu dengan
tujuan untuk menilai atau memutuskan sesuatu, misalnya kelayakan suatu informasi
dengan mempertimbangkan informasi pendukung yang didapatkan dari oranglain
maupun dari hasil observasi sendiri dan/atau kesimpulan yang telah dibuat
sebelumnya.
27 Robert H. Ennis, “Critical Thinking and Subject Specificity: Clarification and Needed
Research”, Educational Research, 1989, p.4. 28 John Dewey, How We Think, (Boston: D.C. Heath & Company, 1910), p.6. 29 Ibid., p.74. 30 Richard W. Paul et al., California Teacher Preparation for Instruction in CriticalThinking:
Research Findings and Policy Recommendations, (California: California Commission on Teacher
Credentialing, 1997), p.1.
19
b. Kemampuan Berpikir Kritis
Berpikir kritis merupakan bagian dari berpikir tingkat tinggi. Seseorang
dikatakan mampu berpikir kritis ketika mereka mempunyai watak atau
menunjukkan indikator mampu berpikir kritis. Dalam hal ini, pada tahun 1985
Ennis telah membuat daftar disposisi dan indikator berfikir kritis sebagai acuan
dasar penilaian kemampuan berpikir kritis. Meskipun watak/disposis dan indikator
dibuat dalam daftar terpisah, pada gilirannya mereka akan terintegrasi dalam proses
menentukan apa yang harus dipercayai atau dilakukan.31
Watak seseorang yang mampu berpikir kritis seperti yang dijabarkan Ennis,
diantaranya:32
1) Mencari pernyataan yang jelas mengenai suatu teori atau pertanyaan.
2) Mencari alasan-alasan.
3) Selalu mencoba mencari informasi terbaru.
4) Menyebutkan dan menggunakan sumber informasi yang kredibel.
5) Mempertimbangkan situasi secara keseluruhan.
6) Mempertahankan kerelevanan poin utama.
7) Selalu mengingat dasar utama suatu urusan.
8) Selalu mencari alternatif.
9) Berpikiran terbuka dengan cara selalu mempertimbangkan pendapat orang lain,
berpikir logis, dan tidak sembarangan menilai ketika tidak ada cukup bukti dan
alasan.
10) Berpendapat atau merubah pendapat berdasarkan kecukupan bukti dan alasan.
11) Mencari sebanyak mungkin kepresisian suatu subjek.
12) Tidak mengabaikan detail terkecil.
13) Peka terhadap perasaan, tingkat pengetahuan dan pengalaman orang lain.
Sementara itu untuk indikator berpikir kritis, Ennis mengklasifikasikannya
kedalam lima kategori utama dengan bagian-bagian lebih rinci lainnya yang
disajikan pada tabel 2.1.
31 Robert H. Ennis, A Logical Basis for Measuring Critical Thinking Skills, op.cit., p.48. 32 Ibid., p.46.
20
Tabel 2.1 Indikator Kemampuan Berpikir Kritis33
No. Kelompok Indikator Sub Indikator
1 Klarifikasi
Dasar
Memfokuskan
pada
pertanyaan
a. Mengidentifikasi atau
memformulasikan sebuah
pertanyaan
b. Mengidentifikas atau
memformulasikan kriteria untuk
menilai suatu kemungkinan
c. Menjaga situasi berfikir
2 Menganalisis
argumen
a. Mengidentifikasi kesimpulan
b. Mengidentifikasi alasan yang
dinyatakan
c. Mengidentifikasi alasan yang tidak
dinyatakan
d. Memahami suatu persamaan dan
perbedaan
e. Mengidentifikasi dan menangani
ketidakrelevanan
f. Memahami struktur dari suatu
argumen
g. Membuat ringkasan
3 Bertanya dan
menjawab
pertanyaan
klarifikasi
dan/atau suatu
tantangan,
misalnya:
a. Mengapa?
b. Apa poin utamamu?
c. Apa yang kamu maksud dengan
“....”?
d. Apa contoh lainnya?
e. Apa yang bukan contohnya
(meskipun hampir mirip dengan
cotohnya)?
33 Ibid.
21
f. Bagaimana hal tersebut bisa
diaplikasikan kedalam kasus ini
(menjelaskan keadaan, yang mana
mungkin saja malah menghasilkan
contoh yang berlawanan dengan
teori awal)?
g. Apa yang membuatnya berbeda?
h. Apa faktanya?
i. Apakah maksudmu begini “.....”?
j. Maukah kamu menjelaskan lebih
lanjut?
4 Pendukung
Dasar
Menilai
kredibilitas dari
sutau sumber,
dengan kriteria:
a. Dinyatakan oleh ahli
b. Tidak ada konflik kepentingan
c. Banyak persetujuan dari berbagai
sumber
d. Memiliki reputasi
e. Menggunakan prosedur yang
terancang
f. Telah mengetahui resiko terhadap
reputasi sumber tersebut
g. Kemampuan memberikan alasan
h. Kebiasaan berhati-hati.
5 Mengobservasi
dan menialai
laporan observasi,
dengan kriteria:
a. Meminimalkan kesimpulan
b. Interval waktu yang singkat antara
proses observasi dengan laporannya
c. Dilaporkan langsung oleh pengamat,
bukan oleh oranglain (contuh: kabar
burung)
d. Menggunakan dokumen yang
dibutuhkan. Jika laporan
22
berdasarkan sebuah dokumen,
sebaiknya:
1) Dokumen tersebut dibuat dalam
waktu yang berdekatan dengan
proses observasi
2) Dokumen dibuat oleh pengamat
3) Dokumen dibuat oleh orang yang
melakukan observasi pada saat itu.
4) Laporan tersebut dipercayai
keabsahannya oleh pembuat, baik
karena adanya kepercayaan
sebelumnya terhadap keabsahan
tersebut atau karena kepercayaan
bahwa si pengamat memang selalu
benar.
e. Bukti pendukung
f. Kemungkinan sebagai bukti
pendukung
g. Kondisi akses yang baik
h. Kompeten menggunakan teknologi,
jika menggunakan suatu teknologi.
i. Hasilnya sesuai dengan apa yang
diinginkan pengamat (dan pelapor,
jika orangnya yang berbeda) dengan
kriteria kredibilitas (#4 diatas)
6 Inferensi
Deduksi dan
meniali deduksi
a. Logika kelas/siklus logika euleur
b. Logika yang kondisional
c. Interpretasi dari suatu pernyataan
1) Negasi ganda
2) Kondisi yang cukup dan dibutuhkan
23
3) Kata-kata logika lainnya: jika, jika
dan hanya jika, atau , beberapa,
kecuali, bukan, bukan keduanya dll.
7 Induksi dan
menilai induksi
a. Generalisasi
1) Kekhususan data: pembatasan
laporan.
2) Pengambilan sampel
3) Tabel dan grafik
b. Menyimpulkan kesimpulan dan
hipotesis penjelas
1) Tipe kesimpulan dan hipotesis
penjelas
a) Klaim kausal
b) Klaim tentang apa yang diyakini
dan bagaiman sikap oranglain
c) Interpretasi makna sesuai yang
dimaksud penulis
d) Klaim sejarah yang mana hal
tertentu memang terjadi
e) Definisi yang dilaporkan
f) Klaim bahwa suatu hal tersebut
adalah alasan atau kesimpulan
yang tidak dinyatakan
2) Menginvestigasi
a) Desain eksperimen, termasuk
perencanaan pengkontrolan
variabel
b) Mencari bukti dan anti-bukti
c) Mencari kemungkinan penjelasan
yang lain
24
3) Memberikan asumsi yang masuk
akal, dengan kriteria:
a) Kesimpulan yang diajukan dapat
menjelaskan bukti (penting)
b) Kesimpulan yang diajukan
konsisten dengan fakta yang ada
(penting)
c) Kesimpulan alternatif yang
bersifat kompetitif tidak
konstisten dengan fakta yang ada
(penting)
d) Kesimpulan yang diajukan
terlihat masuk akal (sesuai
keinginan)
8 Membuat dan
mempertimbang-
kan nilai suatu
keputusan
a. Berdasarkan latarbelakang fakta
b. Konsekuensi
c. Penerapan pertamakali (prima facie
application) dari prinsip yang
diterima
d. Pertimbangan alternatif
e. Menyeimbangkan, menimbang dan
memutuskan
9 Klarifikasi
lebih lanjut
Mendefinisikan
istilah dan
menilai suatu
definisi, ada tiga
dimensi:
a. Bentuk
1) Sinonim
2) Klasifikasi
3) Jarak
4) Ungkapan yang setara
5) Operasional
6) Contoh dan yang bukan contoh
b. Strategi defisional
25
1) Tindakan-tindakan
a) Laporan suatu definisi (definisi
yang “dilaporkan”)
b) Menentukan suatu definisi
(definisi yang “ditentukan”)
c) Menggambarkan posisi dari
sebuah isu (“bergantung posisi”,
termasuk “bersifat terencana” dan
definisi yang “meyakinkan”
2) Mengidentifikasi dan mengatasi
keambiguan
a) Memperhatikan konteks
b) Kemungkinan macam-macam
tipe respon
i) Definisinya salah (respon yang
paling simpel)
ii) Mengurangi keabsurdan:
“merujuk kepada definisi
tersebut, maka terdapat hasil yang
aneh”
iii) Mempertimbangkan alternatif
interpretasi: “Menurut definisi ini,
terdapat masalah ini; menurut
definisi itu, terdapat masalah itu”
iv) Menetapkan ada dua definisi dari
istilah kunci, dan ada
penggeseran arti dari definisi satu
ke definisi lainnya.
c. Konten
10 Mengidentifikasi
asumsi
a. Alasan yang tidak dinyatakan
26
b. Alasan yang dibutuhkan:
rekonstruksi argumen
11 Strategi
dan Taktik
Memutuskan
suatu tindakan
a. Menjelaskan suatu masalah
b. Memilih kriteria untuk menilai
solusi yang memungkinkan
c. Memformulasikan solusi alternatif
d. Menentukan tindakan sementara
e. Meninjau ulang, mempertimbangkan
situasi keseluruhan dan kemudian
mengambil keputusan
f. Mengawasi penerapannya
12 Berinteraksi
dengan oranglain
a. Menggunakan atau beraksi terhadap
suatu label “kekeliruan (fallacy)”,
misalnya: Circularity, Appeal to
Authority, Bandwagon, Glittering
term, Name calling, Slippery Slope,
Post hoc, Non Sequitur, Ad
Hominem, Affirming the
Consequent, Denying the
Antecedent, Conversion, Begging the
Question, Either-or, Vagueness,
Equivocation, Strawperson, Appeal
to Tradition, Argument from
Analogy, Hypothetica1 Question,
Oversimplification, Irrelevance
b. Strategi logis
c. Strategi retorik
d. Mempresentasikan posisi, lisan atau
tulisan (argumentasi)
1) Menargetkan audiens tertentu
27
2) Mengorganisir (tipe umum: poin
utama, klarifikasi, alasan, alternatif,
mencoba membantah bakal
tantangan, ringkasan; termasuk
pengulangan poin utama)
3. Kajian Materi Subjek Gejala Pemanasan Global
a. Kompetensi Inti
Terdapat 4 Kompetensi Inti (KI) yang harus dikuasai siswa, yaitu:
KI. 1 Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
KI. 2 Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab,
peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan
pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial
dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam
pergaulan dunia.
KI. 3 Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya
tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan
wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait
penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan
prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan
minatnya untuk memecahkan masalah.
KI. 4 Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak
terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan
metoda sesuai kaidah keilmuan.
b. Kompetensi Dasar
Berdasarkan kurikulum 2013 yang berlaku terdapat 4 Kompetensi Dasar
(KD) yang harus dikuasai siswa dalam materi efek pemanasan global, yaitu:
28
1.1 Menyadari kebesaran Tuhan yang menciptakan dan mengatur alam jagad
raya melalui pengamatan fenomena alam fisis dan pengukurannya.
2.1 Menunjukkan perilaku ilmiah (memiliki rasa ingin tahu; objektif; jujur;
inovatif dan peduli lingkungan) dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud
implementasi sikap dalam melakukan percobaan, melaporkan, dan
berdiskusi.
3.9 Menganalisis gejala pemanasan global, efek rumah kaca, dan perubahan
iklim serta dampaknya bagi kehidupan dan lingkungan.
4.8 Menyajikan ide/gagasan pemecahan masalah gejala pemanasan global dan
dampaknya bagi kehidupan dan lingkungan.
c. Peta Konsep
Gambar 2.3 Peta Konsep Gejala Pemanasan Global
29
d. Uraian Materi
1) Definisi Pemanasan Global
Peningkatan konsentrasi gas-gas polutan yang mencemarkan udara dan
mengakibatkan meningkatnya suhu Bumi dari keadaan normal dikenal sebagai
fenomena Pemanasan Global (global warming). Peningkatan ini berawal dari
revolusi industri di Eropa yang terjadi secara besar-besaran sejak tahun 1750.34
Panas yang berlebihan mendorong munculnya berbagai dampak pemanasan global
yang merugikan bagi makhluk hidup dan ekosistem alam di Bumi.
2) Efek Rumah Kaca
Gas-gas polutan yang memicu terjadinya pemanasan global di atmosfer
Bumi disebut sebagai gas rumah kaca. Istilah ini diambil dari Efek Rumah Kaca
yang pertamakali diusulkan oleh fisikawan Prancis bernama Jean-Baptise Joseph
Fourier pada tahun 1824. Menurut Fourier, efek rumah kaca adalah proses
pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau satelit) yang
disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya. Efek rumah kaca merupakan
hal alamiah karena membuat suhu udara di atmosfer Bumi bisa tetap hangat dan
membuat makhluk hidup dapat tinggal di Bumi.35
Efek rumah kaca adalah proses menembusnya energi kalor dari pancaran
radiasi matahari ke dalam atmosfer Bumi. Setelah melalui penyaringan, penyerapan
dan pemantulan, hanya setengah dari radiasi matahari yang diserap oleh permukaan
Bumi. Bebatuan, tanah dan air menyerap energi radiasi yang sampai kepadanya dan
pada gilirannya mereka akan berfungsi sebagai sumber kalor yang lebih dingin
dibanding matahari ketika mereka memancarkan kembali energi yang diserapnya
dalam bentuk radiasi inframerah. 36 Beberapa energi diserap kembali dan
dipancarkan kembali ke permukaan Bumi oleh uap air dan gas rumah kaca yang
terdapat di atmosfer yang kemudian menghangatkan permukaan bumi.37
34 Fieska Cahyani dan Yandri Santoso, FISIKA untuk SMA Kelas XI, (Bogor: Quadra, 2018),
h.287. 35 Ibid., h. 286. 36 Marthen Kanginan, FISIKA untuk SMA/MA Kelas XI, (Jakarta: Erlangga, 2013), h. 400. 37 Fieska Cahyani dan Yandri Santoso, op.cit., h.286.
30
Gambar 2.4 Mekanisme Efek Rumah Kaca38
Menurut konvensi PBB mengenai perubahan iklim (UNFCCC/United
Nations Framework Convention on Climate Change), ada enam jenis gas yang
digolongkan sebagai gas rumah kaca, yaitu karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida
(N2O), metana (CH4), sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs), dan
hidroflorokarbon (HFCs). 39 Karbon dioksida (CO2) merupakan penyumbang
terbesar gas rumah kaca dengan jumlah volume lebih dari setengah jumlah total
volume gas rumah kaca, sedangkan metana dan nitrogen oksida menempati urutan
kedua dan ketiga.40 Berikut disajikan jumlah konsentrasi CO2 tahun 1960-2020:41
Gambar 2.5 Jumlah Konsentrasi CO2 tahun 1960-2020
38 Alaskans Know Climate Change, The Greenhouse Effect: What We Know, 2018,
(http://www.alaskansknowclimatechange.com). 39 Fieska Cahyani dan Yandri Santoso, op.cit., h.287. 40 Muhammad Noor, Lahan Gambut: Pengembangan, Konservasi dan Perubahan Iklim,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), h.133. 41 UNEP, Record Global Carbon Dioxide Concentrations Despite COVID-19 Crisis, 2020,
Pemanasan global disebabkan oleh meningkatnya gas rumah kaca di
atmosfer yang dihasilkan dari aktifitas manusia seperti:
a) Pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) akan menghasilkan
karbon dioksida dan nitrogen oksida yang diantaranya bersumber dari industri
energi pembangkit listrik dan kilang minyak, sektor transportasi, sektor industri,
dan sektor rumah tangga dan jasa. Proses kimiawi di berbagai industri seperti
elektronika, kimia, pupuk dan parfum juga banyak menghasilkan gas-gas yang
mengandung fluorin seperti SF6, PFCs dan HFCs.42
b) Tumpukan sampah organik yang menghasilkan metana dengan perkiraan 1 ton
sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana. Metana terbentuk di tempat
pembuangan sampah ketika mikroorganisme tertentu menguraikan bahan
organik pada kondisi anaerob.43
c) Deforestasi mengakibatkan penyerapan karbon dioksida oleh hutan menjadi
tidak optimal dan rusaknya ekosistem lahan gambut menyebabkan terlepasnya
karbon bawah tanah. Karbon dioksida merupakan gas rumah kacavdengan
konsentrasi volume terbanyak diantara total seluruh gas rumah kaca sehingga
kerusakan atau penggundulan hutan secara besar-besaran berarti hilangnya
faktor penyerap karbon dioksida di atmosfer.44 Alih fungsi dan kerusakan hutan
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya status hutan negara yang tidak
legitimate, penguasaan sumber daya alam oleh pihak swasta/pemegang izin,
terdapat mekanisme formal untuk melakukan konversi hutan dan kebijakan
perizinan yang dijalankan tidak digunakan sebagai alat pengendali.45
d) Sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah
kaca melalui sawah-sawah yang tergenang, penggunaan pupuk, pembakaran
sisa-sisa tanaman dan pembusukan sisa-sisa pertanian yang menghasilkan gas
metana yang efek pemanasannya 72 kali lebih kuat daripada karbondioksida.
Selain itu, hasil sampingan pembuatan dan penggunaan pupuk nitrogen pada
42 Fieska Cahyani dan Yandri Santoso, op.cit., h.290. 43 Fieska Cahyani dan Yandri Santoso, op.cit., h.288. 44 Marthen Kanginan, op.cit., h.405. 45 Hariadi Kartodihardjo, Di Balik Krisi Ekosistem: Pemikiran Tentang Kehutanan dan
Lingkungan Hidup, (Depok: LP3ES, 2017), h.52.
32
tanaman perkebunan bisa menghasilkan nitrogen oksida yang efek
pemanasannya 296 kali lebih kuat dari pada karbon dioksida.46
Parameter utama gejala perubahan iklim yang paling mudah dan nyata untuk
diamati dan bisa dirasakan adalah suhu udara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
suhu Bumi mengalami peningkatan yang semakin cepat. Dalam 100 tahun pertama
dari 1890-1900 terjadi peningkatan suhu bumi sekitar 0,4˚C, namun sejak tahun
1980 peningkatan suhu terjadi hanya dalam kurun waktu 20 tahun dengan
peningkatan suhu antara 0,4˚C - 0,45˚C.47Aktifitas manusia yang menghasilkan
emisi gas rumah kaca telah meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer
yang dapat memberikan dampak yang sangat berbahaya seperti:
a) Pemanasan global menyebabkan menipisnya lapisan ozon (O3) yang terdapat di
atmosfer yang menyelimuti Bumi. Atmosfer yang membentang sampai 400 km
dari permukaan Bumi terdiri dari empat lapisan berbeda dimulai dari yang
terbawah yaitu troposfer, stratosfer (tempat ozon berada), mesosfer dan
termosfer. Ozon sendiri merupakan molekul yang mempunyai tiga atom oksigen
dan termasuk gas beracun yang berbahaya dan dapat merusak paru-paru jika
terhisap.48 Namun ozon juga sangat penting karena berfungsi melindungi Bumi
dari berbagai macam ancaman buruk dari luar angkasa, seperti menyaring sinar
ultraviolet (UV) dari matahari. Gas-gas rumah kaca yang bereaksi dengan
molekul ozon menyebabkan lapisan ozon menjadi tipis dan berlubang. Dampak
dari sinar ultraviolet yang masuk dengan mudah ke permukaan Bumi adalah
munculnya berbagai penyakit, merusak jenis tanaman tertentu, mempengaruhi
jumlah plankton sehingga mengganggu rantai makanan di laut.49 Gas rumah
kaca seperti CFC dapat menimbulkan kerusakan dan penurunan jumlah ozon.
Pada lapisan atmosfer, pengaruh radiasi UV matahari berenergi tinggi dapat
menguraikan molekul-molekul CFC menjadi atom-atom klorin (Cl). Atom
klorin yang dibebaskan bereaksi dengan ozon dan mengubah ozon menjadi
molekul oksigen biasa (O2). Klorin yang terbentuk kembali selanjutnya dapat
46 Marthen Kanginan, op.cit., h.406. 47 Muhammad Noor, op.cit., h.138. 48 Marthen Kanginan, op.cit., h. 393. 49 Fieska Cahyani dan Yandri Santoso, op.cit., h.294.
33
melakukan reaksi berantai untuk memusnahkan ozon dengan perbandingan satu
atom klorin yang dibebaskan CFC dapat memusnahkan 100.000 molekul ozon
sehingga dapat menimbulkan lubang ozon. Berikut bentuk persamaan reaksi dari
pemusnahan ozon oleh CFC:50
2O3 + Cl + UV → 3O2 + Cl
Menurut penelitian, jumlah ozon di kutub utara pada bulan maret dan april
biasanya selalu berada pada kategori tinggi dengan jumlah ozon terendah yang
pernah dicapai berada pada kisaran 240 dobson units. Namun baru-baru ini pada
bulan maret 2020 untuk pertamakalinya peneliti menemuan lubang ozon besar
di kutub utara karena menipisnya jumlah ozon yang berada pada kisaran 205
dobson units. Jumlah ini masih terbilang tidak lebih rendah dibandingkan
dengan jumlah rata-rata ozon di kutub selatan pada kategori terendahnya yang
berkisar 120 dobson units yang menyebabkan lubang ozon berkepanjangan.51
b) Iklim yang tidak stabil membuat pola aliran angin berubah. Pola cuaca menjadi
tidak terprediksi dan lebih ekstrem. Perubahan suhu menyebabkan perubahan
curah hujan dan menyebabkan pergeseran vegetasi di daerah hulu sungai yang
pada akhirnya mempengaruhi ketersediaan air tanah dan aliran permukaan air
tanah. Daerah yang hangat akan menjadi lebih lembap karena lebih banyak air
yang menguap ke atmosfer. Badai topan (hurricane) yang memperoleh
kekuatannya dari penguapan air akan menjadi lebih besar dan kuat. Selain itu
produksi pertanian akan menurun karena memprediksi lamanya musim hujan
dan kemarau akan sulit. 52 Peneliti mengungkapkan bahwa dengan adanya
pemanasan global yang terus berlanjut akan lebih memperparah kerusakan
akibat cuaca ekstrim sebesar 70%. Cuaca ekstrim akibat pemanasan global
menyebabkan peningkatan gelombang panas, kekeringan, hujan deras,
kebakaran hutan, dan badai tropis.53
50 Marthen Kanginan, op.cit., h. 395. 51 NASA, NASA Reports Arctic Stratospheric Ozone Depletion Hit a Record Low for March, 2020,
(https://climate.nasa.gov) 52 Fieska Cahyani dan Yandri Santoso, op.cit., h. 293. 53 Carbon Brief Ltd, Mapped: How Climate Change Affects Extreme Weather Around The
World, 2020, (https://www.carbonbrief.org)
34
c) Ketika atmosfer menghangat, lautan juga akan menghangat sehingga
menyebabkan volume laut membesar ditambah dengan banyaknya es di kutub
mencair mengakibatkan tinggi muka laut di seluruh dunia perlahan-lahan
meningkat. Permukaan air laut meningkat 10-25 cm pada kurun waktu 1900-
2000 yang mengakibatkan daratan (terutama daerah pantai) menyempit dan
tenggelam.54
d) Curah hujan yang tidak menentu dan tingkat kelembaban yang tinggi memicu
munculnya berbagai penyakit yang mengancam kesehatan manusia seperti
meningkatnya penderita saluran pernapasan, berkembangnya penyakit DBD dan
malaria, meningkatnya penderita kanker kulit, katarak, dan penurunan daya
tahan tubuh. 55 Peneliti juga menyebutkan bahwa terdapat korelasi yang
signifikan antara polusi udara akibat polutan seperti PM2.5, PM10, CO dan NO2
dengan meningkatnya penderita infeksi seperti pada COVID-19.56
e) Hewan atau tumbuhan yang tidak tahan terhadap perubahan suhu, curah hujan
atau kekeringan akan mengalami kepunahan. Karena sebagian besar lahan telah
dikuasai manusia, maka hewan cenderung bermigrasi ke wilayah yang lebih
dingin. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhan dan mencari daerah baru
karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Namun pembangunan yang
dilakukan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang
bermigrasi yang terhalangi pertumbuhan kota-kota lama-kelamaan terancam
punah. 57 Studi terbaru dari Universitas Ottawa menyebutkan bahwa dalam
hitungan satu generasi manusia, populasi lebah berkurang rata-rata 30% akibat
meningkatnya temperatur bumi.58
3) Upaya Penanggulangan Pemanasan Global
Sejak ditemukannya lubang ozon pertama pada tahun 1985, masyarakat
dunia mulai memperhatikan dampak yang dihasilkan dari revolusi industri bagi
54 Fieska Cahyani dan Yandri Santoso, op.cit., h. 293. 55 Ibid., h. 294. 56 Yongjian Zhu et al., “Association between short-term exposure to air pollution and
COVID-19 infection: Evidence from China”, Science of the Total Environment, 2020, p.6. 57 Marthen Kanginan, op.cit., h. 408. 58 University of Ottawa, Why Bumble Bees are Going Extinct in Time of 'Climate Chaos',
2020, (https://phys.org)
35
lingkungan hidup, berikut ini merupakan organisasi dunia yang dibentuk sebagai
upaya penanggulangan krisis pemanasan global:59
a) Uni Eropa. Merupakan grup negara-negara yang terlibat dalam persemakmuran
ekonomi Uni Eropa. Dalam sejarah perundingan perubahan iklim, Uni Eropa
memainkan peran yang sangat signifikan dalam mendorong negara-negara maju
mencapai target pengurangan emisi. Anggota negara UE mendukung target
pengurangan emisi yang sifatnya mengikat dengan batas waktu yang jelas serta
ambisius seperti menargetkan pengurangan emisi 30% pada tahun 2020.
b) The JUSSCANZ. Merupakan kumpulan negara-negara maju non-Eropa yang
beranggotakan Jepang, Amerika, Swis, Kanada, Australia, Selandia Baru dan
Norwegia. Negara-negara ini cenderung mendorong pendekatan yang fleksibel
dalam mencapai target pembatasan emisi GRK.
c) The Group 77 and China. Merupakan grup negara-negara berkembang plus
China yang kepentingan anggotanya paling bervariasi dan seringkali
bertentangan satu sama lain. Misalnya China dan India yang kecanduan
menggunakan batu bara dalam industrialisasi yang membuat kedua negara ini,
terutama China bangkit menjadi negara ekonomi baru yang disegani. China dan
beberapa negara Asia lainnya yang mengalami peningkatan ekonomi bertahan
untuk tidak menjadi target pengurangan emisi. Contoh lain, negara-negara di
Afrika cenderung fokus pada isu kerentanan dan dampak perubahan iklim.
Karenanya, negara-negara di Afrika seringnya mengajukan proposal mengenai
pendanaan dari negara maju. Sementara Indonesia dan Brazil bergulat dengan
masalah kerusakan hutan. Meski berbeda, secara umum anggota negara-negara
ini sama-sama dalam posisi mendesak negara maju untuk mewujudan komitmen
pendanaan dan transfer teknologi ramah lingkungan.
d) The Association of Small Island States (AOSIS). Kelompok AOSIS merupakan
perkumpulan negara yang paling banyak terkena dampak pemanasan global.
Sebagian negara kepulauan saat ini sudah terkena dampak kenaikan permukaan
air laut sehingga terancam kehilangan negara dan menjadi pengungsi abadi di
59 Mumu Muhajir, REDD di Indonesia: Kemana akan Melangkah?, (Jakarta: HuMa, 2010),
h.53-58.
36
negara yang lebih besar. Karena itu posisi negara kepulauan sangat kuat untuk
memaksa negara maju untuk melakukan pemangkasan emisi GRK.
e) The Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC). Merupakan
organisasi negara pengekspor minyak yang cenderung mengkonsentrasikan diri
pada dampak signifikan yang diterima negara anggota ini jika negara-negara lain
mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Lobi politik negara OPEC yang kuat
bisa membuat laporan sains dianggap tidak pasti, karena hasil laporan-laporan
ilmiah ini bisa mengancam bisnis minyak dani industri negara-negara tersebut.
f) Kalangan pebisnis yang menerima banyak klaim kerugian dan kerusakan akibat
perubahan iklim dan kalangan pebisnis yang melihat peluang usaha untuk
mempromosikan sumber energi berkelanjutan.
g) Aktifis lingkungan seperti Climate Action Network (CAN) dan World Wildlife
Fund (WWF) yang beranggotakan Lembaga Swadaya Masyarakat dari berbagai
negara yang mempromosikan tindakan pemerintah dan individu untuk
membatasi penyebab perubahan iklim dunia.
h) Pemerintah lokal baik tingkat kota atau provinsi seperti Governors’ Climate and
Forests Task Force (GFC) yang beranggotakan gubernur dari berbagai dunia.
Para gubernur mengklaim bahwa 50% hutan tropis dunia berada di wilayah
provinsi, karena itu para gubernur dalam GFC banyak terlibat merumskan
berbagai rekomendasi kebijakan terhadap alih fungsi hutan demi mencegah
kerusakan penyerap karbon dunia.
Setelah membentuk kerjasama, sebagai upaya penyelamatan Bumi dari
pemanasan global maka dihasilkanlah kesepakatan-kesepakatan yang diakui
mayoritas negara di seluruh dunia, diantaranya sebagai berikut:
1) Protokol Montreal yang diratifikasi pada tahun 1987 yang dihasilkan dari
Konvensi Wina tahun 1985 merupakan perjanjian lingkungan skala global
paling sukses dalam sejarah dan bisa dijadikan contoh bagi generasi sekarang
sebagai acuan pengambilan tindakan pencegahan kerusakan lingkungan bagi
generasi mendatang. Protokol ini merupakan bentuk usaha skala global untuk
melindungi lapisan ozon dengan mengendalikan produksi dan konsumsizat
perusak ozon (Ozone Depleting Substance/ODS). Lebih dari 98% dari total ODS
37
seperti CFCs dan HFCs telah dieliminasi sebagai hasil kerja sama
melaluiperjanjian ini.60
2) Protokol Kyoto yang dinegosiasikan pada tahun 1997 di Conference of the
Parties (COP) ke-3 dan diberlakukan mulai tahun 2005 dengan masa komitmen
sampai tahun 2012. Protokol ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca sebesar 5% dibawah tingkat emisi tahun 1990 terutama bagi negara-negara
industri maju yang disebut dengan istilah Annex I. 61 Namun pada
pelaksanaannya, kesepakatan Protokol Kyoto dianggap kurang begitu berhasil
dalam memenuhi tujuannya karena pada tahun 2012, beberapa negara industri
maju menghasilakan emisi gas rumah kaca dengan jumlah rata-rata diatas 10%.62
3) Penggati Protokol Kyoto berhasil disepakati melalui Paris Agreement pada
tanggal 22 April tahun 2016 di pertemuan COP ke-21. Paris Agreement akan
menetapkan kerangka kerja berskala internasional setelah kesepakatan tersebut
diberlakukan pada tahun 2020. Tujuan kesepakatan ini adalah untuk menjaga
suhu Bumi dibawah 2˚C dan diupayakan membatasi tingkat kenaikan sampai
dengan 1,5˚C. Kesepakatan ini meminta semua pihak yang terlibat untuk
berkontribusi dalam upaya mitigasi dan adaptasi untuk memperkuat ketahanan
dan mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim berlandaskan asas
tanggung jawab bersama namun berbeda sesuai dengan kemampuan masing-
masing negara.63
Pemanasan global mengakibatkan cuaca semakin panas sehingga kebutuhan
listrik untuk menggunakan AC dan kipas angin meningkat drastis yang
mengakibatkan kebutuhan pasokan listrik semakin besar. Jika sumber energi listrik
tidak menggunakan sumber yang terbarukan, maka lama kelamaan akan terjadi
krisis energi karena bahan bakar fosil yang digunakan sampai sekarang tidak akan
60 Brian J. Gareau, “Lessons from the Montreal Protocol Delay in Phasing Out Methyl
Bromide”, Journal of Environmental Studies and Sciences Vol.4, No.4, 2015, p.1. 61 Andreja Cirman et al., “The Kyoto Protocol in a Global Perspective”, Economic and
Business Review Vol.11, No.1, 2009, p.32. 62 Amanda M. Rosen, “The Wrong Solution at the Right Time: The Failure of the Kyoto
Protocol on Climate Change”, Politics & Policy Vol.43, No.1, 2015, p.36. 63 Charlotte Strecket et al.,“The Paris Agreement: A New Beginning”, Journal for European
Environmental & Planning Law, 2016, p.5.
38
bertahan selamanya. Berikut ini disajikan sumber energi alternatif yang bisa
dipertimbangkan sebagai sumber energi terbarukan diantaranya:
a) Air
Sumber energi tenaga air merupakan penyumbang terbesar penghasil energi
terbarukan yang rendah emisi karbon. Pada tahun 2018, sumber energi tenaga air
menyumbang 16% dari total listrik dunia, lebih banyak dari tenaga nuklir yang
hanya 10% dan sumber energi lainnya seperti angin, matahari dan energi terbarukan
lainnya yang hanya 9%.Namun, potensi sumber energi tenaga air memiliki potensi
pertumbuhan yang terbatas karena memiliki efek negatif yang berkaitan dengan
efek ekologis dan lingkungan.64
Gambar 2.6 Mekanisme Penghasil Sumber Energi Tenaga Air65
b) Udara
Sumber energi tenaga angin menggunakan turbin angin untuk menghasilkan
listrik. Tempat pembangkit listrik tenaga angin berisi puluhan atau bahkan ratusan
turbin angin yang saling terhubung yang berlokasi di darat atau di lepas pantai.
Biaya sumber tenaga angin yang bertempat di daratan luas relatif lebih murah, tetapi
pasokan listrik yang dihasilkan tidak kontinyu. Sementara yang bertempat di lepas
pantai memiliki biaya yang lebih mahal untuk pembangunan dan
pengoperasiannya, tetapi turbinnya berukuran lebih besar sehingga tenaga listrik
yang dihasilkan lebih kontinyu dan tidak mengganggu pemandangan lingkungan
karena lokasinya yang berada di lepas pantai.66
64 W. Addy Majewski, “Energy Alternatives”, Diesel Net Technology Guide Papers, 2019,
p.21. 65 Loc. Cit. 66 Ibid., p. 23.
39
Gambar 2.7 Mekanisme Penghasil Sumber Energi Tenaga Udara67
c) Nuklir
Teknologi tenaga nuklir memanfaatkan panas yang dihasilkan dari reaksi
fisi nuklir untuk menghasilkan uap yang menggerakkan turbin untuk menghasilkan
listrik. Sebagian besar tenaga nuklir dihasilkan dari reaksi fisi uranium dan
plutonium. Keuntungan dari penggunaan tenaga nuklir adalah menghasilkanemisi
karbon yang sangat rendah. Tenaga nuklir adalah salah satu dari sedikit pilihan
alternatif yang telah terbukti layak secara teknis dan komersial. Perancis
memperoleh sekitar 75% listriknya dari energi nuklir. Meskipun demikian,
keuntungan ini datang bersamaan dengan sejumlah masalah, diantaranya potensi
kebocoran nuklir, sulitnya pengolahan pembuangan limbah nuklir, dan tingginya
biaya pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir.68
Gambar 2.8 Mekanisme Penghasil Sumber Energi Tenaga Nuklir69
67 Karthik Reddy, Wind Power Generation, 2020, (https://www.seminarstopics.com) 68 W. Addy Majewski, op.cit., p.20. 69 Anna Dabkowski, How Nuclear Powers Plants Work, 2020,
Gambar 2.10 Mekanisme Penghasil Sumber Energi Tenaga Matahari73
f) Panas Bumi
Energi panas bumi adalah energi yang tersedia di kedalaman bumi. Terbuat
dari energi matahari yang telah disimpan di dalam bumi selama ribuan tahun. Juga
terbuat dari runtuhnya atau peluruhan radioaktif uranium, thorium dan kalium di
kedalaman bumi terutama di daerah-daerah yang rawan gempa bumi, kawah
vulkanik yang baru terbuat dan lempengan tektonik bumi. Tidak seperti energi
terbarukan lainnya, energi panas bumi tidak terbatas pada musim, waktu, dan
kondisi.74
Gambar 2.11 Mekanisme Penghasil Sumber Energi Tenaga Panas Bumi75
g) Pasang Surut Laut
Energi pasang surut adalah hasil interaksi energi kinetik dari orbital bulan,
bumi, dan matahari yang mengakibatkan pasang surut laut. Sumber energi ini tidak
menghasilkan polusi gas-gas berbahaya dan memiliki pasokan energi yang tidak
ada habisnya. Salah satu keuntungan dari pemanenan energi pasang surut adalah
73Center for Climate and Energy Solutions, Renewable Energy, 2020, (https://www.c2es.org) 74Armin Ramezani et al., “Generating Electricity Using Geothermal Energy in Iran”, Journal
of Renewable Energy and Sustainable Development Vol.2, No.1, 2018, p.46. 75 Center for Climate and Energy Solutions,Op. Cit.
42
bahwa arus pasang surut teratur dan dapat diprediksi karena tidak tergantung pada
perubahan musim atau jenis cuaca. Namun, pembangkit listrik pasang surut adalah
teknologi yang terbilang sangat baru, yang masih perlu diselidiki lebih lanjut.76
Gambar 2.12 Mekanisme Penghasil Energi Tenaga Pasang Surut Laut77
h) Gelombang Laut
Istilah energi gelombang mengacu pada energi gelombang permukaan laut
dan penangkapan energi tersebut untuk dikonversi menjadi pembangkit tenaga
listrik. Gelombang laut terdiri dari dua bentuk energi yaitu energi kinetik yang
berasal dari pergerakan partikel air dan energi potensial yang berasal dari partikel
air yang naik ke atas. Kombinasi gaya gravitasi, tegangan permukaan laut, dan
intensitas angin adalah faktor utama yang membentuk gelombang laut.78
Gambar 2.13 Mekanisme Penghasil Energi Tenaga Gelombang Laut79
76 S.S. Shevkar and K.A. Otari, “Tidal Energy Harvesting”, International Journal of Science,
Engineering and Technology Research Vol.4, No.4, 2015, p.994. 77 AENEWS, Tydal Power, 2020, (https://www.alternative-energy-news.info) 78 Md. Mahbubur Rahman et al., “Power Generation from Sea Wave: An Approach to Create
Renewable Energy”, Global Journal of Researches in Engineering General Vol.13, No.1, 2013,
p.13. 79Masayuki Sanada et al.,“Generator Design and Characteristics in Direct-Link Wave Power
Generating System Considering Appearance Probability of Waves”, International Conference on
Renewable Energy Research and Applications, 2012, p.1.
1. Engin Karahan, Senenge T. Andzenge dan Gillian Roehrig (2017), dalam jurnal
internasional yang berjudul “Eliciting Students' Understanding of a Local
Socioscientific Issue Throughthe Use of Critical Response Pedagogies”. Hasil
temuan menunjukkan bahwa dengan menggunakan pedagogi respon kritis
berbasis pendekatan socioscientifict issues (SSI) dapat menciptakan suasana
lingkungan kelas dimana siswa dapat berdialog dengan nyaman ketika terlibat
dalam diskusi isu kontroversial yang mana menyebabkan siswa bisa
menganalisis masalah dengan analisis yang kritis daripada hanya debat kusir
yang tidak menghasilkan informasi. Hasil studi juga menunjukkan bahwa
pedagogi yang digunakan dapat mengukur pengetahuan dan tingkat pemahaman
siswa terhadap masalah yang diangkat dan siswa mampu mengidetifikasi
misinformasi atau kesenjangan pengetahuan.80
2. Julie L. Lambert dan Robert E. Bleicher (2017), dalam jurnal internasional yang
berjudul “Argumentation as a Strategy for Increasing Preservice Teachers’
Understanding of Climate Change, a Key Global Socioscientific Issue”. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman calon guru (sampel
penelitian) tentang konsep dasar materi (contoh: perbedaan antara cuaca dan
iklim, penyebab pemanasan global baru-baru ini, dll.) meningkat secara
signifikan. Persepsi mereka tentang perubahan iklim menjadi lebih selaras
dengan persepsi para ilmuwan iklim. Mereka diberikan pertanyaan dan klaim
tentang materi seputar perubahan iklim yang masih diragukan kebenarannya dan
diminta melakukan penelitian untuk menyiapkan argumen balasan (bantahan).
Sampel menunjukkan bahwa integrasi argumentasi ilmiah adalah strategi yang
efektif untuk meningkatkan pemahaman dan persepsi mereka tentang perubahan
iklim sebagai SSI.81
80 Engin Karaha et al., “Eliciting Students' Understanding of a Local Socioscientific Issue
Throughthe Use of Critical Response Pedagogies”, International Journal of Education in
Mathematics, Science and Technology Vol.5, No.2, 2017, p.88. 81 L. Lambert dan Robert E. Bleicher, “Argumentation as a Strategy for Increasing Preservice
Teachers’Understanding of Climate Change, a Key Global Socioscientific Issue”, International
Journal of Education in Mathematics, Science and Technology Vol.5, No.2, 2017, p.101.
44
3. Maria Evagorou dan Blanca Puig Mauriz (2017), dalam jurnal internasional
yang berjudul “Engaging Elementary School Pre-service Teachers in
Modeling a Socioscientific Issue as a Way to Help Them Appreciate the Social
Aspects of Science”. Temuan menunjukkan bahwa guru pra-jabatan di sekolah
dasar tidak memasukkan aspek sosial dalam sains dalam pembelajaran mereka,
tetapi dengan melibatkan SSI dapat membantu mengubah pandangan mereka
tentang sains dan pembelajaran yang ilmiah. Namun, ketika mereka diminta
untuk merancang rencana pembelajaran yang memasukkan aspek sosial dalam
sains, sebagian besar calon guru tidak mampu melakukannya. Melalui penilitian
ini, guru tidak hanya sebatas mampu memahami materi yang melibatkan aspek
sosial dalam sains, namun juga mampu merancang kegiatan pembelajaran yang
mendukung keterlibatan aspek sosial dalam sains melalui penggunaan SSI.82
4. Jenny Dauer, Michelle Lute dan Olivia Straka (2017), dalam jurnal internasional
yang berjudul “Indicators of Informal and Formal Decision-making about a
Socioscientific Issue”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orientasi nilai
siswa pada awal pembelajaran dapat memprediksi sudut pandang siswa terhadap
materi SSI namun tidak berlaku saat akhir pembelajaran, hal ini menunjukkan
bahwa pendapat siswa pasca pembelajaran kurang berdasar pada orientasi nilai
afektif. Motif personal siswa terhadapmateri SSI terfokus pada dimensi
lingkungan dan ekonomi yang mengakibatkan siswa lebih sadar akan adanya
opsi alternatif dan konsekuensi dari materi kontroversial yang sedang dibahas.
Hasil penelitian juga menunjukkan berkurangnya argumen siswa yang bersifat
emosional dan meningkatnya argumen yang didasarkan pada alasan. Kerangka
pembelajaran dengan pendekatan SSI membantu siswa dalam memutuskan apa
yang harus dilakukan mengenai SSI yang kompleks.83
82 Maria Evagorou and Blanca Puig Mauriz, “Engaging Elementary School Pre-service
Teachers in Modeling a Socioscientific Issue as a Way to Help Them Appreciate the Social Aspects
of Science”, International Journal of Education in Mathematics, Science and Technology Vol.5,
No.2, 2017, p.113. 83 Jenny Dauer et al., “Indicators of Informal and Formal Decision-making about a
Socioscientific Issue”, International Journal of Education in Mathematics, Science and Technology
Vol.5, No.2, 2017, p.124.
45
5. Muhamad Ikhwan Mat Saad, Sadiah Baharom dan Siti Eshah Mokhsein (2017),
dalam jurnal internasional yang berjudul “Scientific Reasoning Skills Based on
Socio-Scientific Issues in The Biology Subject”. Temuan mengungkapkan
bahwa kebutuhan belajar siswa harus dinaikkan ke tingkat pendekatan penalaran
SSI karena penelitian awal menunjukkan bahwa hasil belajar siswa masih rendah
atau berada di tingkat menengah. Selain itu, siswa tidak kompeten untuk
mengaitkan konsep sains dan masalah sosial. Kesimpulannya, pembelajaran
dengan pendekatan SSI yang digunakan dalam proses penelitian memungkinkan
siswa untuk menguasai konsep sains, mencapai tujuan pembelajaran dan mampu
meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi.84
6. Troy D. Sadler, William L. Romine dan Mustafa Sami Topçu (2016), dalam
jurnal internasional yangberjudul “Learning Science Content Through Socio-
Scientific Issues-Based Instruction: A Multi-Level Assessment Study”. Hasil
temuan menunjukkan bahwa siswa menunjukkan peningkatan statistik dan
praktikal yang signifikan terhadap konten pengetahuan yang diukur dengan
penilaian proksimal dan distal. Temuan ini mendukung klaim bahwa pengajaran
berbasis SSI dapat mendorong pembelajaran konten terkait dan meningkatkan
kinerja siswa pada tes tingkat tinggi.85
7. A. Cahyarini, S. Rahayu dan Yahmin (2016), dalam jurnal nasional yang
berjudul “The Effect Of 5E Learning Cycle Instructional Model Using
Socioscientific Issues (SSI) Learning Context on Students’ Critical Thinking”.
Berdasarkan analisis statistik, terdapat perbedaan signifikan pada kemampuan
berpikir kritis siswa antara siswa yang diajar menggunakan metode
konvensional dan siswa yang diajar baik menggunakan model 5E LC + SSI dan
model 5E LC. Namun, tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan pada
84Muhamad Ikhwan Mat Saad et al., “Scientific Reasoning Skills Based on Socio-Scientific
Issues in The Biology Subject”, International Journal of Advanced and Applied Sciences Vol.4,
No.3, 2017, p.13. 85 Troy D. Sadler et al., “Learning Science Content Through Socio-Scientific Issues-Based
Instruction: A Multi-Level Assessment Study”, International Journal of Science Education, 2016,
p.1.
46
keterampilan berpikir kritis siswa antara siswa yang diajar menggunakan model
5E LC + SSI dan siswa yang diajar menggunakan model 5E LC.86
C. Kerangka Berpikir
Sesuai dengan permendikbud nomor 36 tahun 2018, pembelajaran di
sekolah diminta untuk mengimplementasikan pengajaran yang mampu mangasah
keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan siswa sebagai bekal meraih
kesuksesan sesuai tuntutan abad ke-21. Pengajaran yang tidak hanya berfokus pada
nilai akademis semata, namun juga pembelajaran yang mampu mengasah
keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa seperti mampu berkomunikasi,
membagikan dan menggunakan informasi untuk memecahkan masalah yang
kompleks seperti isu-isu lingkungan hidup, mampu berinovasi dalam menghadapi
tuntutan dunia yang selalu berubah, keterampilan yang tidak dengan mudah diganti
oleh mesin.
Salah satu indikator siswa terampil dalam berpikir tingkat tinggi adalah
ketiak ia mampu berpikir kritis. Di Indonesia sendiri, kemampuan berpikir kritis
siswa masih dibilang cukup lemah karena guru seringnya melatih siswa dengan tipe
soal berpikir tingkat rendah. Salah satu kelemahan siswa dalam pembelajaran ialah
sulitnya mengaitkan masalah kehidupan sehari-hari dengan materi pelajaran dan
menarik kesimpulan sebagai solusi dari sebuah kasus yang sedang dibahas.
Kualitas-kualitas ini merupakan indikator dari kemampuan berpikir kritis.
Guru sebagai fasilitator pembelajaran diminta untuk merancang
pembelajaran yang mampu mendorong keterampilan berpikir kritis siswa. Salah
satu rancangan pembelajaran yang diajukan adalah dengan menggunakan model
pembelajaran Socioscientific Issues Teaching and Learning (SSI-TL). Inti
pembelajaran dengan model ini melibatkan siswa untuk menganalisis masalah
sosial dan kaitannya dengan dimensi sains. Model ini diterapkan pada materi Gejala
Pemanasan Global yang termasuk kedalam kategori materi yang dianggap kurang
86 A. Cahyarini et al., “The Effect Of 5E Learning Cycle Instructional Model Using
Socioscientific Issues (SSI) Learning Context on Students’ Critical Thinking”, Jurnal Pendidikan
IPA Indonesia Vol.5 No.2, 2016, p.222.
47
menarik dan membosankan oleh siswa. Materi ini sangat cocok diajarkan
menggunakan model SSI-TL karena model ini berfokus pada materi-materi yang
bersifat kontroversial seperti topik yang berkaitan dengan pemanasan global.
Berikut ini disajikan kerangka berpikir dalam penelitian ini pada gambar 2.13.
Gambar 2.14 Kerangka Berpikir
48
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir, maka hipotesis penelitian
yang diajukan adalah sebagai berikut:
H0: Tidak terdapat pengaruh model pembelajaran Socioscientific Issues Teaching
and Learning (SSI-TL) terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada materi
Gejala Pemanasan Global.
H1: Terdapat pengaruh model pembelajaran SSI-TL terhadap kemampuan berpikir
kritis siswa Gejala Pemanasan Global.
49
3. BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan di SMAN 7 Tangerang Selatan yang
berlokasi di Jalan Villa Melati Mas Blok J, Serpong Utara, Tangerang Selatan.
Penelitian ini berlangsung selama dua bulan, sedangkan untuk pengambilan data
dilakukan selama empat minggu dari tanggal 2 September sampai dengan 30
September 2019 pada semester ganjil tahun ajaran 2019/2020.
B. Metode dan Desain Penelitian
1. Metode Penelitian
Pada penelitian ini, digunakan metode penelitian yang merupakan
pengembangan dari true experimental design yaitu metode penelitian quasi
experimental (eksperimen kuasi). Metode ini mempunyai kelompok yang tidak
sepenuhnya berfungsi untuk menkontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi
pelaksanaan penelitian. Metode ini digunakan karena pada objek penelitian tidak
dapat dikontrol sepenuhnya.1
2. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan nonequivalent
control group design yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis
siswa sebelum dan sesudah pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran
Socioscientific Issues Teaching and Learning (SSI-TL). Desain penelitian ini
menggunakan dua kelompok penelitian yaitu kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol yang tidak dipilih secara random.2 Bentuk desain penelitian dapat dilihat
pada table 3.1.
1 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011),
h.77. 2 Ibid., h.79.
50
Tabel 3.1 Desain Penelitian Nonequivalent Control Group3
Kelas Pretest Perlakuan Posttest
Eksperimen O1 X O2
Kontrol O3 O4
Keterangan:
O1 & O3 = Pretest (tes awal) yang diberikan kelas kontrol dan kelas eksperimen
sebelum diberi perlakuan
O2 & O4 = Posttest (tes akhir) yang diberikan kelas kontrol dan kelas
eksperimen sesudah diberi perlakuan
X = Perlakuan yang diberikan kepada kelompok eksperimen, yaitu
menggunakan model pembelajaran SSI-TL
C. Prosedur Penelitian
Terdapat tiga tahapan prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Tahap Pendahuluan
Tahapan pendahuluan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Merumuskan masalah yang digunakan sebagai topik utama penelitian dan
melakukan telaah kompetensi yang ingin dicapai pada mata pelajaran fisika yang
dipilih.
b. Melakukan studi pendahuluan melalui studi pustaka, observasi ke beberapa
sekolah dan wawancara untuk mengumpulkan data pendukung perumusan
masalah.
c. Membuat perangkat penelitian diantaranya instrumen tes, Rancangan
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Siswa (LKS) berbasis
model SSI-TL.
3 Ibid.
51
d. Melakukan validasi instrumen, dalam penelitian ini hanya menggunakan
pengujian validasi isi (content validity) melalui judgment ahli dalam bidang
pengujian berpikir kritis.
e. Menganalisis hasil validasi dan merevisi instrumen sehingga siap untuk
diimplementasikan.
2. Tahap Pelaksanaan
Tahapan pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Memilih kelas yang akan digunakan sebagai sampel penelitian.
b. Memberikan pretest untuk mengetahui tingkat kemampuan berpikir kritis siswa
sebelum pelaksanaan pembelajaran dan kemudian menganalisis hasil tes awal
tersebut.
c. Melaksanakan proses pembelajaran di kelas kontrol yang menggunakan
pembelajaran konvensional yang biasa digunakan di sekolah tersebut dan kelas
eksperimen diberikan perlakuan yaitu menggunakan pembelajaran dengan
model SSI-TL.
d. Memberikan posttest kepada kedua kelas untuk melihat apakah terdapat
perbedaan akibat adanya perlakuan tersebut.
3. Tahap Akhir
Tahapan akhir yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis hasil posttest dan membandingkannya dengan hasil pretest pada
kedua kelas yang diberikan perlakuan yang berbeda.
b. Menarik kesimpulan berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan data.
c. Membuat laporan penelitian.
D. Variabel Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua variabel penelitian yaitu variabel bebas (X)
dan variabel terikat (Y). Variabel independen (bebas) merupakan variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel
dependen (terikat), sedangkan variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi
52
atau yang menjadi akibat adanya variabel bebas. 4 Variabel bebas dan variabel
terikat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Variabel bebas (X): Model Socioscientific Issues Teaching and Learning (SSI-
TL)
2. Variabel terikat (Y): Kemampuan Berpikir Kritis
E. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditentukan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.5 Populasi yang diteliti dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI di sekolah tersebut.
2. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh suatu
populasi. Sampel digunakan ketika peneliti tidak mungkin mempelajari semua
populasi baik karena keterbatasan dana, tenaga atau waktu, sehingga peneliti dapat
menggunakan sampel yang diambil dari populasi yang akan diteliti.6 Sampel yang
diambil dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA semester ganjil tahun ajaran
2019/2020 dengan mengambil dua kelas sebagai kelas eksperimen dan kelas
kontrol.
F. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel
dengan pertimbangan tertentu.7 Pengambilan sampel yang menggunakan teknik ini
memiliki tujuan untuk menentukan kelas yang nantinya akan dijadikan subjek
penelitian. Artinya dari beberapa kelas yang menjadi populasi, hanya diambil dua
kelas yang memenuhi syarat untuk dijadikan sampel penelitian.
Terdapat dua tahapan dalam teknik pengumpulan data pada penelitian ini.
Pada tahap pertama, peneliti melakukan survei berupa angket sebagai penelitian
pendahuluan yang diberikan kepada siswa kelas XII dan guru fisika di beberapa
sekolah di Tangerang Selatan untuk mengetahui proses pembelajaran yang
dilakukan dan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
Pada tahap kedua, peneliti memberikan tes pada kelompok eksperimen dan
kontrol. Tes adalah kumpulan pertanyaan atau latihan yang digunakan untuk
mengukur pengetahuan, keterampilan maupun bakat yang dimiliki oleh seseorang.8
Tes yang digunakan dalam penelitian ini berupa pretest yang diberikan sebelum
perlakuan dan posttest berupa 10 butir soal berpikir kritis yang diberikan setelah
diberikan perlakuan berupa penerapan model pembelajaran SSI-TL pada kelas
eksperimen dan model pembelajaran konvensional pada kelas kontrol.
H. Instrumen Penelitian
Pada prinsipnya meneliti adalah melakukan pengukuran dan alat untuk
mengukurnya dinamakan instrumen penelitian.9 Pada penelitian ini ada dua jenis
instumen penelitian yang dibuat seperti yang dijabarkan pada tabel 3.2 berikut.
Tabe 3.2 Instrumen Penelitian
Teknik Pengumpulan Data Jenis Instrumen
Kuesioner Angket penelitian pendahuluan untuk
Guru dan Siswa
Tes tertulis Tes uraian berisi 10 butir soal
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa angket penelitian
pendahuluan yang dijabarkan pada lampiran dan tes kemampuan berpikir kritis
siswa yang telah disesuaikan dengan indikator kemampuan berpikir kritis menurut
Robert. H. Ennis. Indikator yang dimaksud terangkum dalam tabel 3.3, berupa soal
8 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2013), h. 193. 9 Sugiyono, Op.Cit., h.102.
54
uraian yang terdiri dari 10 butir soal yang diberikan kepada peserta didik kelas XI
IPA SMAN 7 Tangerang Selatan.
Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Kemampuan Berpikir Kritis
No Sub
Materi
Kelompok
Berpikir
Kritis
Indikator
Berpikir
Kritis
Sub Indikator
Berpikir Kritis
No
Soal
Jumlah
Soal
1. Efek
Rumah
Kaca
Klarifikasi
dasar
Memfokuskan
pada
pertanyaan
Memformulasikan
sebuah pertanyaan 1
7
Menganalisis
argumen
Membuat
ringkasan 2
Bertanya dan
menjawab
pertanyaan
klarifikasi
dan/atau suatu
tantangan
Menjawab
pertanyaan
klarifikasi:
Mengapa? 3
Pendukung
dasar
Menilai
kredibilitas
dari suatu
sumber
Kemampuan
memberikan
alasan 4
Inferensi Induksi dan
menilai
induksi
Generalisasi tabel
dan grafik 5
Menyimpulkan
kesimpulan dan
hipotesis bertipe
klaim kausal
6
Klarifikasi
lebih lanjut
Mengidenti-
fikasi asumsi
Alasan yang tidak
dinyatakan 8
55
2. Upaya
Penang-
gulangan
Pemanasan
Global
Inferensi Membuat dan
mempertim-
bangkan nilai
suatu
keputusan
Konsekuensi
7 1
3. Solusi
Alternatif
Sumber
Energi
Strategi dan
taktik
Memutuskan
suatu tindakan
Memilih kriteria
untuk menilai
solusi yang
memungkinkan
9
2
Memformulasikan
solusi alternatif 10
I. Kalibrasi Instrumen Tes
Kalibrasi instrumen digunakan untuk mengetahui kualitas dan kelayakan
instrumen yang digunakan. Berikut ini dijabarkan kalibrasi instrumen tes yang
dilakukan dalam penelitian ini .
1. Uji Validitas Instrumen
Guru dapat menggunakan tes kemampuan berpikir kritis untuk menguji
kemampuan siswa yang bisa dibuat dalam bentuk soal pilihan ganda beralasan atau
esai tergantung tujuan pembelajaran. Ennis menyebutkan bahwa suatu soal bisa
dikatakan valid sebagai konten berpikir kritis jika pembuat soal mempertimbangkan
pertanyaan-pertanyaan berikut dalam pembuatannya, yaitu apakah tes berdasarkan
konsep berpikir kritis yang dapat didukung oleh argumen-argumen? Seberapa
komprehensif cakupan dari konsep tersebut? Apakah sudah sesuai dengan level
siswa yang diuji?.10 Ennis juga menyebutkan bahwa validitas isi (content validity)
adalah jenis validasi yang paling cocok untuk menguji kevalidan soal kemampuan
berpikir kritis, dalam hal ini instrumen yang akan digunakan dinilai terlebih dahulu
oleh ahli . 11 Salah satu pendekatan yang juga direkomendasikan untuk
10 Robert H. Ennis, Critical Thinking Assessment, Theory Into Practice, (Ohio: College
Education of The Ohio State University, 1993), Vol.32, No.3, p.182. 11 Robert H. Ennis, The Ennis-Weir Critical Thinking Essay Test, (California: Midwest
Publications, 1985), p.3.
56
mengevaluasi validitas isi adalah content validity index (CVI). Lynn (1986),
menganjurkan menggunakan minimal tiga ahli sebagai penilai. Sebagai syarat
diterimanya instrumen, nilai CVI harus 1,00 bila ada empat atau lebih sedikit
penilai.12 Pemberian skor dikotomisasi menjadi butir item yang relevan (bernilai 1)
dan butir item yang tidak relevan (bernilai 0). Perhitungan dan hasil validasi
instrumen secara rinci dijabarkan di lampiran.
2. Uji Reliabilitas
Meski instrumen yang valid pada umumnya pasti reliabel, tetapi pengujian
reabilitas instrumen tetap perlu dilakukan. Instrumen yang reliabel adalah
instrumen yang digunakan beberapa kali untuk mengukur hal yang sama, akan
menghasilkan data yang sama. 13 Dalam penelitian ini reliabilitas dicari dengan
rumus Kuder Richardson 21 (KR-21) seperti yang dijabarkan dibawah ini:
𝑟𝑖 = [𝑘
𝑘−1] [1 −
𝑀(𝑘−𝑀)
𝑘 𝑆𝑡2 ] (3.1)14
Keterangan:
ri = Reliabilitas tes secara keseluruhan
k = Banyaknya item
M = Mean atau rerata skor total
St = Standar Deviasi dari tes (standar deviasi akar varians)
Interpretasi kriteria reliabilitas instrumen ditunjukkan oleh Tabel 3.4
Tabel 3.4 di atas menunjukkan bahwa setelah instrumen tes diuji cobakan
hasil uji reliabilitas instrumen tes kemampuan kognitif sebesar 0,62. Nilai tersebut
termasuk dalam kategori tinggi. Perhitungan uji reliabilitas instrumen
menggunakan software Anates V4. Data hasil anates dapat dilihat secara rinci pada
lampiran.
3. Uji Taraf Kesukaran Soal
Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah ataupun tidak terlalu
sulit. Soal yang terlalu mudah dikerjakan tidak bisa merangsang siswa untuk
mempertinggi usaha memecahkannya. Sebaliknya soal yang terlalu sukar
dikerjakan akan menyebabkan siswa menjadi putus asa dan tidak mempunyai
semangat untuk mencoba lagi karena diluar jangkauannya. 16 Bilangan yang
menunjukkan sukar dan mudahnya sesuatu soal disebut indeks kesukaran (difficulty
index) yang besar indeksnya antara 0,00 sampai dengan 1,0. Untuk menghitung
taraf kesukaran soal digunakan rumus berikut:
𝑃 = 𝐵
𝐽𝑆 (3.2)17
Keterangan:
P = Indeks kesukaran
B = Banyaknya siswa yang menjawab soal itu dengan betul
JS = Jumlah seluruh siswa peserta tes
Interpretasi kriteria taraf kesukaran ditunjukkan oleh Tabel 3.5 berikut:
Tabel 3.5 Interpretasi Kriteria Taraf Kesukaran18
Indeks Taraf Kesukaran Kriteria Taraf Kesukaran
0,00 – 0,30 Sukar
0,31 – 0,70 Sedang
0,71 – 1,00 Mudah
16 Ibid, h.222. 17 Ibid, h.223. 18 Ibid, h.225.
58
Hasil uji coba taraf kesukaran instrumen tes kemampuan berpikir kritis
dapat dilihat pada tabel 3.6 dibawah ini. Hail data dihitung menggunakan software
anates V4 dengan perinciannya dapat dilihat di lampiran.
Tabel 3.6 Hasil Uji Taraf Kesukaran Instrumen Tes
Kriteria Soal Jumlah soal Persentase
Sukar 1 10%
Sedang 9 90%
Mudah - -
Jumlah 10 100%
4. Daya Pembeda
Daya pembeda soal adalah kemampuan soal dalam hal membedakan antara
siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang kurang pandai
(berkemampuan rendah). Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda
disebut indeks diskriminasi (D). yang berkisar antara 0,00 sampai 1,00.19 Rumus
untuk menentukan indeks diskriminasi adalah:
𝐷 = 𝐵𝐴
𝐽𝐴−
𝐵𝐵
𝐽𝐵= 𝑃𝐴 − 𝑃𝐵 (3.3)20
Keterangan:
J = Jumlah peserta tes
JA = Banyaknya peserta kelompok atas
JB = Banyaknya peserta kelompok bawah
BA = Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal itu dengan
benar
BB = Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan
benar
PA = Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar
PB = Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar
19Ibid, h.226. 20Ibid, h.228.
59
Interpretasi kriteria daya pembeda ditunjukkan oleh Tabel 3.7 berikut:
Tabel 3.7 Interpretasi Kriteria Daya Pembeda21
Indeks Daya Pembeda Kriteria Daya Pembeda
0,00 – 0,20 Buruk
0,21 – 0,40 Cukup
0,41 – 0,70 Baik
0,71 – 1,00 Baik sekali
Hasil data daya pembeda instrumen tes kemampuan berpikir kritis dapat
dilihat pada tabel 3.8 dibawah yang dihitung menggunakan software anates V4,
rincian data hasil tes dapat dilihat di lampiran.
Tabel 3.8 Hasil Uji Daya Pembeda Instrumen Tes
Kriteria Daya Pembeda Jumlah soal Persentase
Buruk - -
Cukup 5 50%
Baik 3 30%
Sangat Baik 2 20%
Jumlah 10 100%
J. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau
sumber data lain terkumpul. Teknik analisis data dalam penelitian kuantitatif
menggunakan statistik. Data yang nantinya diperoleh melalui instrumen penelitian
selanjutnya akan diolah dan dianalisis dengan maksud agar hasilnya dapat
menjawab pertanyaan penelitian dan menguji hipotesis. 22 Analisis data pada
penelitian ini menggunakan Software Statistical Product and Service Solution
(SPSS) untuk menguji normalitas, homogenitas, dan hipotesis.
21 Ibid, h.232. 22 Sugiyono, op.cit., h.147.
60
1. Uji Normalitas
Uji normalitas merupakan uji asumsi yang digunakan untuk mengecek
apakah populasi data terdistribusi normal atau tidak. 23 Teknik yang digunakan
untuk menguji normalitas dalam penelitian ini adalah uji Shapiro Wilk dengan
bantuan SPSS. Uji Shapiro Wilk digunakan ketika sampel berjumlah kurang dari
50.24 Berikut ini langkah-langkah menggunakan uji Shapiro Wilk:25
a. Tetapkan hipotesis statistik:
H0 = Data berasal dari populasi berdistribusi normal.
H1 = Data berasal dari populasi berdistribusi tidak normal.
b. Gunakan taraf signifikan α = 5% (0,05).
c. Setelah melakukan pengolahan data, perhatikan nilai yang ditunjukan oleh
significance (sig.) pada output yang dihasilkan untuk memutuskan hipotesis
yang akan dipilih.
d. Kriteria pengambilan keputusan adalah:
Jika signifikansi > 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak.
Jika signifikansi ≤ 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima.
2. Uji Homogenitas
Uji Homogenitas merupakan pengujian yang bertujuan untuk mengetahui
apakah suatu objek (kelas kontrol dan eksperimen) memiliki varian data yang sama
(homogen) atau tidak. Uji homogenitas dalam penelitian ini menggunakan uji
Levene berbantuan SPSS. 26 Uji Levene dapat digunakan baik pada data yang
berdistribusi normal ataupun tidak.27 Berikut ini langkah-langkah menggunakan uji
Levene:28
a. Tetapkan hipotesis statistik:
Ho = Tidak ada perbedaan varian nilai dari kedua kelas (homogen).
23 Kadir, Statistik Terapan Edisi Kedua, (Jakarta: Rajawali, 2015), h.143. 24 M. Sopiyudin Dahlan, Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian,
(Jakarta: Salemba Medika, 2010), h. 48. 25 Kadir, Statistik Terapan Edisi Kedua, op.cit., h.157. 26 Syofian Siregar, Statistik Parametrik untuk Penelitian Kuantitatif, (Jakarta: Bumi Aksara,
2014), h. 153. 27 Ricki Yuliardi dan Zuli Nuraeni, Statistika Penelitian Plus Tutorial SPSS, (Yogyakarta:
Innosain, 2017), h.134. 28 Syofian Siregar, Statistik Parametrik untuk Penelitian Kuantitatif, op.cit.
61
H1 = Ada perbedaan varian nilai dari kedua kelas (tidak homogen).
b. Gunakan taraf signifikan α = 5% (0,05).
c. Perhatikan significance (sig.) pada output setelah pengolahan data
d. Perhatikan kriteria pengambilan keputusan dibawah ini:
Jika sig. > 0,05 maka Ho diterima dan H1 ditolak.
Jika sig. ≤ 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima.
3. Uji Hipotesis
Untuk mengetahui pengaruh pada penerapan model pembelajaran SSI-TL
secara signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada penelitian ini
menggunakan uji hipotesis yang dilakukan dengan bantuan SPSS. Uji hipotesis
yang digunakan dalam tahap ini disesuaikan dengan asumsi-asumsi statistik uji
normalitas dan uji homogenitas yang telah dilakukan. Langkah-langkah uji
hipotesis menggunakan bantuan software SPSS sebagai berikut:29
1. Tetapkan hipotesis statistik
Ho = tidak terdapat perbedaan rata-rata pretest/posttest KBK siswa pada kedua
kelas
H1 = terdapat perbedaan rata-rata pretest/posttest KBK siswa pada kedua kelas
2. Gunakan taraf signifikan α = 5% (0,05).
3. Perhatikan sig.(2-tailed) pada output setelah pengolahan data
4. Perhatikan kriteria pengambilan keputusan dibawah ini:
Jika sig. (2-tailed) > 0,05 maka Ho diterima dan H1 ditolak.
Jika sig. (2-tailed) ≤ 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima.
4. N-Gain (Normal Gain)
Gain merupakan selisih antara nilai pretest dan posttest yang menunjukkan
peningkatan pemahaman atau penguasaan konsep siswa setelah proses
pembelajaran, yang mana apakah berada di tingkat tinggi, sedang atau rendah. Nilai
N-Gain juga digunakan untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis
siswa. Hasil N-Gain dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut.30
29 Nanang Martono, Statistik Sosial Teori dan Aplikasi Program SPSS, (Yogyakarta: Gava
Media, 2010), h.153. 30 Yanti Herlanti, Buku Saku Tanya Jawab Seputar Penelitian Pendidikan Sains, (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), h.74.
62
𝑁 − 𝐺𝑎𝑖𝑛 = 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑜𝑠𝑡𝑡𝑒𝑠𝑡−𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑒𝑡𝑒𝑠𝑡
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙−𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑒𝑡𝑒𝑠𝑡 (3.4)
Kriteria pengujian N-Gain menurut Hake dapat dilihat pada tabel 3.9
berikut.31
Tabel 3.9 Kriteria Pengujian N-Gain
Nilai N-Gain (g) Kriteria
N-gain > 0,7 Tinggi
N-gain 0,3 – 0,7 Sedang
N-gain < 0,3 Rendah
K. Hipotesis Statistik
Hipotesis statistik untuk penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :32
H0 : µ𝐸 = µ𝐾
H1 : µ𝐸 ≠ µ𝐾
Keterangan:
H0 = Tidak terdapat pengaruh model SSI-TL terhadap kemampuan berpikir
kritis siswa pada materi gejala pemanasan global
H1 = Terdapat pengaruh model SSI-TL terhadap kemampuan berpikir kritis
siswa pada materi gejala pemanasan global
µ𝐸 = Nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen
(model SSI-TL)
µ𝐾 = Nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa kelas kontrol (model
SSI-TL)
4.
31 Ibid., h.75. 32 Sugiyono, op.cit, h.69.
63
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data Hasil Penelitian
Penelitian untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis (KBK) siswa ini
dilaksanakan di SMAN 7 Tangerang Selatan. Total sampel dalam penelitian ini
adalah 78 siswa. Sampel dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kelas, yaitu kelas
XI IPA 1 sebagai kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional dan
kelas XI IPA 4 sebagai kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran
Socioscientific Issues Teaching and Learning (SSI-TL). Materi fisika yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Materi Gejala Pemanasan Global.
Penelitian ini dilaksanakan selama empat minggu dengan jumlah pertemuan
sebanyak tiga kali untuk mengimplementasikan model SSI-TL dan dua kali
peretemuan untuk melaksanakan pretest dan posttest. Instrumen yang digunakan
untuk mengambil data pretest dan posttest berupa 10 butir soal uraian KBK dengan
skor maksimal 40 poin yang mengacu kepada indikator-indikator yang dibuat oleh
Ennis yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya. Hasil pretest dan posttest pada
lampiran D.1 dan D.2.
64
B. Analisis Data Hasil Penelitian
1. Hasil Pretest dan Posttest
a. Hasil Pretest Kemampuan Berpikir Kritis
Hasil pretest KBK pada kelas kontrol dan kelas eksperimen dapat dilihat
pada Gambar 4.1 sebagai berikut.
Gambar 4. 1 Diagram Distribusi Frekuensi Skor Pretest
Kelas Kontrol dan Eksperimen
Gambar 4.1 menunjukkan sebaran nilai pretest pada tiap interval yang
diperoleh kelas kontrol dan kelas eksperimen dengan poin maksimal 40.
Berdasarkan grafik, di kelas kontrol siswa paling banyak memperoleh nilai di
interval 10-12 dan 13-15 dengan jumlah 12 siswa dari total 39 orang (30%) per
masing-masing interval, sedangkan di kelas eksperimen siswa paling banyak
memperoleh nilai di interval 10-12 dengan jumlah 18 siswa dari total 39 orang
(46%). Di kelas kontrol, siswa paling sedikit memperoleh nilai di interval tertinggi
19-21 dengan jumlah 1 siswa dari total 39 orang (3%) dan tidak ada siswa yang
mendapatkan nilai di interval terendah 1-3 dan 4-6. Sedangkan di kelas eksperimen,
siswa paling sedikit memperoleh nilai di interval terendah 1-3 dan 4-6 dengan
jumlah 1 siswa dari total 39 orang (3%) per masing-masing interval dan tidak ada
siswa yang mendapatkan nilai di interval tertinggi 19-21.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
1 - 3 4 - 6 7 - 9 10 - 12 13 - 15 16 - 18 19 - 21
Hasil Pretest
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
65
Berdasarkan perhitungan statistik melalui bantuan SPSS, diperoleh
beberapa nilai pemusatan dan penyebaran data dari skor pretest yang ditunjukkan
pada Tabel 4.1 sebagai berikut.
Tabel 4.1 Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data Skor Pretest
Kelas Kontrol dan Eksperimen
Pemusatan dan
Penyebaran Data
Kelas
Kontrol Eksperimen
Skor Terendah 8 2
Skor Tertinggi 19,00 17,00
Rata-Rata 12,97 11,64
Median 13,00 12,00
Modus 12,00 12,00
Standar Deviasi 2,94 2,91
Tabel 4.1 menunjukkan pemusatan dan penyebaraan data berdasarkan skor
maksimal 40 poin yang setara dengan nilai 100. Skor pretest terendah dengan nilai
2 berada di kelas eksperimen dengan jumlah 1 orang dari total 39 siswa (3%). Skor
pretest tertinggi sebesar 19,00 berada di kelas kontrol dengan jumlah 1 orang dari
39 siswa (3%). Nilai rata-rata pretest kelas kontrol pada penelitian ini adalah 12,97,
sedangkan kelas eksperimen memperoleh nilai sebesar 11,64. Skor tengah atau
median dari kelas kontrol adalah 13,00 dan pada kelas ekperimen adalah 12,00.
Skor yang paling sering muncul atau modus baik pada kelas kontrol dan kelas
eksperimen adalah 12,00. Standar deviasi sebesar 2,94 diperoleh di kelas kontrol
dan 2,91 di kelas eksperimen.
Nilai rata-rata pretest KBK siswa pada kelas eksperimen sedikit lebih
rendah daripada kelas kontrol, sehingga kelas yang memperoleh nilai rata-rata
pretest yang lebih rendah dijadikan sampel eksperimen. Nilai rata-rata pretest pada
kelas kontrol dan kelas eksperimen yang bahkan tidak mencapai setengah dari nilai
ideal (20 dari 40), menunjukkan bahwa rendahnya kemampuan berpikir kritis
siswa. Nilai rata-rata kedua kelas tergolong rendah dan memiliki selisih yang cukup
tipis. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa baik siswa kelas kontrol maupun
66
kelas eksperimen berada pada tingkat kemampuan berpikir kritis yang hampir sama
sebelum diterapkannya model socioscientific issues teaching and learning (SSI-TL)
yang mana sesuai dengan hasil uji hipotesis pretest yang ada pada lampiran.
b. Hasil Posttest Kemampuan Berpikir Kritis
Hasil posttest kemampuan berpikir kritis pada kelas eksperimen dan kelas
kontrol dapat dilihat pada Gambar 4.2 berikut.
Gambar 4.2 Diagram Distribusi Frekuensi Skor Posttest
Kelas Kontrol dan Eksperimen
Gambar 4.2 menunjukkan sebaran nilai posttest pada tiap interval yang
diperoleh kelas kontrol dan kelas eksperimen dengan poin maksimal 40.
Berdasarkan grafik, pada kelas kontrol siswa paling banyak memperoleh nilai di
interval 26-28 dengan jumlah 18 siswa dari total 39 orang (46%). Sedangkan pada
kelas eksperimen, siswa paling banyak memperoleh nilai di interval 32-34 dengan
jumlah 14 siswa dari total 39 orang (35%). Pada kelas kontrol, siswa paling sedikit
memperoleh nilai di interval tertinggi 35-37 dengan jumlah 1 siswa dari total 39
orang (3%). Sedangkan pada kelas eksperimen, siswa paling sedikit memperoleh
nilai di interval terendah 20-22 dan 23-25 dengan jumlah 1 siswa dari total 39 orang
(3%) per masing-masing interval.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
20 - 22 23 - 25 26 - 28 29 - 31 32 - 34 35 - 37
Hasil Posttest
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
67
Berdasarkan perhitungan statistik melalui bantuan SPSS, diperoleh nilai
pemusatan dan penyebaran data dari skor posttest yang ditunjukkan pada Tabel 4.2
sebagai berikut.
Tabel 4.2 Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data Skor Posttest
Kelas Kontrol dan Eksperimen
Pemusatan dan
Penyebaran Data
Kelas
Kontrol Eksperimen
Skor Terendah 21,00 22,00
Skor Tertinggi 37,00 37,00
Rata-Rata 28,41 31,84
Median 28,00 33,00
Modus 28,00 34,00
Standar Deviasi 2,98 3,54
Tabel 4.2 menunjukkan pemusatan dan penyebaraan data berdasarkan skor
maksimal 40 poin yang setara dengan nilai 100. Skor posttest terendah dengan nilai
21,00 berada di kelas kontrol dengan jumlah 1 siswa dari 39 orang (3%). Skor
posttest tertinggi sebesar 37,00 berada di kelas kontrol dan kelas eksperimen
dengan jumlah 1 siswa dari 39 orang (3%) per masing-masing kelas. Nilai rata-rata
posttest kelas kontrol pada penelitian ini adalah 28,41 sedangkan kelas eksperimen
memperoleh nilai sebesar 31,84. Skor tengah atau median dari kelas kontrol yaitu
28,00, sedangkan untuk kelas eksperimen yaitu 33,00. Skor yang paling sering
muncul atau modus pada kelas kontrol adalah 28,00, sedangkan untuk kelas
eksperimen adalah 34,00. Standar deviasi sebesar 2,98 diperoleh di kelas kontrol
dan 3,54 di kelas eksperimen.
Nilai rata-rata posttest KBK siswa di kelas eksperimen sedikit lebih tinggi
daripada kelas kontrol. Hal ini dikarenakan kedua kelas diberikan perlakuan yang
berbeda dalam proses pembelajarannya. Kelas kontrol diberikan perlakuan berupa
pembelajaran konvensional, sedangkan kelas eksperimen diberikan perlakuan
berupa pembelajaran dengan menggunakan model SSI-TL. Hal ini sesuai dengan
hasil uji hipotesis posttest yang ada pada lampiran
68
c. Rekapitulasi Data Kemampuan Berpikir Kritis
Rekapitulasi hasil nilai pretest dan posttest kemampuan berpikir kritis pada
kelas kontrol dan kelas eksperimen dapat dilihat pada Tabel 4.3 sebagai berikut.
Tabel 4.3 Rekapitulasi Pretest dan Posttest
Kelas Kontrol dan Eksperimen
Pemusatan dan
Penyebaran Data
Pretest Posttest
Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen
Skor Terendah 8,00 2,00 21,00 22,00
Skor Tertinggi 19,00 17,00 37,00 37,00
Rata-Rata 12,97 11,64 28,41 31,84
Median 13,00 12,00 28,00 33,00
Modus 12,00 12,00 28,00 34,00
Standar Deviasi 2,94 2,91 2,98 3,54
Berdasarkan Tabel 4.3, nilai rata-rata KBK siswa kelas eksperimen pada
saat pretest memiliki nilai sedikit lebih rendah yaitu 11,64 daripada kelas kontrol
yang memiliki nilai rata-rata kelas 12,97. Sedangkan untuk data posttest, skor rata-
rata KBK kelas eksperimen lebih tinggi dengan nilai 31,84 dibanding kelas kontrol
yang memperoleh nilai 28,41. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan baik
di kelas kontrol dan eksperimen setelah proses pembelajaran. Kelas kontrol
mengalami peningkatan nilai sebesar 15,44 poin setelah diberi perlakuan
pembelajaran konvensional, sedangkan kelas eksperimen mengalami peningkatan
nilai sebesar 20,20 poin setelah diberi perlakuan pembelajaran menggunakan model
SSI-TL. Gambaran perbandingan nilai rata-rata pretest dan posttest kelas kontrol
dan kelas eksperimen secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 4.3.
69
Gambar 4.3 Diagram Rekapitulasi Data Skor Rata-Rata
Pretest dan Posttest Kelas Kontrol dan Eksperimen
2. Data Kemampuan Berpikir Kritis Per Indikator
a. Pretest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Data hasil pretest mengenai ketercapaian KBK per masing-masing indikator
pada kelas kontrol dan eksperimen dapat dilihat pada Tabel 4.4 dengan penjelasan
lebih rinci ada di lampiran.
Tabel 4.4 Presentase Ketercapaian KBK Pretest per Indikator
No
Kemampuan
Berpikir
Kritis
Indikator
Soal
Kelas
Kontrol
Kelas
Eksperimen
% Kategori % Kategori
1. Klarifikasi
dasar
1 32,05 Rendah 31.41 Rendah
2 39,10 Rendah 39,10 Rendah
3 37,17 Rendah 31,41 Rendah
2. Pendukung
dasar 4 30,12 Rendah 29,48 Rendah
3. Inferensi
5 40,38 Rendah 38,46 Rendah
6 30,76 Rendah 21,15 Rendah
7 32,69 Rendah 30,12 Rendah
4. Klarifikasi
lebih lanjut 8 33,33 Rendah 23,07 Rendah
5. Strategi dan
taktik
9 20,51 Sangat
Rendah 16,66
Sangat
Rendah
10 28,20 Rendah 30,12 Rendah
0
5
10
15
20
25
30
35
Pretest Posttest
Skor Rata-Rata
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
70
Berdasarkan Tabel 4.4, rata-rata presentase kemampuan berpikir kritis
siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen berada pada rata-rata kategori rendah dan
sangat rendah. Pada kelas kontrol, dengan kelompok KBK kategori klarifikasi dasar
pada indikator soal nomor 1 yaitu memfokuskan pertanyaan dengan cara
memformulasikan sebuah pertanyaan berada pada kategori rendah (32,05%),
indikator soal nomor 2 yaitu menganalisis argumen dengan cara membuat
ringkasan berada pada kategori rendah (39,10%), dan indikator soal nomor 3 yaitu
bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi berada pada kategori rendah
(37,18%). Kelompok KBK kategori pendukung dasar pada indikator soal nomor 4
yaitu menilai kredibilitas sumber dengan cara memberikan alasan berada pada
kategori rendah (30,12%). Kelompok KBK kategori inferensi pada indikator soal
nomor 5 yaitu menilai induksi dengan cara menggeneralisasi grafik berada pada
kategori rendah (40,38%), indikator soal nomor 6 yaitu menilai induksi dengan cara
menyimpulkan hipotesis bertipe klaim klausal berada pada kategori rendah
(30,76%), dan indikator soal nomor 7 yaitu membuat dan mempertimbangkan nilai
suatu keputusan dengan cara mempertimbangkan konsekuensinya berada pada
kategori rendah (32,69%). Kelompok KBK kategori klarifikasi lebih lanjut pada
indikator soal nomor 8 yaitu mengidentifikasi asumsi terhadap alasan yang tidak
dinyatakan berada pada kategori rendah (33,33%). Kelompok KBK kategori
strategi dan taktik pada indikator soal nomor 9 yaitu memutuskan suatu tindakan
dengan cara memilih kriteria untuk menilai solusi yang memungkinkan berada
pada kategori sangat rendah (20,51%), indikator soal nomor 10 yaitu memutuskan
suatu tindakan dengan cara memformulasikan solusi alternatif berada pada kategori
rendah (28,20%).
Pada kelas ekperimen, dengan kelompok kemampuan berpikir kritis
kategori (KBK) klarifikasi dasar pada indikator soal nomor 1 yaitu memfokuskan
pertanyaan dengan cara memformulasikan sebuah pertanyaan berada pada kategori
rendah (31,41%), indikator soal nomor 2 yaitu menganalisis argumen dengan cara
membuat ringkasan berada pada kategori rendah (39,10%), dan indikator soal
nomor 3 yaitu bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi berada pada kategori
rendah (31,41%). Kelompok KBK kategori pendukung dasar pada indikator soal
71
nomor 4 yaitu menilai kredibilitas sumber dengan cara memberikan alasan berada
pada kategori rendah (29,48%). Kelompok KBK kategori inferensi pada indikator
soal nomor 5 yaitu menilai induksi dengan cara menggeneralisasi grafik berada
pada kategori rendah (38,46%), indikator soal nomor 6 yaitu menilai induksi
dengan cara menyimpulkan hipotesis bertipe klaim klausal berada pada kategori
rendah (21,15%), dan indikator soal nomor 7 yaitu membuat dan
mempertimbangkan nilai suatu keputusan dengan cara mempertimbangkan
konsekuensinya berada pada kategori rendah (30,12%). Kelompok KBK kategori
klarifikasi lebih lanjut pada indikator soal nomor 8 yaitu mengidentifikasi asumsi
terhadap alasan yang tidak dinyatakan berada pada kategori rendah (23,07%).
Kelompok KBK kategori strategi dan taktik pada indikator soal nomor 9 yaitu
memutuskan suatu tindakan dengan cara memilih kriteria untuk menilai solusi yang
memungkinkan berada pada kategori sangat rendah (16,66%), indikator soal nomor
10 yaitu memutuskan suatu tindakan dengan cara memformulasikan solusi
alternatif berada pada kategori rendah (30,12%).
Grafik kategori kemampuan berpikir kritis siswa pada pretest di kelas
kontrol dan kelas eksperimen per indikator dapat dilihat pada Gambar 4.4 berikut.
Gambar 4.4 Diagram Pretest KBK per Indikator Kelas Kontrol dan Eksperimen
Berdasarkan data di atas, hampir seluruh indikator KBK siswa pada saat
pretest berada pada kategori rendah < 41% dan hanya satu nomor baik di kelas
kontrol dan kelas eksperimen yang berada pada kategori sangat rendah < 21%. Soal
0
10
20
30
40
50
Pretest KBK per Indikator
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
72
dengan kategori sangat rendah mengindikasikan tingkat kesulitan soal yang tinggi.
Hasil ini sesuai dengan nilai tingkat kesukaran soal nomor 9 yang berada pada
kategori sukar.
b. Posttest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Data hasil posttest mengenai ketercapaian kemampuan berpikir kritis per
masing-masing indikator pada kelas kontrol dan eksperimen dapat dilihat pada
Tabel 4.5 dengan penjelasan lebih rinci ada di lampiran.
Tabel 4.5 Presentase Ketercapaian KBK Posttest per Indikator
No
Kemampuan
Berpikir
Kritis
Indikator
Soal
Kelas
Kontrol
Kelas
Eksperimen
% Kategori % Kategori
1. Klarifikasi
dasar
1 85,25 Sangat Tinggi 88,46 Sangat Tinggi
2 86,53 Sangat Tinggi 87,82 Sangat Tinggi
3 78,84 Tinggi 81,41 Sangat Tinggi
2. Pendukung
dasar 4 66,02 Tinggi 71,79 Tinggi
3. Inferensi
5 78,84 Tinggi 80,12 Tinggi
6 60,25 Cukup 73,07 Tinggi
7 68,58 Tinggi 81,41 Sangat Tinggi
4. Klarifikasi
lebih lanjut 8 61,53 Tinggi 72,43 Tinggi
5. Strategi dan
taktik
9 50,64 Cukup 75,64 Tinggi
10 73,71 Tinggi 83,97 Sangat Tinggi
Berdasarkan Tabel 4.5, indikator KBK siswa saat posttest pada kelas kontrol
dan eksperimen berada pada kategori cukup, tinggi dan sangat tinggi. Pada kelas
kontrol, dengan kelompok kemampuan berpikir kritis kategori (KBK) klarifikasi
dasar pada indikator soal nomor 1 yaitu memfokuskan pertanyaan dengan cara
memformulasikan sebuah pertanyaan berada pada kategori sangat tinggi (85,25%),
indikator soal nomor 2 yaitu menganalisis argumen dengan cara membuat
ringkasan berada pada kategori sangat tinggi (86,53%), dan indikator soal nomor 3
yaitu bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi berada pada kategori tinggi
(78,84%). Kelompok KBK kategori pendukung dasar pada indikator soal nomor 4
yaitu menilai kredibilitas sumber dengan cara memberikan alasan berada pada
73
kategori tinggi (66,02%). Kelompok KBK kategori inferensi pada indikator soal
nomor 5 yaitu menilai induksi dengan cara menggeneralisasi grafik berada pada
kategori tinggi (78,84%), indikator soal nomor 6 yaitu menilai induksi dengan cara
menyimpulkan hipotesis bertipe klaim klausal berada pada kategori cukup
(60,25%), dan indikator soal nomor 7 yaitu membuat dan mempertimbangkan nilai
suatu keputusan dengan cara mempertimbangkan konsekuensinya berada pada
kategori tinggi (68,58%). Kelompok KBK kategori klarifikasi lebih lanjut pada
indikator soal nomor 8 yaitu mengidentifikasi asumsi terhadap alasan yang tidak
dinyatakan berada pada kategori tinggi (61,53%). Kelompok KBK kategori strategi
dan taktik pada indikator soal nomor 9 yaitu memutuskan suatu tindakan dengan
cara memilih kriteria untuk menilai solusi yang memungkinkan berada pada
kategori cukup (50,64%), indikator soal nomor 10 yaitu memutuskan suatu
tindakan dengan cara memformulasikan solusi alternatif berada pada kategori tinggi
(73,71%).
Pada kelas ekperimen, dengan kelompok kemampuan berpikir kritis
kategori (KBK) klarifikasi dasar pada indikator soal nomor 1 yaitu memfokuskan
pertanyaan dengan cara memformulasikan sebuah pertanyaan berada pada kategori
sangat tinggi (88,46%), indikator soal nomor 2 yaitu menganalisis argumen dengan
cara membuat ringkasan berada pada kategori sangat tinggi (87,82%), dan indikator
soal nomor 3 yaitu bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi berada pada
kategori sangat tinggi (81,41%). Kelompok KBK kategori pendukung dasar pada
indikator soal nomor 4 yaitu menilai kredibilitas sumber dengan cara memberikan
alasan berada pada kategori tinggi (71,79%). Kelompok KBK kategori inferensi
pada indikator soal nomor 5 yaitu menilai induksi dengan cara menggeneralisasi
grafik berada pada kategori sangat tinggi (80,12%), indikator soal nomor 6 yaitu
menilai induksi dengan cara menyimpulkan hipotesis bertipe klaim klausal berada
pada kategori tinggi (73,07%), dan indikator soal nomor 7 yaitu membuat dan
mempertimbangkan nilai suatu keputusan dengan cara mempertimbangkan
konsekuensinya berada pada kategori sangat tinggi (81,41%). Kelompok KBK
kategori klarifikasi lebih lanjut pada indikator soal nomor 8 yaitu mengidentifikasi
asumsi terhadap alasan yang tidak dinyatakan berada pada kategori tinggi (72,43%).
74
Kelompok KBK kategori strategi dan taktik pada indikator soal nomor 9 yaitu
memutuskan suatu tindakan dengan cara memilih kriteria untuk menilai solusi yang
memungkinkan berada pada kategori tinggi (75,64%), indikator soal nomor 10
yaitu memutuskan suatu tindakan dengan cara memformulasikan solusi alternatif
berada pada kategori sangat tinggi (83,97%).
Grafik kategori kemampuan berpikir kritis siswa pada posttest di kelas
kontrol dan kelas eksperimen per indikator dapat dilihat pada Gambar 4.5 berikut.
Gambar 4.5 Diagram Posttest KBK per Indikator Kelas Kontrol dan Eksperimen
Berdasarkan Gambar 4.5, indikator KBK siswa saat posttest pada kelas
kontrol berada pada kategori cukup, tinggi dan sangat tinggi > 50%. Sedangkan
pada kelas eksperimen berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi > 70%. Rata-
rata indikator KBK siswa kelas eksperimen lebih tinggi dari rata-rata indikator
KBK siswa pada kelas kontrol. Hal ini disebabkan karena kelas eksperimen
mendapatkan perlakuan penerapan model pembelajaran SSI-TL.
c. Pretest –Posttest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Data peningkatan KBK kelas kontrol per indikator pada saat pretest dan
posttest dapat dilihat pada Gambar 4.6 berikut.
0102030405060708090
100
Posttest KBK per Indikator
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
75
Gambar 4.6 Diagram Pretest-Posttest KBK per Indikator Kelas Kontrol
Data peningkatan KBK kelas eksperimen per indikator pada saat pretest dan
posttest dapat dilihat pada Gambar 4.7 berikut.
Gambar 4.7 Diagram Pretest-Posttest KBK per Indikator Kelas Eksperimen
Berdasarkan data diagram di atas, dengan menggunakan pembelajaran
konvensional, nilai pretest-posttest per indikator KBK di kelas kontrol naik dari
rata-rata rentang presentase 20-30% menjadi 50-80%. Sedangkan untuk kelas
eksperimen, rata-rata indikator KBK naik dari rentang presentase 10-30% menjadi
70-80%. Ini berarti baik menggunakan pembelajaran konvensional maupun model
SSI-TL memberikan dampak kenaikan KBK siswa.
0102030405060708090
100
Kelas Kontrol
Pretest Posttest
0102030405060708090
100
Kelas Eksperimen
Pretest Posttest
76
Namun jika membandingkan selisih kenaikan presentase indikator KBK
siswa antara kelas kontrol dan kelas eksperimen, maka kenaikan di kelas
eksperimen lebih besar dibanding kenaikan di kelas kontrol. Contohnya pada kelas
kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional, kenaikan presentase KBK
siswa pada soal nomor 9 yang termasuk kedalam kategori sukar naik dari kategori
sangat rendah (20,51%) menjadi kategori cukup (50,64%). Sedangkan pada kelas
eksperimen, kenaikan presentase KBK siswa pada soal nomor 9 naik dari kategori
sangat rendah (16,66%) menjadi kategori tinggi (75,64%). Ini berarti dengan
menggunakan model pembelajaran SSI-TL lebih berdampak besar pada kenaikan
presentase indikator KBK siswa. Untuk penjelasan lebih lanjut, peningkatan nilai
pretest dan posttest siswa pada kelas kontrol dan eksperimen dapat dijabarkan
dalam bentuk angka dengan menggunankan nilai N-Gain.
3. Hasil Uji N-Gain
a. Hasil Uji N-Gain Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Uji N-Gain dilakukan untuk melihat peningkatan KBK pada kelas kontrol
dan kelas eksperimen. Nilai N-Gain didapatkan dengan menghitung rata-rata selisih
skor pretest-posttest pada masing-masing kelas. Hasil perhitungan rata-rata uji N-
Gain dapat dilihat pada tabel 4.6 sebagai berikut.
Tabel 4.6 Nilai Rata-Rata N-Gain Kelas Kontrol dan Eksperimen
Kelas N-Gain Keterangan
Kontrol 0,56 Sedang
Eksperimen 0,71 Tinggi
Tabel 4.6 menunjukkan rata-rata skor N-Gain untuk kelas kontrol yaitu 0,56
yang berarti peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas kontrol
berada pada kategori sedang. Sedangkan rata-rata skor N-Gain untuk kelas
eksperimen yaitu 0,71 yang berarti peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa
pada kelas eksperimen berada pada kategori tinggi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
peningkatan nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa yang diberikan
perlakuan model pembelajaran SSI-TL lebih tinggi dibandingkan dengan
77
peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang diberikan pembelajaran
konvensional.
b. Hasil Uji N-Gain per Indikator Kemampuan Berpikir Kritis
Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa per indikator dapat dilihat
melalui perhitungan rata-rata N-Gain per Indikator pada kelas kontrol (NGK) dan
kelas eksperimen (NGE) pada tabel 4.7 berikut.
Tabel 4.7 Nilai Rata-Rata Nilai N-Gain per Indikator
No
Kemampuan
Berpikir
Kritis
Indikator
Soal
N-Gain
NGK Kategori NGE Kategori
1. Klarifikasi
dasar
1 0,78 Tinggi 0,83 Tinggi
2 0,77 Tinggi 0,80 Tinggi
3 0,66 Sedang 0,72 Tinggi
2. Pendukung
dasar 4 0,51 Sedang 0,60 Sedang
3. Inferensi
5 0,64 Sedang 0,67 Sedang
6 0,42 Sedang 0,65 Sedang
7 0,53 Sedang 0,73 Tinggi
4. Klarifikasi
lebih lanjut 8 0,42 Sedang 0,64 Sedang
5. Strategi dan
taktik
9 0,37 Sedang 0,71 Tinggi
10 0,63 Sedang 0,77 Tinggi
Tabel 4.7 menunjukkan rata-rata nilai N-Gain untuk kelas kontrol dan kelas
eksperimen. Pada kelas kontrol terdapat dua kategori tinggi dan delapan kategori
sedang. Dua indikator KBK kategori klarifikasi dasar berada pada kategori tinggi
dan sisa delapan indikator KBK kategori pendukung dasar, inferensi, klarifikasi
lebih lanjut dan strategi dan taktik berada pada kategori sedang. Pada kelas
eksperimen, enam indikator KBK kategori klarifikasi dasar, inferensi dengan soal
indikator nomor 7, strategi dan taktik berada pada kategori tinggi. Sedangkan
empat indikator KBK kategori pendukung dasar, inferensi dengan soal indikator
78
nomor 5 dan 6, dan klarifikasi lebih lanjut berada pada kategori rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran
SSI-TL lebih banyak meningkatkan indikator-indikator kemampuan berpikir kritis
siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional kelas kontrol.
Grafik kategori peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa per indikator
dapat dilihat pada Gambar 4.8 berikut.
Gambar 4.8 Diagram Nilai Rata-Rata Nilai N-Gain per Indikator
Berdasarkan Gambar 4.8, nilai N-Gain per indikator KBK siswa kelas
kontrol berada pada kategori sedang dan tinggi dengan rentang rata-rata skor 0,3–
0,7. Sedangkan pada kelas eksperimen juga berada pada kategori sedang dan tinggi
dengan rentang rata-rata skor 0,6–0,8. Rata-rata N-Gain per indikator KBK siswa
kelas eksperimen berada pada rentang lebih tinggi dari pada kelas kontrol. Hal ini
disebabkan karena kelas eksperimen mendapatkan perlakuan penerapan model
pembelajaran SSI-TL.
4. Hasil Uji Prasyarat Analisis Statistik
Uji prasyarat dilakukan dengan tujuan mengetahui apakah pengujian
hipotesis akan menggunakan statistik parametrik atau non parametrik. Uji prasyarat
dilakukan dengan menuji normalitas dan homogenitas suatu data. Berikut ini adalah
hasil uji prasyarat yang dilakukan dalam penelitian ini.
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
N-Gain
Kontrol Eksperimen
79
a. Hasil Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan terhadap data skor pretest dan posttest pada kelas
kontrol dan kelas eksperimen. Untuk menguji normalitas data, pada penelitian ini
menggunakan rumus Shapiro-Wilk melalui Software SPSS. Hasil pengujian
normalitas pretest dan posttest dapat dilihat pada Tabel 4.8 berikut.
Tabel 4. 8 Hasil Uji Normalitas
Shapiro-
Wilk
Pretest Posttest
Kelas
Kontrol
Kelas
Eksperimen
Kelas
Kontrol
Kelas
Eksperimen
sig. 0,329 0,022 0,107 0,022
α 0,05
Keputusan
Data
berdistribusi
normal
Data tidak
berdistribusi
normal
Data
berdistribusi
normal
Data tidak
berdistribusi
normal
Berdasarkan uji normalitas shapiro-wilk pada taraf signifikansi 5% atau
0,05 diperoleh nilai sig. pretest dan posttest kelas kontrol dengan nilai 0,329 dan
0,107, sedangkan pada kelas eksperimen baik pretest dan posttest diperoleh nilai
0,022. Keputusan diambil berdasarkan ketentuan pengujian hipotesis normalitas,
yaitu jika sig. > 0,05 maka H0 diterima, H1 ditolak dan jika jika sig. < 0,05 maka H0
ditolak, H1 diterima. Tabel 4.8 menunjukkan bahwa nilai sig. kelas kontrol pada
saat pretest dan posttest berada di atas nilai 0,05 yaitu 0,329 dan 0,107. Sedangkan
nilai sig. kelas eksperimen pada saat pretest dan posttest berada di bawah nilai 0,05
yaitu 0,022 dan 0,022. Maka keputusan yang diambil untuk kelas kontrol baik saat
pretest maupun posttest adalah data terdistribusi normal. Sedangkan untuk kelas
eksperimen baik saat pretest maupun posttest adalah data terdistribusi tidak normal.
b. Hasil Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah suatu objek yang
diteliti mempunyai varian yang homogen atau tidak. Uji homogenitas dilakukan
terhadap dua data yaitu antar pretest kelas kontrol dan kelas eksperimen, dan antar
80
posttest kelas kontrol dan kelas eksperimen. Berikut disajikan data hasil uji
Homogenitas.
Tabel 4.9 Hasil Uji Homogenitas
Levene Statistic Pretest Posttest
sig. 0,490 0,170
α 0,05
Keputusan Data homogen Data homogen
Berdasarkan uji homogenitas levene statistic pada taraf signifikansi 5% atau
0,05 diperoleh nilai sig. pretest kelas kontrol dan kelas eksperimen dengan nilai
0,490, sedangkan pada posttest di kelas kontrol dan kelas eksperimen diperoleh
nilai 0,170. Keputusan diambil berdasarkan ketentuan pengujian hipotesis
homogenitas, yaitu jika sig. ≥ 0,05 maka H0 diterima, H1 ditolak dan jika jika sig. ≤
0,05 maka H0 ditolak, H1 diterima. Tabel 4.9 menunjukkan bahwa nilai sig. baik
saat pretest dan posttest kelas kontrol dan kelas eksperimen berada di atas nilai 0,05
yaitu 0,490 dan 0,170. Maka keputusan yang diambil untuk data pretest dan posttest
kelas kontrol dan kelas eksperimen adalah kedua data sama atau homogen.
5. Hasil Uji Hipotesis
Berdasarkan uji prasyarat analisis statistik, hasil uji data normalitas pada
pretest kelas kontrol berdistribusi normal namun pada kelas eksperimen tidak
berdistribusi normal. Hasil uji posttest di kelas kontrol berdistribusi normal namun
pada kelas eksperimen tidak berdistribusi normal. Hasil uji homogenitas
menunjukkan kedua data sama atau homogen. Sehingga tes untuk menguji hipotesis
menggunakan uji non parametrik Mann-Whitney baik pada uji hipotesis data pretest
dan posttest. Hasil uji Mann-Whitney dapat dilihat pada tabel 4.10.
Tabel 4.10 Hasil Uji Hipotesis
Mann-Whitney Pretest Posttest
Asymp. Sig.(2-tailed) 0,077 0,000
α 0,05
Keputusan H1 ditolak H1 diterima
81
Berdasarkan uji hipotesis Mann-Whitney pada taraf signifikansi 5% atau
0,05 diperoleh nilai sig.(2-tailed) nilai pretest kelas kontrol dan kelas eksperimen
dengan nilai 0,077, sedangkan pada nilai posttest di kelas kontrol dan kelas
eksperimen diperoleh nilai 0,000. Keputusan diambil berdasarkan ketentuan
pengujian hipotesis, yaitu jika sig.(2-tailed) ≥ 0,05 maka H0 diterima, H1 ditolak
dan jika jika sig.(2-tailed) ≤ 0,05 maka H0 ditolak, H1 diterima. Tabel 4.10
menunjukkan bahwa nilai sig.(2-tailed) pretest di kelas kontrol dan kelas
eksperimen lebih besar dari taraf signifikansi 0,05 yaitu 0,077, sehingga dapat
disimpulkan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak yang artinya tidak terdapat
perbedaan rata-rata pretest KBK pada kelompok kontrol dan eksperimen. Nilai
sig.(2-tailed) posttest di kelas kontrol dan kelas eksperimen lebih kecil dari taraf
signifikansi 0,05 yaitu 0,000, sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1
diterima yang artinya terdapat perbedaan rata-rata posttest KBK pada kelompok
kontrol dan eksperimen.
C. Pembahasan Data Hasil Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui adakah pengaruh
penggunaan model pembelajaran SSI-TL terhadap kemampuan berpikir kritis siswa
kelas XI pada materi gejala pemanasan global. Instumen yang digunakan untuk
mengukur kemampuan berpikir kritis siswa adalah instrumen KBK yang mengacu
kepada indikator Ennis dengan jumlah 10 soal pretest dan postest yang telah diuji
validitasnya menggunakan Content Validity Index (CVI) dan termasuk kedalam
kategori soal dengan reabilitas tinggi. Sebelum menguji model pembelajaran SSI-
TL, terlebih dahulu siswa diberikan soal pretest untuk menguji kemampuan awal
berpikir kritis. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa masih rendahnya
kemampuan awal KBK siswa yang ditunjukkan dari pencapaian rata-rata skor
pretest baik di kelas kontrol maupun kelas eksperimen yang bahkan tidak mencapai
skor ideal (20 dari 40). Nilai rata-rata pretest kelas kontrol pada penelitian ini adalah
12,97, sedangkan untuk kelas eksperimen memperoleh nilai sebesar 11,64.
Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan di beberapa sekolah,
penyebab utama masih rendahnya kemampuan awal berpikir kritis siswa adalah
82
karena proses pembelajaran yang dilakukan jarang melatih siswa untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, melainkan hanya berorientasi pada
kemampuan akademis dengan rentang kemampuan kognitif C1 sampai C3 yang
merupakan bagian dari Low Order Thinking Skill. Selain itu pembelajaran yang
dilakukan oleh guru banyaknya tidak melibatkan siswa secara aktif dan menyeluruh
dalam mempertimbangkan permasalahan sosial dalam kaitannya dengan sains pada
saat pembelajaran sehingga siswa tidak bisa membangun pemahaman yang
kompleks sebagai salah satu bentuk kemampuan berpikir kritis.1 Pemahaman yang
kompleks berguna salahsatunya ketika siswa ingin menilai kredibilitas dari
berbagai informasi dan sumber informasi yang banyak beredar akibat imbas
perkembangan teknologi yang mengarah kepada lebih terbukanya informasi. Untuk
memutuskan informasi mana yang harus dipercayai, siswa perlu menyaring
informasi-informasi tersebut secara lebih kritis.
Sebagai sebuah solusi, maka perlu dirancang pembelajaran yang
menstimulus perkembangan berpikir kritis siswa. Dalam penelitian ini, telah
diterapkan model pembelajaran Socioscientific Issues Teaching and Learning (SSI-
TL) yang diasumsikan mampu menyediakan lingkungan belajar yang bisa dan akan
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, karena model ini menggunakan
fondasi isu-isu sosiosains yang kontroversial sebagai bahan acuan pembelajaran.2
Sebagai hasil dari penerapan model ini, rata-rata nilai kemampuan berpikir kritis
siswa di kelas eksperimen meningkat 2,7 kali lipat dari kemampuan awalnya
menjadi 31,84. Sementara kelas kontrol meningkat 2,1 kali lipat dari nilai awal
menjadi 28,41. Peningkatan berpikir kritis siswa juga dapat dilihat dari nilai N-Gain
siswa kelas kontrol yaitu 0,56 yang termasuk kedalam kategori peningkatan KBK
tingkat sedang dan siswa kelas eksperimen yaitu 0,71 yang termasuk kedalam
kategori peningkatan KBK tingkat tinggi.
Terdapat 10 butir soal KBK yang mewakili 10 butir indikator kemampuan
berpikir kritis Ennis. Kategori soal pertama berasal dari kelompok KBK klarifikasi
1 Robert H. Ennis, Critical Thinking Dispositions: Their Nature and Assessability, (Urbana-
Champaign: University of Illions, 1996), Vol 18, No.2, p.166. 2 Dana L. Zeidler, The Role of Moral Reasoning on SSI and Discourse in Science Education,
Lampiran C.4 Rekapitulasi Hasil Uji Coba Instrumen
Reliabilitas tes: 0,62 (Tinggi)
No
soal
Validitas Taraf Kesukaran Daya Pembeda Keterangan
I-CVI Kategori Indeks Kategori Indeks Kategori
1 1 Valid 0,67 Sedang 0,86 Sangat Baik Digunakan
2 1 Valid 0,65 Sedang 0,77 Sangat Baik Digunakan
3 1 Valid 0,55 Sedang 0,43 Baik Digunakan
4 1 Valid 0,49 Sedang 0,63 Baik Digunakan
5 1 Valid 0,68 Sedang 0,36 Cukup Digunakan
6 1 Valid 0,65 Sedang 0,22 Cukup Digunakan
7 1 Valid 0,66 Sedang 0,22 Cukup Digunakan
8 1 Valid 0,53 Sedang 0,22 Cukup Digunakan
9 1 Valid 0,27 Sukar 0,56 Baik Digunakan
10 1 Valid 0,68 Sedang 0,27 Cukup Digunakan
264
26
4
Lampiran C.5 Soal Penelitian yang Digunakan
Nama :
Kelas :
Materi : Gejala Pemanasan Global
Sekolah : SMAN 7 Tangerang Selatan
1. Bacalah cuplikan berita dibawah ini!
Dari potongan berita di atas, buatlah olehmu rumusan masalah dalam
bentuk pertanyaan!
Penuaan Dini, apa sih Penyebabnya?
Radikal bebas adalah molekul tidak stabil yang
berbahaya bagi kesehatan tubuh dan kulit
seseorang. Molekul inilah yang menyebabkan
penuaan dini pada wajah yang ditandai dengan
adanya kerutan wajah, flek hitam, kusam, dan
yang terparah adalah kanker kulit. Hal ini terjadi
karena molekul tersebut mencoba
menyeimbangkan dirinya dengan mengambil
elektron ekstra dari atom yang ada di kulit. Saat
atom diambil dari sel kulit, saat itulah terjadi
kerusakan pada DNA kulit.
atom diambil dari sel kulit, saat itulah terjadi kerusakan pada DNA kulit. Radikal bebas akan lebih berbahaya
lagi bagi masyarakat yang tinggal di daerah tropis. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
Indonesia (PERDOSKI) sendiri menyatakan 80% penuaan dini di Indonesia terjadi saat usia muda yang
disebabkan oleh radiasi sinar matahari, sedangkan penyebab lainnya adalah paparan polusi udara. Polusi di
sini tidak hanya berarti asap yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor saja, melainkan asap pabrik, asap
pembakaran sampah, asap rokok, debu dan lain-lain. (dikutip dari berbagai surat kabar)
Paparan sinar matahari terhadap kulit wajah Sumber gambar: www.farmaciadapenha.pt
265
265
2. Bacalah cuplikan berita dibawah ini!
Dengan mempertimbangkan informasi yang penting, buatlah
olehmu ringkasan dari berita di atas!
Waspada! Sinar Matahari bisa Menyebabkan Kebutaan lho!
Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di
Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan
RI, 80% kasus kebutaan di Indonesia disebabkan oleh
katarak. Menurut dr.Astrianda N.Suryono, Sp.M(K),
katarak biasanya diderita pada usia tertentu, misalnya
di atas usia 60 tahun, tetapi paparan sinar ultraviolet
bisa membuat katarak dialami orang berusia lebih
muda.
bisa membuat katarak dialami orang berusia lebih muda. Hal ini terjadi karena pemanasan global dan juga
karena Indonesia merupakan negara tropis yang tersorot banyak sinar matahari terus-menerus. Bagian dari
mata yang paling banyak menyerap sinar matahari adalah kornea dan lensa sehingga lama kelamaan akan
menjadi keruh dan penglihatan terganggu. Selain katarak, dalam jangka panjang sinar matahari juga dapat
menyebabkan penuaan kulit di sekitar mata, kanker kulit, keratitis, serta degenerasi makula yang dialami
lebih dini. Ada banyak cara untuk melindungi mata dari sinar matahari, yang paling mudah adalah memakai
pelindung kepala atau memakai sunglasses. Namun memakai sunglasses belum jadi gaya hidup kebanyakan
orang, padahal banyak efek buruk sinar matahari untuk mata. Selain memakai kacamata hitam, saat ini
telah tersedia lensa kacamata bening yang bisa menangkal sinar matahari. Menurut Direktur PT.Optik
Tunggal Sempurna Alexander F.Kurniawan, kebanyakan lensa korektif yang ada saat ini masih belum
mampu melindungi mata dari radiasi sinar ultraviolet (UV) yang memiliki panjang gelombang 400
nanometer. (dikutip dari berbagai surat kabar)
Paparan sinar matahari pada mata Sumber gambar: www.uvex-safety.co.uk
266
266
3. Bacalah cuplikan cerita dibawah ini!
Berdasarkan cerita di atas, menurutmu jawaban apakah yang tepat
untuk menjawab pertanyaannya Andre?
4. Bacalah cuplikan cerita dibawah ini!
Alasan apakah yang dapat diberikan Chopper agar Zoro dan Sanji
menganggap pernyataannya adalah benar?
Sayonara Jakarta!
Di suatu siang yang panas, Sule sedang membaca berita yang
sedang viral mengenai peningkatan permukaan air laut.
Karena penasaran melihat wajah Sule yang tak biasanya
terlihat serius saat membaca, Andre pun menghampiri dan
meminta dia menceritakan isi berita tersebut. Menurut isi
berita, karena melelehnya es Bumi, air laut mengalami
peningkatan ketinggian sebesar 3,1 mm per tahun. Jika
semua lempengan es di seluruh wilayah Bumi mencair maka
permukaan air laut akan naik setinggi 65,8 m. Meningkatnya
Sementara itu di Indonesia sendiri, misalnya Jakarta memiliki ketinggian rata-rata 8 meter di atas
permukaan laut. Ironisnya, tanah di wilayah Jakarta mengalami penurunan ketinggian setiap tahunnya
akibat penyedotan air tanah yang tak terkontrol. Menurut penelitian, Jakarta mengalami penurunan dari
1-20 cm per tahunnya. Sule pun menyatakan kesimpulan “Wah! Jakarta sih akan tenggelam lebih dulu”.
Mendengar pernyataan tersebut, Andre pun bertanya pada Sule “Mengapa kamu bisa bilang jakarta bisa
tenggelam lebih dulu Le?”
Ilustrasi penuruna tanah dan kenaikan laut Sumber gambar: www.archive.epa.gov
Mari Hemat Listrik
Suatu hari Zoro dan Sanji sedang berdebat
mengenai tagihan listrik apartemen mereka
yang kian membengkak tiap bulannya.
Chopper pun datang dan menengahi mereka
dengan menyatakan “Makanya kalian harus
selalu menghemat penggunaan listrik, salah
satunya dengan cara mencabut colokan yang
sudah tidak digunakan. Selain bisa
mengurangi biaya tagihan, hal itu juga bisa
membuat ruangan kita terasa lebih sejuk dan
bisa menghindarkan kita dari bahaya.”
Ilustrasi cara menghemat energi Sumber gambar: www.kids.frontiersin.org
267
267
5. Bacalah grafik dibawah ini!
Berdasarkan grafik tersebut, buatlah olehmu kesimpulannya!
Sumber gambar: www.climate.nasa.gov
Berikut ini disajikan grafik kenaikan emisi rata-rata gas karbon dioksida (CO2) dan kenaikan suhu
rata-rata Bumi per tahun:
268
268
6. Bacalah cuplikan berita dibawah ini!
Apakah hipotesis di atas dapat dibenarkan? Jelaskan jawabanmu.
Rotasi kian Melambat, karena Bumi semakin Berat?
(ilmugeografi.com, 08/07/18) Rotasi merupakan sebutan bagi
berapa lama (waktu) yang diperlukan bumi untuk melakukan
satu kali putaran. Sekarang ini waktu satu kali rotasi bumi
disepakati selama 23 jam, 56 menit, dan 45 detik. Namun
sejarah mencatat bahwa dahulu waktu rotasi Bumi tidak sampai
demikian. Ada beberapa perubahan waktu satu kali rotasi Bumi
yang telah berhasil dicatat berdasarkan perhitungan jam atom.
Berikut disajikan laporan dari NASA:
Hal ini terjadi karena rotasi Bumi mengalami perlambatan sehingga menyebabkan waktu 1 hari menjadi
lebih lama. Salah satu hipotesis yang dikemukakan untuk menjelaskan penyebab melambatnya rotasi
adalah karena Bumi semakin berat setiap tahunnya.
Ilustrasi rotasi bumi Sumber gambar: www.bandungcitytoday.com
269
269
7. Bacalah cuplikan berita dibawah ini!
Dengan mempertimbangkan situasi Indonesia saat ini, tepatkah
keputusan kita jika ikut menandatangani kesepakatan tersebut?
Sertakanlah alasanmu.
Konferensi Perubahan Iklim Dunia
(zetizen.jawapos.com, 04/06/17) Kesepakatan
Paris merupakan kesepakatan internasional
tentang perubahan iklim. Tujuannya adalah
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Kesepakatan ini berlaku untuk semua negara,
namun Kesepakatan Paris memberikan
pembedaan tanggung jawab antara negara
maju dan berkembang. Negara maju dituntut
untuk memimpin penurunan emisi dan
menyediakan dana, sementara negara
berkembang diberi fleksibilitas untuk
berkontribusi sesuai kemampuan nasional.
Indonesia sendiri telah meratifikasi
kesepakatan ini pada tanggal 22 April 2016.
Kesepakatan ini menghasilkan 5 poin penting
yang harus dijalankan oleh seluruh negara.
Pertama
Pertama yaitu upaya mengurangi emisi karbon
dengan cepat hingga mencapai ambang batas
kenaikan suhu bumi yang disepakati, yaitu di
bawah 2°C dan diupayakan ditekan menjadi
1,5°C (mitigation). Kedua melakukan sistem
penghitungan karbon dan pengurangan emisi
secara transparan (transparancy). Ketiga upaya
adaptasi dilakukan dengan cara memperkuat
kemampuan negara-negara untuk mengatasi
dampak perubahan iklim (adaption). Keempat
memperkuat upaya pemulihan kerugian dan
kerusakan yang disebabkan oleh perubahan
iklim (loss and damage). Kelima perlu adanya
bantuan baik berupa bantuan dana, teknologi
dan peningkatan kapasitas untuk membangun
ekonomi hijau berkelanjutan (support).
Para pemimpin negara saat berfoto bersama di sela-sela Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2015 Sumber gambar: www.zetizen.jawapos.com
270
270
8. Bacalah cuplikan berita dibawah ini!
Berdasarkan cuplikan berita tersebut, menurutmu apa yang akan
terjadi jika penuruna jumlah terumbu karang terus berlanjut?
Apa Kabar Terumbu Karang Indonesia?
Tumpukan terumbu karang di Indonesia
sepanjang 2016 mengalami penurunan.
Penyebabnya, selain karena ulah manusia
secara langsung, juga karena pemanasan global.
Laporan menyebutkan, dari sekitar 2,5 juta
hektar luas terumbu karang di Indonesia, hanya
6,39% terumbu karang berada dalam kondisi
sangat baik, 23,40% kondisi baik, 35,06% kondisi
cukup baik, dan 35,15% dalam kondisi jelek. Para
ilmuwan IPCC sendiri memperingatkan bahwa
hanya ada 12 tahun tersisa atau sampai tahun
2030 untuk mencegah bencana iklim ekstrim
yang terjadi karena pemanasan global dengan
maksimum kenaikan suhu 1,5°C. IPCC
kenaikan suhu 1,5°C. IPCC melaporkan dengan
pemanasan global 1,5° C terumbu karang akan
menurun 70-90% dan ketika suhu global mencapai
2°C terumbu karang akan menghilang. Penurunan
terjadi akibat dari pemutihan terumbu karang yang
terpapar suhu panas karena meningkatnya suhu
permukaan laut sehingga melepas alga yang
menjadi sumber makanan dan warna terumbu
karang. Terumbu karang dengan keunikan
simbiosis dengan tumbuhan alga mampu
menyerap karbon yang ada di atmosfir dan
menghasilkan oksigen saat proses fotosintesisnya.
(dikutip dari berbagai surat kabar)
Pemutihan terumbu karang Sumber gambar: www.climatecentral.org
271
271
9. Perhatikanlah tabel skema perbandingan sumber daya pembangkit listrik
pengganti PLTU minyak dan batu bara
SKEMA KELEBIHAN KEKURANGAN
NUKLIR
Rendah Emisi Karbon
Tidak memerlukan area pembangunan yang luas
1 kg bahan bakar nuklir menghasilkan 24 juta kWh sementara 1 kg batu bara dan 1 kg minyak masing-masing hanya dapat menghasilkan 8 kWh dan 12 kWh
Tidak bergantung cuaca
Volume limbah kecil
Limbah akan tetap berbahaya sampai ratusan ribu tahun
Kecelakaan nuklir dapat merusak sel-sel tubuh yang menyebabkan penyakit atau kematian
PLTN yang tidak terpakai tidak bisa begitu saja ditinggalkan. Pembersihan memakan waktu yang lama dan biaya yang besar
MATAHARI
Rendah Emisi Karbon
Sumber energi
terbarukan
Bergantung cuaca
Memerlukan area yang
luas untuk menghasilkan
energi listrik yang banyak
PASANG SURUT LAUT
Rendah Emisi Karbon
Sumber energi terbarukan
Tidak semua tempat
punya kekuatan pasang
surut yang bisa digunakan
Hanya menghasilkan listrik
selama ada gelombang
pasang yang rata-rata
terjadi sekitar 10 jam
setiap hari
Dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan, menurutmu
alternatif mana yang paling cocok diterapkan di Indonesia untuk
mengganti PLTU batu bara dan minyak?
272
272
10. Bacalah cuplikan berita dibawah ini!
Sebagai masyarakat Indonesia, solusi alternatif apakah yang bisa
kamu berikan dan bisa kamu lakukan secara langsung dan nyata
untuk membantu mencegah pemanasan global?
Stratgei Indonesia dalam Mencegah Pemanasan Global
Dalam wawancara di sela-sela Conference of the
Parties ke 24 (COP24) di Katowice, Polandia,
negara Indonesia mengungkapkan kunci utama
strategi mereka dalam mencegah pemanasan
global adalah dengan menerapkan metode
pembangunan rendah karbon yang berdasar pada
empat pilar utama. Pertama, mencegah
deforestasi (penebangan hutan) dan melakukan
reforestasi (penanaman kembali hutan). Kedua,
memperbaiki kualitas lingkungan baik air maupun
udara. Ketiga, memperbaiki produktifitas
pertanian tanpa harus memperluas lahan.
Keempat adalah mendorong energi terbarukan
dan konservasi energi juga menghentikan
ketergantungan energi fosil terutama batubara.
Namun kenyataan yang terjadi tidak sejalan
dengan hal tersebut. PT PLN (Persero)
lahan. Keempat adalah mendorong energi terbarukan dan konservasi energi juga menghentikan
ketergantungan energi fosil terutama batubara. Langkah untuk mencegah pemanasan global ini memang
tidak akan bisa langsung terealisasi karena butuh waktu dan biaya yang sangat besar. Namun pasti akan
terwujud jika Indonesia konsisten dalam menerapkan strategi tersebut. (dikutip dari berbagai surat kabar)
PLTU Batu Bara Sumber gambar: www.hijauku.com
273
273
LAMPIRAN D
Analisis Data Hasil Penelitian
1. Hasil Pretest
2. Hasil Posttest
3. Hasil Olah Data per Indikator KBK
4. Uji Normalitas Hasil Pretest
5. Uji Normalitas Hasil Posttest
6. Uji Homogenitas
7. Uji Hipotesis
8. Data Nilai N-Gain Kelas Kontrol dan Kelas
Eksperimen
9. Data Nilai N-Gain per Indikator Kemampuan
Berpikir Kritis
274
27
4
Lampiran D.1 Hasil Pretest
Data Skor Pretest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
No Responden Nilai Pretest
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
1 Siswa 1 13 10
2 Siswa 2 16 12
3 Siswa 3 17 13
4 Siswa 4 15 12
5 Siswa 5 9 12
6 Siswa 6 17 14
7 Siswa 7 8 12
8 Siswa 8 18 11
9 Siswa 9 14 16
10 Siswa 10 15 10
11 Siswa 11 13 13
12 Siswa 12 15 12
13 Siswa 13 11 16
14 Siswa 14 12 5
15 Siswa 15 15 15
16 Siswa 16 14 13
17 Siswa 17 16 16
18 Siswa 18 12 10
19 Siswa 19 16 12
20 Siswa 20 19 2
21 Siswa 21 8 11
22 Siswa 22 10 14
23 Siswa 23 14 13
24 Siswa 24 8 17
25 Siswa 25 9 15
26 Siswa 26 16 13
27 Siswa 27 12 11
28 Siswa 28 13 13
29 Siswa 29 13 12
30 Siswa 30 11 9
31 Siswa 31 13 12
32 Siswa 32 10 9
33 Siswa 33 17 9
34 Siswa 34 9 10
35 Siswa 35 12 11
36 Siswa 36 12 11
37 Siswa 37 12 9
38 Siswa 38 12 8
39 Siswa 39 10 11
275
Data Deskriptif Hail Pretest
Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Descriptives
Statistic Std. Error
Pretest Kelas
Kontrol
Mean 12,9744 ,47115
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 12,0206
Upper Bound 13,9281
5% Trimmed Mean 12,9430
Median 13,0000
Mode 12,00
Variance 8,657
Std. Deviation 2,94232
Minimum 8,00
Maximum 19,00
Range 11,00
Interquartile Range 4,00
Skewness ,033 ,378
Kurtosis -,782 ,741
Pretest Kelas
Eksperimen
Mean 11,6410 ,46683
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 10,6960
Upper Bound 12,5861
5% Trimmed Mean 11,8248
Median 12,0000
Mode 12,00
Variance 8,499
Std. Deviation 2,91536
Minimum 2,00
Maximum 17,00
Range 15,00
Interquartile Range 3,00
Skewness -,907 ,378
Kurtosis 2,392 ,741
276
Lampiran D.2 Hasil Posttest
Data Skor Pretest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
No Responden Nilai Posttest
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
1 Siswa 1 29 26
2 Siswa 2 32 35
3 Siswa 3 28 29
4 Siswa 4 30 36
5 Siswa 5 27 32
6 Siswa 6 22 35
7 Siswa 7 21 27
8 Siswa 8 27 33
9 Siswa 9 27 35
10 Siswa 10 28 31
11 Siswa 11 28 35
12 Siswa 12 27 22
13 Siswa 13 32 24
14 Siswa 14 26 30
15 Siswa 15 27 33
16 Siswa 16 32 33
17 Siswa 17 28 30
18 Siswa 18 26 29
19 Siswa 19 32 34
20 Siswa 20 27 34
21 Siswa 21 26 27
22 Siswa 22 37 34
23 Siswa 23 25 30
24 Siswa 24 25 36
25 Siswa 25 28 29
26 Siswa 26 31 29
27 Siswa 27 28 33
28 Siswa 28 28 32
29 Siswa 29 28 34
30 Siswa 30 31 35
31 Siswa 31 32 36
32 Siswa 32 29 36
33 Siswa 33 32 34
34 Siswa 34 31 31
35 Siswa 35 29 32
36 Siswa 36 30 32
37 Siswa 37 29 34
38 Siswa 38 25 37
39 Siswa 39 28 28
277
Data Deskriptif Hail Posttest
Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Descriptives
Statistic Std. Error
Posttest Kelas
Kontrol
Mean 28,4103 ,47858
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 27,4414
Upper Bound 29,3791
5% Trimmed Mean 28,4530
Median 28,0000
Mode 28,00
Variance 8,933
Std. Deviation 2,98873
Minimum 21,00
Maximum 37,00
Range 16,00
Interquartile Range 4,00
Skewness ,128 ,378
Kurtosis 1,315 ,741
Posttest Kelas
Eksperimen
Mean 31,8462 ,56737
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 30,6976
Upper Bound 32,9947
5% Trimmed Mean 32,0798
Median 33,0000
Mode 34,00
Variance 12,555
Std. Deviation 3,54325
Minimum 22,00
Maximum 37,00
Range 15,00
Interquartile Range 6,00
Skewness -,865 ,378
Kurtosis ,366 ,741
278
Lampiran D.3 Hasil Olah Data per Indikator KBK
Data Pretest per Indikator Kelas Kontrol (XI-1PA 1)
No. Responden Indikator Kemampuan Berpikir Kritis (KBK)