1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan ekonomi suatu negara dapat diukur dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan mengetahui tingkat perkembangan dunia pasar modal dan industri- industri sekuritas pada negara tersebut. Pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk bebagai macam instrument keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk uang, ekuitas dan instrument derivatif. Adanya pasar modal memungkinkan para investor untuk memiliki perusahaan yang sehat dan berprospek baik, karena tidak hanya dimiliki oleh sejumlah orang tertentu. Penyebaran kepemilikan yang luas akan mendorong perkembangan perusahaan yang transparan. Pasar modal juga merupakan jembatan untuk
234
Embed
pengaruh insider ownership, dispersion of ownership, free cash flow dan collaterizable assets terhadap kebijakan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Perkembangan ekonomi suatu negara dapat diukur dengan berbagai macam cara,
salah satunya dengan mengetahui tingkat perkembangan dunia pasar modal dan
industri-industri sekuritas pada negara tersebut. Pasar modal (capital market)
merupakan pasar untuk bebagai macam instrument keuangan jangka panjang yang
bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk uang, ekuitas dan instrument derivatif.
Adanya pasar modal memungkinkan para investor untuk memiliki perusahaan yang
sehat dan berprospek baik, karena tidak hanya dimiliki oleh sejumlah orang tertentu.
Penyebaran kepemilikan yang luas akan mendorong perkembangan perusahaan yang
transparan. Pasar modal juga merupakan jembatan untuk mendistribusikan
kesejahteraan kepada masyarakat, khususnya kepada pemegang surat berharga
perusahaan, karena pemegang saham akan mendapatkan dividend dan atau capital
gains.
Salah satu jenis perusahaan yang menerbitkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia
(sebagai lembaga yang terlibat di pasar modal) untuk mendapatkan dana adalah
perusahaan Manufaktur khususnya perusahaan Otomotif, seiring dengan
berkembangnya jaman maka semakin tinggi pula gaya hidup dan kebutuhan manusia
2
yang semakin kompleks salah satunya seperti kebutuhan akan alat transportasi,
dengan semakin tingginya kebutuhan akan alat transportasi maka akan diikuti pula
oleh tingginya permintaan masyarakat akan produk otomotif. Dari sini bisa dilihat
bahwa produk otomotif sangatlah penting dan dibutuhkan untuk masyarakat luas,
sehingga kecenderungan perusahaan otomotif untuk survive sangat besar meskipun
terkena dampak krisis moneter.
Bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, secara otomatis akan
meningkatkan jumlah permintaan terhadap produk otomotif. Dalam kondisi ini,
perusahaan otomotif tentu akan mengambil langkah-langkah tertentu untuk
memenuhi peningkatan permintaan terhadap produk otomotif tersebut, misalnya
dengan meningkatkan kapasitas produksi, mengadakan ekspansi perusahaan,
perluasan jaringan distribusi serta usaha-usaha lain yang semuanya itu membutuhkan
dana yang tidak sedikit. Salah satu cara bagi perusahaan untuk dapat memenuhi
kebutuhan dananya adalah dengan menjual sahamnya di pasar modal (Bursa Efek)
yang lebih dikenal sebagai go public.
Perusahaan otomotif lebih dipilih oleh peneliti karena industri otomotif
mempunyai prospek yang sangat menguntungkan dan saat ini sedang menghadapi
persaingan yang cukup tinggi serta selalu mengikuti perkembangan teknologi yang
cepat.
Salah satu perusahaan otomotif yang mempuyai prospek yang baik yaitu PT
Astra International Tbk. Pada semester pertama tahun 2010 membukukan laba bersih
3
sebesar Rp 6,4 triliun naik sebesar 52,38% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar
Rp 4,2 triliun. (http://bisnis.vivanews.com)
Berdasarkan fakta tersebut tentu akan membuat investor tertarik untuk
menanamkan modalnya dalam perusahaan yang menghasilkan laba yang tinggi.
Karena dengan laba yang tinggi, investor mengharapkan pengembalian yang lebih
besar dari investasinya yang berupa deviden. namun tidak semua perusahann yang
membagikan keuntungannya sebagai dividen, tergantung kebijakan dividen
perusahaan tersebut dan beberapa faktor yang mempengaruhi.
Kebijakan dividen merupakan keputusan perusahaan apakah laba yang diperoleh
dibagikan kepada para pemegang saham sebagai dividen atau ditahan dalam bentuk
laba ditahan (retained earning) guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang.
Apabila perusahaan memilih untuk membagikan laba sebagai deviden maka akan
mengurangi laba ditahan yang selanjutnya mengurangi total sumber dana intern atau
internal financing. Sebaliknya, jika perusahaan memilih untuk menahan laba yang
diperoleh maka kemampuan pembentukan dana intern akan semakin besar.
Persentase laba yang dibayarkan perusahaan dalam bentuk dividen tunai pada
pemegang saham disebut dengan rasio pembayaran dividen atau yang sering disebut
Dividen Payout Ratio.
Di beberapa perusahaan kebijakan penentuan dividen juga dipengaruhi peran
pendiri yang masih tampil sebagai pemegang saham mayoritas. Hal yang hampir
sama juga sering terjadi di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
kebijakan dividennya kerap sudah ditentukan dari atas, yakni oleh pemerintah Tim
BEI sebagai pemegang saham mayoritas ( http://www.seputar-indonesia.com).
Selain BUMN, perusahaan-perusahaan besar yang sudah mature biasanya juga
rajin membagikan dividen. Selain laba bersih perusahaan ini tinggi, perusahaan yang
sudah mature seperti ini biasanya juga tidak membutuhkan dana yang besar untuk
ekspansi. Di Indonesia, perusahaan yang terkenal rajin membagikan dividen adalah
Muti Bintang Indonesia (MBI), Bristol-Myers Squibb Indonesia (MBSI), Merck dan
Astra International (SWA Digital - Indonesia Business Data & Solution Center).
Kebijakan pembayaran dividen memiliki pengaruh bagi pemegang saham dan
perusahaan yang membayar dividen. Para pemegang saham umumnya menginginkan
pembagian dividen yang relatif stabil karena dengan stabilitasnya deviden akan
meningkatkan kepercayaan pemegang saham terhadap perusahaan sehingga
mengurangi ketidakpastian pemegang saham dalam menanamkan dananya ke dalam
perusahaan.
Menurut sudut pandang manajemen keuangan, tujuan perusahaan adalah
memaksimumkan kesejahteraan pemilik (stockholders) melalui keputusan atau
kebijakan investasi, keputusan pendanaan dan keputusan dividen yang tercermin
dalam harga saham di pasar modal. Dalam mencapai tujuan tersebut, banyak
stockholders yang menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada pihak professional
yang diberi tanggung jawab untuk mengelola perusahaan, yang disebut manajer.
Perusahaan yang dikelola oleh para manajer diharapkan oleh pemilik (stockholders)
5
untuk menghasilkan keuntungan yang tinggi dan memberikan keuntungan tersebut
kepada pemilik sebagai konsekuensi modal yang telah diberikan pada perusahaan.
Dalam keputusan pembagian dividen perlu dipertimbangkan kelangsungan hidup
dan pertumbuhan perusahaan. Dengan demikian laba tidak seluruhnya dibagikan
kedalam bentuk dividen namun perlu disisihkan untuk diinvestasikan kembali. Besar
kecilnya dividen yang akan dibayarkan perusahaan tergantung pada kebijakan dividen
dari masing-masing perusahaan, sehingga pertimbangan manajemen pada RUPS
sangat diperlukan. Dengan demikian, perlu bagi pihak manajemen untuk
mempertimbangkan faktor-faktor apa saja yang akan mempengaruhi kebijakan
dividen yang akan ditetapkan perusahaan.
Kebijakan dividen terkait juga dengan hubungan antara beberapa pihak yang
saling berbeda kepentingan, yaitu antara kepentingan pihak pemegang saham,
kreditor dan pihak perusahaan sendiri, serta manajer dengan para pemegang saham
(stockholders). Pihak perusahaan yang diwakili oleh para manajer seharusnya
bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran pemilik namun manajer sering
mempunyai tujuan lain yang bertentangan dengan tujuan utama tersebut sehingga
menimbulkan konflik kepentingan antara pihak manajemen dan pemegang saham.
Serta dalam hubungannya antara pemegang saham dan kreditor, cenderung
memunculkan konflik bila manajer berinvestasi pada tingkat resiko yang lebih tinggi
dari tingkat resiko yang diperkirakan oleh kreditor. Semakin tinggi resiko yang
diambil oleh manajer dengan harapan bahwa semakin tinggi pula tingkat
pengembalian atas investasi maka hal ini akan lebih menguntungkan pihak pemegang
6
saham dibanding kreditor. Konflik-konflik tersebut dikenal sebagai masalah keagenan
(agency conflict). Perbedaan kepentingan inilah yang menyebabkan munculnya
masalah keagenan.
Perusahaan yang memisahkan fungsi pengelolaan dan fungsi kepemilikan akan
rentan terhadap konflik keagenan. Penyebab konflik antara manajemen dengan
pemegang saham diantaranya adalah pembuatan keputusan yang berkaitan dengan
aktivitas pencarian dana (financing decision), dan pembuatan keputusan yang
berkaitan dengan cara untuk menginvestasikan dana tersebut. Selain itu, agency
conflict akan terjadi apabila proporsi kepemilikan manajer atas saham perusahaan
kurang dari 100%, sehingga manajer cenderung bertindak untuk mengejar
kepentingan dirinya dan sudah tidak berdasar maksimalisasi nilai perusahaan dalam
pengambilan keputusan (Jensen dan Meckling dalam Triani Pujiastuti, 2008).
Konflik kepentingan antara manajemen dan pemegang saham dapat
diminimalkan dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan
kepentingan-kepentingan tersebut. Dampak dari adanya mekanisme pengawasan
maka akan menimbulkan biaya yang disebut sebagai agency cost. Menurut Jensen
dan Meckling dalam Triani Pujiastuti, (2008), biaya agensi yang timbul merupakan
tanggung jawab stockholder (pemegang saham). Ada beberapa alternatif untuk
mengurangi agency cost yaitu : pertama, dengan meningkatkan kepemilikan saham
perusahaan oleh pihak manajemen (insider ownership) sehingga dapat menyejajarkan
kepentingan pemilik dengan manajer, kedua, dengan meningkatkan dividend payout
ratio (DPR) sehingga tidak tersedia banyak free cash flow dan manajemen terpaksa
7
mencari pendanaan dari luar untuk membiayai investasinya, ketiga, meningkatkan
pendanaan dengan hutang. Dengan penggunaan hutang maka perusahaan harus
melakukan pembayaran periodik atas bunga dan pokok pinjaman. Hal ini dapat
mengurangi keinginan manajer untuk menggunakan free cash flow guna membiayai
kegiatan yang tidak optimal (Jensen et al., dalam Pandu, 2006), keempat, dengan
mengurangi distribusi saham (shareholder dispersion) pemegang saham (Alli et al.,
dalam Mollah et al., 2000). Jika jumlah saham dipegang oleh sedikit pemegang
saham maka kepemilikan akan lebih terkonsentrasi dan pemegang saham cenderung
semakin mudah untuk mempengaruhi perilaku manajer, sehingga mengurangi agency
costs.
Kemudian untuk mengurangi konflik antara pemegang saham dengan kreditor
dimana pemegang saham dapat mengambil keuntungan dari kreditor melalui dividen
yang dibayarkan, kreditor mencoba mengatasi masalah ini melalui pembatasan
pembayaran dividen. Perusahaan yang memegang lebih banyak aset yang dijaminkan
(collateralizable assets) mempunyai lebih sedikit agency costs antara pemegang
saham dengan kreditor karena aset ini dapat berfungsi sebagai pinjaman kolateral
(Titman dan Wassel dalam Pndu 2006)
Dari penjelasan mengenai munculnya permasalahan agensi, biaya agensi dan
mekanisme untuk mengurangi biaya agensi diatas, maka telah banyak penelitian-
penelitian yang dilakukan untuk mengetahui variable-variabel konsep yang dapat
membentuk agency cost dan menggambarkan lebih jelas pengaruh variabel-variabel
tersebut dalam dividend payout ratio perusahaan. Karena agency costs tidak dapat
8
diobservasi secara langsung maka dibutuhkan proksi yang diperkirakan
mempengaruhi agency costs. Dalam penelitian ini menggunakan beberapa variabel
sebagai proksi agency costs yang terkait dalam teori agensi seperti insider ownership
(kepemilikan manajerial), dispersion of ownership (penyebaran kepemilikan), free
cash flow (aliran kas bebas) dan collateralizable asset (jaminan aset).
Masalah keagenan banyak dipengaruhi insider ownership yaitu pemilik
perusahaan sekaligus menjadi pengelola perusahaan, semakin besar jumlah insider
ownership maka akan semakin kecil konflik kepentingan antara pemegang saham dan
pihak manajemen (Demsey dan Laber dalam Iwan, 2007).
Mekanisme pengawasan lain yang perlu dipertimbangkan yaitu proporsi
kepemilikan saham pemegang saham di perusahaan. Jika jumlah pemegang saham
semakin menyebar, akan menyebabkan kekeuatan (power) para pemegang saham
untuk mengontrol manajemen menjadi lebih rendah, sehingga mereka sulit untuk
melakukan kontrol terhadap perusahaan.
Masalah keagenan juga muncul karena perusahaan menghasilkan arus kas bebas
(free cash flow) yang sangat besar. Yang dimaksud arus kas bebas adalah kas
perusahaan yang dapat di distribusi kepada kreditor atau pemegang saaham yang
tidak digunakan untuk modal kerja (working capital) atau investasi pada aset tetap
(Ross et al dalam Wahyu, 2011).
Konflik kepentingan yang terjadi pada pemegang saham dan kreditor tentang
permasalahan pembayaran dividen dapat diminimalkan melalui jaminan aset
(collateralizable assets). Collateralizable Assets mencerminkan besarnya nilai aktiva
9
tetap perusahaan pada akhir tahun laporan keuangan yang dapat digunakan untuk
memperoleh pinjaman.
Banyak studi yang telah dilakukan mengenai pengaruh biaya agensi terhadap
dividend payout ratio, tetapi beberapa penelitian tersebut menunjukkan hasil yang
berbeda. Penelitian ini bermaksud untuk melakukan studi lebih lanjut melalui
pengujian kembali (replication extention) atas penelitian Triani Pujiastuti (2008).
Alasan untuk melakukan pengujian kembali adalah peneliti ingin mengetahui apakah
jika dilakukan penelitian ulang dengan menggunakan sampel dan periode yang
berbeda, hasil penelitian ini akan konsisten dengan penelitian sebelumnya.
Berdasarkan latar belakang dan fenomena diatas, maka penulis tertarik
untuk mengetahui hubungan variabel-variabel tersebut dengan mengambil judul:
“PENGARUH INSIDER OWNERSHIP, DISPERSION OF OWNERSHIP,
FREE CASH FLOW DAN COLLATERIZABLE ASSETS TERHADAP
KEBIJAKAN DIVIDEN”
(Pada Perusahaan Automotive dan Allied Product yang Terdaftar di BEI Tahun
2005-2010)
10
1.2 Identifikasi Masalah
Beradasarkan latar belakang penelitian diatas, dapat diidentifikasikan masalah
pokok dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana insider ownership di Perusahaan Automotive dan Allied Product
yang terdaftar di BEI tahun 2005-2010.
2. Bagaimana dispersion of ownership di Perusahaan Automotive dan Allied
Product yang terdaftar di BEI tahun 2005-2010.
3. Bagaimana free cash flow di Perusahaan Automotive dan Allied Product
yang terdaftar di BEI tahun 2005-2010.
4. Bagaimana collaterizable assets di Perusahaan Automotive dan Allied
Product yang terdaftar di BEI tahun 2005-2010.
5. Bagaimana kebijakan dividen di Perusahaan Automotive dan Allied Product
yang terdaftar di BEI tahun 2005-2010.
6. Seberapa besar pengaruh insider ownership, dispersion of ownership, free
cash flow dan collaterizable assets terhadap kebijakan dividen secara
parsial.
7. Seberapa besar pengaruh insider ownership, dispersion of ownership, free
cash flow dan collaterizable assets terhadap kebijakan dividen secara
simultan.
11
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini :
1. Untuk mengetahui insider ownership di Perusahaan Automotive dan Allied
Product yang terdaftar di BEI tahun 2005-2010.
2. Untuk mengetahui dispersion of ownership di Perusahaan Automotive dan
Allied Product yang terdaftar di BEI tahun 2005-2010.
3. Untuk mengetahui free cash flow di Perusahaan Automotive dan Allied
Product yang terdaftar di BEI tahun 2005-2010.
4. Untuk mengetahui collaterizable assets di Perusahaan Automotive dan
Allied Product yang terdaftar di BEI tahun 2005-2010.
5. Untuk mengetahui kebijakan dividen di Perusahaan Automotive dan Allied
Product yang terdaftar di BEI tahun 2005-2010.
6. Untuk mengetahui pengaruh insider ownership, dispersion of ownership,
free cash flow dan collaterizable assets terhadap kebijakan dividen secara
parsial.
7. Untuk mengetahui pengaruh insider ownership, dispersion of ownership,
free cash flow dan collaterizable assets terhadap kebijakan dividen secara
simultan.
12
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Bagi Peneliti
Sebagai suatu pengalaman dan menambah pengetahuan mengenai
pengaruh insider ownership, dispersion of ownership, free cash flow, dan
collaterizable assets terhadap kebijakan dividen.
Sebagai suatu sarana untuk menambah khasanah keilmuan serta wawasan
dalam perkembangan ilmu akuntansi.
Untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian untuk meraih
gelar Sarjana Ekonomi bidang studi Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Pasundan.
2. Bagi Perusahaan
Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan perusahaan dalam menetapkan
kebijakan dividen.
3. Bagi Pihak Lain
Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan bacaan ilmiah di
perpustakaan dan dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi penelitian
selanjutnya khususnya mengenai pengarauh insider ownership, dispersion of
ownership, free cash flow dan collaterizable assets terhadap kebijakan
dividen.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Dividen
Dividen merupakan bentuk distribusi laba yang diperoleh perusahaan kepada
pemegang saham sesuai dengan proporsi lembar saham yang dimilikinya.
Pengertian dividen menurut Rudianto (2009:309) adalah sebagai berikut:
“Dividen adalah bagian dari laba usaha yang diperoleh perusahaan kepada para
pemegang sahamnya sebagai imbalan atas kesediaannya menanamkan hartanya
di dalam perusahaan”.
Dividen merupakan salah satu potensi keuntungan dari investasi saham, maka
pihak manajemen perlu memperhatikan kebijakan dividen yang akan diterapkan
dalam rangka menarik minat investor untuk menanamkan modalnya dalam bentuk
kepemilikan saham.
Dividen ini dibagikan kepada para pemegang saham sebagai keuntungan dari
laba perusahaan. Dividen ditentukan berdasarkan rapat umum pemegang saham dan
jenis pembayaran tergantung kebijakan pimpinan.
14
2.1.1.1 Jenis-jenis Dividen
Kebijakan pembayaran dividen pada suatu perusahaan akan berbeda dengan
kebijakan dividen di perusahaan yang lain. Hal ini tergantung pada kebijakan
manajemen. Menurut Rudianto (2009:309-312), jenis-jenis dividen yang dibagikan
kepada para pemegang saham bisa dalam bentuk berikut:
“ 1. Dividen Kas 2. Dividen Saham
3. Dividen Likuidasi 4. Dividen Harta”.
Dari kutipan diatas dapat dijelaskan bentuk pembagian dividen sebagai berikut :
1. Dividen Kas
Bagian laba usaha yang dibagikan kepada pemegang sahamnya dalam bentuk
uang tunai. Sebelum dividen dibagikan, perusahaan harus
mempertimbangkan ketersediaan dana untuk membayar dividen. Jika
perusahaan memilih untuk membagi dividen dalam dividen kas, itu berarti
pada saat dividen akan dibagikan kepada pemegang saham perusahaan
memiliki uang tunai dalam jumlah yang cukup.
2. Dividen Saham
Dividen saham adalah bagian dari laba usaha yang dibagikan kepada
pemegang saham dalam bentuk saham baru perusahaan itu sendiri. Dividen
15
saham dibagikan karena perusahaan ingin mengkapitalisasikan sebagian dari
laba usaha yang diperolehnya secara permanen.
Apabila perusahaan membagikan dividen dalam bentuk saham maka jumlah
saham yang beredar (modal saham) akan meningkat. Namun pembayaran
dividen saham ini tidak akan mengubah posisi likuiditas perusahaan sebab
yang dibayarkan perusahaan bukan merupakan bagian dari arus kas
perusahaan. Dari sudut pandang pemegang saham, dividen saham ini tidak
mengindikasikan suatu nilai tambah karena setelah dividen saham dibagikan,
per share value dari saham yang dimiliki akan menurun, tetapi persentase
kepemilikan tidak berubah. Biasanya dividen saham ini dibagikan jika
perusahaan sedang tidak dalam posisi likuiditas yang baik. Hal ini bisa
mengakibatkan menurunnya harga saham perusahaan tersebut.
3. Dividen Likuidasi
Dividen likuidasi adalah dividen yang ingin dibayarkan oleh perusahaan
kepada para pemegang saham dalam berbagai bentuknya tetapi tidak
didasarkan pada besarnya laba usaha atau saldo laba ditahan perusahaan.
Dividen yang dibagikan berdasarkan pengurangan modal perusahaan, bukan
berdasarkan keuntungan yang diperoleh perusahaan.
4. Dividen Skrip
Dividen Skrip adalah dividen yang dibagikan dalam bentuk surat (script)
janji hutang. Perusahaan akan membayar tunai sejumlah tertentu pada waktu
16
tertentu sesuai dengan yang tercantum pada surat tersebut dikarenakan tidak
cukupnya laba yang ada untuk membayar dividen dalam bentuk kas.
5. Dividen Harta
Dividen harta adalah bagian dari laba usaha suatu perusahaan yang dibagikan
dalam bentuk harta atau barang (aktiva selain kas). Syaratnya barang tersebut
dapat dibagikan atas bagian-bagian yang penyerahannya kepada pemegang
saham tidak akan mengganggu kontinuitas perusahaan
2.1.2 Kebijakan Dividen
Menurut Agus Sartono (2001:281) kebijakan dividen (dividend policy)
merupakan:
“Kebijakan dividen adalah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan
akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan
dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi di masa datang.
Menurut Kieso,dkk (2002:355) :
“Sangat sedikit perusahaan yang membayar dividen dalam jumlah yang sama dengan laba ditahan yang tersedia secara legal, salah satu alasannya adalah keinginan untuk menahan aktiva yang tidak dibayarkan sebagai dividen guna membiayai pertumbuhan perusahaan”.
Menurut Gitman (2006), definisi dividen adalah:
“Suatu perencanaan tindakan perusahaan yang harus dituruti ketika keputusan
dividen harus dibuat.”
17
Dengan demikian, kebijakan dividen merupakan enggunaan laba bersih setelah
pajak yang akan dibagikan kepada para pemegang saham dan beberapa besar bagian
laba bersih yang akan digunakan untuk membiayai investasi perusahaan. Apabila
perusahaan memilih untuk membagikan laba yang diperolehnya dalam bentuk
dividen, maka akan mengurangi retained earning dan selanjutnya mengurangi total
sumber dana internal. Sebaliknya, jika perusahaan memilih untuk menahan laba yang
diperolehnya, maka kemampuan pembentukan dana internal akan semakin besar.
Kebijakan dividen yang optimal adalah kebijakan dividen yang menciptakan
keseimbangan diantara dividen saat ini dan pertumbuhan di masa mendatang
sehingga dapat memaksimumkan harga saham perusahaan.
2.1.2.1 Teori-teori Kebijakan Dividen
Beberapa teori kebijakan dividen yang di kemukakan oleh Agus Sartono (2008)
antara lain :
1. Teori Ketidak Relevanan Dividen (Dividend Irrelevance Theory, Modigliani dan
Miller, 1961).
Teori ketidak relevanan dividen adalah teori yang menyatakan bahwa
kebijakan dividen perusahaan tidak mempunyai pengaruh baik terhadap nilai
perusahaan maupun biaya modalnya. Modigliani-Miller (MM) berpendapat
bahwa di dalam kondisi bahwa keputusan investasi yang given, pembayaran
18
dividen tidak berpengaruh terhadap kemakmuran pemegang saham. Lebih lanjut
MM berpendapat bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh earning power dari
asset perusahaan. Dengan demikian nilai perusahaan ditentukan oleh keputusan
investasi. Sementara itu keputusan apakah laba yang diperoleh akan dibagikan
dalam bentuk dividen atau akan ditahan tidak mempengaruhi nilai perusahaan.
Berbagai asumsi-asumsi yang digunakan antara lain :
a. Pasar modal yang sempurna di mana semua investor bersikap rasional.
b. Tidak ada pajak perseorangan dan pajak penghasilan perusahaan.
c. Tidak ada biaya emisi atau flotation cost dan biaya transaksi.
d. Kebijakan dividen tidak berpengaruh terhadap biaya modal sendiri
perusahaan.
e. Informasi tersedia untuk setiap individu terutama yang menyangkut
tentang kesempatan investasi.
2. Teori The Bird In The Hand (Gordon dan Lintner, 1956)
Kepercayaan bahwa kebijakan dividen perusahaan merupakan hal yang tidak
penting, secara tidak langsung membuat para investor berasumsi bahwa
pendapatan yang mereka harapkan melalui perolehan modal akan berbeda
besarnya dengan pendapatan yang berasal daridividen. Hal ini disebabkan karena
dividen lebih bisa diramalkan daripada pendapatan modal, manajemen dapat
mengontrol dividen, tapi tak dapat mendikte harga saham. Investor kurang yakin
akan menerima pendapatan dari perolehan modal daripada dari dividen. Dengan
19
mendapatkan dividen (a bird in the hand) adalah lebih baik daripada saldo laba (a
bird in thebush) karena pada akhirnya saldo laba tersebut mungkin tidak akan
terwujud sebagai dividen dimasa yang akan datang (it can fly away).Pandangan
yang mengatakan dividen lebih pasti dari pada peroleha modal, disebut “bird in
the hand theory” (teori burung ditangan).
3. Teori Perbedaan Pajak (Tax Differential Theory, Litzenberger dan Ramaswamy,
1979)
Pandangan ketiga adalah dividen yang rendah mempengaruhi harga saham,
sehingga dividen dapat merugikan investor. Pendapat ini didasarkan pada
perbedaan perlakuan pajak antara pendapatan dividen dan perolehan modal.
Setiap investor harus membayar pajak pendapatan untuk memaksimumkan
pengembalian setelah pajak atas investasi, investor berusaha meminimumkan
tingkat pajak atas pendapatan, atau menunda pembayaran pajak jika
memungkinkan. Saham yang memungkinkan penundaan pajak (dividen rendah
perolehan modal tinggi) mungkin akan dijual pada harga premi yang relatif sama
terhadap saham yang telah dikenakan pajak. Oleh karena itu, dividen yang rendah
akan membantu investor menunda pajak pendapatan sehingga memaksimumkan
return setelah pajak atas investasinya, sedangkan dividen yang tinggi akan
meningkatkan pembayaran pajak pendapatan investor, sehingga return setelah
pajak yang diperolehnya berkurang. Berdasarkan logika pemikiran tersebut,
kebijakan dividen rendah akan meningkatkan harga saham perusahaan.
4. Teori Signaling Hypothesis
20
Menyatakan bahwa, jika ada kenaikan dividen sering kali diikuti dengan
kenaikan harga saham. Demikian pula sebaliknya. Menurut Modigliani dan Miller
kenaikan dividen biasanya merupakan suatu signal (tanda) kepada para investor,
bahwa manajemen perusahaan meramalkan suatu penghasilan yang baik di masa
mendatang. Sebaliknya, suatu penuruna dividen atau kenaikan dividen yang
dibawah normal (dari biasanya) diyakini investor sebagai pertanda bahwa
perusahaan menghadapi masa sulit diwaktu mendatang.
Dividend signaling theory pertama kali dicetuskan oleh Bhattacharya (1979).
Dividend signaling theory mendasari dugaan bahwa pengumuman perubahan
cash dividend mempunyai kandungan informasi yang mengakibatkan munculnya
reaksi harga saham. Teori ini menjelaskan bahwa informasi tentang cash dividend
yang dibayarkan dianggap investor sebagai sinyal prospek perusahaan di masa
mendatang. Adanya anggapan ini disebabkan terjadinya asymetric information
antara manajer dan investor, sehingga para investor menggunakan kebijakan
dividen sebagai sinyal tentang prospek perusahaan. Apabila terjadi peningkatan
dividen akan dianggap sebagai sinyal positif yang berarti perusahaan mempunyai
prospek yang baik, sehingga menimbulkan reaksi harga saham yang positif.
Sebaliknya, jika terjadi penurunan dividen akan dianggap sebagai sinyal negatif
yang berarti perusahaan mempunyai prospek yang tidak begitu baik, sehingga
menimbulkan reaksi harga saham yang negatif.
5. Teori Clientele Effect
21
Kelompok (Clientele) pemegang saham yang berbeda akan memiliki
preferensi yang berbeda terhadap kebijakan dividen perusahaan. Kelompok
pemegang saham yang membutuhkan penghasilan pada saat ini lebih menyukai
suatu dividend payout ratio (DPR) yang tinggi. Jika ada perbedaan pajak bagi
individu dapat menunda pembayaran pajak. Kelompok ini lebih senang jika
perusahaan membagi dividen yang kecil. Dengan demikian, maka kelompok
pemegang saham yang dikenakan pajak lebih tinggi menyukai capital gain.
2.1.2.2 Jenis-Jenis Kebijakan Dividen
Antara suatu perusahaan dengan perusahaan lain mungkin terdapat perbedaan
dalam hal kebijakan dividen yang diterapkan. Manajemen tentu saja akan mengadopsi
kebijakan yang dianggap paling sesuai dengan perusahaannya.
Riyanto (2001:269) menyatakan bahwa :
“Terdapat empat macam kebijakan dividen yang dapat diterapkan perusahaan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan dividen yang stabil2. Kebijakan dividen dengan penetapan jumlah dividen minimal plus jumlah
ekstra tertentu3. Kebijakan dividen dengan penetapan payout ratio yang konstan4. Kebijakan dividen dengan penetapan payout ratio yang fleksibel”.
Dari kutipan diatas dapat dijelaskan jenis-jenis kebijakan dividen sebagai
berikut:
1. Kebijakan dividen yang stabil
22
Artinya bahwa jumlah dividen per lembar yang dibayarkan setiap tahunnya
relative tetap selama jangka waktu tertentu meskipun pendapatan per lembar
saham per tahunnya berfluktuasi. Alasan diterapkannya kebijakan dividen stabil
ini adalah :
a. Dapat memberikan kesan kepada investor bahwa perusahaan tersebut
mempunyai prospek yang baik di masa mendatang.
b. Banyak pemegang saham yang hidup dari pendapatan yang diterima dari
dividen, dan
c. Banyak negara yang pada ketentuan pasar modalnya mengharuskan
organisasi atau yayasan sosial, perusahaan akuntansi, bank tabungan, dana
pensiun, pemerintah kota madya hanya diizinkan menanamkan modal pada
saham-saham perusahaan yang menjalankan kebijakan dividen yang stabil.
2. Kebijakan dividen dengan penetapan jumlah dividen minimal plus jumlah ekstra
tertentu.
Kebijakan ini menetapkan jumlah rupiah minimal dividen per lembar saham
setiap tahunnya. Dalam keadaan keuangan yang lebih baik, perusahaan akan
membayarkan dividen ekstra di atas jumlah minimal tersebut. Bagi pemodal ada
kepastian akan menerima jumlah dividen yang minimal setiap tahunnya
meskipun keadaan keuangan perusahaan agak memburuk.
3. Kebijakan dividen dengan penetapan payout ratio yang konstan
Perusahaan yang menjalankan kebijakan ini menetapkan dividend payout ratio
yang konstan sejumlah persentase tertentu dari keuntungan neto yang
23
diperolehnya. Ini berarti jumlah dividen per lembar saham yang dibayarkan
setiap tahunnya akan berfluktuasi sesuai dengan perkembangan keuntungan neto
yang diperoleh setiap tahunnya.
4. Kebijakan dividen dengan penetapan payout ratio yang fleksibel
Perusahaan yang menjalankan kebijakan ini menetapkan payout ratio yang
fleksibel, yang besarnya setiap tahunnya disesuaikan dengan posisi financial dan
kebijakan financial dari perusahaan yang bersangkutan.
Dari berbagai jenis kebijakan dividen dalam penelitian ini, peneliti lebih menitik
beratkan kebijakan dividen terhadap dividend payout ratio karena bagi perusahaan,
informasi yang terkandung dalam dividend payout ratio (DPR) dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan jumlah pembagian dividen.
Sedangkan bagi para pemegang saham, informasi yang terkandung dalam dividend
payout ratio (DPR) akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan investasi, yaitu apakah akan menanamkan dananya atau tidak pada suatu
perusahaan. Banyak pemegang saham yang hidup dari penghasilan berupa dividen,
mereka tentu akan lebih memilih saham-saham yang dividennya dapat mereka
andalkan (Arianie Vita dan Rahmawati, 2009).
2.1.2.3 Dividend Payout Ratio
Gitman, 2006 mendefinisikan dividend payout ratio sebagai:
24
“Indikasi atas persentase jumlah pendapatan yang diperoleh yang di
distribusikan kepada pemilik atau pemegang saham dalam bentuk kas”.
Dividend payout ratio ini ditentukan perusahaan untuk membayar dividen
kepada para pemegang saham setiap tahun, penentuan dividend payout ratio
berdasarkan besar kecilnya laba setelah pajak.
Perusahaan hanya dapat membagikan dividen semakin besar jika perusahaan
mampu menghasilkan laba yang semakin besar, jika laba yang dihasilkan besarnya
tetap, perusahaan tidak bisa membagikan dividen yang makin besar karena hal ini
berarti perusahaan akan membagikan modal sendiri.
Dividend payout ratio merupakan perbandingan antara dividen yang dibagikan
dengan laba bersih yang didapatkan dan biasanya disajikan dalam bentuk persentase.
Semakin tinggi dividend payout ratio akan menguntungkan para investor tetapi dari
pihak perusahaan akan memperlemah internal financial karena memperkecil laba
ditahan. Tetapi sebaliknya dividend payout ratio semakin kecil akan merugikan
investor (para pemegang saham) tetapi internal financial perusahaan akan semakin
kuat.
Dividend payout ratio dapat diukur sebagai dividen yang dibayarkan dibagi
dengan laba yang tersedia untuk pemegang saham umum. Perusahaan yang
mempunyai risiko tinggi cenderung untuk membayar dividend payout ratio lebih
kecil agar nanti tidak memotong dividen jika laba yang diperoleh turun. Untuk
perusahaan yang berisiko tinggi, probabilitas untuk mengalami laba yang menurun
adalah tinggi. Dividen payout ratio dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
25
Dividend Payout Ratio = Dividend per share Earnings per share
(Gitman 2006)
Menurut Bambang dalm Imam Nur (2011) menyatakan:
“Semakin tinggi dividend payout ratio yang ditetapkan oleh suatu perusahaan, makin kecil dana yang tersedia untuk ditanamkan kembali di dalam perusahaan yang ini pertumbuhannya rendah akan mempunyai rasio yang tinggi”.
Pembayaran dividen merupakan bagian dari kebijakan dividen perusahaan.
Investor yang mengharapkan memperoleh capital gain akan lebih menyukai angka
rasio ini yang rendah. Sebaliknya investor yang menyukai dividen ingin angka rasio
ini tinggi.
2.1.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen
Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya dividen yang akan dibayarkan
oleh perusahaan kepada pemegang saham menurut Weston dan Copeland (1996:98),
sebagai berikut:
“1. Undang-undang2. Posisi likuiditas 3. Kebutuhan Untuk Melunasi Hutang4. Larangan dalam Perjanjian Hutang5. Tingkat Ekspansi Aktiva6. Tingkat Laba7. Stabilitas Laba8. Peluang ke Pasar Modal9. Kendali Perusahaan
26
10. Posisi Pemegang Saham sebagai Pembayar Pajak11. Pajak Atas Laba yang Diakumulasikan Secara Salah”.
Dari kutipan diatas dapat dijelaskan faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen
sebagai berikut :
1. Undang-undang
Undang-undang menentukan bahwa dividen harus dibayar dari laba, baik laba
tahun berjalan maupun laba tahun lalu yang ada pada pos “laba ditahan”
(retained earning) di neraca.
2. Posisi Likuiditas
Laba ditahan biasanya diinvestasikan dalam bentuk aktiva yang dibutuhkan
untuk menjalankan usaha. Jadi meskipun suatu perusahaan mempunyai catatan
mengenai laba, perusahaan mungkin tidak dapat membayar tunai dividen karena
posisi likuiditasnya.
3. Kebutuhan untuk Melunasan Hutang
Apabila perusahaan mengambil hutang untuk membiayai ekspansi atau untuk
mengganti jenis pembiayaan yang lain, perusahaan tersebut menghadapi dua
pilihan. Perusahaan dapat membayar hutang itu pada saat jatuh tempo dan
menggantikannya dengan jenis surat berharga yang lain, atau perusahaan dapat
memutuskan untuk melunaskan hutang tersebut. Jika keputusannya adalah
membayar hutang tersebut, maka ini biasanya perlu penahanan laba.
4. Larangan dalam Perjanjian Hutang
27
Perjanjian hutang, khususnya apabila merupakan hutang jangka panjang
seringkali membatasi kemampuan perusahaan untuk membayar dividen tunai.
Larangan yang dibuat untuk melindungi kedudukan pemberi pinjaman, biasanya
menyatakan bahwa (1) dividen pada masa yang akan datang hanya dapat dibayar
dari laba yang diperoleh sesudah penandatanganan perjanjian hutang (jadi,
dividen tidak dapat dibayar dari laba ditahan tahun-tahun lalu) dan (2) dividen
tidak dapat dibayarkan apabila modal kerja bersih (aktiva lancar dikurangi
kewajiban lancar) berada di bawah suatu jumlah yang telah ditentukan.
Demikian pula, perjanjian saham preferen biasanya mengatakan bahwa dividen
tunai saham biasa tidak dapat dibayarkan kecuali semua dividen saham preferen
sudah dibayar.
5. Tingkat Ekspansi Aktiva
Semakin cepat suatu perusahaan berkembang, semakin besar kebutuhannya
untuk membiayai ekspansi aktivanya. Kalau kebutuhan dana di masa depan
semakin besar, perusahaan akan cenderung untuk menahan laba daripada
membayarnya. Apabila perusahaan mencari dana dari luar, maka sumber-
sumbernya adalah pemegang saham saat itu yang telah mengetahui keadaan
perusahaan. Tetapi jika laba dibayarkan sebagai dividen dan terkena pajak
penghasilan pribadi yang tinggi, maka hanya sebagian saja yang tersisa untuk
investasi.
6. Tingkat Laba
28
Tingkat hasil pengembalian yang diharapkan akan menentukan pilihan relatif
untuk membayar laba tersebut dalam bentuk dividen kepada pemegang saham
atau menggunakannya di perusahaan tersebut.
7. Stabilitas Laba
Suatu perusahaan yang mempunyai laba stabil sering kali dapat memperkirakan
berapa besar laba di masa yang akan datang. Perusahaan seperti ini biasanya
cenderung membayarkan laba dengan presentase yang lebih tinggi daripada
perusahaan yang labanya berfluktuasi. Perusahaan yang tidak stabil, tidak yakin
apakah laba yang diharapkan pada tahun-tahun yang akan datang dapat tercapai,
sehingga perusahaan cenderung untuk menahan sebagian besar laba saat ini.
Dividen yang lebih rendah akan lebih mudah untuk dibayar apabila laba
menurun pada masa yang akan datang.
8. Peluang ke Pasar Modal
Suatu perusahaan yang besar dan telah berjalan baik, dan mempunyai catatan
profitabilitas dan stabilitas laba, akan mempunyai akses yang mudah ke pasar
modal dan bersifat coba-coba akan lebih banyak mengandung risiko bagi
penanam modal potensial. Jadi perusahaan yang sudah mapan cenderung untuk
memberi tingkat pembayaran dividen yang lebih tinggi daripada perusahaan
kecil atau baru.
9. Kendali Perusahaan
Sebagai suatu kebijakan, beberapa perusahaan melakukan ekspansi hanya sampai
pada tingkat penggunaan laba internal saja. Pentingnya pembiayaan internal
29
dalam usaha untuk mempertahankan kendali perusahaan, akan memperkecil
pembayaran dividen.
10. Posisi Pemegang Saham sebagai Pembayaran Pajak
Posisi pemilik perusahaan sebagai pembayar pajak sangat mempengaruhi
keinginannya untuk memperoleh dividen.
11. Pajak Atas Laba yang Diakumulasikan Secara Salah
Untuk mencegah pemegang saham hanya menggunakan perusahaan sebagai
suatu “perusahaan penyimpan uang” yang dapat digunakan untuk menghindari
tarif penghasilan pribadi yang tinggi, peraturan perpajakan perusahaan
menentukan suatu pajak tambahan khusus terhadap penghasilan yang
diakumulasikan secara tidak benar.
Menurut Achmad Fauz dan Rosidi (2007) Faktor-faktor yang mempengaruhi
kebijakan dividen adalah 1). Aliran Kas Bebas, 2). Kepemilikan Manajerial, 3).
Kepemilikan Institusional, 4). Kebijakan Utang, 5). Collateral Asset. Dari hasil
pengujian, variabel-variabel aliran kas bebas, kepemilikan manajerial, kepemilikan
institusional, kebijakan utang, dan collateral asset berpengaruh secara simultan
terhadap kebijakan dividen, tetapi secara parsial hanya kebijakan utang dan collateral
asset berpengaruh secara signifikan terhadap kebijakan dividen.
Untuk itu dalam menetukan kebijakan dividen, perusahaan perlu juga
mempertimbangkan faktor-faktor yang telah dibahas tersebut agar segala sesuatu
dapat berjalan sesuai dengan harapan perusahaan.
30
2.1.3 Teori Keagenan (Agency Theory)
Menurut Suhartono (2004) dalam Suwaldiman dan Ahmad Aziz (2008)
hubungan keagenan didefinisikan sebagai:
“Suatu kontrak, yakni satu atau beberapa orang (principal) mempekerjakan orang lain (agen) untuk melaksanakan sejumlah jasa dan mendelegasikan wewenang untuk mengambil keputusan kepada agen tersebut. Dalam kerangka kerja manajemen keuangan, hubungan keagenan terdapat diantara pemegang saham dengan manajer, pemegang saham dengan kreditor (pemberi pinjaman) atau hubungan ketiganya”.
Dividen dapat digunakan untuk memperkecil masalah keagenan antara manajer
dan pemegang saham. Agency theory muncul setelah fenomena terpisahnya
kepemilikan perusahaan dengan pengelolahan terdapat dimana-mana khususnya pada
perusahaan-perusahaan besar yang modern, dimana satu atau lebih individu (pemilik)
menggaji individu lain (agen) untuk bertindak atas namanya, mendelegasikan
kekuasaan untuk membuat keputusan kepada agen. Agency theory menurut Jensen
dan Meckling (1976) dalam Pujiastuti (2008) adalah:
“Hubungan antara pemberi kerja (principal) dan penerima tugas (agen) untuk melaksanakan pekerjaan. Dalam menjalankan usaha biasanya pemilik menyerahkan/ melimpahkan kepada pihak manajer yang menyebabkan timbulnya hubungan keagenan. Dalam manajemen keuangan hubungan keagenan muncul antara pemegang saham dengan manajer dan antara pemegang saham dengan kreditor.
Perusahaan yang memisahkan fungsi pengelolaan dan fungsi kepemilikan akan
rentan terhadap konflik keagenan. Penyebab konflik antara manajemen dengan
31
pemegang saham diantaranya adalah pembuatan keputusan yang berkaitan dengan
aktivitas pencarian dana (financing decision), dan pembuatan keputusan yang
berkaitan dengan cara untuk menginvestasikan dana tersebut. Selain itu, agency
conflict akan terjadi apabila proporsi kepemilikan manajer atas saham perusahaan
kurang dari 100%, sehingga manajer cenderung bertindak untuk mengejar
kepentingan dirinya dan sudah tidak berdasar maksimalisasi nilai perusahaan dalam
pengambilan keputusan. Perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham
sangat rentan terjadi. Penyebabnya karena para pengambil keputusan tidak perlu
menanggung risiko akibat adanya kesalahan dalam pengambilan keputusan bisnis,
begitu pula jika mereka tidak dapat meningkatkan nilai perusahaan. Risiko tersebut
sepenuhnya ditanggung oleh para pemilik. Karena tidak menanggung risiko dan tidak
mendapat tekanan dari pihak lain dalam mengamankan investasi para pemegang
saham, maka pihak manajemen cenderung membuat keputusan yang tidak optimal.
Aspek-aspek masalah keagenan selalu dimasukan kedalam keuangan
perusahaan, karena banyaknya keputusan keuangan yang diwarnai oleh masalah
keagenan seperti kebijakan hutang. Berbagai konflik kepentingan dalam perusahaan
bisa terjadi antara pemilik (shareholders) dan manajer; manajer dengan debtholders;
serta manajer, shareholders dan debtholders. Pihak prinsipal dapat membatasi
perbedaan kepentingannya dengan memberikan tingkat insentif yang layak kepada
agen dan harus bersedia mengeluarkan biaya pengawasan atau monitoring cost untuk
mencegah penyimpangan (hazard) dari agen. Hal tersebut dinamakan dengan biaya
keagenan atau agency cost yang dapat berupa: (1) pengeluaran untuk memantau
32
tindakan manajer (The Monitoring Expenditure By The Principal); (2) pengeluaran
biaya oleh “principal” yaitu biaya untuk pengendalian terhadap agen, sehingga
kemungkinan timbulnya perilaku manajer yang tidak dikehendaki semakin kecil (The
Bonding Cost) (3) Residual lost, yaiyu pengorbanan karena hilangnya/berkurangnya
kesempatan untuk memperoleh laba karena dibatasinya kewenangan atau adanya
perbedaan keputusan antara “principal dan agen” (Brigham, Gapenski, dan Daves,
1996 dalam Riani, 2011). Secara umum tidak mungkin bagi prinsipal atau agen, pada
tingkat biaya sebesar nol, dapat menjamin bahwa agen akan membuat keputusan
optimal dari sudut pandang prinsipal.
Ada beberapa alternatif untuk mengurangi konflik kepentingan dan biaya
keagenan (agency cost) yaitu :
1. Dengan meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh pihak manajemen
(insider ownership) sehingga dapat menyejajarkan kepentingan pemilik
dengan manajer
2. Dengan meningkatkan dividend payout ratio (DPR) sehingga tidak tersedia
banyak free cash flow dan manajemen terpaksa mencari pendanaan dari luar
untuk membiayai investasinya
3. Meningkatkan pendanaan dengan hutang. Dengan penggunaan hutang maka
perusahaan harus melakukan pembayaran periodik atas bunga dan pokok
pinjaman. Hal ini dapat mengurangi keinginan manajer untuk menggunakan
free cash flow guna membiayai kegiatan yang tidak optimal
33
4. Dengan mengurangi distribusi saham (shareholder dispersion) pemegang
saham. Jika jumlah saham dipegang dipegang oleh sedikit pemegang saham
maka kepemilikan akan lebih terkonsentrasi dan pemegang saham cenderung
semakin mudah untuk mempengaruhi perilaku manajer, sehingga mengurangi
agency costs.
2.1.3.1 Insider Ownership
Insider ownership merupakan presentase saham yang dimililki oleh pihak
manajemen. Dimana pihak manajemen yang dimaksud adalah direktur dan komisaris
yang aktif ikut dalam pengambilan keputusan. Menurut Brigham et al (2001) dalam
Pandu (2006) pengertian insider ownership adalah sebagai berikut:
“Persentase kepemilikan yang berkaitan dengan saham dan opsi yang dimiliki manajer dan direksi perusahaan. Kepemilikan manajerial merupakan kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan. Secara matematis, nilai kepemilikan manajerial ini diperoleh dari persentase saham perusahaan yang dimiliki oleh dewan direksi dan komisaris”.
Menurut Endang dan Minaya (2003):
Insider ownership adalah besarnya persentase kepemilikan saham perusahaan
oleh pihak manajemen. Insider ownership diukur dengan membagi total saham yang
dimiliki komisaris dan direksi terhadap total saham.
Adapun beberapa pendapat yang mengatakan bahwa insider ownership adalah
kepemilikan saham oleh directors (direktur/manajemen) dan commissioners (komisaris),
dengan rumus matematis (Suwaldiman dan Ahmad Aziz, 2006) :
34
INS¿ =D∧CSHR¿
TOTSHR¿
Keterangan :
INS : insider ownership
D∧CSHR¿ : kepemilikan saham oleh direktur dan komisaris perusahaan i pada tahun
t .
TOTSHR : jumlah total dari saham biasa perusahaan yang beredar.
Jensen dan Meckling dalam Triani Pujiastuti (2008) menjelaskan bahwa jumlah
kepemilikan saham manajemen akan mensejajarkan kepentingan manajemen dengan
kepentingan pemegang saham. Adanya kesamaan kepentingan antara pihak
manajemen dengan pihak pemegang saham maka dapat menurunkan potensi konflik.
Potensi konflik keagenan yang kecil ini dapat menurunkan potensi konflik. Potensi
konflik keagenan yang kecil ini dapat berpengaruh terhadap rendahnya agency cost
yang dikeluarkan oleh pemegang saham.
Dalam teori keagenan dijelaskan bahwa kepentingan manajemen dan
kepentingan pemegang saham mungkin bertentangan. Perbedaan kepentingan itulah
maka timbul konflik yang biasa disebut agency conflict. Untuk menjamin agar para
manajer melakukan hal yang terbaik bagi pemegang saham secara maksimal,
perusahaan harus menanggung biaya keagenan (agency cost), yang dapat berupa: (1)
pengeluaran untuk memantau tindakan manajemen, (2) pengeluaran untuk menata
struktur organisasi sehingga kemungkinan timbulnya prilaku manajer yang tidak
dikehendaki semakin kecil, dan (3) biaya kesempatan karenan hilangnya kesempatan
35
memperoleh laba sebagai akibat dibatasinya kewenangan maajemen sehingga tidak
dapat mengambil keputusan secara tepat waktu, padahal seharusnya hal tersebut dapat
dilakukan jika pemilik manajer juga menjadi pemilik perusahaan atau disebut juga
insider ownership (Brigham et al, 2009 dalam Riani, 2011).
Begitu juga bila pemegang saham sekaligus pemegang kendali perusahaan
(manajemen), sepanjang manajer mengharapkan efek kesejahteraan yang lebih pada
keputusannya, maka semakin besar kepemilikan oleh insider akan semakin
menurunkan agency cost. Hal ini juga dikarenakan semakin besar kepemilikan insider
maka semakin besar informasi yang dimiliki oleh manajemen sekaligus sebagai
pemilik perusahaan, sehingga hal tersebut mengakibatkan biaya agen yang digunakan
untuk biaya monitoring semakin kecil, karena pemilik sudah merangkap sebagai
manajemen (insider ownership) Brigham et al, (2009) dalam Riani (2011).
2.1.3.2 Dispersion of Ownership
Taswan dalam Pujiastuti, 2008 mendefinisikan dispersion of ownership sebagai:
“Penyebaran kepemilikan saham. Dispersion of ownership dihitung dengan
rumus variance, untuk menunjukan penyebaran kepemilikan saham”.
Holder et al dalam Pujiastuti (2008) menyatakan bahwa:
“Dispersion of ownership (penyebaran kepemilikan saham) yang besar akan
menimbulkan biaya keagenan yang besar karena ketika kepemilikan saham ini
menyebar, maka pemegang saham akan sulit dalam mengawasi perusahaan”.
Rozeff dalam I Nyoman (2006) menyatakan dispersion of ownership sebagai:
Variance=∑i=1
n
(X1−X )2
n−1
36
Kepemilikan yang menyebar adalah ratio jumlah pemegang saham biasa dengan jumlah saham yang beredar. Semakin besar dispersion of ownership, maka saham semakin menyebar pada berbagai kelompok. Sesuai dengan teori keagenan, Pemegang saham yang semakin menyebar akan mengakibatkan kesulitan dalam proses monitoring perusahaan sehingga akan menimbulkan masalah keagenan yang penyelesaiannya melalui pembayaran dividen dan akan mengurangi jumlah laba yang ditahan.
Dari difinisi di atas dapat disimpulkan bahwa, dispersion ownership adalah
penyebaran kepemilikan saham biasa. Dispersion of ownership dihitung dengan
rumus variance, untuk menunjukkan penyebaran kepemilikan saham. Semakin besar
dispersion of ownership saham semakin terkonsentrasi pada kelompok tertentu.
Sesuai dengan teori keagenan. Pemegang saham yang semakin menyebar akan
mengakibatkan kesulitan dalam proses monitoring perusahaan sehingga akan
menimbulkan masalah keagenan yang penyelesaiannya melalui pembayaran deviden
dan akan mengurangi jumlah laba yang ditahan. Dispersion of ownership dihitung
derngan formula:
Triani Pujiastuti (2008)
Keterangan :
X1 = persentase kepemilikan saham suatu kelompok
X = rata – rata kepemilikan saham
n= jumlah data
37
2.1.3.3 Free Cash Flow
Jensen (1986) dalam Pujiastuti (2008) mendefinisikan free cash flow sebagai :
“Aliran kas yang merupakan sisa dari pendapatan seluruh proyek yang
menghasilkan net present value (NPV) positif yang didiskontokan pada tingkat
biaya modal yang relevan”.
Sartono, 2001 mengatakan:
“Free cash flow adalah aliran kas bersih yang tidak dapat diinvestasikan kembali
karena tidak tersedia kesempatan investasi yang profitable”.
Free cash flow berasal dari arus kas yang berasal dari kegiatan
operasiperusahaan. Arus kas yang dihasilkan perusahaan dibagi ke dalam 3 kelompok
utama Brigham (2001) dalam Rosdini (2009) yaitu:
“1. Arus kas dari kegiatan operasi 2. Arus kas dari kegiatan investasi 3. Arus kas dari kegiatan pembiayaan”.
Dari kutipan di atas dapat dijelaskan 3 kelompok arus kas yaitu:
1. Arus Kas dari Kegiatan Operasi
Arus kas perusahaan dari kegiatan operasi terdiri atas; (1)pengumpulan kas
berasal dari konsumen, (2) pembayaran kepada pemasok untuk pembelian bahan
baku, (3) arus kas keluar dari kegiatan operasi lainnya, seperti beban pemasaran
dan administrasi, serta bunga dan (4) pembayaran tunai untuk pajak.
2. Arus Kas dari Kegiatan Investasi
38
Arus kas dari penerimaan atau pembayaran investasi yang mencakup; penerimaan
dari pengeluaran saham baru, peningkatan pinjaman, pembayaran kembali pokok
pinjaman, pembayaran dividensaham biasa.
3. Arus Kas dari Kegiatan Pembiayaan
Arus kas dari kegiatan pembiayaan mencakup kas yang diperoleh selama t tahun
berjalan dengan menerbitkan hutang jangka pendek, hutang jangka panjang, atau
saham. Selain itu, karena pembayaran dividen atau kas yang digunakan untuk
membeli kembali saham atau obligasi menurunkan kas perusahaan, maka
transaksi semacam itu dimasukan di sini
Free cash flow inilah yang sering menjadi pemicu timbulnya perbedaan
kepentingan antara pemegang saham dan manajer. Menurut Smith & Kim, dalam
Rosdini, 2009 menyatakan:
“Ketika free cash flow tersedia, manajer disinyalir akan menghamburkan free
cash flow tersebut sehingga terjadi inefisiensi dalam perusahaan atau akan
menginvestasikan free cash flow dengan return yang kecil”.
White et al (2003) dalam Rosdini (2009) mengatakan free cash flow sebagai:
“Aliran kas diskresioner yang tersedia bagi perusahaan. Free cash flow adalah
kas dari aktivitas operasi dikurangi capital expenditures yang dibelanjakan
perusahaan untuk memenuhi kapasitas produksi saat ini”.
Free cash flow dapat digunakan untuk penggunaan diskresioner seperti akuisisi
dan pembelanjaan modal dengan orientasi pertumbuhan (growth-oriented),
pembayaran hutang, dan pembayaran kepada pemegang saham baik dalam bentuk
39
dividen. Semakin besar free cash flow yang tersedia dalam suatu perusahaan, maka
semakin sehat perusahaan tersebut karena memiliki kas yang tersedia untuk
pertumbuhan, pembayaran hutang, dan dividen. Free cash flow dapat diukur dengan
membagi Free cash flow dengan Total Assets pada periode yang sama dengan tujuan
agar lebih comparable bagi perusahaan-perusahaan yang dijadikan sampel, sehingga
penghitungan Free cash flow menjadi relative terhadap size perusahaan, dalam hal ini
diukur dengan Total Assets.
Ukuran Free cash flow sebagaimana merujuk pada Ross et.al (2000) adalah:
Free Cash Flow = cash flow from operations ‒ (net capital expenditure +changes in
working capital)
Dimana:
Cash flow from operations (aliran kas operasi) = nilai bersih kenaikan/penurunan arus
kas dari aktivitas operasi perusahaan.
Net capital expenditure (pengeluaran modal bersih) = nilai perolehan aktiva tetap
akhir ‒ nilai perolehan aktiva tetap awal.
Changes in working capital (perubahan modal kerja) = modal kerja akhir tahun ‒
modal kerja awal tahun.
Free cash flow juga menunjukkan gambaran bagi investor bahwa dividen yang
dibagikan oleh perusahaan tidak sekedar “strategi” menyiasati pasar dengan maksud
meningkatkan nilai perusahaan. Bagi perusahaan yang melakukan pengeluaran
40
modal, free cash flow akan mencerminkan dengan jelas mengenai perusahaan
manakah yang masih mempunyai kemampuan di masa depan dan yang tidak. Free
cash flow dikatakan mempunyai kandungan informasi bila free cash flow memberi
signal bagi pemegang saham. Dapat dikatakan pula bahwa free cash flow yang
mempunyai kandungan informasi menunjukkan bahwa free cash flow mampu
mempengaruhi hubungan antara rasio pembayaran dividen dan pengeluaran modal
dengan earnings response coefficients.
2.1.3.4 Collaterizable Assets
Menurut Triani Pujiastuti, 2008 collaterizable asset adalah:
“Rasio aset tetap terhadap aset total dianggap sebagai proksi aset-aset kolateral
(jaminan) untuk biaya agensi yang terjadi karena konflik antara pemegang saham
dan pemegang obligasi”.
I Nyoman, 2006:
“Collaterizable asset adalah aset perusahaan yang dapat digunakan sebagai jaminan peminjaman. Kreditor seringkali meminta jaminan, ketika memberi pinjaman kepada perusahaan yang membutuhkan pendanaan. Collaterizable asset diukur dengan membagi antara total aktiva tetap bersih terhadap total aktiva”.
Kreditor seringkali meminta jaminan berupa aktiva ketika memberi pinjaman
kepada perusahaan yang membutuhkan pendanaan.Ini menunjukan besarnya aktiva
yang akan diikatkan sebagai jaminan atas kredit yang diberikan oleh pemegang
obligasi. Dalam hubungan ini pemegang obligasi dapat meminta agar aktiva yang
dijadikan jaminan itu diasuransikan. Jaminan kredit tersebut dapat berupa tanah,
bangunan, dan inventaris perusahaan.
41
Adapun persyaratan pengamanan kredit tersebut harus merupakan persetujuan
bersama antara pemegang obligasi dan manjemen serta disamping itu secara flexibel
harus dapat ditinjau kembali apabila keadaan berubah.
Collateral asset yang sering diberi simbol ASCOL, dapat diukur dari rasio aset
tetap netto (net fixed assets) terhadap aset total. Rasio ini dianggap sebagai proksi
aset-aset kolateral untuk cost agency (Pujiastuti, 2008). Collaterizable assets dihitung
dapat dengan rumus :
ASCOL = ¿Assets
Total Asset
(Pujiastuti, 2008).
2.1.4 Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah tabel hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
kebijakan dividen.
1. Triani Pujiastuti (2008)
Triani pujiastuti melakukan penelitian yang berjudul “Agency Cost Terhadap
Kebijakan Dividen Pada Perusahaan Manufaktur dan Jasa yang Go Public di
Indonesia”. Sample yang di gunakan adalah perusahaan manufaktur dan jasa yang
terdaftar di BEI tahun 2000-2005. Variabel independen yang digunakan adalah
insider ownership, shareholder disperson, collateral asset, debt, dan free cash
42
flow, sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah dividen payout ratio.
Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda. Hasil dari
penelitian menunjukan variabel insider ownership berpengaruh negatif, variabel
shareholder disperson berpengaruh positif dan variabel debt berpengaruh negatif
secara signifikan terhadap kebijakan dividen. Sedangkan variabel colletral assets
dan free cash flow tidak signifikan berpengaruh terhadap kebijakan dividen dalam
konflik keagenan.
2. Achmad Fauz dan Rosidi (2007)
Achmad Fauz dan Rosidi melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh
Aliran Kas Bebas, Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, Kebijakan
Utang dan Collateral Asset Terhadap Kebijakan Dividen Pada Perusahaan
Manufaktur yang Go Public di Indonesia”. Sample yang di gunakan adalah 17
perusahaan manufaktur periode 1999-2003. Variabel independen yang digunakan
adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan utang dan
collateral asset, sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah dividen
payout ratio. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa variabel kebijakan utang memiliki
pengaruh negative dan signifikan terhadap kebijakan dividen. Collateral asset
menunjukkan pengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen.
3. Dini Rosdini (2009)
Dini Rosdini melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Free Cash Flow
Terhadap Dividend Payout Ratio Pada Perusahaan Manufaktur yang Go Public di
43
Indonesia”. Sampel yang digunakan adalah seluruh perusahaan manufaktur yang
listing di Bursa Efek Jakarta dalam periode laporan keuangan tahunan 2000-2002.
Variabel independen yang digunakan adalah free cash flow, sedangkan variabel
dependen yang digunakan adalah dividen payout ratio . Teknik analisis yang
digunakan adalah regresi linear sederhana. Hasil dari penelitian menunjukkan
bahwa free cash flow mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap dividend
payout ratio.
4. I Nyoman Nugraha Ardana Putra (2006)
Penelitian yang dilakukanI Nyoman Nugraha Ardana Putra yang berjudul
“Analisis Biaya Keagenan Terhadap Kebijakan Dividen Pada Perusahaan
Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia”. Sampel yang digunakan
adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 2002-
2004. Variabel dependen yang digunakan adalah dividen payout ratio sedangkan
variabel independen adalah insider ownership, Teknik analisis yang digunakan
adalah regresi linier berganda. Hasil dari penelitian ini adalah variabel insider
ownership berhubungan negatif dan dispersion of ownership, institutional
ownership, collateralizable assets tidak signifikan terhadap kebijakan dividen.
Variabel collateralizable assets berhubungan positif dan signifikan terhadap
kebijakan dividen.
5. Suwaldiman dan Ahmad Aziz (2006)
Suwaldiman dan Ahmad Aziz, meneliti mengenai pengaruh insider
ownership dan risiko pasar terhadap kebijakan dividen. Sample yang digunakan
44
adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 2000-2004.
Variabel dependen yang digunakan adalah dividen payout ratiodan variabel
independen, insider ownership, mtvb, size, earning variability, growth. Teknik
analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda. Hasil dari penelitian ini
berdasarkan uji t dari ketujuh variabel yang dianalisi yaitu, Insider Ownership
dan Beta sebagai variabel bebas, serta MTVB (market to book value), Size, EV
( earning variability), Profitabilitas (ROA), dan Growth sebagai variabel
pengontrol yang diuji terhadap DPR (dividen payout ratio), tidak ada satupun
variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap DPR. Sedangkan hasil dari
penelitian ini berdasarkan uji F dari ketujuh variabel yang dianalisi yaitu, Insider
Ownership dan Beta sebagai variabel bebas, serta MTVB (market to book value),
Size, EV ( earning variability), Profitabilitas (ROA), dan Growth sebagai variabel
pengontrol yang diuji terhadap DPR (dividen payout ratio), secara keseluruhan
variabel berpengaruh secara signifikan terhadap DPR.
Dari beberapa penjelasan di atas maka dapat dibuat ringkasan dari penelitian
terdahulu sebagai berikut terdapat pada Tabel 2.1:
Tabel 2.1Penelitian Terdahulu
NO NamaPeneliti
ObyekPenelitian
VariabelPenelitian
MetodePenelitian
HasilPenelitin
1. Triani Perusahaan Independn: Regresi Secara simultan
memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen, dengan besarnyaPengaruh sebesar 18%. Secara parsialShareholder dispersion berpengaruh positif dan debt berpengaruh negatifSecara signifikanterhadap kebijakandividen, sedangkancollateral asset danfree cash flow tidaksignifikan berpengaruh terhadap kebijakandividen dalam konflik keagenan
2. Achmad Fauz dan Rosidi (2007)
Perusahanmanufaktur
Independen: kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan utang dan collateral asset
Dependen :Dividend payout ratio
Regresilinierberganda
Hasil dari penelitian menunjukan bahwa variabel kebijakan utang memiliki pengaruh negative dan signifikan terhadap kebijakan dividen. Collateral asset menunjukkan pengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen.
3. DiniRosdini (2009)
Perusahaanmanufaktur
Independen:free cashflow
Dependen:dividend
LinierRegression
Free cashflowmemilikipengaruhpositifsignifikan
46
payout ratio terhadapDPR
4. I NyomanNugrahaArdanaPutra(2006)
Perusahaanmanufaktur
VariabelDependen :DividenPayoutRatioVariabelIndependen :Insiderownership,Dispersion of ownership,Institutional ownership,Collateralizable assets
Regresilinierberganda
Variabel insiderownershipberhubungannegatif dan tidaksignifikanterhadap kebijakandividen.Variabelcollateralizableassetsberhubunganpositif dansignifikanterhadap kebijakandividen.
Hasil dari penelitian ini berdasarkan uji t dari dari ketujuh, tidak ada satupun variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap DPR. Sedangkan hasil dari penelitian ini berdasarkan uji F dari ketujuh variabel yang dianalisi secara keseluruhan variabel berpengaruh secara signifikan terhadap DPR.
Sumber : dari berbagai jurnal dan thesis
47
2.2 Kerangka Pemikiran
Kebijakan dividen menentukan berapa banyak laba yang harus dibayarkan
kepada pemegang saham dan berapa banyak yang harus ditanam kembali di dalam
perusahaan.Menurut Agus Sartono (2001:281) kebijakan dividen adalah:
“Keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada
pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam retained earnings
guna membiayai investasi di masa datang”.
Kebijakan dividen menyangkut tentang penggunaan laba yang menjadi hak para
pemegang saham. Pada dasarnya laba tersebut bisa dibagi sebagai dividen atau
ditahan untuk diinvestasikan kembali. Menurut Scott et al (2000) dalam Riani (2011):
“Kebijakan dividen terdiri dari dua komponen, yang pertama adalah dividend payout ratio yang mengindikasikan jumlah dividen yang akan dibayarkan sehubungan dengan jumlah earnings perusahaan. Sedangkan komponen yang kedua adalah stabilitas dari dividen”.
Masalah kebijakan dividen berkaitan dengan masalah keagenan. Pemegang
saham menunjuk manager untuk mengelola perusahaan agar dapat meningkatkan
nilai perusahaan dan kesejahteraan pemegang saham. Dengan kewenangan yang
dimiliki, terkadang manager bertindak bukan untuk kepentingan pemegang saham
tetapi untuk kepentingan pribadinya sendiri. Hal itu tidak disukai oleh pemegang
saham karena pengeluaran yang dilakukan oleh manager akan menambah biaya
perusahaan yang menyebabkan penurunan keuntungan dan dividen yang akan
48
diterima pemegang saham. Perbedaan kepentingan yang terjadi antara manajemen
dan pemegang saham menyebabkan konflik yang disebut sebagai agency conflict.
Sesuai dengan teori keagenan, konflik antara manager dan pemegang saham
timbul karena adanya pemisahan atas kepemilikan dan kontrol. Pihak insider atau
manajemen cenderung menginginkan pembagian dividen kecil, karena mereka
menginginkan kelebihan aliran kas untuk membiayai investasi perusahaan, namun
pihak insider terkadang cenderung memanfaatkan kelebihan aliran kas tersebut untuk
melakukan tindakan perquisites (tindakan yang memunculkan biaya yang dikeluarkan
tidak untuk kepentingan perusahaan misalnya biaya perjalanan dinas, akomodasi
kelas VIP, dan lain-lain) dan cenderung merugikan pemegang saham.
Perusahaan dalam menetapkan kebijakan dividen akan memperhatikan faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Dalam penelitian ini, peneliti
hanya meneliti beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kebijakn dividen yaitu
insider ownership (kepemilikan saham), dispersion of ownership (penyebaran
saham), free cash flow (aliran kas bebas), dan collaterizable assets (jaminan aset).
Insider ownership merupakan sebuah variabel determinan yang penting dalam
kebijakan dividen suatu perusahaan. Menurut Endang dan Minaya, 2003 :
“Insider ownership adalah pemilik sekaligus pengelola perusahaan yang terdiri dari direktur dan komisaris. Insider ownership dapat dilihat dari persentase saham yang dimiliki oleh direksi dan komisaris yang dibandingkan dengan total saham perusahaan”.
Perusahaan dengan insider ownership yang jumlahnya lebih besar mempunyai
kinerja investasi yang lebih baik daripada perusahaan dengan insider ownership kecil.
49
Insider ownership yang besar merupakan sinyal yang baik bagi pemegang saham.
Sesuai dengan teori keagenan, konflik antara manager dan pemegang saham timbul
karena adanya pemisahan atas kepemilikan dan kontrol, pihak insider atau
Menurut Demsey dan Laber (1993) dalam Iwan (2007):
“Masalah keagenan banyak dipengaruhi insider ownership yaitu pemilik perusahaan sekaligus menjadi pengelola perusahaan, semakin besar jumlah insider ownership maka akan semakin kecil konflik kepentingan antara pemegang saham dan pihak manajemen”.
Hal ini disebabkan karena mereka akan bertindak hati-hati dalam menanggung
konsekuensi yang mungkin akan terjadi. Beberapa penelitian terdahulu menemukan
bahwa insider ownership berpengaruh signifikan terhadap kebijakan deviden.
Menurut teori keagenan yang disampaikan oleh Jensen dan Meckling (1976),
salah satu cara untuk mengurangi agency cost dalam sebuah perusahaan yaitu dengan
adanya insider ownership. Semakin tinggi tingkat insider maka semakin besar
informasi yang dimiliki oleh manajemen yang sekaligus menjadi pemilik perusahaan,
sehingga mengakibatkan agency cost semakin kecil, karena pemilik sekaligus
merangkap menjadi agent sehingga dapat menurunkan biaya pengawasan terhadap
agent. Hal ini dikarenakan informasi-informasi yang dimiliki oleh insider mengenai
rencana-rencana perusahaan lebih lengkap dari pada pemegang saham yang lain. Pada
sisi lain, pembayaran dividen dapat memperkuat posisi perusahaan untuk mencari
tambahan dana dari pasar modal sehingga kinerja perusahaan dimonitor oleh tim
pengawas pasar modal. Adanya pengawasan ini menyebabkan manajer berusaha
50
mempertahankan kualitas kinerja sehingga akan menurunkan konflik keagenan.
Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Rozeff dalam Pujiastuti (2008) yang
mengatakan bahwa:
“Semakin tinggi insider ownership maka dividen yang dibayarkan akan semakin
rendah”.
Variabel insider ownership mempunyai hubungan yang negatif dengan kebijakan
dividen. Penetapan dividen yang rendah disebabkan karena manajer memiliki harapan
investasi yang akan datang dibiayai oleh sumber internal yang berasal dari laba
ditahan bukan dari dana eksternal yang berasal dari hutang. Hal ini, sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Putra (2006) dan Pujiastuti (2008).
Hasil penelitian Endang dan Minaya (2003) juga menyimpulkan bahwa insider
ownership mempunyai hubungan yang negatif dengan dividen. Hal ini berarti
perusahaan cenderung untuk membayar dividen yang tinggi jika manajer memiliki
proporsi saham yang lebih rendah. Insider ownership akan mensejajarkan
kepentingan antara pihak insider dengan pemegang saham luar (outsider). Insider
yang besar akan menurunkan biaya keagenan karena ada rasa kepemilikan pada diri
insider sehingga mereka bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham, yang
mengakibatkan perusahaan membayar dividen lebih rendah kepada pemegang saham
sedangkan semakin rendah insider ownership akan meningkatkan biaya keagenan
sehingga sebagai konsekuensinya perusahaan membayar dividen lebih tinggi kepada
51
pemegang saham. Berdasarkan uraian tersebut maka kepemilikan manjerial (insider
ownership) memiliki pengaruh negatif terhadap dividend payout ratio.
Agency conflict tidak hanya terjadi antara antara pemegang saham dan
manajemen. Jensen and Meckling dalam Agency theory menjelaskan bahwa agency
conflict juga dapat terjadi antara para pemegang saham yang satu dengan pemegang
saham yang lain. Saham suatu perusahaan dapat tersebar kepada banyak pemegang
saham atau tekonsentrasi pada beberapa pihak. Penyebaran kepemilikan saham biasa
disebut dispersion of ownership. Semakin tinggi penyebaran kepemilikan saham
biasa dapat membuat agency cost semakin tinggi karena banyak kepentingan yang
harus diakomodir oleh manajemen.
Untuk mengurangi agency conflict yang ditimbulkan oleh dispersion of
ownership, Jensen and Meckling menjelaskan salah satu cara yang dapat ditempuh
adalah dengan membagikan dividen. Pembagian dividen ini bertujuan untuk
memenuhi tujuan pemegang saham yaitu pengembalian atas investasinya. Semakin
tinggi dispersion of ownership menyebabkan peningkatan dividen yang harus
dibagikan.
Menurut Dempsey dan Laber (1992) dalam Wahyu (2011) menyatakan bahwa:
“Dispersion of ownership atau penyebaran kepemilikan saham berperan di dalam masalah keagenan. Jika jumlah pemegang saham semakin menyebar, akan menyebabkan kekeuatan (power) para pemegang saham untuk mengontrol manajemen menjadi lebih rendah, sehingga mereka sulit untuk melakukan kontrol terhadap perusahaan. Konsekuensi dari hal ini para pemegang saham yang tersebar tersebut dapat memanfaatkan kekuatan pasar modal untuk memonitor perusahaan dengan memaksa membayar dividen lebih tinggi”.
Dalam penelitian Triani Pujiastuti (2008), Rozeff (1982) mengatakan bahwa:
52
“Semakin menyebar pemilik saham, semakin besar jumlah dividen yang dibagikan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa, dengan semakin menyebar pemilik saham, maka di samping kepemilikan saham tidak terkonsentrasi pada kelompok tertentu, dimungkinkan pemilik saham ini adalah lembaga sehingga mempunyai power untuk menyampaikan aspirasinya kepada manajemen. Dengan demikian maka untuk mengurangi konflik keagenan, manajemen akan memberikan dividen yang besar”.
Kesulitan dalam melakukan kontrol juga menimbulkan masalah keagenan,
terutama karena adanya asimetri informasi, oleh karena itu, untuk menurunkan
masalah keagenan ini diperlukan dividen yang lebih besar.
Fauzan (2002) meneliti mengenai pengaruh biaya keagenan terhadap rasio
pembayaran dividen. Biaya keagenan dalam penelitian ini diproksikan dengan
dispersion of ownership. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dispersion of
ownership berhubungan positif dengan rasio pembayaran dividen.
Menurut I Nyoman Nugraha (2006):
“Variabel penyebaran kepemilikan tidak berpengaruh signifikan terhadap rasio
pembayaran dividen.
Penelitian lain dari Endang dan Minaya (2003) yang membahas mengenai
bagaimana dispersion of ownership dapat mempengaruhi kebijakan dividen
menyimpulkan bahwa ada hubungan searah antara dispersion of ownership dengan
kebijakan dividen.
Selain insider ownership dan dispersion of ownership, Jensen dan Meckling juga
menjelaskan bahwa agency conflict dapat ditimbulkan oleh free cash flow. Free cash
flow memiliki pengaruh terhadap dividend payout ratio. Pengaruh free cash flow
terhadap dividend payout ratio bersifat positif artinya semakin tinggi free cash flow
53
maka semakin tinggi dividend payout ratio atau semakin rendah free cash flow maka
semakin rendah dividend payout ratio (Jensen, 1986). Hal ini sesuai dengan teori
yang dikemukakan oleh Smith and Watts (1992) dalam Dini Rosdini (2009) yang
manajer akan membagikan dividen dalam jumlah yang tinggi”.
Lang and Litzenberger (1989) dalam Rosdini (2009) juga menyatakan bahwa:
“Bagi perusahaan overinvesting, kenaikan dividen mengimplikasikan
pengurangan kebijakan manajemen atas investasi yang telah overinvesting
sehingga respon pemegang saham positif terhadap kenaikan dividen tersebut”.
Peningkatan dividen merupakan sinyal yang positif tentang pertumbuhan
perusahaan di masa yang akan datang, karena meningkatnya dividen diartikan sebagai
adanya keuntungan yang akan diperoleh di masa yang akan datang sebagai hasil yang
diperoleh dari keputusan investasi yang perusahaan dengan net present value positif.
Hasil penelitian Jensen (1986) dalam Dini Rosdini (2009) mengemukakan
bahwa:
“Jika perusahaan memiliki free cash flow maka perusahaan akan
membagikannya sebagai dividen, sehingga dividen yang dibayarkan saat free
cash flow tinggi tersebut juga memiliki besaran nilai yang tinggi pula”.
Teori free cash flow milik Jensen (1986) menjelaskan tindakan tersebut adalah
untuk mengurangi agency cost yang ditimbulkan oleh manajemen dan shareholder
akibat konflik kepentingan antara keduanya terkait free cash flow.
54
Sedangkan hasil penelitian Ross et.al (2000) dalam Pujiastuti (2008)
mengemukakan bahwa:
“Jika proporsi free cash flow terhadap total aset semakin besar maka perusahaan akan membayarkan dividen dengan jumlah yang semakin kecil. Sebaliknya jika proporsi free cash flow terhadap aset adalah kecil, maka perusahaan membayarkan dividen dalam jumlah yang besar”.
Konflik kepentingan yang terjadi pada pemegang saham dan kreditor tentang
permasalahan pembayaran dividen dapat diminimalkan melalui jaminan aset
(collateralizable assets). Collateralizable Assets mencerminkan besarnya nilai aktiva
tetap perusahaan pada akhir tahun laporan keuangan yang dapat digunakan untuk
memperoleh pinjaman. Titman dan Wassel (1988) dalam Pujiastuti (2008)
mengemukakan bahwa:
“Perusahaan yang memegang lebih banyak aset yang dijaminkan (collateralizable assets) mempunyai lebih sedikit agency costs antara pemegang saham dengan pemegang obligasi karena aset ini dapat berfungsi sebagai pinjaman kolateral. Sehingga dapat dikatakan bahwa collateralizable assets berhubungan positif dengan dividend payout ratio”.
Sedangkan Handoko (2002) dalam Pandu (2006) menemukan bahwa:
“Collaterizable assets berhubungan negatif signifikan dengan kebijakan
deviden”.
Hasil dari penelitian Achmad Fauz dan Rosidi collaterizable asset menunjukan
pengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen. Dalam hal ini, jika terjadi
level collateral asset tinggi maka kebijakan dividen akan tinggi, sebaliknya jika level
collaterizable assets rendah maka kebijakan dividen akan rendah.
55
Menurut hasil penelitian I Nyoman Nugraha (2006) variabel collaterizable asset
berpengaruh signifikan dengan kebijakan dividen. Adanya pengaruh yang signifikan
ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai jaminan
aset yang cukup tinggi yang akhirnya akan menurunkan biaya keagenan dan
mempengaruhi kebijakan dividen.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis membuat bagan kerangka pemikiran,
seperti terlihat pada gambar berikut :
Gambar 2.1
Gambar Kerangka Pemikiran
Collaterizable Assets (X 4)
Free Cash Flow (X3 ¿
Kebijakan Dividen (Y)
Dispersion Of Ownership (X2 ¿
Insider Ownership (X1)
Agency cost
56
2.3 Hipotesis
Hipotesis adalah proporsi, kondisi atau suatu prinsip yang dianggap benar dan
berangkat tanpa keyakinan, agar dapat ditarik suatu konsekuensi yang logis dan
dengan cara ini kemudian digunakan pengujian tentang kebenaran dengan
menggunakan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kebijakan dividen, yaitu:
insider ownership, dispersion of ownership, free cash flow, dan collateral assets.
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka penulis mendapatkan hipotesis
sementara bahwa:
Insider Ownership, Dispersion of Ownership, Free Cash Flow, dan
Collaterizable Assets berpengaruh terhadap Kebijakan Dividen.
57
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian yang Digunakan
Metode penelitian dirancang melalui langkah-langkah penelitian dari mulai
operasional variabel, penentuan jenis dan sumber data, metode pengumpulan data dan
diakhiri dengan merancang analisis data dan pengujian hipotesis.
Menurut Sugiyono (2010:4) Metode Penelitian adalah :
”Cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data yang objektif, valid, dan realibel dengan tujuan dapat ditemukan, dibuktikan, dan dikembangkan suatu pengetahuan, sehingga dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah”.
Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan verifikatif.
Analisis deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel
independen dan variabel dependen, baik satu variabel atau lebih tanpa membuat
perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain yang diteliti dan dianalisis
sehingga menghasilkan kesimpulan. Sedangkan analisis verifikatif adalah analisis model dan
pembuktian yang berguna untuk mencari kebenaran dari hipotesis yang diajukan.
Dengan metode ini penulis bermaksud mengumpulkan data historis dan
mengamati secara seksama mengenai aspek-aspek tertentu yang berkaitan erat dengan
58
masalah yang diteliti sehingga akan diperoleh data yang menunjang penyusunan
laporan penelitian. Data yang diperoleh tersebut kemudian diproses, dianalisis lebih
lanjut dengan dasar-dasar teori yang telah dipelajari sehingga memperoleh gambaran
mengenai objek tersebut dan dapat ditarik kesimpulan mengenai masalah yang
diteliti.
3.2 Definisi Variabel dan Operasionalisasi Variabel
3.2.1 Definisi Variabel dan Pengukurannya
Menurut Sugiyono (2010:59) pengertian variabel adalah :
“Suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai
variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari atau ditarik
kesimpulannya”.
Sesuai dengan judul skripsi ini yaitu “Pengaruh Insider Ownership, Dispersion of
Ownership, Free Cash Flow, dan Collaterizable Assets Terhadap Kebijakan Dividen”, maka
definisi dari setiap variabel dan pengukurannya adalah sebagai berikut:
1. Variabel bebas/independent variable (X)
Menurut Sugiyono (2010:60), variabel bebas merupakan:
“Variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya
variabel dependen (terikat)”
59
Dalam penelitian ini terdapat empat variabel independen, yaitu:
a. Insider Ownership (X1)
Menurut Brigham et al (2001) dalam Pandu (2006) insider ownership merupakan:
“Persentase kepemilikan yang berkaitan dengan saham dan opsi yang dimiliki manajer dan direksi perusahaan. Kepemilikan manajerial merupakan kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan. Secara matematis, nilai kepemilikan manajerial ini diperoleh dari persentase saham perusahaan yang dimiliki oleh dewan direksi dan komisaris”.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa insider ownership merupakan pemilik
sekaligus pengelola perusahaan yang terdiri dari direktur dan komisaris. Insider ownership
dapat dilihat dari presentase saham yang dimililki oleh pihak manajemen. Dimana pihak
manajemen yang dimaksud adalah direktur dan komisaris yang aktif ikut dalam
pengambilan keputusan. Skala pengukuran Insider ownership menggunakan skala rasio.
Insider ownership dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
(Suwaldiman dan Ahmad Aziz, 2006)
Keterangan :
Insider Ownership = D∧CSHR¿
TOTSHR¿
Variance=∑i=1
n
(X1−X )2
n−1
60
D∧CSHR¿ : kepemilikan saham oleh direktur dan komisaris perusahaan i pada tahun t .
TOTSHR : jumlah total dari saham biasa perusahaan yang beredar.
b. Dispersion of Ownership (X2)
Dispersion of ownership adalah penyebaran kepemilikan saham yang dihitung
dengan rumus variance, karena besarnya nilai variance menunjukkan bahwa data
kepemilikan saham semakin terkonsentrasi pada satu atau beberapa pemegang saham.
Variance merupakan suatu ukuran dari sebaran disekitar rata-rata hitung. Skala
pengukuran Dispersion of ownership menggunakan skala rasio. Dispersion of
ownership dihitung derngan formula:
(Pujiastuti, 2008)
Keterangan : X1 = persentase kepemilikan saham suatu kelompok
X = rata – rata kepemilikan saham
n= jumlah data
c. Free Cash Flow (X3)
61
Free cash flow adalah aliran kas diskresioner yang tersedia bagi perusahaan.
Free cash flow adalah kas dari aktivitas operasi dikurangi capital expenditures yang
dibelanjakan perusahaan untuk memenuhi kapasitas produksi saat ini (White et al
2003 dalam Rosdini 2009).
Free cash flow diukur dengan membagi free cash flow dengan total assets
dengan tujuan agar lebih comparable bagi perusahaan-perusahaan yang dijadikan
sampel, sehingga penghitungan free cash flow menjadi relative terhadap size
perusahaan, dalam hal ini diukur dengan total assets. Skala pengukuran free cash
flow menggunakan skala rasio. Free cash flow dihitung dengan menggunakan rumus
yaitu:
Ross et al (2000)
Keterangan :
Cash flow from operations (aliran kas operasi) = nilai bersih kenaikan/penurunan arus kas
dari aktivitas operasi perusahaan.
Net capital expenditure (pengeluaran modal bersih) = nilai perolehan aktiva tetap akhir –
nilai perolehan aktiva tetap awal.
Free Cash Flow = cash flow from operations – (net capital expenditure + changes in
working capital)
62
Changes in working capital (perubahan modal kerja) = modal kerja akhir tahun – modal kerja
awal tahun.
Kemudian nilai free cash flow tersebut dibuat suatu rasio yaitu dengan membagi
free cash flow dengan total aset. Alasan yang mendasarinya adalah kas merupakan
bagian dari aset perusahaan. Rumusnya adalah sebagai berikut.
Ross et al (2000)
d. Collaterizable Assets (X 4)
Collaterizable assets adalah perbandingan antara rasio total aktiva tetap bersih dengan
total aktiva (I Nyoman, 2006) dan skala pengukuran collaterizable assets menggunakan skala
rasio. Collateral asset yang sering diberi symbol ASCOL, dapat diukur dari rasio aset tetap
netto (net fixed assets) terhadap aset total. Rasio ini dianggap sebagai proksi aset-aset
kolateral untuk cost agency (Pujiastuti, 2008) Collaterizable assets dihitung dengan rumus :
“Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat,
karena adanya variabel bebas”.
Dalam penelitian ini variabel terikat yang digunakan adalah kebijakan dividen. Menurut
Agus Sartono (2001:281) kebijakan dividen (dividend policy) merupakan:
“Kebijakan dividen adalah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan
dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk
laba ditahan guna pembiayaan investasi di masa datang”.
Kebijakan dividen dihitung menggunakan rasio Devidend Payout Ratio (DPR) yang
merupakan perbandingan antara dividen per lembar saham terhadap laba per lembar
saham. Dividend Payout Ratio (DPR) dihitung dengan rumus:
(Gitman, 2006)
3.2.2 Operasionalisasi Variabel
DPR = Dividen per share
Earning per share
64
Operasionalisasi variabel diperlukan untuk menjabarkan variabel penelitian ke dalam
konsep dimensi dan indikator. Disamping itu, tujuannya adalah untuk memudahkan
pengertian dan menghindari perbedaan presepsi dalam penelitian ini. Pada penelitian ini,
berikut adalah operasionalisasi variabel dari penelitian ini:
Tabel 3.1
Operasionalisasi Variabel
Variabel Dimensi Indikator Skala
Insider
ownership
(X1)
Besarnya persentase
kepemilikan saham
perusahaan oleh
pihak manajemen
(Pujiastuti 2008)
kepemilikan sahamdirektur∧komisaris perush aanjumlah total sahambiasa perusahaan yangberedar
(Pujiastuti 2008) Rasio
Dispersion of
ownership
(X2)
Tingkat penyebaran
kepemilikan saham
(Pujiastuti 2008) Variance dari kepemilikan saham
(Pujiastuti 2008)Rasio
Free Cash
Flow (X3)
Kas perusahaan yang
dapat didistribusi
kepada kreditur atau
FCFTotal Aset
Rasio
65
pemegang saham
yang tidak digunakan
untuk modal kerja
(working capital)
atau investasi pada
aset tetap (Ross et al,
2000)
(Ross et. al 2000)
Collaterizabl
e Assets (X 4)
Perbandingan antara
rasio total aktiva
tetap bersih dengan
total aktiva (I
Nyoman, 2006)
¿AssetsTotal Asset
(Pujiastuti 2008)
Rasio
Kebijakan
Dividen (Y)
Kebijakan dividen
dengan penetapan
payout ratio yang
konstan (Riyanto,
2001:269)
Dividend per sh areEarning per s h are
(Gitman, 2006)Rasio
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi dan sampel dalam suatu penelitian perlu ditetapkan dengan tujuan agar
penelitian yang dilakukan benar-benar mendapatkan data sesuai yang diharapkan.
66
Menurut Sugiyono (2010:115) mendefinisikan pengertian populasi sebagai sebagai
berikut :
“Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang
mempunyai kualitas dan karatertistik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”.
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan Sub Sektor Automotive
and Allied Productyang yang listing di Bursa Efek Indonesia pada periode 2005-2010.
Berdasarkan pengamatan penulis pada website Bursa Efek Indonesia, terdapat 8 perusahaan
yang aktif sampai tahun 2010 yang menjadi populasi.
3.3.2 Sampel Penelitian dan Teknik Sampling
Pengertian sampel menurut Sugiyono (2009:116) adalah sebagai berikut :
“Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut”.
Berdasarkan populasi penelitian di atas, maka yang menjadi sampel pada penelitian ini
adalah perusahaan-perusahaan Sub Sektor Automotive and Allied Productyang listing di
Bursa Efek Indonesia pada periode 2005-2010, maka jumlah sampel yang diteliti adalah 2
perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode pengamatan yaitu tahun
2005-2010.
67
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian adalah teknik
purposive sampling. Menurut Nazir (2005:89) purposive sampling merupakan:
“Teknik pengambilan sampel dimana tidak memberi peluang atau kesempatan
yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi
sampel”.
Pemilihan sampel secara purposive sampling dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh sampel yang representatif berdasarkan kriteria yang ditentukan. Penentuan
kriteria sampel diperlukan untuk menghindari timbulnya kesalahan dalam penentuan
sampel penelitian, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap hasil analisis. Sampel
penelitian yang diambil adalah berdasarkan kriteria-kriteria berikut:
Tabel 3.2
Kriteria Sampel
Kriteria Jumlah
1. Perusahaan yang terdaftar di BEI dan menerbitkan laporan
keuangan lengkap berturut-turut dari tahun 2005 – 2010
8
2. Perusahaan yang tidak membagikan dividen berturut–turut
dari tahun 2005 – 2010
(4)
3. Perusahaan yang tidak mempunyai data lengkap tentang
insider ownership, dispersion of ownership, free cash flow, dan
(2)
68
collaterizable assets.
Sampel final 2
Adapun perusahaan-perusahaan yang menjadi sampel pada penelitian ini antara lain:
Tabel 3.3
Sampel Penelitian
3.4
Teknik
Pengumpulan Data
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Menurut
Indriantoro & Supomo (2002) data sekunder adalah:
”Sumber data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara
(diperoleh dan dicatat pihak lain) dan dalam penggunaannya pada penelitian ini telah
diatur dan diolah oleh penulis”.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian Lapangan (Field Research)
Pada tahap ini, penulis mengambil data-data sekunder berupa laporan
keuangan perusahaan-perusahaan Automotive and Allied Product yang listing di
Bursa Efek Indonesia periode 2005-2010 secara langsung ke Pusat Informasi Pasar
No. Nama perusahaan Kode
1 PT Tunas Ridean Tbk TURI
2 PT United Tractor Tbk UNTR
69
Modal, kemudian penulis mengumpulkan, mempelajari, dan menelaah data-data
sekunder yang berhubungan dengan objek yang diteliti.
2. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Pada tahap ini, penulis berusaha untuk memperoleh berbagai informasi
sebanyak-banyaknya untuk dijadikan sebagai dasar teori dan acuan untuk mengolah
data dengan cara membaca, mempelajari, menelaah, dan mengkaji literature-
literatur berupa buku-buku, jurnal, makalah, maupun penelitian-penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
3. Riset Internet (Online Research)
Pengumpilan data berasal dari situs-situs terkait untuk memperoleh tambahan
literarur, jurnal, dan data lainnya.
3.5. Model Penelitian
Model penelitian adalah abstraksi dari fenomena-fenomena yang sedang diteliti.
Model penelitian yang sesuai judul penelitian ini, dapat digambarkan sebagai berikut:
Agency cost
70
Gambar 3.1 Model Penelitian
Bila dijabarkan secara matematis, maka hubungan variabel diatas adalah :
Y= f (X1,X2,X3,X4)
Dimana :
Y = Kebijakan Dividen
f = Fungsi
X1 = Insider Ownership
X2 = Dispersion of Ownership
Insider Ownership (X1)
Free Cash Flow (X3 ¿
Collaterizable Assets (X 4)
(Triani pujiastuti, 2008)
Dispersion Of Ownership (X2 ¿
Kebijakan Dividen (Y)
(Triani pujiastuti, 2008)
71
X3 = Free Cash Flow
X4 = Collaterizable Assets
3.6 Analisis Data dan Rancangan Pengujian Hipotesis
3.6.1 Analisis Data
Menurut Sugiyono (2010:206) yang dimaksud dengan analisis data adalah:
“Analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden terkumpul. Kegiatan dalam analisis data adalah : mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden, menyajikan data dari tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah, dan melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan.”
Analisis data yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Analisis Deskriptif
Menurut Sugiyono (2010:206) yang dimaksud statistik deskriptif adalah :
“Statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi.”
Dalam analisis ini dilakukan pembahasan dengan rumusan sebagai berikut:
a. Insider Ownership
72
Insider Ownership (INS) = kepemilikan saham oleh direktur dan komisaris dibagi
dengan jumlah total dari saham biasa perusahaan yang beredar.
b. Dispersion Of Ownership
Dispersion Of Ownership = Variance dari kepemilikan saham.
c. Free cash flow
Free cash flow (FCF) = cash flow from operations ‒ (net capital expenditure
+changes in working capital).
d. Collaterizable Assets
Collaterizable Assets (ASCOL) = ¿assets dibagi dengan total assets.
Statistik deskriptif yang digunakan untik memberikan deskripsi atas variabel-variabel
penelitian secara statistik. Statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah rata-rata
(mean), maksimal, minimal, dan standar deviasi.
2. Analisis Verifikatif
Analisis verifikatif merupakan analisis model dan pembuktian yang berguna untuk
mencari kebenaran dari hipotesis yang diajukan. Dalam penelitian ini analisis verifikatif
bermaksud untuk mengetahui hasil penelitian yang berkaitan dengan pengaruh insider
ownership, dispersion of ownership, free cash flow dan collaterizable assets terhadap
kebijakan dividen.
3.6.2 Rancangan Analisis dan Pengujian Hipotesis
73
3.6.2.1 Rancangan Analisis
1. Analisis Statistik
Analisis statistik adalah cara-cara mengolah data yang terkumpul untuk kemudian
dapat memberikan interprestasi. Hasil pengolahan data ini digunakan untuk menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Analisis ini digunakan untuk menunjukan hubungan
antara variabel bebas (X) dengan variabel terikat (Y). anlisis statistik meliputi :
a. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik adalah persyaratan statistik yang harus dipenuhi pada analisis
regresi linear berganda. Setidaknya ada empat uji asumsi klasik, yaitu uji normalitas,
uji multikolinearitas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas. Uji asumsi klasik
penting dilakukan untuk menghasilkan estimator yang linier tidak bias dengan varian
yang minimum (Best Linier Unbiased Estimator = BLUE), yang berarti model regresi
tidak mengandung masalah. Tidak ada ketentuan yang pasti tentang urutan uji yang
harus dipenuhi terlebih dahulu. Berikut ini adalah uji asumsi klasik yang harus
dipenuhi oleh model regresi :
1) Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah masing-masing
variabel berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas diperlukan karena
untuk melakukan uji F dan t mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti
distribusi normal. Jika asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak
valid dan statistik parametrik tidak dapat digunakan. Uji statistik yang
74
digunakan untuk uji normalitas data dalam penelitian ini adalah uji normalitas
atau sampel Kolmogorov-Smirnov.
Hasil analisis ini kemudian dibandingkan dengan nilai kritisnya. Uji
normalitas dapat dilakukan dengan melihat besaran Kolmogorov Smirnov
dengan kriteria pengujian:
Angka signifikansi (Sig) > α = 0,05 maka data berdistribusi normal
Angka signifikansi (Sig) < α = 0,05 maka data tidak berdistribusi
normal
Jika tidak berdistribusi normal tetapi dekat dengan nilai kritis (misalnya
signifikansi Kolmogorov Smirnov 0,049) maka dapat dicoba dengan metode lain
yang mungkin memberikan justifikasi normal. Tetapi jika jauh dari nilai normal,
maka dapat dilakukan beberapa langkah yaitu melakukan transformasi data,
melakukan trimming data outliers atau menambah data observasi. Transformasi
dapat dilakukan ke dalam bentuk Logaritma natural, akar kuadrat, inverse atau
bentuk yang lain tergantung dari bentuk kurva normalnya, apakah condong ke kiri,
ke kanan, mengumpul di tengah atau menyebar ke samping kanan dan kiri.
2) Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi di antara variabel bebas. Salah satu asumsi model
regresi linear adalah tidak adanya korelasi yang sempurna, atau korelasi tidak
sempurna tetapi relatif sangat tinggi pada variabel-variabel bebasnya. Jika
75
terdapat multikolinearitas sempurna akan berakibat koefisien regresi tidak
dapat ditentukan serta standar deviasi menjadi tak terhingga. Jika terdapat
multikolinearitas tidak sempurna maka koefisien regresi meskipun terhingga
tetapi mempunyai standar deviasi yang besar, sehingga koefisien-koefisien
tidak dapat ditaksir dengan mudah.
Uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat tolerance value dan
variance inflation factor (VIF). Multikolinearitas terjadi bila nilai VIF diatas
nilai 5 atau tolerance value di bawah 0,05. Multikolinearitas tidak terjadi bila
nilai VIF di bawah nilai 5 atau tolerance value di atas 0,05. Nilai VIF dapat
dihitung dengan rumus:
VIF = 1
(1−R j2)
Cara mengatasi multikolinearitas :
1) Menghilangkan salah satu atau lebih variabel bebas yang mempunyai
koefisien korelasi tinggi atau menyebabkan multikolinearitas
2) Jika tidak dihilangkan (nomor 1) hanya digunakan untuk membantu
prediksi dan tidak untuk diinterpretasikan
3) Mengurangi hubungan linier antar variabel bebas dengan menggunakan
logaritma natural (ln)
76
4) Menggunakan metode lain, misalnya metode regresi ridge.
3) Uji Autokorelasi
Salah satu asumsi model regresi linear adalah tidak terdapat autokorelasi.
Autokorelasi adalah korelasi antara nilai observasi yang berurutan dari
variabel bebas. Autokorelasi terjadi karena disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu:
Inertia, yaitu adanya momentum yang masuk ke dalam variabel-
variabel bebas yang terus-menerus sehingga akan terjadi dan
Koefisien determinasi (R2) sebesar 87,0% yang diperoleh dari 0,870 x 100%, hal
ini menunjukkan bahwa besarnya dividend payout ratio dapat dipengaruhi oleh
insider ownership, dispersion of ownership, free cash flow, dan collaterizable assets
sebesar 87,0% sedangkan sisanya 23.0% dipengaruhi oleh faktor lain.
Tabel 4.35
Rekapitulasi Penelitian Hasil Asumsi KlasikNo Analisis Hasil Keterangan
1 Uji Normalitas Probabilitas sebesar 0,940 > 0,05
Data yang digunakan telah memenuhi asumsi normalitas dan selanjutnya dapat digunakan untuk analisis regresi yang memenuhi uji normalitas.
2 Uji Multikolinearitas
Insider Ownership, tolerance value = 0,438, VIF =2,286
Dispersion of Ownership, tolerance value = 0,685, VIF =1,460
Free Cash Flow, tolerance value = 0,124, VIF =3,079
Collaterizable Assets, tolerance value =
Nilai tolerance value-nya diatas 0,1 dan nilai VIF dibawah 5, sehingga dapat dikatakan tidak terjadi multikolinearitas diantara variabel-variabel bebas.
Titik – titik pada gambar plot menyebar dan membentuk pola acak
titik – titik pada gambar plot menyebar, maka tidak terjadi heteroskedastisitas yang dapat merusak model regresi
Tabel 4.36
Rekapitulasi Penelitian Secara Parsial
No Analisis Hasil Keterangan
1 Analisis Regresia. Regresi Insider
Ownership Terhadap Kebijakan Dividen
Y=0.918−0.53 X1 Konstanta a sebesar 0,918 artinya pada saat insider ownership sama dengan 0 satuan maka kebijakan dividen adalah 0,918 satuan, dan nilai b negatif sebesar -0,53 artinya bahwa setiap kenaikan 0,01 satuan pada dispersion of ownership akan terjadi penurunan kebijakan dividen sebesar -0,53 satuan.
b. Regresi Dispersion of Ownership Terhadap Kebijakan Dividen
Y=0.918+0.707 X2 Konstanta a sebesar 0,918 artinya pada saat dispersion of ownership sama dengan 0 satuan maka kebijakan dividen adalah 0,918 satuan, dan nilai b positif sebesar 0,707 artinya bahwa setiap kenaikan 0,01 satuan pada dispersion of ownership akan terjadi kenaikan kebijakan dividen sebesar 0,707 satuan.
151
c. Regresi Free Cash Flow Terhadap Kebijakan Dividen
Y=0.918−0.102 X3 Konstanta a sebesar 0,918 artinya pada saat free cash flow sama dengan 0 satuan maka kebijakan dividen adalah 0,918 satuan, dan nilai b negatif sebesar -0,102 artinya bahwa setiap kenaikan 0,01 satuan pada free cash flow akan terjadi penurunan kebijakan dividen sebesar -0,102 satuan.
d. Regresi Collaterizable Assets Terhadap Kebijakan Dividen
Y=0. 918−1.294 X4 Konstanta a sebesar 0,918 artinya pada saat collaterizable assets sama dengan 0 satuan maka kebijakan dividen adalah 0,918 satuan, dan nilai b negatif sebesar -1,294 artinya bahwa setiap kenaikan 0,01 satuan pada collaterizable assets akan terjadi penurunan kebijakan dividen sebesar -1,294 satuan.
2 Korelasi:a. Korelasi Insider
Ownership
r = -0,912 Artinya bahwa tingkat korelasi antara insider ownership dengan kebijakan dividen bersifat negatif dan mempunyai tingkat hubungan korelasi yang sangat kuat.
b. Korelasi Dispersion of Ownership
r = 0,770 Artinya bahwa tingkat korelasi antara dispersion of ownership dengan kebijakan dividen bersifat positif dan mempunyai tingkat hubungan korelasi yang kuat.
c. Korelasi Free Cash Flow
r = -0,113 Artinya bahwa tingkat korelasi antara free cash flow dengan kebijakan dividen bersifat negatif dan mempunyai tingkat hubungan korelasi yang sangat rendah.
152
d. Korelasi Collaterizable Assets
r = -0,730 Artinya bahwa tingkat korelasi antara collaterizable assets dengan kebijakan dividen bersifat negatif dan mempunyai tingkat hubungan korelasi yang kuat.
3 Uji ta. Insider
Ownership
thitung 5,431 > ttabel
2,228Dapat disimpulkan bahwa H0
ditolak, artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara insider ownership terhadap kebijakan dividen
b. Dispersion of Ownership
thitung 2,960 > ttabel
2,228Dapat disimpulkan bahwa H0
ditolak, artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara dispersion of ownership terhadap kebijakan dividen
c. Free Cash Flow
thitung -0,278 < ttabel
2,228Dapat disimpulkan bahwa H0
diterima, artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara free cash flow terhadap kebijakan dividen
d. Collaterizable Assets
thitung 2,638 > ttabel
2,228Dapat disimpulkan bahwa H0
ditolak, artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara collaterizable assets terhadap kebijakan dividen
4 Koefisien Determinasi:
a. Insider Ownership
Kd = 83,1774 % Besarnya kebijakan dividen dapat dipengaruhi oleh insider ownership sebesar 83,1774% sedangkan sisanya 16,8256% dipengaruhi oleh faktor lain.
b. Dispersion of Ownership
Kd = 59,29 % Besarnya kebijakan dividen dapat dipengaruhi oleh dispersion of ownership sebesar 59,29% sedangkan sisanya 40,71% dipengaruhi
153
oleh faktor lain.
c. Free Cash Flow
Kd = 0% Free cash flow tidak mempengaruhi kebijakan dividen, maka tidak dilakukan perhitungan koefisien determinasi
d. Collaterizable Assets
Kd = 53,29 % Besarnya kebijakan dividen dapat dipengaruhi oleh collaterizable assets sebesar 53,29% sedangkan sisanya 46,71% dipengaruhi oleh faktor lain.
Tabel 4.37
Rekapitulasi Penelitian Secara Simultan
No Analisis Hasil Keterangan
1 Metode Persamaan Regresi Berganda
Y=0.918−0.053 X1+0.707 X2−0.102 X3−1.294 X 4+ϵHubungan fungsional antara insider ownership, free cash flow, dan collaterizable assets dengan kebijakan dividen berbanding terbalik atau berlawanan arah (β1,β3 dan β4
bernilai negatif). Artinya setiap peningkatan pada insider ownership, free cash flow, dan collaterizable assets akan menyebabkan penurunan pada kebijakan dividen, dan begitu juga sebaliknya. Hubungan fungsional antara dispersion of dengan kebijakan dividen berbanding lurus atau searah (β2
bernilai positif). Artinya setiap peningkatan yang terjadi pada
154
dispersion of ownership akan menyebabkan peningkatan pada kebijakan dividen dan begitu juga sebaliknya.
2 Analisis Koefisien Korelasi Berganda
korelasi (R) sebesar 0,933
Korelasi sangat kuat antara nilai insider ownership, dispersion of ownership, free cash flow, dan collaterizable assets terhadap kebijakan dividen.
3 Uji F Fhitung > Ftabel (10,068 > 4,14) serta signifikansi (p value) < α (0,008 < 0,05).
Terdapat pengaruh yang signifikan antara insider ownership, dispersion of ownership, free cash flow, dan collaterizable assets terhadap kebijakan dividen.
4 Koefisien Determinasi
kd = 87,0% Besarnya kebijakan dividen dapat dipengaruhi oleh besarnya insider ownership, dispersion of ownership, free cash flow, dan collaterizable assets sebesar 87,0% sedangkan sisanya 23,0% dipengaruhi oleh faktor lain
BAB V
155
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada perusahaan Automotive dan
Allied Product di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2005-2010 dan analisis yang
didukung oleh teori-teori yang melandasi, serta hasil pembahasan pada bab-bab
sebelumnya, maka penelitian mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. insider ownership pada perusahaan Automotive dan Allied Product yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2005-2010, yang tertinggi diperoleh
pada tahun 2010 di PT Tunas Ridean Tbk (TURI) dan insider ownership yang
terendah diperoleh pada tahun 2005 di PT United Tractor Tbk (UNTR).
2. Dispersion of ownership pada perusahaan Automotive dan Allied Product
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2005-2010, yang tertinggi
diperoleh pada tahun 2005 di PT United Tractor Tbk (UNTR) dan dispersion
of ownership yang terendah diperoleh pada tahun 2006 di PT United Tractor
Tbk (UNTR).
156
3. Free cash flow pada perusahaan Automotive dan Allied Product
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2005-2010, yang
tertinggi diperoleh pada tahun 2006 di PT Tunas Ridean
(TURI) dan free cash flow yang terendah diperoleh pada tahun
2005 di PT United Tractor Tbk (UNTR).
4. Collaterizable assets pada perusahaan Automotive dan Allied
Product yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2005-
2010, yang tertinggi diperoleh pada tahun 2009 di PT United
Tractor Tbk (UNTR) dan collaterizable assets yang terendah
diperoleh pada tahun 2005 di PT Tunas Ridean Tbk (TURI).
5. Dividend payout ratio Automotive dan Allied Product yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia tahun 2005-2010, yang tertinggi diperoleh pada tahun 2008 di
PT Tunas Ridean Tbk (TURI) dan dividend payout ratio yang terendah
diperoleh pada tahun 2010 di PT Tunas Ridean Tbk (TURI).
6. Secara parsial insider ownership, dispersion of ownership, dan collaterizable
assets, berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen. Dimana insider
ownership berpengaruh terhadap kebijakan dividen sebesar 83,1774 % ,
dispersion of ownership berpengaruh terhadap kebijakan dividen sebesar
59,29 %, dan collaterizable assets berpengaruh terhadap kebijakan dividen
sebesar 53,29 %. Sedangkan free cash flow tidak berpengaruh signifikan
157
terhadap kebijakan dividen.
7. Secara simultan insider ownership, dispersion of ownership, free cash flow,
dan collaterizable assets berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Besarnya
pengaruh insider ownership, dispersion of ownership, free cash flow, dan
collaterizable assets terhadap kebijakan dividen yaitu sebesar 87,0% dan
sisanya sebesar 23.0% dipengaruhi oleh faktor lain yang mempengaruhi
kebijakan dividen seperti rasio utang, tingkat pertumbuhan dan lain-lain.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah disampaikan di atas, kemudian penulis akan
memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Manajemen perusahaan dalam menentukan kebijakan dividen selain
memperhatikan kebijakan intern perusahaan juga harus memperhatikan
kinerja keuangan perusahaan yang dipublikasikan agar tidak terjadi agency
conflict, karena harapan dari para pemegang saham yang bertujuan
mendapatkan return berupa dividen adalah memperoleh dividen yang
reasonable serta terjamin setiap tahun.
2. Sebaiknya untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan
variabel independen yang digunakan. Pengembangan ini perlu dilakukan
mengingat banyak variabel lain yang berperan dalam mempengaruhi
kebijakan deviden misalnya variabel resiko hutang, tingkat pertumbuhan dan